Kita melanjutkan pembahasan mengenai Daud, meski pasal ini boleh dikatakan fokusnya bukan pada Daud; pasal ini merupakan akhir dari kisah Saul. Ini adalah pasal terakhir Kitab 1 Samuel, tapi aslinya kitab Samuel merupakan 1 buku, penulisnya tidak membagi dua di sini. Tapi di sisi lain, memang cukup tepat membelah kitab Samuel di bagian ini, karena sebelumnya banyak sekali benang-benang cerita sepanjang 1 Samuel yang sudah diperlihatkan, kemudian dituntaskan di pasal ini. Ibaratnya 1 Samuel ini suatu serial TV, maka pasal 31 ini merupakan season finale; benang-benang cerita sudah ditebarkan sepanjang episode-episode dan ending-nya adalah pasal ini. Tapi ending dalam kisah ini bukan suatu ending yang unexpected / plot twist gaya season finale yang tidak terbayangkan; bagi kita sudah cukup jelas bahwa Saul harus mati. Kita tahu ini dari perkataan Samuel waktu dia masih hidup (pasal 13, 15), bahkan juga perkataannya setelah dia mati (pasal 28). Namun ketika kita melihat akhir hidup Saul ini, kita bisa merasakan bahwa sang narator bukan merasa lega; narator menghadirkan pasal ini dengan begitu berat. Kita akan membahas hal ini.
Pertama, kita membahas ayat 1-6. Di ayat 1 ada kata “sementara itu”; ini sekali lagi memperlihatkan pola yang sama, bahwa bagian-bagian dalam pasal-pasal terakhir ini terjadi dalam waktu yang bersamaan. Dan pasal 31 ini adalah bagian terakhir dari sequence yang concurrent ini. Di bagian yang lalu, Daud terjepit oleh orang-orangnya di Ziklag, sementara Saul terjepit juga lalu dia mencari tukang tenung. Lalu keesokan harinya Daud menyerbu orang-orang Amalek untuk membebaskan pengikut-pengikutnya, dan pada saat yang sama Saul diserbu oleh orang Filistrin di Lembah Yizreel. Sekarang di pasal ini kembali kita melihat satu paralel lagi; dikatakan di ayat 1 Israel terpukul kalah dan mereka melarikan diri dari orang Filistin, dan dalam kisah Daud di bagian sebelumnya, ada 400 orang Amalek yang melarikan diri dari Daud.
Kita sudah melihat cukup banyak bahwa antara Saul dan Daud selalu diparalelkan untuk dikontraskan, demikian juga di pasal ini, ada beberapa paralel yang menutup benang-benang keseluruhan ceritanya. Misalnya, di ayat 3 Saul dilukai para pemanah, lalu dia memerintahkan pembawa senjatanya untuk mengakhiri nyawanya sebelum dirinya dijadikan bulan-bulanan oleh orang Filistin; dan kita ingat di pasal 16 Daud dulu adalah pembawa senjatanya Saul. Jadi ada satu ironi di sini, pembawa senjata Saul yang dulu –yaitu Daud—pernah menyelamatkan nyawanya Saul, dan kini Saul meminta pembawa senjatanya yang sekarang untuk menghabisi nyawanya. Ironi berikutnya –yang juga ada bayang-bayang Daud– yaitu sama seperti pembawa senjata yang dulu itu (Daud) tidak mau menyentuh orang yang diurapi Tuhan, demikian juga pembawa senjata yang sekarang ini.
Saudara lihat juga di sini nasib Saul setelah mati, kepalanya dipancung oleh orang-orang Filistin. Kita ingat, Daud masuk dalam kisah 1 Samuel dengan memancung kepala orang Filistin, yaitu Goliat, tapi sekarang Saul keluar dari kisah 1 Samuel ini dengan kepalanya dipancung oleh orang Filistin. Selain itu, baju zirah dan persenjataan Saul dirampas, dilucuti, lalu dipajang di kuil Asytoret, sebagai satu trofi kemenangan dewa mereka. Demikian juga halnya pedang Goliat dalam kisah-kisah sebelumnya, ditaruh sebagai satu trofi di rumah Allah, di Nob (sebelum diambil oleh Daud).
Satu lagi paralel dengan Daud, ada pada rangkuman di ayat 6, “Jadi Saul, ketiga anaknya dan pembawa senjatanya, dan seluruh tentaranya sama-sama mati pada hari itu.” Ini sangat kontras dengan pasal sebelumnya, yaitu Daud selamat dari tangan orang-orangnya, Daud berhasil menyelamatkan istri-istrinya, Daud berhasil menyelamatkan seluruh keluarga pasukannya dan juga harta benda mereka. Jadi Daud membawa kembali semuanya, kontras dengan Saul yang kehilangan semuanya.
Meskipun paralel antara Saul dengan Daud jelas ada dalam pasal ini, saya ingin mengarahkan perhatian Saudara pada satu paralel yang paling utama yang dihadirkan oleh narator, yang bukan antara Saul dan Daud lagi, melainkan antara pasal terakhir 1 Samuel ini dengan pasal-pasal pertamanya, suatu alur cerita yang sudah masuk sejak awal dan kemudian diakhiri di bagian ini. Saudara bisa menemukannya kalau memperhatikan motif kalimat ‘melarikan diri’ di ayat 1 pasal ini. Tadi kita sudah mengatakan tentang ‘melarikan diri’ ini, kontrasnya adalah orang Amalek melarikan diri dari Daud, sedangkan Saul dan tentaranya malah melarikan diri dari orang Filistin. Tetapi sebenarnya paralelnya lebih dalam daripada itu, karena dalam seluruh 1 Samuel, tentara Israel tidak pernah dicatat melarikan diri kecuali 2 kali, yaitu di pasal terakhir ini dan di pasal 4 ketika mereka melawan orang Filistin juga.
Ketika itu Israel masih di bawah Imam Eli dengan kedua anaknya, Hofni dan Pinehas. Mereka membawa tabut Allah melawan orang Filistin, dan mereka terpukul kalah, melarikan diri dari hadapan orang Filistin. Kedua kejadian ini sangat mirip. Sama seperti pertempuran di pasal terakhir, dalam pertempuran yang di pasal awal ini orang Filistin juga menggunakan kota Afek sebagai markasnya. Tapi yang mengerikan adalah hasil pertempurannya, yaitu pemimpin Israel beserta anak-anaknya mati. Dalam peperangan di pasal 4, Imam Eli mati, anak-anaknya yaitu Hofni dan Pinehas mati juga; dalam pertempuran di Lembah Yizreel di pasal terakhir, Saul –pemimpin bangsa Israel—mati, dan anak-anaknya, yaitu Yonatan, Abinadab, dan Malkisua, juga mati. Narator dengan sengaja menarik secara paralel dua kejadian yang sangat mirip ini; maksudnya apa? Karena insiden kekalahan di pasal 4 inilah yang memicu orang Israel minta raja kepada Tuhan, yaitu “supaya kami kuat, supaya kami tidak ditindas orang-orang Filistin.” Lalu kepada mereka diberikan Raja Saul. Dan di akhir hidup raja ini, dia bertempur dengan orang Filisttin, dia terpukul kalah, tentaranya melarikan diri, dan dia beserta anak-anaknya juga mati. Ada satu hal yang tragis sekali dalam seluruh insiden ini, bahwa keberadaan Saul sebagai raja, itu tidak mengubah apa-apa. Saul diangkat jadi raja untuk melawan orang Filistin, dan dia berakhir terbunuh oleh orang Filistin. Ia datang sebagai raja dalam kasus orang Israel terpukul kalah dan melarikan diri, dan dia berakhir sebagai raja dalam kasus orang Israel terpukul kalah dan melarikan diri, dan anak-anaknya mati semua. Sama persis.
Ironi berikutnya. Kematian Saul adalah dengan cara dia menjatuhkan dirinya di atas pedang. Detail ini menarik, karena di pasal 4, Imam Eli setelah mendengar kabar bahwa Tabut Perjanjian Allah diambil, dia jatuh, dan mati. Dua-duanya mati karena jatuh.
Nuansa tragis bukan cuma disajikan lewat paralel-paralel ini, tapi juga dengan penggambaran adegan yang makin lama makin sempit dan makin menjepit. Di ayat 1 kita masih melihat gambaran besar, yaitu peperangan antara dua pihak, dan peperangan tersebut berlanjut dari Lembah Yizreel ke Gunung Gilboa. Ini masuk akal, karena orang Filistin menggunakan kereta kuda untuk berperang, dan kereta kuda cuma efektif di lembah yang datar; dan tentunya orang Israel setelah terpukul kalah akan mundur ke daerah pegunungan yaitu Gunung Gilboa. Tapi selanjutnya gambarannya makin menyempit, makin personal. Di ayat 2, yang dikatakan mati bukan lagi cuma tentara-tentara melainkan anak-anak Saul, yaitu Yonatan, Abinadab, Malkisua. Ayat 3 lebih menyempit lagi, Yonatan, Abinadab, dan Malkisua sudah hilang dari gambaran, yang tersisa cuma menit-menit terakhir sebelum Saul dihajar pasukan Filistin yang mendekat untuk menghabisi setelah mereka memanah dirinya. Di sini ada Saul dan pemanah Filistin yang membuatnya terluka.
Setelah itu gambarannya makin menyempit lagi, sekarang pemanah itu pun sudah tidak ada, hanya tersisa Saul dengan satu-satunya orang yang masih bersama dia, yaitu pembawa senjatanya. Saul mengatakan, ‘bunuh aku, habisi aku, karena tidak ada kemungkinan lagi untuk hidup, supaya aku tidak jadi bulan-bulanan mereka’. Tapi dalam kondisi yang tinggal berduaan seperti ini, pembawa senjatanya tidak mau mengabulkan permintaan terakhir Saul. Maka pada akhirnya, Saul begitu sendirian, sangat sendirian, dan dia hanya bisa melakukan satu hal dalam kesendiriannya, yaitu jatuh di atas pedangnya. Inilah truly alone. Atau kalau kita mau bilang bahwa Saul tidak benar-benar sendirian, siapakah yang ada bersama dengan dia pada akhirnya? Hanya senjatanya. Ini lebih tragis lagi, karena di sini kita melihat sekali lagi motif ‘Saul dengan senjatanya’. Kita tahu Saul tidak pernah jauh dari senjatanya, yaitu tombaknya, dan akhirnya efektifitas kegunaan senjatanya itu hanya untuk menelan dirinya sendiri. Dia dulu menombak Daud tapi meleset, menombak Yonatan tapi tidak kena, akhirnya kena dirinya sendiri. Ini seperti dalam film, seseorang yang punya pistol bagus tapi menembak tembok orang tidak pernah kena, lalu di akhir cerita ketika peluru itu mengenai seorang target, target itu adalah dirinya sendiri. Tragis. Saul akhirnya mati oleh tangannya sendiri. Oleh sebab itu bagian ini ditutup dengan kalimat singkat yang begitu fatalistik, “Jadi Saul, ketiga anaknya dan pembawa senjatanya, dan seluruh tentaranya sama-sama mati pada hari itu.”
Sekarang kita masuk ayat 7-10. Di sini kita melihat bukan cuma Saul mati, tapi juga dampak yang datang setelah kematiannya. Jangan lupa, Saul seorang yang diurapi Tuhan; dan ‘yang diurapi Tuhan’ adalah titel ‘Massiah/ Mesias’ (the anointed one). Jadi Saul dihadirkan sebagai figur ‘mesias’; oleh sebab itu yang kita lihat di sini bukan cuma dampak kematian seorang Saul, melainkan dampak kematian seorang figur mesias.
Pertama kita melihat dampaknya bagi orang Israel, yatu mereka kehilangan harapan. Di ayat 7 dikatakan bahwa orang-orang Israel yang tinggal di daerah itu kabur meninggalkan kota mereka, sehingga orang Filistin dengan mudahnya cuma datang lalu langsung tinggal menempati kota-kota tersebut tanpa perlawanan sama sekali. Ini konsekuensi yang sangat serius, karena tanah/ tempat tinggal pada waktu itu bukan cuma properti seperti di zaman sekarang, melainkan satu identitas. Tanah adalah pusaka/ warisan/ tanah keluarga turun temurun yang tentunya tidak gampang untuk ditinggalkan. Pada hari ini pun Saudara tahu bahwa tanah tempat tinggal adalah identitas Saudara; misalnya ‘saya orang Tegal’, ‘saya orang Pekanbaru’ –itu identitas Saudara. Bahkan gempa, tsunami, dan likuifaksi tanah yang terjadi di Palu, ternyata tidak sebegitu kuatnya untuk merenggut identitas orang yang tinggal di sana, tidak banyak dari mereka yang terkena bencana itu mau pindah ke kota lain; mereka memang move on, tapi move on di tempat itu lagi, karena tanah adalah identitas.
Jadi di bagian ini, kematian Raja Saul, mesiasnya orang Israel pada saat itu, sebegitu berdampaknya sehingga orang-orang di kota tersebut pupus harapan, ‘tidak ada gunanya saya tinggal di sini lagi’, mereka merelakan kehilangan identitasnya. Dampaknya bukan cuma secara individual tapi juga kenegaraan, karena dengan Filistin menduduki daerah Israel tersebut, berarti membelah putus teritori Israel, yaitu antara daerah Israel di utara dengan Yehuda di selatan. Ini berarti kembali ke zaman 1 Samuel 4, ketika orang Israel tinggal di daerah yang diduduki bangsa-bangsa lain, dan mereka ditindas. Jadi tanpa seorang mesias –meski “mesias KW 10” pun—tidak ada harapan bagi orang Israel.
Yang lebih menarik adalah ketika kita melihat dampaknya bagi orang Filistin. Di ayat 8 dikatakan bahwa mereka mendapati mayat Saul. Kata ‘mendapati’ di sini menunjukkan bahwa orang-orang Filistin ini tidak menyangka akan menemukan mayat Saul di situ, karena biasanya mayat raja dan keluarga raja akan dibawa pulang oleh tentara yang kabur sebelum musuh mendapatkan mayat-mayat tersebut, karena bisa dijadikan bahan propaganda mereka. Adanya mayat Saul dan anak-anaknya yang ditelantarkan di medan perang, menunjukkan betapa dahsyatnya kekalahan yang dialami Israel. Bukan sesuatu yang dibesar-besarkan bahwa seluruh tentara Saul mati di medan perang itu, bahkan tidak ada yang tersisa untuk memberikan penguburan. Meninggalkan mayat terlantar di medan perang tanpa penguburan adalah sesuatu yang keji bagi orang-orang pada masa itu. Ada satu drama karya Sophocles, berjudul “Antigone”, yang seluruh ceritanya mengenai perjuangan dua orang kakak beradik untuk menguburkan saudara mereka yang tewas di medan perang; Saudara bisa bayangkan! Pada waktu itu, mayat yang telantar di medan perang dianggap hukuman paling berat, si terhukum bukan cuma dihukum ketika masih hidup, tapi bahkan melampaui kematian. Itulah yang terjadi. Orang Filistin lalu memancung kepala Saul, dan benar saja, mereka menjadikannya propaganda. Mereka memasang tubuh tanpa kepala ini di tembok kota Bet-Sean; lalu senjata-senjatanya –lebih tepat adalah baju zirahnya—dilucuti dan dijadikan trofi kemenangan dalam kuil Asytoret –seperti pedang Goliat juga pernah disimpan di rumah Allah, di Nob.
Sekarang kita akan mendiskusikan beberapa hal. Pertama, mengenai bunuh diri Saul. Ada orang yang mengatakan bahwa ini satu gestur yang positif; dengan dia bunuh diri, paling tidak kehormatannya terjaga, karena dia tidak mati dibunuh orang Filistin. Tetapi bunuh diri di sini sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Tujuan Saul minta bujangnya menghabisi dia, adalah supaya dirinya tidak dijadikan bahan propaganda; tapi bujangnya menolak, lalu ia bunuh diri. Setelah itu, apakah menyelesaikan masalah? Tidak, bahkan membuat tragedinya makin bertambah karena ujung-ujungnya tetap saja mayatnya dipermalukan, dan senjata-senjatanya tetap dijadikan trofi di kuil orang Filistin. Agak berbahaya kalau kita mengomentari isu-isu populer, seperti euthanasia, dari ayat-ayat seperti ini, karena ayat-ayat ini bukan ditulis untuk tujuan demikian. Tapi kalau kita mau komentar sedikit saja, Saudara lihat, walaupun Alkitab tidak pernah melarang orang bunuh diri (tidak pernah ada larangan eksplisit bahwa tidak boleh bunuh diri), dalam keenam kasus bunuh diri yang ada di Alkitab –termasuk kasus Saul—tidak pernah Alkitab menghadirkan bunuh diri sebagai solusi atau satu cara meminimalkan tragedi. Justru bunuh dirinya Saul menambahkan tragedi ke dalam kisah yang sudah penuh tragedi.
Hal yang paling tragis dari semua ini, bukanlah dalam hal natur Saul mati dan tetap dijadikan bahan propaganda orang Filistin, tapi bahwa propaganda ini bagi orang Filistin bukan cuma bersifat militer atau strategis melainkan bersifat spiritual. Kematian raja musuh benar-benar dianggap kabar baik, karena bukan cuma secara militer musuhnya kalah –dan saking kalahnya sampai mereka tidak bisa mengambil jasad raja mereka– melainkan bahwa orang-orang Filistin melihat kematian Raja Saul sebagai sesuatu yang bernilai teologis; ini berarti bukan cuma raja musuh yang kalah tapi juga dewanya musuh dikalahkan. Orang Filistin sangat bahagia mendapatkan mayat Saul, bukan karena mereka ada dendam pribadi dengan Saul, tapi yang penting adalah kalau raja Israel sudah kalah berarti dewanya juga sudah kalah, mesiasnya kalah berarti dewanya juga kalah. Itu sebabnya baju zirah dan senjata Saul dipajang bukan di istana, bukan di barak-barak tentara, melainkan di kuil Asytoret.
Orang-orang Filistin secara otomatis menghubungkan hal yang terjadi di dunia militer dan polotik dengan dunia spiritual; tidak ada pemisahan konsep ini dalam diri mereka. Hal ini dituliskan dengan begitu menohok di ayat 9, setelah orang Filistin mendapatkan mayat Saul, mereka menyuruh orang berkeliling di negeri orang Filistin untuk menyampaikan kabar itu; dan istilah ‘kabar’ ini memakai istilah Ibrani basar, yang secara eksklusif diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai euangelion (Injil/ good news/ kabar baik). Jadi ini adalah sebuah injil/ kabar baik bagi orang Filistin; “Bersukacitalah! raja musuh, mesias musuh sudah kalah! Dan berarti dewa mereka juga kalah dan dewa kita menang. Dagon telah menang! Asytoret telah menang!”
Hal yang terakhir, ayat 11-13. Bagian terakhir dari pasal yang luar biasa gelap dan tragis ini, memberikan semacam consolation goal (gol penghiburan), ibaratnya sudah kalah lalu di menit terakhir satu orang cetak gol. Di sini rakyat Yabesh-Gilead dengan berani dan resiko tinggi, pergi ke kota Bet-Sean, menurunkan mayat Saul dan anak-anaknya di malam hari, lalu membawa pulang mayat-mayat tersebut ke kota mereka untuk penguburan yang sepantasnya. Mereka menempuh jarak sekitar 23 Km dari Yabesh ke Bet-Sean, bolak-baik jadi 46 Km. Mereka juga harus berjalan dalam kegelapan supaya tidak terdeteksi. Mereka juga harus menyeberangi Sungai Yordan dua kali, yaitu waktu berangkat dan waktu kembali membawa mayat-mayat. Lalu mereka membakar mayat Saul dan anak-anaknya. Ini bukan kremasi, karena tidak dibakar jadi abu, mungkin hanya pembakaran untuk menghabiskan dagingnya yang pasti sudah busuk. Sisa tulangnya dikuburkan di bawah pohon tamariska. Ini sangat pantas, mengingat ketika Saul di Gibea (markas besarnya), dia menempatkan takhtanya di bahwa pohon tamariska. Selanjutnya, mereka berpuasa 7 hari mengenang Saul. Pertanyaannya, mengapa mereka melakukan hal ini?
Ada satu catatan dalam 1 Samuel pasal 11, bahwa penduduk Yabesh-Gilead diancam oleh Nahas, orang Amon, lalu yang menyelamatkan mereka adalah Saul. Ini merupakan tindakan pertama Saul sebagai raja Israel, dan kejadian tersebut bisa jadi adalah momen terbaik dalam karir Saul sebagai raja. Pada waktu itu Saul baru diangkat jadi raja, dan banyak orang meragukan dia. Lalu ada kota Yabesh yang tidak berdaya, diancam oleh seorang tiran; dan Saul sebagai raja, menjalankan fungsinya. Dia memimpin rakyatnya, dia melindungi rakyatnya dari penindasan, dia membalaskan tindak kejahatan orang lalim. Inilah insiden yang membuat Saul memenangkan hati orang Israel. Bahkan kita melihat, setelah mereka menang dan ada pembisik-pembisik yang mengatakan kepada Saul, “Saul, kita sudah menang; sekarang biar kami cari orang-orang yang tadinya meragukan kamu, biar kami bunuh mereka”, di situ Saul mengatakan, “Tidak bisa, karena kemenangan ini adalah dari Yahweh bagi kita semua.” Ini mirip sekali dengan Daud di pasal 30, ketika Daud bukan cuma bisa menghargai rakyat yang lemah, tapi dia bahkan punya hati cukup luas untuk rakyat yang kurang beres.
Waktu dalam hidup kita ada seseorang yang meninggal, di acara penguburan kita harus sisihkan sebagian waktu, yang khusus kita pakai untuk mengingatkan orang mengenai kebaikan dan kehidupan orang yang meninggal ini. Di bagian ini, dalam kasus Saul, seluruh acara penguburannya merupakan sebuah kesaksian terhadap momen terbaik dalam hidup Saul. Rakyat Yabesh-Gilead tidak lupa dengan apa yang Saul lakukan bagi mereka. Saul bukan seorang raja yang berhasil, tapi bagaimanapun juga dia bukan raja yang seratus persen jahat dan lalim. Alkitab tidak main karikatur waktu menghadirkan tokoh-tokohnya. Adalah tidak fair kalau Alkitab menutup-nutupi soal dipermainkannya mayat Saul, tapi juga tidak fair kalau Alkitab tidak menyebutkan mengenai apa yang Saul telah kerjakan. Meskipun kita melihat betapa tragis hdup Saul, meskipun orang melihat jelas figur Daud sebagai prospek yang lebih baik, jangan lupa bahwa mayoritas orang Israel tetap memihak dan bertahan kepada Saul sampai akhir. Ini satu hal yang kita bisa lihat dari bagian ini.
Itulah ceritanya. Lalu apa poinnya buat kita? Itu tergantung dengan apa yang Saudara maksudkan dengan ‘poin’. Jikalau yang Saudara maksudkan adalah setelah dengar kotbah, Saudara harus bisa mendapatkan sesuatu yang bisa dibawa pulang dan dikerjakan, Saudara harus bisa mendapatkan aplikasi yang konkret dan nyata dalam hidup, itu berarti Saudara salah baca Alkitab. Kalau hal-hal seperti itu harus selalu ada dalam setiap halaman Alkitab, maka Saudara akan menemukan pasal ini sebagai pasal yang luar biasa kering dan tidak bermanfaat sama sekali buat hidupmu. Jadi bukan itu kriterianya Alkitab sebagai Firman Allah. Kalau Saudara masih saja pakai pendekatan seperti itu, maka Saudara hanya akan mendapatkan sedikit sekali dari keseluruhan yang Alkitab berikan. Tetapi jika Saudara mencari poin yang sesungguhnya, yaitu lewat setiap halaman Alkitab Saudara bisa melihat diri Allah, dan terutama diri Kristus, maka pasal ini adalah salah satu pasal dalam Alkitab, yang Kristus digambarkan dengan sangat jelas. Dan justru inilah yang akan mengubah Saudara. Memang Calvin mengatakan “kenal diri, baru kenal Allah”, tapi di ujungnya dia mengatakan “bagaimanapun juga, kenal Allah baru kenal diri, karena diri sudah rusak”. Kalau Saudara tidak mencari Tuhan dalam ayat-ayat Alkitab, Saudara tidak akan menemukan diri Saudara. Kalau Saudara saat teduh dengan pendekatan seperti itu –‘saya dapat nilai moral apa, prinsip apa yang bisa saya lakukan’—bagian pasal ini kering sekali dan tidak ada gunanya. Tapi ini adalah Alkitab kita, berarti Saudara yang harus bertobat, bukan Alkitab yang bertobat. Mari kita melihat bukan mengenai ‘apa diri kita’, melainkan bagaimana diri Kristus, diri Alah, dinyatakan dalam bagian ini.
Di mana kita bisa melihat diri Allah, diri Kristus, di bagian ini? Perhatikan, seperti saya sudah katakan tadi, bahwa figur Saul di sini adalah figur mesias, figur christos (terjemahan Yunani kata ‘mesias’), figur orang yang diurapi Allah. Maka bukan cuma lewat kehidupan Daud –orang lain lagi yang diurapi Allah—tapi juga lewat Saul, kita bisa melihat paralel antara Saul dengan Yesus; dan paralelnya dihadirkan bukan cuma untuk menunjukkan ada kesamaannya, melainkan juga untuk menunjukkan betapa berbedanya Saul dengan Yesus.
Tujuannya bukan cuma supaya kita mengenal Saul, tapi bahwa melalui Saul kita bisa mengenal Kristus, karena di dalam kitab-kitab berikutnya kita melihat lagi seorang Kristus yang lain, Kristus yang ultimat, yang juga kalah dan mati di tangan musuh-musuh-Nya, sama seperti Saul. Dan Kristus yang belakangan itu, dikatakan akan diserahkan kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah (Mat. 20: 19; Mrk. 10: 33; Luk 18: 32) supaya diolok-olokkan, disesah, dan disalibkan (Mat. 20: 19; Mrk. 10: 33; Luk. 18: 32); sama seperti figur Saul, sang mesias, di sini ia diserahkan kepada bangsa Filistin, bangsa kafir itu, yang Saul sendiri katakan ‘jangan sampai orang-orang kafir ini mengambil dan membuat aku jadi bulan-bulanan, mengolok-olok aku, menyesah aku, dan menggantung aku di tembok kota (menyalibkan)’. Disalib artinya digantung dan dipertontonkan, itu adalah tanda orang yang dikutuk Tuhan. Sama seperti Saul digantung di tembok kota, Kristus juga digantung untuk orang mempertontonkan Dia. Dan sama seperti kasus Saul, dalam kasus Yesus pun ada orang yang digerakkan oleh rasa terimakasih, yang cukup peduli untuk mengambil mayat Yesus, menurunkannya dari gantungan, dan memberikan penguburan yang pantas dengan mengambil resiko atas dirinya. Dalam kasus Saul, itu adalah orang-orang Yabesh-Gilead; dalam kasus Yesus, yaitu Yusuf dari Arimatea.
Tapi sebagaimana yang sudah-sudah, paralel juga dihadirkan supaya kita bisa melihat kontras yang jelas. Apa kontrasnya? Kontrasnya adalah: kebangkitan (resurrection). Kisah Yesus Kristus adalah figur Mesias yang mati di atas kayu salib, namun pada akhirnya Dia bangkit pada hari yang ketiga, menang atas kuasa dosa dan maut, memerintah seluruh ciptaan di sebelah kanan Allah Bapa. Konsekuensi dari kemenangan dan kebangkitan Yesus, inilah Amanat Agung, “Pergi, jadikanlah segala bangsa murid-Ku, beritakanlah Injil kepada mereka”. Lalu murid-murid Yesus mengabarkan Injil ke seluruh dunia oleh karena kebangkitan Yesus ini. Sedangkan daam kisah Saul, Saudara melihat figur mesianik yang cuma kalah dan mati. Kita tidak melihat kabar injil/ kabar baik kemenangan Saul yang dikabarkan pengikut-pengikutnya ke seluruh dunia; yang kita lihat malah kabar injil Filistin/ kabar baik bagi orang Filistisn, yaitu berita kematian Saul, diproklamirkan orang Filistin di kuil-kuil dan di tengah-tengah rakyat mereka. Sama sekali berbeda.
Apa yang bisa kita lihat dari semua ini? Pertama-tama, hal ini menjawab kebingungan kita semua mengenai apa pengaruhnya dalam hidup kita mengenai kebangkitan Kristus? Mengenai apa dampaknya dan di mana tempatnya kebangkitan Kristus dalam kerohanian kita? Mengapa Paulus sampai mengatakan “jikalau Kristus tidak bangkit, sia-sialah imanmu” ?
Di sini Saudara sekarang lihat, bahwa ada bedanya, dan sangat berbeda, jikalau mesiasmu cuma mati dan tidak bangkit. Keselamatan yang Tuhan berikan bukanlah cuma menerima pengorbanan Yesus kristus di atas kayu salib, bahwa Dia mati untuk Saudara dan saya –bukan cuma itu, ada tambahannya. Kalau Saudara selama ini hanya tahu bahwa keselamatan/ Injil Tuhan adalah mengenai matinya Yesus di atas kayu salib, kalau Saudara selama ini hanya tahu dampak bagian tersebut dalam hidup Saudara, berarti Saudara belum betul-betul mengerti Injil Tuhan, karena kematian dan kebangkitan itu satu paket. Dalam figur Mesias yang ultimat, dua hal ini satu paket. Dia mati, dan Dia bangkit. Dia mengorbankan nyawa-Nya, Dia kalah, tapi Dia juga menang karena Dia bangkit atas kematian. Dan itu berarti, konsekuensinya adalah Dia memerintah.
Dampak dari kebangkitan Kristus adalah Dia memerintah atas kita. Bahwa Dia mati, itu berarti Dia melepaskan kita dari kuasa dosa; tetapi bahwa Dia bangkit, itu berarti Dia memerintah atas kita, Dia menjadi Raja. Bahkan Saudara bisa lihat di bagian ini, jikalau seorang figur mesias hanya mati menyelamatkan kita tapi terus mati dan tidak kemudian menjadi raja atas kita, tidak ada gunanya keselamatan seperti itu. Itulah yang terjadi pada diri Saul.
Jangan lupa kitab Keluaran, jangan lupa tema besar Alkitab. Kalau membaca Kitab Keluaran, seringkali yang dibicarakan adalah keluarnya bangsa Israel dari Mesir –namanya saja ‘Keluaran’. Tapi apakah Saudara sadar, bahwa dalam seluruh Kitab Keluaran yang 40 pasal itu, cerita mengenai hal tersebut cuma sedikit sekali, cuma di bagian awal saja. Porsi paling besar dari Kitab Keluaran bukanlah mengenai tulah-tulah spektakuler, laut terbelah, dsb.; dari 40 pasal, mulai pasal 21 sampai 40 –berarti setengahnya—dikhususkan untuk kisah orang Israel membangun Kemah Suci. Maksudnya apa?
Kita selalu berpikir Kitab Keluaran sebagai kitab penebusan (redemption), kitab tentang mereka diselamatkan oleh Tuhan; itu memang benar. Tapi seringkali kita hanya puas sampai masa mereka diselamatkan keluar, masa mereka dibebaskan, lalu kita lupa akan hal yang datang selanjutnya. Kalau memang benar Kitab Keluaran itu kitab mengenai keselamatan, Saudara harus memperlakukan keseluruhan isinya sebagai satu paket. Dari awal sudah jelas, bahwa tujuan bangsa Israel dibebaskan dari tangan Mesir, bukanlah cuma demi pembebasannya. Kalimat yang dikatakan Allah kepada Firaun adalah: “Biarkanlah umat-Ku pergi, … “, lalu selanjutnya apakah ‘supaya mereka bisa makan enak, supaya mereka bisa cari uang dengan tenang, supaya mereka hidupnya tidak sengsara, supaya anak-anaknya dapat sekolah yang baik’? Tidak –itu mimpi kebanyakan orang Kristen hari ini—tapi kalimatnya adalah “supaya mereka dapat menyembah-Ku di padang gurun”. Lalu apa maksudnya ‘menyembah’? Yaitu membuat Kemah suci Allah. Itulah tujuannya.
Tujuan mereka dibebaskan, bukan supaya mereka bebas. Bebas hanyalah satu alat untuk mencapai tujuan yang lain, yaitu supaya mereka boleh berganti perhambaan. Mereka dibebaskan dari tangan perhambaan Mesir, supaya boleh masuk ke dalam perhambaan yang baru, perhambaan kepada Allah yang sejati. Inilah keselamatan. Kematian Yesus membebaskan kita, kebangkitan Yesus menjadi awal pemerintahan-Nya atas kita. Apakah kita menyadari ini satu paket dalam hidup kita?
Israel di zaman Mesir dalam Kitab Keluaran, diperhambakan oleh orang Mesir untuk membangun kota Mesir, yaitu Pitom dan Ramses. Itu adalah kota atas nama Firaun. Mereka diperhambakan supaya mereka membangun kota bagi Firaun. Setelah mereka dibebaskan dari perhambaan Mesir lalu masuk ke dalam perhambaan yang baru, yaitu perhambaan di bawah Allah Yahweh, apa yang disuruh untuk mereka lakukan? Mereka disuruh membangun juga, tapi sekarang membangun kemah, yaitu kemah atas nama Yahweh. Saudara lihat dua hal ini. Kita tidak pernah diselamatkan untuk bebas saja.
Kita bicara mengenai perhambaan/ perbudakan dosa, dan bahwa Injil keselamatan Kristen adalah berita untuk kita dibebaskan dari semua itu. Itu memang sangat benar. Tapi itu tidak pernah cuma berhenti di situ. Apa gunanya kalau Saudara dibebaskan dari dosa, dibebaskan dari seluruh perhambaan, lalu ditelantarkan begitu saja dan tidak ada yang memimpinmu? Yang terjadi adalah seperti nasib bangsa Israel setelah Saul mati. Kita seringkali lupa hal ini. Seperti juga kita cuma ingat bahwa bangsa Indonesia merdeka tangal 17 Agustus 1945 dari tangan Belanda dan Jepang, dan tidak ada yang ingat kejadian yang lebih penting yang terjadi setelahnya, yaitu bahwa pada tanggal 18 Agustus 1945 dikeluarkanlah Undang-undang Dasar 45. Undang-undang dasar itu artinya hukum, sesuatu yang membelenggu. Bangsa Indonesia dibebaskan dari tangan Jepang dan Belanda, bukan demi mereka bebas, melainkan demi mereka masuk dan berpindah ke perhambaan yang baru, perhambaan yang sejati, perhambaan yang membebaskan.
Betapa pemerintahan Kristus atas kita adalah satu bagian yang krusial dan tidak boleh dibuang dari gambaran keselamatan yang Alkitab berikan. Pertanyaannya, apakah Saudara dan saya datang kepada Krstus demi hal ini? Atau, kita datang ke gereja, kita datang mencari Tuhan, hanya supaya kita boleh lepas dari dosa? Supaya kita boleh lepas dari berhala-berhala yang palsu? Supaya kita boleh lepas dari segala hal yang menipu kita? Supaya kita boleh lepas dari segala kesengsaraan dan penderitaan? Apakah hanya itu? Jikalau Saudara datang kepada Kristus hanya demi Kristus yang mati, pertama itu berarti Saudara tidak benar-benar mengerti Injil Kristus. Dan kedua, itu tidak ada gunanya. Tidak ada gunanya Saudara dilepaskan dari tangan Jepang dan Belanda tapi Saudara tidak masuk ke dalam Undang-undang Dasar yang baru; Saudara mau ke mana?? Saudara tidak bisa hidup tanpa menjadi hamba sesuatu; dan inilah kita lihat terjadi di sini.
Tadi dikatakan bahwa kita harus menerima Injil dalam keutuhannya; sama seperti kita tidak bisa bilang “Jethro silakan masuk tapi Rachmadi silakan tinggal di luar”, kita harus menerima Yesus dan juga Kristus –Yesus Kristus. Kristus adalah titel rajawi, titel pemerintahan; maka berarti saya harus menerima dibebaskan dari dosa dan juga masuk ke dalam perhambaan yang baru, berarti saya tidak bisa hidup sebagaimana saya mau. Mungkin Saudara sekarang mengatakan, “Oke, saya mengerti, tapi pertanyaannya bagaimana saya bisa tahu perhambaan yang ini berbeda, bagaimana saya bisa tahu bahwa perhambaan yang ini tidak menindas saya seperti perhambaan yang dulu-dulu itu? Apa yang membedakan? Atau lagi-lagi Kekristenan cuma ganti nama doang, cuma ganti titel doang, lalu ujung-ujungnya toh tetap kita dihambakan?”
Sekali lagi, tidak ada hidup yang tanpa diperhambakan sesuatu. Itu sudah jelas. Tapi saya melihat dengan jelas bahwa perhambaan yang ini adalah perhambaan yang berbeda. Dari mana bisa tahu? Kembali kepada Saul, dia kalah dan mati bukan karena kekurangan talenta. Dia bukan mati karena kekurangan hal yang baik. Dia berakhir tragis justru karena dia punya begitu banyak hal yang positif. Dia punya perawakan fisik yang tinggi, dia punya penampilan yang sangat berkharisma; dan bukan cuma fisik, dia bahkan diperlengkapi oleh Allah. Di pasal 10, Saul diberikan roh Allah sehingga dia menjadi manusia yang lain. Jadi Saul bukan cuma naturnya seperti itu, tapi Allah juga memperlengkapi dia, sama seperti Adam. Adam juga diperlengkapi Allah, dia diciptakan dalam gambar rupa Allah, Adam punya segala hal yang positif bagi dirinya. Tapi mereka gagal bukan karena mereka kurang memiliki hal-hal yang baik, melainkan karena mereka tidak taat. Mereka tidak taat akan Firman Allah.
Apa bedanya dengan Kristus, Mesias yang ultimat ini? Ternyata bedanya bukan karena Saul, dan juga Adam, tidak taat Firman Tuhan lalu mereka mati, sementara Yesus taat Firman Tuhan maka Dia hidup. Bukan itu. Saul mati dan Yesus juga mati; tetapi Saul mati karena dia tidak taat, sedangkan Yesus mati justru karena Dia taat. Tentang Adam –dan juga Saul—pada dasarnya kita bisa bilang, Allah mengatakan “taatilah Aku, maka kamu akan hidup”; dan mereka gagal. Kepada Yesus Kristus, Allah mengatakan “taatilah Aku, dan Kamu akan mati”; dan Kristus taat. Itulah bedanya antara perhambaan yang lama dan perhambaan yang baru. Inilah sebabnya kita bisa dengan rela masuk ke dalam perhambaan yang baru ini, yaitu karena Raja yang baru ini, pertama adalah Raja yang mati, dan kedua Dia adalah Raja yang mati karena Dia taat. Inilah satu-satunya Raja yang tahu rasanya memperhambakan diri-Nya.
Apakah uang akan pernah memperhambakan dirinya bagimu? Apakah keluargamu akan pernah memperhambakan dirinya? Apakah status sosial politik dan kuasa akan pernah memperhambakan dirinya? Tidak. Mereka akan meminta dan meminta, menuntut dan menuntut. Hanya ada satu Raja yang pernah memperhambakan diri-Nya. Jadikanlah Dia Rajamu.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading