Kita melanjutkan tema “Pertemuan dengan Tuhan”, dan hari ini masuk kotbah yang ke-5. Seperti biasa, waktu melihat cerita-cerita mengenai pertemuan dengan Tuhan, kita harus melihat kembali keseluruhan ceritanya untuk bisa mengerti poin yang klimaks ini.
Latar belakang ceritanya adalah zaman ketika Elia hidup dan berkarya, pada zaman pemerintahan Ahab dan Izebel, raja Israel dan ratunya. Alkitab sangat jelas menceritakan betapa zaman Ahab dan Izebel ini cukup radikal dibandingkan zaman-zaman sebelumnya. Bukan berarti sebelum zaman Ahab, orang Israel benar-benar setia menyembah Yahweh, tetapi sebelum zaman Ahab selalu siklusnya mereka menyembah berhala lalu Tuhan bangkitkan penyelamat, dan mereka jadi menyembah berhala biasanya karena interaksi kultural dengan negara-negara tetangga. Tetapi di zaman Ahab dan Izebel berbeda; ini satu era yang radikal. Izebel bukan saja putri raja negara tetangga, tapi raja Tirus-Sidon tersebut juga seorang imam Baal. Itu sebabnya yang Izebel lakukan ketika memerintah bersama dengan Ahab di Israel, adalah menjadikan penyembahan Baal sebagai agama resmi Israel. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Izebel juga membawa masuk ratusan nabi Baal dan Asyera, dengan status pegawai negeri. Dengan demikian penyembahan Baal di Israel bukan lagi sesuatu yang sporadis melainkan sesuatu yang sudah sistematis. Dalam situasi sangat genting ini, Allah mengutus nabi Elia dan juga mengirimkan kekeringan hebat, untuk membangunkan Israel dari tidur rohaninya –khususnya karena Baal dikenal sebagai dewa petir dan guntur, juga dewa hujan.
Cerita pasal 18 adalah satu kisah dramatis pertandingan antara ratusan nabi Baal versus The Last Prophet of Yahweh, yaitu Elia, di Gunung Karmel; mereka mengadu, siapa yang bisa menurunkan hujan. Ribuan orang Israel naik ke Gunung Karmel menonton pertunjukan ini. Di situ Elia sengaja memberikan kemudahan-kemudahan bagi pihak Baal. Pertama, pihak Baal berjumlah 450 orang, sementara Elia sorang diri. Kedua, taruhannya adalah menurunkan api,yang notabene memang keahlian dewa Baal sebagai dewa petir, sementara Yahweh selama ini reputasinya hanya sebagai dewa perang. Ketiga, Elia memberi kesempatan kepada mereka lebih dulu.
Singkat cerita, nabi-nabi Baal itu berdoa, menari-nari, teriak-teriak, menoreh-noreh diri demi minta hujan –dan tidak berhasil. Elia juga memanas-manasi mereka, menyuruh teriak lebih keras karena mungkin Baal sedang tidur perlu dibangunkan, atau lagi pergi, dsb. Mereka melakukan itu seharian sampai tengah hari ketika sudah kecapaian; kemudian Elia bangkit. Elia menyuruh mendirikan mezbah baru dengan 12 batu melambangkan 12 suku Israel, menyembelih lembu di atasnya, menyuruh orang Israel menggali parit di sekeliling mezbah, menumpahkan air –yang pada zaman kekeringan tentu harganya lebih mahal daripada emas—ke atas lembu, mezbah, dan ke atas batu-batu sampai parit di sekelilingnya tergenang semua. Lalu dia berdoa: “Jawablah aku, ya TUHAN, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah, ya TUHAN, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali” –atau dalam bahasa aslinya: ‘Engkaulah yang membuat hati mereka berputar balik’ (1 Raj. 18:37).
Yang terjadi berikutnya, api turun dari langit, menyambar habis mezbah yang super basah itu, lalu menjalar ke lembu korbannya, ke batu-batu, dan semua air di dalam parit habis. Api dari Tuhan memakan habis semuanya; tadi ada mezbah berdiri, sekarang sudah tidak ada lagi, semua hilang lenyap dihabiskan api itu. Orang Israel langsung sujud, mengakui keilahian Yahweh; dan Elia langsung menyuruh mereka membantai ratusan nabi Baal tersebut. Kemenangan besar. Elia kembali berdoa, lalu Allah menurunkan hujan bagi Israel. Itu belum cukup, Elia juga memberi pesan kepada Ahab, supaya segera pulang naik kereta sebelum hujan turun. Lalu kuasa Tuhan turun atas Elia, dan di ayat terakhir pasal 18 dikatakan Elia mendapat kekuatan untuk berlari lebih cepat daripada kereta kuda Ahab.
Cerita pasal 18 ini mungkin cukup familiar bagi kita. Tapi sekarang saya ingin memperlihatkan betapa anehnya Alkitab ketika kita melihat pasal 18 dan 19 secara bersamaan. Beberapa komentator Alkitab bahkan merasa, jangan-jangan kedua pasal ini ditulis oleh 2 orang yang berbeda, karena ceritanya seperti putus, tidak ada lanjutan logikanya; bagaimana mungkin kisah kemenangan besar-besaran yang tanpa tantangan dan tanpa kesulitan di pasal 18 itu, dilanjutkan dengan kisah seperti pasal 19 ini?? Kalau mau alur yang bagus, seharusnya di pasal 19 Ahab dan Izebel juga sujud menyembah, mengakui keilahian Yahweh karena setelah demonstrasi besar-besaran di Gunung Karmel, karena masih kurang apa lagi?? Demonstrasi apa lagi yang lebih menohok, yang lebih bisa melucuti pikiran bahwa kuasa Baal memang ada, setelah semua kesempatan dan keuntungan diberikan kepada nabi-nabi Baal tadi??
Namun, yang terjadi di pasal 19 Izebel malah mengancam untuk membunuh Elia. Dan lebih anehnya, Elia –yang sudah begitu sukses itu—ketakutan lalu kabur ke daerah Yehuda [Ahab raja Israel, Kerajaan Utara, dengan ibukota Samaria; Elia kabur ke Yehuda, yang adalah Kerajaan Selatan]. Elia sampai ke Bersyeba di Yehuda, dan meninggalkan bujangnya di sana karena dia tidak perlu bujangnya lagi; ini berarti pada dasarnya Elia resign. Dia berjalan seharian, masuk ke padang belantara. Dia duduk di bawah sebuah pohon arar, lalu berdoa minta Tuhan mencabut nyawanya. Dari sini Saudara bisa mengerti alasannya banyak sarjana Alkitab mengambil kesimpulan, bahwa dua pasal ini tidak masuk akal, seperti ganti sutradara di tengah-tengah produksi film. Ayat terakhir pasal 18 mengatakan kuasa Tuhan datang atas Elia, lalu dia bisa lari lebih cepat daripada kereta kuda; tetapi masuk pasal 19 Elia minta mati, sudah capek. Orang ini melayani Tuhan, dia melayani dengan sukses, dengan kuasa yang terlihat jelas, bagaimana mungkin kelanjutan ceritanya jadi seperti ini??
Tetapi kalau kita benar-benar menyelidiki Alkitab, ada 3 orang yang pernah mengatakan kepada Tuhan untuk mencabut nyawanya, yaitu Elia –di kisah ini– Musa (Bil.11:14-15a “Aku seorang diri tidak dapat memikul tanggung jawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku. Jika Engkau berlaku demikian kepadaku, sebaiknya Engkau membunuh aku saja”), dan Yunus (Yun. 4). Mereka bukan 3 orang yang pelayanannya tidak sukses; dalam setiap kasus, mereka bahkan mengatakan kalimat seperti itu ketika baru saja mengalami kesuksesan besar, dipakai Tuhan dengan luar biasa. Yunus minta Tuhan mencabut nyawanya, persis setelah dia selesai KKR di Niniwe, yang meski dia tidak sungguh-sungguh tapi seluruh Niniwe bertobat. Jadi, di sini Alkitab memberitahukan kepada kita, jangan pikir kalimat seperti itu tidak muncul dari mereka, orang-orang yang mengikut Tuhan dengan begitu luar biasa, yang sangat berkuasa dan sangat efektif dalam pelayanannya. Bahkan boleh dibilang, jangan-jangan mereka ini ingin bunuh diri justru karena mereka begitu sukses dalam pelayanan. Mengapa bisa seperti itu? Kita akan melihatnya lebih lanjut, khususnya dua hal yang Allah lakukan terhadap Elia, dan menarik beberapa kesimpulan.
Dalam hal Allah menghadapi Elia, kita perlu memperhatikan 2 hal. Yang pertama, yaitu tentang bagaimana Allah menemui Elia di Gunung Horeb (Sinai) itu. Pertama-tama keluar angin keras, begitu kerasnya sampai menghancurkan bebatuan, lalu selanjutnya gempa bumi, kemudian api. Dan Alkitab dengan sengaja mengatakan, bahwa dalam ketiga hal tersebut tidak ada Tuhan. Setelah itu terdengar bunyi suara yang lembut, dan segera sesudah mendengarnya maka Elia menutup muka dengan jubahnya serta mendekati suara tersebut, dan di situlah dia berbincang-bincang dengan Tuhan. Jadi implikasinya, di dalam suara yang lembut itulah Tuhan berada. Yang kedua, yaitu tentang apa yang Allah katakan kepada Elia untuk dia lakukan. Kita menemukan bahwa Allah menyuruh Elia menobatkan Yehu ganti Ahab, dan juga menobatkan Elisa sebagai penerusnya. Tetapi menariknya, dia juga disuruh menobatkan Hazael sebagai raja Aram, orang kafir. Apa maksudnya? Apa yang bisa kita tarik sebagai pelajaran?
Dalam seluruh kotbah ini, kita akan melihat 3 kontras besar. Yang pertama, kontras antara pasal 18 dengan pasal 19. Tadi kita mengatakan bahwa dari pasal 18 kemudian ke pasal 19, seakan-akan ganti sutradara. Tetapi, karena kontras seperti ini bukan cuma ada di bagian ini, melainkan juga di kisah Musa dan kisah Yunus, maka kita mungkin bisa melihatnya secara berbeda. Kita mungkin bisa ganti premisnya, bahwa kontras ini bukan sesuatu yang tidak sengaja atau karena penulisnya bodoh, melainkan kontras ini justru disengaja oleh penulis Alkitab, dan ada maksud yang mau dikomunikasikan lewat ganti warna ini. Apakah itu?
Untuk mengerti hal ini, kita bisa berangkat dari cerita-cerita surprise ending, yang ceritanya mengarah ke satu sisi lalu tiba-tiba plot twist, semuanya jungkir balik, si jagoan ternyata penjahatnya, tokoh yang kita kira penjahat ternyata justru yang baik, dst. Film-film yang seperti ini, menarik di dalam 2 level. Pertama, tentu saja karena membuat kita kaget dengan ending-nya waktu kita pertama kali nonton; tapi yang kedua, yang lebih seru, ketika kita menonton film itu dua kali. Pada kali kedua Saudara nonton –dengan mengetahui surprise ending-nya akan seperti apa– Saudara jadi mulai bisa membaca keseluruhan filmnya secara berbeda. Ada hal-hal yang tadinya kita pikir biasa-biasa saja, ternyata punya lapisan arti yang lebih dalam, yang kita tidak tangkap ketika pertama kali nonton. Ada adegan yang tadinya kita pikir si jagoan melakukan ini karena itu, ternyata waktu kita menonton kedua kali –dengan tahu bahwa dia sebenarnya penjahatnya–, arti adegan tersebut jadi bisa berubah 180º. Begitulah cara kita meresepsi cerita-cerita surprise ending, bukan cuma untuk diresepsi dari depan sampai ke belakang, tapi juga memakai kisah yang di belakang sebagai kacamata untuk melihat yang di depan. Dengan demikian, mungkin tujuan penulis Alkitab di bagian ini adalah memakai pola yang sama seperti itu; bukan cuma menyuruh kita untuk membaca dari pasal 18 ke pasal 19, tapi juga setelah mengetahui ending-nya di pasal 19, kita bisa menangkap lapisan-lapisan makna yang kita tidak tangkap di pasal 18.
Apakah lapisan-lapisan makna yang bisa kita dapatkan setelah kita tahu ending-nya? Yaitu bahwa pasal 18 dan 19 sengaja ditulis bertabrakan, untuk membuat kita mengerti bahwa ini bukan kisah tentang Elia sukses dan Elia depresi; ini adalah kisah Elia jatuh terpuruk, depresi, karena di pasal 18 dia melambung terlalu tinggi. Dia bisa jatuh begitu dahsyat di pasal 19, karena di pasal 18 dia punya ekspektasi yang terlalu tinggi, yang akhirnya tidak terjadi. Satu-satunya alasan Elia bisa begitu down di pasal 19, adalah kalau dia sudah terlewat high di pasal 19. Dia mengira demonstrasi yang terjadi di pasal 18, akan bisa mengubah orang. Dia pikir, proyeknya akan berhasil; dan kalau itu berhasil, sukses, diberkati Tuhan, maka segala sesuatu yang lain akan juga beres. Tapi ternyata pasal 19 surprise ending, dunia tidak sesederhana itu. Elia kaget. Elia tidak siap menghadapi hal ini. Elia punya ekspektasi yang sudah terlalu tinggi, investasi yang all out all in, tapi akhirnya gagal total. Ini yang menyebabkan dia tenggelam dalam syok, kaget, melihat betapa rusaknya dunia, melihat betapa jahatnya manusia, melihat betapa dalamnya dosa manusia berakar, melihat betapa bodohnya manusia. Itulah yang membuat dia depresi. Dengan demikian, ketika Saudara melihat pasal 18 bersama-sama dengan pasal 19, maka pasal 18 ini sama sekali bukan kisah sukses; pasal 18 adalah kisah over confidence.
Mungkin kita mengatakan, kalau saja kita bisa bikin demostrasi yang sama seperti Elia di Monas, maka negara Indonesia akan kembali kepada Tuhan; tapi menurut bagian ini, seandainya kita bisa bikin demonstrasi seperti itu, keesokannya negara Indonesia akan berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Mungkin saja orang berdecak kagum, “luar biasa!”, tapi toh hal itu tidak akan mengubah hati orang Indonesia. Sama seperti Elia, kita juga akan mengatakan, “Bagaimana sih, dunia sudah menyaksikan hal seperti ini, tapi hati mereka tidak putar balik??” Doa Elia mengatakan, “supaya Allah membuat hati mereka berbalik arah”; dan ternyata tidak terjadi. Memang benar orang Israel kagum, mereka bersujud, mereka membantai nabi-nabi Baal, tetapi ternyata hati mereka tidak benar-benar berubah. Elia depresi menghadapi hal ini, sama seperti Saudara dan saya pun akan depresi kalau mengalami hal ini. Mengapa? Yaitu karena kita meremehkan dosa. Karena Elia dan kita punya konsep dosa yang tidak utuh, punya pengertian dosa yang terlalu dangkal. Kita pikir, masalah dosa tidak sebegitu dalamnya.
Elia bukan saja punya konsep dosa yang tidak utuh dan terlalu dangkal, hal ini hadir berbarengan dengan pride yang terlalu tinggi. Maksudnya apa? Seorang pengkotbah Inggris, Dick Lucas, mengaplikasikan hal ini ke dalam dunia politik pada zamannya. Dia mengatakan, problem utama dari proyek-proyek manusia –baik proyek komunisme maupun demokrasi, baik proyek libertarian maupun fasis–bukanlah proyek itu sendiri; problem utamanya adalah kita pikir, proyek-proyek tersebut akan mampu mengatasi problematika dunia. Jadi bukan masalah paradigmanya –setidaknya bukan itu yang terutama—tapi manusia pikir, dengan adanya proyek tersebut, akan bisa mengatasi problemnya manusia. Manusia mengira masyarakat seperti mesin yang tinggal dianalisa problemnya di mana, lalu cari solusinya, kemudian di-implementasi, dan mesinnya akan kembali berfungsi dengan baik. Asumsi inilah yang membuat kita selalu jatuh ke dalam kekecewaan besar seperti Elia, karena sebelumnya ada pengharapan yang terlalu besar. Dunia tidak kunjung bangun dari lingkaran ini. “Pakai ini, akan berhasil; pakai itu, akan berhasil”, para politikus bicara seperti ini, dan keesokannya media melaporkan kemiskinan tetap ada, kerusakan tetap ada, jurang antara yang kaya dan miskin tambah besar, pembunuhan tetap ada, dsb. Bolak-balik seperti itu.
Mungkin kita bisa bertanya, apa yang jadi problem dunia? Atau lebih dipersempit, apa yang jadi problem Indonesia, apa yang jadi problem dalam keluarga Saudara, apa yang jadi problem relasi Saudara? Kalau mau jujur, betapa sering kita mengatakan ‘problemnya adalah mereka tidak mau dengerin saya sih, mereka tidak mau pakai cara saya sih; problemnya adalah proyek saya tidak dijalankan, seandainya itu dijalankan, everything will be OK’. Sadar atau tidak sadar, kita menolak untuk melihat bahwa problem utamanya adalah kedalaman dosa hati manusia, itu sebabnya kita mencari kambing hitam. Kalau Saudara ditanya “mengapa negara ini intoleran”, kepada siapa jari telunjuk Saudara akan menunjuk? Semua orang punya versinya masing-masing, tapi sebenarnya sedang mengatakan hal yang sama, bahwa problemnya adalah mereka tidak mau ikut saya, problemnya adalah proyek saya tidak dijalankan. Dalam hal ini, kita sama-sama tidak punya pengertian dosa yang biblikal, tidak punya pengertian dosa yang dalam, kita pikir problemnya dunia adalah disebabkan oleh paradigma tertentu, metode tertentu, kelompok-kelompok orang tertentu.
Kalau Saudara punya pengertian dosa yang biblikal, bahwa dosa jauh lebih dalam dari sekedar semua hal tersebut, maka justru ada dasar untuk berdialog dengan mereka, karena kita tahu diri kita tidak lebih baik dari mereka, dosa yang mengerikan itu sama besarnya berkuasa dalam hati mereka sebagaimana juga dalam hati kita, tidak ada bedanya sama sekali kalau bukan karena anugerah. Fakta kita selalu menunjuk-nunjuk kambing hitam, membuktikan bahwa kita memang percaya konsep dosa yang universal tetapi tidak menghidupinya. Kecuali kita mengerti seberapa dalam dosa merusak hati manusia, mengerti bahwa dosa tidak bisa diwakilkan oleh paradigma tertentu, agama tertentu, aliran tertentu, atau kelompok tertentu, setiap kali pride kita akan membuat kita mengkambinghitamkan orang lain. Dan yang terjadi berikutnya kekecewaan, karena ujung-ujungnya kita melihat proyek besar itu gagal juga –saya pikir, saya lebih baik, kita lebih baik, ternyata ujungnya sama saja. Dan hidup senantiasa dalam lingkaran setan pengharapan besar-kekecewaan besar, karena kita menaruh iman yang terlalu besar pada proyek-proyek manusia yang tidak mutlak itu, dan pada saat yang sama kita punya konsep yang sangat dangkal akan dosa.
Dalam diri Elia, pride-nya jelas sekali; Elia mengatakan kepada Tuhan, “aku satu-satunya yang tersisa”. Dan Tuhan langsung menampik: “Ada 7000 orang yang kakinya tidak pernah berlutut bagi Baal, yang mulutnya tidak pernah mencium dia –lu jangan ge-er”. Ini berarti penyebab kekecewaan kita, karena kita ada kecenderungan melihat pada diri sendiri dan berkata seperti Elia tadi: “Problemnya bukan saya tapi orang lain; ada gereja A, ada gereja B, tapi cuma kita yang benar-benar benar. Memang kita tidak perfect, tapi paling tidak kita lebih baik daripada orang lain, kita satu-satunya yang bertahan”. Pride inilah yang cepat atau lambat akan membawa kita masuk ke dalam kekecewaan. Itu sebabnya Allah mengatakan kepada Elia, “Masih ada 7000 orang …”.
Hal kedua yang Allah katakan adalah: “Urapi Hazael, raja Aram.” Hazael ini orang kafir; tidak ada indikasi bahwa Hazael adalah umat Allah atau orangnya Yahweh, juga tidak ada indikasi bahwa setelah diurapi Elia, dia lalu menyembah Allah Yahweh. Allah menyuruh Elia menobatkan raja kafir itu. Ini aneh sekali. Seorang nabi Israel, nabi Yahweh, disuruh menobatkan raja lain; apa maksudnya? Sangat jelas bahwa inilah cara Tuhan mengkomunikasikan kepada Elia, ‘Elia, lu jangan ge-er, Aku bukan cuma kerjasama dengan kamu, Aku ini bukan cuma Allah Israel, Aku Allah yang global, Allah yang kosmik, Allah yang bertakhta di atas segala bangsa. Dan Aku menggunakan orang-orang yang kamu tidak pernah kenal, yang kamu tidak pernah lihat, untuk menjalankan kehendak-Ku, menjalankan ketetapan-ketetapan-Ku, termasuk orang-orang yang kamu labelkan sebagai orang-orang kafir’. Bisakah kita menerima hal ini? Hal ini berdampingan dengan yang tadi. Kita punya konsep dosa yang terlalu dangkal, karena kita juga punya konsep anugerah yang terlalu sedikit. Kalau kita benar-benar percaya anugerah itu universal, bahwa tidak ada yang bisa selamat kecuali karena anugerah, kita harusnya juga mengerti universalitas dosa. Kalau kita melihat dunia dengan kacamata anugerah, kita justru akan menyadari seberapa jauh dosa berakar, dan dengan demikian menyadari seberapa besar Allah beranugerah kepada kita semua. Dan itu berarti Dia memang bebas untuk memakai siapa saja, termasuk orang-orang yang kita labelkan sebagai orang-orang kafir. Itulah alasannya Tuhan menyuruh Elia pergi mengurapi Hazael, raja yang kafir itu.
Waktu kita melihat anugerah, konklusinya selalu 2 arah. Yang pertama, Tuhan memakai anugerah untuk menyelamatkan kita, berarti Tuhan super baik, super mengasihi saya. Yang kedua, Tuhan pakai anugerah untuk menyelamatkan kita, berarti manusia butuh Dia total, manusia tidak bisa cuma dibantu, manusia butuh pembaharuan lahir baru secara total.
Mengapa kita meremehkan skala dosa? Karena kita juga meremehkan skala anugerah. Kita berpikir, kalau full anugerah seperti itu, berarti tidak ada harapan, tidak ada yang bisa kita lakukan yang cukup baik, jadi kita diam-diam saja. Kalau Saudara berpikir begitu, lalu alternatifnya apa? Apakah Saudara mau menolak untuk mengaku ketidakberdayaan dirimu, mengatakan, “masih ada sesuatu yang bisa kerjakan, masih ada kebaikan yang bisa saya kerjakan, di luar anugerah Tuhan”, lalu ujungnya kekecewaan? Waktu kita mengaku tidak ada satu hal pun yang bisa manusia lakukan untuk mendatangkan kebaikan, di situlah justru ada harapan untuk lepas dari kekecewaan, karena kita tahu kemenangan apapun di dunia ini hanyalah kemenangan yang parsial. Saya bukan mengatakan kita sama sekali powerless terhadap dosa –tentu saja ada berkat-berkat Tuhan dalam hal itu– tetapi Alkitab mengatakan semua kemenangan atas dosa yang terjadi hari ini, adalah kemenangan yang parsial, sebelum Allah datang kembali ke atas dunia. Proyek manusia tidak akan bisa mengalahkan dosa sepenuhnya, tidak akan bisa membereskan kejahatan sepenuhnya.
Saya menonton satu film seri, terdiri dari 10 episode, masing-masing 1 jam, mengenai perjuangan seorang detektif dan seorang pengacara untuk mendakwa seorang polisi kulit putih yang menabrak mati anak kulit hitam. Polisi tersebut meninggalkan anak itu tergeletak di jalan, sebenarnya karena dia rasis. Inilah yang mau mereka buktikan di pengadilan. Sebagai penonton, kita tahu sejak awal memang itulah yang terjadi, tetapi dalam 10 jam ceritanya, betapa membutuhkan perjuangan habis-habisan dari kedua orang ini untuk mendakwa si polisi, karena semua polisi mempersulit penyelidikan mereka, bahkan saksi yang mereka dapatkan pun dibunuh sehari sebelum sempat bersaksi di pengadilan. Dalam episode terakhir, ketika sudah hampir tidak ada harapan, tiba-tiba muncul bukti baru yang menyatakan si polisi berbohong. Akhirnya kebenaran nyata, memang polisi tersebut membunuh, dan dia melakukannya karena rasis. Kasus menabrak mati, hukumannya 8 tahun penjara, tapi kalau dasarnya rasisme, menjadi 30 tahun penjara. Sayangnya, ceritanya tidak berhenti di situ. Di lima menit terakhir, vonis dijatuhkan, dan para juri kulit putih itu menyatakan si polisi bersalah hanya untuk kasus menabrak mati, bukan kasus rasisme, jadi hukumannya maksimum 8 tahun. Kedua, karena dia seorang polisi, dia memiliki perlindungan hukum sehingga hanya perlu menjalani hukuman 364 hari saja, dan itupun masih bisa masuk program pembebasan bersyarat setelah 30 hari.
Setelah selesai nonton film itu, saya dan istri bengong di depan TV, syok, kaget, kecewa berat. Melihat film itu, kita bisa teriak, “Masih kurang apalagi! Buktinya sudah begitu jelas!”, tapi orang tetap tidak berubah. Jangankan soal proyek yang kita kerjakan, waktu nonton TV pun kita ada pengharapan seperti itu. Mengapa? Karena kita menolak untuk mengakui skala dosa di dalam dunia ini; dan ironisnya, itu jugalah yang membuat kita tidak bisa menghargai skala anugerah dalam hidup kita.
Itulah hal yang pertama, kontras antara pasal 18 dengan pasal 19, kontras antara pengharapan yang melambung terlalu tinggi dengan depresi berat yang luar biasa. Kontras yang kedua adalah kontras antara tanda dan kata. Kontras antara pasal 18 dengan pasal 19 itu disengaja, ada makna yang mau disampaikan. Tetapi kontras yang berikutnya, adalah antara angin besar dan api yang dikatakan tanpa Tuhan, dengan suara lembut yang ada Tuhan. Perhatikan bahwa kontrasnya bukan antara yang dari Tuhan dengan yang bukan dari Tuhan (misalnya dari setan); keduanya memang dari Tuhan, tapi kontrasnya bahwa yang satu adalah kiriman dari Tuhan dan yang satunya lagi adalah kehadiran Tuhan sendiri.
Apa yang mau Tuhan beritakan kepada kita lewat hal ini? Yaitu bahwa kejadian-kejadian dramatis ala Gunung Karmel itu bisa berasal dari Dia, kejadian-kejadian dramatis seperti api, gempa, angin ribut juga bisa berasal dari Dia, tetapi kejadian-kejadian seperti itu tidak tentu mengubah hati manusia. Apakah hati Elia diubah karena menyaksikan api, gempa, angin ribut? Tidak. Apa yang menyebabkan Elia dari depresi berat kemudian bisa kembali lagi dalam pelayanannya? Bukan karena api, gempa, dan angin ribut yang tidak ada Tuhan, melainkan karena kehadiran Tuhan lewat suara yang lembut itu. Dan kehadiran Tuhan itu bukan lewat penglihatan; dikatakan Elia keluar dan menutupi mukanya dengan jubahnya –karena melihat Tuhan berarti mati– Elia mendengar suara yang lembut, lalu dia mendengar kata-kata dari Tuhan, dia mendapatkan Firman Tuhan. Itulah yang mengubah hati manusia.
Yang mengubah hati manusia adalah kehadiran diri Tuhan sendiri, dan bukan cuma kiriman tanda-tanda dari Tuhan. Bukan lewat penglihatan, bukan lewat penampakan tanda-tanda dramatis, bukan lewat peristiwa Gunung Karmel, melainkan lewat perkataan-Nya. Di sini Allah sedang mengatakan bahwa yang kamu perlukan bukan tanda-tanda ajaib, atau hal-hal dramatis, tapi Firman Tuhan. Kalau Saudara benar-benar mau mengenal Tuhan, benar-benar mau punya pengalaman kehadiran Tuhan yang sejati, cara yang lebih efektif adalah dengan duduk mempelajari Firman Tuhan, mendengar Dia berbicara.
Peristiwa Gunung Karmel membuktikan Allah memang sanggup melakukan semua itu, tetapi juga menjelaskan alasannya Allah jarang-jarang melakukan yang seperti itu, yaitu karena ‘gak ngefek. Sudah pasti hal itu menyentuh mata dan pikiran orang banyak, tetapi itu ternyata tidak menyentuh dan mengubah hati mereka. Yang mengubah hati Elia adalah suara Roh Allah yang sepoi-sepoi basa itu yang hampir tidak terdengar –yang kita bisa cuekin kalau kita mau, sebagaimana kita cuekin Alkitab kapan kita mau– tapi inilah justru caranya Tuhan bekerja, caranya Tuhan mengubah hati orang.
Saudara tentu ingat cerita Tuhan Yesus tentang orang kaya dan Lazarus. Ketika keduanya meninggal, masuk ke dunia orang mati, orang kaya itu berteriak kepada Bapa Abraham, “Tolong bangkitkan Lazarus, utus dia untuk bicara kepada saudara-saudaraku supaya mereka tidak masuk ke neraka.” Apakah lalu Bapa Abraham pikir kalau cuma membangkitkan Lazarus tidak cukup, harus ada demonstrasi kuasa juga? Tidak. Yang Bapa Abraham katakan: “Tidak ada gunanya dia bangkit dari antara orang mati, tidak bakal mengubah hati orang; yang mengubah hati orang adalah tulisan Musa dan para nabi”. Maksudnya, kita harus sadar bahwa yang mengubah hati adalah ketika Allah berbicara lewat Firman Tuhan.
Kembali ke analogi film; film-film apa yang ada dampaknya dalam hidup Saudara? Apakah film-film semacam Transformers atau Star Wars yang penuh dengan special effect? Kita berdecak kagum ketika menontonnya, tapi setelah keluar bioskop mungkin kita pergi makan, lalu pulang, sudah lupa dengan filmnya. Sebaliknya, adegan-adegan yang benar-benar ngefek kepada kita, mengubah hati kita, membuat kita trenyuh dan kita tidak bisa lupa, seringkali justru adegan-adegan yang tidak ada special effect-nya. Satu adegan film yang saya tidak bisa lupa, yaitu dalam film Schindler's List, yang bukan saja tidak ada special effect-nya, filmnya pun hitam putih tidak berwarna. Film itu bercerita mengenai Oskar Schindler, seorang businessman Jerman pada Perang Dunia II. Oskar Schindler ini, yang adalah bangsa Aria (bangsa Jerman), berupaya menyelamatkan dengan sembunyi-sembunyi orang-orang Yahudi yang akan dikirim ke kamp-kamp konsentrasi, dengan cara yang merugikan dirinya sendiri. Mulanya dia menyogok orang-orang Nazi untuk tidak membawa orang-orang Yahudi ke kamp konsentrasi tapi menjualnya kepada dia untuk jadi karyawan, dsb., tapi kemudian makin lama makin perlu tindakan yang lebih ekstrim, sampai-sampai dia mulai jual pabriknya demi menyelamatkan sebanyak mungkin orang Yahudi. Di akhir film, ketika sudah tidak ada kesempatan lagi untuk bisa menyelamatkan orang Yahudi, Schindler berada bersama-sama dengan ratusan atau ribuan orang Yahudi yang mau dibawa ke negara sebelah untuk diselamatkan. Dalam adegan itu, dia keluar dari mobilnya, melihat begitu banyak orang Yahudi yang diselamatkan, dan dia menangis sesenggukan. Dia mengatakan: “Saya masih ada mobil ini, mengapa saya tidak jual mobil ini untuk menyelamatkan beberapa orang lagi?? Saya ada arloji, mengapa saya tidak jual arloji ini untuk mendapatkan beberapa nyawa lagi?? Mengapa saya tidak lakukan itu??” Itulah yang dia teriakkan; dan saya tidak bisa lupa adegan itu. Saudara perhatikan, adegan seperti itu begitu membekas, begitu mempengaruhi hidup kita, yaitu karena kata-kata, bukan special effect. Demikian juga dengan Firman Tuhan.
Mengapa kita perlu menghargai Firman Tuhan? Atau jangan-jangan selama ini kita minder melihat orang yang katanya setiap hari bertemu Tuhan, ada penampakan, dsb.? Yang seperti itu tidak perlu dikejar; yang justru berpengaruh adalah Firman Tuhan. Yang Saudara perlukan bukan tanda-tanda dramatis, yang Saudara perlukan adalah Firman Tuhan; dan Saudara sudah punya itu.
Kontras dalam bagian ini bukan cuma antara pasal 18 versus 19, bukan cuma antara tanda versus kata, yang ketiga adalah kontras antara penghakiman versus anugerah. Tanda-tanda dramatis yang tadi, baik peristiwa Gunung Karmel, maupun api, gempa, angin ribut, adalah tanda-tanda kuat kuasa Allah, tanda-tanda penghakimannya Allah. Kejadian Gunung Karmel pada dasarnya adalah penghakiman siapa yang benar dan siapa yang salah, yang salah mati. Motif-motif angin ribut, gempa, api, dalam Perjanjian Lama jelas adalah motif penghakiman Allah; sedangkan suara lembut mewakili anugerah Allah, cara Allah menghadirkan diri-Nya tanpa harus membunuh kita.
Yohanes Pembaptis ketika di penjara, dia mengirim murid-muridnya kepada Yesus untuk bertanya, “Engkaukah yang akan datang itu, atau kami harus menunggu orang lain?” Tuhan Yesus menjawab, “Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik; berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.” Problemnya Yohanes Pembaptis dan Elia sama, kekecewaan. Waktu Malaikat Gabriel mengabarkan mengenai kelahiran Yohanes Pembaptis di Lukas 1, dia mengatakan kepada Zakharia, ayahnya, bahwa Yohanes Pembaptis akan datang dalam roh dan kuasa Elia. Di sini mungkin salah satu artinya adalah Yohanes Pembaptis bukan cuma datang dengan kuasanya Elia –hal-hal yang positif pada Elia—tapi termasuk juga dengan kecenderungan-kecenderungan Elia yang negatif; dalam hal ini Yohanes Pembaptis senafas dengan Elia [kata ‘roh’ berarti ‘nafas]. Sama seperti Elia, Yohanes Pembaptis mungkin berpikir bahwa tanda kehadiran Mesias adalah turunnya penghakiman Gunung Karmel, satu hal yang harus ada untuk mengubah hati manusia, sehingga dia seakan mengatakan, ‘Jadi mengapa saya harus dipenjara?? Mengapa Tuhan tidak turun?? Di mana penghakiman Tuhan?? Mana api, gempa, dan angin ribut??’ Lalu jawaban Tuhan Yesus mengutip Yesaya 35, tapi di sini ada yang sengaja Tuhan Yesus katakan dan ada yang sengaja Tuhan Yesus tidak katakan.
Yes. 35: 5-6 Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara. Jawaban Tuhan Yesus mengutip dari bagian ini. Tapi ayat 4, yang mendahului nubuat itu, mengatakan: Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: "Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!" Jadi nubuat ini mengatakan bahwa Allah akan datang dengan keselamatan-Nya, yaitu penghakiman-Nya, maka orang buta dicelikkan, maka orang yang tuli telinganya dibukakan, dst. Ayat 4 sangat penting karena inilah yang menyebabkan bisa ada ayat 5 dan 6. Dan perhatikan, waktu Tuhan Yesus menjawab Yohanes Pembaptis, Dia sengaja tidak mengutip ayat 4. Seandainya Saudara jadi Yohanes Pembaptis, mungkin Saudara bisa ngamuk, “Mana pembalasannya, mana ganjarannya?? Kamu cuma datang mencelikkan orang buta, membuka telinga orang tuli, tapi mana yang sebelumya?? Bukankah janjinya begitu?? Aku ini masuk penjara, mana kuasanya?? Lagipula Kamu datang dalam kelemahan, dan sepertinya tidak lama lagi bakal dibunuh!”
Bagi Yohanes Pembaptis, bagi Elia, dan juga bagi kita, keselamatan itu di sini, yaitu api Tuhan turun, nabi-nabi Baal dibantai, jelas siapa yang benar dan siapa yang salah, orang-orang fasik dipunahkan, Herodes dimatikan; itulah keselamatan Tuhan. Itulah proyeknya, harus ada itu dulu. Maka Yohanes Pembaptis bertanya, “Di mana api Tuhan? Tuhan Yesus, kalau Kamu kerja separo-separo seperti ini, apa benar Kamu yang akan datang itu? Atau kamu harus tunggu orang lain?”
Tuhan Yesus tidak kerja separo-separo. Tahukah Saudara mengapa api, angin, dan gempa bumi penghakiman Allah tidak turun? Lebih tepatnya, api, angin, dan gempa bumi penghakiman Allah sebenarnya sungguh turun, tapi bukan turun kepada Herodes, bukan turun kepada orang-orang fasik, bukan turun kepada orang-orang yang menindas Saudara; mengapa? Jawabannya adalah skala dosa; kalau hal itu turun kepada mereka, maka bukan cuma membakar habis mereka tetapi juga membakar habis Saudara dan saya. Itu sebabnya Tuhan tidak menurunkan api tersebut, namun api itu tetap turun, yaitu turun kepada Yesus sendiri.
Mengapa Tuhan Yesus harus datang dalam kelemahan? Mengapa Tuhan Yesus harus datang dan dunia masih ada kejahatan? Karena kalau semua kejahatan mau dibasmi, kita akan ikut terbasmi. Itulah sebabnya Dia tidak datang dengan kuat kuasa-Nya. Kalau Saudara tahu skala dosa yang begitu dalam, kalau Saudara tahu skala anugerah yang begitu besar, maka kita bersyukur kejahatan hari ini masih diperbolehkan ada. Justru hal itulah sumber syukur kita, karena kalau hal itu dihilangkan, Saudara dan saya akan ikut lenyap. Itu sebabnya Allah datang dalam kelemahan untuk peghakiman tersebut jatuh ke atas diri-Nya. Dia datang bukan untuk membawa penghakiman melainkan untuk menerima penghakiman. Elia tidak mengerti ini, Yohanes Pembaptis tidak mengerti ini, akhirnya bolak-balik mereka terjebak antara pengharapan besar dan kekecewaan besar.
Jadi orang Kristen bukan cuma jadi orang yang pesimis atau optimis; pesimis saja, atau optimis saja, hanyalah dua sisi dari koin yang sama yang sedang berputar. Itu bukan panggilan orang Kristen. Saudara mungkin hari ini punya optimisme tinggi terhadap sesuatu, dan suatu hari Saudara akan pesimis luar biasa melihat hal itu hancur berkeping-keping. Umat Allah, di satu sisi akan ada optimisme yang biblikal, yaitu mengerti skala dosa dan anugerah, yang meskipun begitu besar tapi tidak membuat kita jadi pasif, karena itu berarti di hadapan orang-orang yang kita labelkan ‘kafir’ pun, masih ada pengharapan. Saya tidak beda dengan dia; jadi kalau saya saja bisa diperbaiki oleh Tuhan, kalau saya bisa mendapat anugerah Tuhan, dia pun mengapa tidak?? Di sisi lain, ada pesimisme yang biblikal, yang membuat kita selalu menyadari kemenangan apapun hari ini, hanyalah parsial, tidak akan benar-benar menyelesaikan problema manusia, sampai Tuhan datang kembali.
Orang yang hidup dengan visi Kerajaan Tuhan seperti ini, akan ada dialog dengan semua jenis orang, tidak ada yang dia labelkan ‘kafir’, karena Hazael pun orangnya Tuhan. Di sisi lain, tidak ada pengharapan yang terlalu besar juga karena semua yang Tuhan berikan adalah anugerah; kalau ada, bagus, kalau tidak ada, tidak apa, karena itu tidak akan membereskan semua problema manusia sampai Dia datang kembali. Dan Dia akan datang kembali. Seberapa besar hal ini jadi pengharapan kita, itu yang jadi pertanyaan.
Wahyu 22: 20-21 “Ia yang memberi kesaksian tentang semuanya ini, berfirman: "Ya, Aku datang segera! " Amin, datanglah, Tuhan Yesus ! Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu sekalian! Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading