Perikop ini diberi judul “Persepakatan untuk membunuh Yesus”. Di dalam perikop sebelumnya, kita membaca cerita kebangkitan Lazarus, yang melakukan adalah Yesus Kristus. Dia adalah kebangkitan dan hidup. Lazarus mati, kemudian Lazarus dibangkitkan. Cerita ini sebetulnya merupakan antisipasi kematian Kristus, serta yang berikutnya akan terjadi, yaitu kebangkitan. Jadi, cerita kebangkitan Lazarus memang tidak bisa kita katakan sebagai klimaks; itu bukan klimaks melainkan cerita kematian Yesus yang diantisipasi oleh kematian Lazarus –tentu saja dengan alasan yang sangat berbeda—dan juga kebangkitan Yesus yang diantisipasi oleh kebangkitan Lazarus. Maka jangan heran, setelah cerita Lazarus bangkit yang begitu dramatis, spektakuler, satu mujizat besar, yang terjadi selanjutnya malah persepakatan untuk membunuh Yesus.
Di dalam Injil Yohanes, Yohanes sangat clear waktu menempatkan cerita Lazarus sebagai antisipasi/pendahuluan untuk cerita bahwa Yesus akan mati dibunuh dan Dia akan bangkit. Injil Yohanes bukan ditulis hari demi hari mengikuti perjalanannya Yesus seperti satu buku harian (diary), melainkan ditulis setelah Yesus bangkit. Sejak dari pasal 1, perspektif Injil Yohanes adalah perspektif post resurrection (setelah kebangkitan); meskipun ceritanya belum tentang kebangkitan, seluruh pasal-pasalnya ditulis dalam perspektif post resurrection. Dengan demikian, waktu membaca kisah Lazarus kita musti menempatkannya sesuai dengan yang dimaksud Yohanes, sehingga ketika kita membaca bagian ini tidaklah mengejutkan karena memang ini bukan klimaksnya. Seandainya cerita Lazarus yang bangkit itu dipercaya sebagai klimaks, plot-nya jadi tidak masuk akal, karena sudah bagus-bagus Lazarus dibangkitkan maka bukankah harusnya mulai sekarang terjadi penerimaan akan Yesus secara besar-besaran??
Memang di ayat 45 dikatakan: Banyak di antara orang-orang Yahudi yang datang melawat Maria dan yang menyaksikan sendiri apa yang telah dibuat Yesus, percaya kepada-Nya –Alkitab mengatakan ‘banyak’. Tetapi ‘banyak’ di sini maksudnya di dalam pengertian relatif, yaitu banyak dari antara orang Yahudi yang datang melawat Maria –dan dalam hal ini bukan seluruh Yerusalem yang melawat Maria—lalu di antara sejumlah orang yang melawat Maria itu, banyak yang percaya kepada Yesus. Kalau Alkitab mengatakan ‘percaya’, maka kita berasumsi mereka benar-benar percaya, karena memang tidak ada komentar apa-apa. Kita tidak bisa mempertanyakan ‘benar tidak ini percayanya?’; hermeneutic of suspicion seperti itu tidak ada gunanya dan tidak menolong ke mana-mana. Dalam satu tafsiran malah dikatakan bahwa kemungkinan besar orang-orang ini adalah orang-orang yang akan menyambut Yesus di Hari Minggu Palem nantinya, ketika Yesus masuk Yerusalem. Maka dalam hal ini tidak tepat kalau mengatakan bahwa orang-orang yang menyambut Yesus itu sekaligus adalah orang-orang yang berteriak “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” –tidak ada dasar Alkitabnya untuk mengatakan seperti itu—lebih tepat mengatakan bahwa orang-orang yang menyambut Yesus adalah orang-orang yang percaya dalam cerita yang kita baca hari ini.
Memang kalau dikaitkan dengan sejumlah orang yang datang melawat Maria, mereka yang percaya banyak; tetapi kalau dikaitkan dengan seluruh penduduk Yerusalem, jumlahnya tidak banyak. Mereka hanyalah sebagian dari penduduk Yerusalem, sekelompok orang-orang tertentu saja, yang percaya setelah menyaksikan apa yang diperbuat Yesus. Mereka percaya melalui karya, melalui perbuatan yang dilakukan oleh Allah. Ini satu prinsip yang juga dikatakan oleh Yesus, kalau tidak bisa percaya kepada Pribadi Yesus, setidaknya percayalah kepada pekerjaan-pekerjaan yang “Kulakukan di dalam nama Bapa-Ku”.
Tetapi di ayat 46 kita membaca ada sekelompok orang yang pergi kepada orang-orang Farisi dan menceriterakan kepada mereka, apa yang telah dibuat Yesus itu. Selalu ada kelompok orang yang merusak pekerjaan Tuhan. Itu sudah ada sejak dulu. Mungkin Saudara bilang ‘bukankah mereka mengatakan yang benar, bukan gosip??’ Dalam hal ini, ada satu tafsiran mengatakan seperti ini: ketika menceritakan kepada orang-orang Farisi, bisa saja mereka mengatakan apa adanya, tetapi karena motivasi mereka yang jahat, yang tidak benar, hal itu jadi sama seperti dusta. Dari prinsip ini, kita belajar bahwa kita tidak bisa mengatakan sesuatu yang pokoknya betul lalu kita pasti betul; pikiran seperti ini sangat tidak cukup menurut perspektif iman Kristen. Seandainya waktu Yesus di atas kayu salib mengatakan: “Ini orang-orang yang jahat semua, mereka melawan Saya, menyalibkan Saya, mereka sangat membenci Saya, ya, Bapa”, ini kalimat yang tidak salah, tapi apa jadinya?? Kalimat itu tidak keluar dari mulut Yesus, justru yang keluar adalah: “Ya, Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Kalimat inilah yang kelihatannya malah tidak tepat, karena apa ya, betul, mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat?? Namun kalimat ini dicatat dalam Firman Tuhan sebagai kalimat yang positif, tidak ada catatan dari penulis Injil bahwa Yesus mengatakan kalimat itu dari ketidaktahuan dan kenaifan-Nya. Jadi poin yang kita bisa belajar dari bagian ini, bahwa orang-orang ini mengatakan sesuatu yang benar, tetapi bukan saja tidak membangun, sebaliknya malah merusak karena mereka ada motivasi jahat.
Mujizat yang sebesar dan sejelas itu tetap tidak membuat mereka percaya, karena percaya adalah urusan hati, bukan soal melihat bukti. Kalau percaya adalah soal demonstrasi kuasa Tuhan, di bagian ini kurang apa lagi?? Lazarus bangkit dari kematian dan mereka menyaksikan itu! Percaya adalah urusan hati, bukan soal penjelasan rasional. Kalau dengan sesama manusia seseorang sudah tidak percaya, maka dijelaskan seperti apa pun tidak ada gunanya, cuma buang-buang waktu, lebih baik serahkan ke dalam tangan Tuhan, nanti Tuhan yang akan bereskan entah kapan, bisa jadi 15 tahun lagi. Tapi kita tidak sabar, kita inginnya dalam 5 menit menjelaskan lalu orang percaya, bagaimana mungkin?? Yesus saja sudah melakukan “bukti” –istilah Alkitab bukan “bukti” tapi “tanda”—Yesus sudah melakukan tanda/mujizat yang sebesar ini, tetap saja orang tidak percaya. Inilah betapa gelapnya hati manusia, kalau tidak percaya tetap tidak percaya. Kalau orang ada cinta kasih, dia ada cinta kasih; kalau orang ada kepercayaan, ada cinta kasih, itu anugerah Tuhan. Orang hidup di dalam dunia, jika tidak ada anugerah Tuhan, hidupnya banyak kecurigaan, dikuasai paranoia, sedikit-sedikit negatif, melihat orang lain dengan selalu berpikir kelemahannya. Orang seperti ini kasihan; bagaimana bisa orang seperti ini terlibat dalam pekerjaan Tuhan??
Kalau Tuhan datang ke dunia dan mencurigai kita, itu sangat pas, karena Saudara dan saya memang tidak bisa dipercaya. Tetapi lihat bagaimana Yesus memperlakukan murid-murid-Nya, Dia bukan memperlakukan dengan curiga, apalagi paranoia, Dia memperlakukan dengan kepercayaan. Petrus jatuh, gagal, lalu direstorasi, setelah itu apa spritualitasnya langsung melejit seperti jet? Tidak. Dia jatuh lagi. Tahu dari mana? Paulus yang mengatakan bahwa Petrus ini terseret dalam dosa kemunafikan –itu terjadi setelah direstorasi. Apakah Yesus tidak tahu? Dia pasti tahu. Kalau Yesus tahu setelah direstorasi Petrus akan jatuh lagi, mengapa Dia tetap merestorasi Petrus? Karena Yesus mencintai Petrus; bukan karena Petrus bisa dipercaya. Karena Yesus mengasihi Petrus, maka Dia mempercayai; Dia mempercayai bukan karena Petrus layak dipercaya tapi karena Petrus dikasihi Tuhan.
Kembali ke perikop hari ini, ada yang pergi kepada orang-orang Farisi dan menceriterakan kepada mereka, apa yang telah dibuat Yesus itu. Selalu ada kelompok yang beraninya bicara di belakang, tidak berani menghadapi langsung, mereka pergi ke otoritas yang lebih tinggi supaya otoritas tersebut yang menghadapi dan menyelesaikannya. Ini orang-orang penakut. Komunitas Gereja, termasuk komunitas di tempat ini, perlu belajar waktu ada uneg-uneg atau komplain untuk langsung bicara kepada orangnya. Cara itu lebih sehat daripada putar-putar seperti orang-orang di ayat 46 ini.
Ayat 47, Lalu imam-imam kepala dan orang-orang Farisi memanggil Mahkamah Agama untuk berkumpul dan mereka berkata: "Apakah yang harus kita buat? Sebab orang itu membuat banyak mujizat [tanda]”. Ini pertanyaan yang ironis; “apakah yang harus kita buat, sebab orang itu membuat banyak tanda”. Kalau memang Orang itu membuat banyak tanda, harusnya lihatlah yang ditunjuk oleh tanda itu, tandanya menunjuk ke mana. Tandanya itu menunjuk kepada Pribadi Yesus, maka harusnya percaya saja kepada Yesus, mengapa tanya lagi ‘apa yang harus kita buat’?? Mereka ini bicara soal tanda/mujizat tapi tidak peduli dengan tanda. Mereka bicara tentang sesuatu yang menunjuk, tapi mereka tidak peduli dengan yang menunjuk maupun yang ditunjuk. Istilah ‘mujizat’ dalam bahasa aslinya memakai kata semeia, maksudnya ‘tanda’, dan di sini secara konteks diterjemahkan dengan ‘mujizat’. Ini terjemahan yang tepat, sama sekali tidak keliru karena dalam konteksnya yang dimaksud adalah mujizat; tetapi dalam teologi Yohanes, mujizat maksudnya adalah tanda. Tanda menunjuk kepada sesuatu yang lain, dalam hal ini yaitu Pribadi Yesus, yang dalam konteks ini yaitu “Akulah kebangkitan dan hidup” –inilah yang ditunjuk dalam mujizat membangkitkan Lazarus.
Orang-orang ini tanya “apakah yang harus kita buat”, mereka tidak berpikir tentang Yesus, mereka tidak berpikir tentang pekerjaan Tuhan, yang mereka pikir adalah posisinya sendiri. Di ayat 48 kita membaca mereka mengatakan: “Apabila kita biarkan Dia, maka semua orang akan percaya kepada-Nya dan orang-orang Roma akan datang dan akan merampas tempat suci kita serta bangsa kita." Memang kalimat dalam bahasa aslinya bisa diterjemahkan seperti ini, demikian juga dalam beberapa terjemahan bahasa Inggris; dalam terjemahan ESV dikatakan: “… the Romans will come and take away both our place and our nation”. Kalau Saudara membaca bahasa aslinya, perkataan “kai arousin hemon kai ton topon kai to ethnos”, kata hemon bisa dibaca sebagai kasus genitive plural (our), sehingga kalau dikaitkan dengan kata-kata berikutnya jadi bisa berarti our place and our nation. Tapi ada variasi terjemahan yang kata hemon bukan dikaitkan dengan ‘kai ton topos kai to ethnos’ sehingga menjadi “our place and our nation”, melainkan dikaitkan dengan ‘arousin’, sehingga menjadi “kai arousin hemon” (take away from us). Jadi kalau menurut variasi terjemahan ini, mereka di sini mengatakan “nanti orang Roma datang dan akan merampas dari kita tempat suci dan bangsa”. Terjemahan ini meyakinkan, setidaknya memberikan satu iluminasi bagi kita, bahwa dari perspektif para penguasa ini, masalahnya bukan tentang tempat suci, dan juga bukan tentang bangsa, tapi sebetulnya tentang posisi mereka. Bukan soal nanti orang Roma datang dan menghancurkan tempat suci kita dan bangsa kita, sebagaimana beberapa terjemahan bahasa Inggris, melainkan bahwa nanti mereka mengambil/merampas dari kita tempat suci dan bangsa. Perhatikan di sini, bedanya orang yang betul-betul punya hati gembala dengan orang yang adalah perampok dan pencuri.
Perampok dan pencuri bukan saja tidak ada hati gembala, yang mereka pikirkan bukan bangsa itu/umat Tuhan/jemaat Tuhan, yang mereka pikirkan semata-mata adalah posisi diri mereka, posisi di dalam Gereja, posisi di Bait Suci, posisi dalam kehidupan beragama. It’s all about themselves, bukan tentang jiwa-jiwa yang mereka layani. Orang yang melayani di gereja dengan sikap seperti ini, tidak bisa diberkati Tuhan karena dia tidak betul-betul melayani orang lain. Kelihatannya seperti melayani, kelihatannya seperti ada kepedulian, tapi sebetulnya melayani dirinya sendiri. Kita tidak pernah tahu dalam hal ini, dan saya juga bukan mengajar Saudara untuk melihat siapa orang yang melayani seperti ini, itu bukan urusannya kita melainkan urusan setiap orang; kalau kita mau meng-obeservasi, observasilah diri kita sendiri bersama-sama dengan Tuhan, bukan meng-observasi orang lain. Tetapi, sejak dulu, tidak peduli dalam agama apapun –termasuk juga agama Kristen—selalu ada orang-orang yang kelihatannya seperti melayani umat tapi sebetulnya yang mereka pentingkan adalah diri mereka sendiri, posisinya sendiri. Waktu mereka mengatakan “kalau nanti orang-orang Romawi datang merampas dari kita, what will happen”, maksudnya what will happen to us, apa yang terjadi dengan kita, kita jadi bukan lagi orang penting, bukan lagi orang yang dipercaya karena semua orang akan percaya kepada Dia dan mulai tidak percaya lagi kepada kita. Urusannya jadi urusan dengan ego, bukan dengan jiwa manusia yang dikasihi Tuhan.
Selama Saudara dan saya melayani dalam Gereja dengan dikuasai oleh ego, sangat sulit –bahkan bisa dibilang tidak mungkin–Tuhan memakai kita. Tapi saya tidak mau bicara hitam putih, Tuhan itu belas kasihan-Nya besar dan luas. Semua dari kita ada cacatnya tapi kita masih bisa dipakai Tuhan, itu bukan karena kita layak, bukan karena kita qualified dalam menyangkal diri, tapi karena Tuhan sangat sabar terhadap Saudara dan saya. Tapi kesabaran Tuhan itu seharusnya mendorong kita untuk menyangkal diri lebih dalam lagi, untuk meninggalkan ego kita. Kalau semua dari kita cuma memperhatikan ego masing-masing, tidak mungkin ada keadaan yang damai di gereja, yang ada hanyalah pertengkaran, ketegangan, yang terus-menerus tidak selesai-selesai. Bagaimana menyangkal ego? Bukan dengan menekan ego, tapi dengan melayani jiwa-jiwa yang Tuhan kasihi. Kalau pikiran kita tertuju kepada jiwa-jiwa itu, maka dengan sendirinya tidak memberikan tempat untuk berpikir banyak tentang diri kita sendiri. Urusannya adalah tentang tempat suci dan tentang bangsa ini; dan inilah yang dipikirkan oleh Yesus Kristus. Yesus Kristus memikirkan Bait Suci yang sejati, yaitu diri-Nya sendiri; dalam hal ini karena Bait Suci di Yerusalem sudah tidak berfungsi, bukan karena Dia memikirkan diri sendiri. Yesus mau memulihkan fungsi Bait Suci, yaitu yang ada pada diri-Nya; Dia juga memperhatikan bangsa ini, bukan seperti pemimpin-pemimpin palsu itu yang hanya memperhatikan posisi mereka.
Selanjutnya ayat 49-50, Tetapi seorang di antara mereka, yaitu Kayafas, Imam Besar pada tahun itu, berkata kepada mereka: "Kamu tidak tahu apa-apa, dan kamu tidak insaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa." Pembacaan sederhana akan melihat ini sebagai tipikal soal politis; Gereja/komunitas Kristen juga tidak kebal akan hal ini. Kalau ada pertikaian misalnya, kita biasa melihat siapa dulu orangnya, kalau orang penting harus lebih menang, sementara orang kecil tidak harus diperhatikan –penanganan politis. Sejak dulu kita sudah mendengar gambaran seperti ini, bukan hal yang baru. Ini penanganan politis, daripada kita kehilangan diri kita semua, dan kita semua ini orang penting, lebih baik kita korbankan satu orang, Dia toh juga bukan bagian dari kita, cuma orang kecil, kita tidak usah memperhatikan Dia, apalagi Dia ini popularitasnya makin lama makin naik, jadi biar Dia saja yang mati –bisa ditafsir seperti ini; Bultmann menafsir ke arah ini.
Tetapi ada tafsiran lain yang dikaitkan bukan dengan political move, melainkan dalam pengertian bahwa mereka bisa berpikir seperti ini karena sudah sangat dikuasai oleh hawa nafsu akan kekuasaan. Dan ini cocok dengan gambaran sebelumnya. Salah satunya tafsiran Schnackenburg. Ini adalah urusan pengejaran kemuliaan dan takhta/kuasa/posisi, karena itu mereka mengatakan kalimat tadi, menggeser siapa pun juga yang menghalangi untuk bisa tetap mempertahankan kuasanya; atas nama kuasa, semua bisa kita lakukan, termasuk juga Orang ini, lebih baik Orang ini mati untuk bangsa kita daripada seluruh bangsa kita binasa.
Dalam tafsiran-tafsiran, semuanya sepakat –termasuk juga Yohanes sendiri menuliskan dengan cukup jelas untuk ditafsirkan seperti itu– bahwa waktu Kayafas mengatakan kalimat tadi, itu dikatakan dengan motivasi yang berbeda dari yang ingin dikatakan Yohanes melalui kalimat ini. Kalau diperhatikan kalimat Kayafas –“satu orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa”—seakan-akan pikirannya sama seperti Yesus, karena Yesus tidak memikirkan diri-Nya sendiri, Dia memikirkan untuk bangsa, Dia memang mau mati untuk bangsa itu. Jadi di sini seakan-akan yang dipikirkan Kayafas sinkron dengan yang dipikirkan Tuhan. Tetapi, kalimat Kayafas tadi bukan maksudnya bahwa dia memang peduli terhadap bangsanya. Waktu dia mengatakan “bangsa kita binasa”, tekanannya bukan pada ‘bangsa’ melainkan pada ‘kita’; entah itu rumah, atau keluarga, atau bangsa, atau apapun lainnya, tidak penting, yang penting adalah “kita”. Mengapa Kayafas tidak bilang “lebih baik satu warga kita mati untuk bangsa kita …”, seakan-akan kalau Yesus, jadi bukan ‘punya kita’, tapi kalau bangsa, itu ‘punya kita’? Karena ‘bangsa’ bisa dipakai oleh mereka; mereka adalah orang-orang oportunis yang cuma mau memakai bangsa untuk menyuburkan dan mempertumbuhkan lust of glory and power.
Kalimat Kayafas itu juga kelihatan munafik, apa betul dia memikirkan bangsa ini binasa, lalu daripada semua bangsa ini binasa lebih baik satu orang saja?? Dalam etika, kadang-kadang ada studi kasus, misalnya: kalau Saudara supir sebuah bus yang isinya 40 orang, lalu satu hari terjepit dalam keadaan yang pilihannya bus masuk jurang dan semua penumpang kelihatannya bakal mati, atau menabrak tukang jamu yang hanya satu orang. Dalam etika, jawabannya cukup jelas, tentu saja mengorbankan yang 1 orang ketimbang yang 40 orang, karena 1 orang lebih tidak berharga daripada 40 orang. Tetapi yang ada dalam pikiran Kayafas juga bukan soal ini; ini bukan masalah pengambilan keputusan secara etis. Ini lebih cocok dengan yang dikatakan Schnackenburg, bahwa orang-orang ini –termasuk juga Kayafas—adalah orang-orang yang mencintai kuasa, takhta, kemuliaan.
Namun demikian, dalam perspektif Kerajaan Allah, Tuhan punya jalan ceritanya sendiri. Kalau kita punya mata rohani, kita bersyukur bisa melihat hal ini, sehingga kehidupan ada pengharapan. Waktu Yesus diarak keluar dari Yerusalem, dalam pandangan banyak orang yang terjadi adalah kekaisaran Romawi yang berkuasa itu menaklukkan musuh-musuhnya. Yesus yang diarak, dipermalukan, memikul salib, menunjukkan the triumphant of Roman Emperor –itu dari perspektif dunia. Tetapi dari perspektif Kerajaan Allah, Yesus bukan takluk kepada Roma; ini adalah penyerahan diri-Nya kepada Bapa-Nya. Waktu Yesus memikul salib, itu adalah ketaatan-Nya kepada Bapa, bukan kekalahan-Nya terhadap Romawi. Kalau kita hanya ada mata jasmani, yang dilihat di dalam dunia hanya yang tadi itu; seperti juga waktu membaca Kayafas mengatakan kalimat tadi, jika tidak ada keterangan dari Yohanes, yang dilihat cuma bahwa ini kalimat licik yang dipakai Imam Besar yang mau mengorbankan Yesus dst.
Memang betul Alkitab mengatakan tentang perkataan Kayafas: Hal itu dikatakannya bukan dari dirinya sendiri, tetapi sebagai Imam Besar pada tahun itu ia bernubuat, bahwa Yesus akan mati untuk bangsa itu (ayat 51); kalimat itu bukan kalimat yang salah, tapi motivasinya apa? Motivasinya Kayafas akan diselesaikan oleh Tuhan, tetapi kalimat tadi tetap akan jadi kalimat nubuat. Menerima hal seperti ini memang sulit, kita cenderung tidak bisa membedakan antara apa yang dikatakan seseorang dengan siapa orang itu (karakternya). Kalau seseorang yang kita sudah senang dengan karakternya, dia mau bilang apapun, cenderung kita terima semuanya. Kalau seseorang yang kita sudah tidak senang dengan karakternya, meski dia mengatakan kalimat yang benar pun, menurut kita tetap saja tidak usah didengar. “Sekarang ini jam 8 kurang 3 menit”, dan yang mengatakan adalah orang brengsek, maka tidak usah didengar –padahal memang sekarang jam 8 kurang 3 menit. Kita tidak bisa terima gara-gara yang mengatakannya adalah orang yang ‘gak bener, ini konyol.
Sebetulnya, orang yang karakternya tidak benar pun, bisa mengatakan kalimat yang benar; salah satu contohnya Kayafas. Tidak diragukan, bahwa yang dikatakannya penuh dengan motivasi jahat, tetapi tetap saja Alkitab mengatakan bahwa kalimat ini nubuatan. Kalimat ini dipakai oleh Tuhan, yaitu bahwa Yesus akan mati untuk bangsa itu. Ini nubuatan yang betul. Ini dilakukan Kayafas sebagai imam besar pada tahun itu, dan dianggap sebagai nubuat; tapi dalam hal ini kita tidak mempertanyakan karakternya Kayafas dan apa motivasinya –itu 2 hal yang berbeda. Kalau kita bertumbuh, kita bukan menerima perkataan-perkataan orang dengan mengecek dulu siapa dia, lalu kalau yang mengatakan adalah orang yang kita senang, apapun yang dia katakan kita terima, ibarat tahi pun kita makan. Kita musti ada diferensiasi dalam hal ini, membedakan antara siapa yang berbicara dan apa yang dikatakan.
Menurut Injil Yohanes, Kayafas bernubuat pada tahun itu bahwa Yesus akan mati untuk bangsa itu, dan bukan untuk bangsa itu saja tetapi untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai berai. Di sini kita melihat bahwa karakter nubuat yang sejati yaitu bisa melampaui orang yang mengatakannya. Orang ini sendiri tidak tentu harus mengerti sepenuhnya yang dia katakan karena karunia nubuat diberikan dari Tuhan; yang betul-betul mahatahu adalah Tuhan. Orang yang mengatakan kalimat nubuat tidak harus mengetahui sebagaimana Tuhan mengetahui, karena dia memang bukan Tuhan, dia hanyalah alat saja. Waktu Kayafas mengatakan kalimat tadi, dia mengatakan dari motivasinya yang jahat, tapi Tuhan menggunakan kalimat ini sebagai nubuatan untuk mendatangkan keselamatan, bukan hanya bagi bangsa Yahudi/Israel tapi juga bagi bangsa-bangsa yang lain, yaitu anak-anak Allah/umat Allah.
Yesus mati –satu orang mati untuk seluruh bangsa—ini yang dinubuatkan Kayafas, tapi dia sendiri tidak mengerti kedalaman dari hal yang dia katakan. Meminjam istilah Pendeta Stephen Tong, dalam Alkitab ada orang-orang yang dipakai Tuhan secara negatif. Orang itu tidak sadar bahwa dia sedang memenuhi rencana Tuhan, kedaulatan Tuhan, cerita yang sedang digerakkan Tuhan, tetapi akhirnya dia menjadi instrumen yang negatif. Semuanya dalam kedaulatan Tuhan, semuanya dipakai Tuhan, bahkan Yudas yang menjual Yesus pun dalam kedaulatan Tuhan, dipakai untuk menyukseskan rencana keselamatan yang sudah dari kekekalan. Tetapi sayang sekali, manusia yang dipakai Tuhan secara negatif itu, dia sendiri akan binasa kehidupannya. Kehidupannya akan dibuang pada akhirnya, meskipun tetap dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan. Dari hal ini kita musti mengoreksi diri; Saudara tidak bisa menarik kesimpulan bahwa kalau kita masih dipakai Tuhan berarti seluruh kehidupan kita sudah diperkenan oleh Tuhan. Itu 2 hal yang berbeda, 2 hal yang kita musti tahu sendiri. Waktu kita dipakai Tuhan, sebetulnya itu lebih menujuk kepada belas kasihan Tuhan, bukan menunjukkan kualifikasi bahwa kita ini sudah berkenan kepada Tuhan.
Fakta bahwa kita dipakai Tuhan, lebih menunjuk kepada keluasan hati Tuhan, belas kasihan-Nya, kepercayaan-Nya, daripada menunjuk bahwa ‘saya ini orang yang berkenan kepada Tuhan’. Berpikir ‘Tuhan berkenan kepada kehidupan saya, buktinya saya dipakai Tuhan’, itu bisa menipu diri. Berbicara soal ‘dipakai Tuhan’, siapapun bisa dipakai Tuhan, Yudas pun dipakai Tuhan, imam besar Kayafas juga dipakai Tuhan; tetapi lihat juga karakternya, motivasinya. Memang betul Kayafas dipakai Tuhan, dia bernubuat, nubuatnya bukan palsu melainkan asli, tapi apakah Kayafas jadi orang yang dibenarkan di hadapan Tuhan dengan motivasinya itu?? Kalau Schnackenburg benar tentang lust of glory and power tadi, apakah Kayafas akan bebas dari penghakiman Tuhan??
Ayat 54, Yesus tidak tampil lagi di muka umum di antara orang-orang Yahudi, Ia berangkat dari situ ke daerah dekat padang gurun, ke sebuah kota yang bernama Efraim, dan di situ Ia tinggal bersama-sama murid-murid-Nya. Yesus menyendiri bersama-sama dengan murid-murid-Nya di padang gurun. Dia bukan mati konyol. Dia akan mati pada waktu yang ditentukan oleh Bapa-Nya. Kalau kita perluas prinsip ini dalam kehidupan orang Kristen, kita tidak dipanggil untuk menderita secara konyol, melainkan menderita pada waktu yang ditentukan oleh Tuhan. Menderita tidak bisa dihindari. Setiap dari kita punya cawannya masing-masing, salibnya masing-masing. Tidak ada yang bisa menghindari. Kalau kita menghindarkan diri dari penderitaan, kita tidak seperti anak Allah.
Saya baru menulis 1 bab (belum selesai) mengenai ordo salutis, dan sampai kepada poin “adopsi” (adopsi maksudnya diangkat sebagai anak). Kalau kita membaca tulisan Paulus, anak adalah ahli waris; anak bukan budak, maka jangan punya mentalitas budak, mentalitas budak bukan mentalitas anak. Itu betul, itu konsep Alkitab. Juga betul bahwa kita –anak– adalah ahli waris, tetapi sebenarnya apa yang diwarisi? Menurut Alkitab, yang diwarisi adalah janji-janji Allah –kita senang mendengar kalimat ini—tapi selanjutnya dikatakan dalam Firman Tuhan: “jika [provided] kita menderita bersama-sama dengan Dia [Kristus], sehingga kita juga dimuliakan bersama dengan Dia”. Berbicara tentang ahli waris, betul bahwa kita ahli waris, dan yang diwarisi adalah janji-janji Allah, asalkan saja (provided) kita menderita bersama dengan Dia dan pada akhirnya dimuliakan bersama dengan Dia.
Waktu kita bicara tentang anak yang diadopsi di dalam Kristus oleh Bapa, di situ kita disebut anak-anak Allah dan kita menyebut Dia “Abba, ya, Bapa”, dan di dalam pengertian Alkitab itu termasuk bersekutu di dalam penderitaan Kristus; yang tidak bersekutu di dalam penderitaan Kristus, dia bukan anak. Cuma membicarakan anak dalam pengertian ahli waris tapi tidak ada persekutuan dengan Kristus –secara khusus di dalam penderitaan-Nya—itu tidak bisa disebut “anak”, itu budak yang menyamar jadi anak. Kalau anak, artinya dia menderita bersama, sedangkan budak tidak perlu menderita bersama. Dicatat dalam Injil Yohanes bahwa gembala upahan kalau ada kesulitan dia lari, karena dia memang upahan, dia tidak perlu menderita bersama dengan domba. Ini ‘kan urusannya majikan saya, urusan perusahaan majikan saya, urusan saya cuma terima gaji, kalau bangkrut dan susah, ya, sudah, saya pergi, saya cari pekerjaan yang lebih baik –memang tidak pernah ada rasa memiliki. Itulah tipikal budak/pegawai, tidak mau menderita bersama. Tapi kalau kita adalah anak, kita akan mengalami persekutuan penderitaan bersama dengan Kristus; anak bersekutu bersama dengan Kristus, Sang Anak Tunggal Bapa.
Kita tidak dipanggil untuk menderita secara konyol, tapi ada saatnya kita tidak bisa menghindari penderitaan itu, karena penderitaan itu harus terjadi untuk memperkaya pengalaman hidup dipersekutukan dengan Kristus. Kalau kita mengatakan “kita di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita”, maka aspek menderita bersama Kristus juga termasuk bagian dari persekutuan dengan Kristus. Bagian itu tidak bisa ditiadakan dari union with Christ. Tetapi seperti Saudara baca di bagian ini, Yesuslah yang menentukan dalam hal ini. Yesus tidak menjadi konyol lalu mati pada saat yang salah, atau menderita bukan pada saatnya dan bukan karena kehendak Bapa –itu bukan panggilan orang Kristen.
Saudara dan saya tidak dipanggil untuk menderita demi penderitaan itu sendiri. Ada satu penulis yang agak berani, dia mengatakan kalimat seperti ini: “Dalam kehidupan Yesus, kita musti mengerti bahwa salib bukanlah fokus”. Maksudnya apa? Bahwa bukan salib fokusnya; Yesus naik ke atas kayu salib bukan demi naik ke atas kayu salib, melainkan Dia mau menggenapi kehendak Bapa; fokusnya adalah “bukan kehendak-Ku melainkan kehendak-Mu yang jadi”. Di Taman Getsemani, Yesus tidak bilang “bukan kehendak-Ku, melainkan cawan pahit”, “bukan kehendak-Ku, melainkan salib”, “bukan kehendak-Ku, melainkan Golgota”; yang dikatakan Yesus: “bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi”.
Saudara dan saya tidak ada artinya kalau sekedar menderita, karena so what, memangnya yang menderita cuma orang Kristen?? Yang menderita banyak sekali, semua oarng menderita. Kalau kita sekedar menderita, yang tidak ada kaitannya dengan kehendak Bapa, jadi tidak ada artinya; itu penderitaan yang tidak perlu dibicarakan sama sekali, tidak menarik, dan tidak bermakna. Tetapi waktu kita melakukan kehendak Bapa, dan karena itu kita harus menderita, barulah itu penderitaan yang ada artinya, yang mempersekutukan kita semakin akrab degan Yesus Kristus. Inilah intimacy.
Saya baru baca satu tulisan, orang seringkali bicara intimacy kaitannya dengan seks, tapi sebetulnya intimacy bukan soal seks melainkan soal truth. Intimacy adalah tentang kebenaran. Waktu kita bisa mengatakan kebenaran dengan bebas, waktu orang bisa mempercayakan dirinya ketika sharing kesulitannya dengan jujur dan orang yang lain bisa menerima apa adanya, itulah intimacy. Intimacy tidak harus berputar dalam urusan seks; orang yang pergi ke pelacur tidak ada urusan sama sekali dengan intimacy. Maka di sini saya menambahkan satu poin yang berkaitan dengan kotbah hari ini, bahwa intimacy adalah tentang bagaimana kita mengenal Kristus, termasuk juga dalam perjalanan hidup ketika kita musti menderita bersama dengan Kristus. Namun, kalau belum saatnya kita menderita, kita tidak perlu dijadikan korban (victimized), maka janganlah kita ke sana –itu termasuk intimacy. Waktu kita tidak seharusnya menderita tapi kita menjadikan diri kita menderita secara ‘jadi korban’, kita jadi tidak intim dengan Tuhan, bahkan malah menjauh. Kehidupan Yesus selama di dunia seharusnya jadi model kehidupan kita. Kehidupan anak-anak Allah yang diadopsi harusnya seperti kehidupan Kristus.
Yesus tidak tampil lagi di muka umum di antara orang-orang Yahudi, Ia berangkat dari situ ke daerah dekat padang gurun. Tafsiran dari WBC mengatakan: “Apart from the final week in Jerusalem his [Jesus’s] ministry was over. It was no inttention of his to allow the Sanhedrin to take him unawares; he determined the time of his departure, not they.” Yesus yang menentukan saatnya Dia mati, bukan mereka, meskipun mereka sudah menetapkan dengan bulat untuk membunuh Yesus. Selanjutnya: “Since he had been sent to accomplish a second and greater Exodus, it was fitting that, that should be achieved in the celebration of the first one; this time the redemption would be on behalf of all nations, that all who would be free might enter into the ‘promised land’ of the kingdom of God.” Jadi Yesus tidak boleh mati pada saat itu karena memang belum saatnya. Yesus ini membuat klimaks cerita Exodus, sebagai the new exodus, the greater exodus, yang membawa orang keluar –bukan saja bangsa Israel tapi seluruh bangsa– dari penjajahan dosa, maka momennya harus terjadi pada perayaan Paskah, perayaan Exodus.
Dalam kehidupan kita, kalau kita peka mengikuti pimpinan Tuhan, Tuhan juga akan membawa kita berbuah pada waktunya. Jangan kita buru-buru, sok mau terlalu cepat memberkati orang lain padahal belum siap; tapi juga jangan terlalu lambat, tunda terus sampai akhirnya bagian itu diserahkan kepada orang lain dan kita tidak diberikan kesempatan lagi untuk terlibat.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading