Ada tafsiran yang memberi judul Mazmur 4 ini “When Honor is Lost”; kalimat itu diambil terutama dari ayat 3, “Hai orang-orang, berapa lama lagi kemuliaanku dinodai”. Kita tidak perlu terlalu negatif menanggapi kalimat ini, di sini maksudnya bukan orang yang gila hormat mengejar kemuliaan yang fana. Waktu dalam kalimat ini pakai istilah ‘kemuliaanku’, ini boleh dimengerti sebagai satu pergumulan dignitas/kewibawaan seseorang. Manusia, tidak peduli di mana posisinya, baik pintar ataupun sederhana, baik kaya ataupun miskin, dalam hidup ini perlu dignitas. Kita ini bukan tikus, bukan kecoa, bukan cacing; kita ini manusia, kita perlu ada dignitas. Hal ini bukan sesuatu yang salah, hal ini bahkan memang dikehendaki oleh Tuhan. Namun, dalam kitab-kitab seperti Mazmur yang menceritakan pergumulan manusia dengan segala kekecewaannya, kita bisa melihat bagaimana pergumulan-pergumulan itu dicatat oleh Alkitab dan kemudian diselesaikan oleh Tuhan sendiri, bersama orang yang bergumul itu.
Dalam mazmur ini, Saudara mendapati orang itu kehilangan kehormatannya/kemuliaannya, nama baiknya dinodai, sepertinya karena fitnah. Kita membaca di sini tentang orang yang mencintai hal sia-sia dan mencari kebohongan; kebohongan digosipkan sehingga akhirnya merusak nama baik seseorang. Ini termasuk salah satu pergumulan dalam kehidupan manusia, yaitu mengenai bagaimana kita menghadapi penghinaan. Dalam kebudayaan Timur, kita sangat mementingkan kehormatan (honor). Memang kita tidak harus selalu melihat hal itu negatif, meski tentu saja kita bisa membahasnya secara negatif –misalnya dengan mengatakan “kita hidup jangan mengejar kehormatan kita sendiri, memperjuangkan muka kita sendiri”, dan semacamnya– tapi Alkitab mengakomodasi pergumulan tersebut, dan bukan melihatnya sebagai pertanyaan yang harus selalu dibungkam, “Ah! Lu yang kayak gini koq masih dipikirin!” Kita memang betul-betul terganggu kalau nama kita dirusak dan kita dihina-hina; sedangkan orang yang sudah tidak ada kepekaan sama sekali akan hal ini, mungkin dia sudah dewasa sekali kerohaniannya, atau mungkin dia agak budek, atau malah jiwanya mati, tidak punya perasaan, dsb.
Kekristenan tidak mengajarkan kita jadi orang-orang yang kebal, yang kalau diomongin orang seperti sudah tidak bisa tersentuh gosip/fitnah, tidak bisa digoyang sama sekali. Kekristenan tidak membawa kita ke sana. Kekristenan juga tidak membawa kita kepada satu penghayatan spirtualitas yang tidak bisa sakit hati lagi karena sudah sangat dewasa misalnya. Yang diajarkan Kekristenan adalah bagaimana kita merespons dalam hal ini, bagaimana kita berurusan dengan penghinaan, fitnah, dsb. Kalau Saudara membaca ayat 2, ini satu penyataan klasik; tapi dalam konteks orang yang kemuliaannya dinodai, dia berseru kepada Allah di dalam pengertian yang sangat khusus, yaitu “Allah yang membenarkan aku”, atau bahasa Inggrisnya, “O God of my righteousness” —Allah yang adalah kebenaranku, yang adalah keadilanku. Saudara, pengenalan yang limpah akan Allah, sangat penting. Bukan cuma satu macam pengenalan yang itu-itu terus, tapi ada pengenalan yang limpah, lalu dalam setiap kebutuhan, kita mengerti di bagian itu doktrin Allah-nya yang mana. Dalam Mazmur 2 ini, karena berkenaan dengan orang yang merasa diperlakukan tidak adil, yang kemuliaannya dinodai, maka dia berseru kepada Allah –yang satu itu, dan bukan banyak—di dalam perspektif Allah yang adalah keadilan kebenarannya. Pada saat-saat kita dihina, waktu kemuliaan kita dinodai, itu adalah saatnya kita bisa mengenal Allah yang adalah kebenaran dan keadilan kita, dengan lebih dalam.
Kekristenan adalah urusan relasi dengan Tuhan, bukan urusan penyelesaian masalah. Agama-agama atau kepercayaan-kepercayaan yang lain, di sana banyak orang pergi beribadah dengan motivasi supaya persoalannya diselesaikan. Allah jadi cuma semacam tambahan saja dalam kehidupan mereka, sementara hidupnya sebetulnya berpusat pada diri sendiri, hidupnya adalah untuk dirinya sendiri. Kekristenan bukan itu; kalau Saudara mengharapkan Kekristenan seperti itu, pasti Saudara kecewa. Kekristenan akan membawa kita untuk menyangkal diri, kemudian kita bisa mengenal Allah dan mengikut Allah. Tapi Allah juga bukan Allah yang tidak memedulikan dan tidak mau tahu sama sekali persoalan-persoalan kita; yang dimaksud di sini adalah bagaimana dalam hidup kita ini, melalui kejadian-kejadian penghinaan seperti itu kita semakin mengenal Allah. Ini termasuk juga melalui pengalaman difitnah, melalui kemuliaan/dignitas kita dinodai, melalui reputasi kita dirusak, dsb. Di sini kita belajar untuk mencukupkan diri bahwa Allah-lah yang benar-benar keadilan itu, dan kita tidak bisa mengharapkan dari manusia.
Pemazmur di bagian ini selain berbicara kepada orang lain, dia juga sedang berkotbah kepada dirinya sendiri. Kalimat di ayat 4, “Ketahuilah, bahwa TUHAN telah memilih bagi-Nya seorang yang dikasihi-Nya”, kata ‘Nya’ memakai huruf besar, maksudnya Mesias/Yesus Kristus. Memang itu tidak salah, dan kita tahu penggenapannya di dalam Yesus, tapi sebetulnya ada keindahan tersendiri kalau kita mengerti sebagai ‘nya’ (huruf kecil), dalam pengertian yang bisa dihayati untuk kita sendiri –bukan dalam pengertian ge-er. Pembacaan seperti ini penting, karena di kitab Mazmur, kitab Yesaya, dsb., banyak ayat-ayat yang menunjuk kepada penggenapan mesianik, tetapi dalam penulisan pada saat itu, pemazmurnya sendiri menempatkan diri juga di sana; bukan dalam pengertian ‘jadi lu sendiri yang mesias??’, melainkan bahwa janji tersebut adalah untuk dirinya juga. “TUHAN telah memilih bagi-Nya seorang yang dikasihi-Nya”;di dalam Kristus, kita juga anak-anak yang dikasihi; di dalam Kristus, Tuhan juga memilih kita. Memang betul yang dipilih adalah Kristus, Kristus juga yang dikasihi, Kristus adalah The Only Begotten Son yang kepada-Nya Allah berkenan, tapi di dalam Kristus kita juga berbagian dalam cerita ini.
Dalam saat-saat ketika kemuliaan kita dinodai, kita sangat rentan akan kebutuhan cinta kasih. Di dalam keadaan seperti itu, kita seperti dicampakkan dari dunia, dibuang oleh manusia, tapi Tuhan memilih kita. Menghayati doktrin Pilihan justru dalam keadaan yang sulit, ini pas. Dalam sejarah teologi, ketika Calvin mengajarkan doktrin Predestinasi, orang-orang di Jenewa sedang berada dalam keadaan yang sangat tidak aman, dalam konteks yang tidak mapan. Dalam keadaan seperti itu, menghayati doktrin Pilihan betul-betul sangat menghibur. Sebaliknya kalau kita sedang “di atas” lalu menghayati ‘kita ini orang pilihan’, nada bicaranya pun sudah lain; “memang kita ini orang yang lain daripada yang lain! the chosen community!” –ada bau-bau kecongkakan. Kita belajar Alkitab, belajar doktrin, belajar teologi, itu bukanlah tanpa konteks. Kalau Saudara membaca Injil Yohanes, ada juga konsep Predestinasi/ doktrin Pilihan tapi dalam konteks penganiayaan, bahwa mereka tidak bisa direbut oleh serigala dsb., karena orang pilihan –itu konteksnya. Demikian juga kita membaca di sini, pemazmur terhibur waktu dia meyakinkan dirinya, “ketahuilah, TUHAN telah memilih bagi-Nya seorang yang dikasihi-Nya”, dalam keadaan/konteks kemuliaannya sedang dinodai.
Ada tafsiran yang menafsir bagian ini sebagai seseorang yang sedang bicara kepada musuhnya. Sampai sekarang saya masih sulit memahami tafsiran tersebut. Waktu saya merenungkan bagian ini, saya cenderung berpendapat bahwa ini adalah kotbah kepada diri sendiri, atau satu perkataan yang diucapkan untuk mengajar orang-orang lain setelah peristiwanya selesai terjadi, sehingga orang-orang tersebut bisa belajar bagaimana berespons waktu kemuliaannya dinodai melalui nasehat di bagian ini. Bagi saya, sulit menerima bahwa kalimat ini untuk orang yang sedang menodai si pemazmur. Saya tidak mau memutlakkan bahwa tafsiran yang mengatakan berbicara kepada musuh itu pasti salah, tapi setidaknya sampai hari ini sulit menerima pengertian tafsiran tersebut, sementara memahaminya sebagai perkataan untuk diri pemazmur sendiri nampaknya lebih mudah dipahami. Maksudnya, dalam keadaan kita dinodai, kita jadi kepingin marah; dan Alkitab mengatakan ‘kamu boleh marah’. Tuhan tidak mengatakan ‘pokoknya kamu sakit, harus tahan, tutup mulut, jangan keluar kalimat apapun’; yang Tuhan katakan “Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa” (ayat 5a).
Orang pada waktu marah, dia rentan berbuat dosa. Kalau kita membiarkan kemarahan itu menguasai kehidupan kita, akhirnya kita jatuh ke dalam dosa ini, dosa itu, dsb. Alkitab bukan mengajarkan supaya kita tidak ada ekspresi sama sekali; silakan berekspresi tapi jangan berbuat dosa. Anak-anak juga bisa marah, tapi saya paling sebal kalau anak-anak marah dan mulai banting-banting barang. Ini kacau. Saya mendidik anak-anak saya, “Kamu boleh marah, boleh kesal, silakan marah, tapi tidak usah pakai banting-banting barang.” Saya tidak sempurna dalam mendidik anak, tapi Tuhan, waktu Dia mendidik manusia, Dia sempurna dalam pendidikannya. Ayat ini mengatakan, “Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa, berkata-katalah dalam hatimu di tempat tidurmu, tetapi tetaplah diam”. Maksudnya, hal ini adalah sesuatu yang kita boleh ekspresikan di hadapan Tuhan, dan Tuhan mendengar, tapi hendaknya kita tetap diam. Terjemahan bahasa Inggris bagian ini: “ponder in your own hearts on your beds, and be silent” –yang artinya ‘silakan merenung (berkata-kata dalam hati) di tempat tidurmu, tapi tetaplah diam’. Dalam keadaan marah, kalau kita gagal diam, akan banyak keadaan destruktif yang bisa terjadi dari kemarahan itu.
Bukan hanya diam, ayat ini dilanjutkan dengan “Persembahkanlah korban yang benar, dan percayalah kepada TUHAN” (ayat 6); dalam bahasa Inggris: “Offer right sacrifices, and put your trust in the Lord.” Ini benar-benar radikal; Saudara sudah dinodai, sudah difitnah, masih disuruh persembahan pula. Kalau Saudara sedang dalam keadaan di bawah, lalu Alkitab bilang “persembahkanlah korban yang benar”, wah, bagaimana rasanya, diam saja susah malah disuruh kasih persembahan?? Tapi inilah pencobaan waktu kita dinodai, ditipu, difitnah, yaitu kita berhenti beribadah, kita berhenti menyembah Tuhan lalu mulai menyembah perasaan sendiri yang sakit. Kalimat ini adalah kalimat yang radikal karena ini betul-betul obat yang paling mujarab, “jangan menyembah perasanmu, jangan dikuasai perasaan amarahmu, tapi beribadahlah kepada Tuhan, berkorbanlah bagi Tuhan”.
Di dalam dunia ini, dalam psikologi –dan mungkin juga dalam konseling pastoral yang bisa dikatakan injili tapi kurang reformed—orang membicarakan bahwa problem manusia adalah karena manusia merasa hidup tidak secure, maka dia perlu security, yang bagi orang Kristen itu adalah Tuhan; atau manusia itu kesepian, dan jawaban Kristen-nya “Yesus adalah sahabat sejati”; atau manusia merasa kurang dikasihi, kurang dihargai, lalu jawaban Kristen-nya “Tuhan mengasihi kita”. Tetapi kalau Saudara tanya dalam konseling pastoral Reformed, ‘problem manusia itu di mana persoalannya’, maka jawabannya: persoalannya adalah karena manusia tidak mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap kekuatan, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap akal budinya. Itulah persoalannya. Dan, Saudara tidak senang dengar jawaban seperti ini; saya sudah jatuh, malah disalahin pula, harusnya dirangkul, bilang ‘Tuhan mengasihimu’. Tapi, sekali lagi, problem manusia yang terdalam adalah karena manusia tidak mau beribadah dengan benar kepada Tuhan. Dia tidak mengasihi Tuhan dengan sepenuh hatinya, maka dalam kehidupannya ada begitu banyak berhala, dan itu menimbulkan begitu banyak problem. Itu sebabnya kalimat dalam mazmur ini seperti agak sadis, inilah treatment-nya Tuhan terhadap orang yang sakit hati; tapi ini justru yang menyembuhkan kita. Tuhan bukan berlama-lama dan bilang “O, ya, kamu sakit, Saya mengerti kamu sakit” –mutar di urusan sakit terus.
Coba Saudara perhatikan, waktu Ayub jatuh bangkrut dan anak-anaknya mati, dalam keadaan seperti itu apa yang dilakukan Tuhan kepada Ayub? Tuhan bukan bilang, “Iya, ya, kamu susah sekali, Saya mengerti, mari Saya rangkul kamu karena hidupmu kelihatannya menderita sekali, Saya mengerti kamu”. Tidak ada bagian itu di kitab Ayub! Jawaban Tuhan kepada Ayub adalah Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya. Ayub diajak keluar untuk melihat kemuliaan Tuhan. Berhenti mengasihani diri, keluar, lihat kemuliaan Tuhan! Ayub diajak melihat binatang-binatang yang diciptakan Tuhan, melihat bintang, bulan, dsb., dan Tuhan malah menantang Ayub, “Waktu Saya menciptakan, kamu ada di mana?” Saya sampai sekarang belum berani konseling orang dengan cara Tuhan kayak begini, saya kuatir kalau orang itu bunuh diri; tapi paling tidak saya masih berani mengkotbahkannya karena kotbah tidak langsung berurusan secara personal, saya mengkotbahkan prinsip di sini. Dalam hal ini, kita memang musti refleksi diri di hadapan Firman, bahwa dalam keadaan seperti itu kehormatan dipulihkan, dan yang memulihkan adalah Tuhan sendiri.
Orang yang dalam keadaan kemuliaannya dinodai, dia bisa sampai tidak dapat tidur. Tetapi dikatakan di mazmur ini, dia akhirnya bisa dengan tenteram membaringkan diri lalu tidur (ayat 9). Mengapa? Karena dia mendapatkan sukacita yang dari Tuhan; cahaya wajah Tuhan yang menyinari, bagi pemazmur lebih menarik daripada kelimpahan gandum dan anggur (ayat 8). Maksudnya, sukacita yang dari Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan kelimpahan materi. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli, bahkan dengan gandum dan anggur. Istilah ‘anggur’ ini bicara tentang sukacita, tapi kelimpahan sukacita yang dari dunia tetap tidak bisa dibandingkan dengan sukacita yang dari Tuhan. Jadi, bagaimana waktu kita dalam kehidupan ini bergumul dengan persoalan kehormatan, merasa hidup tidak dihargai, dst.? Pemazmur mengajak kita untuk mencarinya dari Tuhan, dan kita akan mendapatkan kepuasan.
Perspektif yang terakhir: Yesus itu mati di atas kayu salib, Dia kehilangan semua kehormatan. Dia adalah The Lord of Glory, Tuhan segala kemuliaan, tapi di sana Dia dihina, ditelanjangi, dipermalukan, karena Dia mau memberikan kehormatan itu kepada kita yang Dia kasihi. Sama seperti dosa-dosa kita dilempar ke atas kayu salib dan Dia melempar kebenaran-Nya kepada kita, demikian pula kehinaan kita, noda-noda kita, dilempar ke atas kayu salib dan kemuliaan Kristus dilempar kepada kita. Itu sebabnya kita sebagai orang percaya tidak usah mengejar kehormatan lagi, karena Kristus sudah memberikan kehormatan-Nya kepada kita dengan cara Dia dihina seperti itu. Kita orang Timur yang terlalu peka akan penghinaan-penghinaan, jadi seperti tidak percaya salib Kristus. Kristus mati di atas kayu salib, Dia sudah mengaruniakan kemuliaan dan hormat. Itu diberikan kepada kita, sembari kita melempar kehinaan kita sebagai orang-orang berdosa.
Ketika kita dibebaskan dari pertanyaan-pertanyaan tentang kehormatan, tentang diginitas, dsb., di situ barulah kita bisa melayani Tuhan dengan bebas. Harap dalam kehidupan ini kita berhenti dari pergumulan-pergumulan soal merasa kurang dihormati, merasa orang buang muka kepada kita, dsb. Kalau bagian itu tidak berhenti, kita tidak ada kekuatan untuk mencintai Tuhan, bahkan jangan-jangan dalam pelayanan pun, kita masih mencari kehormatan itu karena kita masih gila hormat. Tetapi kalau kita sudah mendapatkannya di dalam Kristus, Alkitab mengatakan “sekarang saya bisa tidur nyenyak”. Tidur adalah gambaran orang yang restful/tenang, ada peristirahatan, bukan restless/gelisah. Orang kalau sudah menyerahkan kemuliaannya di dalam tangan Tuhan, dia hidupnya restful, ada ketenangan –sebagaimana di bagian ini ada istilah ‘tidur’.
Kiranya Tuhan menolong kita untuk bisa menikmati kehidupan seperti yang ditawarkan Kristus, “Marilah datang kepada-Ku, kamu sekalian yang berbeban berat, yang restless, karena Aku akan memberikan kepadamu kelegaan, istirahat.”
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading