Minggu ini adalah Ascension Week, maka saya ingin membawakan mengenai apa artinya Kenaikan Tuhan, dan apa dampaknya bagi hidup kita.
Kenaikan Tuhan Yesus adalah suatu peristiwa yang sangat penting, sayangnya dalam Kekristenan seperti kurang dirayakan dibandingkan Natal, Jumat Agung, dsb.; merupakan satu hal yang jarang –bahkan di negara-negara Kristen pun– hari tersebut menjadi hari libur untuk kita dapat merayakannya, seperti di Indonesia. Ini sangat disayangkan, karena Ascension sesungguhnya satu moment yang sangat penting dalam hidup Tuhan Yesus, dalam sejarah Gereja, dalam kisah Allah dengan ciptaan-Nya. Mengapa? Kalau dalam ilmu perfilman ada istilah Chekhov's Gun (pistolnya Chekhov); maksudnya, kalau dalam satu film/drama Saudara memajang pistol, maka ekspektasinya adalah suatu saat pistol tersebut akan meletus di dalam jalan ceritanya. Itulah pentingnya Ascension. Ascension adalah detonator/pelatuk; Ascension adalah membawa apa yang Yesus lakukan secara lokal, lalu melepaskan/melancarkan kuasanya secara kosmik.
Perhatikan hal apa yang terjadi setelah Ascension; dicatat dalam Kisah Para Rasul, para murid bengong dengan mukanya menatap ke langit, lalu ada malaikat berkata, “Ngapain bengong-bengong?” Mengapa malaikat bertanya seperti ini? Apa kesalahan yang sedang ditegur dalam hal ini? Yaitu mereka mengira, terangkatnya Yesus berarti mereka kehilangan Yesus, kehilangan guru dan pemimpin, kehilangan pelindung –mereka harus berpisah dengan Yesus—sementara Ascension sesungguhnya bermakna terbalik. Ascension bukanlah absennya Yesus, melainkan justru meningkat dan memuncaknya kehadiran Kristus bagi mereka, karena Ascension meledakkan hal yang tadinya Yesus lakukan secara lokal menjadi berlaku secara global/ kosmik. Seandainya para rasul waktu itu mengerti, respon yang tepat tentu bukan perasaan miris lalu terbengong-bengong, melainkan kembali ke Yerusalem untuk meledak sampai ke ujung bumi. Inilah yang harusnya menjadi pengertian Ascension dalam hidup kita. Kita perlu melihat apa arti Ascension, di mana kita telah salah atau kurang mengerti mengenai Ascension.
Pertama-tama, mengenai istilahnya. Istilah yang lebih tepat dalam bahasa Indonesia mengenai Ascension, bukanlah ‘Kenaikan’ melainkan ‘Pengangkatan’; dalam hal ini LAI sebenarnya memakai istilah ‘angkat’, bukan ‘naik’. Apa bedanya? Istilah ‘kenaikan’ kesannya ambigu, cenderung bicara mengenai perubahan posisi spasial, perubahan lokasi; sedangkan ‘pengangkatan’ jelas bicara mengenai sesuatu yang lebih dalam. Misalkan Saudara pergi ke Buckingham Palace di Inggris, lalu entah bagaimana bisa masuk ke ruang takhta ratu Inggris, di situ Saudara mungkin bisa saja menaikkan diri Saudara ke atas takhta; tetapi itu lain sekali artinya dengan kalau Saudara ‘diangkat’ jadi raja/ratu Inggris. ‘Diangkat’ dalam hal ini, bukan terutama Saudara berubah secara posisi/lokasi terhadap rakyat Inggris, melainkan Saudara berubah secara relasi terhadap seluruh rakyat dan negara Inggris. Ini berarti, dalam istilah ‘ascension’ tentu bisa ada perubahan jarak/lokasi, tapi itu tidak terlalu penting, itu cuma satu tanda/simbol dari realita yang jauh lebih dalam. Dengan demikian, Ascension Tuhan Yesus tekanannya sama sekali bukan pada perubahan lokasi Yesus –dan sepertinya semua orang pada hari ini justru memusingkan yang itu; waktu Yuri Gagarin pertama kali naik ke luar angkasa pakai roket, sekembalinya dari sana dia mengatakan: “Saya sudah melihat angkasa, dan saya tidak menemukan ada Allah di sana.” Bukan cuma Yuri Gagarin, banyak orang Kristen waktu membaca bagian ini pun, pikirannya terpatok pada urusan kenaikan/perubahan lokasi ini –O, Yesus pergi ke mana? Di mana surga itu?—ujung-ujungnya soal lokasi. Memang tentu saja ada perubahan lokasi, tapi itu hanya simbol dari perubahan relasi-Nya terhadap seluruh alam semesta –inilah message Alkitab dalam bagian ini.
Waktu Saudara membaca istilah-istilah yang dipakai Alkitab, dalam setiap komunikasi selalu ada unsur eksplisit dan implisit, ada hal yang di permukaan dan ada yang di bawah permukaan. Kalau Saudara mau mengerti suatu komunikasi dengan benar, Saudara harus mengerti dua-duanya. Contohnya, kalau Saudara seorang pria yang mendekati seorang wanita, lalu wanita itu kabur dari Saudara, berarti ada 2 kemungkinan: yang pertama, dia kabur karena memang mau kabur; dan yang kedua, dia kabur untuk ditangkap. Waktu kita melihat istilah-istilah ‘terangkat ke surga’, ‘ditutupi awan-awan’, dsb., kita mungkin berpikir ini bicara mengenai perubahan lokasi karena kita tidak menangkap nuansa yang implisit/di balik permukaan istilah-istilah tersebut; padahal mungkin saja waktu Lukas menggunakan istilah-istilah tadi, dia sedang mengkomunikasikan sesuatu yang lain. Itu sebabnya kita tidak perlu membacanya semata-mata soal perubahan lokasi, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Kita juga perlu memperhatikan kacamata orang Yahudi waktu mereka membaca bagian ini –itu sebabnya kita membaca Daniel 7. Daniel 7 bicara tentang seorang yang seperti anak manusia, yang datang di awan-awan. Dalam Perjanjian Lama, awan atau asap hampir selalu merupakan tanda kehadiran Allah; waktu Abraham tidur dan bermimpi Allah hadir, di situ digambarkan api dan asap; dalam kisah Keluaran ada tiang api dan tiang awan. Dan di dalam Daniel 7 tadi, Anak Manusia ini bukan cuma ada di awan-awan –soal lokasi—tapi juga bahwa Dia di awan-awan untuk masuk ke hadirat The Ancient of Days (Sang Yang Lanjut Usia) itu –maksudnya Allah–lalu diberikan kuasa atas bangsa-bangsa dan suku bangsa, dan terutama atas makhluk-makhluk monster yang melambangkan kuasa jahat di bagian-bagian sebelumnya. Daniel 7 ini, secara tidak terduga ditemukan penggenapannya dalam Kisah Para Rasul pasal 1, ketika Sang Anak Manusia yang telah menderita di bawah kuasa bangsa-bangsa dunia, di bawah kuasa jahat, sekarang diangkat naik ke hadirat Allah sendiri untuk menerima kuasa Kerajaan yang di atas semua kuasa itu. Inilah kacamata orang Yahudi waktu membaca bagian ini.
Bukan cuma kacamata orang Yahudi yang memberikan perspektif sedikit berbeda dan nuansa yang lebih dalam, Saudara juga bisa memperhatikan kacamata orang Yunani dan orang Romawi pada zaman itu. Para pembaca Lukas, baik orang Yahudi maupun Yunani, tahu kebiasaan Romawi pada zaman itu. Ketika seorang kaisar Romawi wafat, adalah hal biasa menurut tradisi pada zaman itu untuk mendeklarasikan bahwa Kaisar telah terangkat ke surga. Kalau Saudara berdiri di bawah Arch of Titus di Roma lalu melihat ke atas, di situ ada ukiran yang menggambarkan jiwanya Titus naik ke surga. Itu hal yang biasa, dan fungsinya untuk mengatakan bahwa kaisar tersebut telah mengalami apotheosis (ilahisasi/menjadi allah/menjadi dewa). Ini penting, karena dengan demikian anaknya bisa disebut sebagai ‘anak allah’, dan tentunya titel ini perlu untuk memastikan rakyat taat kepadanya. Jadi, waktu Lukas mencatat ‘Yesus terangkat ke surga’, bagi pembaca pertamanya ini sama sekali bukan terutama tentang perpindahan lokasi; pendengar Lukas langsung mengerti yang Lukas mau katakan, yaitu bahwa mimpi para kaisar Roma selama ini, telah menemukan realitanya di dalam Yesus Kristus, Dialah Anak Allah yang terangkat ke surga.
Perlu diketahui, tema perbandingan antara Kerajaan Allah dengan kerajaan Roma ini muncul beberapa kali dalam Kisah Para Rasul. Satu contohnya, ending dari kitab Kisah Para Rasul adalah kalimat bahwa Paulus mengabarkan Injil secara terbuka dan tanpa halangan di Roma. Di sini yang penting bukan soal Paulus-nya, juga bukan secara terbuka dan tanpa halangan, melainkan di mana Injil itu dikabarkan, yaitu di kota Roma. Di jantung hati Kekaisaran Romawi, berita mengenai Kerajaan Yesus Kristus itu diberitakan –ini ending yang tidak bisa lebih tepat lagi. Mungkin kita tadinya bingung mengapa ending Kisah Para Rasul di kalimat ini, tapi kalau Saudara menangkap nuansa yang implisit –yang para pembaca pertamanya tahu– Saudara akan mengerti ini ending yang tepat sekali, bahwa akhir perjalanan itu, kabar Kerajaan Yesus Kristus sampai masuk ke dalam kekaisaran super power pada waktu itu.
Jadi, dari sini Saudara tahu, bagi pembaca mula-mula Lukas –baik dari kalangan Yahudi maupun Yunani pada waktu itu– tidak ada keraguan sama sekali bahwa ketika mereka melihat istilah ‘terangkat ke surga lalu diselubungi awan-awan’, mereka memakai kacamata yang melihatnya sebagai sama seperti awan-awan tidak pernah sekedar sesuatu yang di atas melainkan tentang hadirat Allah, maka naiknya Yesus ke surga juga tidak pernah cuma soal pindah lokasi melainkan punya nuansa pengangkatan. Ascension berarti Yesus berubah secara relasi terhadap segala sesuatu. Ia sekarang berada di takhta; Ia berada dalam satu posisi, yang Ia bisa melakukan apa yang sebelumnya hanya dilakukan secara lokal, dan sekarang melancarkannya dalam skala yang jauh lebih besar, dalam skala global/kosmik.
Satu hal lagi, dikatakan dalam Yoh. 20:17, Kata Yesus kepadanya: "Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa”, kata aslinya adalah anabainō, yang artinya bukan ‘pergi’ melainkan ‘terangkat’ –“Aku belum terangkat/ascend kepada Bapa”. Jadi ini bukan masalah pergi lalu hilang, melainkan masalah naik, diangkat, kepada Bapa. Itu sebabnya kita tadinya berpikir, ‘mengapa ya, tidak boleh disentuh, apakah setelah Tuhan Yesus bangkit lalu tubuh-Nya gaib, tidak boleh disentuh, tabu atau sesuatu yang lain??’ Tapi ternyata tidak. Buktinya, Tomas malah disuruh pegang; juga belakangan waktu Tuhan Yesus bertemu beberapa wanita, mereka dikatakan memeluk kaki-Nya dan Yesus tidak keberatan. Jadi ini bukan masalah ‘menyentuh’-nya tapi ada satu hal yang mau disampaikan; Tuhan Yesus seperti mau mengatakan, “Maria, jangan mempertahankan Aku di sini. Kamu ini ketakutan sekali kalau Aku naik lalu berarti Aku pergi dan kamu tidak bisa sentuh Aku lagi karena Aku hilang/absence. Tidak begitu. Belajarlah untuk jangan mempertahankan hal yang kelihatan, karena justru secara tidak kelihatan –kalau Aku naik/terangkat– kehadiran-Ku malah akan dilipatgandakan.” Inilah pengertiannya.
Ada satu contoh sederhana sehubungan hal ini. Waktu Ridwan Kamil (gubernur Jawa Barat) masih sebagai walikota Bandung kemudian mencalonkan diri jadi gubernur Jawa Barat, ada surat yang ditujukan kepadanya, yang memohon-mohon supaya dia jangan pergi, “Kang Emil jangan pergi, Bandung masih butuh Kang Emil.” Lalu respon dia, “Lho, saya ini tidak pergi. Justru dengan jadi gubernur, pengaruh positif yang selama ini kamu hargai itu, sekarang akan dilepaskan/dilancarkan ke dalam skala propinsi dan bukan cuma skala kota” –bahwa ini justru magnifikasi dan intensifikasi dari yang selama ini dia kerjakan, ke dalam skala yang lebih besar bagi semua orang. Ini baru bicara tentang manusia, tapi dalam Kisah Para Rasul pasal 1, kita bicara mengenai Anak Allah. Dia mengatakan kepada Maria, “Kamu tidak perlu mempertahankan tubuh-Ku, Aku akan segera terangkat, jangan kuatir”; mengapa? Karena ketika Maria merelakan Dia pergi, itu justru cara untuk meledakkan/melepaskan kehadiran-Nya, yang bukan cuma secara lokal lagi, bukan cuma terbatas waktu dan tempat lagi, melainkan ke mana pun dan kapan pun.
Satu lagi bukti dari Alkitab bahwa inilah pengertian yang asli di balik terangkatnya Tuhan Yesus, yaitu waktu kita melihat kitab Kisah Para Rasul itu sendiri. Dalam Kis.1, terjemahan LAI ada yang kurang tepat yaitu di ayat 1; dikatakan: “Hai Teofilus, dalam bukuku yang pertama aku menulis tentang segala sesuatu yang dikerjakan dan diajarkan Yesus”. Di sini ada yang kurang karena dalam semua terjemahan bahasa Inggris maupun bahwa aslinya ada satu kata yang sangat krusial, yang entah mengapa dilewatkan oleh LAI; kalimat sebenarnya mengatakan “segala sesuatu yang mulai dikerjakan dan diajarkan Yesus” –ada kata árcho. Semua terjemahan bahasa Inggris setuju bahwa kalimatnya berbunyi “begin to teach and do”, sedangkan dalam terjemahan LAI tidak ada. Seperti Saudara ketahui, Lukas menulis kitab Injil Lukas dan Kisah Para Rasul; lalu apakah ini berarti dalam pembukaan Kisah Para Rasul itu Lukas menyebutkan buku pertama mengenai apa yang Yesus mulai lakukan dan ajarkan, sedangkan berikutnya adalah apa yang Gereja mulai lakukan dan ajarkan? Ternyata tidak. Jadi di sini bukan maksudnya mengatakan ‘buku pertama mengenai yang Yesus ajarkan dan lakukan; buku kedua mengenai yang Gereja ajarkan dan lakukan’, melainkan ‘buku pertama mengenai yang Yesus mulai ajarkan dan lakukan, dan konklusinya berarti buku kedua mengenai apa yang Yesus lanjutkan lakukan dan ajarkan’. Ini logikanya; dan ini satu hal yang kita kehilangan dalam terjemahan LAI bagian ini.
Yesus adalah tokoh utama dalam Kisah Para Rasul, bukan para rasul sendiri, juga bukan Gereja. Mungkin Saudara berpikir, ‘aneh, bukankah Tuhan Yesus dalam Kisah Para Rasul cuma muncul dalam 9 ayat lalu Dia ngacir’?? Di sinilah masalahnya; Ascension bukanlah mengenai kepergian, bukan mengenai kehilangan, bukan mengenai Yesus yang absen dari kehidupan para murid, melainkan sekarang Yesus justru diledakkan kuasa-Nya/pengaruh-Nya/pekerjaan-Nya, secara global. Bisa dikatakan, Kisah Para Rasul adalah satu cerita/drama yang tokoh utamanya hanya disebut, tidak pernah muncul, namun tokoh utama ini mempengaruhi setiap jalan ceritanya. Intinya, kitab ini dibuka dengan pengumuman bahwa Yesus adalah Raja; dan ini bukan sekedar suatu ingatan yang makin lama makin pudar, sebaliknya sebagai suatu realita yang makin lama makin powerful, sebagai seorang Pribadi yang tetap bisa terus dikenal, diikuti, ditaati, dicintai, dan Dia terus bertindak, terus mengajar, di dalam dunia ini. Kisah Para Rasul bukan sekedar catatan mengenai yang Gereja mula-mula lakukan –tentu saja itu level pertamanya—tapi mengenai yang Yesus lakukan di balik itu semua. Inilah tujuan utamanya.
Lalu apa buktinya bahwa Ascension mendominasi seluruh cerita dalam kitab Kisah Para Rasul? Kitab Kisah Para Rasul mulai dengan sekelompok rasul-rasul yang bingung, bengong dan menatap ke langit, lalu berakhir dengan Gereja yang internasional, multi etnis, yang benar-benar sudah berangkat dari Yerusalem, ke Samaria, sampai ke ujung bumi. Di pasal 2, ada ancaman dari luar (dari imam-imam kepala), tapi ini malah membuat murid-murid Tuhan Yesus berdoa memohon keberanian untuk memberitakan Firman-Nya. Di pasal 5, ada ancaman dari dalam (penipuan Ananias dan Safira), tapi di akhir cerita, hasilnya bukan keretakan melainkan justru pertumbuhan jumlah Gereja; dengan kata lain, cerita ini bukan menceritakan persekutuan yang saling berbagi dan hebat sekali lalu setelah itu jatuh, melainkan justru cerita tentang Allah mendidik umat-Nya, Allah menambahkan dan menumbuhkan Gereja-Nya bukan cuma lewat persekutuan yang hangat namun bahkan juga dengan hal yang negatif yang Tuhan pakai.
Di pasal 7 dan 8, cerita tentang kematian Stefanus yang kemudian meletuskan persekusi besar-besaran oleh Saulus dan lainnya, dan hal ini justru diambil oleh Tuhan lalu dipakai untuk menyebarkan Injil keluar dari Yerusalem, ke Yudea, Samaria, dan seterusnya. Berikutnya di pasal 9, cerita ketika Tuhan Yesus sendiri muncul, dan Dia mengalahkan –atau bisa dibilang ‘memenangkan’– musuh bebuyutan Gereja waktu itu, Saulus, menjadi rasul yang kerjanya amat sangat luar biasa. Di pasal 10 dan 11, Allah –Tuhan Yesus– menggunakan seseorang yang sangat Yahudi, yang tidak mau makan binatang haram dsb., seperti Petrus, untuk membuka pintu Injil kepada Kornelius, kepada bangsa-bangsa yang lain.
Di pasal 15, Tuhan menggunakan perpecahan doktrinal atau perseteruan dalam Gereja –dalam hal ini mengenai apakah orang-orang non Yahudi harus jadi ‘Yahudi’ dulu atau tidak untuk disebut sebagai orang Kristen—untuk membuat adanya Konsili Gereja yang pertama dalam sejarah, yaitu Konsili Yerusalem. Di pasal 16 ada kegagalan pelayanan di Asia Minor, tapi ini justru dipakai untuk membuka satu pintu yang baru bagi pelayanan di Makedonia. Di pasal ini pun ada satu kisah yang sangat terkenal, ketika dipenjarakannya Paulus dan Silas, dipakai untuk mempertobatkan seorang sipir penjara di Filipi. Lebih maju lagi, di pasal 28, Tuhan menggunakan kecelakaan kapal yang ditumpangi Paulus demi membuka Injil ke Malta, sampai kepada gubernur Malta sendiri; dan tentunya kemudian berakhir dengan kalimat: “Dengan terus terang ia dan tanpa rintangan apa-apa ia –maksudnya Paulus–memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus”, di mana? Di Roma. Dalam hal ini, kalau Saudara mengerti kitab Kisah Para Rasul, Saudara akan setuju bahwa inilah penggenapan dari kalimat Tuhan Yesus waktu Dia terangkat ke surga: “Ketahuilah Aku akan menyertaimu sampai kesudahan.” Jelas sekali hal yang utama dalam Kenaikan bukan sekedar soal terangkat naik atau perpindahan posisi Tuhan Yesus, melainkan bahwa Kristus Yesus sekarang naik ke takhta yang seharusnya; Dia naik ke sana untuk punya posisi melepaskan kuasa itu ke seluruh dunia secara global/kosmik, hal yang tadinya selama ini Dia lakukan secara lokal. Jadi ini bukan cuma bicara mengenai apa yang Gereja mula-mula lakukan –itu level pertama—melainkan bicara mengenai kehadiran Yesus di balik semua itu, karena jika tidak, Gereja tidak mungkin bisa melakukan hal-hal yang mereka lakukan.
Tetapi bukan cuma itu, ini terutama juga mengajak kita untuk melihat peran kita, untuk kita masuk ke dalam cerita ini. Kalimat yang sering dibahas waktu membicarakan Kenaikan, yaitu pertanyaan para murid sesaat sebelum Dia diangkat ke surga, mengenai kapan Dia akan memulihkan kerajaan Israel. Di sini kita seringkali salah lihat, kita menganggap ‘murid-murid ini ngawur, yang dipikirin itu lagi, itu lagi, urusan yang kelihatan, yang material, Kerajaan Israel yang sesuai harapan mereka, padahal sekarang kita ‘kan mau membawa kerajaan yang spiritual, bukan lagi masalah kerajaan yang material seperti itu lagi’. Tapi sebenarnya tidak begitu; tentu saja di bagian ini para murid ada kesalahan, tapi bukan itu kesalahannya. Saudara lihat respon Tuhan Yesus; Dia mengatakan: “Masanya kamu tidak perlu tahu, tapi kamu akan jadi saksi-Ku –kamu yang akan melakukannya.” Jadi jawaban Tuhan Yesus sebenarnya adalah: “Ya, Aku mau memulihkan kerajaan itu, memang temanya ‘kerajaan’, Aku naik jadi Raja sekarang –dan kamu akan jadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi."
Dalam konteks zaman itu, mereka tahu satu hal, ketika seorang naik takhta sebagai raja/kaisar, maka selanjutnya adalah diutusnya para saksi –para penginjil—ke sepanjang teritori kerajaan tersebut untuk mengabarkan hal ini. Itulah kebiasaan pada zaman itu; dan hal ini selalu diberitakan sebagai kabar baik, karena adanya seorang raja selalu merupakan kabar baik; seberapa pun dia, itu lebih baik daripada tidak ada raja. Di bagian lain, Tuhan Yesus pernah mengatakan bahwa nabi terbesar sepanjang sejarah adalah Yohanes Pembaptis, meski demikian, orang yang paling bontot dalam Kerajaan Allah lebih besar daripada Yohanes. Kita mungkin merasa aneh, bagaimana mungkin kita ini, yang paling bontot dalam Kerajaan Allah, ternyata lebih besar daripada Yohanes Pembaptis?? Di sinilah kita salah berpikir; kita pikir, kalau kita besar, itu karena kita memang besar, hebat, jago bicara, berkuasa, dsb. Tapi tidak seperti itu; melainkan bahwa karena dalam zaman kita, relasi Yesus dengan seluruh ciptaan dan alam semesta telah berubah. Itulah yang menjadikan kita punya kebesaran yang bahkan melampaui Yohanes Pembaptis. Yohanes Pembaptis adalah pembuka jalan bagi Yesus, Orang Nazaret, Mesias dari Allah bagi kerajaan Israel; sedangkan Saudara dan saya adalah saksi-saksi Raja alam semesta. Itulah maknanya Ascension.
Sekarang apa dampaknya bagi hidup kita hari ini? Bagaimana hal itu mengubah kita dalam melihat segala sesuatu? Ascension banyak implikasinya; tapi paling tidak satu hal, yaitu membuat Saudara jadi orang yang rendah hati luar biasa, yang punya kesabaran luar biasa terhadap sesama manusia. Pertama-tama terhadap orang-orang Kristen yang seringkali bikin naik darah dan geregetan itu. Kadang-kadang, waktu kita bertemu dengan orang Kristen, atau membaca mengenai mereka, kita lalu merasa ‘haduuhh… jadi orang Kristen kayak gini modelnya, udah deh… haduuhh orang Kristen koq kayak gini…‘. Tapi kalau Saudara mengerti Ascension, Saudara akan punya kesabaran dan kerendahan hati yang luar biasa untuk menerima orang Kristen yang seperti ini. Dari mana kekuatannya? Yaitu karena Ascension mengabarkan bahwa orang-orang seperti ini, adalah salah satu dari orang-orang yang Kristus tetapkan sebagai saksi-saksi-Nya sampai ujung bumi. Dengan kata lain, Tuhan Yesus saja tidak takut diri-Nya diidentikkan dengan orang-orang kayak gini. Kita pernah mengatakan, kalau Samuel, barang yang identik dengan dirinya adalah jubah; kalau Saul, barang yang identik dengan dirinya adalah tombak. Lalu Yesus Kristus, apa yang identik dengan Dia? Orang-orang Kristen seperti inilah; itulah makna Ascension.
Ada satu hal yang saya mau bicarakan, yang agak kontroversial, tapi kalau Saudara dengar baik-baik dari depan sampai belakang dan memikirkannya, Saudara akan mendapatkan satu hal yang sangat indah. Ketika Tuhan memberikan Alkitab, Dia tidak memberikannya dengan cara mendikte. Itu sebabnya di bagian ini Lukas menulis sebagai Lukas, bukan menulis apa yang Tuhan diktekan kepadanya; dia menulis kepada Teofilus, orang yang dikenalnya, dan dia menulis dengan segala talenta dan gayanya sendiri. Dalam Alkitab memang ada bagian-bagian yang didiktekan penulisannya, misalnya Sepuluh Hukum, yang dicatat sebagai dikte Tuhan kepada Musa. Juga di Wahyu 2 dan 3, yaitu Surat kepada Tujuh Jemaat, itu didiktekan oleh Tuhan Yesus kepada Yohanes. Tapi selain dua bagian tersebut, di seluruh Alkitab hampir tidak pernah disebutkan bahwa Firman Tuhan bagian itu modelnya dikte. Waktu Tuhan memberikan kita Alkitab, caranya dengan menggunakan kreatifitas personal si penulis; Dia tidak menegasi semua itu lalu mengatakan ‘Gini, ya, kamu ‘kan manusia yang terbatas, Aku tidak mau keterbatasanmu itu mencemari Firman-Ku. Jadi, dalam semua Alkitab ini kamu hanya bertugas mencatat persis yang Aku diktekan’. Tidak seperti itu. Dalam penulisan Alkitab, tidak pernah pakai model diktean, melainkan hasil perenungan manusia di hadapan Tuhan. Itu sebabnya ada gaya penulisan masing-masing, ada perspektif masing-masing, ada keunikan masing-masing yang lahir dari kreatifitas masing-masing. Waktu kita melihat Mazmur Daud misalnya, kita tahu itu bukan sekedar inspirasi Roh Kudus, tapi juga sebuah hasil perenungan yang sangat personal dalam diri Daud, yang melibatkan situasinya pada waktu itu, yang melibatkan harta dan perasaannya pada waktu itu, yang melibatkan talentanya pada waktu itu, dst.
Hal ini mungkin Saudara bisa terima; tidak ada masalah bahwa Tuhan melibatkan manusia dalam segala kelebihannya, keunikannya, talentanya. Tapi, ternyata itu juga berarti waktu Tuhan memberikan Alkitab kepada kita, Dia bekerja bukan cuma melalui kelebihan si penulis Alkitab, melainkan juga melalui kekurangan si penulis Alkitab. Inilah yang mulai kontroversial. Misalnya kalau kita melihat Mazmur 88, nyanyian Heman. Ini mazmur yang sangat aneh. Kalau dalam Mazmur Daud, bisa kita lihat kelebihan Daud, kehebatan Daud, kedalaman pikiran Daud, dsb. sehingga tentu saja tidak masalah kalau Tuhan pakai itu semua menjadi Firman-Nya; sedangkan Mazmur 88 Nyayian Heman ini, bukankah mazmur yang sangat kacau?? Contohnya saja di ayat 5, dikatakan: “… orang-orang yang mati dibunuh, terbaring dalam kubur, yang tidak Kauingat lagi, sebab mereka terputus dari kuasa-Mu”, doktrin apa ini?? Koq bisa orang yang mati lalu terputus dari kuasa Tuhan?? Masakan kuasa Tuhan hanya terbatas pada orang yang hidup?? Maksudnya apa?? Dan bukan cuma doktrinnya ada “tanda tanya”, tapi kalimatnya juga seperti kurang ajar, bahkan sedikit lagi jadi hujatan, misalnya di ayat 11, 12, 13: Apakah Kaulakukan keajaiban bagi orang-orang mati? Masakan arwah bangkit untuk bersyukur kepada-Mu? Dapatkah kasih-Mu diberitakan di dalam kubur, dan kesetiaan-Mu di tempat kebinasaan? Diketahui orangkah keajaiban-keajaiban-Mu dalam kegelapan, dan keadilan-Mu di negeri segala lupa?” Ini kalimat-kalimat yang tajam sekali, yang kalau dalam bahasa kita hari ini pada dasarnya Heman sedang berkata seperti ini: ‘Tuhan coba pikir, memangnya orang mati bisa bangkit dan memuji Kamu?’ Atau versi sopannya: ‘Ya, saya mengerti bahwa segala sesuatu itu memuliakan Tuhan, tapi mengapa sih, Tuhan harus dimuliakan lewat penderitaan saya?’ –harusnya begitu versi yang lebih baik, tapi di sini tidak. Ini versi yang sangat nyolot, “Hei! Tuhan! saya ini hampir mati; Kamu ‘kan mau dimuliakan, lalu mengapa Kamu mau bunuh saya? Memangnya mujizat-Mu dielu-elukan oleh mayat? Bisakah orang mati memuji-Mu? Kalau Kamu mau aku memuji-Mu, mengapa Kamu bunuh saya?” Jadi bukan cuma doktrinnya meragukan, tapi mulutnya juga kurang ajar sekali.
Mungkin di sini Saudara berargumentasi bahwa kalau baca Mazmur, harus membacanya sampai belakang, karena banyak mazmur yang bagian awal dan tengahnya penuh pergumulan, tapi belakangnya diakhiri dengan kalimat-kalimat positif dan pujian. Tapi, coba Saudara baca Mazmur 88 ini sampai belakang; ayat 15, 16, 17: “Kehangatan murka-Mu menimpa aku, kedahsyatan-Mu membungkamkan aku, mengelilingi aku seperti air banjir sepanjang hari, mengepung aku serentak. Telah Kaujauhkan dari padaku sahabat dan teman, kenalan-kenalanku adalah kegelapan.” Saudara lihat, kata terakhir dari mazmur ini adalah “kegelapan”, tidak ada resolusi/penyelesaian; di bagian ini yang ada hanyalah seorang penulis yang dis-orientasi iman kepada Tuhan dan tidak pernah mendapatkan re-orientasi kepada Tuhan. Aneh, bukan?
Jadi isu utamanya bukanlah soal Allah menurunkan Alkitab dengan melibatkan manusia; ini Saudara bisa terima, tidak jadi masalah, selama yang menulis adalah orang-orang seperti Daud, yang bertalenta, dan hal positif dalam hidupnya itu dipakai Tuhan untuk dilibatkan. Tapi problem mulai muncul ketika kita melihat juga, ada tulisan orang-orang yang sangat terbatas doktrinnya, yang mulutnya kurang ajar, lalu masuk jadi Mazmur. Mengapa ketika Allah mewahyukan Firman-Nya kepada kita, Dia memberi ruang untuk bagian-bagian yang error seperti ini? Itu sebabnya dalam agama lain, yang namanya Kitab Suci, harus pakai diktean, karena dengan demikian aman, tidak ada salahnya, tidak ada keterbatasan-keterbatasan manusia seperti di mazmur ini, tidak ada error-nya, gampang diverifikasi sebagai firman tuhan. Karena diktean, pasti tidak ada salahnya sama sekali, tidak ada kekurangan, tidak ada keterbatasan, pasti kedap bahaya, kedap ateis, bahkan kedap idiot; secure.Tetapi mengapa selain Sepuluh Hukum dan Surat kepada Tujuh Jemaat di Kitab Wahyu, Tuhan tidak pakai cara ini? Itu jadi pertanyaan.
Hari ini, banyak orang Kristen kalau diperhadapkan dengan klaim-klaim bahwa Alkitab ada keterbatasannya, ada error-nya, ada kontradikisinya, jadi langsung insecure; ‘Gawat! Jangan sampai kayak gitu! Kalau kita ‘gak bisa kasih lihat bahwa Alkitab itu PERFECT, TIDAK TERBATAS, SEMPURNA, matilah kita’. Mengapa? Karena konsep kita, supaya Alkitab jadi Firman Allah, maka Alkitab harus lepas dari semua keterbatasan manusia, kebodohan manusia, kesempitan manusia; bagi kita, keterbatasan manusia itu tidak ada tempatnya di Alkitab; kita sangat insecure kalau ada bau-bau seperti itu muncul di Alkitab. Tetapi, jangan-jangan itu cuma buat kita. Kalau Saudara lihat Mazmur 88 atau Mazmur 39, dan bagian-bagian lain di Alkitab, jangan-jangan Allah tidak merasa harus seperti itu, jangan-jangan Allah tidak share insecurity kita yang seperti itu. Jangan-jangan kecemasan untuk punya Alkitab yang kedap bahaya, kedap ateis, dan kedap idiot, itu cuma kecemasannya kita. Jangan-jangan Allah tidak se-insecure itu; itu sebabnya Allah memberi ruang dalam Firman-Nya untuk tulisan-tulisan seperti Mazmur 88. Dan menurut saya ini justru poin yang indah; ini memperlihatkan kepada kita keunikan Alkitab, keunikan Allah Alkitab. Di antara semua agama lain, inilah satu-satunya Allah yang tidak menyensor mata-Nya, yang tidak memalingkan muka-Nya, dari keterbatasan manusia. Allah yang tidak mengatakan ‘Wah! jelek amat doa-doa kayak begini, error doktrinnya, kasar ucapannya, jangan masuk Alkitab deh, karena nanti jadi ada orang-orang yang meragukan ke-ilahian-Ku kalau dia baca tulisan-tulisan seperti ini yang katanya Firman Allah’. Allah Alkitab tidak mengatakan seperti itu.
Keberadaan mazmur seperti Mazmur 88, justru memberitahu kita satu hal yang sangat indah, bahwa inilah benar-benar Firman Allah; memberitahu kita pengetahuan mengenai Allah kita, bahwa Allah kita adalah Allah yang mengatakan, ‘Meskipun ada orang-orang yang seperti begini, Aku tetap adalah Allah mereka, karena Aku adalah Allah yang bekerja lewat anugerah dan bukan lewat ketaatan atau pekerjaan atau kebaikan mereka’. Masuk akal, bukan? Aku tetap Allah mereka meskipun mereka ngomong kasar, Aku tetap Allah mereka meskipun doktrin mereka “tanda tanya”. Inilah justru yang menyatakan Alkitab ini Firman Allah, karena menceritakan Allah yang begitu unik. Keunikan Alkitab sebagai Firman Allah di tengah-tengah semua kitab suci yang lain, mungkin bukanlah karena Alkitab dilepaskan dari semua keterbatasan manusia; kalau seperti itu, Saudara akan sulit melihat keunikannya di antara semua kitab suci yang lain, karena semuanya sama, tidak ada keterbatasan manusianya, sebagaimana semua orang mengklaim hal ini. Keunikan Alkitab sebagai Firman Allah justru bukan karena Alkitab dilepaskan dari keterbatasan manusia, melainkan karena Allahnya Alkitab, Allah Yahweh, tidak merasa jijik dengan keterbatasan manusia, tidak merasa keterbatasan manusia sebagai sesuatu yang Dia harus jaga jarak jauh-jauh.
Kalau Saudara masih sulit menerima bahwa Alkitab ditulis dengan keterbatasan manusia, bagaimana Saudara bisa menerima doktrin inkarnasi? Karena inkarnasi bukan cuma soal Allah turun menjelma sebagai manusia –bukan cuma itu. Inkarnasi adalah yang tidak terbatas, masuk ke dalam keterbatasan manusiawi. Poin dari inkarnasi adalah Dia datang sebagai manusia yang terbatas, justru untuk memperlihatkan Allah yang tidak terbatas. Itulah inkarnasi.
Yesus tidak berdosa –itu jelas– tapi Yesus terbatas secara manusiawi. Waktu Yesus menjadi manusia, Dia tidak menembus waktu, Dia juga perlu makan, Dia bahkan dikatakan bertumbuh dalam hikmat, dan ada hal-hal yang dikatakan Dia tidak tahu, hanya Bapa yang tahu. Anehnya, Kol. 1:15 mengatakan Yesus adalah gambar dari Allah yang tidak kelihatan itu; dengan kata lain, Yang Tidak Kelihatan itu menjadi terlihat melalui yang terbatas ini. Ibr. 1: 3 “Ia (Kristus) adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah (the exact imprint of God)” –gambar yang sempurna itu justru diperlihatkan melalui keterbatasan. Dengan kata lain, hari ini Saudara dan saya bisa mengenal Allah yang tidak kelihatan itu, justru lewat yang kelihatan ini; yang diberikan kepada kita sebagai representasi yang terbaik, terjelas, dari yang tidak terbatas, dan itu justru melalui yang terbatas. Itulah Allah Alkitab.
Cara terbaik yang dipilih Allah untuk memperkenalkan diri-Nya yang sempurna, adalah justru lewat yang terbatas; itulah inkarnasi. Dan bahkan lewat keterbatasan yang paling sempit, yaitu kematian. Kalau Yesus tidak dihimpit oleh kematian, Saudara tidak akan pernah mengenal betapa dalamnya, betapa panjangnya, betapa tingginya, betapa lebarnya, betapa luasnya kasih Allah. Inilah amazing-nya, anehnya, uniknya, Allah kita –Allah Alkitab. Dalam agama lain, dijaga sebisa mungkin supaya yang namanya “allah” itu tidak ternoda, firmannya harus sempurna, terlepas dari keterbatasan. Dan ironisnya, Allah yang asli malah mengatakan, “Aku tidak sedemikian insecure-nya, Aku tidak harus bikin yang dianggap sempurna sampai tidak ada yang meragukan”; yang insecure seperti itu adalah manusia. Manusia mau membayangkan Allah yang tidak terbatas, yang sempurna, maka manusia sebisa mungkin membebaskan konsep Allah dari segala batasan. Allah yang asli, malah menujukkan kesempurnaan-Nya di dalam dan melalui keterbatasan; bukan cuma dalam tulisan Firman-Nya tapi juga lewat kedatangan Firman Hidup, Anak Allah sebagai Wahyu Allah.
Kembali ke urusan Ascension, dampaknya dalam hidup kita adalah untuk kita punya kerendahan hati, kekuatan untuk mengasihi, bersabar terhadap orang-orang Kristen yang “haduuhh…” tadi, karena kita melihat bagaimana Tuhan kita tidak takut di-identifikasikan dengan manusia-manusia yang terbatas –dengan keterbatasan. Kalimat para murid di akhir kisah sebelum Tuhan diangkat, memang ada salahnya, tapi salahnya bukan soal kerajaan melainkan skala dari kerajaannya. Mereka mengatakan “Tuhan maukah Engkau memulihkan kerajaan Israel”; dan di sini Tuhan harusnya bisa mengatakan, “Haduuhh .. lu udah liat semua yang terjadi, dan lu masih cuma membatasi kerajaan-Ku pada Israel?? Tidak! Yerusalem, Samaria, Yudea, sampai ke ujung bumi, itulah kerajaan-Ku, mengapa kamu sampai hari ini cuma pikirnya sebatas Israel?? Sudahlah, Saya tidak jadi naik, Saya kerjain sendiri saja.” Tapi Saudara tidak lihat itu di dalam Alkitab; yang Saudara lihat, Dia tetap mengatakan: “Kamu akan jadi saksi-saksi-Ku” –kamu yang rapornya merah kebakaran, kamu itu yang akan jadi saksi-saksi-Ku. Dia mempercayakan diri-Nya kepada orang-orang yang tidak sempurna, untuk di-identikkan dengan mereka.
Apa bukti terbesar yang orang dunia pakai untuk meragukan keilahian dan sifat rajani Yesus Kristus? Kita. Saudara dan saya. Orang-orang Kristen. Itulah bukti terbesar bahwa Kekristenan ngawur. Meski demikian, paradoksnya adalah: apa bukti terbesar bahwa sungguh Dia adalah Raja alam semesta, yang berbeda, yang unik, yang sejati? Kita. Kita yang terbatas dan begitu mengerikan dan begitu menyedihkan ini, yang mau dipakai oleh Dia.
Inilah sebabnya waktu Stefanus dipukuli dan dilempari batu, dia bisa mengatakan, “Ampunilah dosa mereka, mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”, karena sebelumnya dia melihat langit terbuka dan Anak Allah terangkat, duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Dia tahu satu hal, bahwa kerajaannya Allah ini bukan kerajaan duniawi, bukan kerajaan yang cuma mau kuasa, yang melibatkan hanya mereka yang elit-bertalenta-berbakat; tapi kerajaan yang keterbatasan malah dipakai untuk mengungkapkan kesempurnaan, dukacita malah dipakai untuk mendatangkan sukacita, kematian dipakai untuk melahirkan kehidupan, orang-orang Kristen yang bodoh-lemah-terbatas bahkan menjadi saksi akan Allah, Raja alam semesta yang tidak terbatas, yang sempurna. Saudara mau punya kekuatan seperti itu? Ingat Ascension.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading