Ini Hari Pentakosta, kita akan merenungkan tentang Roh Kudus, mengikuti nats kotbah dalam gereja-gereja di Jerman (Losungen) yaitu dari 1 Kor 2: 6-16; LAI memberi judul “Hikmat yang Benar”.
Di dalam lingkaran kaum Injili, perenungan tentang “salib” biasanya sangat dipengaruhi orang-orang seperti Calvin; membicarakan teologi salib berarti bicara tentang penderitaan, penyangkalan diri, mengikut Kristus memikul salib. Sebenarnya bukan orisinal dari Calvin, melainkan Lukas –“barangsiapa mau mengikut Kristus, dia menyangkal dirinya, dia memikul salib setiap hari, dan dia mengikut Kristus.” Istilah “teologi salib” dimengerti dalam konteks panggilan kepada orang-orang Kristen untuk hidup menyangkal diri dan memikul salib, seperti Kristus yang sudah memikul salib untuk kita. Di sini ada persekutuan dengan Kristus (union with Christ), khususnya persekutuan di dalam penderitaan-Nya.
Sedangkan Luther dalam tulisannya tentang teologi salib, tidak membahas dari perspektif Lukas melainkan Surat Korintus (bagian yang kita baca hari ini, dan terutama di pasal 1), bahwa teologi salib berarti waktu kita melihat Yesus yang mati di atas kayu salib, itu berbenturan/ kontras dengan hikmat yang diajarkan dunia ini. Yesus mati di atas kayu salib, bagi orang-orang berhikmat itu seperti kebodohan. Bagi orang dunia, itu tanda kekalahan, bukan gambaran orang yang berkuasa dan menang, melainkan orang yang sangat lemah dan akhirnya mati, di-viktimisasi, jadi korban, dst. True strength dari perspektif Kristen adalah bicara tentang kerendahan hati dan kelemahlembutan; lemah lembut adalah kekuatan, bukan kelemahan. Namun dalam kehidupan kita sebagai orang percaya sekalipun, kita bisa tidak mengerti prinsip ini, karena kita tidak menghidupi Injil dan lebih tertarik dengan hikmat yang ada dalam dunia ini.
Ayat 6, “Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang”. Satu realita bahwa tidak semua orang Kristen itu matang/ dewasa (mature), ada orang Kristen yang masih kanak-kanak/ kurang dewasa (immature). Orang Kristen yang kurang dewasa, tidak terlalu menghargai hikmat yang dari atas, lebih suka hikmat yang dari bawah, hikmat yang ada dalam dunia ini, yaitu gambaran hal-hal yang dibanggakan dunia.
Dalam Surat Korintus, ada 2 kelompok, yaitu kelompok Yunani dan kelompok Yahudi. Kelompok Yahudi menggambarkan orang-orang yang mencari tanda/ mujizat; dan memang jemaat Korintus punya karunia mujizat. Jemaat Korintus ini memiliki karunia yang mungkin paling lengkap menurut daftar karunia yang ditulis dalam surat-surat Paulus, dan mereka bermegah akan hal itu. Tapi Paulus mengatakan bahwa bermegah dalam keadaan seperti itu, berbenturan dengan Injil, berbenturan dengan salib, karena di kayu salib Yesus tidak sedang memamerkan itu. Di salib itu tidak ada yang dipamerkan, hanya ada sepi, kosong, kehinaan. Kalau kita baca dari perspektif Korintus, yang dipamerkan Yesus di kayu salib yaitu kasih (pasal 13). Punya karunia-karunia tapi tidak punya kasih, itu bukan teologi salib. Di sisi lain ada kelompok yang memegahkan hikmat/ wisdom, orang-orang yang terdidik, orang-orang Yunani yang punya kebanggaan akan filsuf-filsuf mereka, dan menganggap salib itu kebodohan, berita Firman Tuhan itu berita yang kasar yang tidak bisa dibanggakan.
Luther, dalam gambaran Theologia Crucis yang diajarkannya dalam Heidelberg Disputation, mengatakan yang sama, bukan theology of glory seperti yang dimegahkan dunia ini, melainkan the true glory of God yaitu yang dinyatakan di atas kayu salib. Bukan tidak ada kemuliaan, tetap ada kemuliaan, tapi kemuliaan yang tidak bisa dimengerti oleh dunia ini karena dunia ini cara berpikirnya menurut hikmat mereka sendiri. Coba saja lihat apa yang dibangga-banggakan orang dalam status Facebook-nya; dari situ Saudara nilai, lebih mirip theology of glory atau theology of the cross. Termasuk juga kita, orang-orang Kristen, apa yang kita bangga-banggakan di media sosial? Apakah itu lebih cocok dengan theology of the cross, ataukah lebih cocok dengan theology of glory seperti yang dikritik oleh Luther? Sekarang ini sudah 500 tahun sejak Luther melontarkan hal itu, dan masih saja kritik tersebut amat sangat relevan dengan kehidupan kita, ketika kita berusaha mengesankan dunia ini bukan dengan hikmat surgawi melainkan dengan hikmat duniawi.
Ayat 6 ini juga bicara tentang penguasa-penguasa, “… yaitu hikmat yang bukan dari dunia ini, dan yang bukan dari penguasa-penguasa dunia ini”. Penguasa-penguasa dunia adalah mereka yang memegahkan kekuasaan. Orang yang punya kuasa, orang yang menggunakan kuasanya, bahkan sampai menyalah-gunakan kuasanya, itulah penguasa-penguasa dunia ini. Itulah yang ditonjolkan di dalam dunia. Tapi Kristenan mengajarkan, siapa yang mau menjadi besar, dia harus belajar menjadi hamba bagi semuanya. Betapa kontras; dalam Kekristenan panggilan menjadi hamba, sementara di dalam dunia orang memegahkan penguasa-penguasa, yang berarti punya kedudukan, punya kuasa militer; intinya: punya kekuasaan. Gereja –Saudara dan saya—apakah tampil di dalam dunia dengan cara main kuasa, atau cara seperti teologi salib dengan melayani, dan tampil dalam kerentanan?
Yesus masuk ke Yerusalem dengan naik keledai; lalu dikatakan, “lihatlah Rajamu yang lemah lembut”. Yesus ini Raja, tapi raja yang sangat kontras dengan dunia ini karena Raja ini memiliki kelemahlembutan. Apa itu kelemahlembutan? Salah satu penafsirannya adalah Yesus masuk dengan keadaan tidak terlindung, rentan, siap untuk dilukai dan disakiti. Dia tidak membawa pedang, tidak disertai kuasa militer padahal sangat wajar seorang raja disertai iring-iringan kuasa militernya. Itulah kelemahlembutan Kristen yang sesungguhnya, kekuatan yang sesungguhnya. Hikmat seperti ini, tidak dimengerti oleh dunia, dan dunia sama sekali tidak tertarik. Dunia lebih tertarik dengan gambaran kehebatan penguasa-penguasa dunia yang powerful itu, yang kalau bicara, semua orang musti mendengarkan karena ini orang yang berkuasa, yang punya channel ke sini ke situ, dst. Paulus mengatakan, gambaran seperti ini berbenturan dengan teologi salib.
Kita paling takut Kekristenan yang cuma main di jargon, –termasuk juga jargon salib, jargon Yesus, dsb.—tetapi dalam kenyataannya tidak menghidupi Injil. Alkitab memperingatkan bahwa jalannya itu betul-betul sempit. Ayat yang lain mengatakan “banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih”. Saudara jangan pikir yang disebut ‘banyak yang dipanggil’ itu artinya orang-orang yang di luar gereja ini, lalu ‘sedikit yang dipilih’ artinya kita yang di dalam gereja; nanti dulu, yang di dalam gereja pun, sedikit yang dipilih. Banyak orang yang seperti Kristen, ikut Perjamuan Kudus, tapi mereka mengkhianati Injil, hidupnya sama sekali tidak mencerminkan Injil. Injil itu bukan cuma ‘saya percaya Yesus, dosaku diampuni, saya mati masuk surga’; saya kuatir sekali dengan model injil yang sangat reduktif seperti ini. Dari Dia lahir sampai mati –seluruh kehidupan Kristus itu– itulah Injil. Apa yang dilakukan Kristus sepanjang kehidupan-Nya? Apakah Dia pamer kekuasaan? Seandainya Yesus mau pamer kekuasaan, Dia sangat bisa, karena Dia memang Tuhan; tapi Surat Filipi mengatakan, “Yesus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sesuatu yang Dia pertahankan, melainkan Dia menjadi seorang hamba”. Itulah the true power, itulah hikmat yang sesungguhnya.
Paulus mengatakan, meskipun orang-orang Yunani memegahkan hikmat, yaitu hikmat dunia, bukan berarti dari perspektif Kristen tidak ada hikmat sama sekali. Kita diminta untuk memiliki hikmat Kristus, bijaksana Kristus, pikiran Kristus. Tetapi bijaksana Kristus ini kalau dilihat dari perspektif dunia, kelihatan seperti bukan berhikmat, alias seperti kebodohan. Orang yang lemah lembut, yang ketika disakiti dia mengampuni, itu kelihatan bodoh. Bijaksana dunia mengatakan, mengapa dia tidak menegakkan keadilan?? Kalau terus bicara keadilan tapi tidak pernah termasuk belas kasihan, maka orang itu tidak mengerti keadilan Kristen, dan lagi-lagi tidak mengerti Injil.
Ayat 7, “Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia,…” Ini bicara tentang ketersembunyian kemuliaan Allah yang sejati. Hikmat Allah yang sejati itu tersembunyi, rahasia, dalam pengertian tidak kasat mata, tidak bisa didokumentasi, tidak bisa dipamer-pamerkan. Orang yang jiwanya pengampun, apanya yang mau dipamerkan?? Kalau Saudara sedang mengampuni orang lain, apanya yang mau difoto?? Itu sesuatu yang memang tersembunyi, tidak ada yang perlu didemonstrasikan. Sedangkan kalau Saudara sukses dalam sesuatu, itu sangat bisa dipamerkan, ditaruh dalam status Facebook lalu orang langsung bisa lihat dan bisa mengerti. Intinya, dalam kehidupan kita, kita biasa memegahkan hal-hal yang bisa dilihat oleh dunia. Tetapi hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh dunia, itu tersembunyi, hanya Tuhan yang bisa lihat. Natur dari pekerjaan Allah itu tersembunyi. Tersembunyi bukan berarti orang lain tidak bisa melihat sama sekali, tapi maksudnya cuma bisa dilihat oleh orang-orang yang ada Roh Allah di dalam kehidupannya. Roh Kudus membawa kita ke dalam ketersembunyian dan kerahasiaan Allah ini, yang disediakan Allah bagi kemuliaan kita, kemuliaan sejati yang bukan kemuliaan dunia melainkan kemuliaan Tuhan. Hal itu tersembunyi, rahasia, dunia pun tidak tertarik untuk mengenalinya, tapi Roh Kudus memberikan hal itu dalam kehidupan kita.
Ayat 8, “Tidak ada dari penguasa dunia ini yang mengenalnya, sebab kalau sekiranya mereka mengenalnya, mereka tidak menyalibkan Tuhan yang mulia.” Kalau orang-orang di dalam dunia ini –baik di zaman Yesus maupun di zaman kita—mengenal hikmat yang seperti ini, maka tidak akan ada terorisme. Yesus tidak akan disalibkan, karena mereka akan tahu ini Tuhan sendiri yang begitu mahakuasa yang merendahkan diri-Nya menjadi sama seperti kita. Tapi nyatanya orang tidak berpikir seperti itu. Orang tidak tertarik dengan kerendahan hati seperti itu, karena gerakan manusia selalu mau membanggakan diri ke atas, bukan merendahkan diri ke bawah, bahkan kalau bisa mau pamer kekuasaan.
Saya baru diskusi dengan seorang rekan hamba Tuhan, kita mendapati orang yang menyerahkan diri jadi hamba Tuhan, makin lama makin sedikit. Apa sebabnya? Rekan ini mengatakan, “Coba lihat, orang menyerahkan diri jadi hamba Tuhan, tapi di gereja yang berkuasa adalah orang-orang kaya” –artinya, siapa yang mau jadi hamba Tuhan, mending jadi orang kaya, uang banyak dan tetap bisa berkuasa di gereja; di masyarakat jadi bos, di gereja juga jadi bos. Saya bukan mengatakan bahwa orang menyerahkan diri jadi hamba Tuhan itu karena mau jadi pemimpin di gereja, tapi bahwa di sini jadinya tidak ada konsep ‘pelayan’, yang ada konsep ‘bos’. Hamba Tuhan memang musti punya dignitas. Tapi hati-hati juga, hamba Tuhan jangan sombong, nanti balik lagi hamba Tuhan yang bossy; sama saja. Orang kaya bisa bossy, hamba Tuhan pun bisa bossy. Poinnya adalah: tidak ada yang jadi bos di dalam Gereja; baik itu hamba Tuhan atau orang kaya atau orang militer, dsb., semuanya sama-sama murid, sama-sama belajar. Jangan main kuasa, apalagi menyalahgunakan kekuasaan di dalam Gereja, karena itu mengecilkan hati orang-orang yang mau masuk jadi hamba Tuhan. Ketika melihat di dalam Gereja keadaannya adalah hamba Tuhan tidak dihargai, dan cuma mendengarkan yang dikatakan orang kaya, itu persoalan. Dan problemnya disebabkan oleh Gereja. Kalau kita tidak hati-hati, kita menghargai yang dihargai oleh dunia, bukan yang dihargai oleh Allah; kita menghargai penguasa-penguasa –termasuk “penguasa-penguasa gereja”—dan makin lama makin jauh dari Injil. Memang tetap gereja Kristen, tapi gereja Kristen yang tidak mirip Injil sama sekali. Coba kita introspeksi di dalam bagian ini.
Roh Kudus membawa kita ke dalam pengenalan hikmat Ilahi yang bukan hikmat yang ada di dalam dunia ini. Kalau mereka tahu hikmat yang seperti ini, mereka akan menghargai kerendahan hati Yesus, menghargai perasaan belas kasihan Yesus yang bergaul dengan orang-orang berdosa. Fakta bahwa pemimpin-pemimpin agama tersebut tidak bisa menghargai hal itu, cuma menandakan mereka tidak ada hikmat. Ada orang yang terganggu, ketika seorang Kristen yang jiwanya luas bergaul dengan orang-orang berdosa. Dan yang terganggu bukanlah orang di luar Kristen, melainkan orang Kristen sendiri. Ini seperti mengulangi yang terjadi di zaman Yesus. Yesus bergaul dengann orang-orang berdosa, dan yang terganggu adalah pemimpin-pemimpin agama. Mengapa demikian? Alkitab mengatakan, karena mereka tidak mengenal hikmat ini. Oleh sebab itu Yesus pun disalibkkan oleh mereka, padahal apa yang dilakukan Yesus sampai Dia layak disalibkan?
Ayat 9, "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia. " Saudara, hati-hati membaca ayat ini. Saya pernah mendengar orang yang menghayati ayat ini seperti begini: ‘saya sih ‘gak pernah mimpi lho bisa punya rumah gede kayak begini, apa yang tidak pernah timbul di dalam mata saya, telinga saya, koq bisa-bisanya Tuhan beri rumah segini gedenya’. Saudara, ayat ini tidak bicara soal rumah besar. Ayat ini juga tidak ada urusannya dengan Saudara mendapatkan pekerjaan yang gajinya lebih bagus yang tidak pernah diimpikan sebelumnya. Yang dimaksud dengan “apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia”, adalah hikmat yang benar. Ini tidak pernah timbul di dalam hati kita; yang ada di dalam hati kita itu hikmat duniawi.
Konsep teologi salib inilah yang tidak pernah timbul di dalam hati kita. Kita tidak pernah tertarik jadi orang yang rendah hati; yang ada adalah kita maunya jadi bos yang dihargai; oleh sebab itu ayat ini mengatakan “tidak pernah timbul di dalam hati manusia”. Kesombonganmu dan kesombonganku, itulah yang ada di dalam hati kita; tapi kerendahan hati tidak pernah timbul di dalam hati kita. Dan inilah yang diberikan Tuhan. Ini hikmat Ilahi. Bukan hikmat yang dari dunia ini. Semua konsep-konsep yang salah tentang apa itu mulia, apa itu kekayaan, apa itu hikmat, apa itu kuasa, apa itu kekuatan, adalah gambaran-gambaran yang menurut kategori dunia. Yang ada di dalam hati kita, semuanya adalah konsep-konsep dunia. Hikmat Ilahi itu tidak pernah timbul di dalam hati kita, kecuali Tuhan memberikannya, yaitu oleh Roh Kudus. Roh Kudus memberikan kepada kita hikmat yang benar, pengertian tentang kuasa yang sesungguhnya yang menurut Alkitab, gambaran kekuatan yang sejati. Semua itu Roh Kudus yang memberikan, karena dari hati kita sendiri, kita tidak tertarik dengan konsep-konsep itu. Roh Kudus yang menyadarkan kita bahwa menjadi besar menurut Kristus adalah dengan melayani. Kalau dari kita sendiri, menjadi besar itu artinya menguasai. Konsep ‘besar’ dengan melayani ini tidak pernah timbul di dalam hati kita, tidak ada dalam pandangan mata kita, dan telinga kita juga tidak tertarik untuk mendengarnya, karena kita lebih tertarik dengan yang diajarkan oleh dunia.
Ayat 10, “Karena kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah.” Ini Hari Pentakosta; Roh Kudus membawa kita untuk mengenal Allah, bukan mengenal dunia. Kita sejak lahir sudah sangat mengenal dunia, sudah terlatih, tidak usah belajar sampai tinggi baru bisa mengerti konsep dunia, tapi sejak kecil pun sudah sangat mengerti. Yang kita tidak mengerti adalah Allah.
Pengenalan akan Allah itu luar biasa penting. Calvin mengatakan dalam Geneva Catechism: “What is the chief end of man?” –apakah tujuan tertinggi dalam kehidupan manusia, dan dijawab: “To know God” –yaitu untuk mengenal Allah, yang oleh-Nya kita diciptakan. Mengenal Allah, itulah tujuan akhir kehidupan manusia. Tapi dunia –bahkan orang Kristen—menanggapi: “Jadi cuma gitu tok??” Mengenal Allah dianggap cuma ‘gitu tok’, Kekristenan dianggap cuma begitu saja. Orang seperti ini, adalah orang yang tidak ada hikmat. Mengenal Allah adalah segalanya, kalau menurut ayat ini. Dan Calvin bersikeras, tujuan hidup manusia itu untuk mengenal Allah. Mengapa? Karena mengenal Allah akan mendefinisikan kembali kehidupan kita.
Mengapa ada teroris? Mengapa ada orang yang suka melakukan kekerasan? Karena konsep dia tentang “Allah” adalah allah yang melakukan kekerasan, yang sedikit-sedikit langsung menghajar. Dia menghayati allah yang seperti ini, maka dia pun akan jadi seperti itu. Pengertian kita akan diri, yang keluar dari diri kita, itu cuma mencerminkan pengenalan kita akan diri Allah. Orang yang tidak ada belas kasihan, tidak ada pengampunan, berarti “allah”-nya dia juga tidak ada belas kasihan. Orang yang selalu tidak sabar, berarti “allah”-nya dia juga tidak sabar. Dan itu sudah pasti allah yang palsu, bukan Allah yang di dalam Alkitab. Orang yang di dalam kehidupannya suka main kuasa, menyalah gunakan kuasa –atau apapun lainnya—itu berarti “allah”-nya dia seperti itu maka dia menghayati kehidupannya seperti itu; karena bukankah kita diciptakan menurut gambar rupa allah?? Tapi pertanyaannya: menurut gambar rupa allah yang mana? Oleh sebab itu mengenal Allah luar biasa penting.
Mengenal Allah memang proses seumur hidup, bukan hitam putih; bukan setelah kita putih lalu sudah selesai pengenalannya. Tapi orang yang berhenti pengenalan akan Allahnya, yang tidak mau lagi dikoreksi pengenalan akan Allahnya, dia akan menghidupi spirit yang masih tidak sesuai dengan Injil karena dia menolak pekerjaan Roh Kudus. Kalau Saudara membaca Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, Roh Kudus sangat dikaitkan dengan empowerment of mission. Pneumatologi menurut Lukas, adalah dalam aspek Roh Kudus itu dicurahkan supaya kita diberdayakan bisa menjadi saksi Kristus. Perspektif Yohanes agak lain, Roh Kudus itu menyambung kehadiran Yesus; Yesus naik ke surga lalu murid-murid-Nya seperti yatim piatu, maka Roh Kudus diberikan untuk melanjutkan keberadaan Kristus di dunia. Pneumatologi dalam Surat Korintus lain lagi; menurut Paulus, Roh Kudus dicurahkan untuk membawa kita mengenal Allah, karena tanpa Roh Kudus yang menyelidiki kedalaman hati Allah, tidak ada orang yang bisa mengenal Allah. Waktu kita tidak mengenal Allah, kita akan menciptakan bayang-bayang kita sendiri mengenai Allah yang semuanya tidak cocok dengan Alkitab. Gambaran kita tentang Allah itu kita proyeksikan dari keberdosaan kita, kita mengatakan itulah “Allah”, dan akhirnya gambaran yang salah tersebut berbalik mendefinisikan kehidupan kita, dan kehidupan kita jadi mirip dengan allah yang kita percayai. Kita ini belum selesai dalam mengenal Allah, maka kita harus terus-menerus dikoreksi oleh Alkitab. Dan yang bisa mengoreksi adalah Roh Kudus. Hal-hal yang dalam dunia ini tidak tersembunyi, kita melihatnya dengan jelas sekali, dan kita begitu gampang mengikutinya. Konsep kita tentang kuasa, kekuatan, keberhasilan, dst., itu tidak perlu Roh untuk mengertinya, sudah ada roh dunia, dan kita memang sudah hidup di situ dan sudah sangat didikte olehnya. Tetapi, mereka yang mau hidup seperti Allah, dia harus masuk ke kedalaman hati Allah; dan siapa yang bisa menyingkapkan hal itu kalau bukan Roh Kudus.
Ayat 11 Paulus memberikan argumentasi: “Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah.” Paulus bilang, tidak ada orang yang bisa mengenal dirinya kalau bukan rohnya sendiri (dan tentu saja Tuhan yang paling tahu). Siapa yang paling mengenal Saudara? Ya, pasti roh Saudara; tidak mungkin roh saya lebih mengenal Saudara daripada roh Saudara. Dari argumentasi sederhana ini, Paulus mengatakan, ‘sama seperti yang paling mengenal saya adalah roh saya sendiri, maka siapa yang paling mengenal Allah, kalau bukan Roh Allah sendiri’. Jadi kamu jangan sok tahu mengatakan Allah itu begini begitu, kamu harus sangat bergantung kepada Roh Kudus yang menyatakannya kepadamu. Kalau Roh Kudus tidak kasih tahu kepada kita, kalau Roh Kudus tidak memenuhi kita, kalau kita terus-menerus hidup mendukakan dan memadamkan Roh Kudus, maka kita tidak mungkin bisa mengetahui Allah, tidak mungkin bisa mengenal Allah. Itu buntu. Lalu kalau orang hidup memadamkan Roh Kudus tapi merasa tahu akan Allah, itu betul-betul luar biasa sok tahu, arogan, yang merasa dirinya mengenal Allah padahal tidak.
Pneumatologi begitu penting, karena tanpa doktrin Roh Kudus yang benar, tidak mungkin bisa ada doktrin Allah yang benar. Yang ada adalah pikiran kita sendiri tentang Allah, lalu kita ciptakan sendiri fancy theology yang menurut kita; dan itu tercermin jelas dalam kehidupan kita. Bagaimana pengenalan kita akan Allah? Lihat saja kehidupan kita, apa yang keluar di situlah yang menunjukkan pengenalan kita. Orang yang hidupnya lemah lembut dan suka mengampuni, berarti Allahnya lemah lembut dan suka mengampuni. Orang yang sedikit-sedikit terprovokasi, sedikit-sedikit emosi, berarti “Allah”-nya juga sama, baper. Percaya “allah” yang seperti itu, maka hidupnya pun akan seperti itu. Daftar ini bisa luar biasa panjang; Saudara dapat sebutkan apapun kelemahan kita, itu menunjukkan “allah”-nya kita juga seperti itu. Alangkah pentingnya di Hari Pentakosta kita bukan cuma memikirkan tentang Roh Kudus, karena kita tidak bisa bicara tentang Roh Kudus tanpa Kristus. Dan waktu kita bicara tentang Roh Kudus dan Kristus, kita tidak bisa bicara tanpa Bapa. Trinitas ini satu Allah, bukan tiga Allah, tidak pernah terpisah.
Ayat 12, “Kita tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah, supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita.” Dalam kehidupan sejak kita lahir, di dalam keadaan natural kita yang berdosa, kita itu dikuasai roh dunia; kita sangat mengerti cara dunia karena kita memang di situ. Tapi Paulus mengatakan “kamu bukan menerima roh dunia, yang kamu terima itu Roh Allah”, maka jangan terus di dalam roh dunia, karena kamu telah diselamatkan, dikeluarkan dari roh dunia, supaya bisa mengerti dari pespektif Ilahi. Kita menerima Roh Allah sehingga kita tahu apa yang dikaruniakan Allah kepada kita, yang tidak sama dengan dunia. Saudara tentu tahu bagaimana dunia bersukacita, bersenang-senang; hal ini tidak dikaruniakan Allah. Yang dikaruniakan Allah adalah hal-hal yang tidak dimengerti oleh dunia.
Sukacita dunia itu sukacita karena memperoleh, karena mengumpulkan sehingga bertumpuk terus makin lama makin banyak; semakin banyak semakin merasa aman. Roh dunia mengajarkan seperti itu. Sedangkan menurut hikmat Allah, sukacita adalah mereka yang membagi, bukan yang terus mengumpulkan. Mengapa orang Kristen banyak yang pelit? Karena mengikuti roh dunia. Tetapi orang yang membagi, dialah yang betul-betul kaya. Menurut dunia, itu bodoh, apalagi kalau yang dibagi tidak ada terima kasihnya. Yesus mati di atas kayu salib itu, tidak ada yang berterima kasih di bawah. Tapi apakah Yesus kecewa sekali sudah berkorban tidak ada yang berterima kasih, lalu turun dari salib? Tidak ada cerita seperti begitu. Yesus dengan bodohnya tergantung di atas kayu salib meskipun yang di bawah tidak ada seorang pun berterima kasih. Itulah bijaksana Ilahi yang tidak mungkin dimengerti dan diterima oleh orang yang dikuasai roh dunia. Mengapa? Karena orang-orang ini tidak pernah menerima Roh Allah; atau mereka orang Kristen, yang ironisnya, lebih menghargai roh dunia daripada Roh Allah.
Di Facebook suka ada semacam tes IQ, lalu orang bisa mengikutinya. Dan herannya, hasil tes tersebut selalu menunjukkan IQ-nya tinggi, tidak pernah cuma 40 misalnya. Kuis apapun yang Saudara ikuti di Facebook, selalu hasilnya “Anda termasuk top 5 %”. Ada juga kuis “mirip bintang film”, dan pasti yang dimasukkan bintang film yang cantik dan ganteng, –tidak mungkin yang jelek, cacat, dsb.– lalu kita senang waktu mirip salah satu dari mereka. Kalau kuis “mirip teolog”, kita juga senang karena hasilnya ternyata mirip Agustinus, atau Calvin, atau Jonathan Edwards, tapi tidak mungkin mirip bidat Marcion. Semua yang ditaruh di kuis itu adalah orang-orang top, karena itu akan mengangkat self-image Saudara. Orang selalu suka sekali kuis-kuis seperti itu; mengapa? Karena kita ini krisis identitas, kita dikuasai roh dunia, kita suka kalau bisa pasang di Facebook IQ kita setinggi sekian meski kita tahu itu agak bohong. Saya jadi ingat perkataan Stephen Hawking “people who boast about their IQ are loosers” –mereka yang suka bicara IQ-nya sekian, sebetulnya pecundang. Kita tidak tahu IQ-nya Stephen Hawking, mungkin dia juga tidak tahu, karena sudah terbukti (di sini saya bukan mengatakan bahwa dia berhasil di dalam Tuhan). Para pecundanglah yang selalu perlu suntikan-suntikan, perlu make-up di dalam kehidupannya. Kalau kita menerima Roh Allah, kita akan keluar dari kekangan seperti ini, yang tidak memberikan kebebasan sejati.
Ayat 13, “Dan karena kami menafsirkan hal-hal rohani kepada mereka yang mempunyai Roh, kami berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan perkataan yang bukan diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh”. Karunia-karunia Allah di sini bukan maksudnya keaneka-ragaman karunia (seperti karunia menyembuhkan, mujizat, berbahasa lidah, dsb.), melainkan semua yang diberikan Allah kepada kita. Cuma Roh Kudus yang bisa menggerakkan orang sehingga dia beresonansi waktu kita membicarakan tentang kekuatan yang sesungguhnya, yaitu kelemahlembutan. Tapi orang yang tidak ada roh Allah, waktu kita bicara seperti ini, dia tidak mengerti. Coba Saudara bicara kepada semut menjelaskan arti hidup, meski Saudara teriak-teriak atau bicara selembut apapun, dia cuma tahu baris bareng. Saudara capek mengajari semut karena semut tidak punya roh manusia. Waktu Tuhan bicara kepada kita memperkenalkan diri-Nya, itu sama juga hopeless-nya dengan kita bicara kepada semut. Kita dan semut sama-sama ciptaan, tapi kita ciptaan yang menurut gambar rupa Allah sedangkan semut tidak, meski begitu, bicara dengan semut pun ‘gak nyambung. Bagaimana mungkin Allah yang Pencipta berbicara kepada kita, yang adalah ciptaan, yang gap-nya lebih besar daripada antara kita dan semut? Tentu tidak mungkin nyambung, kecuali manusia itu diberikan Rohnya Allah.
Oleh sebab itu, orang yang tidak ada Roh Allah dan tidak dikuasai oleh Roh Allah, tidak mungkin pernah bisa mengenal Allah. Bahkan orang Kristen kalau hidupnya terus-menerus mendukakan Roh Kudus, lebih suka dikuasai roh dunia dengan segala konsepnya, waktu kita bicara sampai berbusa-busa tentang teologi salib, dia tetap tidak mengerti, dikotbahkan berulang-ulang pun tetap tidak mengerti, sama seperti Saudara teriak-teriak kepada semut. Tanpa Roh Kudus diberikan kepada kita, tidak ada orang yang bisa mengerti hikmat Allah. Yang ada adalah kita terus-menerus menyambung pengertian kita menurut roh dunia.
Waktu Saudara memberitakan Injil, bergantunglah pada kuasa Roh Kudus, bukan dengan apologetika yang canggih menurut hikmat manusia sehingga mengalahkan perdebatan karena logika lebih tinggi dsb. Yang seperti itu, Luther bilang adalah theology of glory, bukan theology of the cross. Paulus mengatakan, “waktu saya datang kepadamu, saya datang dengan takut dan gentar; saya tidak berusaha mengesankan kamu dengan filsafat Yunani atau bahwa saya orang yang terdidik/ berpengetahuan”. Paulus cuma bergantung kepada Roh Kudus, karena jika tidak ada Roh Kudus, tidak ada orang yang bisa mengerti, tidak peduli berapa kompleks, dalam, dan canggihnya kamu punya logika.
Saya kuatir jemaat tidak mengerti Firman Tuhan, bukan karena saya kotbah terlalu kompleks karena banyak pakai bahasa asing dsb. –itu urusan kecil, saya musti belajar—tapi kalau jemaat tidak mengerti kotbah karena berada di dunia yang lain, tidak bisa masuk ke dalam spiritual realm. Seperti waktu Yesus bicara air hidup, perempuan Samaria itu bicara air sumur –‘gak nyambung. Seperti waktu Yesus bicara dengan Nikodemus, pengajar Israel, tentang kelahiran baru –spiritual regeneratian– dia tanggapi dengan “bagaimana orang bisa masuk kembali ke perut ibunya dan dilahirkan lagi?” –physical regeneration; tetap ‘gak nyambung. Tetap di dalam wilayah dunia yang kelihatan, tidak bisa masuk dunia yang tidak kelihatan; mengapa? Tanpa Allah, tidak ada spiritual regeneratian, tidak bisa bicara tentang hal-hal rohani. Itu tidak mungkin, gang buntu, dan sangat melelahkan kalau kita terus bergantung pada hikmat manusia. Oleh sebab itu dikatakan di ayat 14: “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah”.
Waktu Yesus membangkitkan Lazarus, itu mujizat yang betul-betul terjadi, Lazarus betul-betul bangkit di depan mata mereka keluar dari kubur. Lalu ketika Yesus mengatakan “Akulah kebangkitan dan hidup”, apakah mereka mengerti lalu bilang, ‘ya, Tuhan, terima kasih, saya mengerti Engkau kebangkitan dan hidup karena Engkau sudah mendemonstrasikan, Lazarus ini bangkit dari kubur menerima kehidupan’? Tidak. Reaksi mereka adalah: “ayo kita bunuh Orang ini, bahaya Orang seperti ini”. Inilah yang dikatakan Alkitab “melihat tapi tidak melihat; mendengar tapi tidak mendengar”, orang yang selalu di dalam dunia lain. Saya pernah ada pengalaman mencoba menginjili seseorang, matanya selalu melihat kepada saya, bukan tidak peduli. Dia berusaha dengan rendah hati mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari mulut saya, tapi dia tidak mengerti sedikit pun. Seakan ada tirai yang tidak dibuka oleh Tuhan, dan dia tetap begitu sampai akhir. Saya tahu dia tidak mengerti sama sekali meski saya berusaha menjelaskan. Dia mendengar tapi tidak mendengar. Sedih sekali kalau di dalam jemaat ada yang seperti ini. Inilah realitanya dunia kita; orang dikuasai oleh roh dunia, bukan Roh Allah.
Sekarang ini banyak pengajaran fancy tentang Roh Kudus; bicara Roh Kudus tapi tidak menurut Alkitab. Memang bagian yang kita bahas ini bukan keseluruhan perspektif tentang Roh Kudus, masih ada perspektif lainnya. Tapi bagian ini mengatakan, waktu kita dipenuhi Roh Kudus, kita bisa mengenal Allah, menerima apa yang berasal dari Roh Allah, dan tidak menganggapnya sebagai satu kebodohan. Ayat 14, “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.” Cuma orang yang rohani –rohani bukan karena kerohaniannya sendiri tapi karena Roh Allah ada di dalam dirinya– bisa menilai menurut perspektif Roh Kudus, menilai secara rohani.
Ayat 15, “Tetapi manusia rohani menilai segala sesuatu, tetapi ia sendiri tidak dinilai oleh orang lain.” Kalimat ini sangat gampang disalah mengerti. Saya kuatir dengan orang yang suka menilai orang lain, tapi lupa menilai dirinya sendiri. Ada orang yang mendengar Firman Tuhan, bukan mendengar untuk dirinya tapi untuk orang lain. Saya pernah mengalami, orang bertanya dalam seminar, lalu waktu saya menjawab, dia senggol-senggol orang sebelahnya, maksudnya, “lu dengerin tuh”. Jadi dia tanya, bukan karena dia bergumul melainkan dia mau pakai Firman Tuhan sebagai pentung bagi sesamanya, “nah! gua bilang juga apa, itu pendeta lho yang ngomong, bukan cuma gua, makanya dengerin!”. Farisi-farisi seperti ini berkeliaran di Gereja. Mengapa bisa ada orang-orang seperti ini? Karena Roh Allah tidak bekerja di dalam kehidupannya. Dia menilai orang lain, dia sendiri tidak dinilai; lalu dia pikir ini cocok dengan ayat 15 tadi. Tapi yang dimaksud ayat tersebut adalah dia tidak dinilai oleh cara pandang dunia. Orang lain dalam kehidupan yang dikuasai oleh cara pandang dunia, tidak berhak untuk menilai kita, karena dunia dan rohnya memiliki penilaian yang berbeda dengan Roh Allah.
Orang yang hidup di dalam hati nurani yang murni, tidak terganggu dengan tekanan dari dunia; dia tidak dinilai oleh orang lain. Tapi bukan berarti orang ini tidak peka akan penilaian Allah. Paulus pernah mengatakan, “Kami tidak menghakimi siapa pun, malahan aku sendiri tidak menghakimi diriku, karena Dia yang menghakimi aku ialah Tuhan”. Kalau diterapkan dalam ayat 15 tadi, Paulus tidak menghakimi siapapun, dia juga tidak menghakimi dirinya sendiri, sebab dia peka akan penilaian Tuhan terhadap dirinya. Kepekaan itu ada karena dia orang yang rohani.
Dunia tidak berhak menilai orang-orang yang rohani. Waktu dunia mengatakan “Yesus itu apa sih?? Dia gagal di atas kayu salib, tidak berdaya, di-viktimisasi”, sebenarnya dunia tidak berhak mengatakan itu karena Roh Allah yang akan menilai salib itu, bukan orang-orang yang hidup di dalam kedagingan. Di dalam hal ini Yesus tidak dinilai oleh siapapun. Kalau kita hidup dipimpin oleh Roh Kudus, kita juga tidak dinilai oleh orang lain, karena yang menilai kita adalah Tuhan. Tapi celakalah orang-orang yang tidak pernah punya kesadaran dirinya dinilai oleh Tuhan, sementara dirinya selalu menilai orang lain. Itu orang-orang yang pada akhirnya akan binasa karena tidak punya pengenalan diri. Saya pakai perkataan Calvin: barangsiapa tidak mengenal diri, dia tidak punya pengenalan akan Tuhan, karena pengenalan akan Tuhan tidak bisa terpisah dari pengenalan akan diri.
Siapa yang tidak punya pengenalan akan diri? Yaitu yang tidak punya pengenalan akan Allah. Siapa yang tidak punya pengenalan akan Allah? Yaitu yang Roh Allah tidak ada padanya. Orang seperti ini, selalu menilai orang lain, tidak pernah memberi diri dinilai olah Tuhan. Saya kuatir dengan pendengar yang menjadi dewan juri; datang mendengar kotbah lalu menilai, kalau hamba Tuhan yang ini begini bicaranya, kedalaman teologinya begini, pengkotbah yang ini sangat menginspirasi, pengkotbah yang itu bicaranya ulang-ulang. Pastinya bukan itu yang dimaksud Alkitab, tetapi bahwa orang yang menilai secara rohani, dia sendiri juga memberi dirinya dinilai oleh Tuhan. Dia tidak dinilai orang lain, dalam pengertian dia tidak tertekan oleh penilaian orang-orang yang menilainya secara dunia. Dunia menganggap kehidupan orang Kristen itu kasihan, lemah. Ya, tidak apa-apa, itu penilaian dunia, tapi yang penting kita ini benar-benar kuat di hadapan Tuhan atau tidak? Kalau dunia merayakan kita sebagai orang yang berhasil, lalu Tuhan bilang “kamu tidak berhasil sama sekali”, celakalah kita. Dunia merongrong kita untuk menunjukkan keberhasilan-keberhasilan yang menurut dunia –karena kita memang hidup di dunia– lalu kita tunjukkan keberhasilan kita dan ditambah lagi: “saya orang Kristen”. Ini bentur dengan teologi salib; bukan Injil yang kita percaya.
Terakhir, ayat 16, Sebab: "Siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan, sehingga ia dapat menasihati Dia?” Ini pertanyaan retoris dari Perjanjian Lama, yang kita tahu jawabannya “tidak ada”. Yesaya menantang, siapa yang bisa mengetahui pikiran Tuhan, Tuhan itu rancangannya pasti lebih tinggi daripada kita, jalan-jalan-Nya melampaui pikiran kita; dan jawabannya ‘tidak ada’. Tapi Paulus berani menjawab secara afirmatif positif: “Kami memiliki pikiran Kristus”. Itu bukan karena Paulus sombong, tapi berkaitan dengan Roh Allah yang kita bahas tadi, bahwa Roh Allah membawa kita untuk mengerti pikiran Kristus.
Kalau kita dewasa [rohani], kita makin mengenal bijaksana Kristus, sehingga seolah-olah Allah tidak perlu kasih tahu secara detail. Contoh sederhana waktu kita mencari kehendak Allah, spiritualitas Reformed sangat hati-hati bahkan menolak cara mencari kehendak Allah melalui tanda, misalnya Tuhan, saya mau lempar koin, kalau yang keluar gambar garuda berarti menikah dengan si A, kalau yang keluar angka 500 berarti menikah dengan si B. Tanda seperti ini jelas sekali, tapi inilah orang yang tidak mengenal pikiran Kristus. Yang seringkali terjadi dalam kehidupan kita justru sepertinya tidak jelas, Tuhan seringkali memberi kepada kita ruang “kamu ‘kan harusnya sudah kenal Saya, kamu ‘kan sudah bergaul dengan Saya”, sehingga kita harusnya tahu apa yang Tuhan suka dan tidak suka.
Anak yang masih kecil selalu tanya secara detail, “Pa, boleh ‘gak mainan ini, mainan itu?” karena memang dia masih kecil, kita harus dikte dia. Tapi kalau anak yang belasan tahun tanya seperti itu, ini anak yang tidak bertumbuh, ngapain aja selama ini, sudah belasan tahun bersama masih tanya apa yang saya senang atau tidak senang. Kalau orang memiliki pikiran Kristus, Tuhan tidak perlu banyak bicara. Dalam kisah perempuan yang berzinah, waktu Yesus menulis di tanah dengan jari-Nya, tidak ada orang yang mengerti. Mengapa? Karena tidak dekat dengan Yesus. Sampai akhirnya Yesus harus mengatakan, “Siapa di antara kamu yang tidak berdosa, silakan lempar batu yang pertama”. Padahal kalau orang betul-betul mengenal Allah, mengerti Taurat, dia harusnya mengerti gestur Yesus menulis di tanah itu maksudnya mengatakan “ini Firman bukan cuma perempuan itu tapi juga untuk kamu juga”.
Kalau Tuhan sudah kasih gestur sedikit dan kita tidak mengerti, lalu dikasih tahu pakai kata-kata masih tidak mengerti, bicara lagi kedua kali tetap tidak mengerti juga, itu berarti Saudara tidak mempersilakan Roh Allah bekerja dalam hidupmu, makanya tidak pernah mengerti. Tapi waktu kita bertumbuh, Roh Kudus memenuhi kita; dan salah satu yang paling penting, kita bisa berkata seperti Paulus, “kami memiliki pikiran Kristus –bijaksana Kristus itu ada pada kami”. Hal ini terus bertumbuh, dan Saudara bisa menentukan, bisa ambil keputusan mana yang cocok mana yang tidak cocok, mana yang harusnya dilakukan mana yang tidak, mana yang penting mana yang tidak penting, yaitu karena memiliki bijaksana Kristus, memiliki pikiran Kristus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading