Pasal 10 ini merupakan satu pembukaan yang baru, tidak ada hubungan alur yang jelas dengan pasal sebelumnya (pasal 9); dan kita percaya memang tidak ada hubungan yang langsung. Tetapi kalau Saudara lihat lebih teliti, sebetulnya bukan tidak ada kaitan sama sekali antara cerita tentang orang buta yang dicelikkan dengan bagian ini, yang merupakan “seven great I am” berikutnya yaitu “Akulah pintu” dan “Akulah gembala yang baik”.
Di ayat-ayat yang pertama, Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai pintu, di ayat 11 baru Dia mengatakan diri-Nya gembala yang baik. Ini 2 metafor berbeda yang tidak bisa kita campur-adukkan karena nanti jadi membingungkan. Maksudnya begini: di sini ada gambaran tentang domba, kandang, pintu, dan juga gembala; lalu Yesus menyebut diri-Nya adalah pintu, tapi juga adalah gembala; gembala tentunya masuk melalui pintu, lalu kalau pintunya Yesus dan gembalanya juga Yesus, berarti Yesus masuk melalui Yesus. Pembacaan seperti ini kacau, karena ini 2 metafor yang berbeda, sehingga Saudara tidak boleh taruh di dalam satu kanvas yang sama. Kalau dalam seni, menaruh berbagai macam perspektif yang berbeda di atas kanvas yang sama, namanya aliran Kubisme seperti karya Picasso, Braque, dsb., dan menghasilkan satu gambaran yang sulit dilihat secara utuh.
Kembali ke bagian ini, memang bukan tidak ada kaitan antara Yesus menyebut diri sebagai pintu dengan Yesus menyebut diri sebagai gembala, tapi kita jangan taruh di dalam kanvas yang sama. Kita mustinya membaca bagian ini secara sequential (berurutan), yaitu pertama, Yesus sebagai pintu, dan kedua, Yesus sebagai gembala.
Sebagaimana saya katakan tadi, meski bagian ini tidak ada kaitan langsung dengan pasal sebelumnya bukan berarti tidak ada kaitan sama sekali, karena orang buta yang dicelikkan itu diusir keluar lalu Yesus menampung dia, masuk ke dalam kehidupan-Nya –“Akulah pintu”. Orang buta ini diusir keluar oleh orang-orang Farisi, yang kalau dalam gambaran Yesus adalah pencuri dan perampok; lalu Yesus berjumpa dia, menerima dia dalam kehidupannya, dalam hal ini Yesus adalah pintu. Pintu membawa seseorang yang di luar untuk bisa masuk. Melalui Yesus kita mengalami keselamatan, Yesus adalah pintu. Berbahagialah kalau kita ditolak, diusir, tidak diterima oleh dunia, dipinggirkan, tapi kemudian Yesus yang adalah pintu itu menerima kita masuk di dalam kehidupan-Nya.
Di ayat-ayat yang pertama, Yesus menjelaskan bahwa yang masuk ke dalam kandang domba dengan tidak melalui pintu tapi memanjat tembok, ia adalah pencuri dan perampok; sedangkan yang masuk melalui pintu, ia adalah gembala domba. Di sini Yesus belum menyebut diri-Nya sebagai gembala; Dia menyebut diri-Nya sebagai pintu. Maka di bagian ini ada pintu, ada yang masuk melalui pintu yaitu gembala, dan ada yang tidak masuk melalui pintu yaitu pencuri dan perampok. Memang dalam membaca perumpamaan, kita musti berhati-hati untuk tidak menarik setiap elemen lalu mencari artinya (alegorisasi). Perumpamaan bukan tidak ada yang bisa di-alegorisasi; Yesus sendiri melakukan alegorisasi dalam perumpamaan tentang seorang penabur. Dalam perumpamaan tersebut ada 4 macam orang, lalu satu-persatu dijelaskan; ini alegorisasi dalam perumpamaan. Tapi tidak setiap perumpamaan bisa kita alegorisasi-kan, misalnya perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Perumpamaan tersebut kalau di-alegorisasi jadinya begini: waktu orang yang dirampok itu dinaikkan ke atas keledai, ditafsirkan ‘keledai itu maksudnya apa’; waktu orang itu dibawa ke peginapan, ditafsirkan ‘penginapan itu artinya apa’ (ada teolog yang menafsir sebagai gereja); waktu orang Samaria yang baik hati itu memberi 2 keping, ditafsirkan ‘dua keping itu artinya apa’ yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tafsiran alegorisasi seperti ini –dengan segala hormat kepada teolog yang menafsirnya—kita sulit menerimanya karena perumpamaan itu sendiri tidak menjelaskan begitu. Itu sebabnya kita musti berhati-hati waktu membaca perumpamaan, supaya kita tidak mencari arti setiap elemennya, kita musti konten dengan penafsiran yang dilakukan oleh Yesus sendiri. Dalam pasal 10 ini, perumpamaannya ayat 1-5, kemudian ayat 6 mengatakan bahwa Yesus memberitakan perumpamaan tersebut dan mereka tidak mengerti, dan Dia menjelaskan di ayat 8-10.
Kembali ke gambaran di bagian ini, di situ ada pintu, ada yang masuk tidak melalui pintu yaitu pencuri dan perampok, dan ada yang masuk melalui pintu yaitu gembala. Dalam hal ini, sebelum kita membaca ayat 11, yang dimaksud dengan gembala di sini bukan Yesus; Yesus memperkenalkan diri sebagai pintu. Saya mau membahas ini dalam konteks profil Injil Yohanes yang terkenal dengan dualisme (Johannine dualism), misalnya membicarakan orang yang hidup di dalam gelap atau di dalam terang –yang bukan gelap dan bukan terang cuma redup-redup, tidak ada. Dualisme yang lain misalnya: dari atas atau dari bawah –yang dari tengah tidak ada. Atau juga kebenaran versus dusta, hidup dalam kebenaran atau menghidupi dusta. Jadi dalam pembacaan bagian ini, pilihannya salah satu, antara orang itu berjalan melalui pintu yaitu Kristus dan dia adalah gembala, atau orang tidak berjalan melalui Kristus dan dia adalah pencuri perampok. Waktu di sini dikatakan ‘gembala’, maksudnya adalah semua orang yang masuk melalui pintu Kristus itu. Saudara jangan melihat ‘gembala’ di sini cuma dalam arti hamba Tuhan, sedangkan ‘saya sih bukan pencuri perampok, tapi juga bukan gembala’, karena jadinya ‘saya bukannya lewat pintu dan juga bukannya tidak lewat pintu’ –kategori seperti itu, tidak ada. Hanya ada 2 pilihan saja, lewat pintu atau tidak lewat pintu. Yang masuk lewat pintu, dia adalah gembala; yang tidak masuk lewat pintu, dia adalah pencuri dan perampok.
Memang bicara antitesis seperti ini tidak enak; bisa jadi kita bertanya, di mana tempatnya anugerah umum, apa tidak ada gradasinya antara pencuri dan gembala domba?? Saya percaya, kita yang mengaku Yesus Kristus, berarti kita masuk melalui pintu itu. Kita ditebus, diselamatkan, diubahkan naturnya dari pencuri dan perampok menjadi gembala domba, dan masih belum sempurna. Kita masih ada keterkepingan yang Tuhan belum selesai garap untuk mempunyai natur seorang gembala seperti Yesus, yang juga adalah Gembala, tetapi arahnya cuma dua, antara menjadi gembala atau tetap dalam natur pencuri perampok.
Mungkin Saudara mengatakan, “Sebentar, sebentar, kayaknya di gereja kita tidak ada, lah, pencuri dan perampok. Saya seumur-umur juga belum pernah merampok, belum pernah mencuri; mencuri apa memangnya?? Mungkin waktu kecil mencuri mainan, kayaknya semua orang juga begitu, tapi saya bukan pencuri perampok. Bicara ‘pencuri dan perampok’ sepertinya berlebihan, ekstrim, radikal”, dan seterusnya. Tetapi sebenarnya sederhana, gambaran pencuri/ perampok dan gembala itu kontrasnya di mana? Pencuri dan perampok adalah orang yang hidup hanya untuk keuntungannya sendiri. Waktu beribadah kepada Tuhan, dia bukan betul-betul mau mengasihi Tuhan, bukan betul-betul mau beribadah kepada Tuhan, bukan betul-betul mau melayani Tuhan, melainkan mau mendapat keuntungan dari Tuhan. Waktu datang kepada Tuhan, bukan betul-betul mau mengabdi kepada Tuhan, melainkan memikirkan keuntungan apa yang bisa didapatkan dari Tuhan, berkat apa yang bisa ditarik dari Tuhan. Waktu bergaul dengan sesama, yang dipikir adalah ‘saya bisa dapat keuntungan apa dari orang ini’. Itulah pencuri dan perampok, tidak cocok dengan natur orang-orang yang sudah ditebus. Dan ini kontras dengan gambaran gembala.
Gembala memberi hidupnya. Pencuri mengeruk untuk dirinya sendiri, selalu cari keuntungan untuk dirinya sendiri, tidak harus berupa harta tapi bisa juga hormat, atau kuasa, dst. Intinya, dia mau menyedot dari Tuhan, dari orang lain, dan mengumpulkan bagi dirinya sendiri.
Semua dari kita adalah orang berdosa, tadinya hidup dalam kegelapan, tadinya buta. Dan kalau boleh memakai kata-kata dari Amazing Grace, “I was blind but now I see” –dulu saya buta sekarang saya melihat– kita dapat mengatakan: “I was thief and robber”, dulu saya pencuri dan perampok, cuma memikirkan kehidupan saya sendiri saja, tapi sekarang setelah Yesus mengubahkan saya, saya belajar untuk bukan saja tidak mencuri dan merampok tetapi juga menjadi gembala, menggembalakan orang lain, memberi kehidupan/ berkorban bagi orang lain, mengalirkan kehidupan di dalam kehidupan orang lain. Itulah kehidupan yang disebut di sini “di dalam segala kelimpahan”. Hidup yang membagi adalah hidup yang di dalam segala kelimpahan. Hidup pencuri dan perampok adalah kehidupan yang selalu menghancurkan, yang selalu egois, hanya untuk dirinya sendiri.
Bagian ini adalah satu panggilan/ ajakan bagi kita semua yang percaya di dalam Yesus Kristus, kalau kita menyebut Yesus pintu dan percaya fakta “Akulah pintu” ini, kita masuk ke dalamnya, mengalami keselamatan, maka kita diubahkan dari pencuri dan perampok menjadi gembala domba. Coba Saudara lihat kehidupan orang-orang Farisi itu, merekalah pencuri dan perampok. Orang-orang Farisi itu dengan gampang mengusir orang yang buta yang sudah disembuhkan oleh Yesus, karena gambaran orang buta yang dicelikkan itu membahayakan posisi mereka. Mereka cuma mencari keuntungan dan hormat bagi diri mereka sendiri, tidak ada jiwa seorang gembala. Tetapi kita yang dipanggil, yang ditebus, yang berjalan masuk melalui pintu, dipanggil untuk mempunyai hati seorang gembala. Kalau boleh sedikit modifikasi kalimatnya Luther “common priesthood of all believers”, maka bagian ini bicara tentang “common sheperdhood of all believers”, bahwa semua orang percaya adalah gembala, karena dalam dualisme Yohanes cuma ada 2 macam, mereka yang memanjat tembok dan tidak melalui pintu yaitu pencuri dan perampok, atau yang masuk melalui pintu yaitu gembala domba.
Ayat 3, “Untuk dia penjaga membuka pintu dan domba-domba mendengarkan suaranya dan ia memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya ke luar.” Ada klip video menarik tentang kehidupan gembala dan domba-dombanya; dan sangat tepat seperti dijelaskan Alkitab, domba-domba itu memang mendengar suara gembalanya. Waktu sekawanan domba pergi ke sumur, di situ pasti bukan cuma kawanan domba tersebut, ada kawanan domba yang lain juga, dan semuanya bercampur. Maka waktu mau memisahkan, kelihatannya agak susah, tidak mungkin satu-satu dikasih stiker atau ditulis nama gembalanya, dsb. Tapi tidak perlu rumit seperti itu, cukup waktu mau pergi si gembala memanggil dan domba-dombanya mengenal suaranya. Mengenal suara maksudnya ada relasi, ada kedekatan. Dalam hal ini, Yesus sendiri sebagai Sang Anak, mengenal dan mendengar suara Bapa-Nya. Sama seperti Sang Anak mengenal dan mendengar suara Bapa-Nya, maka –lompat sedikit ke ayat 11, pakai metafor ‘gembala’– kalau Saudara dan saya mengikut Yesus sebagai gembala domba, kita mengenal suara gembala kita. Kalau kita sendiri adalah gembala domba yang baik, yang diutus oleh Tuhan, kita juga dikenal suaranya. Dikenal suaranya bukan karena kita menakut-nakuti bawahan atau pengikut kita dengan mengancam –sebagaimana orang Farisi ini mengancam.
Sedikit mengaitkan dengan pasal sebelumnya, Yesus sebagai gembala, dikenal suaranya oleh orang buta yang dicelikkan itu sehingga akhirnya dia mengikut Yesus. Saudara mungkin bilang “tapi orangtuanya tidak, mereka sepertinya mengikut orang-orang Farisi, buktinya mereka takut mengaku Yesus sebagai Mesias, takut dikucilkan”. Memang itulah poinnya; kata kuncinya yaitu “takut”. Orang-orang Farisi itu bukan gembala yang sejati karena mereka bukan membangun dari relasi cinta kasih melainkan mengembangkan ketakutan.
Gambaran pengikutan yang disertai ketakutan, bukanlah Kekristenan. Kepemimpinan yang mengembangkan konsep leadership dengan menebar ketakutan, itu bukan Kristen, itu tidak sesuai dengan yang diajarkan Alkitab. Yesus bukan mengajak kita mengikut Dia karena Dia menakut-nakuti kita “nanti kalau tidak, kamu di neraka disiksa kayak begini”, sehingga orang ketakutan lalu ikut Yesus. Penaburan ketakutan-ketakutan seperti ini, sebenarnya tidak mengajak orang untuk mengikut Kristus, tetapi hanya mengembangkan perasaan ketakutan lalu seperti jadi pengikut Kristus padahal bukan, karena pemaburannya bukan penaburan kasih melainkan ketakutan. Di dalam Yohanes hal ini jelas sekali; dikatakan: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan”. Kasih berbenturan dengan ketakutan, dengan kejahatan, dengan kebencian –itu pasti– tapi kasih juga berbenturan dengan ketakutan. Orang buta yang dicelikkan itu mengenal suara Yesus; sedangkan orang-orang yang tetap tinggal dengan orang-orang Farisi, itu bukan karena mengenal suaranya orang Farisi –bagaimanapun ini gembala palsu. Orang-orang Farisi ini pencuri dan perampok, tapi mengapa masih banyak pengikutnya? Yaitu karena mereka menabur dengan ketakutan. Gereja, kalau suka menabur dalam ketakutan, itu mirip pencuri dan perampok.
Mengapa Yesus bisa dikenal suaranya oleh domba-domba-Nya? Karena ada relasi cinta, ada intimacy. “Untuk dia penjaga membuka pintu dan domba-domba mendengarkan suaranya dan ia memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya ke luar” –ini pengenalan yang sifatnya personal, pribadi ke pribadi, bukan borongan.
Tadi saya mengatakan bahwa dalam perumpamaan kita tidak bisa menafsirkan satu per satu elemennya; salah satu contohnya yaitu ayat ini. Kalau ditafsir satu per satu, ‘untuk dia’ berarti si gembala domba, ‘pintu’ yaitu Yesus, dan gembala domba ini adalah yang masuk melalui Kristus; selanjutnya ‘penjaga membuka pintu’, di sini jadi timbul pertanyaan siapa penjaga pintunya? Jadi sulit; belum lagi kalau kata ‘membuka’, lalu kata ‘dan’, dst. juga mau ditafsir. Kalau Saudara mau tafsir satu per satu seperti ini, kita akan salah memahami perumpamaan. Itu sebabnya kita tidak bisa ambil satu perumpamaan lalu setiap elemennya ditafsir satu per satu. Waktu membaca perumpamaan, kita musti mencukupkan diri dengan tafsiran yang dilakukan oleh Yesus Kristus; dan kita juga bisa melihat gambaran pesannya secara keseluruhan. Mendekati seperti ini akan aman, tanpa harus melakukan alegorisasi setiap elemen satu per satu. Jadi ayat 3 ini gambaran utamanya adalah ada relasi kasih, ada relasi personal, pengenalan, dan itu yang membuat domba-domba bisa mengenal gembala.
Ayat 4, “Jika semua dombanya telah dibawanya ke luar, ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya.” Ayat 4 ini menggabungkan 2 hal yang tidak terpisahkan, yaitu antara ‘mengenal suara’ dan ‘mengikut dia’ yang suaranya dikenal itu. Tidak ada di sini pemisahan antara mengenal suara dan mengikut, tidak ada ‘saya sih mengenal kebenaran, saya tahu ini kebenaran, ini Gembala asli, tapi saya pikir-pikir dulu, ya, saya masih mau bergumul di hadapan Tuhan’. Bilangnya bergumul di hadapan Tuhan, tapi sebetulnya dalam cerita kehidupannya cuma menyatakan the sovereignty of self (kedaulatan diri).
Di dalam Teologi Reformed sangat menekankan kedaulatan Allah, tapi saya tidak terlalu tertarik dengan teori kedaulatan Allah yang mengawang-awang di atas lalu tidak ada kaitannya dengan penyerahan diri, persembahan diri, pengikutan, dsb. Memang semua di dalam kedaulatan Allah, tapi belajar hal ini fungsinya apa? Untuk kerohanian Saudara dan saya, membicarakan kedaulatan Allah sampai hal pemilihan kaos kaki, itu poinnya apa? Tidak terlalu ada poinnya. Satu sisi percaya kedaulatan Allah seperti ini tapi di sisi lain masih mengakui kedaulatan pribadi, itu sebenarnya penolakan terhadap kedaulatan Allah. Kadang-kadang dalam KKR, waktu Hamba Tuhan calling, “Kalau Tuhan mau pakai, siapa di sini yang mau jadi hamba Tuhan?”, saya mengharapkan semua orang angkat tangan –kalau kita percaya kedaulatan Allah. Tetapi nyatanya tidak. Inikah kedaulatan Allah? Ini bukan kedaulatan Allah, tapi kedaulatanmu dan kedaulatan saya. Kita boleh saja bicara kedaulatan Allah sampai soal pilihan kaos kaki warna apa, tetapi dalam hidup riil tidak percaya kedaulatan Allah sebetulnya. Saya mau datang ke seminar apa, saya mau mendengarkan hamba Tuhan yang mana, saya mau pergi ke gereja mana, semua saya yang menentukan; itukah kedaulatan Allah? Bukan. Itu kedaulatan Saudara dan saya namanya. Lalu kita bilang diri kita percaya kedaulatan Allah?? Sepertinya tidak.
Kalau kita percaya kedaulatan Allah, kita tidak ada pilihan untuk diri, ‘saya tidak ada pilihan, kecuali taat, saya cuma serdadu yang musti mengikuti Panglima saya; nanti setelah saya menyerahkan diri, Tuhan mau pakai di bagian apa, itu urusannya Tuhan, Tuhan yang berdaulat, biar Dia yang pilih, bukan saya yang pilih’. Coba perhatikan dalam Kekristenan sekarang, orang katanya mengenal suara Tuhan, mengenal bahwa ini kebenaran, tapi lalu masih pikir-pikir, waktunya nanti dulu, saya belum siap, dsb.; itu tidak betul-betul mau mengikut sebenarnya. Di dalam Alkitab, tidak ada pemisahan antara ‘mengikut gembala’ dengan ‘yang kita kenal suaranya’; domba-domba itu mengikuti dia karena mereka mengenal suaranya. Kalau kita mengenal suara-Nya, kita mengikut. Yang mengenal suara tapi tidak mengikut, mungkin dia tidak mengenal suara-Nya sebetulnya, karena mengenal dan mengikut tidak bisa dipisahkan, ini dua hal yang menjadi satu. Memang betul itu dua hal yang berbeda, mengikut bukan mengenal, mengenal bukan mengikut, tapi tidak bisa dipisahkan. Kalau Saudara mengenal suara kebenaran sedang diberitakan kepada Saudara, maka Saudara mengikut; demikian juga saya. Tidak ada orang yang mengenal kebenaran lalu masih pikir-pikir lagi, bergumul, merasa waktunya belum sampai, masih belum mau mengikut Tuhan, masih terlalu muda, masih mau menikmati dunia ini, dst., tapi katanya tahu dan mengenal suara. Mungkin sebenarnya tidak mengenal.
Kalau melihat ke perumpamaan penabur di Injil Matius, prinsip yang dikatakan di situ cuma ‘mengerti’, tidak ada kata ‘melakukan’; dikatakan bahwa mereka percaya dan mengerti. Bagi Matius, percaya dan mengerti itu, termasuk di dalamnya adalah ketaatan dan pengikutan. Tetapi ‘mengerti’ menurut kita, orang modern, cuma berarti mengerti di otak bahwa hal itu masuk akal, namun tidak kemudian membawa kita ke dalam penyerahan hidup yang total kepada Tuhan. Apakah itu berarti mengenal suara?? Kalau di dalam Yohanes, kita tidak melihat pemisahan itu; yang mengenal, dia mengikut. Mengapa dia mengikut? Karena mengenal.
Kembali ke dunia domba, domba-domba itu mengenal gembalanya; dan tidak ada domba yang setelah mengenal suara gembalanya memanggil lalu bilang “ya, saya tahu, bos, itu suara lu, tapi saya masih mau di sini, bye, bye”. Tidak ada domba yang kayak begitu. Hanya ada salah satu: dia tidak mengenal, dan karena itu tidak mengikut, atau kalau dia kenal suaranya maka dia langsung ikut, dia ketakutan kalau dilepas sendirian. Itulah domba di dalam dunia binatang, yang mengenal suara gembalanya dan mengikut gembalanya. Kita ini manusia yang terlalu otonom, terlalu berdaulat; binatang saja bisa lebih taat di dalam hal ini. Dalam kehidupan kita yang diciptakan Tuhan dengan kemampuan bisa otonom, alangkah indahnya kalau kita bisa tetap taat. Ketaatan kita sebagai manusia yang diciptakan dengan kehendak bebas, itu jauh lebih indah daripada domba taat kepada gembalanya.
Ayat 5, “Tetapi seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal." Di dalam dunia yang sangat pluralistik ini, yang semua orang meng-klaim kebenaran, termasuk juga di dalam Kristen semua merasa teologinya yang paling benar, yang paling dekat dengan Alkitab, dan semua juga bicara tentang Yesus Kristus –tidak ada yang bicara Pinokio misalnya—bagaimana kita bisa membedakan? Jawabannya sederhana, sebagaimana dikatakan ayat 5, kalau kita adalah domba yang sejati, orang-orang pilihan, kita bisa mengenali suara pencuri dan perampok yang bukan gembala; sebaliknya, suara gembala yang diutus oleh Tuhan, kita bisa mendengarkan. Kalau tidak bisa mendengarkan, berarti dia di dalam kegelapan rohani, tidak bisa membedakan. Kalau kita hidup di dalam terang, kita bisa melihat/ membedakan siapa gembala yang diutus oleh Tuhan, dan siapa yang cuma mengajarkan ajaran-ajaran manusia yang keluar dari kedagingan; siapa yang memberitakan Firman Tuhan dengan motivasi karena uang dan siapa yang betul-betul memberitakan kebenaran yang asli.
Orang-orang Farisi ini tidak bisa membedakan, mereka menganggap Yesus adalah orang berdosa. Mengapa? Karena mereka hidup dalam kegelapan. Mereka tidak bisa membedakan suara gembalanya, bagi mereka Yesus seperti bukan gembala, Yesus justru seperti pencuri dan perampok. Padahal merekalah yang pencuri dan perampok, karena mereka suka hidup dalam kegelapan sehingga tidak bisa mendengar suara kebenaran. Sebaliknya orang buta yang dicelikkan inilah yang bisa menangkap suara Kristus, Sang Gembala Agung itu. Sebagaimana dikatakan, “seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara orang-orang asing tidak mereka kenal", maka tepatlah bahwa orang buta yang dicelikkan ini lari dari orang-orang Farisi. Tidak diusir pun, juga harus lari, karena ini suara yang asing, pengajar-pengajar asing yang tidak memberitakan kebenaran, yang tidak hidup di dalam terang, mereka pencuri dan perampok.
Domba yang asli, yang betul-betul domba pilihan, bisa mengenal suara gembalanya. Ini satu penghiburan. Ini pengenalan yang sangat personal. Di sini saya tidak mau menggunakan istilah ‘subyektif’ karena bisa menyesatkan, seolah-olah tidak ada kriteria objektif sama sekali; istilah yang lebih tepat adalah ‘personal’. Kadang-kadang bisa sulit kalau kita terus ber-argumentasi dalam wilayah reasonability. Pernah dalam satu seminar, saya mengkritik satu gambaran teologi yang keliru. Setelah selesai, ada orang yang datang kepada saya, mengajak debat. Saya berusaha jelaskan dengan tetap sabar, tapi dia terus protes sampai akhirnya saya rasa sudah tidak bisa lagi diajak bicara, lalu saya tutup dengan kalimat: “Begini saja, kita berdoa di hadapan Tuhan, kalau hati nurani kita dipimpin Roh Kudus, kita tahu koq, sebetulnya mana yang benar.” Berbicara terus pakai penjelasan rasional tetap ‘gak nyambung, terus ditanggapi dengan perlawanan meski saya berusaha mendengarkan apa kesulitannya dia. Tetapi yang dia paksakan bukan teologi yang berasal dari Alkitab, dan dia bersikeras itu teologi yang benar, sehingga tidak bisa ada pencerahan. Maka di sini, kalau hati nurani kita jujur, kita tahu sebenarnya suara yang asli itu yang mana, bukannya tidak bisa membedakan. Kalau memang tidak bisa membedakan, ya, memang bukan domba yang asli.
Menurut prinsip Firman Tuhan, domba yang asli bisa mendengar suara kebenaran, mendengar suara gembala yang asli, mendengar suara Kristus; sedangkan orang-orang asing pasti tidak mereka ikuti, mereka lari daripadanya. Jaminannya di mana? Yaitu di dalam doktrin predestinasi, bahwa ada pemilihan Tuhan yang kekal itu; ada kemampuan Roh Kudus untuk bisa membedakan (discerning spirit) yang mana kebenaran dan undangan untuk berjalan di dalam terang, yang mana yang membiarkan orang terus hidup di dalam kegelapan.
Waktu Yesus mengatakan perumpamaan ini, orang-orang tidak mengerti apa maksudnya. Maka bersyukur di ayat 7-10 ada penjelasannya. Ayat 7 Yesus mengatakan: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu.” Tadi sebelum masuk ayat 11, Yesus menyebut diri-Nya sebagai pintu; yang masuk melalui pintu adalah gembala domba, sedangkan yang masuk tidak melalui pintu, dia pencuri dan perampok.
Ayat 8: “Semua orang yang datang sebelum Aku, adalah pencuri dan perampok, dan domba-domba itu tidak mendengarkan mereka.” Siapakah itu yang datang sebelum Yesus? Di dalam sejarah, ada orang-orang yang mengaku mesias, padahal mereka mesias palsu. Mesias palsu itu tidak mempunyai jiwa gembala; dan juga pasti bukan pintu. Pintu itu adalah Yesus; yang tidak masuk melalui pintu, bukan gembala yang asli –termasuk juga dalam konteks yang paling dekat, yaitu orang-orang Farisi ini. Mereka adalah pencuri dan perampok. Mereka menekan janda-janda miskin. Motivasi mereka sebetulnya uang. Mereka kelihatan sangat tekun, berapi-api dalam membawa orang, seakan memegang kunci Kerajaan Surga, tapi sebenarnya mereka menutup sehingga banyak orang tidak bisa masuk ke dalam Kerajaan Surga dengan pengajaran mereka, dengan kehidupan mereka, dst. Karena mereka menolak Kristus, menolak pintu itu, tidak mau masuk melalui pintu itu, maka domba-domba tidak mendengarkan mereka.
Ayat 9, “Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat”. Saudara perhatikan, dalam pembicaraan “seven great I am”, baik itu mengenai pintu, roti hidup, gembala yang baik, atau jalan, kebenaran dan kehidupan, pembicaraannya tidak pakai istilah filosofis melainkan pakai istilah sehari-hari. Bukan cuma istilah sehari-hari, hal ini juga merupakan kebutuhan yang paling pokok dalam kehidupan manusia. Kita ini perlu rumah, dan di dalam rumah perlu ada pintu untuk bisa masuk dan keluar, kalau tidak ada pintu, tidak bisa berjalan masuk dan tidak bisa keluar juga. Orang buta yang dicelikkan ini diusir keluar, lalu Yesus menerima dia di dalam kehidupannya –“Akulah pintu”.
“Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat”. Kalimat yang digambarkan di sini, pertama bicara mengenai masuk; Yesus itu pintu, kita masuk melalui pintu dan mendapatkan keselamatan. Keselamatan dari apa? Orang Injili bilang ‘keselamatan dari dosa’. Itu pasti betul, tapi general. Kalau ditanya lagi, keselamatan dari dosa apa? Yaitu keselamatan dari dosa pencuri dan perampok. Kalau kita tidak masuk melalui pintu itu, natur kita adalah pencuri dan perampok, kita akan terus berjalan dalam kegelapan, kita akan terus mementingkan kehidupan sendiri, kita tidak akan mempunyai hati seorang gembala. Dari sinilah kita diselamatkan; dan arti keselamatan adalah Saudara diundang untuk bisa menjadi gembala.
Kita musti berhati-hati dengan gambaran teologi Injili yang murahan yang sangat terdistorsi –yang saya percaya bukan teologi Injili yang asli– yang mengajarkan: “pokoknya percaya kepada Yesus, nanti mati masuk surga”; tapi setelah percaya kepada Yesus, yang katanya masuk melalui pintu, tetap pencuri dan perampok. Itu bukan Kekristenan. Itu teologi dusta. Tidak ada gambaran itu di dalam Alkitab. Kalau kita dikeluarkan dari keadaan pencuri dan perampok, masuk betul-betul melalui pintu itu, kehidupan kita akan diubahkan Tuhan –meskipun belum sempurna—untuk mempunyai hati seorang gembala. Itulah Kekristenan yang asli.
Yesus adalah pintu. Memag istilah ‘pintu’ seolah-olah gampang, tinggal lewat pintu langsung masuk. Tapi jangan lupa, Yesus juga menyebut diri-Nya jalan, “Akulah jalan”. Pintu itu sesuatu yang saya buka, saya masuk, langsung tidak sampai 2 detik saya sudah pindah ke ruangan lain. Sedangkan jalan, apakah panjangnya 2 mm atau 2 cm, yang dalam sekejap langsung selesai, sudah berjalan di dalam Tuhan? Tidak.Jalan itu bisa sepanjang 13 km, bisa 1000 km. Jalan kehidupan Saudara dan saya, itu seumur hidup; inilah pengertiannya waktu Yesus bilang “Aku adalah jalan”. Tetapi orang bilang “saya percaya Yesus adalah satu-satunya jalan, saya kalau mati masuk surga”, dan setelah itu dia berjalan di jalannya sendiri. Itu berarti Yesus bukan jalan bagi dia, orang ini berjalan di jalannya sendiri. Kalau dia mengakui Yesus satu-satunya jalan, seumur hidup dia akan berjalan di jalan itu, yaitu kehidupan Kristus. Barulah di situ dia bisa mengatakan “Yesus adalah satu-satunya jalan”. Jalan apa? Jalan salib. Jalan salib itu jalan apa? Yaitu menjadi gembala.
Tetapi kalau Saudara pikir, Saudara sudah masuk melalui pintu, pintunya adalah Kristus, sudah diselamatkan, sudah keluar dari dosa, setelah itu tetap pencuri dan perampok, saya akan tanya, pintu yang mana, Yesus yang mana maksudnya? Yesus yang di dalam Alkitab, setelah kita masuk melalui pintu itu, yaitu diri-Nya sendiri, kita akan ditebus, dikeluarkan dari natur pencuri dan perampok menjadi natur gembala. Orang Kristen yang dalam kehidupannya terus-menerus memperhatikan dirinya sendiri, terus-menerus putar-putar urusan dia dan keluarganya, dia itu pencuri dan perampok, dan boleh tanya tentang keselamatannya apakah sudah ada atau belum sebetulnya??
Dalam Teologi Reformed, kita membicarakan tanda-tanda orang pilihan. Saya bukan mengatakan bahwa kita orang pilihan karena kita memiliki tanda-tanda. Kita diselamatkan hanya karena Kristus, karena anugerah-Nya, karena pengampunan-Nya di atas kayu salib; ini jelas. Tapi kalau kita betul-betul mengalami keselamatan, kita melihat kehidupan kita diubahkan dari mental pencuri dan perampok yang hanya meperhatikan diri sendiri, menjadi orang yang punya hati gembala. Itulah hidup di dalam segala kelimpahan.
“Barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat”, lalu kalimat berikutnya: “dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput”. Pintu itu bukan cuma untuk masuk tapi juga keluar –inilah hidup dalam kelimpahan. Bukan cuma masuk lalu setelah itu tidak keluar-keluar lagi, atau keluar lalu tidak bisa masuk. Kebanyakan, pintu itu bisa keluar dan bisa masuk. Ada semacam pintu yang bisa keluar tapi tidak bisa masuk; kalau Saudara keluar lalu pintunya tertutup kena angin, Saudara tidak bisa masuk lagi, pintunya terkunci –ini untuk alasan security. Tapi saya belum pernah lihat pintu yang setelah masuk kita tidak bisa keluar lagi; alangkah bahayanya pintu seperti ini. Namun sedihnya, dalam kehidupan ada orang Kristen yang kayak begini; dia masuk ke dalam komunitas Kristen, kumpulan orang percaya yang di dalamnya seharusnya tidak ada serigala, ada kenyamanan di situ bersekutu dengan orang-orang pilihan, lalu setelah masuk tidak mau keluar. Dia lupa bahwa Yesus adalah pintu yang membawa bukan saja masuk tapi juga keluar.
Hidup di dalam segala kelimpahan, itu bukan cuma masuk lalu tidak bisa keluar, tapi juga bukan yang di luar tidak mau masuk. Kalau yang di luar tidak mau masuk, aneh juga, dia tidak bisa bersekutu dengan orang-orang percaya, merasa seperti di tengah-tengah serigala –jangan-jangan dirinya memang serigala; dan itu juga bukan hidup yang di dalam segala kelimpahan. Yang sama-sama aneh adalah domba yang cuma kumpul dengan sesama domba, tidak ada pengutusan ke luar, hanya terus di dalam, ada kedekatan satu dengan yang lain, the church as community, being one big family, dsb., lalu lupa keluar, menciptakan Christian ghetto di dalam; ini bukan hidup di dalam segala kelimpahan.
Waktu keluar, memang serigala ada di luar, memang ada bahaya di luar, tapi juga ada pemeliharaan Tuhan, ada padang rumput di sana. Padang rumput bukan di dalam kandang melainkan di luar. Waktu orang Israel dikeluarkan dari Mesir, mereka itu di padang gurun, dan memang susah berjalan di padang gurun. Tetapi di tempat itu juga Tuhan memelihara dengan manna dan ada air. Waktu kita keluar dari gedung gereja, keluar dari komunitas Kristen, kita berada dalam dunia yang penuh dengan kegelapan, tapi jangan lupa di situ juga adalah padang rumput tempat Tuhan memelihara kita.
Kehidupan dalam segala kelimpahan adalah tahu kapan kita masuk, menikmati persekutuan dengan domba-domba yang lain, dan kapan kita diutus keluar di dalam kuasa pengutusan Kristus. Kalau kita waktu masuk saja melalui pintu, tidak memanjat tembok, tentu saja keluar juga melalui pintu, tidak memanjat tembok juga, yaitu keluar di dalam kuasa sebagai utusan Kristus/ duta Kristus, menemukan padang rumput. Meskipun dalam bahasa aslinya agak lain, saya ingin mengaitkan bagian ini dengan satu ayat dalam Mazmur yang mirip, yaitu “Tuhan akan menjaga keluar dan masukmu”. Keluar dari mana? Ini mazmur ziarah, jadi maksudnya keluar dari Bait Suci, dari Yerusalem, dari hadirat Allah, lalu kemudian masuk. Saya tidak sedang membandingkan Perjanjian lama dengan Perjanjian Baru, dan tidak perlu juga membuat rangking di sini, masing-masing ada keindahannya, masing-masing punya penekanannya. Kalau mengikuti Perjanjian Lama, berarti kehidupan dimulai dari kehadiran Allah, seperti hari Minggu ini ketika Saudara beribadah; kehidupan dimulai dari sabat bukan dari pekerjaan, dari Saudara berada dalam hadirat Tuhan, lalu keluar, dan Tuhan menjaga supaya kita bisa masuk lagi. Suatu saat kalau Saudara dan saya bertemu dengan Yesus, di situ kita masuk ke dalam hadirat Allah. “Tuhan menjaga keluar dan masukmu” –berakhir dengan ‘masuk’, betapa indah gambaran dalam Mazmur ziarah ini. Saudara juga menemukan gambaran seperti ini di Mazmur 23 yang diakhiri dengan: “dan aku akan diam di rumah Tuhan sepanjang masa” –masuk ke dalam hadirat Tuhan.
Tetapi di ayat yang kita baca tadi dikatakan “masuk dan keluar”; perspektifnya Yohanes adalah kita tadinya berada dalam kegelapan, maka kita musti masuk ke dalam terang, dan pintunya adalah Yesus Kristus. Tapi setelah kita masuk dan hidup di dalam terang, itu adalah supaya kita diutus kembali lagi ke dunia yang penuh dengan kegelapan ini. Dalam hal ini –kalau pakai bahasanya Mazmur—Tuhan akan menjaga supaya kita bisa masuk dan keluar; keluar dari kegelapan masuk ke dalam terang, lalu keluar dari terang itu masuk ke dalam dunia yang gelap; bukan untuk hidup berdosa lagi, tapi untuk merefleksikan terang yang sudah kita terima dari Yesus Kristus, Terang dunia.
Yesus adalah pintu, lalu saya keluar; yang di luar bukan cuma serigala, tapi juga domba-domba yang masih tersesat. Saya tidak bisa ketemu mereka kalau saya tidak keluar. Saya tidak bisa ketemu mereka kalau cuma teriak-teriak dari kandang karena saya takut ada bahaya. Jangan lupa, di luar juga ada padang rumput, ada pemeliharaan Tuhan, kita juga akan di-nurture di sana. Tapi tanpa kita keluar, tidak akan ada perjumpaan dengan domba-domba lain itu. Yesus mengatakan di ayat-ayat berikutnya bahwa ada domba-domba lain yang bukan domba-domba ini; di dalam konteksnya kita tahu Yesus sedang berbicara tentang gentiles, bangsa-bangsa lain yang bukan bangsa Israel. Di dalam konteks Saudara dan saya, itu adalah orang-orang yang belum masuk melalui pintu yang adalah Kristus itu. Mereka adalah domba-domba yang masih di luar, yang harus dibawa masuk ke dalam kandang. Tuhan mau memakai kita supaya membawa mereka masuk ke dalam kandang, yaitu dengan kita keluar. Tuhan menjaga masuknya kita, Tuhan menjaga keluarnya kita.
Ayat 10, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Apa artinya hidup dalam segala kelimpahan? Sudah pasti bukan seperti tafsiran teologi sukses; itu 180º terbalik. Kalau ditafsir sebagai ‘saya percaya dalam Yesus Kristus semua harta akan membanjiri saya’, itu berarti kita tetap di dalam jiwa pencuri dan perampok. Yesus itu pintu, Dia mengeluarkan kita dari mental pencuri dan perampok supaya kita bisa menjadi gembala, gembala itu memberikan dirinya, memberikan nyawanya. Itulah hidup dalam segala kelimpahan. Tetapi dalam teologi sukses, hidup dalam segala kelimpahan ditafsir ‘saya percaya Yesus, Yesus adalah pintu, lalu saya mendapat berkat terus-menerus dari Yesus’. Itu berarti meneguhkan mental pencuri perampok, tidak ada pertobatan apa-apa sebetulnya. Memang pakai nama Yesus waktu bicara hidup dalam segala kelimpahan, tapi dalam pengertian yang sangat terbalik, persis terbalik dengan aslinya yang ada di sini.
Yesus menawarkan hidup dalam segala kelimpahan, pasti Dia sendiri hidup dalam segala kelimpahan. Sekarang Saudara lihat kehidupan Yesus, hidup dalam segala kelimpahan itu apa maksudnya? Yaitu kehidupan yang bukan pencuri dan perampok, yang bukan mengumpulkan bagi diri-Nya sendiri, melainkan yang memberikan kehidupan-Nya. Hidup sebagai gembala yang baik, itu hidup di dalam segala kelimpahan. Hidup yang cuma masuk dan tidak keluar lagi, atau cuma keluar tapi tidak pernah masuk, keduanya bukan hidup dalam segala kelimpahan. Gereja ini tidak hidup dalam segala kelimpahan kalau kita cuma menikmati persekutuan yang akrab di dalam; kecuali kita diutus keluar, barulah itu hidup dalam segala kelimpahan. Sebaliknya, jangan keluar dan keluar lalu tidak masuk-masuk lagi. Kalau Saudara keluar, bersenang-senang bersama dengan orang-orang dunia, itu pasti bukan hidup di dalam segala kelimpahan juga. Hidup dalam segala kelimpahan itu kita bisa masuk, bisa keluar, bisa masuk, bisa keluar.
Yesus mengatakan “Akulah pintu, barangsiapa masuk melalui Aku, ia adalah gembala domba”. Gembala domba adalah mereka yang tadinya pencuri dan perampok, lalu melalui Kristus dia jadi gembala domba. Tapi kita bukan gembala domba yang pertama; gembala domba yang baik yang asli, adalah Kristus sendiri. Waktu kita bisa masuk melalui pintu, yang adalah Kristus, Alkitab menyebutnya gembala domba. Kita jangan ge-er ‘saya gembala, saya masuk melalui pintu’, karena gembala itu adalah Kristus sendiri. Dia adalah pintu, dan Dia adalah gembala itu sendiri. Kita mengerti apa artinya menjadi gembala, waktu kita masuk melalui pintu yang adalah Kristus itu, dengan mempelajari kehidupan Kristus, yang bukan hanya pintu tapi sekaligus gembala yang baik.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading