Kita segera akan menyelesaikan koleksi yang pertama dari Mazmur, yaitu mulai pasal 1 sampai pasal 41, dan bagian ini adalah pasal 40. Kita memberikan judul pembahasan Mazmur 40 ini “Ucapan Syukur dan Ratapan”. Judul ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan, bagaimana bisa satu mazmur berisi sekaligus ucapan syukur dan ratapan (thanksgiving and lamentation). Biasanya suatu mazmur dikategorikan dalam mazmur ucapan syukur, atau mazmur ratapan, namun Mazmur 40 ini merupakan mazmur ucapan syukur dan ratapan.
Para ahli Perjanjian Lama meng-eksegese Mazmur 40 ini, dan mengatakan mazmur ini sepertinya kombinasi dari 2 mazmur berbeda yang kemudian dijadikan satu. Tetapi, sebetulnya lebih baik bagi kita untuk melihat kesatuannya, karena di dalam pimpinan Roh Kudus bagian ini telah dijadikan 1 mazmur, sehingga kita perlu melihatnya sebagai satu kesatuan. Mengapa bisa ada ucapan syukur dan ratapan di dalam satu mazmur sekaligus? Di sini kita melihat bahwa di dalam doa bisa ada dinamika. Ini tidak usah dibaca sebagai sesuatu yang sifatnya seperti skizofrenia, yang tidak jelas sebetulnya bersyukur atau meratap; tidak perlu dibaca seperti itu. Kita akan membahas hal ini, tapi sebelumnya mari kita melihat keunikan Mazmur 40.
Kalau kita membandingkan Mazmur 40 ini dengan Mazmur 39, memang berbeda. Dalam pembahasan yang lalu, kita ingat Mazmur 39 itu seperti mazmur yang tidak ada pengharapan, Tuhan seakan menyiksa, dst.; dan kita mengatakan Mazmur 39 itu salah satu mazmur paling gelap di antara mazmur-mazmur yang ada. Namun tidak demikian dengan Mazmur 40; Mazmur 40 ini ada kalimat iman –beriman kepada Tuhan– yang menyembuhkan orang yang sakit. Dalam hal ini kita memang tidak bisa membaca Mazmur 39 tanpa Mazmur 40. Satu nomor/pasal mazmur, itu berkaitan dengan nomor-nomor/pasal-pasal mazmur yang lain; sampai batas tertentu, kita bisa mengatakan bahwa Mazmur 40 ini juga adalah jawaban dari Mazmur 39.
Dalam Mazmur 40 ini pemazmur menggambar-kan situasi yang sulit –mirip Mazmur 39– seperti dikatakan di ayat 2 (3): “Ia mengangkat aku dari lubang kebinasaan, dari lumpur rawa”. Lubang kebinasaan atau lumpur rawa menggambarkan suatu keadaan yang gelap. Dalam bahasa aslinya, ini adalah tempat orang bisa menyimpan air, tapi juga ada semacam nuansa penjara; bahkan dalam Yeremia 38, kotoran-kotoran juga ada di situ. Intinya, ini merupakan simbol dari underworld. Lawan katanya, kita mendapati di ayat 2b dikatakan: “Ia menempatkan kakiku di atas bukit batu”. Dalam konteksnya, ini adalah gambaran dari kesembuhan yang dialami pemazmur; jadi dari lubang kebinasaan dan lumpur rawa, kemudian dibawa dan ditempatkan di atas bukit batu.
Pengalaman kesembuhan oleh Tuhan ini, menjadi satu kesaksian yang mengajak orang untuk takut dan percaya kepada Tuhan. Ini adalah kesaksian tentang ditolong oleh Tuhan, yang kemudian mendorong, mengajak, mengundang orang untuk beribadah kepada Tuhan yang benar. Bahkan di sini dikontraskan antara orang yang menaruh kepercayaannya kepada Tuhan, versus mereka yang berpaling kepada orang-orang yang angkuh. Kalau Saudara mengaitkan dengan Yesaya 30, di sana bisa kita baca bahwa orang-orang yang angkuh yaitu satu sebutan simbolik untuk Mesir (Yes. 30:7). Demikian juga dalam kehidupan kita, ada pencobaan untuk tetap berharap kepada Tuhan, atau berharap kepada sesuatu sumber yang menurut kita bisa memberi pertolongan tapi itu bukan Tuhan; ayat 4 (5) menyebutnya dengan istilah “orang-orang yang telah menyimpang kepada kebohongan”.
Di tengah kesaksian seperti ini, biasanya orang mengharapkan bahwa berikutnya tentu pemazmur akan menaikkan ucapan syukur; dan ucapan syukur itu paling sederhana diekspresikan melalui korban (korban sembelihan, korban sajian). Namun mengejutkan, kita membaca dalam Mazmur 40 ini pemazmur mengatakan: “Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan dan korban sajian” (ayat 6/7). Kita terkejut karena gambarannya tiba-tiba jadi kontras seperti ini, tidak umum bahwa Allah yang menyelamatkan dan menyembuhkan adalah Allah yang digambarkan tidak berkenan kepadakorban sembelihan dan korban sajian. Memang ini bukan satu-satunya ayat yang demikian; dalam tradisi kitab nabi-nabi, baik Nabi-nabi Besar atau Nabi-nabi Kecil (Yesaya, Yeremia, ataupun Amos atau bahkan 1 Samuel), maupun juga dalam tradisi kitab bijaksana (wisdom theology) (misalnya Amsal) ada beberapa ayat yang mengajarkan seperti ini juga. Pertanyaannya, kalau bukan korban sembelihan dan korban sajian, lalu apa? Kita membaca di ayat berikutnya, yaitu bicara “gulungan kitab ada tertulis tentang aku” (ayat 7/8), dan di ayat sebelumnya (6b/7b) “Engkau (Tuhan) telah membuka telingaku”.
Dalam hal ini, di kalangan penafsir ada banyak tafsiran apa maksudnya ‘Tuhan telah membuka telingaku’, yang kemudian disambung dengan kalimat ‘korban bakaran dan korban penghapus dosa tidak Engkau tuntut’. Salah satu tafsiran yang menurut saya paling meyakinkan dan persuasif adalah ‘Tuhan membuka telinga’ di dalam pengertian kita ini dengar-dengaran akan Firman Tuhan. Memang di dalam beberapa bahasa, misalnya dalam bahasa Latin, dan juga bahasa Jerman, ‘mendengar’ dan ‘taat’ itu dekat sekali. Dalam bahasa Latin, mendengar = audire, taat = oboedire; dalam bahasa Jerman, mendengar = horchen, taat = gehorchen –memang dekat sekali. Jadi poinnya, lebih baik dengar-dengaran akan Tuhan daripada mempersembahkan korban tapi tidak mau tahu kehendak Tuhan, tidak mendengarkan dan tidak manaati kehendak Tuhan.
Saudara ingat cerita Saul, dia mendahului Samuel mempersembahkan korban tapi dia sendiri tidak taat. Jadi apa artinya persembahan; Tuhan tidak membutuhkan itu. Yang Tuhan kehendaki adalah ketaatan kita. Apalagi kalau ayat tadi dikaitkan dengan Roma 10:17, “iman datang dari pendengaran”. Kadang-kadang persembahan atau korban bisa jadi tradisi yang mati, yang akhirnya seperti menggantikan ketaatan kita pada Tuhan. “Yah, waktu saya dagang, saya tidak usah terlalu perhatikan prinsip firman Tuhan, yang penting saya kasih persembahan, saya kasih perpuluhan, lho; kalau Gereja ada proyek apapun, saya selalu ikut janji iman, lho”, tapi mungkin kehidupan kita merupakan kehidupan yang tidak tertarik dengan kehendak Tuhan yang dinyatakan Alkitab.
Menarik, bahwa dalam ayat ini ada semacam nuansa kritik terhadap tradisi “bait suci” juga. Kita tahu, Mazmur 40 ini termasuk Mazmur Mesianik, apalagi ayat 7(8) dan ayat 8(9), yang di situ terlihat jelas sekali. Ayat 7(8), “Sungguh, aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang aku”, ini bicara tentang Mesias; ayat 8 (9), “aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku” —ini Sang Mesias. Dan bukan kebetulan, penggenapannya di dalam Kristus, yang juga kritis terhadap korban yang dilakukan di bait suci Yerusalem. Orang bisa menjalankan keagamaan dengan segala ritual dan pengorbanannya, tapi bersamaan dengan itu mereka sebetulnya jauh dari kehendak Tuhan. Itu sebabnya waktu dalam mazmur ini ditulis “aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang aku,aku suka melakukan kehendak Allah”,dst., ini menunjuk kepada Yesus Kritus, yang memberikan intepretasi otoritatif tentang mengenal Allah itu sebetulnya seperti apa. Ada tradisi keimaman yang berorientasi pada bait suci, tapi ternyata salah, maka kita melihat di sini Yesus datang untuk mengoreksi.
Saudara, kalau kita berada di dalam Gereja yang sehat, kita akan juga ada semacam kritik terhadap tradisi yang sudah membeku tapi yang sebetulnya tidak berhubungan lagi dengan kehendak Tuhan, hanya suatu tradisi ciptaan manusia yang kehilangan substansinya. Apa sebetulnya substansinya? Yaitu melakukan kehendak Allah. Semua ritual, liturgi, pengorbanan, dsb., tidak ada artinya kalau tidak ada kaitan dengan melakukan kehendak Allah; Saudara baca di mazmur ini: “aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku”.
Bukan cuma itu, eksistensi Mesias ini digambarkan memiliki aspek misionaris; istilah sederhananya: kesaksian. Di ayat 9 (10): “Aku mengabarkan keadilan dalam jemaah yang besar”, lalu ayat 10 (11): “Keadilan tidaklah kusembunyikan dalam hatiku”. Jadi, hal ini diberitakan di tengah-tengah jemaat; ini bukan suatu milik pribadi yang dinikmati sendiri melainkan diceritakan. Ada pemberitaan, ada proklamasi, ada kesaksian. Selanjutnya ayat 10b (11b) “kasih-Mu dan kebenaran-Mu tidak kudiamkan kepada jemaah yang besar”; di sini dalam bahasa Indonesia terjemahan LAI dipakai istilah ‘kasih-Mu dan kebenaran-Mu’; dalam terjemahan lain yang agak bebas tapi tetap sesuai konteks, istilahnya yaitu ‘belas kasihan-Mu dan kesetiaan-Mu’. Intinya, ini bicara tentang atribut –atribut Allah, bahwa atribut-atribut Allah (sifat-sifat Allah) haruslah dibicarakan, supaya orang boleh mengenal Allah melalui sifat-sifat-Nya ini, yaitu kesetiaan, keselamatan, kasih, dan kebenaran Ilahi (terjemahan LAI).
Tadi kita mengatakan Mazmur 40 adalah mazmur yang unik karena merupakan ucapan syukur dan sekaligus ratapan. Biasanya kalau pun ada ratapan, urutannya ratapan dulu baru diakhiri dengan ucapan syukur, tetapi di Mazmur 40 ini malah terbalik, sudah bagus-bagus bersyukur malah diakhiri dengan ratapan. Jadi ini bicara tentang iman yang tidak stabil atau apa?? Yang tidak sungguh-sungguh percaya, tidak tulus dalam ucapan syukur sehingga kemudian meratap lagi, atau bagaimana?? Bukan itu maksudnya. Justru di dalam ucapan syukur ini kemudian pemazmur menoleh ke belakang; dia melakukan refleksi. Dia refleksi akan pertolongan dan keselamatan yang dari Tuhan itu, termasuk dengan menyertakan gembaran kesulitan dan keresahannya. Ini jauh dari ketidakstabilan atau semacam skizofrenia; sebalik-nya, inilah ucapan syukur yang sesungguhnya, karena ketika menoleh ke belakang membicarakan hal yang tidak enak, pemazmur bisa membicarakan-nya di dalam perspektif anugerah Tuhan. Hal seperti ini bukan sesuatu yang bisa terjadi dengan sendirinya; ketika kita mau membicarakan sesuatu yang tidak enak di masa lalu, kita tidak ingin membicarakan itu lagi karena setiap kali bicara, kita jadi mulai panas lagi, mulai luka lagi, lebih baik “sudah jangan ngomongin itu lagi, saya tidak mau bicara soal itu lagi”. Tetapi pemazmur tidak demikian. Dia bisa membicarakan hal-hal ketika dia sedang susah, ketika dia berada dalam lubang kebinasaan dan lumpur rawa itu, justru karena dia sudah ditolong Tuhan. Dia tidak membiarkan pengalaman masa lampaunya itu menciptakan ruang kepahitan yang besar dalam dirinya sehingga dia tidak bisa bersaksi lagi; sebaliknya, oleh pertolongan Tuhan, karena anugerah Tuhan, dia sungguh-sungguh sudah diangkat dari lumpur rawa yang dalam itu, dan dia bisa bersaksi akan masa lampaunya yang tidak enak itu. Kita harus berhati-hati dalam hal ini; semua orang pasti pernah mengalami kekecewaan, tapi jangan biarkan kekecewaan itu kemudian mematikan kerinduan kita untuk bersaksi, membuat kita tidak sanggup lagi bersaksi karena sudah terlalu lelah, terlalu kecewa, terlalu sakit, dst.
Dalam tradisi penafsiran historical criticism, ada yang menafsir bagian ini bahwa penulisnya bukan mewakili bait suci Yerusalem, karena dia ini kritis terhadap bait suci Yerusalem dan semua yang dipersembahkan di sana; jadi sepertinya ini bicara tentang seorang yang katakanlah punya peran dalam synagogue tapi bukan dalam bait suci yang di pusat. Menggunakan cara penafsiran seperti ini menarik, tapi saya pikir kita musti berhati-hati, dalam arti konklusi apa yang bisa kita capai dari pengamatan ini. Kita tidak boleh salah menafsir, melalui pengamatan ini. Contoh yang salah misalnya seperti ini: ‘soalnya penulis ini bukan bagian dari imam yang bekerja di bait suci Yerusalem yang di pusat, makanya lu sirik, iri, akhirnya kritik-kritik urusan korban yang di bait suci Yerusalem, dasar lu ‘gak ada tempat di sana sih soalnya’. Kalau seperti ini, itu salah baca, salah tarik kesimpulan.
Kalau secara positif, seperti apa kira-kira tafsirannya? Tidak bisa dipungkiri, di sini ada semacam kritik terhadap bait suci (temple critic), terhadap ritual korban yang dilakukan di sana. Jangan lupa cerita Injil, Yesus pun melakukan temple critic; dan kita tidak membacanya ‘Yesus ini iri karena Dia tidak dapat jabatan struktural di Yerusalem sih, makanya Dia serang terus; coba kasih Dia jabatan, pasti langsung diam’ —jadi kacau-balau kalau kita baca seperti itu. Tetapi, kita bisa melihat ada penafsiran positif yang bisa dihadirkan melalui gambaran temple critic ini; ada semacam “jarak”, katakanlah terhadap bait suci, Yerusalem, pusat itu. Penafsiran positifnya adalah teologi Mamzur 40 ini mau mengangkat bahwa yang penting adalah etos hdup sehari-hari yang taat pada kehendak Allah, karena kenyataannya, berapa-lama-sekali orang bisa mempersembahkan korbah sembelihan dan korban sajian?? Itu sesuatu yang tidak bisa sering dilakukan. Sama seperti kita datang ke Gereja, bisa dibilang hanya bisa seminggu sekali misalnya, waktu kita beribadah. Pemazmur mau mengatakan supaya jangan ketika kita beribadah dengan segala korban dan ritualnya, itu jadi kompensasi etos yang sangat rendah (low ethos) yang kita jalani dalam kehidupan sehari-hari, yang tidak tertarik dengan kehendak Tuhan. Waktu dikatakan Tuhan tidak berkenan pada korban sembelihan dan korban sajian, itu karena hal tersebut sangat terbatas; mau berapa sering kita melakukan itu?? Yang dikehendaki Tuhan sebetulnya adalah bagaimana etos hidup sehari-hari kita; ayat 8 (9), “aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku”. Saudara, ketaatan kepada kehendak Tuhan, itu lebih penting daripada persembahan kita.
Temple critic memang ada tempatnya, tapi kemudian apa? Yaitu pertama, etos kehidupan Kristen sehari-hari. Dan satu lagi, yaitu missionary zeal, satu kerinduan yang dalam, hati yang terbakar untuk mempersaksikan Tuhan di tengah-tengah jemaat-Nya. Itu sebabnya ayat 8 (9) dan 9 (10) ini sentral. Ayat 8 mengatakan tentang kesukaan melakukan kehendak Allah, taurat yang ada di dalam dada; dan ayat 9 mengatakan tentang kesukaan mengabarkan keadilan Tuhan di dalam jemaah yang besar. Jadi, kehidupan Kristen itu apa menurut teologi dari Mazmur 40? Ya, seperti yang dikatakan ayat 8 dan 9 ini. Keagamaan yang sejati itu apa? Bukan persembahan-persembahan kita yang terutama, karena hal itu alangkah terbatas frekuensinya dsb., cuma seminggu sekali, bahkan ke bait suci cuma satu tahun sekali; tapi bagaimana dengan etos kita, ketaatan kita kepada Tuhan sehari-hari? Bagaimana dengan missionary zeal yang seharusnya ada dalam kehidupan kita yang menceritakan keadilan Tuhan, kehidupan yang bersaksi di tengah-tengah dunia dengan ideologinya yang hostile terhadap Injil? Kita dipanggil ke sana.
Kiranya Tuhan menguatkan kita, kiranya Tuhan menolong kita untuk menjadi orang yang menjalan-kan kehendak Tuhan, orang yang mengabarkan keadilan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading