Perikop “Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta” dalam Injil Markus ini, kalau kita bandingkan dengan Matius dan Lukas, kita menemukan bahwa di sini Markus memakai bagian yang paling panjang untuk menceritakan kisah ini. Ini satu hal yang aneh, mengingat Injil Markus adalah Injil yang paling pendek dibandingkan Matius dan Lukas, namun dalam kisah ini dia memakai porsi yang lebih panjang daripada mereka. Menurut saya, perikop yang kita baca ini adalah bagian yang paling rumit dari seluruh pasal 1, dan kita akan melihat dalam bahasa aslinya banyak perubahan juga.
Dari strukturnya, kita bisa melihat bahwa bagian ini bukan saja satu klimaks/ending dari pasal 1, melainkan juga merupakan satu connecting point/transisi dari pasal 1 ke pasal 2, karena di pasal 2 Yesus mulai konflik dengan orang-orang Farisi dan Saduki. Di pasal 2, petinggi-petinggi agama ini mulai menentang Yesus, menuduh Yesus tidak taat kepada Taurat. Itu sebabnya bagian yang kita baca di Markus 1 ini, merupakan pertama kalinya Markus menyebut adanya Taurat, ketika dikatakan Yesus menyuruh orang yang disembuhkan itu pergi kepada petinggi agama dan mempersembahkan untuk pentahirannya, dst. Dengan demikian, kita melihat bahwa peristiwa Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta ini bukan sekedar satu cerita penyembuhan, ini adalah cerita penyembuhan yang terkait dengan Taurat. Hal inilah yang akan kita bahas.
Secara struktur, kita juga melihat bahwa sejak saat ini Yesus mulai terkenal. Sebelumnya, Yesus sudah melakukan pelayanan, Dia membuat mujizat, Dia memberikan Firman, dan banyak orang datang kepada Dia; kemudian Yesus berdoa, dan mengambil keputusan untuk pergi ke tempat lain karena sudah begitu banyak orang yang mau mencari Dia, bahkan di bagian akhir perikop ini (ayat 45), Yesus sampai tidak bisa terang-terangan masuk ke kota. Jadi saat ini Yesus sudah begitu dikenali, dan begitu banyak orang mau mencari Dia, sehingga Dia tidak bisa lagi tinggal di kota dan harus tinggal di luar. Kalau kita melihat ada banyak orang mencari Yesus, pastinya itu hal yang bagus. Kita pastinya mau Kerajaan Tuhan menyebar dan meluas, dan kalau banyak orang mencari Yesus, itu berarti akan lebih banyak orang yang mendengar berita dari Yesus. Ini satu hal yang baik. Tetapi kita juga bisa melihat ini sebagai hal yang buruk, karena lebih banyak orang datang kepada Yesus bukan berarti mereka semua mau mendengarkan Yesus, itu juga berarti akan lebih banyak lagi orang yang mau menuduh Yesus dan membunuh Yesus. Di pasal 2, yang datang kepada Yesus bukan cuma orang-orang sakit yang mau disembuhkan, tapi juga yang mau menuduh Yesus.
Dalam konteks Gereja, kita mau Gereja berkembang. Waktu Gereja berkembang dan bertambah jumlahnya, itu pasti baik. Tetapi jangan anggap waktu Gereja berkembang dan orang yang datang bertambah banyak, pasti semua bertambah baik karena bertambah banyak yang mau mencari Yesus, tidak tentu juga. Waktu jumlah lebih banyak, mungkin berarti kita juga mengundang lebih banyak orang yang mau menolak Yesus, yang mau menuduh Yesus, bahkan yang membenci Yesus. Kita melihat di pasal 1 Yesus begitu dikenal –ini klimaksnya—dan di pasal 2 Yesus langsung dituduh, ditolak, dimaki. Itulah yang kita lihat dari struktur Injil Markus ini.
Ayat 40, Markus menulis: ‘Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus”. Banyak komentator mengatakan bahwa yang disebut sakit kusta dalam Alkitab berbeda dengan penyakit kusta yang kita lihat hari ini; sakit kusta di dalam Alkitab juga termasuk penyakit-penyakit kulit. Tapi bagaimanapun juga poinnya sama; baik sakit kusta yang kita mengerti di zaman sekarang maupun sakit kulit sebagaimana yang dimengerti oleh mereka, di dalam Alkitab ini adalah orang yang dikutuk oleh Tuhan. Ketika Tuhan marah kepada Miryam, kulit Miryam langsung lepas-lepas menjadi putih –dikutuk. Ketika Ayub dicobai, begitu sengsara dan kehilangan segalanya, pada akhirnya kulitnya juga copot-copot seperti sakit kusta –dikutuk. Dalam Perjanjian Lama sangat jelas bahwa orang yang sakit kusta adalah orang yang ditolak oleh Tuhan. Bukan saja dibuang oleh Tuhan, mereka juga dibuang oleh masyarakat. Di Kitab Imamat, orang yang sakit kusta itu harus merobek bajunya, mengambil debu pasir dan menuangkan ke kepalanya, lalu keliling seluruh kota sambil berteriak “najis! najis!”; semua orang harus sadar bahwa orang ini sedang sakit kusta. Ini berarti orang yang sakit kusta pada zaman itu betul-betul menjadi orang yang di-cut-off, tidak ada relasi dengan Tuhan karena dia tidak bisa masuk Bait Allah, tidak bisa berelasi dengan manusia karena siapa pun yang menyentuh seorang yang sakit kusta akan jadi najis.
Jadi, orang yang sakit kusta ini tidak ada relasi, tidak ada komunitas, tidak bisa ibadah, betul-betul berada pada titik yang paling rendah. Dan pada saat inilah Markus mengatakan bahwa orang kusta itu datang kepada Yesus, dia berlutut, dia memohon bantuan-Nya. Dia berkata kepada Yesus, "Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku" (ayat 40). Orang yang sakit kusta ini sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus bisa menyembuhkan dirinya. Dia mengakui kuasa Yesus. Dia setidaknya percaya bahwa Yesus adalah utusan dari TUHAN. Dia percaya, kalau Yesus mau, dirinya pasti sembuh. Dia bukan tidak percaya kuasa Yesus, tapi masalahnya adalah kedaulatan Yesus. Orang kusta ini mengakui kuasa Yesus dan juga kedaulatan Yesus, bahwa dirinya akan sembuh atau tidak sembuh adalah masalah Yesus mau atau tidak. Dalam kesulitan dan kesengsaraannya sebagai orang yang di-cut-off, yang terputus dari masyarakat dan terputus dengan Tuhan, yang begitu sengsara, dia tetap tahu bahwa Tuhan berdaulat, bahwa Tuhan tidak berutang apapun kepada dirinya. Itu sebabnya dia datang kepada Yesus dengan berlutut dan memohon.
Kalau kita lagi sengsara, mengalami kesulitan, seringkali kita berteriak kepada Tuhan, “Tuhan! mengapa??”, seolah-olah Tuhan berutang kepada kita. Tuhan, saya sudah pelayanan, saya sudah melakukan yang baik, saya sudah membantu orangtua, saya sudah membantu ini dan itu, mengapa sekarang saya sengsara?? –kita seakan komplain kepada Tuhan. Kita merasa diri sedang sakit, lemah, tidak ada yang mengerti, dan kita marah kepada Tuhan. Orang kusta dalam kisah ini sebenarnya sama; tidak ada orang yang mengerti dia, dia dibuang oleh masyarakat, dia juga seolah-olah dibuang oleh agama bahkan oleh Tuhan. Tetapi dalam kesengsaraannya itu dia tetap begitu rendah hati, dia tetap datang kepada Tuhan dengan berlutut dan berkata “Tuhan, kalau Engkau mau, saya pasti sembuh. Ini tetap kedaulatan-Mu; saya sadar Tuhan tidak berutang kepada saya. Saya susah, saya sulit pun, Tuhan tidak berutang kepada saya.”
Paul Washer, seorang penginjil, pernah berkata dalam KKR-nya seperti ini: Dunia kita seharusnya tidak seperti ini; ketika kita bangun, seharusnya tidak ada matahari, tidak ada kehangatan, tidak ada burung-burung beterbangan, tidak ada udara segar yang kita hirup. Seharusnya tidak seperti ini, karena sejak Adam jatuh dalam dosa, sebetulnya manusia adalah ciptaan yang seharusnya dibuang oleh Tuhan; sejak Adam jatuh dalam dosa, seharusnya dunia ini gelap, tidak ada cahaya, dingin, yang ada adalah kejahatan, kebohongan. Itulah kondisi natural yang harus terjadi setelah Adam jatuh dalam dosa. Tetapi yang kita lihat, Adam berdosa dan Tuhan terus beranugerah. Tuhan tetap memberi kita matahari, memberi kita waktu, memberi kita udara yang kita hirup, pemandangan, kenikmatan. Itulah sebabnya dalam tradisi Reformed kita selalu menekankan sola gratia –semuanya anugerah Tuhan. Bukan cuma keselamatan adalah sola gratia, tetapi setiap kebaikan yang bisa kita terima adalah sola gratia.
Hal kedua yang kita lihat ketika orang ini berlutut datang kepada Yesus, meski dia sadar Yesus berdaulat, dan dengan iman melihat Yesus adalah Orang yang diutus oleh TUHAN, itu tidak menghentikan dia untuk datang kepada Yesus dengan berlutut, sungguh-sungguh memohon kepada Tuhan. Dalam tradisi Calvin, ada sebagian orang yang ekstrim fanatik; mereka ini berkata “Tuhan berdaulat, berarti kita tidak usah berdoa; rencana Tuhan tidak bisa diubah, rencana Tuhan kekal, pasti jadi, dan pasti digenapi, jadi untuk apa berdoa, kita taat saja”. Meskipun secara doktrin teologis benar bahwa rencana Tuhan tidak bisa gagal, rencana Tuhan pasti digenapi, pasti sukses dan tidak bisa diubah oleh apapun, tetapi kalau kita membaca Alkitab, gambaran ini adalah gambaran yang sangat asing. Kita tidak melihat gambaran ini dalam Alkitab. Dalam kisah ini, orang kusta tersebut sadar bahwa Yesus berdaulat, tetapi dia tetap datang kepada Yesus dengan berlutut, dia tetap datang kepada Yesus dan memohon kepada-Nya.
Saudara-saudara, kita bukan berdoa hanya karena Tuhan mendengar, kita berdoa justru karena Tuhan berdaulat. Tuhan begitu berdaulat, Dia tidak perlu memberkati kita. Tuhan begitu berdaulat, Dia tidak berutang kepada kita. Tuhan begitu berdaulat, sampai dalam kesengsaraan kita pun Dia tidak harus menyembuhkan kita, tidak harus membantu kita. Tuhan tidak harus; Dia berdaulat. Baik Tuhan menyembuhkan ataupun tidak, baik Tuhan membantu ataupun tidak, Dia tetap mulia, Dia tetap suci, Dia tidak berutang kepada kita. Justru karena kita sadar bahwa Tuhan begitu berdaulat, maka kita harusnya merendahkan hati seperti orang sakit kusta ini, betul-betul berlutut, betul-betul memohon. Kapankah kita terakhir kali berlutut, menangis memohon kepada Tuhan? Seringkali kita berdoa dengan duduk, bahkan kadang sambil tiduran, tapi kapan kita sungguh-sungguh menangis memohon? Kapan kita sungguh-sungguh sadar ‘Tuhan, Engkau Tuhan yang berdaulat, Engkau tidak berutang kepada saya, saya datang hari ini, sungguh-sungguh tidak layak, saya memohon, saya berlutut, kiranya Engkau yang memberkati’? Inilah yang dilakukan orang sakit kusta itu. Dia sadar kedaulatan Yesus, dia mengakui kedaulatan Yesus, tapi tetap dia datang kepada Yesus dengan berlutut, dengan rendah hati.
Selanjutnya di ayat 41 tertulis: Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: "Aku mau, jadilah engkau tahir." Ayat 41 ini mulai sulit, karena dalam terjemahan bahasa Indonesia tertulis “tergeraklah hati-Nya”, artinya Yesus melihat orang kusta ini, Dia tersentuh, Dia memberkati. Namun kalau kita melihat manuskrip bahasa Ibrani atau Yunani-nya, ayat 41 ini ada 2 versi. Ada manuskrip-manuskrip yang menulis bahwa Yesus tergerak –sebagaimana terjemahan bahasa Indonesia—tetapi ada juga manuskrip-manuskrip yang menulis bahwa Yesus marah; Yesus marah, dan Dia mengulurkan tangan-Nya, menyentuh orang ini. Di kalangan para pakar Alkitab ada satu prinsip yang disebut “the harder reading” (pembacaan yang lebih sulit). Misalnya, kalau ada 2 versi Alkitab, yang satu menulis A dan yang lain menulis B, maka tulisan yang lebih asli atau lebih awal adalah tulisan yang lebih sulit dimengerti. Logikanya, waktu penyalin-penyalin Alkitab menemukan tulisan yang sulit dimengerti, karena terlalu sulit maka mereka akan mempermudahnya. Dalam kisah yang kita baca ini, lebih sulit kalau dikatakan bahwa Yesus marah; sulit dimengerti mengapa Yesus tiba-tiba marah?? Tetapi justru karena sulit dimengerti, kemungkinan besar versi ini adalah penulisan yang lebih asli/lebih awal. Dan mungkin karena alasan ini, di dalam paralelnya, yaitu Injil Matius dan Lukas, mereka menulis kisah ini tanpa mencatat emosinya Yesus. Mereka tidak menulis bahwa Yesus tersentuh atau marah, mereka hanya menulis ‘Yesus mengulurkan tangan-Nya’.
Dalam hal ini, saya lebih setuju bahwa Yesus marah. Pertama-tama karena ini pembacaan yang lebih sulit. Ini juga lebih cocok dengan seluruh pengertian dan tema pasal 1 ayat 40-45. Kita melihat di ayat 43 dikatakan: ‘Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras’. Peringatan keras, dalam bahasa aslinya adalah embrimesamenos. Istilah ini juga dipakai dalam Yoh. 11:33, ‘Ketika Yesus melihat Maria menangis dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama-sama dia, maka masygullah hati-Nya’; di sini Yesus bukan tersentuh melainkan marah, melihat Maria dan orang-orang Yahudi yang menangisnya berlebihan. Dengan istilah yang sama yang dipakai dalam kisah orang kusta ini, kita juga bisa mengartikan bahwa di sini Yesus marah.
Mengapa Yesus harus marah? Orang ini datang kepada Yesus, dia sakit, dia dibuang, dan dia datang dengan rendah hati, lalu salahnya apa? Banyak komentator mengatakan, Yesus marah bukan terhadap orang ini, Yesus marah terhadap pekerjaan-pekerjaan setan yang coba mendistorsi manusia. Dalam pengertian ini, kita bisa melihat bahwa orang ini sakit kusta adalah akibat dari pekerjaan setan. Penerjemahan seperti ini agak sulit diterima. Tetapi kita lihat di seluruh pasal 1, Yesus terus-menerus mengusir setan; tema “mengusir setan” di pasal 1, bukan hal yang asing. Di ayat 25 kita melihat, ketika Yesus mengusir setan, Dia marah, Dia memerintahkan setan untuk pergi, dan setan pergi. Di bagian yang kita baca hari ini, ketika Yesus marah, Yesus langsung menyembuhkan, dan orang ini langsung sembuh. Di sini kita melihat paralelnya mirip sekali. Yesus marah, setan langsung diusir; Yesus marah, orang ini langsung sembuh. Markus seolah-olah mau memperlihatkan kepada kita, bahwa penyakit orang ini bukan sekedar sakit kusta gara-gara dia tidak higienis, kena bakteri, dsb.; Markus mau kita melihat bahwa orang ini sakit kusta gara-gara pekerjaan setan terhadap dirinya. Setan sedang mendistorsi dia; inilah pekerjaan setan terhadap manusia.
Mengapa setan mau orang ini sakit kusta? Keinginan terbesar Tuhan atas manusia adalah supaya manusia bisa mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, supaya manusia bisa bersekutu dengan Tuhan dan bersekutu dengan sesama. Sebaliknya, keinginan terbesar setan adalah supaya manusia terputus dari Tuhan dan terputus dengan sesama manusia; itulah ini pekerjaan setan. Waktu setan merasuk orang, menipu manusia sehingga manusia berdosa, itu bukanlah sekedar satu game melainkan ada tujuan supaya kita terputus dari Tuhan, supaya relasi kita dengan manusia terputus, tidak ada komunitas, tidak ada persekutuan dengan sesama dan dengan Tuhan; itulah yang setan mau. Dengan membuat orang ini sakit kusta, dia jadi tidak bisa berelasi dengan manusia, juga tidak bisa masuk tempat ibadah menyembah Tuhan. Melihat hal ini, Yesus marah, karena setan sedang membengkokkan manusia dan mencoba membuat manusia tidak bisa berelasi dengan Tuhan dan sesama.
Kalau kita melihat orang-orang yang dirasuk setan dalam Injil, apa ciri khas mereka? Dalam cerita Injil ada orang yang dirasuk setan dan dia tinggal di gua; ini berarti tidak ada relasi, tidak ada persekutuan, tidak ada teman, tidak ada keluarga, tidak bisa ke Bait Allah beribadah. Itulah pekerjaan setan. Setan tidak mau kita beribadah, tidak mau kita memiliki persekutuan, tidak mau kita saling mengasihi. Setan mau kita tersendiri dan terputus dari semuanya. Yesus melihat hal ini, Dia marah, lalu mengulurkan tangan-Nya.
Dalam Perjanjian Lama, orang yang najis (sakit kulit) tidak boleh disentuh siapa pun; kalau kita menyentuh orang yang najis, kita sendiri jadi najis. Tetapi Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang orang ini. Lalu apa yang terjadi? Yesus sendiri tidak menjadi najis, sebaliknya orang ini jadi sembuh. Dari sini kita bisa melihat bahwa Yesus bukan orang biasa; orang biasa tidak bisa memegang orang najis lalu dirinya tidak jadi najis, bahkan orang yang dipegang jadi sembuh. Dalam tradisi Yahudi, mereka percaya bahwa mujizat menyembuhkan orang yang sakit kusta itu levelnya sama dengan membangkitkan orang dari kematian. Hanya Tuhan yang bisa menyembuhkan orang dari penyakit kusta, hanya Tuhan yang bisa membangkitkan orang dari kematian. Jadi, ketika Yesus menyentuh orang ini dan dia sembuh, sangat jelas menyatakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Ketika orang Yahudi melihat hal ini –orang yang sakit kusta ini mengakui kedaulatan Tuhan, dan dia sembuh setelah disentuh Yesus– seharusnya mereka jelas bahwa Yesus ini utusan TUHAN, kalau Dia bukan Mesias, Dia adalah Tuhan. Ini satu peristiwa yang begitu khusus; dan mungkin itu sebabnya dikatakan di ayat 43-44 Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras: "Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka".
Setelah orang ini disembuhkan, Yesus melarang dia untuk bicara apa pun. Di dalam Injil Markus –berbeda dengan injil-injil lainnya—ada satu teori yang disebut “secrecy theory”; bahwa ketika Yesus melakukan mujizat dan berhadapan dengan murid-murid, dengan setan, dengan orang-orang yang Dia sembuhkan, Yesus selalu memberitahu mereka untuk tidak bicara, untuk diam saja. Mengapa? Karena Markus tidak mau orang Kristen melihat Yesus hanya dari mujizat-Nya. Markus mau kita melihat Yesus melalui salib dan kematian-Nya. Itu sebabnya dalam kitab Markus, kita melihat Yesus mengusir setan dan melarang setan berbicara, Yesus menyembuhkan orang dan Dia melarang orang ini berbicara. Yesus tidak mau orang salah mengerti. Yesus tidak mau orang datang kepada-Nya dan menganggap Dia sebagai Seorang pembuat mujizat (miracle worker) yang ke mana-mana melakukan mujizat dan mengusir setan. Yesus mau murid-murid-Nya, orang-orang Kristen, mengerti Dia melalui kesengsaraan-Nya, salib-Nya, kematian-Nya.
Demikian juga di ayat 43 ini, Yesus tidak mau orang cari Dia gara-gara sakit kusta, gara-gara sedang kesulitan. Namun bagi saya di bagian ini ada hal yang lebih spesifik lagi, karena Yesus bukan hanya melarang orang ini bicara tapi juga menyuruh dia pergi mencari imam untuk menyatakan dirinya sudah sembuh. Di sini Yesus memerintahkan orang ini untuk diam, tapi juga menunjukkan bahwa Dia preserve Taurat; Yesus menyembuhkan, tapi tidak membuang Taurat. Ini satu hal yang spesifik daripada sekedar Yesus mau agar Dia tidak disalah mengerti. Yesus mau menyatakan bahwa ketika Dia melakukan mujizat, menyembuhkan orang ini dari kusta, Dia melakukannya di dalam Hukum Taurat. Walaupun Yesus tidak diikat oleh Taurat, Dia tidak membuang Taurat. Walaupun Yeus lebih besar dari Taurat –Dia yang memberikan Taurat—bukan berarti ketika Dia melakukan mujizat, berbicara, atau melakukan apapun, Dia melanggar Taurat. Ini sangat penting karena di pasal 2 orang-orang mulai menuduh Yesus melanggar Taurat, melanggar hukum, dan bukan orang Israel sungguh-sungguh. Jadi di pasal 1 ini Yesus sudah menyatakan “ketika Saya menyembuhkan, melakukan mujizat, itu bukan satu hal yang melanggar Taurat”; itulah alasannya Yesus memerintahkan orang ini untuk diam, kembali ke Bait Allah, mencari imam, memberikan persembahan untuk menyatakan sudah bersih sebagai bukti terhadap mereka bahwa Yesus melakukan pekerjaan-Nya di dalam Taurat.
Dalam tradisi Protestan, kita bilang kita diselamatkan di luar Taurat, kita bukan diselamatkan dengan Taurat, kita diselamatkan dengan darah Kristus, kita diselamatkan dengan iman, maka Taurat tidak bisa lagi menuduh kita. Tapi banyak orang menuduh orang Kristen sudah membuang Taurat, membuang hukum; dan tuduhan mereka sebenarnya kadang-kadang lumayan tepat. Kalau kita melihat dalam tradisi Kristen, mengapa ada gerakan Puritan? Karena orang-orang Puritan melihat orang-orang Protestan ini mengenal doktrin, mengenal katekismus, mengenal semua confessions, bisa menjelaskan dengan begitu jelas bagaimana dirinya diselamatkan, mulai dari kedaulatan Tuhan, pemilihan, pekerjaan Roh Kudus, dst., tapi hidup mereka sendiri kacau balau. Mengapa? Karena orang Protestan percaya sekali diselamatkan, selama-lamanya diselamatkan. Saya sudah diselamatkan, saya sudah percaya, keselamatan saya tidak mungkin hilang –mereka begitu memegang doktrin ini, dan mereka tidak menjaga kekudusan. Saya punya keselamatan tidak mungkin hilang, jadi ya, sudah, saya berdosa, saya berzinah, saya melakukan apapun sesuka saya; saya tidak akan dibuang oleh Tuhan karena Tuhan itu setia, Tuhan itu berdaulat, Tuhan sudah berjanji maka Tuhan pasti selamatkan saya; saya diselamatkan sekali berarti diselamatkan selama-lamanya. Orang-orang Puritan melihat orang Kristen seperti ini, mereka muak, maka mereka bangkit. Mereka ini sangat mementingkan kekudusan, mencari Tuhan, sungguh-sungguh hidup mengikuti Firman. Dan kalau kita melihat Kekristenan hari ini, ceritanya tidak terlalu berbeda.
Beberapa hari lalu saya naik Grab, dan saya mulai ajak bicara supirnya. Bapak ini orang Menado, seorang Kristen, jemaat sebuah gereja yang gembala sidangnya ditangkap KPK dan sudah masuk penjara. Waktu saya tanya bagaimana perasaan dia sebagai jemaat, responnya biasa sekali, “Yah, manusia ‘kan tidak sempurna, semua orang berdosa”; dan dia masih tetap bergereja di situ, juga jemaat-jemaat lainnya. Pendetanya ditangkap KPK masuk penjara, dan dia biasa-biasa saja, fine-fine saja, tidak marah, kecewa pun tidak, hanya bilang “semua orang berdosa” –kalimat yang tadinya mau saya pakai untuk menginjili dia! Betapa keterlaluan. Ini something wrong.
Kita yang begitu mementingkan mimbar, kita juga ada kebahayaan itu. Kita sedang mencari pengkotbah, atau mencari public speaker?? Kita sedang mencari pengkotbah yang membawa Firman, atau mencari orang yang pintar bicara?? Apa yang kita cari sebetulnya, Firman, atau orang yang punya kemampuan untuk bicara seperti Soekarno, atau public speaker?? Kadang-kadang susah dibedakan. Mungkin kotbahnya tidak terlalu sesuai tapi orang terima-terima saja karena homiletik-nya kuat, karena dia jago teriak, dia bisa menyentuh hati orang, lalu semua jemaat anggap oke-oke saja. Gara-gara begitu mementingkan mimbar, mungkin kita juga bisa kompromi. Pendeta ini kehidupannya kurang bagus, tapi, ya sudahlah, kita tutup satu mata saja, karena di atas mimbar kotbahnya super bagus, orang yang dengar tidak tidur; sedikit kesalahan tidak apa, semua orang berdosa, tidak ada yang sempurna ‘kan, saya dan kamu juga tidak sempurna –dan kita membiarkan. Ini satu kebahayaan yang bisa terjadi. Dalam perikop ini kita melihat dengan jelas, ketika Yesus melakukan mujizat, Dia menyuruh orang ini balik ke Bait Allah bertemu dengan imam. Yesus mau menyatakan bahwa mujizat/pekerjaan yang Dia lakukan, semua sesuai dengan hukum. Yesus bukan melakukan mujizat seenak-enaknya Dia sendiri, Dia bukan melakukan mujizat sebagai Perjanjian Baru lalu Perjanjian Lama sudah dibuang. Dia melakukan mujizat, untuk menyatakan Kerajaan Surga sudah datang; di satu sisi, hukum tetap ditegakkan.
Luther percaya hukum menyatakan 2 fungsi: menyatakan dosa kita, hukum mencegah kita melakukan kejahatan yang lebih besar lagi. Tetapi Calvin mengatakan bahwa hukum ada 3 fungsi: hukum menyatakan dosa kita, hukum mencegah kita dari melakukan dosa yang lebih besar, hukum juga memimpin kita dalam keputusan kita untuk melakukan hal yang baik. Orang Reformed lebih cenderung kepada Calvin, lebih biblikal, karena Yesus sendiri pun di bagian ini tidak membuang hukum. Yesus tetap mempertahankan hukum.
Selanjutnya ayat 45, Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru. Yesus telah dengan keras melarang orang ini bicara, tapi orang ini langsung menceritakan ke mana-mana pengalamannya. Dalam hal ini kita bisa melihatnya dengan 2 pandangan. Secara negatif kita bisa langsung mengatakan orang ini berdosa, tidak taat kepada Tuhan; Yesus sudah begitu memperingatkan dia tapi dia tidak mau dengar, dia menyebarkan pengalamannya dan sekarang pekerjaan Tuhan terhambat. Tetapi banyak komentator melihat hal ini secara positif, memang betul orang ini seperti tidak taat kepada Yesus, tetapi ketika dia tidak taat dan dia memberitakan Firman, memberitakan pengalamannya, akhirnya lebih banyak lagi orang datang kepada Yesus. Komentator seperti ini juga mengatakan, kita tidak boleh bilang orang ini melanggar perintah Yesus karena Alkitab tidak mencatat bahwa orang ini tidak pergi ke Bait Allah; mungkin saja setelah bersaksi, dia pergi ke Bait Allah. Jadi orang ini positif juga, dia bukan tidak ke Bait Allah, dia hanya terlalu senang, terlalu sukacita, terlalu bersyukur, dan akhirnya langsung memberitakan Firman, baru kemudian ke Bait Allah; dan hasilnya, Yesus lebih terkenal daripada sebelumnya. Inilah dua pandangan yang ada.
Bagi saya sendiri, saya lebih cenderung melihat hal itu negatif. Saya lebih cenderung mengikuti Calvin , melihat bahwa orang itu melakukan hal yang tidak baik. Walaupun dia rendah hati, walaupun dia mengakui kedaulatan Yesus, walaupun dia mengakui kuasa Yesus, tapi dia punya sukacita seharusnya tidak boleh membuat dia melanggar perintah Yesus. Seringkali kita merasa berkobar-kobar, berapi-api, kita langsung mau keluar, mau pelayanan, mau bersaksi untuk Yesus, tapi tunggu dulu, mungkin itu bukan yang Yesus mau dalam diri kita. Di bagian ini, yang Yesus mau atas orang ini, bukan dia langsung jadi pengkotbah/penginjil. Orang ini kelihatannya membawa banyak buah, menarik banyak orang kepada Yesus, tapi yang dia tarik bukan cuma murid-murid Yesus melainkan juga orang-orang Farisi, orang-orang Saduki, orang-orang yang menentang Yesus. Ketika kita berapi-api, bukan berarti asal motivasi kita baik, hati kita tulus mau memuliakan Tuhan, lalu kita langsung melakukan yang kita mau. Itu bukan yang Yesus mau.
Kita ingat kisah Samuel dan Saul. Ketika itu Saul diperintahkan untuk menumpas semuanya, tapi dia menyimpan domba-domba dan barang-barang yang terbaik. Lalu Samuel datang kepada Saul dan marah; Samuel mengatakan kepada Saul: “Apa sih, yang Tuhan mau?? Memangnya Tuhan mau korban-korban kamu itu, domba-domba kamu itu? Memangnya Tuhan mau kamu mengambil begitu banyak harta untuk dipersembahkan kepada Dia? Tidak. Mendengarkan lebih baik daripada korban-korban.” Dalam bagian yang kita baca ini, saya cenderung seperti ini; walaupun orang itu menggebu-gebu, walaupun motivasinya tulus, walaupun dia sungguh-sungguh sukacita, tetap saja di mata Tuhan taat/mendengarkan lebih baik daripada kita bisa melakukan banyak hal, daripada kelihatannya besar, hebat, bisa menarik banyak jiwa kepada Tuhan.
Kiranya Firman hari ini berbicara kepada kita dan menolong kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading