Hari ini saya mau bahas mengenai Roh Kudus, apa artinya Pentakosta, apa arti turunnya Roh Kudus. Pada Minggu Kenaikan, kita sudah membahas bagaimana seringkali kita salah mengerti “Kenaikan” karena bahasa yang dipakai Lukas dalam tulisannya, kita baca dengan kacamata kita hari ini; kita tidak menangkap kacamata yang Lukas pakai ketika menggunakan istilah-istilah tersebut. Jadi “Kenaikan” bukan terutama bicara mengenai perpindahan lokasi, melainkan mengenai satu perubahan relasi; bukan bicara soal ‘kenaikan’ melainkan ‘pengangkatan’.
Sama halnya dengan itu, dalam hal Pentakosta pun ada kemungkinan kita salah mengerti. Istilah Pentakosta hari ini –karena satu dan lain hal– akhirnya identik dengan sekedar sebuah pengalaman Kristiani. Termasuk juga dalam tradisi Reformed –tradisi Injili– peristiwa Pentakosta/ turunnya Roh Kudus ini akhirnya disempitkan jadi sekedar pengalaman rohani, sesuatu yang bersifat pribadi antara saya dengan Tuhan saja, yang ujungnya mengisi dan mengubah seorang Kristen yang tadinya suam-suam kuku menjadi orang Kristen yang semangat dan berapi-api.
Tentu saja Gereja Tuhan perlu dibangunkan/dibakar; tapi pertanyaannya, apakah itu makna sesungguhnya dari kisah yang Lukas ceritakan? Lukas mencatat dengan teliti kejadian-kejadian yang bukan cuma di Hari Pentakosta, tapi juga –seperti yang kita baca hari ini– yang terjadi sebelum Pentakosta. Di sini para rasul tidak digambarkan sebagai orang-orang melempem atau suam-suam kuku; mereka justru digambarkan senantiasa bertekun dalam doa, dalam beribadah, dan mereka mempertimbangkan apa yang harus dilakukan setelah Yudas mati. Di bagian ini, yang perlu kita tangkap mungkin bukan satu prinsip tentang cara menemukan seorang pengganti –bukan itu yang terutama—melainkan bagaimana mereka menghadapi situasi ini.
Di ayat 16 dan 20, mereka merasa perlu mengganti Yudas karena di Alkitab dikatakan demikian. Ini berarti mereka menyelidiki Alkitab; dan di ayat 24, mereka berdoa sebelum membuang undi untuk menentukan orang yang akan menggantikan Yudas itu. Dengan kata lan, sebelum Roh Kudus turun pun, para murid digambarkan mengambil keputusan berdasarkan Alkitab dan melalui doa. Ini sama sekali bukan gambaran negatif. Di sini Saudara tidak mendapati gambaran bahwa sebelum turunnya Roh Kudus mereka ini melempem, suam-suam kuku, atau bersembunyi ketakutan, sehingga harus mendapatkan satu pengalaman rohani tertentu supaya bangkit dan pergi. Gambaran seperti itu tidak ada sama sekali. Jadi, kisah turunnya Roh Kudus –sebagaimana Lukas menceritakannya—bukan terutama mengenai para rasul dan pengalaman rohani mereka, meskipun ada aspek itu, tetapi mungkin difokuskan pada sesuatu yang lain, yang lebih lebar, lebih dalam, lebih luas; bukan terutama mengenai sesuatu yang rohani saja, melainkan mengenai sesuatu yang sangat konkrit dan riil di dunia ini. Dengan demikian, dampak dari turunnya Roh Kudus juga bukan terutama suatu hal yang ke dalam/pribadi bagi diri kita saja, melainkan terutama berdampak ke luar, dan meluas sampai ke ujung bumi.
Untuk mengerti Pentakosta, banyak orang berpikir harus mendalami Lukas 2. Tapi itu tidak cukup, karena tradisi Pentakosta sebenarnya sudah ada jauh sebelum Lukas. Dan, mungkin Lukas ingin pembacanya membaca kejadian Pentakosta itu, dengan kacamata pentakosta-pentakosta yang sudah ada sebelumnya. Apakah itu Pentakosta yang sebelumnya? Kita akan telusuri asal-muasalnya.
Hari Raya Pentakosta dalam Imamat 23 adalah salah satu hari raya besar orang Israel; dalam bahasa Ibraninya disebut Hari Raya Shavuot; dalam bahasa Indonesia Hari Raya Tujuh Minggu. Seperti namanya –Tujuh Minggu– hari raya ini menunjuk kepada hari ke-50 setelah Paskah, yaitu Pentakosta (7 minggu = 49 hari, jadi hari berikutnya hari ke-50). Ini adalah sebuah festival pertanian, hari pertama panen. Dalam hari raya inilah orang Israel membawa hasil panennya yang pertama untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Inilah persembahan sulung, sebagai ucapan syukur sekaligus doa supaya penuaian berikutnya berjalan dengan baik.
Kalau Saudara pakai kacamata pengertian latar belakang Pentakosta ini, ada satu lapisan yang lebih luas dan lebih dalam daripada makna Pentakosta yang kita mengerti sebelumnya di dalam Lukas. Turunnya Roh Kudus kepada sejumlah orang, dan diselamatkannya sejumlah orang, adalah sebuah panen yang pertama, panen yang sulung, satu simbol bermulanya musim panen dari Tuhan –hanya yang dipanen di sini bukan padi melainkan manusia. Pentakosta ini melambangkan yang pertama dari yang banyak; di sini langsung jadi melebar maknanya, tidak terfokus ke situ-situ lagi. Pentakosta itu sejak awal bukan terutama menunjuk kepada mereka yang sudah diselamatkan, tapi justru menunjuk kepada mereka yang belum diselamatkan. Turunnya Roh Kudus ternyata bukan melulu urusan rohani kita pribadi sebagai orang yang sudah diselamatkan; di ini Saudara langsung dibelokkan perhatiannya, keluar dari diri sendiri, kepada orang lain, kepada dunia yang akan dipanen itu.
Ini satu kacamata untuk melihat makna Pentakosta. Tapi sebenarnya kacamata ini pun bukan yang paling awal, karena hari raya panen dalam kitab Imamat pun bukan Pentakosta yang pertama kali di Alkitab. Kita bisa mundur lebih jauh. Sama seperti Hari Raya Paskah mempunyai akarnya dalam kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir, tentunya kejadian 50 hari setelah Paskah juga harus dibaca dalam kacamata kisah tersebut. Apa yang terjadi 50 hari setelah malam ketika bangsa Israel merayakan Paskah yang pertama?
Empat puluh hari setelah mereka merayakan Paskah dan keluar dari Mesir, mereka telah berjalan sampai di Gunung Sinai. Pada hari itu Musa naik ke gunung tersebut, dan setelah beberapa hari dia turun membawa Taurat Tuhan. Dalam tradisi Yahudi –bagian ini Saudara tidak temukan di Alkitab secara eksplisit—momen ketika Musa turun dari Gunung Sinai membawa 2 loh batu, adalah hari kesepuluh sejak mereka sampai di Gunung Sinai. Jadi itu hari yang ke-50 sejak Paskah, Pentakosta. Dan sepertinya Lukas memang sengaja menarik perhatian kita ke sini, karena ada begitu banyak paralel antara Pentakosta zaman Musa dengan Pentakosta zaman Lukas. Empat puluh hari hari setelah Paskah zaman Musa, Musa naik ke Gunung Sinai; 40 hari setelah kebangkitan Yesus, Yesus naik ke surga. Pada hari ke-50, Musa turun dari Gunung Sinai membawa Taurat Tuhan; pada hari ke-50 setelah kebangkitan Yesus Kristus, Roh Kudus turun kepada umat Tuhan. Musa turun membawa Taurat Tuhan yang ditulis pada 2 loh batu; sementara dari nubuatan di Yeremia 31, kita tahu bahwa ketika Roh Kudus turun, Dia turun dengan kuasa untuk menuliskan Taurat Tuhan bukan lagi di loh-loh batu, melainkan di loh hati manusia. Ketika Musa turun dari Gunung Sinai, dia mendapati bangsa Israel sedang menyembah patung lembu emas, dan sebagai akibatnya 3000 orang hari itu mati; sementara dalam Pentakosta zaman Lukas, 3000 orang diselamatkan. Turunnya Taurat Tuhan pada zaman Musa disertai suara keras, guntur, api; turunnya Roh Kudus pada zaman Lukas ditandai dengan tanda-tanda yang sama, yaitu suara keras seperti angin ribut dan lidah-lidah api. Dalam hal ini ada perbedaanya juga: di Gunung Sinai hanya ada 1 api, disaksikan banyak orang; di zaman Lukas ada banyak lidah api turun kepada orang-orang. Di Gunung Sinai, orang-orang harus menjaga jarak, jauh dari api; sementara di zaman Lukas lidah-lidah api itu turun, datang menghampiri, dan hinggap atas banyak orang.
Paralel-paralel ini adalah satu cara yang Lukas sengaja hadirkan, untuk membuat pembacanya tahu, bahwa kalau kita mau mengerti makna turunnya Roh Kudus, kita tidak boleh membacanya menurut kacamata hari ini; kita perlu membacanya dengan kacamata Alkitab, kacamata peristiwa turunnya Hukum Taurat.
Pertanyaan selanjutnya, apa tujuan diturunkannya Hukum Taurat? Kalau kita mengerti ini, kita akan lebih mengerti tujuan turunnya Roh Kudus. Kita akan melihatnya dari bagian pembukaan Sepuluh Hukum; ada 2 hal besar yang perlu Saudara lihat: pertama, yang bukan tujuan turunnya Hukum Taurat, dan yang kedua, yang adalah tujuan Tuhan menurunkan Hukum Taurat.
Keluaran 20:2, "Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan”, adalah kalimat Tuhan yang membuka perkataan-Nya tentang Sepuluh Hukum, sebelum menurunkan Sepuluh Hukum tersebut, dan baru kemudian diikuti perintah-perintah-Nya. Ini pembukaan yang sangat penting, karena jelas sekali membuat kita mengerti ‘kepada siapa’ hukum itu diberikan. Hukum itu diberikan bukan kepada semua makhluk di dunia ini, melainkan khusus bagi umat Tuhan yang dibawa keluar dari Mesir. Hukum diberikan kepada mereka yang sudah diselamatkan. Ini sama sekali terbalik dibandingkan jalan agama-agama di dunia. Dalam agama-agama di dunia, Saudara diberikan hukum lebih dahulu, supaya Saudara bisa diselamatkan dengan menaati hukum-hukum tersebut. Sedangkan di Alkitab, Saudara diselamatkan, supaya Saudara bisa menaati hukum.
Hari ini ada orang yang salah kaprah. Katanya, karena orang Kristen diselamatkan oleh anugerah dan bukan karena ketaatan, maka berarti ketaatan kita ‘gak ngaruh dong. Ini salah sama sekali. Lihat orang Israel, mereka diselamatkan dulu, mereka dikeluarkan dulu dari Mesir, baru setelah itu diberikan Sepuluh Hukum. Inilah Alkitab, inilah Kekristenan. Jalan agama dunia mirip relasi karyawan dengan bosnya; bos mengatakan ‘taatilah aku, maka aku akan menerimamu’. Bandingkan dengan relasi seorang anak dengan ayahnya. Seorang anak menjadi ‘anak’ bagi ayahnya, bukan karena dia tidak nakal, bukan karena dia taat sempurnya, tapi karena dia diterima apa adanya, oleh anugerah. Namun setelah itu tentu ada tuntutan ketaatannya. “Nak, sekolah yang baik”, tuntutan ini bukan supaya dia dianggap anak, tapi justru karena dia diterima sebagai anak; anak tetangga tidak akan dituntut seperti itu, ngapain ‘kan?? Itulah Kekristenan. Jalan agama dunia mengatakan, “Kamu perlu taat supaya selamat”, tapi Kekristenan mengatakan, “Kamu perlu selamat, supaya kamu bisa taat”.
Di sini orang Kristen sering salah kaprah, berpikir bahwa Sepuluh Hukum adalah satu standar untuk semua orang, sehingga kita memakai tuntutan Tuhan ini dan kita tuntutkan kepada orang-orang yang belum diselamatkan. Contohnya, waktu di Whatsapp ada emoji-emoji yang menurut kita tidak benar (misalnya gambar pria bergandengan dengan pria dan ada anaknya, atau wanita bergandengan dengan wanita dan ada anaknya), atau waktu kita merasa siaran TV sekarang tidak beres, penuh dengan seks, kekerasan, melawan Tuhan, dsb. Pertanyaannya, mengapa Saudara kaget? Di balik kekagetan ini, jangan-jangan kita berpikir, orang-orang yang belum diselamatkan itu boleh kita tuntut untuk mengikuti/ menjalankan hukum dan ketetapan Tuhan. Salah kaprah. Yang seperti itu adalah agama dunia. Bagi agama dunia, hukum itu berlaku bagi semua orang, lalu yang bisa taat itulah yang diselamatkan. Tetapi hukum Tuhan tidaklah seperti ini. Hukum di Alkitab tidak datang bagi semua orang, tapi hanya bagi mereka yang sudah diselamatkan; karena untuk bisa taat, Saudara perlu diselamatkan.
Kalau Saudara hari ini panik gara-gara WA, atau TV, atau film, yang sekarang banyak membawa warna LGBT dsb., berarti Saudara sedang percaya bahwa orang bisa melakukan hukum Tuhan atau dituntut menjalankan hukum Tuhan tanpa diselamatkan. Tidak, Saudara. Saudara tidak lihat itu di Alkitab. Problem mereka bukanlah mereka tidak taat pada hukum Tuhan –mereka memang tidak bisa taat, mereka tidak mampu untuk taat—problem mereka adalah mereka butuh Yesus. Kita menginjak-injak Injil, kalau kita pikir bisa menuntut dunia yang tidak mengenal Tuhan untuk hidup sesuai ketetapan Tuhan. Itu justru menginjak-injak Injil karena kita merasa orang sanggup dan berkewajiban menjalankan ketetapan Tuhan, meskipun dia belum diselamatkan, belum mengenal Tuhan. Justru Saudara perlu Injil, perlu selamat, untuk bisa taat.
Inti dari semua ini, tujuan diberikannya Sepuluh Hukum bukanlah untuk menyelamatkan kita, karena hukum tersebut diberikan kepada orang yang sudah selamat. Dan tujuan hukum itu diberikan, juga bukan untuk dipakai umat Tuhan menjadi standar menghakimi dunia, karena hukum tersebut memang tidak dituntut kepada mereka. Kalau begitu, apa tujuannya? Kita mengatakan tujuannya sebagai rasa syukur kita kepada Allah, sebagai respons kita atas keselamatan –itu benar. Tetapi mari kita kembali ke Alkitab dan coba melihat apa yang jadi tujuan Tuhan, dari perkataan Tuhan sendiri, ketika Dia menurunkan Sepuluh Hukum.
Keluaran 19: 5, “Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi.” Inilah tujuannya; kalau kamu melakukannya, kamu akan jadi harta kesayangan Tuhan. Apa maksudnya harta kesayangan? Jawabannya ada di ayat berikutnya; ayat 6, “Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus." Kita akan membahas 2 istilah ini, ‘kerajaan imam’ dan ‘bangsa yang kudus’.
Pertama, mengenai arti ‘kerajaan imam’. Apa tugas para imam? Imam itu penengah, pengantara antara Allah dan manusia. Di ayat 6 tadi dikatakan “kerajaan imam”, artinya seluruh bangsa Israel jadi imam; lalu pertanyaannya, siapa jemaatnya? Siapa lagi kalau bukan bangsa-bangsa lain. Saudara tidak perlu kaget karena motif ini sudah ada sejak Abraham dipanggil Allah. Dalam Kej. 12: 1-3 Allah mengatakan kepada Abraham, “… dan olehmu –melaluimu—semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” Sejak semula, tujuan Abraham dipilih, diselamatkan, bukanlah melulu untuk dirinya pribadi tok; melainkan supaya melalui dirinya, bangsa-bangsa lain boleh mendapatkan berkat. Selalu ada dimensi ‘ke luar’. Dengan demikian, ketika turun Sepuluh Hukum, pada dasarnya Israel dipanggil untuk melanjutkan panggilan Abraham tadi, tapi sekarang dalam skala yang bersifat nasional.
Tujuan diberikannya Sepuluh Hukum kepada Israel bukan seperti ini: ‘Begini ya, Aku berikan kamu Sepuluh Hukum supaya kamu baik-baik, lalu kalau bangsa-bangsa lain kecipratan berkat, ya, okelah, itu bagus, tapi itu cuma side effect sedangkan perhatian-Ku yang terutama adalah kamu’. Sama sekali bukan begitu. Mereka diberikan Sepuluh Hukum justru demi bangsa-bangsa lain. Kalau dengan Sepuluh Hukum tersebut mereka jadi baik, itu justru bonusnya; sementara sejak awal perintah Tuhan sangat jelas bahwa Sepuluh Hukum diberikan khusus bagi Israel, namun tujuannya adalah demi bangsa-bangsa lain. Sepuluh Hukum diberikan hanya bagi sebagian orang, yang dipilih, namun demi kebaikan semua. Dengan kata lain, relasi antara Allah dan umat-Nya selalu punya arah ke luar, kepada mereka yang bukan umat-Nya.
Saudara tentu pernah mendengar istilah untuk mengungkapkan relasi kita dengan Tuhan, yaitu ‘I and Thou’ relationship –‘aku dan Engkau’. Tapi ternyata dalam Alkitab, relasinya tidak pernah tertutup, baik si ‘I’, maupun si ‘Thou’; sejak awal relasi ini diberikan demi ‘them’. Di dalam Alkitab, relasi antara Allah dengan umat-Nya tidak pernah cuma mengenai ‘saya’ dan ‘Engkau’, tetapi selalu didesain untuk satu hari keluar kepada ‘mereka’. Inilah yang seringkali tidak ada dalam kacamata kita.
Hal tersebut lebih jelas lagi kalau kita melihat istilah yang kedua, ‘bangsa yang kudus’. Istilah ‘kudus’ dalam Alkitab itu artinya bukan terutama soal lebih bersih, murni, higienis, suci, dsb. Istilah ‘kudus’ dalam Akitab selalu artinya ‘terpisah’, berbeda, khusus. Dikuduskan artinya dikhususkan. Barang yang khusus bisa saja kualitasnya lebih tinggi, tetapi tekanannya tidak di situ. Penekanan dari sifat khusus/spesial bukan terutama soal ‘lebih baik dari yang lain’, melainkan bahwa yang khusus/spesial itu ‘bukan yang lain’. Dengan demikian tujuan Sepuluh Hukum diberikan kepada Israel, bukanlah terutama membuat mereka jadi lebih baik daripada bangsa-bangsa yang lain, dalam arti ‘kalau kamu melakukan ini, kamu akan jadi bangsa yang kudus –yang lebih suci, lebih murni, dsb.’; Sepuluh Hukum diberikan supaya mereka bisa berbeda dari bangsa-bangsa yang lain.
Nuansa ‘beda’ dalam hal ini adalah seperti nuansa kalau Saudara melihat iklan TV yang menjual berbagai produk supaya kita bisa tampil beda. Maksudnya bukan supaya Saudara jadi aneh, lalu orang-orang menghindari. Tujuan Saudara tampil beda –seperti yang dimaksudkan iklan TV—adalah justru supaya orang lain merasa Saudara menarik. Ada unsur kekhususan, tapi kekhususan yang selalu ‘ke luar’. Contohnya kompetisi pasar HP. Semua HP dengan berbagai merek itu, sebenarnya “jerohan”-nya hampir sama saja, Android atau IOS; sementara hardware-nya, hampir semua processor pakai Qualcomm, hampir semua layar pakai Corning Gorilla Glass. Tapi Saudara melihat bagaimana setiap merek tersebut berjuang setengah mati untuk tampil beda –tampil khusus—tentunya bukan supaya jadi aneh melainkan supaya menarik. Ini paradoksnya.
Kembali kepada Sepuluh Hukum, di mana tekanannya? Untuk apa kita menggunakan Sepuluh Hukum? Seringkali, yang mungkin level paling rendah, kita mengatakan bahwa belajar Sepuluh Hukum itu, yang terutama mendapatkan benefitnya adalah kita sendiri; jadi Sepuluh Hukum diberikan demi kebaikan si pelaku hukum –ini tujuan rohani/ke dalam. Tentu tidak salah, tapi kalau cuma ini, sepertinya egois sekali. Maka kemudian ada level yang kedua, kita mengatakan bahwa melakukan Sepuluh Hukum itu, ujungnya terutama bagi Si Pemberi hukum, bukan bagi si pelaku hukum; jadi ini sebagai rasa syukur kita kepada Dia. Ini kelihatan lebih baik, tidak terlalu egois –dan aspek ini juga tidak salah. Tetapi kalau Saudara kembali kepada perkataan Si Pemberi Hukum, jangan-jangan ujungnya bukan bagi Si Pemberi maupun si pelaku hukum, melainkan bagi si penonton. Bukan bagi ‘I’, maupun ‘Thou’, melainkan demi kebaikan ‘them’.Tujuan kita disuruh taat, ternyata tidak pernah berhenti pada diri kita, dan juga tidak berhenti pada diri Tuhan –inilah yang menakjubkan—tapi ternyata demi orang lain, demi bangsa lain yang bukan umat Si Pemberi Hukum. Di mana Saudara bisa menemukan hal seperti ini kalau bukan di Alkitab??
Mengapa Israel bisa menjadi imam, menjadi pengantara antara Allah dan bangsa-bangsa lain? Jawabannya: karena tampil beda. Rencananya adalah dengan membuat Israel tampil beda, melalui Sepuluh Hukum, maka bangsa-bangsa yang lain melihatnya dan merasa tertarik. Banyak sekali nubuatan di Alkitab yang mengatakan “bangsa-bangsa lain berbondong-bondong datang ke Yerusalem, datang kepada Allah”. Inilah penggenapan panggilan Allah kepada Abraham, ‘Aku mau mengubahmu, tapi bukan demi kamu sendiri, dan juga bukan demi Aku; Aku mengubahmu demi mereka, Aku menyelamatkanmu, Aku memilihmu, supaya melalui engkau seluruh kaum di muka bumi ini mendapatkan berkat.’ Jadi tujuan Sepuluh Hukum diberikan, tujuan relasi Allah dengan umat-Nya, tidak pernah tanpa dimensi ‘ke luar’, dimensi bangsa-bangsa lain itu. Dari awal Allah memilih, mengkhususkan, membedakan Israel, bukan demi Israel sendiri melainkan demi seluruh dunia dan segala bangsa. Jadi tujuan orisinal Sepuluh Hukum bukanlah supaya Israel naik level, sementara bangsa-bangsa lain hancur; tujuannya adalah supaya bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Tuhan, kembali kepada Tuhan.
Hari ini orang Kristen ada kecenderungan masuk kepada salah satu dari 2 ekstrim, yang sama-sama salah. Sebagian mengatakan, “Kita ini umat Tuhan, jadi kita beda! Kita tidak pakai cara-cara yang mereka semua pakai!” Lalu akhirnya jadi orang creepy dan weirdo dan Jesus freak, karena maunya cuma beda doang tapi tidak mengerti tujuannya berbeda untuk apa; harusnya justru untuk mengundang, bukan untuk menjauhkan. Di sisi lain, sebagian lagi mengatakan, “Kita orang Kristen harus menjangkau, harus berinkarnasi, jadi kita terima semua orang, semua jenis musik, semua pengajaran”, dan akhirnya tidak berbeda. Inilah kecenderungan yang ada, tapi rencana Tuhan tidak pernah dua-duanya –atau lebih tepatnya—rencana Tuhan adalah kedua-duanya bersamaan. Tuhan menyuruh umat-Nya hidup berbeda, hidup terpisah, itu jelas. Tapi “anehnya”, tujuan akhirnya adalah lewat perbedaan tersebut justru mengundang orang lain atau merangkul orang luar untuk masuk. Di satu sisi ada eksklusifitas, tapi eksklusifitas ini diberikan dengan tujuan inklusifitas.
Mungkin Saudara berpikir, bagaimana dengan Paulus yang mengatakan “kepada orang Yahudi aku jadi orang Yahudi, kepada orang Yunani aku jadi orang Yunani”, bukankah jadi tidak ada bedanya?? Tidak. Justru di situ Paulus berbeda, tapi berbeda untuk merangkul; karena pada zaman itu orang Yunani, ya, maunya jadi Yunani, dan orang Yahudi, ya, maunya jadi Yahudi. Kalau ada orang Yahudi di tengah-tengah Yunani, dia tidak bakal mau melepaskan/mengurangi ke-yahudiannya; sementara orang Yunani yang ada di tengah-tengah Yahudi, dia ogah ikut-ikutan kebiasaan Yahudi. Sampai sekarang pun demikian. Jadi, dengan Paulus mau menjadi sama dengan orang Yahudi di tengah-tengah orang Yahudi, dan sama dengan orang Yunani di tengah-tengah orang Yunani, malah di situlah justru perbedaannya. Dan ini bukan sekedar berbeda tok, juga bukan cuma mengundang tok; ini berbeda, demi mengundang.
Itu sebabnya, kalau kita kembali kepada etika Kerajaan Allah dalam Khotbah di Bukit –kalau ditampar pipi kanan maka kasih pipi kiri, kalau diminta baju maka kasih jubah, kalau disuruh jalan 1 mil maka jalan 2 mil—etika Kerajaan Tuhan itu tidak pernah benar-benar mengenai apa yang benar atau apa yang adil, melainkan apa yang menarik. Di mana keadilannya kalau ditampar pipi kanan lalu kasih pipi kiri, kalau diminta baju lalu kasih jubah?? Tidak ada. Semua ini diberikan bukan karena inilah yang benar, prinsip universal, yang kamu harus tuntutkan ke orang lain juga –tidak begitu. Ini hanya bagi engkau, umat Allah. Ini bukan sebagai standar universal, tapi ini adalah demi semua orang, supaya mereka melihat kamu berbeda, dan dengan demikian kamu menarik di mata mereka, sehingga mereka dibawa kembali kepada Tuhan melalui kamu. Khotbah di Bukit tersebut baru masuk akal kalau Saudara pakai kacamata seperti ini.
Relasi antara Yahweh dan umat-Nya itu, tidak pernah tanpa dimensi bangsa-bangsa lain. Itu sebabnya, belakangan mengenai Yesus Kristus, kita mengatakan Dia adalah Imam Besar. Tapi seringkali lagi-lagi ujungnya cuma mengenai Dia dan saya; kita mengatakan, “Yesus itu Imam Besar, maksudnya Dia jadi Imam/Pengantara antara Allah dengan saya; Dia Imam Besar karena bukan cuma imam yang mempersembahkan korban, tapi Dia sendiri menjadi korban bagi saya”. Ini tidak salah, tapi kita lupa kelanjutannya. Kelanjutannya adalah Saudara dipanggil menjadi tubuh Kristus. Itu berarti Saudara dipanggil menjadi imam bagi orang lain, bagi orang yang belum mengenal Tuhan. Itu sebabnya Kristus adalah Imam Besar, bukan hanya karena Dia menjadi Imam bagi Israel dan kita, melainkan karena Dia menjadi Imam sebagai Israel dan kita; Kristus menjalankan apa yang Israel dan kita gagal jalankan. Israel harusnya jadi bangsa yang terpilih, kerajaan imam, bangsa yang kudus, supaya lewat mereka dunia dibawa kepada Tuhan. Mereka gagal. Maka Yesus datang menjalankan hal itu, bukan cuma bagi mereka dan bagi kita, tapi sebagai mereka dan sebagai kita. Oleh karena ketaatan-Nya, orang dari segala bangsa boleh melihat kepada Yesus, tertarik melihat Terang Dunia yang begitu menarik itu, dan dimenangkan. Ini yang menjadi tantangan kita.
Selama ini Saudara pikir apa maknanya Imam Besar? Urusannya sampai kepada dimensi ‘mereka’ atau cuma pada dimensi ‘kita’ tok –saya dan Tuhan, saya dan Tuhan? Inilah yang membuat kita selama ini hidup santai dan aman sekali sebagai orang Kristen, seakan-akan tidak perlu ada perubahan besar, kecuali kalau mau menyerahkan diri jadi hamba Allah. Pendeta David Tong mengatakan, dia beberapa kali bertemu dengan anak-anak muda yang menggumulkan panggilan menjadi hamba Tuhan. Mereka biasanya bertanya seperti ini: “Pak, bagaimana saya tahu saya sungguh-sungguh dipanggil menjadi hamba Tuhan?” Pak David menjawab dengan bijaksana: “Kamu dulu menggumulkan kuliah di bidang yang sekarang, bagaimana caranya? Kamu kerja dalam pekerjaan yang sekarang, bagaimana caranya?” Di situ mereka tersentak –demikian juga kita—karena kita mulai sadar, bahwa selama ini kita pikir urusan mau kuliah bidang apa atau kerja pekerjaan apa, itu hal yang tidak perlu bergumul, itu urusan kemauan saya, atau kemauan orangtua saya, atau urusan uang dsb.; sementara ketika kita merasa ada panggilan masuk STT, baru merasa ini perlu ada perubahan besar!
Saudara dan saya adalah tubuh Kristus, tubuh dari Sang Imam Besar itu. Israel dipanggil menjadi terang dunia, dan gagal; Yesus menjalankan apa yang Israel tidak sanggup lakukan. Dan sekarang, Saudara dan saya dibuat menjadi bagian dari tubuh Kristus; bukankah ini harusnya akan berdampak besar? Karena inilah yang membuat Saudara dan saya dipanggil menjadi imam bagi orang-orang dunia itu. Apakah selama ini kita pikir kalau Kristus jadi Imam, itu cuma Imam-nya kita tok, tapi kita tidak pernah sadar, bahwa sebagai tubuh Kristus kita dipanggil menjadi imam bagi orang-orang dunia?
Ini bukan panggilan yang baru muncul di Perjanjian Baru. Waktu manusia diciptakan oleh Tuhan, caranya adalah dengan bahan-bahan dari bumi, kemudian diberi nafas kehidupan dari surga. Maknanya, sejak awal kita adalah makhluk yang dicipta untuk menjadi pengantara antara dua dunia, surga dan bumi. Sejak awal, desain kita adalah untuk menjadi pengantara. Mari kita membaca 1 Ptr. 2: 9-12 dengan kacamata yang baru kita bahas ini; “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus “ –ini jelas kutipan dari Keluaran 11– selanjutnya: “umat kepunyaan Allah sendiri”, supaya apa? Supaya kamu jadi bangsa yang diam-diam sendiri pokoknya kerohanian sendiri naik terus dan tidak peduli semua yang lain? Tidak; melainkan: “supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib: kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan.” Selanjutnya: “Saudara-saudaraku yang kekasih, aku menasihati kamu, supaya sebagai pendatang dan perantau , kamu menjauhkan diri –artinya hiduplah berbeda– dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa. Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi,” supaya apa? Supaya kamu lebih suci? Supaya kamu bisa hidup sendiri? Supaya Tuhan lebih sayang kamu? Tidak, melainkan: “supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka” –dimensinya selalu ‘ke luar’.
Saudara, bagaimana jika inilah yang Lukas mau beritahukan kepada kita sebagai tujuan utama turunnya Roh Kudus bagi kita? Ternyata, tujuan turunnya Roh Kudus kepada kita itu, bukan bagi kita tok, bahkan bukan bagi Allah tok, tapi selalu bagi mereka. Arahnya selalu ke luar. Tujuannya adalah supaya lewat hidup kita yang berbeda, orang lain dimenangkan bagi Tuhan, Kerajaan Tuhan berkembang. Tapi seringkali orang Kristen membahas bagian ini sebagai cuma salah satu poin dari banyak poin yang lain, padahal ini bukan salah satu dari 7 atau 9 atau 12 poin; ini adalah tujuan yang mendasari semua tindakan hukum, semua relasi yang Tuhan berikan kepada kita. Dan kita seringkali lupa akan hal ini.
Kita kadang-kadang gampang menganggap rendah orang-orang dari gereja lain, yang katanya Kristen tapi datang kepada Tuhan untuk cari mujizat, bukan mencari Sang Sumber mujizat. Kita bilang mereka salah fokus; fokus kepada mujizat dan bukan kepada Sumbernya. Pertanyaannya, demi apa Saudara datang ke GRII? Saya tidak tahu alasan Saudara, tapi alasan saya datang ke GRII adalah karena GRII memberikan saya jawaban, memberikan saya pengetahuan, memberikan saya berbagai macam logika yang menjawab berbagai kebingungan saya. Di sini kelihatan alasannya beda, orang lain cari Ferrari –mujizat kesembuhan dsb.– sedangkan kita cari pengetahuan akan Allah; tapi sebenarnya secara esensi ujungnya sama saja, ujungnya tetap ke dalam, ke diri pribadi, individual. Lalu apa bedanya??
Mungkin kita bilang, “Saya belajar pengetahuan supaya saya bisa ke luar menginjili orang lain.” Tapi Saudara musti pikir satu hal, apakah benar untuk membuat orang tertarik kepada Tuhan caranya adalah dengan melempar kepada dia segudang doktrin?? Kecenderungan orang Reformed waktu PI ke rumah sakit, bicaranya doktrin. Bapak tahu ‘gak Allah Tritunggal artinya apa? Bapak tahu ‘gak wahyu umum dan wahyu khusus? Bapak tahu ‘gak Dwi-natur Kristus? dsb., dsb. Ini mengerikan. Apa benar Saudara dapat doktrin tersebut maksudnya untuk bicara seperti itu kepada orang?? Kalau tujuan Saudara benar-benar fokus kepada orang lain, mungkin Saudara tidak akan pakai cara itu.Seringkali kita sebagai orang Kristen kurang imajinasi; kalau kita mau tampil beda untuk “mengiklankan” Tuhan, kita cuma punya logika-logika yang berbeda untuk diberikan kepada orang lain. Kita cuma bisa menunjukkan Alkitab ini luar biasa indah, doktrinnya begini begitu –itu saja.
Satu kali seorang wanita datang ke gerejanya Pendeta Tim Keller, di Amerika. Pendeta Tim menyapa, “Halo, apa kabar?” Lalu wanita ini mengatakan, “Saya bukan orang Kristen, tapi saya ingin tahu mengenai Kekristenan.” Mengapa bisa begitu? Wanita ini cerita bahwa dirinya karyawan satu perusahaan, dan dia bersama beberapa orang dibawahi oleh seorang supervisor. Di dunia perkantoran seperti itu, adalah biasa kalau dalam suatu proyek salah satu anak buah berhasil, maka si supervisor akan lapor kepada bos-nya sebagai keberhasilan dirinya; sebaliknya, kalau anak buah melakukan kesalahan, supervisor akan bilang itu salahnya si anak buah. Wanita tadi selanjutnya mengatakan, “Saya melakukan kesalahan yang sangat fatal, tapi waktu supervisor saya melapor kepada bos, dia mengatakan, ‘Ini proyek saya, jadi kesalahan dan keberhasilannya adalah karena saya; saya yang salah, maka hukum saya, jangan hukum anak buah saya’”. Dia lalu datang kepada supervisornya, marah-marah, “Mengapa kamu melakukan ini? Maunya apa?? Pasti ada sesuatu di belakang ini ‘kan” –curiga. Dia mendesak terus. Akhirnya supervisor itu bilang, “Saya orang Kristen, dan Allah saya sudah lebih dahulu mengambil kesalahan-kesalahan saya, membayarnya dengan kesucian-Nya, maka saya harus hidup seperti Dia.”
Saudara tidak usah terlalu pusing soal logika, doktrin, wahyu umum, wahyu khusus –itu tentunya penting, di kelas katekisasi saya sangat serius mengajar doktrin—tapi itu bukan segala-galanya. Orang Kristen hari ini seperti tidak sadar akan panggilan dalam aspek ini; urusannya hanya mengenai bagaimana saya mengisi diri, bagaimana saya lebih tahu, dan semakin tahu lebih banyak, lalu ujungnya –kalau orang lain juga kecipratan berkat—waktu PI ke rumah sakit saya akan kasih tahu dia apa yang saya pelajari itu. Tidak begitu, Saudara. Dari desain awalnya, tujuan tidak pernah demi kita, bahkan bukan demi Allah! Tetapi demi orang-orang yang bukan umat Allah.
Banyak dari kita datang tepat waktu untuk mendengar kotbah. Ini sudah membongkar alasan kita datang ke GRII. Seringkali kita pikir, langkah pertama untuk benar-benar masuk ke dalam kerohanian yang sejati, kerohanian yang Alkitabiah, adalah ketika kita ingin tahu lebih mengenai Allah, ingin tahu lebih mengenai iman Kristen dsb. Tidak tentu, Saudara. Waktu Saudara menginginkan pengetahuan akan Allah, tidak tentu Saudara mengasihi Allah. Saya bisa tahu banyak mengenai Obama –warna kesukaannya, makanan kesukaaannya, dsb.– tapi itu tidak berarti saya mengashi dia atau punya relasi dengan dia. Mungkin, langkah pertama kerohanian sejati dalam Alkitab, bukanlah kita melangkah kepada Allah; langkah pertama yang sejati adalah kita melangkah keluar kepada orang lain, karena Allah juga melangkah keluar dari diri-Nya.
Saya akan menutup dengan satu contoh. Pernah terdengar ada pengkotbah GRII mengatakan dalam kotbah di penguburan bahwa orang Kristen tidak boleh menangis. Menurut saya ini kebablasan, karena hal tersebut tergantung menangisnya karena apa; dan kita tahu, waktu Lazarus meninggal lalu Tuhan Yesus datang mengunjungi Maria dan Marta, dicatat bahwa Tuhan Yesus menangis. Ketika Maria dan Marta menghadapi tragedi kehilangan saudaranya itu, mereka mengatakan, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” Yesus hampir tidak bisa berkata-kata, Dia cuma bisa berespons, “Di mana kamu baringkan dia?” Lalu ayat berikutnya mencatat dengan sangat singkat namun dengan kalimat yang sangat dalam, ‘maka menangislah Yesus’. Ini sebuah reaksi yang mengejutkan karena dalam situasi seperti ini Tuhan Yesus punya 2 hal yang tidak kita miliki. Pertama, Dia tahu mengapa dan untuk apa semua ini terjadi, Dia tahu bahwa sebentar lagi –mungkin tidak sampai setengah jam– Dia akan mengubah tangisan menjadi ketakjuban, Dia akan menyatakan kemuliaan Tuhan lewat semua ini. Kita tidak punya pengetahuan ini, tapi Dia punya. Pertanyaannya, mengapa Dia tetap menangis? Hal kedua, Dia punya kuasa –yang kita tidak punya. Dalam situasi ini Dia bisa melakukan sesuatu, sedangkan kita tidak –dan Dia benar-benar melakukannya. Pertanyaannya, mengapa Dia menangis? Mengapa Dia tidak langsung datang kepada Maria dan Marta dengan senyum tersungging dan bergumam, “Tunggu deh… lihat sebentar lagi deh… .“ Kalau Saudara dan saya bisa melakukan sesuatu untuk memutarbalikkan situasi tragis, apakah kita akan membiarkan diri kita termakan oleh dukacita seperti Tuhan Yesus dan tenggelam dalam isak tangis serta ratapan? Tentu tidak. Lalu mengapa Tuhan Yesus tetap melakukannya? Mungkin kita curiga Dia ada ketidakwarasan atau entah apa. Tapi tidak. Semua ini justru karena Dia sempurna. Karena Dia adalah kasih. Dan itu berarti Dia tidak akan pernah menutup hati-Nya terhadap dukacita orang lain –meskipun hanya untuk setengah jam. Tidak ada sedikit pun ruang dalam diri Tuhan Yesus untuk mengatakan ‘tidak ada gunanya Saya ikut-ikutan merasakan perasaan-perasaan manusia yang bodoh dan tidak tahu apa yang akan terjadi setengah jam ke depan ini’. Yesus itu arah hidup-Nya selalu ‘ke luar’.
Di Hari Pentakosta, dalam perenungan kita akan turunnya Roh Kudus, mari kita renungkan apa sebenarnya arti menjadi orang-orang yang memiliki Roh Kudus, yang oleh Petrus dan Paulus disebut sebagai Roh Kristus, yang harusnya mengubah kita menjadi serupa dengan Anak Allah. Satu hal Saudara bisa tanyakan pada diri, arah hidup Saudara itu ke dalam atau ke luar?
Satu aplikasi singkat, Saudara berdoa untuk apa? Dalam Persekutuan Doa kita, biasa dimulai dengan Firman Tuhan, dan semua orang duduk menghadap ke dalam; lalu waktu berdoa, kita balik badan, berlutut menghadap ke luar. Tapi yang ironis, doa-doanya semua ‘ke dalam’. Yang kita doakan mengenai hidupnya kita, orang-orang sakitnya kita, anak-anaknya kita, program-programnya kita, gerejanya kita, kebaktiannya kita. Tidak berhenti di situ, waktu Sri Lanka terjadi bom meledak, kita berdoa bagi korban-korbannya teroris tapi tidak berdoa bagi terorisnya. Waktu kita mengatakan “mari berdoa bagi bangsa dan negara”, kita sebenarnya berdoa bagi keamanan dan kenyamanan kita yang hidup di bangsa negara ini. Kapan kita berdoa bagi orang-orang miskin di negara ini, bagi anak-anak yang tidak bisa sekolah? Kapan kita berdoa bagi preman-preman yang menyebalkan? Ini satu hal yang membongkar kita.
Satu contoh yang menyakitkan, ketika datang ke kebaktian penghiburan, kita hampir tidak pernah mendoakan orang-orang di ruangan sebelah kiri dan kanan yang juga berduka, yang juga butuh penghiburan Tuhan Yesus. Kita –paling tidak saya—merasa mereka itu mengganggu, kebaktiannya pakai kentongan drum dsb., sehingga kebaktian kita hancur. Itulah yang seringkali terjadi. Saya bukan mau menghakimi Saudara, di sini kita sama-sama dihakimi Firman Tuhan.
Coba Saudara bayangkan kalau masuk ke suatu gereja, lalu mendengar panggilan berdoa yang bukan hanya untuk sinodenya sendiri tapi untuk sinode-sinode yang lain, bukan cuma bagi orang-orang kita yang sakit tapi juga orang-orang yang menyakiti kita, bukan cuma untuk program gereja kita tapi untuk juga program gereja-gereja lain. Berdoa bukan cuma bagi korban kerusuhan, tapi juga bagi para perusuh dan provokator. Berdoa bukan hanya bagi tempat kita di bangsa dan negara ini, tapi sungguh-sungguh bagi bangsa dan negara ini. Berdoa bukan cuma untuk kita yang berduka, tapi juga bagi mereka yang lain yang berduka. Kalau saya masuk satu gereja dan mendengar panggilan-panggilan berdoa seperti ini, saya akan mengatakan, “Sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu.” Dan, apa yang kita katakan kalau kita menemukan gereja yang doanya setiap Minggu cuma soal kita, kita, dan kita lagi??
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading