Ada satu tantangan tersendiri untuk mengkhotbahkan “Khotbah” di dalam khotbah. Gereja bukan menunjuk kepada dirinya sendiri, pengkhotbah bukan menunjuk kepada dirinya sendiri, sehingga demikian juga khotbah harusnya bukan menunjuk kepada dirinya sendiri, melainkan kepada Kristus. Itu sebabnya ada kesulitan tersendiri waktu kita membahas “Khotbah” di dalam khotbah; dalam hal ini kita tidak boleh kehilangan perspektif Kristologis. Dan di dalam perspektif Kristologis inilah, kita membahas teologi Khotbah.
Beberapa ayat sebagai pendasaran dari apa yang akan kita renungkan, yaitu dari:
- Mazmur 19: 9-10 (10-11), “Takut akan TUHAN itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum TUHAN itu benar, adil semuanya, lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah.”
- Mazmur 119: 103, “Betapa manisnya janji-Mu itu bagi langit-langitku, lebih dari pada madu bagi mulutku.”
- Lukas 8:18, “Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya.”
Waktu membicarakan teologi Khotbah di dalam khotbah seperti ini, kita membicarakannya di dalam perpsektif Doktrin Kristus, karena khotbah yang baik, yang berkenan kepada Tuhan, adalah khotbah yang membawa kita untuk bisa melihat kemuliaan Kristus. Kalau kita tidak melihat kemuliaan Kristus, tidak melihat keindahan Kristus, itu artinya khotbah yang tidak membawa ke mana-mana, mungkin sekedar ajaran-ajaran moral belaka, nasehat-nasehat klise yang membosankan, dsb. Liturgi harusnya membawa kita untuk berjumpa dengan Pribadi Kristus.
Lagu yang hari ini kita nyanyikan, “Tuhanku Yesus” (Fairest Lord Jesus), sangat indah. Lagu dari Munster Gesangbuch ini seingat saya dari tahun sebelum reformasi; jadi ini lagu di dalam tradisi yang ketika membicarakan keindahan, pembicaraannya tidak terlalu skeptis dan kritis. Di zaman Medieval itu, waktu orang membicarakan keindahan, mereka bisa bicara tentang keindahan alam, bintang, matahari, sawah dan ladang (dalam konteks Indonesia), yang kemudian jadi jembatan untuk kita melihat keindahan Kristus. Keindahan bukan dianggap sebagai sesuatu yang bisa membawa kita kepada penyembahan berhala, yang mendistraksi kita dari melihat Kristus. Inilah sebabnya dalam Gereja Protestan sangat minim dekorasi, tidak ada ikon, tidak ada lukisan, dsb., karena ada laten ketakutan bahwa keindahan dunia ini bisa mengaburkan kita dari melihat keindahannya Kristus. Sedangkan lagu dari era Pra-reformasi –seperti lagu “Tuhanku Yesus” ini– waktu bicara tentang keindahan dari dunia ciptaan Tuhan, itu menjadi suatu jembatan, dan bahkan direlativisasi, seperti kita lihat di dalam syairnya “lebih indah Tuhanku Yesus”. Yesus justru terlihat lebih indah melalui pengalaman kita melihat keindahan dunia ini; bukan dengan tidak adanya keindahan, saya jadi bisa melihat keindahannya Kristus.
Dimensi estetik ini penting sekali. Seperti yang kita baca di dalam Mazmur 19 dan 119 tadi, di situ bicara tentang estetik; dikatakan “lebih manis daripada madu, lebih indah daripada emas tua”. Tanpa dimensi keindahan ini –termasuk juga waktu kita mendengarkan khotbah– khotbah hanya jadi sebuah deklarasi, informasi, transfer pengetahuan, dst. Dan ini menakutkan; karena seperti dikatakan oleh beberapa filsuf, kalau kita tidak hati-hati, pengetahuan bisa dipakai untuk menindas orang lain. Dengan adanya pengetahuan, dengan kita lebih well informed, kita bisa menggunakan itu untuk menghina orang lain, merendahkan orang lain, bahkan meng-konfirmasikan status kita sebagai yang lebih tahu —alias sok tahu— dan membuat kita akhirnya masuk ke dalam suatu keadaan yang tidak bisa mengenal Kristus, karena Kristus itu tidak bisa tanpa aspek keindahan. Jadi aspek ini penting, bahwa Firman Tuhan bukan cuma dibicarakan kebenarannya saja, presisinya saja –meski bukan tidak penting– tapi juga dimensi estetiknya, sesuatu yang kita kecap (taste), sesuatu yang kita juga rasakan. Bukan cuma sesuatu yang kita mengerti secara otak, tapi juga yang kita rasakan dengan panca indra kita.
Hari ini kita ada Perjamuan Kudus; dan Perjamuan Kudus itu melibatkan indra kita. Aneh sekali kalau dalam Perjamuan Kudus kita malah sibuk membicarakan penjelasan intelektual belaka tentang arti Perjamuan Kudus, karena yang terjadi di dalam Perjamuan Kudus sebetulnya justru Tuhan mau melibatkan jasmani kita, dengan Saudara makan roti dan minum anggur itu. Calvin di dalam penjelasannya tentang Perjamuan Kudus, bahkan juga membicarakan bau roti dan bau anggurnya, karena memang ada tempat untuk ini, ada dimensi estetik di sini. Kita mau mengaplikasikam hal ini juga di dalam mendengarkan khotbah. Waktu mendengar khotbah, kalau tidak ada dimensi kekaguman akan beauty of Christ, glory of Christ, sweetness of Christ, lalu bagaimana sebenarnya cara kita mendengar khotbah?? Di dalam Lukas 8 tadi, Tuhan Yesus mengatakan “perhatikan cara kamu mendengar”.
Tentu saja kita juga bisa membicarakan soal dimensi yang lain dalam mendengarkan khotbah; misalnya kalau pengkhotbahnya jelek tidak ada isinya bagaimana, kalau pengkhotbahnya mutar-mutar bagaimana, kalau lebih banyak ceritanya daripada penggalian Firman Tuhan-nya bagaimana. Jika demikian, memang itu problem lain. Tapi dalam hal ini, kita bicara tentang liturgi kehidupan, tentang bagaimana Saudara mendengar Firman Tuhan. Kita berharap Liturgi yang terjadi pada hari Minggu, hadir juga di dalam kehidupan kita sehari-hari. Di sini Tuhan Yesus bukan menekankan tentang isi khotbahnya, melainkan cara kita mendengar.
Dalam Lukas 8 yang kita baca itu, bagian sebelumnya bicara perumpamaan tentang pelita (ayat 16-17), sama seperti yang dibahas oleh Matius tentang garam dunia dan pelita dunia, hanya saja di dalam Lukas tidak ada pembicaraan tentang “garam”. Tetapi setting in book tentang pelita ini, di dalam Lukas bukan ditaruh setelah Sabda Bahagia, padahal dalam Injil Lukas juga ada Sabda Bahagia. Lukas harusnya bisa juga melatakkan pembicaraan tentang pelita ini setelah Sabda Bahagia, tapi Roh Kudus tidak memimpin dia untuk menaruhnya di sana; Roh Kudus memimpin Lukas untuk menaruhnya setelah perumpamaan penabur. Di sisi lain, Injil Matius juga bukan tidak ada perumpamaan penabur, tapi Matius tidak digerakkan Roh Kudus untuk menaruh pembicaraan tentang pelita setelah perumpamaan penabur. Jadi, di dalam pembacaan Alkitab bukan cuma isi message-nya yang penting, tapi urutannya sendiri juga merupakan message. Tentu Saudara tahu cerita tentang perumpamaan penabur, termasuk penjelasan Kristus kepada murid-murid-Nya; di dalam hal ini versi Matius maupun Lukas sama, mulai dengan perumpamaannya lalu penjelasan arti perumpamaan itu. Kemudian ada kutipan yang terkenal dari Yesaya yang mengatakan tentang ‘mendengar tapi tidak mendengar, melihat tapi tidak melihat’. Motif ‘mengeraskan hati’ (hardening motif) ini dipakai secara tepat oleh Tuhan Yesus, karena Yesus juga sudah pernah mengajar mereka, tapi mereka ini adalah orang-orang yang mengeraskan hati, tidak mau mendengarkan, cara mendengarkannya salah —yaitu dengan mengeraskan hati— sampai kemudian Yesus mengutip hardening motif dari Yesaya.
Selanjutnya perhatikan, segera setelah itu, Lukas mencatat perumpamaan tentang pelita. Apa isinya? Yaitu bahwa pelita itu tidak ditutupi, tidak diletakkan di bawah tempat tidur melainkan di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah bisa melihat cahayanya; tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan. Ini menunjuk kepada apa? Menunjuk kepada perumpamaan tentang penabur yang di bagian sebelumnya tadi. Jadi jangan menyalahkan Tuhan, “Tuhan pakai perumpamaan sih, sengaja menutupi”; baca lagi ayat 17: “tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan”. Dari sisi Tuhan, Sang Pemberi Firman –bahkan Sang Firman– tidak ada yang ditutupi. Lalu kalau tertutup juga, itu kenapa? Kenapa di perumpamaan tentang penabur ada 4 jenis orang, lalu 3 orang yang pertama lewat dan cuma orang yang ke-4 yang berbuah? Jawabannya ada di ayat 18 yang kita baca tadi: “Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar.” Ini bukan tentang pembahasan Firman Tuhan-nya menarik atau tidak menarik, retorikanya bagus atau kurang persiapan, dsb. –lagipula Yesus tidak pernah kurang persiapan, jadi tidak ada persoalan dari diri Yesus– tidak ada persoalan tentang penyampaiannya, persoalannya ada pada cara manusia mendengar Firman Tuhan.
Firman itu sendiri limpah sekali, tapi bagaimana cara Saudara dan saya mendengarkan, itulah yang jadi persoalan dalam kehidupan kita. Dan seperti poin yang kita bahas di awal tadi, jangan mendengar tanpa dimensi estetik, jangan mendengar tanpa telinga, jangan mendengar tanpa melibatkan panca indramu, jangan mendengar tanpa engkau dibawa kepada kekaguman itu. Ada orang yang mendengar, tapi mendengar dengan berpikir keras, semuanya dengan cara pendekatan intelektual; dan terus terang saja, Reformed sangat rentan akan hal ini. Namun seperti sudah berkali-kali dikatakan, kita tidak tertarik dengan pengajaran yang cuma intelektual belaka. Bukan berarti tidak ada dimensi intelektual sama sekali, tapi yang intelektual belaka kita tidak tertarik karena itu bukan yang dilakukan oleh Kristus. Khotbah-khotbah yang sekedar intelektual, enlightening, insightful, tapi tidak menggerakkan hati kita, berarti itu bukan perjumpaan dengan Yesus Kristus. Saudara baca catatan Matius setelah Yesus selesai khotbah di bukit, pendengar-Nya takjub. Aspek ini penting; Yesus mengatakan “perhatikan cara kamu mendengar”.
Itu sebabnya kita tidak mungkin membahas teologi Khotbah tanpa Kristologi. Sebagaimana waktu membahas tentang Paduan suara kita mengaitkannya dengan jabatan-rangkap-tiga Kristus, di sini kita juga bisa mengaitkannya, khususnya dengan ‘jabatan nabi’. Dalam Katekismus Heidelberg, pertanyaan nomor 31, jabatan nabi ini dikaitkan dengan Kristus yang reveals the secret counsel and will of God concerning our deliverance.Yesus menyatakan pertimbangan-pertimbangan Ilahi yang tersembunyi itu, menyatakan kehendak Allah –dan yang hari ini mau saya tekankan: berkenaan dengan pembebasan kita.Ini mengingatkan kita akan perkataan Yesus yang dicatat oleh Yohanes: “the truth will set you free” (kebenaran itu akan memerdekakan kamu).
Setiap kali kita mendengarkan khotbah, kita dimerdekakan. Kalau ada orang yang mendengarkan khotbah lalu bolak-balik lihat jam, menjadi panik, tidak sabar, ini berarti dia tidak mengerti, dia mendengarkan dengan salah. Sesuatu yang membebaskan malah dia anggap memenjarakan; jadinya bukan concerning our deliverance melainkan concerning our imprisonment (pemenjaraan), enslavement (perbudakan), atau entah apa lagi. Dalam hal ini kita tidak membicarakan kualitas khotbahnya –kita asumsikan khotbah yang baik, khotbahnya Yesus Kristus yang sudah pasti limpah dan tidak kering– tapi persoalannya ada pada Saudara dan saya waktu mendengarkan Firman Tuhan, kita tidak melihatnya sebagai sesuatu yang membebaskan, alias kita tidak sadar boundage yang mengikat kehidupan kita ini sebetulnya apa. Kita merasa diri kita bebas, kita mirip seperti pendengarnya Yesus Kristus yang dicatat oleh Yohanes: “kami ini bukan budak siapapun, kami ini merdeka; Kamu bilang kebenaran memerdekakan kamu, memangnya kita tidak merdeka??” Mereka merasa merdeka, padahal di dalam kehidupannya mereka diperbudak –demikian juga kehidupan Saudara dan saya.
Memang kita sudah dibebaskan secara status, tapi secara kondisi kita masih terus bergumul melawan kedagingan dan berhala-berhala, yang terhadapnya kita masih tidak kebal. Kita kadang-kadang tidak bisa betul-betul bebas dari hal itu. Kadang-kadang kita menaruh dan membangun identitas kita di sana, jadi berarti masih ada keterpenjaraan di sana. Memang secara kondisi kita masih tercemar, kita bergumul untuk keluar dari sana. Tapi kita tidak bisa keluar dengan kekuatan kita sendiri; dan di sinilah ketika Firman itu diberitakan, kebenaran itu akan memerdekakan kamu, the truth will set you free. Jadi di sini kita bicara tentang dimensi kebebasan; kita mendengar Firman Tuhan dengan benar, kalau ketika mendengar kita merasakan hidup ini diberi kekebasan oleh Tuhan, berhala-berhala bisa kita tanggalkan. Tapi kalau kita mendengarnya secara salah, maka kita menganggap kebenaran itu menekan, jadi malah merasa diteror oleh Firman Tuhan, merasa seperti disuruh-suruh. Firman Tuhan jadi bukan sesuatu yang membebaskan kita, tapi malah mencekik kita; ini berarti kita mendengarkan dengan salah. Yesus mengatakan “perhatikan cara kamu mendengar”.
Perhatikan cara kamu mendengar Firman Tuhan, perhatikan cara kamu merenungkan Firman Tuhan. Kamu melihat ini sebagai siksaan, atau sesuatu yang membebaskan? Kita ada kerinduan atau tidak, untuk mendapatkan kebebasan seperti ini? Kita merasa atau tidak, bahwa dalam kehidupan ini memang kita dikuasai oleh banyak boundage yang kita masih harus keluar daripadanya? Kalau kita mengerti poin ini, maka setiap kali kita mendengarkan Firman Tuhan –bahkan sebelum mendengarkan Firman Tuhan– kita akan menantikan berita pembebasan ini. Saudara bisa bayangkan bangsa Israel waktu dibebaskan keluar dari Mesir, berapa sukacitanya mereka, tapi sayang tidak lama setelah itu, ketika di padang gurun, bisa-bisanya mereka kepingin balik ke Mesir. Ini berarti apa? Ini menyatakan kehidupan manusia yang tidak sadar, tidak bisa meghargai kebebasan yang diberikan oleh Tuhan, kebebasan itu bisa-bisanya ditukar dengan keterpenjaraan, ‘tidak apa-apa saya masuk ke dalam belenggu Mesir lagi, pokoknya bisa makan daging’. Betapa kacau keadaan manusia. Keadaan Israel itu seperti keadaan Saudara dan saya; kita bisa tidak menghargai kekebasan yang Tuhan berikan, kita lebih memilih keterikatan terhadap dosa, kita lebih memilih keterikatan terhadap berhala-berhala yang kita tidak rela melepaskannya. Kita seperti menikmati keterpenjaraan itu. Tetapi Yesus mengatakan: “kebenaran itu akan memerdekakan kamu; perhatikan cara kamu mendegar”.
Berbicara tentang khotbah, kita membicarakannya dengan perspektif ganda. Di satu sisi, kita musti membicarakannya secara high view (memandang tinggi khotbah); tapi di sisi lain kita juga akan membahas keterbatasan (limitation) dari khotbah. Ini penting, karena dalam tradisi Protestan atau Reformed, kita menaruh Khotbah setinggi-tingginya. Memang ini wajar, tapi kita musti mengerti bahwa dalam keseluruhan Liturgi, Khotbah bukan berdiri sendiri, tapi bersama dengan semua yang lain, bukan tanpa Doa, bukan tanpa Menyanyi, bukan tanpa Pengakuan Dosa, dan juga bukan tanpa Sakramen Perjamuan Kudus.
Kita akan membahas lebih dulu pandangan yang tinggi (high view) tentang Khortbah. Seorang teolog modern yang pernah menulis buku tentang Khotbah, P. T. Forsyth, membahas tentang dimensi sakramental dari Khotbah, (membahas Khotbah dari perspektif Sakramen). Dia mengatakan: “It is only such an age that could think of preaching as something said (sesuatu yang dikatakan) with more or less force, instead of something done (sesuatu yang dikerjakan) with more or less power. … In true preaching, as in true sacrament, more is done than said. … The preacher is a man of action. … That is why I call him a sacramental man, not merely an expository, declaratory man. In a sacrament is there not seomething done, not merely shown, not merely recalled? It is no mere memorial.” Kita bisa mengomentari beberapa hal dari perkataan Forsyth ini, tapi intinya yang sangat penting yaitu bahwa Khotbah adalah sesuatu yang dilakukan Tuhan bagi kita, bukan cuma dikatakan; inilah artinya dimensi sakramental dari Khotbah.
Di dalam Perjamuan Kudus, tentu Saudara tidak mengharapkan pendetanya menjelaskan panjang sekali, karena bisa jadi membingungkan, ‘ini Sakramen atau Khotbah lagi??’ Aneh sekali kalau waktu Sakramen, pendetanya terus-menerus berkata-kata menjelaskan, tidak bisa hening. Itu artinya hamba Tuhan tersebut tidak mengerti apa artinya Sakramen. Sakramen bukanlah sesuatu yang didengarkan, melainkan dilihat. Dalam hal ini, para reformator jelas sekali menyebut Sakramen sebagai the visible Word. Khotbah adalah Firman yang didengarkan, sedangkan Sakramen adalah Firman yang dilihat, tapi kalau hamba Tuhan menjadikannya Khotbah lagi, jadi kacau, karena orang tidak diberikan tempat untuk melihat, untuk mengecap, lalu dipaksa mendengar perkataan lagi. Ada sesuatu yang indah di dalam Sakramen, yang melengkapi Khotbah. Dan di sini Forsyth justru mengajak kita untuk bisa melihat keindahan ini juga diterapkan di dalam Khotbah. Sebagaimana dalam Sakramen Saudara bukan mendengar tapi menyaksikan perbuatan Tuhan yang diberikan kepada Saudara –tubuh-Nya yang sudah dipecah bagi Saudara, darah-Nya yang sudah dicurahkan, yang membuka Perjanjian Baru bagi kita– maka Forsyth mengajak kita untuk melihat apa yang Tuhan lakukan di dalam/ melalui Khotbah, alih-alih cuma mendengar sesuatu yang dikatakan. Memang kita mendengar sesuatu, tapi kalau cuma ini saja, jadi ada yang kurang. Kalau kita memandang Khotbah sebagai kesempatan duduk di ruang kelas dan mengharapkan insight-insight baru, maka kita tidak jauh beda dengan kebiasaan orang di Atena yang tidak ada waktu kecuali untuk mendengarkan sesuatu yang baru, sehingga kita akan mencari pengkhotbah-pengkhotbah yang bisa menghadirkan hal-hal baru. Tapi Khotbah bukan itu.
Khotbah terutama adalah apa yang Tuhan kerjakan bagi kita; ini sesuatu yang “sakramental”, seperti diajarkan oleh Forsyth. Jadi dalam hal ini, Khotbah bukan hanya memberikan kepada Saudara informasi-informasi baru, penambahan wawasan, dsb., melainkan terutama bahwa ini adalah tentang perbuatan Tuhan yang diberikan kepada Saudara dan saya. Inilah persisnya yang dimengerti oleh Maria dan tidak dimengerti oleh Marta, dalam cerita tentang Martha dan Maria; Maria mengerti bahwa waktu Yesus datang, Dia memberikan sesuatu, yaitu Firman, kepadanya, sedangkan Marta tidak mengerti ini, dia sibuk masak, sibuk mempersiapkan sesuatu untuk Yesus. Agama Kristen itu apa? Yaitu apa yang Tuhan kerjakan bagi kita, bukan membicarakan apa yang Saudara dan saya kerjakan bagi Tuhan, bagi dunia, bagi sesama, dsb. –bukan itu yang utama. Waktu kita mendengar Firman, Tuhan sedang mengerjakan sesuatu, Tuhan sedang melayani kita. Lalu kita, diajak menjadi pasif, menerima, dilayani, ditolong oleh Tuhan, membiarkan Tuhan memberkati kita –tidak seperti Marta yang buru-buru aktif, buru-buru mau melakukan sesuatu bagi Tuhan, tapi dia sendiri tidak terlebih dahulu ditolong oleh Tuhan.
Dalam Khotbah, keindahannya adalah: kita sedang dilayani oleh Tuhan, kita sedang diberkati oleh Tuhan. Dan tentu saja ini ada anti-Liturginya, karena liturgi di luar tidak mengajarkan seperti ini. Liturgi di luar mengajarkan bahwa identitas kita dibangun berdasarkan apa yang kita lakukan: bukan apa yang Tuhan lakukan bagi kita, tapi apa yang kita lakukan, bahkan bagi Tuhan, bagi Gereja, bagi sesama, bagi masyarakat, dst. –identitas kita dibangun di sana. Ini bentur dengan teologi Khotbah.
Sakramen, dalam perspektif Reformed bukanlah tentang saya mempersembahkan korban kepada Bapa. Perjamuan Kudus bukanlah saya mempersembahkan korban Kristus kepada Bapa, tapi Bapa memberikan Anak-Nya bagi kita. Ini bukan tentang aktifitas saya, tapi tentang aktifitas Allah yang memberikan kepada saya Anak-Nya yang tunggal. Di dalam Khotbah, seharusnya juga pengertian yang sama, ini adalah tentang bagaimana Tuhan memberikan, seperti juga Dia memberikan kepada Maria.
TuhanYesus mengatakan dalam cerita itu, “Marta, Marta, kamu menyusahkan diri dengan banyak perkara, tapi hanya satu saja yang perlu; Maria telah memilih bagian yang tidak akan diambil daripadanya”. Kalau kita kembali ke Lukas 8, di situ diakhiri dengan kalimat yang menakutkan: “siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya.” Ini bicara tentang apa? Yaitu tentang Firman dalam perumpamaan penabur tadi. Ini semua berkaitan. Cara Saudara mendengarkan, itu sangat menentukan apakah kita masih diberikan kesempatan mendengar Firman Tuhan atau tidak. Perbendaharaan Firman Tuhan ini bukan statis, ini bergerak; kalau kita menghagainya, Tuhan akan terus memberikan, tapi kalau kita salah mendengarkannya, apapun juga akan diambil dari kita. Orang yang dengan benar mendengarkan Firman, akan terus diberkati oleh Firman. Tapi orang yang salah mendengarkan Firman Tuhan, ya, sudah, Tuhan tidak harus memberikan Firman lagi kepadanya. Jangan Saudara pikir kita ini yang menentukan waktunya kapan kita mau mendengarkan Firman Tuhan.
Kembali ke perkataan Forsyth, dia mengaitkan Khotbah dengan Sakramen –dalam hal ini dengan Perjamuan Kudus– bahwa Khotbah adalah juga suatu penyajian spiritual delicacies; sebagaimana roti dan anggur diberikan kepada kita untuk dinikmati, demikian juga Khotbah. Panggilan hamba-hamba Tuhan adalah untuk menyajikan makanan yang lezat ini, jangan menyajikan makanan yang busuk, yang sudah 3 hari lalu dan dikerumuni lalat. Hamba-hamba Tuhan yang tidak mempersiapkan khotbah dengan baik, itu menghina Firman Tuhan. Panggilan Saudara sebagai pendengar, adalah menghargai spiritual delicacies ini sebagai sesuatu yang sungguh berharga, yang diberikan Tuhan kepada kita.
Para reformator seperti Luther, Zwingli, Calvin, tahu bahwa ini adalah harta yang sangat berharga, maka mereka begitu bersemangat membahas Firman Tuhan dengan segala kelimpahannya, karena mereka sendiri sangat diberkati oleh kelimpahan itu. Zaman dulu itu, orang membahas ayat-ayat Firman Tuhan menurut Kalender Gereja –yang memang ada juga keindahannya– tapi tidak ada khotbah yang komplit dari keseluruhan Alkitab. Zwingli tidak puas dengan itu, dia mengkhotbahkan seluruh Perjanjian Baru, kalau tidak salah dalam 6 tahun, di Grossmünster, Zurich. Calvin umurnya tidak terlalu panjang, tapi dia mengkhotbahkan hampir semua kitab-kitab dalam Kitab Suci; setiap hari dia ada Pemahaman Alkitab dan dia khotbah, belum lagi hari Minggu beberapa kali dia khotbah. Kita ini terlalu lambat, terlalu miskin, terlalu pelit dalam mengkhotbahkan Firman Tuhan; dalam hal ini kita tertantang, karena ada orang seperti Calvin yang menghargai Firman Tuhan seperti itu dan membagikannya di dalam segala kelimpahannya.
Untuk melengkapi hal ini, kita juga musti bicara tentang keterbatasan dari Khotbah (limitation of preaching).Dalam pembahasan yang lalu tentang musik, salah satu poin yang dibahas adalah bahwa yang indah itu justru limitasi parsialitasnya. Kalau suatu nada terus mau eksis, terus mau memimpin di atas semua nada yang lain, dan tidak berhenti-berhenti bunyinya, itu malah merusak keseluruhan lagu. Nada itu indah, justru karena bisa hilang bunyinya lalu digantikan nada yang lain; dengan dia rela lenyap dan digantikan nada lain, kita justru mendapatkan alunan melodi keseluruhan. Prinsip yang sama bisa kita terapkan juga dalam hal Khotbah; Khotbah itu indah karena ada yang lainnya, bukan tanpa Saudara berdoa, bukan tanpa Saudara memuji Tuhan.
Intinya, kita tidak bisa mendengarkan Khotbah tanpa yang lain karena Khotbah ada limitasinya. Saudara jangan berharap Khotbah adalah segalanya di dalam Liturgi. Dan kita tidak mau ada jemaat GRII yang menganggap ‘paling penting Khotbah; sebelum Khotbah, tidak apa, saya boleh telat, sesudah Khotbah saya juga bisa pulang duluan’. Itu artinya dia tidak mengerti Liturgi Reformed. Khotbah bukan berdiri sendiri. Dan di sini Calvin –dibandingkan dengan Luther– sadar akan limitasi Khotbah; dia mengatakan satu kalimat yang seringkali dikutip, bahwa waktu dia pertama kali datang di Jenewa, “There was preaching, and that was all. … There was no reformation”. Calvin bilang ‘cuma ada Khotbah’; Khotbah itu “cuma”, kalau menurut Calvin –itu bukan reformasi, cuma Khotbah saja.
Sebaliknya, kalimat yang tidak kalah terkenal dari Luther, “I simply taught, preach, and wrote God’s Word, otherwise I did nothing, and while I slept, or drank Withenberg beer with my friends, with Philipp [Melanchthon] and Amsdorf, the Word so greatly weakened the papacy that no prince or emperor ever inflicted such losses upon it. I did nothing; the Word of God did everything.” Jadi Luther bilang, ‘kalau kamu tanya, apa sih reformasi, ya, saya cuma mengajar, khotbah, lalu saya minum bir bersama dengan Melanchthon, dan Firman Tuhan mengerjakan semuanya, saya tidak melakukan apa-apa’.
Calvin tidak akan setuju dengan kalimat tersebut; bagi Calvin, kalau cuma Khotbah saja, itu bukan reformasi. Di Jenewa, anggota konsistori berkeliling, memastikan penduduk ditegur kalau tidak menghidupi iman Injili, dan bisa kena disiplin gereja. Bagi telinga modern, ini terdengar sangat teokratis, menakutkan tinggal di Jenewa pada zaman itu. Tapi kita bisa melihat positifnya, bahwa bagi Calvin tidak cukup Khotbah saja. Gereja harusnya mengerjakan bagian ini juga, untuk bisa mengecek resepsinya orang terhadap Khotbah. Di zaman Puritan, setelah Kebaktian, mereka mendiskusikan Firman Tuhan; dan di situ hamba Tuhan juga memastikan jemaatnya meresepsi Khotbah dengan benar. Ini bagian yang penting. Calvin sangat menyadari bahwa Khotbah itu terbatas, Khotbah itu bukan segalanya –meski juga bukan nothing. Ini prinsip yang indah kalau kita bisa menempatkan secara proposional.
Bahkan Alkitab di dalam Yakobus 1: 23 juga memberikan limitasi dalam hal mendengar Firman; dikatakan: “Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya“ —jadi mendengar Firman, menurut Yakobus adalah ‘hanya’ dan ‘saja’, berarti bukan segalanya– “ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya.” Di sini bahkan istilah ‘cermin’ yang seringkali kita pakai secara positif –bagaimana kita harusnya bercermin waktu mendengar Firman Tuhan– bagi Yakobus juga ‘cuma dan ‘saja’, cuma bercermin saja, karena waktu mendengar Firman Tuhan betul kamu bercermin, itu bagus, tapi setelah meninggalkan itu, kamu segera lupa. Yang dimaksudkan oleh Yakobus adalah adanya perseverance; dan perseverance itu terjadi waktu kita melakukan Firman Tuhan, di situ Firman itu “menjadi daging”, inkarnasi di dalam kehidupan kita, yaitu waktu kita melakukannya, bukan waktu kita hanya mendengar saja. Orang yang cuma mendengar, kata Yakobus, dia cuma melihat dirinya; bisa saja dia melihat ‘O, diri saya begitu kurang’, dsb., tapi setelah itu tidak ada buah, tidak ada pertobatan, yang ada cuma mendengar secara sentimental, seperti tersentuh, tapi setelah itu sudah. Ini jadi mirip orang nonton drama Korea, yang setelah itu ya, tidak ada perubahan. Betapa celakanya. Itu sebabnya Yakobus menyadari bahwa mendengar Firman, itu ‘hanya’ dan ‘saja’; bahkan orang yang bercermin waktu mendengar Firman, itu pun ‘hanya’ dan ‘saja’. Tapi mereka yang melakukan, yang tidak segera melupakan –atau pinjam istilahnya Mazmur 1, yang merenungkan Taurat siang dan malam– mereka inilah yang akan berbuah.
Waktu seseorang mendengar saja, perspektifnya adalah perspektif penonton (spectator perspective), waktu seseorang melakukan Firman Tuhan, perspektifnya adalah perspektif seorang yang berbagian/berpartisipasi di dalamnya (partaker perspective); dan istilahbahasa Yunani yang sangat penting di sini adalah koinonia. Kalau kita tidak melakukan Firman Tuhan, kita tidak bisa bicara koinonia dengan Sang Firman, karena koinonia berarti partaking, berbagian di dalam Firman –dan itu berarti melakukannya. Kita tidak tertarik dengan gereja yang menyajikan Firman Tuhan seperti limpah, tapi orang hanya mendengar dalam perpektif penonton, bahkan dijadikan bahan diskusi yang sepertinya sangat menarik. Saya paling sebal dengan pertanyaan-pertanyaan yang bukan bertanya dari pergumulannya, tapi cuma mau cari justifikasi teologi. Orang seperti ini tidak akan bertumbuh, karena perspektifnya bukan perspektif partaker melainkan spectator, cuma mendengar saja, bukan pelaku Firman.
Di dalam hal ini, John Bunyan memberikan kepada kita satu nasehat yang penting: “Let the sermon thou hast heard be converted into prayer”. Tadi kita mengatakan,Firman bukan tanpa doa, doa juga bukan tanpa Firman; Firman bukan tanpa Perjamuan Kudus, Perjamuan Kudus juga bukan tanpa Firman; maka di sini John Bunyan mengatakan, biarlah khotbah yang kita dengar, kita ubah menjadi doa kita, doa yang dipenuhi oleh kelimpahan Firman tadi.
Spurgeon mengomentari tentang Bunyan dalam aspek yang lain; dia mengatakan: “John Bunyan, while he had a surpassing genius, would not condescend to cull his language from the garden of flowers; but he went into the hayfield and the meadow, and plucked up his language by the roots, and spoke out in the words that the people used in their cottages”. Intinya, Spurgeon mengatakan Bunyan ini orang pintar, bahasanya bagus sekali, tapi waktu berkhotbah dia menggunakan bahasa yang dipergunakan orang di rumah-rumah mereka. Apa yang membuat Bunyan seperti itu? Saya percaya, salah satunya karena dia convert his sermon into prayer; dia mendoakan khotbahnya, sebelum dia sendiri mengajak jemaatnya untuk mendoakan khotbah yang mereka dengar. Mari kita belajar hal ini, teologi kita harusnya teologi yang keluar dari doa, yang merupakan pancaran dari doa, bukan kemiskinan hidup doa kita. Kita tidak percaya ada kelimpahan Firman Tuhan, sementara di sisi lain kemiskinan doa. Itu tidak mungkin, itu sesuatu yang tidak bisa dimengerti. Kalau pun ada, ya, tidak ada kuasanya, cuma sekedar memberikan insight belaka, cuma membuat orang bilang ‘O, sangat mencerahkan, khotbahnya menarik’ dsb., tapi tidak ada perubahan, tidak ada kuasa. Mengapa? Karena tidak disertai dengan doa. Perhatikan cara kamu mendengar, perhatikan juga cara kita berdoa.
Kutipan lain yang terkenal tentang khotbah, yang dikutip berkali-kali –dikutip oleh Paul Washer, juga oleh Martyn Lloyd Jones dalam buku “Preaching and Preachers”– yaitu kutipan dari Richard Baxter: “I preach as never sure to preach again, and as a dying man to dying men”. Kami, pengkhotbah, biasanya menghayati kalimat ini dari perpsektif pengkhotbahnya; tapi hari ini saya mau Saudara menghayati ini dari perpsektif pendengar. Dari sisi Baxter, dia tidak pernah take it for granted bahwa dia akan ada kesempatan untuk berkhotbah lagi; setiap kali khotbah, dia berkhotbah seakan-akan untuk terakhir kalinya. Tapi perhatikan, dari sisi pendengar, Saudara juga musti menghayati ini, yaitu mendengar sebagai orang yang sekarat. Orang sekarat waktu di ranjang kematian, dia pasti bicara yang penting, tidak mungkin dia tanya “itu bola bekel yang dibeli 30 tahun lalu harganya berapa ya”, lalu mati –jadi kalimat terakhirnya soal bola bekel, lucu sekali, ‘gak penting banget kalimatnya. Di saat seperti itu, orang tidak mengharapkan dia keluar kalimat semacam itu, harusnya keluar kalimat yang penting, karena ini kairos terakhir orang sekarat. Sebaliknya, bagaimana dengan yang mendengar? Banyak orang menyesal karena tidak hadir di saat-saat terakhir ketika orang yang dikasihinya meninggal, ‘kalau tahu sore ini dia meninggal, saya harusnya bersama dengan dia, dan mendengar suaranya untuk terakhir kalinya’. Prinsip ini, menurut Baxter harusnya diterapkan waktu kita mendengarkan khotbah; mendengarkan sebagai orang sekarat yang menuju kematian, seolah-olah ini terakhir kalinya mendengarkan Firman Tuhan. Mengapa? Supaya kita mendengarkan dengan keseluruhan hati kita.
Dalam keadaan pandemi Covid ini, kita bisa mendengarkan khotbah kapan saja sesuai kenyamanan kita. Ada banyak sekali khotbah di Youtube, Saudara bisa ikuti khotbah yang mana saja setiap hari. Di sini Saudaralah yang raja, Saudara bukan lagi orang yang menghargai kairos yang diberikanTuhan tapi Saudara yang menetapkan, Saudara yang berdaulat. Di sini kita tidak bicara lagi kedaulatan Tuhan, tapi ‘kedaulatan-ku’. ‘I am the one who choose when and where to listen to the Word of God; bukan Tuhan yang memberikan kairos, tapi saya yang menentukan’. Kacau balau kehidupan seperti ini. Kita akhirnya tidak bertumbuh, karena kita tidak memperhatikan cara kita mendengar. Saudara, perhatikanlah cara kamu mendengar, perhatikanlah kairos yang disediakan oleh Tuhanmu. Waktu Saudara datang beribadah ke gereja secara fisik, Saudara mendengar Firman secara komunal, Saudara tidak bisa pilih-pilih seperti datang ke bioskop, ‘terserah saya mau jam berapa, kebaktiannya tiap jam ada, saya bisa datang kapan saja’. Di gereja, Saudara mendengar bersama-sama, dan Saudara tunduk pada waktunya Tuhan, Saudara belajar untuk menghargai kairos yang disediakan oleh Tuhan. Saudara bukan yang berdaulat. Saudara bukan yang memilih, tapi Saudaralah yang dipilih oleh Tuhan.
George Whitefield mengatakan, “It is a poor sermon that gives no offense; that neither makes the hearer displeased with himself nor with the preacher”. Khotbah yang tidak membuat orang terkoreksi, itu khotbah yang miskin –menurut George Whitefield. Ini bukan karena dasar George Whitefield memang suka konflik, hobi menusuk-nusuk perasaannya orang, melainkan karena waktu kebenaran itu diberitakan, waktu garam menyentuh kita yang ada lukanya, mana mungkin tidak perih. Waktu garam hadir di dalam kehidupan kita yang penuh borok dan luka, lalu tetap menyenangkan, itu tidak mungkin. Itu sebabnya, khotbah yang tidak ada ofensif-nya, yang tidak membuat orang tidak senang (displeased) dengan dirinya sendiri, itu khotbah yang buruk, bukan khotbah yang profetikpastinya, karena tidak pernah dalam kehidupan ini kita sudah sempurna. Ini berarti kita tetap perlu khotbah-khotbah yang ofensif. Pak Tong pernah mengatakan, dari mana kita tahu suatu negara diberkati oleh Tuhan, yaitu kalau Tuhan masih memberikan pengkhotbah yang menegur bangsa itu. Dari mana Saudara tahu, suatu Gereja diberkati Tuhan, yaitu kalau di dalamnya Saudara masih mendengar teguran Tuhan melalui hamba-hamba-Nya. Sedangkan Gereja yang di dalamnya Saudara cuma pujian-pujian, ‘how great we are’, ‘our church doing great’, ‘kita ini sudah melakukan yang baik’, ‘betapa nyamannya gereja ini’, dst., itu Gereja yang bahaya sekali. Mengapa? Karena sudah tidak ada lagi suara kenabian (prophetic voice).
Terakhir, apa anti-Liturginya? Anti-Liturginya yaitu: kita ini lebih suka berkhotbah (preaching) daripada mendengarkan (listening to).Kita di dunia ini berlomba-lomba untuk menasehati, mengkhotbahi orang lain, tapi sedikit sekali yang sabar untuk mendengar. Inilah anti-Liturgi; dan liturgi Khotbah ini menolong Saudara untuk tidak berkhotbah, kecuali pengkhotbahnya. Namun saya pun, hamba Tuhan pun, ada saatnya di mana kita musti mendengar, bukan hanya berkata-kata; seperti Maria yang mendengar, bukan aktif seperti Marta.
Yang kedua, kesombongan kita, yang lebih suka untuk menasehati daripada menerima nasehat. Lebih menikmati kalau kita memberi nasehat dan nesehat kita diterima, daripada menerima nasehat. Ada ego yang kronis dan laten dalam kehidupan kita; kalau diberitahu orang, kita tidak senang, ‘kenapa saya musti diberitahu, memangnya saya goblok jadi musti diberitahu’, ‘kenapa saya dikuliahi, saya maunya menguliahi orang lain, bukan dikuliahi’. Inilah kesombongan yang kita semua punya. Kita lebih suka menggurui orang lain daripada orang lain memberitahu kita, karena kita jadi merasa digurui, dan itu tidak menyenangkan. Inilah anti-liturgi.
Yang ketiga, kita maunya tips praktis dan mudah (easy practical tips), tidak berusaha berpikir untuk melihat kompleksitas kehidupan ini dan membacanya di bawah terang Firman Tuhan –dan bahwa pembacaan ini memang tidak instan, Saudara diajak berpikir. Saya sebal kalau di dalam seminar, setelah 2 jam lalu orang tanya, “Pak, bolehkah isi seminar tadi –yang 2 jam itu–disimpulkan dalam satu kalimat saja?” Ini orang yang malas mendengarkan, malas berpikir. Kalau seperti itu, ya, juga tidak usah ada 66 kitab Alkitab, tidak usah ada khotbah ekspositori, tidak usah ada pembahasan yang panjang lebar, cukup satu kalimat khotbah yang tidak lebih dari 1 menit. Ada orang yang tidak mau berpikir; “rumit! sudah kasih tahu saya saja tips praktis, saya musti ngapain; gereja perlu apa, saya bisa kasih, tapi jangan terlalu cerewet, jangan ajak saya berpikir, kasih satu kalimat saja, selesai”. Ini anti-Liturgi. Calvin mengatakan, “where there is no understanding, there is no edification”, kalau tidak ada pengertian, tidak ada pembangunan. Tidak ada orang yang bertumbuh dewasa tanpa pengertian. Pengertian itu sangat penting; dan di sini kita juga bertumbuh di dalam pengertian.
Berikutnya, non vulnerable listening; maksudnya mendengarkan dengan mau diri tetap utuh, mendengarkan secara selektif. Waktu kita mendengar dan mulai merasa tersinggung, kita langsung tutup telinga tidak mau dengar lagi, karena merasa diri kita rapuh dan rentan waktu mendengar kalimat yang rasanya menusuk. Kita tidak mau itu; “kamu boleh ngomong apa saja, silakan, tapi begitu kena borok saya, langsung saya tutup telinga, saya tidak mau dengar lagi, saya tidak tertarik dengan khotbah ini”. Kita membangun anti-Liturgi ini dalam keseharian kita. Seharusnya liturgi Khotbah hadir di dalam kehidupan kita, menjadikan kita orang-orang yang bisa mendengar secara rapuh dan rentan, “oke, saya akan mendengarkan, termasuk juga kalau mendengar ini saya jadi tersinggung, saya seperti dibongkar dan ditelanjangi, tidak apa-apa”. Liturgi Khotbah memungkinkan itu terjadi. Saudara tidak bisa tekan tombol “pause” waktu mendengar khotbah, tidak bisa angkat tangan “objection Your Honour, jangan ngomong itu lagi”; tersinggung atau tidak tersinggung, Saudara harus dengar terus di dalam Khotbah.
Anti-Liturgi yang lain, yaitu khotbah yang dipakai untuk afirmasi diri (self-affirmation), pembenaran diri (self-justification). Suatu khotbah, kalau kita salah mengkhotbahkan dan salah resepsi, itu bisa jadi self-affirmation. Misalnya, katakanlah jemaat GRII Kelapa Gading tidak ada yang punya isu soal doa yang memaksa Tuhan, katakanlah Saudara sudah mengerti mengenai hal itu, tapi saya terus khotbah tentang itu panjang lebar; lalu kira-kira Saudara yang mendengar, akan mendengarnya secara bagaimana? Saudara akan mendengar dengan berpikir sambil menepuk dada, ‘bersyukur ya, saya bukan orang seperti itu; itu Gereja lain! Gereja itu perlu bertobat! tapi saya orang yang tidak seperti yang dikatakan’. Alangkah celakanya khotbah seperti ini. Makin khotbah, makin membawa jemaat jadi self-righteous. Khotbah bukan membawa jemaat bertumbuh makin menyerupai Kristus, tapi makin mengukuhkan status quo. Bahaya sekali khotbah seperti ini. Itu sebabnya Saudara jangan tidak senang kalau mendengar khotbah yang ternyata isinya kelemahan jemaat kita sendiri. Memang kita harus dengar yang seperti ini; kecuali kalau Saudara mau mendengar khotbah yang self-affirmation tadi, khotbah yang membawa kepada kesombongan rohani, bukan khotbah yang membawa kepada pertobatan.
Bersamaan dengan ini, anti-Liturgi yang lain yaitu khotbah yang tidak profetik (unprophetic preaching), maksudnya menegur atau menghibur di saat yang salah. Saya bukan mengatakan kita musti menegur terus dan tidak ada menghibur, tetapi kita bisa jadi menghibur di saat yang salah, kita bisa jadi menegur di saat yang salah. Ada orang yang tidak bisa membedakan kapan saatnya musti menegur, kapan saatnya musti menghibur. Itu khotbah yang tidak profetik. Nabi-nabi palsu itu, waktu saatnya menegur, mereka malah menghibur. Jadi kacau. Termasuk juga di sini nasehat-nasehat klise yang sebetulnya orang tidak perlu dengar lagi; bukan berarti tidak boleh ada pengulangan, tapi bukan saatnya.
Selanjutnya, khotbah yang idealis (idealist preaching), khotbah yang non-inkarnasional (non-incarnational preaching). Saya baca satu buku tentang eklesiologi; menurut buku itu, banyak eklesiologi modern membicarakan tentang eklesiologi ideal, Gereja harusnya seperti apa, tapi sedikit yang membicarakan keberdosaan Gereja yang konkret (concrete sinfulness of the church) di sini dan sekarang. Eklesiologi yang membicarakan kelemahan Gereja di sini dan sekarang, yang bukan cuma bicara blue print Eklesiologi, bahwa Gereja harusnya kayak begini begitu, melainkan membicarakan yang sekarang, yang konkret, persoalannya di mana, pergumulannya apa, kekurangannya di mana, ketidakmiripannya dengan Kristus apa, inilah eklesiologi yang menjanjikan. Bukan bicara eklesiologi utopia yang nanti –meski bukan berarti tidak ada tempatnya. Tapi kalau semuanya membicarakan ‘yang seharusnya nanti’, jadi tidak profetik. Coba perhatikan pengkhotbah-pengkhotbah di Perjanjian Lama, nabi-nabi itu, dibandingkan dengan penasehat-penasehat yang kita sudah tahu semua isinya –sangat ada bedanya. Nabi-nabi selalu bicara keberdosaan yang konret dari bangsa Israel saat itu; khotbahnya tidak pernah mengawang-awang di atas.
Terakhir, anti-Liturgi khotbah moralis (moralist preaching), khotbah yang tanpa Kristus (Christless preaching).Saudara tidak dibawa untuk melihat Kristus yang mengampuni kita, yang berbelas kasihan kepada kita, yang mencintai kita, tapi dibawa untuk bagaimana menjadi orang-orang yang lebih baik. Saudara dibawa menjadi orang-orang yang lebih lagi bersungguh-sungguh, bahkan lebih saleh, tapi Saudara tidak mendengar tentang Kristus di sana. Tidak ada Kristus yang mengasihi Saudara, tidak ada Kristus yang menerima Saudara, dan tidak ada Kristus yang dengan sukacita mengundang kita untuk mengikut Dia. Tidak ada Kristus-nya. Ini anti-Liturgi, karena di dunia juga seperti ini. Jangan salah, di dunia banyak sekali pengkhotbah-pengkhotbah moralis, mereka tidak buruk-buruk amat, mereka juga mengajarkan kebaikan. Tetapi ini bukan Khotbah Kristen.
Mari kita sekali lagi merenungkan hal ini. Dan waktu Saudara mengikuti Perjamuan Kudus, ingatlah apa yang Yesus Kristus berikan kepada kita, sebelum kita kemudian diundang, dan kita datang dengan sukacita untuk bersekutu (partake) dengan Pribadi Kristus. Kiranya Tuhan memberkati Saudara-saudara sekalian.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading