Kita melanjutkan rangkaian pembahasan kehidupan Daud, yaitu 5 kisah yang kita mau lihat bersamaan mengenai tahun-tahun kehidupan Daud di padang belantara. Kisah yang pertama: Daud di Nob (21: 1-9). Kisah yang kedua: Daud di kota Gat (kampung halamannya Goliat), tempat Daud bertemu Akhis, raja Filistin (21: 10-15). Cerita yang ketiga: Daud di Gua Adulam (22: 1-2). Cerita yang keempat: Daud di Moab, kota Mizpa (22: 3-5). Cerita yang kelima adalah cerita yang berhubungan dengan kisah yang pertama tadi (22: 6, 16-20).
Saudara, pasal 21-22 ini bicara tentang apa sebenarnya? Kalau kita melihat cerita yang pertama, di situ Daud ‘ngarang bahwa dia punya misi dari Saul, lalu dia minta roti dan senjata, lalu akhirnya Ahimelekh memberikan roti sajian kepadanya, juga pedang Goliat. Cerita ini nantinya dilanjutkan dalam cerita yang kelima. Lalu apa kira-kira tema yang langsung muncul di sini? Biasanya, yang kita permasalahkan perkataan Daud kepada Ahimelekh ini bohong atau tidak, dosa atau bukan, seberapa jauh ‘tipu-tipu’ seperti ini boleh ada dalam kehidupan Kristen. Dan soal “kebohongan” ini menarik karena bukan cuma di kisah pertama, tapi juga muncul di kisah kedua ketika Daud berpura-pura gila. Beberapa tafsiran menyoroti hal ini, dan mengatakan bahwa kebohongan Daud yang pertama itu dilakukan kepada imam Tuhan, jadi harusnya tidak boleh, dan oleh sebab itu berakhir tragis –Imam Ahimelekh mati dibantai; sedangkan kepada Akhis –dia itu orang jahat—jadi boleh.
Jadi banyak tafsiran berusaha memfokuskan pada isu moralitas, kebohongan Daud ini boleh atau tidak boleh, dan di mana tempatnya dalam kehidupan Kristen. Pertanyaannya: benarkah tema tersebut yang mau dibahas penulis Kitab Samuel? Saya rasa jawabannya: Tidak. Mengapa? Karena kita melihat ada struktur yang menarik dalam kisah-kisah ini; cerita pertama berhubungan dengan kisah ke-5, sementara di tengah-tengahnya ada 3 episode yang sepertinya tidak berhubungan. Dengan demikian, kita mengerti bahwa ini satu struktur yang disengaja supaya kita tidak memenggal cerita-cerita tersebut satu demi satu lalu memikirkan apa perenungannya, dsb., melainkan supaya kita melihat seluruh 5 kisah ini bersamaan secara keseluruhan. Kalau kita melakukan ini, kita akan mendapatkan gambaran yang jauh lebih dalam daripada sekedar isu moralitas, kebohongan, dsb.
Kita juga bisa setuju bahwa isu mengenai kebohongan/ kejujuran tidak cukup meyakinkan sebagai tema utama dari rangkaian 5 kisah ini, karena isu tersebut tidak muncul di semua tempat. Seorang story teller yang baik memang bisa saja menceritakan 5 kisah berbeda, tapi pastinya ada satu benang merah yang menyatukan semuanya. Dan di sini, memang sepertinya ada benang merah tersebut, tapi sudah pasti bukan tentang kebohongan karena itu cuma muncul di 2 cerita pertama, tidak muncul dalam kisah ke-3, ke-4, dan ke-5. Seandainya di semua kisah tersebut Daud melakukan tipu-menipu, kita bisa cukup yakin bahwa bagian ini bicara mengenai kebohongan. Lagipula, dalam 2 cerita yang pertama tadi pun kita melihat bahwa fokusnya bukan soal tipu-menipu itu; tidak ada dibahas bahwa Ahimelekh curiga Daud menipu, yang ada adalah tentang Ahimelekh memberi roti sajian, pedang Goliat, dsb. Jadi, kalau kita melihat secara keseluruhan, benang merahnya bukanlah tentang Daud menipu, tapi tentang Daud mendapatkan dukungan dan kesuksesan, ke mana pun dia pergi. Kita akan melihat ini sedikit demi sedikit.
Waktu dulu Daud melawan Goliat, dia cuma seorang anak gembala yang tidak terkenal. Saul bertanya kepada dia, “Kamu anak siapa?” Daud menjawab, “Saya anak Isai.” Setelah Daud menang melawan Goliat, Saul kembali bertanya hal yang sama, “Itu anak siapa?” Jadi Daud ini cuma seorang anak gembala picisan, tidak ada orang yang tahu siapa dia. Tapi di bagian ini kita meihat keadaannya sudah berubah. Daud begitu terkenal sehingga waktu dia datang kepada Ahimelekh, imam itu langsung mengenali dirinya dan dia gemetar. Lebih lucu lagi, waktu Daud sampai ke Gat, dia langsung dikenali oleh orang-orang di kota Gat dan pegawai-pegawai Akhis, raja Filistin. Mereka mengenali dia sebagai apa? Logikanya, kalau Daud terkenal di Gat, dia terkenal sebagai orang yang mengalahkan Goliat, karena Goliat dari Gat. Tapi waktu pegawai-pegawai Akhis mengenali Daud, yang mereka katakan adalah: “Bukankah dia ini raja Israel?” Jadi waktu Daud ke Filistin –tanah musuh– bahkan dari mulut musuhnya keluar pengakuan tersebut. Kalau Ahimelekh mengenali Daud, itu cukup lumrah. Tapi di sini pegawai-pegawai Akhis tahu mengenai Daud, bukan sebagai pembunuh Goliat, melainkan sebagai raja Israel. Tambahan lagi, mereka bahkan tahu lagu yang dinyanyikan para wanita di pasal 18, yang membuat Saul sampai iri itu. Jadi ada pengakuan/ dukungan dari Ahimelekh, bahkan juga dari mulut musuh.
Dalam kisah berikutnya, di Gua Adulam, kita melihat tema tentang ‘dukungan’ kembali muncul. Pertama-tama dari saudara-saudara Daud; dikatakan di pasal 22: 1 bahwa saudara-saudaranya datang menemui dia. Ini penting sekali, karena kalau kita kembali ke pasal-pasal sebelumnya, dikatakan bahwa Daud itu anak ke-8, anak yang tidak masuk hitungan karena angka bagus adalah angka 7. Lalu waktu Daud datang mau melawan Goliat, kakak-kakaknya mengatakan, “Lu mau ngabur dari tugas, kan? Lu mau nonton, kan?” Sementara di bagian ini, dikatakan bahwa keluarganya datang mendapatkan dia, artinya keluarganya mendukung dia. Kembali lagi kita lihat tema ‘dukungan’ di sini.
Bukan cuma itu, di ayat 2 dikatakan ‘Berhimpunlah juga kepadanya setiap orang yang dalam kesukaran, setiap orang yang dikejar-kejar tukang piutang, setiap orang yang sakit hati, maka ia menjadi pemimpin mereka. Bersama-sama dengan dia ada kira-kira empat ratus orang.’ Kita lihat di sini, betapa Daud begitu magnetik. Di awal kisah, dia datang seorang diri kepada Ahimelekh, lalu sampai di pasal 22 sudah ada 400 orang.
Tema ini berlanjut dalam kisah berikutnya, waktu Daud pergi ke Moab. Daud ke Moab dengan tujuan mencari tempat aman bagi orangtuanya, karena keluarganya sekarang bersama-sama dengan dia, dan orangtuanya tentu tidak sanggup hidup sebagai buronan. Daud pergi kepada raja tetangga, yaitu raja Moab (bisa jadi karena buyutnya Daud adalah Rut, orang Moab). Dan sekali lagi kita lihat di sini ada dukungan, orangtua Daud diberikan tempat tinggal di Moab.
Jadi, dukungan kepada Daud berasal dari golongan imam (Ahimelekh), dari pengakuan mulut musuh, dari keluarganya, dari 400 orang yang terbuang (kaum marjinal), dari raja Moab, dan di bagian terakhir yaitu ketika di Mizpa Daud mengikuti perintah Gad, seorang nabi. Pendeknya, kalau Saudara melihat cerita-cerita ini bersamaan, dan bahwa itu disengaja oleh penulisnya, Saudara akan mendapatkan fokus utama cerita ini adalah: bahwa Daud –meskipun dia seorang buronan– memiliki banyak sekali dukungan, dari orang-orang yang berbeda, dan dari tempat-tempat yang berbeda. Dari golongan imam maupun nabi, dari golongan kawan maupun lawan, dari golongan Israel maupun Moab.
Sampai di sini, apakah tepat kalau kita masuk ke bagian Alkitab seperti ini lalu mencari-cari jawaban soal moralitas, kebohongan, tipu-menipu, dsb.? Dalam Alkitab bukan tidak ada bagian yang bicara mengenai kebohongan, dsb., itu pasti ada. Tetapi, bagian ini bukan terutama bicara tentang hal tersebut. Kalaupun Saudara mau melihat hal tersebut, Saudara harus rela lebih dulu melihat apa yang Alkitab benar-benar mau katakan lebih dulu di bagian ini. Di sini kembali saya mau mengatakan, bahwa panggilan Gereja bukanlah cuma ‘membaca Alkitab’, tetapi juga belajar ‘bagaimana membaca Alkitab dengan benar’. Menjadi orang Kristen tidak cukup sekedar membaca Alkitab secara pribadi, tapi tidak pernah belajar bagaimana membacanya dengan benar sesuai tujuan dari Alkitab itu sendiri, karena itu membuat Saudara melenceng atau cuma mendapatkan secuil dari yang Alkitab mau berikan.
Kita cenderung melakukan kesalahan seperti itu ketika datang kepada Alkitab, sedikit banyak ada hubungannya dengan hidup di zaman smartphone. Kita suka smartphone karena benda ini bisa melakukan apa saja; bisa untuk WA, SMS, internet, juga bisa digunakan untuk kotbah, bisa merekam suara, bisa untuk menelpon, dan seterusnya. Dan lagi sekarang ada ‘app’, sehingga waktu kita menggunakan smartphone ini, kita tidak perlu dikunci oleh tujuan awal si pencipta smartphone. Seorang penulis app bisa membuat apapun yang dia mau, dan dengan app bisa membawa smartphone ini melakukan fungsi-fungsi yang tidak pernah terpikir oleh si pencipta smartphone. Pendeknya, kita suka smartphone karena bisa segalanya. Alkitab bukanlah smartphone. Alkitab ditulis dengan tujuan tertentu, dengan gaya bahasa yang tertentu. Saudara tidak bisa sembarangan datang kepada Alkitab lalu mengharapkan Alkitab akan berbicara kepada Saudara atas seluruh situasi sebagaimana Saudara mau. Itu bukan semangat orang yang mau kembali kepada Alkitab. Maka kalau Saudara meng-amini panggilan sebagai orang yang kembali kepada Alkitab, Saudara tidak pernah hanya belajar isi Alkitab, tapi Saudara harus rela belajar cara membaca Alkitab.
Kembali dalam pembahasan kita. Kita sudah melihat lewat 4 kisah tadi, ada fokus yang lebih dalam daripada sekedar isu moralitas yaitu tentang kesuksesan Daud; meskipun dia buronan, dia mendapatkan dukungan di mana-mana bahkan juga mendapatkan pengakuan dari mulut musuhnya. Dan melalui kisah yang ke-5 kita akan melihat lebih dalam lagi, bahwa hal yang Alkitab beritahu mengenai Daud ini, mau dikontraskan dengan Saul. Pertama-tama kita melihatnya dari pasal 22: 6-8. Di bagian ini, Saul sedang bersama dengan para pegawainya; dan di sini penulis Alkitab menghadirkan kontras antara diri Daud dengan Saul.
Pasal 22: 6 Hal itu terdengar oleh Saul, sebab Daud dan orang-orang yang bersama-sama dengan dia telah diketahui tempatnya. Adapun Saul ada di Gibea, sedang duduk di bawah pohon tamariska di bukit, dengan tombaknya di tangan dan semua pegawainya berdiri di dekatnya. Kontras yang pertama adalah urusan senjata. Saudara coba lihat bagaimana Alkitab menggambarkan diri Saul di sini. Saul digambarkan sedang berada di Gibea, yaitu markas besarnya; dia sedang bawah pohon tamariska, maksudnya takhta; dan di tangannya ada tombak. Sekarang perhatikan waktu Daud datang kepada Akhimelek, kata Daud kepadanya: "Tidak adakah padamu di sini tombak atau pedang? Sebab baik pedangku maupun senjataku, tidak dapat kubawa, karena perintah raja itu mendesak" (21:8). Inilah kontras yang pertama: pada Daud tidak ada tombak, roti pun tidak ada; sedangkan Saul tidak pernah jauh dari tombaknya, ke mana pun Saul berada, tombaknya mengikuti. Di bagian lain, waktu Saul mendengar Daud main kecapi, tiba-tiba tombaknya melayang, berarti tombaknya ada dekat dia. Di pasal 20, Saul juga menombak Yonatan, dan itu terjadi dalam suatu acara perayaan makan-makan yang besar. Jadi ini orang selalu membawa tombaknya ke mana pun dia pergi.
Selanjutnya kita melihat pasal 22: 7-8 Lalu berkatalah Saul kepada para pegawainya yang berdiri di dekatnya: "Cobalah dengar, ya orang-orang Benyamin! Apakah anak Isai itu juga akan memberikan kepada kamu sekalian ladang dan kebun anggur, apakah ia akan mengangkat kamu sekalian menjadi kepala atas pasukan seribu dan atas pasukan seratus, sehingga kamu sekalian mengadakan persepakatan melawan aku dan tidak ada seorangpun yang menyatakan kepadaku, bahwa anakku mengikat diri dengan anak Isai itu? Tidak ada seorangpun dari kamu yang cemas karena aku, atau yang menyatakan kepadaku, bahwa anakku telah menghasut pegawaiku [maksudnya Daud] melawan aku menjadi penghadang seperti sekarang ini." Dalam percakapan ini, pada dasarnya Saul menuduh pegawai-pegawainya mengkhianati dia.
Pertama-tama kita akan melihat siapa sebenarnya pegawai-pegawai Saul. Di ayat 7 dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang Benyamin. Mengapa pegawai seorang raja Israel cuma orang-orang Benyamin? Karena dalam zaman permulaan Kerajaan Israel, yaitu zaman Saul, kedua-belas suku tidak sebegitu cepatnya bersatu. Memang Saul raja atas 12 suku tersebut, tapi itu baru nyata ketika perang. Dalam perang, semua suku-suku akan membawa tentaranya untuk bersama-sama melawan musuh. Sedangkan dalam keadaan sehari-hari, secara praktis kekuasaan Saul hanya di Gibea, di daerah suku Benyamin, karena Saul memang suku Benyamin. Maka tidak heran kalau pegawai-pegawai terdekatnya adalah orang-orang sesama suku Benyamin. Tapi jika memang demikian, maka tuduhan Saul sama sekali tidak masuk akal. Karena seandainya pegawai-pegawainya memihak Daud, itu berarti mereka bukan cuma berkhianat terhadap Saul tapi juga terhadap sukunya sendiri. Ini hal yang hampir tidak mungkin di saat antara kedua belas suku pun ada ketegangan. Ini masalah harga diri kesukuan, bukan cuma masalah informasi atau harta atau apapun lainnya. Dan kalau di antara 12 suku tadi pindah-pindah saja hampir tidak mungkin, apalagi kalau dari suku Benyamin yang pindah memihak suku lain. Di Kitab Hakim-hakim, persis sebelum zaman Samuel, ada kisah tentang suku Benyamin yang hampir dimusnahkan oleh semua suku yang lain, hanya disisakan sedikit –khususnya oleh suku Yehuda, sukunya Daud—karena suku Benyamin melakukan kejahatan, memperkosa, dsb. Oleh sebab itu, suku Benyamin adalah suku yang terkecil dan suku buangan. Seandainya Saudara suku Yehuda, lalu mau menyeberang ke suku Ruben, itu mungkin masih bisa. Tapi kalau Saudara dari suku Benyamin, lalu mau menyeberang ke suku Yehuda, tidak bakal ada yang mau menerima. Maka tuduhan Saul tidak masuk akal sama sekali.
Lebih lanjut, di ayat 8 kita lihat bukan saja tuduhannya tidak masuk akal, tapi isi dari tuduhannya juga. Saul mengatakan bahwa pegawai-pegawainya tidak memberikan dia informasi. Informasi apa? Informasi bahwa Yonatan menghasut si anak Isai itu, Daud, sehingga Daud menghadang Saul. Ini berarti dalam pikiran Saul, aktor intelektual dari semua yang terjadi adalah Yonatan. Seandainya Saul berpikir yang melakukan adalah Daud, itu masih mungkin; tapi Saul berpikir bahwa anaknya sendiri yang jadi biang keroknya, yang jadi bos atas Daud. Sangat tidak masuk akal. Dapat Saudara bayangkan, bagaimana perasaan pegawai-pegawainya dalam keadaan seperti ini. Ini seperti kalau Saudara dimarahin bos, bos ngamuk-ngamuk, tapi semua yang dikatakan ‘gak nyambung dengan realita. Dalam keadaan seperti itu, ada awkward silence, diam salah, bicara pun salah, karena orang ini sudah tidak sehat sama sekali melihatnya, paranoia luar biasa, salah mengerti, dan sudah tidak bisa diajak bicara.
Maka dalam bagian ini kita melihat kontras yang kedua. Di awal 5 kisah, Daud sendirian; di akhir kisah dia punya 400 orang, dia mendapat dukungan di mana-mana. Di awal kisah ke-5 ini, Saul duduk di takhtanya, di markas besarnya, dikelilingi pegawai-pegawainya yang boleh dibilang kesetiaannya hampir-hampir tidak akan berubah, tapi waktu Saul melihat mereka, dia hanya bisa melihat “musuh”. Dengan kata lain, kontrasnya adalah: seorang Daud, di mulut musuh sesungguhnya (orang Filistin), muncul pengakuan; sedangkan seorang Saul, di antara orang-orang yang adalah pendukungnya, dia hanya bisa melihat musuh.
Sekarang kita akan melihat kontras yang ketiga. Di ayat 7 Saul melontarkan tuduhannya dengan mengatakan: “… Apakah anak Isai itu juga akan memberikan kepada kamu sekalian ladang dan kebun anggur, apakah ia akan mengangkat kamu sekalian menjadi kepala atas pasukan seribu dan atas pasukan seratus, … .” Saudara lihat cara berpikir Saul di sini, dia kira kesetiaan pegawai-pegawainya terletak pada masalah kekayaan. Dia kira orang-orang itu setia kepadanya karena dia selama ini sudah berjasa memberikan mereka ladang, kebun anggur, kekuasaan. Sedangkan Daud, waktu dikatakan ada orang-orang yang berhimpun kepadanya, itu justru adalah orang-orang yang dalam kesukaran, yang dikejar-kejar tukang piutang, yang sakit hati. Jadi kontras yang ketiga: bagi Saul, dia bisa membeli kesetiaan dengan harta kekayaan, dsb.; sedangkan Daud justru dikelilingi oleh orang-orang yang tidak ada harta, yang terbuang, yang tidak ada kuasa.
Ceritanya kemudian berlanjut. Di tengah-tengah kesunyian yang ringkih itu muncullah satu suara, bukan dari orang Benyamin, tapi dari seorang Edom bernama Doeg (yang sempat disebut dalam kisah Daud bersama Ahimelekh). Doeg ini orang Edom, berarti kemungkinan seorang tawanan perang yang dijadikan pembantunya Saul (di pasal 14 diceritakan tentang Saul menang melawan Edom). Doeg harusnya tahu, bahwa dalam permasalahan antar suku seperti ini, sebagai orang luar dia seharusnya diam. Tapi justru suara yang muncul adalah suaranya, karena dia punya satu info. Saudara lihat penggambaran Alkitab di sini, seakan-akan Doeg berpikir, ‘tadi Saul marah karena dia anggap pegawai-pegawainya –yang sudah diberi kekayaan, kebun, kuasa– tidak memberikan info; sekarang saya ada info, saya bisa dapat apa kira-kira atas info ini.’ Ayat 9-10 Lalu menjawablah Doeg, orang Edom itu, yang berdiri dekat para pegawai Saul, katanya: "Telah kulihat, bahwa anak Isai itu datang ke Nob, kepada Ahimelekh bin Ahitub. Ia menanyakan TUHAN bagi Daud dan memberikan bekal kepadanya; juga pedang Goliat, orang Filistin itu, diberikannya kepadanya."
Saul, orang yang super paranoia, begitu mendapat info seperti ini langsung memanggil Ahimelekh untuk disidang. Kalimat Saul di ayat 13 menarik karena muncul lagi kata ‘persepakatan’. Kata ini begitu dekat di bibir Saul dan muncul di mana-mana, katanya: "Mengapa kamu mengadakan persepakatan melawan aku, engkau dengan anak Isai itu, dengan memberikan roti dan pedang kepadanya, menanyakan Allah baginya, sehingga ia bangkit melawan aku menjadi penghadang seperti sekarang ini?" Ahimelekh berusaha membela diri, tapi singkat cerita, tidak ada harapan. Di depan raja yang super paranoia seperti ini, nasib Ahimelekh sudah tamat sejak namanya muncul dari mulut Doeg. Di sini kita melihat kontras yang keempat: Daud itu dicatat bahwa dia pura-pura gila; sedangkan Saul benar-benar gila. Selanjutnya ayat 16 vonis Saul terhadap Ahimelekh: "Engkau mesti dibunuh, Ahimelekh, engkau dan seluruh keluargamu.“
Vonis itu dijatuhkan sangat cepat, tapi pelaksanaannya tidak bisa cepat. Saul menyuruh pegawai-pegawainya membunuh para imam itu, tapi mereka tidak mau, karena mereka tahu ini keputusan yang datang dari orang gila, vonis ini jelas salah. Mereka tidak berani melukai imamnya Yahweh, apalagi mereka tahu Ahimelekh tidak bersalah. Penolakan ini jadi ironis sekali bagi Saul karena tuduhan dia terhadap pegawai-pegawainya –tuduhan yang tadinya ngawur itu– sekarang jadi kenyataan. Saul menuduh orang-orang ini tidak mau taat kepadanya, tidak memihak dirinya, dan akhirnya semua itu jadi kenyataan –sekarang dia jadi raja yang benar-benar tidak ada kuasanya. Ini yang biasa disebut sebagai self-fulfilling prophecy. Semua yang terjadi atas Saul ini –sejak Roh Allah mundur daripadanya, kaburnya Daud, Yonatan marah, dan sekarang pegawai-pegawainya—adalah gara-gara Saul. Tapi Saul tidak bisa melihat hal itu sama sekali. Saul selalu melihat ini gara-gara orang lain, ‘ini salah kamu semua, ini gara-gara kalian’.
Dan dalam situasi seperti ini –sudah memberikan perintah namun tidak ada yang mau kerjakan—Saul tidak bisa mundur. Dia harus mencari orang yang akan menjalankan perintahnya. Dan di sinilah kembali Doeg, orang Edom itu, muncul, lalu 85 orang imam dibantai. Ayat 19 ‘Juga penduduk Nob, kota imam itu, dibunuh raja dengan mata pedang; laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak yang menyusu, pula lembu, keledai dan domba dibunuhnya dengan mata pedang’. Terjemahan di bagian ini sebenarnya tidak tepat, tapi juga sangat tepat. Tidak tepat karena dalam bahasa aslinya tidak ada kata ‘raja’, cuma kata ganti orang ketiga –Juga penduduk Nob, kota imam itu, dibunuhnya dengan mata pedang—sehingga kata ‘–nya’ di sini tentu mengacu kepada Doeg. Namun ini juga terjemahan yang sangat tepat karena Doeg melakukan atas perintah Saul, Doeg hanyalah perpanjangan tangan Saul, maka memang benar Raja Saul ini yang menghabisi penduduk Nob. Ini ironi yang kedua. Mengapa? Kita ingat di pasal 14 Saul ditolak Tuhan karena dia gagal memusnahkan bangsa Amalek sesuai perintah Tuhan. Saul menyisakan harta benda mereka, Saul menyisakan raja Amalek, dan Allah menolak dia. Sekarang Saul akhirnya benar-benar memusnahkan seluruh rakyat, tapi ironisnya itu adalah rakyat dari kota Nob, rakyatnya sendiri.
Kontras yang kelima dan terakhir, kita temukan ketika Abyatar, anak Ahimelekh, berhasil lolos dari Saul dan bertemu dengan Daud. Ayat 22, berkatalah Daud kepada Abyatar: "Memang pada hari itu juga ketika Doeg, orang Edom itu, ada di sana, aku telah tahu, bahwa pasti ia akan memberitahukannya kepada Saul. Akulah sebab utama dari pada kematian seluruh keluargamu. Kita tahu penyebab utama semua ini adalah Saul, dan sama sekali bukan Daud. Ketidak-taatan Saul-lah yang membuat Tuhan menolak dia. Kecurigaan Saul-lah yang membuat Daud harus kabur daripadanya. Kegilaan Saul-lah yang membuat pegawai-pegawainya tidak bisa menaati dia. Dan dalam semua itu, Saul sama sekali tidak mengakui andilnya, sebaliknya justru Daud yang mengatakan kepada Abyatar ‘akulah penyebab utama kematian seluruh keluargamu’. Ini kontras yang kelima dan terakhir.
Saudara, kita sudah melihat 5 kisah ini secara lebih luas dan lebih dalam. Ada cerita yang memperlihatkan Daud itu seorang diri, roti pun dia tidak punya; tapi di akhir pasal 22 Daud memiliki pasukan, dukungan dari imam maupun nabi, pengakuan raja tetangga maupun raja musuh. Karakter Daud dihadirkan sebagai seorang yang mampu memikul tanggung jawab dalam tragedi, yang jelas datang bukan terutama karena andilnya. Ini dikontraskan dengan Saul. Di awal kisah, Saul memiliki tombak di tangan, duduk di takhtanya, berada di markas dikelilingi pegawai-pegawainya; tapi di akhir kisah tidak ada apa-apa lagi kecuali paranoia. Nabi Samuel sudah lama meninggalkan dia. Kaum imam sudah tidak ada pada dia karena dia bantai semua. Kharisma pun dia sudah tidak punya. Jika kita mau melihat gambaran orang yang daripadanya Roh Allah telah mundur, inilah dia. Mengerikan sekali.
Kalau kita mau simpulkan, dalam bagian ini Alkitab mau memperlihatkan suatu ketegangan antara Daud yang seharusnya bertakhta tapi malah sedang buron, versus Saul yang harusnya lengser tapi malah sedang bertakhta. Apakah bagian ini bicara soal moralitas, bohong, tipu-menipu, boleh-tidak boleh, dosa-tidak dosa, dsb.?? Hati-hati kalau kita datang ke Alkitab, ke kotbah, ke Gereja, dan cuma itu yang kita cari. Sifat seperti ini bahaya sekali. Kalau Saudara datang ke Alkitab mau cari pedoman hidup, melihat ‘apa yang harus saya lakukan’, lalu Saudara pikir Alkitab itu mengenai diri Saudara, Saudara ge-er. Cara baca seperti itu, bukan cara baca Alkitab. Apa bedanya cara seperti itu dengan orang lain yang kita hina sebagai bukan Kristen karena datang ke Alkitab untuk cari kemakmuran dsb.?? Tidak ada bedanya. Prinsip datang kepada Alkitab, bukanlah kita yang membaca Alkitab melainkan Alkitab yang membaca kita.
Tapi tidak selesai sampai di sini, ada satu hal yang terakhir. Memang Alkitab bukan ditulis untuk menceritakan mengenai kita. Tapi Alkitab juga bukan terutama mengenai Daud atau Saul. Alkitab itu Firman Allah, dan berarti Alkitab itu mengenai Allah. Tadi kita melihat, ketika kita baca satu bagian secara terputus dari lainnya, kita jadi salah mengerti. Oleh karena itu kita melihat lebih luas, karena melihat lebih luas artinya lebih dalam. Waktu melihat lebih luas dalam 4 kisah, kita menemukan bahwa ternyata itu mengenai Daud. Waktu melihat lebih luas lagi dalam 5 kisah, kita menemukan bahwa ternyata mengenai kontras antara Saul dan Daud. Sekarang apa yang terjadi kalau kita bukan cuma melihat 5 kisah ini, tapi melihatnya di dalam seluruh kitab 1 Samuel?
Di Samuel pasal 2, Allah telah memberikan satu nubuat mengenai nasib keluarga Eli. Eli seorang imam yang tidak beres; anak-anak-nya pun, Hofni dan Pinehas, mati karena tidak beres. Nubuat kepada Eli tersebut paling sedikit mengatakan tentang 3 hal. Yang pertama: keluarga Eli akan dimusnahkan. Yang kedua: satu orang dari keluarga tersebut akan diluputkan, tapi toh nasibnya akan berakhir tragis; dikatakan dalam bahasa nubuatnya bahwa orang ini “akan membuat matamu rusak dan jiwamu merana” (ayat 33). Yang ketiga: Allah akan membangkitkan ke-imam-an yang baru, keimaman yang teguh setia. Saudara lihat bahwa 3 nubuat tersebut masing-masing berhubungan dengan satu raja Israel. Nubuat yang pertama berhubungan dengan raja pertama yaitu Saul. Saul yang akhirnya memusnahkan seluruh keluarga Imam Eli, dengan membantai semua imam di kota Nob, hanya Abyatar yang luput. Nubuat kedua digenapi oleh Daud, karena Daud yang menyelamatkan dan melindungi Abyatar. Dan yang ketiga, nasib Abyatar nantinya akan berakhir jelek karena di kemudian hari dia memihak Adonia, bukan Salomo. Salomo memecat Abyatar dan menjadikan Zadok sebagai Imam Besar yang baru. Jadi dari 3 nubuat tersebut, 2 nubuat digenapi di zaman ini (bagian yang kita baca tadi), dan 1 nubuat digenapi di zaman Salomo. Apa yang bisa kita tarik dari hal ini?
Kalau kita berhenti di pasal 21-22, kita bisa stres karena isi 2 pasal ini menunjukkan bahwa dunia terbalik. Kita melihat ada raja yang sesungguhnya, yang sudah diurapi Tuhan, dan dia malah jadi buronan. Kita juga melihat gambaran raja yang tidak pantas jadi raja, sudah ditolak Tuhan, tapi tetap bertakhta. Bukankah ini dunia terbalik?? Dan lihatlah efeknya, tragedi terjadi, satu kota jadi korban pembantaian. Itu yang kita lihat di pasal 21-22. Tapi, kalau Saudara melihat pasal ini di dalam seluruh kitab Samuel, dalam sejarah yang Tuhan tulis, apa yang Saudara lihat? Yang Saudara lihat adalah bahwa yang terjadi dalam pasal 21-22 semata-mata penggenapan nubuat Allah. Gambarannya jadi lain sekarang. Ini berarti Alkitab sedang mengatakan bahwa memang dunia sedang terbalik; dan jawaban atas pertanyaan ‘di manakah Allah’ adalah: Allah sedang bekerja. Ini mengagetkan kita.
Jangan lupa, waktu Alkitab mau menyatakan pekerjaan Allah, kadang-kadang itu dengan cara menutupi Allah. Dalam kitab Ester, di situ bukannya tidak ada Allah, tapi sengaja tidak menulis “Allah”. Namun kalau Saudara melihat kisahnya dari awal sampai akhir, Saudara mengetahui inilah tangan Allah. Kadang-kadang cara Alkitab memperlihatkan Allah dengan begitu dramatis, itu bukan pakai cara menghadirkan-Nya dengan terang melainkan justru dengan menutupi-Nya; dan di situlah kerja Allah dinyatakan. Contoh sederhana dalam film, misalnya ada orang sedang menodong pistol ke kepala seseorang dan siap menarik pelatuknya, lalu orang yang ditodong ketakutan. Itu menegangkan. Selanjutnya Saudara ingin menyaksikan apa? Pelatuk ditarik, “dooorrrr!!”, lalu kepalanya pecah berantakan, dsb.? Adegan seperti itu tentu saja bisa ada dampaknya bagi penonton, tapi kadang-kadang cara untuk membuat efek dramatis adalah justru dengan tidak memperlihatkan; ketika pelatuk ditarik, “dooorrrr!!”, layar langsung gelap, setelah itu terlihat tembok dengan cipratan darah. Itu lebih dramatis. Inilah cara Alkitab juga.
Waktu Alkitab menghadirkan Allah, tidak harus dengan cara yang cuma satu-satunya yaitu kelihatan Allah tiba-tiba turun dan berkata kepada Saul, “Saul, mampus lu! Daud, naik takhta!” Itu bukan cara Alkitab. Cara Alkitab kadang-kadang memperlihatkan adanya keterbalikan di dunia, dan di balik itu semua ternyata Allah sedang bertakhta, Allah sedang bekerja. Ini justru penghiburan yang luar biasa, penghiburan Alkitab. Waktu kota Dotan dikepung begitu banyak tentara musuh di zaman Nabi Elisa, dan bujang Elisa ketakutan, Elisa mengatakan: “Tuhan tolong supaya matanya terbuka.” Mata bujang itu lalu terbuka, ternyata ada begitu banyak tentara surga, ternyata luar biasa pekerjaan Tuhan. Tapi di kota yang sama, di Dotan, di tempat yang sama beberapa tahun sebelumnya, Yusuf datang dan di situ dia ditangkap saudara-saudaranya, dimasukkan ke lubang, lalu dijual kepada Potifar. Pertanyaannya: apakah Tuhan hanya bekerja di zaman Elisa? Tentu tidak. Justru Tuhan bekerja lebih dahsyat ketika Dia tidak kelihatan bekerja, yaitu di zaman Yusuf, karena lewat semua rangkaian ini akhirnya Yusuf mengatakan: “Kamu merancangkan ini semua untuk kejahatan, Tuhan mereka-rekannya bagi kebaikan, untuk menjamin keselamatan bagi sebuah bangsa”. Dan bukan saja sebuah bangsa, karena dari garis keturunan itu pun lahirlah Sang Mesias.
Saudara, kalau kita tidak belajar membaca Alkitab dengan benar, kita tidak akan pernah melihat hal-hal seperti ini, bahwa ada tangan Tuhan yang bekerja justru di saat-saat hal itu tersembunyi. Alkitab itu tidak pernah tutup mata atas realita dunia yang terbalik. Tapi Alkitab juga memberitahukan bahwa ada Allah yang bekerja; bukan cuma bekerja memutar-balik keterbalikan, tapi bahkan bekerja melalui dan di dalam keterbalikan itu. Itulah justru Allah yang berdaulat. Kalau kita melihat lagi nubuatan untuk Imam Eli, nubuat itu datang di pasal 2 ketika Samuel masih kecil, dan digenapi ketika Salomo naik menjadi raja, dia memecat Abyatar dan mengangkat Zadok jadi imam. Dan kita tahu bahwa Alkitab sangat sadar akan hal ini, karena di 1 Raja-raja 2: 27 dikatakan: ‘Lalu Salomo memecat Abyatar dari jabatannya sebagai imam TUHAN. Dengan demikian Salomo memenuhi firman TUHAN yang telah dikatakan-Nya di Silo mengenai keluarga Eli.’ Dan tahukah Saudara, sejak nubuat ini diberikan sampai kemudian digenapi, itu lamanya kira-kira 158 tahun –lebih panjang dari umur seseorang!
Mengapa hari ini kalau kita tidak melihat Tuhan bekerja, lalu kita anggap Dia tidak bekerja? Mengapa hari ini kita begitu pupus harapan waktu menghadapi situasi yang tidak enak? Saudara, Tuhan kita bukan Tuhan yang bekerja hanya dalam keberesan, tapi justru dalam keterbalikan seperti ini.
Kalau hari ini kita melihat dunia terbalik, biasanya ada 2 macam respons yang umum. Yang pertama biasanya dari golongan orang muda atau yang lebih idealis: “Tidak boleh dunia terbalik seperti ini. Kita akan membalikkan dunia! Kita akan mengubah dunia! Kita akan lakukan sesuatu!” Selanjutnya dalam perjuangan mereka, mungkin ada tanda-tanda bahwa itu berhasil, tapi toh waktu umur 30, 40, 50, atau 70, mereka akhirnya mengatakan: “Mengapa dunia masih tetap terbalik ya, saya sudah kerja begitu banyak… “, dan cuma berakhir dengan kematian, tergilas roda sejarah. Respons yang kedua biasanya dari golongan yang lebih tua, lebih banyak makan asam garam: “Ya sudah, terimalah. Buat apa harus seperti itu?”
Orang-orang golongan yang pertama ini tidak tentu yang jadi aktifis, tapi juga waktu seorang berpikir ‘tempat saya ini koq terbalik ya, sepertinya rumput tetangga lebih hijau’, lalu dia pindah –bisa pindah kerja, pindah istri, atau pindah apapun. Ternyata memang benar di tempat itu tidak terbalik, tapi setelah beberapa lama, sama saja. Lalu lihat rumput tetangga lain lagi yang lebih hijau, pindah lagi, lalu ujungnya sama saja dan sama saja, dan berakhirnya dengan kematian. Tetapi orang dengan pendekatan yang kedua juga tidak lebih baik, karena mereka menyerah kalah, “Dunia memang seperti ini, bukan terbalik tapi memang begini. Lu aja yang lihatnya terbalik, semakin cepat menerima dunia yang seperti ini, semakin mudahlah hidupmu.” Jalan seperti ini akhirnya juga berujung pada kematian, kematian yang pelan-pelan, karena membunuh harapan sama saja dengan bunuh diri.
Alkitab tidak seperti itu. Alkitab menghadirkan kepada kita dunia yang terbalik. Tapi Alkitab juga menghadirkan Seorang Allah, yang rencana-Nya tidak mungkin digagalkan oleh keterbalikan dunia. Allah yang kerap kali diperlihatkan bahwa rencana-Nya justru terjadi lewat dan melalui keterbalikan dunia. Allah jelas menolak Saul. Allah jelas mengurapi Daud. Allah jelas memperlihatkan di pasal 21-22 suatu gambaran keterbalikan, kontras yang tidak bisa lebih tajam lagi antara yang seharusnya memerintah dengan yang sedang memerintah. Ada keterbalikan yang menyedihkan dan berakhir dengan tragedi. Alkitab tidak memalingkan wajah dari fakta ini. Alkitab juga mengajarkan, di dalam keterbalikan dunia, jangan pernah pikir bahwa Allah tidak sedang bekerja. Allah ini bukan Allah yang hanya berdaulat membereskan keterbalikan, Allah ini adalah Allah yang berdaulat untuk bekerja di dalam keterbalikan. Dengan kata lain, kisah ini secara ultimat sedang mengatakan bahwa di atas itu semua, ada Allah yang memang seharusnya memerintah, dan juga Dia sedang memerintah.
Mengapa Tuhan tidak bekerja lewat kenyamanan, keindahan, kebenaran, kehidupan? Mengapa Tuhan bekerjanya lewat kesengsaraan, tragedi, keterbalikan, kematian? Seakan Tuhan enak saja cuma mengatur-atur di atas dan kita yang jadi korban. “Yang sengsara, yang kena tragedi, yang menderita lewat keterbalikan-keterbalikan itu kami; mengapa Tuhan, Engkau tidak bekerja lewat kenyamanan saja??” Kalau kita bertanya seperti ini, ironis, karena jadi persis Saul.
Mengapa ada keterbalikan dalam dunia? Karena kita, manusia, yang pertama kali memutar-balikkan yang indah, yang benar, yang tepat; kita mau jadi Allah, dan kita mau Allah jadi jonggosnya kita. Termasuk juga ketika kita menamakan diri orang-orang yang kembali ke Alkitab, tapi ketika datang kepada Alkitab ternyata hanya membaca apa yang kita mau baca, ketika datang ke Gereja kita hanya mendengar yang kita mau dengar, kalau bosan sedikit, kita main HP; kalau orang yang berkotbah tidak sekualitas pengkotbah yang kita mau, kita tidak datang. Sama seperti Saul, kita orang-orang yang hanya bisa menuduh, padahal semua andilnya ada di kita. Kita paranoia; kita mengatakan, “Saya menderita”, mengapa? “Karena bos saya yang menindas, karena bawahan saya tidak becus, karena istri saya bukan istri yang baik, karena suami saya brengsek, karena …, karena …, karena… .” Jawaban dari pertanyaan ‘mengapa dunia terbalik’ adalah karena manusia terlebih dahulu memutar-balik relasi dengan Allah, menempatkan dirinya di posisi Allah. Kalau kita tanya “mengapa Tuhan harus bekerja dalam keterbalikan?”, Tuhan akan tanya balik, “Lu tahu ‘gak itu sebenarnya gara-gara siapa?”
Tapi Tuhan tidak menjawab kita hanya dengan sebuah pengertian Firman, Dia menjawab dengan Firman yang hidup. Di dalam diri Kristus Yesus, Allah mengatakan: “Bukan cuma kamu yang menderita karena keterbalikan ini, Aku akan menelan keterbalikan ini. Dan keterbalikan yang Aku telan adalah keterbalikan yang kamu tidak mungkin cicipi, yang kamu tidak pernah lihat dan tidak bisa bayangkan”, yaitu ketika Allah menempatkan diri-Nya di tempat manusia. Itulah keterbalikan yang paling kacau. Dan Allah menerimanya. Allah melakukannya. Daud mengatakan “akulah sebab utama kematian keluargamu”, tapi ujungnya tidak ada yang mematikan dia karena memang bukan salah Daud. Sedangkan Kristus mengatakan “ini bukan salah Saya, bukan Saya penyebab utama keterbalikan, tapi Saya akan menanggungnya, bagimu”. Inilah yang Alkitab mau berikan kepada kita, tidak kurang dari diri Allah sendiri.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading