Dalam bagian ini judul yang diberikan LAI “Yesus adalah terang dunia”; kelanjutan dari seri “The seven great ‘I AM“ atau “Ego Eimi”, yang cuma ada di dalam Injil Yohanes. Momen-momen seperti ini merupakan momen pernyataan diri Kristus kepada dunia.
Kalau Saudara perhatikan, metafor-metafor yang dipakai adalah metafor yang umum dijumpai dalam kehidupan sehari-hari; dalam hal ini, ada penafsir yang mengatakan bahwa ini sebenarnya berkait dengan basic needs of human being, karena kita kita membutuhkan roti, terang, pintu, dst. Di dalam dunia Postmodern, banyak orang bicara secara metaforik; mereka mau keluar dari batasan pengkalimatan-pengkalimatan yang bentuknya proposisional, dalam pengertian definisi, dsb., dan lebih suka memakai metafor-metafor. Metafor ada kelebihannya karena bisa go beyond proposition, bisa melampaui kalimat-kalimat dan statement-statement yang dideskripsikan secara definisi dsb. Tapi metafor sekaligus mempunyai kebahayaan, karena tafsirannya bisa ke mana-mana. Contoh sederhana: waktu kita mengatakan “Herodes itu serigala”, Saudara bisa tafsir dalam pengertian macam-macam, yang pasti bukan Herodes kakinya empat karena bukan ke sana maksudnya meski memang serigala berkaki empat; dan juga bukan bahwa Herodes bulunya banyak sekali seperti serigala.
Jadi dalam penggunaan metafor, seperti ‘terang’, kita mengerti istilah ‘terang’ ini di dalam pengertian apa? Waktu kita membicarakan terang –apalagi dalam dunia agama—Saudara akan mendapati, yang membicarakan ‘terang’ bukan hanya Kekristenan, tapi hampir semua agama. Ini metafor yang sangat umum dalam keagamaan. Filsafat juga membicarakan ‘terang’, bahkan sampai ada periode yang namanya Age of Enlightenment atau Abad Pencerahan, yang dalam pemikiran mereka maksudnya dicerahkan oleh terang akal budi (rasio). Lalu apa maksudnya ‘terang’ dalam bagian ini? Di sini kita tidak mendapatkan deskripsi tentang ‘terang’, Yesus cuma bilang: "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." Yesus bicara tentang terang, tentang terang hidup, mengikut Yesus, mengikut terang, tidak berjalan di dalam kegelapan. Tapi apa ‘terang’ itu? Kita bisa menafsir bagian ini dengan melihat perikop di atasnya dan di bawahnya.
Dalam perikop di atasnya, Saudara akan mendapati gambaran Yesus sebagai terang dunia itu maksudnya kontras dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang berjalan di dalam kegelapan. Apa artinya berjalan di dalam kegelapan? Yaitu sendirinya tidak sadar kalau dirinya berdosa, selalu melihat dosa/ esalahan orang lain. Tambahan lagi, judgmental, self-righteous, merasa benar sendiri, dst. dst. Yesus tampil sebagai terang dunia; waktu Dia berurusan dengan perempuan berdosa, Dia menyoroti bahwa bukan hanya perempuan ini yang berada di dalam kegelapan, tapi juga orang-orang di sana, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu. Terang itu, waktu hadir, dia tidak pilih kasih; tidak cuma menerangi orang-orang tertentu yang kita memang sudah berprasangka terhadap mereka, yang memang kita tidak suka dengan mereka sehingga kita selalu bongkar mereka.
Selain itu, Saudara akan mendapati bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini tidak mempunyai belas kasihan, tidak mempunyai kuasa pengampunan; sedangkan Yesus yang adalah terang dunia, mengatakan kalimat pengampunan kepada perempuan berdosa ini di ayat 11: “Aku pun tidak menghukum engkau.” Sebetulnya kalimat yang sama ini juga bisa berlaku atas orang-orang itu, tapi sayangnya mereka semua pergi, dikatakan ayat 9: Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Mereka pergi dari terang dunia. Pergi ke mana? Mereka masuk kembali di dalam kegelapan yang memang sudah ada pada mereka. Mereka masuk di dalam kematian karena mereka pergi meninggalkan Yesus, Sang Terang Dunia itu.
Waktu kita membahas ‘terang’ dalam kaitan dengan perikop yang di atasnya, kita mendapati Yesus adalah terang, di dalam pengertian Dia mengampuni orang yang berdosa, Dia berbelas kasihan kepada orang yang berdosa. Orang yang tidak kenal belas kasihan di dalam kehidupannya, itu berarti dia berjalan di dalam kegelapan. Selanjutnya dari perspektif perempuan yang berdosa, Yesus yang adalah terang dunia itu termasuk juga Yesus yang mengatakan “pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”. Yesus yang adalah terang dunia, membebaskan orang yang tidak bisa keluar dari kegelapan –si perempuan berdosa—yang akan berdosa lagi dan lagi dan lagi, kecuali Yesus membebaskan dia dan mengutus dia pergi tidak berbuat dosa lagi.
Penting sekali mengaku dosa secara komunal, sebagaimana mengaku dosa secara individual pribadi dalam kehidupan kita sehari-hari juga penting, sebab tanpa itu kita gampang sekali menjadi Gereja yang self-righteous, yang tidak rasa perlu mengaku dosa. Di sisi satunya, saya mengutip Pendeta Stephen Tong, hati-hati dengan pengakuan dosa yang bentuknya jadi seperti excuse, lalu akhirnya berbuat dosa lagi, mengaku dosa lagi, berbuat dosa lagi, mengaku dosa lagi, dst., terus seperti itu; berani berbuat dosa karena toh minggu depan ada pengakuan dosa lagi, ada pengampunan dosa lagi, lalu berbuat dosa lagi, dst. dst. Waktu kita membaca bagian ini, kalau kita mengatakan “Yesus adalah terang dunia”, berarti Dia itu terang yang sanggup mengeluarkan kita, supaya kita tidak berjalan di dalam kegelapan. “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”; di dalam spirit ini pengakuan dosa harus dimengerti, bukan di dalam spirit excuse.
Ada tafsiran yang menarik, mengatakan bahwa waktu Yesus memakai metafor ‘terang dunia’, Dia mengatakan “barangsiapa mengikut Aku”, jadi ini gambarannya adalah terang yang diikuti. Ini adalah terang yang di luar, yang diikuti.
Kita sering membahas Perjanjian Lama dari terang Perjanjian Baru. Kita juga harus menekankan yang sebaliknya, yaitu membahas Perjanjian Baru dari terang Perjanjian Lama, karena kita juga akan sulit mengerti Perjanjian Baru tanpa Perjanjian Lama. Yesus membangun di dalam satu tradisi yang panjang. Dalam pasal yang paling awal Injil Yohanes, yang dikatakan di situ sebetulnya membangun dari tradisi kitab Kejadian, yaitu teologi penciptaan, tentang terang, yang ada kaitannya dengan kehidupan. Allah menciptakan terang sebelum ada kehidupan; jika tidak ada terang, tidak ada kehidupan. Terang sangat berkaitan dengan kehidupan di dalam teologi penciptaan; ini di dalam dunia yang kelihatan. Lalu dalam perspektif Yohanes, ini dikaitkan dengan dunia yang tidak kelihatan (spiritual realm), bahwa orang yang tidak ada terang di dalam kehidupannya, dia juga tidak mungkin ada hidup dalam pengertian rohani. Orang yang berjalan di dalam kegelapan, berarti dia hidup di dalam kematian rohani. Kegelapan sama dengan kematian, sebagaimana terang sama dengan kehidupan.
Jadi waktu Yesus mengatakan “Akulah terang dunia”, Dia sekali lagi meng-afirmasi tradisi kitab Kejadian, tapi juga Keluaran. Dalam tradisi Keluaran, orang-orang Israel dikeluarkan dari penjajahan Mesir, dipimpin terang di padang gurun, yaitu tiang awan pada siang hari dan tiang api pada malam hari. Saya percaya itu memang literal, tapi sekaligus metafor. Metafor dalam pengertian apa? Siang hari memang keadaannya sudah ada terang, tapi yang dimaksud bukanlah terang tersebut, melainkan tiang awan. Awan dalam Perjanjian Lama menyatakan kehadiran Tuhan di tengah-tengah umat-Nya. Awan adalah yang memisahkan/ membatasi antara dunia yang tidak kelihatan (langit), dengan dunia yang kelihatan (dunia kita yang ada di bawahnya). Di atas awan adalah langit tempat Tuhan bertakhta, di bawah awan adalah kita di dalam dunia ini. Ketika ‘awan’ itu ada bersama-sama dengan bangsa Israel, ini seperti mengantisipasi cerita tabernakel, tentang Bait Suci, yang waktu awan itu turun berarti Tuhan hadir di tengah-tengah umat-Nya. ‘Awan’ itu menjadi terang yang memimpin kehidupan mereka; maksudnya bukan terang matahari, melainkan kehadiran Tuhan yang adalah terang, yang memimpin mereka. Awan Kemuliaan itu memimpin mereka berjalan melalui padang gurun.
Di malam hari, waktu bangsa Israel berjalan, itu tetap berjalan di dalam kegelapan karena memang malam hari. Dan hanya ada tiang api di situ, yaitu terang yang diikuti. Yahweh tidak memberikan matahari yang terang benderang pada malam hari untuk memimpin mereka, sehingga di manapun bangsa Israel berada di padang gurun itu, selalu siang. Bukan itu gambarannya; Yahweh memberikan tiang api. Secara sederhana, misalnya waktu kita camping, ada api unggun, lalu di sekitar api ada terang tapi di sekeliling Saudara masih kegelapan. Ini gambaran yang realistik, bahwa waktu kita mengikut Tuhan, itu bukan keadaan terang benderang, melainkan suatu keadaan yang ada terang memimpin kita di depan, yang kita bisa mengikutinya; atau, kita memilih berada di dalam kegelapan yang makin lama makin jauh dari terang itu. Tafsiran yang tadi saya sebut di atas, waktu membicarakan tentang imagery of following, mengatakan: When the original setting of 8:12 is seen in the Feast of Tabernacles, it is understood why the imagery of “following” the Light is employed instead of receiving it. Jadi pertama, gambarannya adalah mengikuti terang, bukan menerima terang. Memang ada bagian-bagian Alkitab yang mengatakan “kita menerima terang” — itu tidak salah– tapi bagian ini keindahannya karena yang dikatakan bukan ’menerima terang’ melainkan ‘mengikuti terang’.
‘Menerima terang’ berarti terang ada di dalam tangan kita, seperti sesuatu yang jadi milik kita. Contohnya, saya punya jam tangan; jam tangan ini milik saya, saya mau banting atau jual atau apapun terserah saya, ini sepenuhnya di dalam genggaman tangan saya. Kita bukan memiliki terang di dalam pengertian itu. Kita tidak pernah bisa memiliki Tuhan di dalam pengertian itu. Tuhan tidak pernah berada dalam genggaman tangan saya yang bisa saya apa-apakan; itu bukan Tuhan. Martin Luther waktu membicarakan tentang keselamatan/ kebenaran (righteousness) yang ada pada kita, dia mengingatkan bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang di dalam kita melainkan di luar kita; dalam bahasa Latin: ‘extra nos’, artinya ‘di luar kita’. Aspek ini penting di dalam spiritualitas Kekristenan. Dalam kaitan ini, model paradigma spiritualitas Postmodern adalah ‘exteriority’, sementara dalam Modern adalah ‘interior spirituality’. Hal ini betul bukan cuma dalam pengertian agama, tapi juga dalam filsafat; kalau Saudara membaca Hagel dan juga yang lainnya, memang amat sangat interior, spiritualitasnya di dalam, sementara orang Postmodern melihatnya di luar. Yang menarik, jauh ratusan tahun sebelum Postmodern, Martin Luther sudah mengatakan hal itu ‘extra nos’, di luar kita. Orang New Age percaya bahwa percikan ilahi itu ada di dalam, dan kita musti cultivate terang itu supaya kesadaran ilahi tersebut makin lama makin berkembang dan makin berkembang; tapi kita membaca di sini, Yesus mengatakan: "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku."
Memang dalam bagian lain kita tahu bahwa Yesus di dalam kita, dan kita di dalam Yesus; lalu mengapa dikatakan extra nos? Dua pernyataan ini bukan peryataan yang sama sekali berbenturan, tapi untuk menjaga, di dalam pengertian apa waktu mengatakan ‘Yesus itu di dalam’, waktu mengatakan ‘Roh Kudus itu ada di dalam’, waktu Alkitab mengatakan Dia adalah terang dunia dan kita mengikut Dia. Mengikut Dia, berarti Dia bukan di dalam, tapi di luar, dan kita ikuti. Ada dimensi lain yang mau diajarkan Alkitab dalam kehidupan kita, bahwa meski Tuhan itu ada di dalam kita, dan tidak masuk-keluar, tapi itu bukan dalam pengertian sebagaimana yang dimengerti oleh orang-orang yang menekankan interior spirituality. Saya kuatir dengan keagamaan yang pelan-pelan jadi subjektifisme, yang mengatakan “karena Tuhan bicara di dalam hati saya, maka saya tinggal mendengar suara hati” –padahal itu memang suara hati, bukan Tuhan. Suara hati tetap bukan suara Tuhan. Suara hati malah bisa jadi suara setan. Kalau kita tidak hati-hati, kalau kita tidak membaca Firman Tuhan, akhirnya pelan-pelan bergeser kepada subjektifitas manusia.
Kembali kepada tafsiran yang tadi, gambarannya adalah mengikut (following), bukan menerima (receiving); dia mengatakan “following the Light is employed, instead of receiving it, or walking in it”. Lawan kata dari ‘berjalan dalam kegelapan’ adalah ‘berjalan dalam terang’. Tapi tafsiran ini mengatakan, gambaran yang dipakai adalah ‘following the Light’, bukan ‘walking in the light’. Mengapa bukan ‘walking in the light’ (berjalan di dalam terang)? Saya merenungkan bagian ini, dan sepertinya, berjalan di dalam terang itu cuma ada di surga, ketika semuanya sudah terang-benderang, dan kita tidak pernah nyasar dalam arah mana pun karena kita sudah di surga. Selama kita masih di dalam dunia yang berdosa, kita dalam batas tertentu masih dikelilingi oleh kegelapan, namun keindahannya adalah ada terang kalau kita peka menangkap kehadiran terang itu; dan ini bukan terang yang terang-benderang. Sejak di zaman Yesus pun, Dia bukan terang yang terang-benderang, ada beberapa orang yang tetap buta, bukan karena terangnya Yesus, melainkan buta oleh dosa mereka sendiri –dalam hal ini yaitu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu.
Poin saya, gambaran yang disajikan di sini adalah semacam teologi realisme yang membawa kita melihat kehidupan ini memang masih ada kegelapan, bahkan begitu banyak kegelapan. Kita bukan berjalan di dalam terang yang terang-benderang. Teologi yang mengatakan kita berjalan dalam terang-benderang, mungkin teologi yang ilusif, yang tidak jujur dengan keadaan. Yang dikatakan di sini, meskipun orang itu berjalan dalam kegelapan, baginya ada terang, ada yang bisa diikuti, sebagaimana bangsa Israel di padang gurun dalam tradisi Keluaran berjalan di waktu malam yang tetap gelap karena memang malam. Tuhan tidak mengubah malam menjadi siang supaya orang Israel terus-menerus berada dalam keadaan siang; mereka tetap berada di dalam kegelapan malam, tapi ada tiang api di situ, yang mereka bisa ikuti. Dan gerakan tiang api itu tidak ada polanya; adakalanya berhenti, adakalanya bergerak.
Oleh sebab itu, waktu Yesus membicarakan tentang terang dunia, ini sedikit berbenturan dengan gambaran dalam filsafat, terutama filsafat kuno. Dalam gambaran mereka, terang itu sifatnya statis. Mungkin dalam imajinasi kita, kita juga bisa berpikir secara statis waktu bicara tentang terang, maksudnya Tuhan itu terang, lalu barangsiapa mendekatkan diri kepada Terang itu, dia makin sadar dirinya penuh dengan dosa; bahwa Tuhan adalah terang yang tak terhampiri, dan kita menghampiri terang tersebut tapi terangnya tetap diam di situ. Dalam hal ini, light as the being of God –terang itulah keberadaannya Tuhan. Tetapi menurut para sarjana Alkitab, terutama Perjanjian Lama, terang itu maksudnya adalah Yahweh in action, ada pergerakan, bukan Tuhan yang diam di dalam terang, dan statis, lalu manusia mau datang atau tidak terserah. Terang yang kita terima di dalam konsep Perjanjian Lama adalah terang yang bergerak.
Yesus yang adalah terang dunia, adalah Yesus yang bergerak. Mereka yang tidak bergerak bersama dengan Kristus, akan berada di dalam kegelapan. Metafor ini dijelaskan lagi dalam kitab Wahyu, yaitu pembicaraan tentang kaki dian yang diangkat –berarti bukan statis. Berbahagialah Gereja yang mengikuti kaki dian, bukan mempertahankan kaki dian. Tuhan bukanlah sesuatu yang seperti jam tangan, yang bisa Saudara pertahankan. Kalau Saudara berusaha mempertahankan Tuhan seperti itu, pasti itu bukan Tuhan. Tuhan kita adalah Tuhan yang bergerak.
"Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku”, dalam perkataan ini jelas siapa yang mengikut siapa, yaitu kita yang mengikut Tuhan, Terang yang bergerak itu. Pertanyaannya, bergerak ke mana Terang itu? Saya lompat ke bagian akhir, yaitu Yesus bergerak ke salib. Yesus bergerak ke Golgota, itulah jalan-Nya. Tapi mungkin kita mau by pass, kita maunya ‘kembali kepada Bapa’; kita bilang, “Yesus ‘kan terang dunia, Yesus mengatakan ‘barangsiapa mengikut Aku’, lalu Yesus ke surga; saya ikut Terang, Dia ke surga, jadi saya ke surga.” Nanti dulu. Memang Dia datang dari Bapa dan akan kembali kepada Bapa, tapi kalau Saudara membaca Injil, gambarannya tidak begitu. Dalam penutupan perikop ini, sudah ada petunjuk bahwa Yesus berjalan ke sana, yaitu sebagaimana dikatakan di ayat 20 ‘Dan tidak seorangpun yang menangkap Dia, karena saat-Nya belum tiba’. Dari kalimat ini, kita tahu bahwa saat-Nya suatu saat akan tiba, yaitu waktu Yesus naik ke atas kayu salib. Terang itu bergerak ke sana; bukan ke tempat sumber segala terang melainkan ke tempat yang paling gelap. Inilah paradoksnya.
Yesus yang betul-betul kudus, Dia menghampiri orang-orang berdosa. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu, yang kudusnya pas-pasan –seperti Saudara dan saya–mereka tidak bisa menghampiri orang-orang berdosa, mereka tahunya cuma bergaul dengan sesama orang-orang “kudus” yang kudusnya pas-pasan itu. Bahkan mereka juga tidak bisa bergaul dengan Yesus, karena Yesus terlalu kudus. Jadi mereka ini kategori orang-orang yang nanggung, yang tidak bisa bergaul dengan Yesus yang terlalu kudus, tapi bergaul dengan orang-orang berdosa pun tidak bisa. Sedangkan kalau kita melihat kehidupan Kristus, kita mendapati bahwa Yesus yang mahakudus itu bergaul dengan orang-orang berdosa, justru karena Dia mahakudus.
Karena Dia adalah terang dunia, Dia masuk ke dalam kegelapan, dan tidak akan ditelan oleh kegelapan. Saya pinjam penjelasan Neo Platonisme yang dipopulerkan Agustinus, bahwa kalau terang masuk, kegelapan tidak mungkin menguasai (ada ayat Alkitab yang juga mengatakan seperti itu); bahwa terang itu suatu eksistensi, tapi kegelapan bukanlah eksistensi melainkan the absence of something else, yaitu the absence of light. Terang, waktu dirinya ada, dia pasti menelan kegelapan; kegelapan tidak pernah akan bisa menelan terang karena kegelapan itu non exist, sedangkan terang itu exist. Tapi terang ini menuju ke tempat yang paling gelap. Yesus berjalan ke atas kayu salib, itu berarti memasuki daerah yang paling gelap. Justru pergerakan terang adalah menuju ke tempat yang gelap. Kalau kita mengikut Kristus, kita juga diutus berjalan menembusi kegelapan itu.
Waktu dikatakan dalam lanjutan kalimat tadi “ia tidak akan berjalan dalam kegelapan”, Saudara jangan salah mengertinya bahwa ini berarti saya terus menikmati berkat di dalam terang. Yang seperti ini adalah orang Kristen anak-anak, orang Kristen cengeng, orang Kristen yang tidak pernah bersaksi, tidak pernah menginjili, yang terus bergaulnya dengan anak-anak terang yang lain, dsb. Kalau kita membaca kitab Keluaran, waktu Israel berjalan –khususnya pada malam hari—mereka dikelilingi kegelapan, tapi ada tiang api yang memimpin mereka di sana. Orang-orang itulah yang mempunyai terang hidup. Mereka memilikinya, bukan dalam arti ‘within the grasp of my own hand’, melainkan memiliki secara extra nos, yang berarti berarti di luar kita, yaitu terang yang berjalan di depan dan kita mengikutinya.
Tetapi kalau kita anggap terang itu sudah di dalam diri kita sendiri, kalau penghayatan kita interior seperti orang-orang Modern –‘saya adalah pemilik kebenaran’ apalagi ‘saya adalah agen tunggal kebenaran’—hati-hati. Itu bukan ajaran Alkitab, karena kita mulai menghayati diri sebagai pemilik kebenaran, dan akhirnya kacau antara yang mana yang kebenaran, mana yang diri kita. Gereja Roma Katholik pernah jatuh dalam persoalan seperti ini di zaman Martin Luther; kita jangan mengulangi kesalahan yang sama. Oleh sebab itu, Luther bersikeras bahwa hal ini adalah extra nos, di luar kita; bahkan tentang keselamatan, dia mengatakan: ‘keselamatan itu pun bukan di dalam kita, tapi di luar kita’. Mungkin Saudara pikir, kalau begitu jadi tidak ada jaminan keselamatan dong?? bukankah harusnya di dalam, bahwa keselamatan itu jadi milik saya?? Martin Luther mengatakan, ‘keselamatan itu pun, bukan saya yang pegang, tapi Tuhan’. Kalau keselamatan ada di tangan saya, itu bisa luput; ibarat saya bisa dijambret, keselamatan saya bisa hilang kalau saya yang pegang. Maka keselamatan itu bukan di tangan saya, bukan saya yang pegang; keselamatan saya dipegang Tuhan, extra nos. Dan yang dipegang tangan Tuhan, tidak ada satu orang pun bisa merebutnya. Paling aman kalau keselamatan saya itu saya taruh di luar, di dalam tangan Tuhan, bukan di dalam diri saya. Pengertian ini luar biasa besar kalau kita mau menghayatinya dalam kehidupan kita. Kalau ini dikaitkan dengan lingkungan Postmodern kita, menurut saya sangat context sensitive untuk mengeksplor bagian teologi ini kembali, melawan pemahaman spiritualitas Modern yang amat sangat interior sampai tidak bisa membedakan lagi antara kebenaran dan saya; bahwa saya orang berdosa, dan kebenaran itu diberikan kepada saya, tapi tetap di luar saya, bukan sesuatu yang di dalam genggaman tangan saya sendiri, dst.
Waktu menyatakan diri-Nya sebagai Terang dunia, Yesus mengatakan: “barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan memiliki terang hidup” –bukan dalam pengertian ‘possessing’, melainkan dalam pengertian ‘mengikuti’. Mengikuti apa? Ayat 13: Kata orang-orang Farisi kepada-Nya: "Engkau bersaksi tentang diri-Mu, kesaksian-Mu tidak benar.” Kalau kita membaca keempat Injil, kita bisa merekonstruksi kesulitan jemaat mula-mula pada saat itu. Masing-masing penulis Injil ini ada jemaatnya/ komunitasnya; injil seperti suatu surat yang dituliskan bagi komunitas tersebut. Dengan Yohanes mengikut-sertakan catatan ini, kita bisa merekonstruksi kesulitan jemaatnya Yohanes –yang kepada mereka Yohanes menulis Injil ini– yaitu kesulitan bersaksi.
Hal ini sama juga sampai pada zaman kita. Dan ternyata Yesus sudah mengalami itu. Kita bilang, “Yesus adalah Tuhan”, lalu orang menjawab, “itu ‘kan kamu yang bilang, kamu ‘kan Kristen, ya tentu saja kamu bilang Yesus adalah Tuhan; coba cek orang-orang lain, ‘gak ada yang bilang gitu.” Perkataan seperti ini, sangat familiar bagi kita; waktu Saudara menginjili, memberitakan Firman Tuhan, mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan, bahwa ini kabar baik jawaban yang universal bagi persoalan universal, dsb., lalu orang jawab “ya, itu ‘kan menurut kamu”. Sebelum kita mengalami hal ini, sebelum jemaatnya Yohanes mengalami hal ini, Yesus sudah mengalaminya terlebih dulu; orang-orang Farisi itu mengatakan “Engkau bersaksi tentang diri-Mu, kesaksian-Mu tidak benar.” Orang Farisi mencurigai Yesus sebagai orang yang tidak taat kepada Taurat, karena menurut Taurat kesaksian itu harus ganda, atau lebih, sedangkan kalau tunggal, berarti kamu bicara tentang dirimu sendiri.
Yang menarik adalah jawaban Yesus di ayat 14: "Biarpun Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, namun kesaksian-Ku itu benar, sebab Aku tahu, dari mana Aku datang dan ke mana Aku pergi. Tetapi kamu tidak tahu, dari mana Aku datang dan ke mana Aku pergi.” Jawaban Yesus ini seperti ‘gak nyambung; yang lebih nyambung harusnya kalimat berikutnya, yaitu “Saya bersaksi bersama dengan Bapa”, karena mereka mempersoalkan kesaksian yang tunggal. Sedangkan soal tahu dari mana atau tidak tahu dari mana, urusannya apa dengan yang mereka persoalkan tadi?? Saudara jangan lupa, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai terang dunia; dan orang yang tidak mengikut Terang ini, dia berada di dalam kegelapan, maka pasti tidak tahu Yesus berasal dari mana. Mereka bukannya tidak tahu, mereka sok tahu. Mereka pikir, mereka mengenal asal-muasal Yesus, tahu sejak dari kecil bahwa Dia anaknya Yusuf dan Maria. Tapi mereka tidak pernah tahu bahwa Yesus berasal dari Bapa, yang mengutus Dia, dan Dia adalah yang diutus oleh Bapa. Perspektif ini sama sekali tidak ada, karena mereka tidak berjalan mengikuti Terang itu, karena mereka berjalan di dalam kegelapan.
Oleh sebab itu, jawaban Yesus ini juga menjadi satu penghiburan dasar ketika kita memberitakan Injil. Dunia bisa menyudutkan kita dengan persyaratan-persyaratan; mereka mengatakan “kamu musti begini dan begitu, baru bisa kita terima.” Tapi kalau kita melihat jawaban Tuhan Yesus, ada banyak jawaban yang tidak memenuhi kriteria dunia. Sebetulnya inilah pengharapannya, bahwa kita tetap akan menyaksikan Kristus, dan kesaksian itu benar, karena kita tahu Yesus berasal dari mana. Menurut Yesus, alasan ini cukup. Kalau kita tahu Yesus berasal dari mana –yaitu dari Bapa yang mengutus, dan Yesus adalah yang diutus oleh Bapa—maka kesaksian kita adalah kesaksian yang benar. Kesaksian kita jadi kesaksian yang tidak benar, kalau kita tidak tahu Yesus dari mana, alias kita cuma tahu Dia keturunan manusia biasa, Yusuf dan Maria. Kalau seperti ini, kesaksian kita jadi tidak benar karena ini adalah perspektif orang yang masih hidup di dalam kegelapan. Lalu di sini dunia bisa menuduh “kalau begini namanya circular reasoning, balik lagi ke situ; ditanya ‘buktinya apa’ lalu dijawab ‘buktinya karena saya tahu Yesus berasal dari surga’, jadi tidak ada pembuktian dong kalau begini”. Saudara jangan lupa, di dalam Alkitab dicatat Yesus dicobai oleh Iblis, dan juga tidak ada pembuktian di situ. Waktu Iblis mengatakan “jikalau Engkau Anak Allah, lakukan ini”, apakah Yesus bilang “kurang ajar, Saya ditantang; bukan saja Saya bisa menjadikan batu jadi roti, Saya juga bisa mengubah Iblis jadi batu!” ?? Tidak ada yang seperti itu. Yesus bergeming. Yesus tidak menanggapi sama sekali, karena Kekristenan bukan dipanggil untuk membuktikan diri, Yesus juga tidak tertarik untuk membuktikan diri.
Jadi dalam bagian ini Saudara melihat ada penyudutan dari dunia, tapi kalimat yang dikatakan Yesus ini penting untuk kita; bukan penting untuk orang yang tidak percaya, karena mereka yang tidak percaya juga tidak akan menerimanya. Mengapa suatu kesaksian benar? Yesus mengatakan bahwa kesaksian itu benar, karena yang bersaksi itu tahu dari mana Yesus datang dan ke mana Yesus akan pergi. Ini bicara tentang Allah Tritunggal. Pengenalan Allah yang sejati adalah pengenalan Allah Tritunggal. Pengenalan Allah Tritunggal adalah kehidupan kekal. Di dalam Injil, Saudara mendapati penekanan ini terutama dalam Injil Yohanes; Yesus bolak-balik bicara mengenai Dia yang diutus dan Bapa yang mengutus, Yesus berasal dari Bapa dan akan kembali kepada Bapa. Perspektif ini tidak dimengerti oleh orang-orang yang di dalam kegelapan, “kamu tidak tahu, dari mana Aku datang dan ke mana Aku pergi.”
Ayat 15-16 “Kamu menghakimi menurut ukuran manusia, Aku tidak menghakimi seorangpun, dan jikalau Aku menghakimi, maka penghakiman-Ku itu benar, sebab Aku tidak seorang diri, tetapi Aku bersama dengan Dia yang mengutus Aku.” Penghakiman sangat ada kaitannya dengan metafor terang. Ketika terang yang sesungguhnya diberikan, maka orang yang mengikuti terang akan bisa membedakan. Salah satu fungsi dari terang adalah to judge. Kita di dalam Kekristenan waktu bicara tentang menghakimi, biasanya sudah agak terdistorsi pengertiannya; banyak orang Kristen sendiri mengatakan, “orang Kristen tidak boleh menghakimi, karena Yesus bilang ‘jangan menghakimi, barangsiapa menghakimi maka dia akan dihakimi’.” Bolak-balik putar di ayat itu terus, padahal ada begitu banyak ayat lain yang bicara soal penghakiman. Kalau kita melihat di bagian itu, persoalannya bukanlah tidak boleh menghakimi sama sekali, melainkan menghakimi menurut ukuran siapa.
Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu menghakimi perempuan yang berzinah dengan main hakim sendiri. Bukan tidak boleh menghakimi, tapi mereka lupa menghakimi diri mereka sendiri. Waktu Yesus menulis di tanah, itu gestur Ilahi, menyatakan bahwa Firman Tuhan sebetulnya juga untuk kamu, bukan cuma untuk dia. Tapi mereka terlalu berada dalam kegelapan sampai tidak bisa membaca gestur Ilahi. Kalau mereka berani menghakimi perempuan itu, seharusnya mereka juga menghakimi diri sendiri. Maka Yesus mengatakan, “Kamu menghakimi menurut ukuran manusia, Aku tidak menghakimi seorangpun”, dan memang betul Yesus tidak menghakimi, Yesus mengampuni; “Anak Manusia datang bukan untuk menghakimi dunia, tapi untuk menyelamatkannya.” Perempuan berdosa ini harusnya boleh dihakimi dan dihukum oleh Yesus, tapi Yesus mengatakan, “Aku pun tidak menghukum engkau”, berarti memang betul Yesus tidak menghakimi. Tapi di ayat 16 dikatakan: “kalaupun Aku menghakimi” –dan kita tahu, memang Yesus akan datang lagi untuk menghakimi—“maka penghakiman-Ku itu benar, sebab Aku tidak seorang diri”, Dia menghakimi bersama dengan Bapa.
Saudara lihat di sini ada penghakiman yang sah waktu itu dilakukan bersama dengan Allah. Apa artinya untuk konteks kita? Calvin mengatakan, “waktu kita bersaksi, berbicara tentang Kristus, di situ Roh Kudus juga ikut bersaksi” –ini perkataan Alkitab. Waktu Saudara dan saya bersaksi tentang Kristus, kita bukan cuma berbicara sendiri, tapi Roh Kudus juga bersaksi bersama dengan kita. Jadi kesaksian kita bukan cuma bergantung pada canggihnya logika manusia atau retorika atau intonasi, dsb., melainkan sangat bergantung pada kesaksian Roh Kudus yang bersaksi bersama dengan kita atau tidak. Kalau kita bersaksi sendiri dan tidak ada Roh Kudus yang ikut bersaksi, itu kesaksian yang tidak sah kalau menurut Taurat. Tapi Saudara mungkin mengatakan, ‘waktu saya bersaksi, bagaimana dunia tahu ada Roh Kudus yang ikut bersaksi’. Dunia tidak bisa tahu bahwa ada Roh Kudus yang ikut bersaksi. Itu sama persis dengan yang terjadi di perikop ini, Yesus sudah mengalaminya terlebih dulu sebelum Saudara mengalami.
Waktu Yesus bersaksi, Dia tidak bersaksi tentang diri-Nya sendiri karena ada Bapa yang turut bersaksi bersama dengan Kristus, tapi dunia tidak mengenal Bapa. Dunia tidak mengenal Allah. Buktinya, waktu Yesus mengatakan, “dalam kitab Tauratmu ada tertulis, bahwa kesaksian dua orang adalah sah; Akulah yang bersaksi tentang diri-Ku sendiri, dan juga Bapa, yang mengutus Aku, bersaksi tentang Aku", tanggapan mereka: "Di manakah Bapa-Mu?" (ayat 19). Waktu kita bersaksi tentang Kristus, dan Roh Kudus bersaksi tentang Kristus, dunia juga akan bertanya, “Mana Roh Kudus itu? tidak kelihatan, mana buktinya? Itu ‘kan menurut kamu” –kembali lagi ke situ. Orang yang ada di dalam kegelapan, tidak akan mengerti kebenaran kecuali Roh Kudus sendiri menyingkapkan di dalam kehidupannya.
Kalau kita berjalan mengikuti Kristus yang adalah Terang dunia, kita dipanggil untuk hidup bersaksi tentang Kristus. Dalam kotbah pasal-pasal awal, kita sudah membahas bahwa istilah ‘saksi’, setting in live-nya ada di ruang pengadilan; adanya seorang saksi adalah di tempat pengadilan. Di pengadilan, ada yang bersaksi ada yang didakwa, dan ada yang mendakwa (hakim). Kalau kita menyebut diri saksi, lalu terdakwanya itu siapa? Yang terdakwa sebetulnya adalah Yesus. Sekarang ilustrasi sederhana, misalnya Saudara difitnah orang sampai diseret ke pengadilan padahal tidak bersalah. Lalu Saudara bawa seorang saksi, yaitu orang yang sangat mengenal Saudara, tapi giliran dia harus bersaksi, dia diam. Orang seperti ini, sebenarnya sahabat atau orang jahat? Saudara akan kecewa luar biasa, dia tahu persoalannya, tapi dia diam saja. Kita ini saksi Kristus; Yesus di dalam dunia ini didakwa. Orang menganggap Dia pembohong, orang gila, bukan Tuhan tapi ngaku-ngaku Tuhan; dan kita diam. Jadi kita ini murid Kristus atau orang jahat sebetulnya? Kita tahu kebenaran dan kita diam, tidak bicara apa-apa sementara Yesus didakwa terus-menerus. Dalam ruang pengadilan kita menyaksikan Yesus yang akan dibawa ke atas kayu salib, lalu kita bilang ‘ya, sudah tidak apa-apa; sudah pernah ke salib, disalib lagi saja tidak apa-apa’; begitukah? Yesus sudah pasti tidak akan disalib lagi, Dia tidak mungkin disalib 2x, Dia akan datang kembali menjadi hakim. Tapi celakalah orang-orang yang tidak berbagian dalam kehidupan yang menjadi saksi Kristus.
Kita dipanggil menjadi saksi Kristus. Suatu saat Dia akan datang lagi. Tapi celakalah orang-orang yang di ruang pengadilan sudah tahu Yesus didakwa namun diam seribu bahasa, tidak ada perkataan apa-apa, tenang-tenang saja. Tidak ada pemberitaan tentang Kristus, tidak ada kesaksian bersama dengan Roh Kudus, sehingga Roh Kudus seperti bersaksi sendirian, atau bersaksi dengan memakai orang-orang lain karena kita tidak tertarik untuk bersaksi bersama dengan Roh Kudus. Apakah orang seperti itu orang yang mengikut Terang?
Yesus Terang dunia, Dia bersaksi tentang diri-Nya sendiri bersama dengan Bapa, lalu Dia berkata di sini “barangsiapa mengikut Aku”. Orang mengatakan ‘ikut Kristus, ikut Kristus’, tapi luar biasa abstrak. Apa artinya ‘ikut Kristus’? Kalau menurut bagian ini, Yesus itu Terang dunia, dan Dia memberitakan diri-Nya sendiri bersama dengan Bapa; jadi kalau mau ikut Yesus, artinya beritakanlah Yesus, jadilah saksi Kristus seperti Kristus senantiasa menjadi saksi Bapa. Roh Kudus menjadi saksi Kristus, lalu Roh Kudus, bersama-sama dengan kita, mau supaya kita menjadi saksi Kristus. Itulah berjalan mengikut Terang. Orang yang tidak melakukan ini, dia berjalan dalam kegelapan. Saudara jangan bilang “aku mengikut Kristus, Dia Terang dunia,” tapi cuma dalam perkataan dan tidak menjadi saksi Kristus; itu bukan mengikut Kristus. Kalau kita tidak berjalan di tengah kegelapan bersaksi tentang Terang itu, bersama dengan Roh Kudus yang ada pada kita, berarti kita tidak mengikut Kristus, dan kita tetap berada dalam kegelapan karena Yesus terus bergerak bersaksi tentang diri-Nya sendiri sampai pada akhirnya. Berbahagia waktu kita terlibat dalam kehidupan kesaksian seperti ini, di ruang pengadilan tadi.
Tapi Yesus memang mengatakan: "Baik Aku, maupun Bapa-Ku tidak kamu kenal. Jikalau sekiranya kamu mengenal Aku, kamu mengenal juga Bapa-Ku." Ini Tritunggal; Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Waktu kita bersaksi, kita bukan bersaksi sendirian, tapi bersama dengan Roh Kudus. Roh Kudus itulah yang bisa membawa orang melihat bahwa Kristus adalah Terang dunia, yang diutus Bapa, ada Bapa yang mengutus Dia.
Terakhir, ayat 20 ‘Dan tidak seorangpun yang menangkap Dia, karena saat-Nya belum tiba.’ Kalau diterapkan dalam kehidupan kita, kita tidak tahu apakah suatu saat ada penganiayaan orang-orang Kristen seperti di zaman Gereja mula-mula atau tidak. Mungkin hal itu akan datang, mungkin kita juga tidak layak untuk mengalaminya, hanya Tuhan yang tahu. Kalau saatnya belum tiba, ya, belum tiba. Kalau saatnya datang, ya, saatnya memang sudah datang. Tapi penghiburannya, ketika saatnya tiba, kita justru mengalami persekutuan yang lebih erat lagi dengan Kristus, karena Dia sendiri mengalami itu. Yang didakwa itu Kristus, dan di situ murid-murid –termasuk Yohanes—menjadi saksi-Nya. Lalu pelan-pelan setelah saksi-saksi ini bertambah dewasa, mereka kemudian yang berada di kursi terdakwa. Yang tadinya dalam posisi saksi, akhirnya dalam posisi yang dihakimi, seperti juga Petrus, Yohanes, dll. Yang ditarik ke ruang pengadilan pertama-tama adalah Allah. Bapa disudutkan di ruang pengadilan oleh dunia yang berdosa, dan selama Yesus ada di dalam dunia, Dia menjadi saksi Bapa-Nya. Selanjutnya Yesus masuk ke kursi terdakwa, dan ada murid-murid-Nya yang bersaksi tentang Kristus yang tidak berdosa itu. Murid-murid-Nya ini pelan-pelan menduduki kursi terdakwa juga, mereka dibawa ke ruang pengadilan dan didakwa. Ini berarti ada hubungan yang makin lama makin erat dan makin erat, makin bersekutu dengan Kristus.
Saudara dan saya dipanggil masuk ke dalam kehidupan yang seperti itu. Meskipun saatnya mungkin belum tiba, tapi suatu saat kita akan memasuki periode “golgota” kita masing-masing. Meminjam perspektifnya Lukas, dalam Injil Lukas Yesus berkata: “Barangsiapa mau mengikut Aku, dia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari, dan mengikut Aku”. Barangsiapa mengikut Yesus, dia harus menyangkal dirinya dan memikul salib setiap hari. Ini penting karena Lukas mau mengoreksi satu pandangan bahwa mengikut Yesus harus berarti jadi martir; oleh sebab itu di sini dikatakan ‘setiap hari’. Memang murid-murid Gereja mula-mula banyak sekali yang jadi martir, tapi Lukas mengatakan ‘memikul salib setiap hari’, artinya meskipun kita tidak jadi martir, kita tetap bisa mengikut Kristus. Ini satu pengikutan yang dibuka lebar, bukan secara elitis bagi orang-orang yang menjadi martir saja, melainkan orang-orang yang memikul salibnya setiap hari, yang mati setiap hari, yang ke Golgota setiap hari, bukan menunggu pada akhir kehidupan kita waktu penganiayaan terjadi. Menurut Lukas, sehari-hari pun saatnya sudah tiba, yaitu waktu kita tekun memikul salib.
Apa artinya memikul salib? Yaitu menyangkal diri. Kita tahu Yesus itu menderita; kalau kita kurang menderita seperti Yesus, itu karena kita kurang mencintai. Yesus mencintai kita, dan Dia mati menderita di atas kayu salib. Orang yang mencintai, pasti menderita, karena yang kita cintai adalah orang yang berdosa. Orang lain, yang mencintai kita, juga sama, menderita. Di dalam penderitaan ini –penderitaan karena mencintai– kita mengerti apa artinya penderitaan Kristus di kayu salib. Kita tidak bicara penderitaan yang bukan karena cinta, sebab Yesus tidak menderita tanpa cinta. Yesus menderita karena cinta. Maka persekutuan di dalam penderitaan Kristus, seperti yang dikatakan Paulus, maksudnya adalah penderitaan karena cinta, karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini.
Jadi meskipun bagian ini membicarakan ‘saat yang belum tiba’, tapi kalau kita melengkapi dengan perspektif Lukas, ada ajakan untuk memikul salib setiap hari tanpa harus menunggu mati martir, yaitu waktu kita mencintai. Dan yang mencintai itu yang memiliki terang, bersama dengan Yesus, akan menembusi kegelapan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading