Kita melanjutkan pembahasan dari Kitab Kidung Agung; dan sekali lagi saya mengingatkan, ini adalah tulisan dalam bentuk syair, sehingga kita tidak mendekatinya dengan pendekatan analitis ilmiah melulu, karena dalam hal ini pendekatan seperti itu keliru dan tidak menarik.
Di bagian ini, ada banyak pembicaraan yang mengangkat tentang indra manusia (human senses).Biasanya dalam pembacaan atau pembahasan kita lebih banyak ditekankan mengenai bagaimana kita merenungkannya dengan daya nalar (reasoning power), dsb., namun bagian ini adalah syair. Bukan tidak ada tempat untuk merenungkan syair, tentu saja ada tempatnya –bahkan dengan pikiran (mind), akal (reason), pengertian (understanding), dsb.– tapi di dalam imajinasi waktu membaca puisi/syair, yang banyak diekslporasi bukan cuma urusan bagaimana kita mengertinya secara akal, melainkan juga imajinasi yang dibawa kepada imajinasi indrawi. Dalam hal ini bukan sekedar kebetulan bahwa tulisan ini ber-genre syair, lalu di dalamnya banyaknya eksplorasi urusan indrawi, ketimbang didekati secara reasoning power.
Dalam ayat-ayat sebelumnya (ayat 1-4), bisa dikatakan tulisan ini mengeksplorasi hampir semua indra. Misalnya di ayat, “Kiranya ia mencium aku dengan kecupan”; di sini ada ciuman, yang melibatkan indra peraba dan juga indra perasa (mulut), meski mulut atau indra perasa mungkin lebih cocok ditempatkan dalam kalimat berikutnya, “Karena cintamu lebih nikmat dari pada anggur”. Selanjutnya, “harum bau minyakmu”, berhubungan dengan indra pencium/pembau. Saudara perhatikan di sini, imajinasinya membawa kepada imajinasi indrawi, dan bukan hanya imajinasi perenungan secara akal, yang agak membosankan kalau diterapkan dalam puisi. Dan, meskipun tidak terlalu jelas, kita juga bisa mengatakan tentang indra pendengar di bagian ini, karena waktu di sini mereka berkata-kata berbalas-balasan, tentu perlu telinga (indra pendengar). Belum lagi ketika kita membaca ayat 4, “Sang raja telah membawa aku ke dalam maligai-maligainya” (maksudnya ‘ke dalam kamar-kamarnya’), tentunya di sini ada imajinasi keintiman seksual. Jadi bagian awal ini sudah mengeksplorasi hampir semua indra manusia; mungkin satu hal yang kurang ditekankan, yaitu indra penglihat.
Mulai dari ayat 5, pembicaraannya berhubungan dengan indra penglihat; dikatakan: “Memang hitam aku, tetapi cantik, hai putri-putri Yerusalem, seperti kemah orang Kedar, seperti tirai-tirai orang Salma.”Menariknya, waktu di bagian ini mengeksplorasi indra penglihat, di sini ada beberapa pergantian.
Yang pertama, di bagian ini perkataannya ditujukannya kepada putri-putri Yerusalem, sementara sebelumnya, dia berbicara, atau berimajinasi sedang bicara, dengan sang mempelai laki-laki. Ada suatu perbandingan antara mempelai perempuan ini dengan putri-putri Yerusalem; dan kita tahu, ini bagian yang bisa jadi sangat rumit ketika perempuan saling membandingkan diri dengan perempuan lainnya. Gambaran yang dikatakan di sini pun cukup realistis, bukan gambaran steril atau yang theologically correct, melainkan ada semacam “membanggakan diri” (boasting), tapi yang masih bisa ditoleransi dan dimengerti. Dia mengatakan, “memang hitam aku”, dia tahu ada sesuatu yang sebenarnya bisa jadi potensi untuk membuat dirinya tidak menarik, namun kemudian dia melanjutkan “tetapi cantik”. Waktu di sini dikatakan “tetapi cantik, hai putri-putri Yerusalem”, kita lihat bahwa mempelai perempuan ini punya rasa percaya diri (self confidence) dan harga diri (self esteem) yang sehat, ketika dia melihat dirinya dibandingkan dengan putri-putri Yerusalem.
Selanjutnya, kita membaca keterangan di bagian ini adalah “seperti kemah orang Kedar”; apa kira-kiraspektrum maknanya? Seperti kita baca, Kedar adalah anak Ismael; jadi istilah “Kedar” di sini menunjukkan sesuatu yang agak jauh, sesuatu yang ada nuansa eksotis. Memang perempuan ini tidak biasa, dia tidak seperti putri-putri Yerusalem yang kulitnya lebih terang, dia ini hitam, sehingga kecantikannya agak berbeda, eksotis. Di Eropa pernah ada suatu masa terjadi semacam kebangunan dalam hal keindahan (Zaman Romantik), orang mulai mengeksplorasi bagian-bagian yang jauh dan terpencil, termasuk juga wilayah-wilayah yang dianggap eksotis; Saudara bisa melihat ini di dalam banyak hal, termasuk juga dalam musik, misalnya musik yang tiba-tiba ada nuansa musik Timur Jauh, Jepang, China, Turki, dsb. Jadi, mempelai perempuan ini memang hitam, tidak seperti putri-putri Yerusalem, sehingga kalau dilihat dari ke-terang-an kulitnya, tentu saja tidak bisa banding; tapi kemudian dia menempatkan diri dalam perspektif “kecantikan eksotis”, yang tidak ada di Yerusalem. Bahkan ada beberapa penafsir yang melihat ada semacam “wildness” pada dirinya; dan dalam hal ini, perempuan tersebut menyadari keunikannya.
Pembahasan hari ini sepertinya lebih banyak bicara dari perspektif wanita, karena sampai di bagian ini terutama bicara dari perspektif mempelai perempuannya. Apa yang bisa kita pelajari di sini, dalam hal perempuan dan “saingan-saingannya”, perempuan dan “kompetisi” di antara dunia wanita? Yang menarik, mempelai perempuan ini bisa menerima dirinya, dia tahu bahwa dirinya hitam, dan tidak ada gunanya bersaing dengan ketidakhitaman-nya putri-putri Yerusalem. Dia bisa menemukan alasan –imajinasi—bahwa ‘meskipun hitam, tetapi cantik’; ini berarti dia melihat pada dirinya ada nuansa kecantikan eksotis, yang tidak ada pada putri-putri Yerusalem yang kecantikannya seperti kecantikan pada umumnya, tidak “out of the box”. Saudara, berapa banyak orang jadi mengasihani diri, jadi rusak harga dirinya, karena merasa tidak bisa mengikuti standar yang ada di dalam masyarakat; tapi tidak demikian dengan perempuan ini. Perempuan ini tahu kelebihannya, meskipun dia juga tahu bahwa dirinya hitam.
Kalimat selanjutnya, di dalam terjemahan Bahasa Indonesia, selain “kemah-kemah orang Kedar” juga bicara “tirai-tirai orang Salma”, yang sebetulnya dalam Bahasa Inggris adalah “tirai-tirai Salomo”. Apa artinya “tirai-tirai Salomo” di sini? Bisa ditafsir macam-macam. Mungkin orang bisa tafsir ini suatu keadaan Salomo sedang perang, tapi metafor tersebut jadi kurang cocok dengan konteksnya. Memang menarik kalau kita membaca puisi dalam kekuatan imajinasi, intepretasinya pun bermain di dalam wilayah imajinasi, tapi ini tetap ada dasarnya; maksudnya, imajinasi di sini bukan imajinasi yang liar, karena memang di dalam perang, orang mendirikan tirai/tenda, semacam posko. Jadi, intepretasi ‘Salomo sedang berperang’ seperti itu sah saja, tapi sepertinya tidak terlalu masuk dalam keseluruhan konteks ini. Di bagian ini, Hess lebih cendrung menafsirkan “tirai-tirai Salomo” ini sebagai tempat tinggalnya Salomo. Jika demikian, jadi bagian ini maksudnya apa? Mempelai perempuan itu mau mengatakan kecantikannya adalah yang paling luar biasa (magnificent). Jadi, tenda memang gelap –dan ini jadi penggambaran kulitnya yang juga gelap– tapi kemudian dia mau mengatakan bahwa dirinya ada kelebihan, pertama, eksotis; kedua, magnificent –seperti tirainya Salomo.
Saudara perhatikan, perempuan ini adalah orang yang kekuatan ego-nya (ego strength) beres, tidak terinjak-injak, tidak minder, tidak inferior, tidak mengasihani diri, apalagi kepahitan. Bukankah ini penting di dalam pernikahan? Ada banyak pernikahan bermasalah dan berakhir dengan perceraian, karena perempuannya tidak bisa berpikir seperti ini, sebaliknya terus sibuk membandingkan dan bersaing dengan perempuan-perempuan lain, tidak bisa menemukan keindahan di dalam dirinya sendiri, lalu jadi pahit, akhirnya menarik suaminya untuk lebih mencintai dia dengan cara yang tidak realistis, dst., dst. Pernikahan seperti pada akhirnya itu bukan jadi tambah bahagia, tapi tambah runyam.
Ayat ke-6, ada pembicaraan yang berhubungan dengan indra penglihat; dikatakan: “Janganlah kamu perhatikan bahwa aku hitam, karena terik matahari membakar aku.” Dalam bahasa aslinya, di sini ada permainan kata; di situ dikatakan ‘terik matahari membakar’, lalu sebelumnya ‘kamu perhatikan’. Kedua perkataan itu sebetulnya ada kemiripan; dalam bahasa Inggris dikatakan “Do not gaze at me because I am dark, because the sun has looked upon me.” Jadi keadaan dirinya yang hitam, membuat putri-putri Yerusalem gaze at her (menatapnya), bukan dalam pengertian menatap atau memandang dengan penuh perhatian karena sangat terinspirasi, melainkan dalam pengertian menatap dengan pandangan penuh kritik. Dan, ternyata matahari pun melakukan hal yang sama terhadap dia; matahari juga stare at her (menatapnya). Tidak cukup dengan itu, selanjutnya dikatakan, “Putra-putra ibuku marah kepadaku”, yang dari bahasa aslinya kalau diterjemahkan dalam Bahasa Inggris jadi “the sons of my mother burn with anger” (terbakar dengan amarah). Jadi, sudah ada perempuan-perempuan Yerusalem yang melihat dengan pandangan penuh kritik, lalu matahari juga seperti itu, dan ditambah lagi ‘putra-putra ibuku’ pun seperti matahari yang membakar dengan amarahnya.
Saudara, sebetulnya ini puisi yang indah sekali; Saudara membaca dalam bagian ini, tidak ada sedikit pun nuansa mengasihani diri ataupun ikut-ikutan marah. Perempuan ini menyatakan realita yang memang menyakitkan, tapi dia tidak ada semacam kepahitan dsb. Kesulitan yang digambarkan sangat realistis, bukan melebih-lebihkan, atau bahkan di-idealisasi, tapi semata-mata kesulitan yang riil, yang memang terjadi dalam kehidupan; dan bagaimana perempuan tersebut mengatasinya, kita bisa belajar di sini. Sekali lagi, di sini ada pandangan yang penuh kritik dari putri-putri Yerusalem, yang mungkin sedikit merendahkan karena dia hitam, juga ada pandangan dari matahasi yang bikin kulitnya gosong, dan lagi ada api amarah dari saudara-saudaranya yang ikut membakar dia. Kalau dalam dunia sehari-hari, apa yang bisa kita harapkan dari keadaan seperti ini?? Ya, marah balik saja; kalau saya marah pun, ya, pantaslah, karena ada 3 yang marah pada saya, putri-putri Yerusalem, matahari, bahkan saudara yang paling dekat. Tetapi di sini Saudara mendapati penggambarannya bukan demikian, perempuan ini melanjutkan bukan dengan kemarahan.
Yang kita baca di sini, setelah kalimat “Putra-putra ibuku marah kepadaku”, adalah penjelasannya: “aku dijadikan mereka penjaga kebun-kebun anggur; kebun anggurku sendiri tak kujaga.” Istilah ‘kebun anggurku’ ini sebetulnya metafor untuk tubuhnya, yang dia tidak jaga. Dia lebih fokus kepada tugas-tugas rumah tangga (domestic task) yang dipercayakan kepadanya, yang membuat dia tidak bisa berkonsentrasi pada urusan mempercantik diri. Dia tidak ada waktu untuk itu, karena dia musti menjalankan tugas menjaga kebun anggur.
Waktu dikatakan “aku dijadikan mereka penjaga kebun-kebun anggur”, di sini kita tentu membacanya secara harfiah; tapi selanjutnya, “kebun anggurku sendiri tak kujaga”, yang dimaksud dengan kebun anggur adalah tubuhnya. Pembacaan seperti ini memang dimungkinkan di dalam puisi, tapi kalau Saudara membacanya dengan pendekatan ilmiah, tentu saja bisa bingung. Saudara mungkin bilang, “Tidak bisa begini, dong, kalau metafor, ya, metafor, ‘kan ini masih satu ayat lho, jangan lupa; jadi kalau mau bicara tubuh, ya, yang bagian pertama juga musti tubuh, kebun anggur yang pertama jadi tubuh saudara-saudara laki-lakinya, disuruh kerokin, pijitin, atau apalah” –pembacaan yang salah. Sekali lagi, kita tidak berada di bawah tekanan pembacaan ilmiah seperti itu, karena ini adalah puisi. Bagian ini, kita mengertinya adalah bahwa perempuan ini sangat terlibat dalam urusan domestik, sampai-sampai dia tidak ada waktu untuk mempercantik diri –ini kedengarannya sangat familiar bagi ibu-ibu– dan dia menceritakan ini sebagai semacam “pembelaan diri”, alasan yang membuat dia jadi hitam. Penjelasan kepada siapa? Sekali lagi, dalam konteks ini yang dituju adalah perempuan-perempuan yang lain, yaitu putri-putri Yerusalem.
Ada yang menarik dalam hal kepada siapa mempelai perempuan ini bicara. Dalam bagian yang pertama, ayat 1-4, adalah pembicaraan yang sangat intim dengan mempelai laki-laki; dan di situ bisa dibilang dia mengeksplorasi semua indra. Tapi kemudian ketika bicara kepada kelompok yang lebih besar, yaitu perempuan-perempuan Yerusalem, dia hanya menggunakan satu indra saja, indra penglihat; dia tidak mengizinkan perempuan-perempuan Yerusalem itu misalnya mengecup dengan kecupan, dsb.. Penggambaran seperti itu tidak ada sama sekali di sini, hal seperti itu khusus hanya untuk sang mempelai laki-laki. Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Yaitu bahwa ada hal-hal tertentu yang sudah terlalu intim untuk bisa di-share kepada yang bukan suami atau yang bukan istri. Bukankah kita seringkali mendengar ketika terjadi suatu affair, salah satu penyebabnya adalah ketidaksanggupan untuk membedakan, bagian mana yang boleh di-share kepada orang lain yang bukan suami atau bukan istri, dan bagian mana yang tidak boleh di-share. Gagal dalam hal ini, akan membawa kepada marital affair, dan kacaulah pernikahannya. Jangankan kepada lawan jenis, kepada sesama jenis pun seperti di bagian ini –dan tentu saja di sini jangan Saudara bayangkan model relasi LGBT— yang seharusnya tidak terjadi apa-apa, keintiman seperti itu tidak di-share; apalagi dengan lawan jenis. Tidak ada kecupan-kecupan, tidak ada bau-bauan yang semerbak, semuanya tidak ada di sini. Dan, sudah pasti perempuan-perempuan itu juga tidak berbagian dalam ‘mahligai-mahligai’.
Secara penampilan, perempuan ini memang hitam, lalu secara pandangan umum, dia tidak masuk hitungan, seperti di bawah standar, tapi ternyata tidak demikian. Ada semacam “providence of God” yang kita lihat –meski bukan ini poin utamanya– dengan adanya sang kekasih laki-laki yang mencintai dirinya; dan perempuan ini bangga karena itu. Dia memberikan penjelasan –tanpa harus jadi kepahitan– yang seolah-olah mau mengatakan “jangan kamu judgmental terhadap kehitamanku, terhadap kekuranganku, semua ini ada sebabnya”. Seakan ada satu pengharapan bahwa orang bisa mengerti dirinya dan simpati –dan ini penting. Seorang perempuan, kalau sudah merasa dihakimi, gunung pun bisa meletus. Perempuan ini tidak playing victim, ‘saya ini hitam, saya dihakimi, saya ditolak, saya dibuang, saya direndahkan’.
Betapa indah, kalau bisa mengatasi perasaan dihakimi seperti itu, dan bisa menjelaskan tanpa harus berusaha mati-matian memberikan alasan-alasannya, dsb. Dia menjelaskan dengan santai saja, “kalau kamu mau menerima, ya, syukur, tapi kalau tidak, ya, sudah, apa boleh buat; bagaimanapun, saya punya kekasih yang mencintai saya”. Penjelasan perempuan ini mengenai hitamnya, pertama, bahwa ini kecantikan yang eksotis, yang out of the box, yang memang bukan menurut pandangan umum. Yang kedua, bahwa ini disebabkan karena “saya bertanggung jawab, saya mencintai keluarga, saya sibuk dengan tugas-tugas rumah tangga, itu sebabnya tidak ada waktu untuk mempercantik diri, pakai whitening, dst.”
Ada bagian lain yang juga bisa kita gali dan cukup menarik, waktu dia menyebut saudara-saudara laki-lakinya sebagai “putra-putra ibuku” –jadi seperti putar-putar bicaranya. Dia bisa saja langsung menyebut ‘kakak-kakak laki-lakiku’, tapi dia mengatakan ‘putra-putra ibuku marah kepadaku’. Ada maknanya, dengan dia mengatakan seperti itu; dari kata kerjanya juga bisa ada penjelasan, kita bisa merasakan ada semacam jarak (distance) di sini. Di dalam puisi, kita bisa berimajinasi kemungkinan seperti ini, misalnya, mengapa dia menyebut kakak-kakak laki-lakinya dengan ‘putra-putra ibuku’, dan bukan ‘putra-putra ayahku’ –meski tentu saja jangan kita teruskan sampai 10 ribu kemungkinan dsb., jadi kelewatan. Dalam hal ini, di satu sisi kita bisa menafsir bahwa perempuan ini ada kedekatan dengan ibunya, di sisi lain, dia ada jarak dengan saudara-saudara laki-lakinya. Begitu dekatnya dengan ibunya, sampai dia menyebut ‘putra-putra ibuku’, dan bukan ‘putra-putra ayahku’; tapi dengan menyebut saudara-saudara laki-lakinya dengan ‘putra-putra ibuku’, dan bukan ‘saudara-saudara laki-lakiku’, menunjukkan perempuan ini ada ke-jauh-an dengan mereka.
Hess menafsir, gambaran seperti ini mengisyaratkan ketiadaan (absence) sosok-sosok laki-laki di dalam keluarga tersebut; yang ada adalah perempuan-perempuan yang musti saling mendukung satu sama lain. Cerita ini mirip sekali dengan kisahnya Rut. Di dalam cerita Rut, kita juga melihat ketiadaan sosok laki-laki karena semuanya mati, baik suami Naomi, suami Orpa, maupun suami Rut. Jadi yang mau digambarkan penulis Kidung Agung, perempuan ini adalah perempuan yang bergumul, seperti Rut, seperti Naomi. Di dalam masyarakat patriarkhal, tugas menyediakan bagi keluarga adalah tugasnya laki-laki, tapi mereka tidak ada, sehingga harus perempuan yang bekerja. Jadi cukup dengan mengatakan ‘putra-putra ibuku’, apalagi ditambah dengan ‘marah kepadaku’, itu menggambarkan bahwa perempuan ini adalah seorang perempuan yang sangat rapuh; tapi di sisi lain, dia punya kekuatan. Apa kekuatannya? Pertama-tama, dia memiliki kecantikan eksotis; dan selain itu dia punya komitmen yang tinggi kepada keluarganya, sangat peduli dengan keluarganya. Di sini gambarannya sangat realistis, bukan di-idealisasi,tidak seperti cerita-cerita atau puisi-puisi Romantik yang seringkali mendekati ngegombal, atau bahkan memang gombal. Kidung Agung bukan seperti itu.
Kita melanjutkan ayat 6 ini, “Putera-putera ibuku marah kepadaku, aku dijadikan mereka penjaga kebun-kebun anggur; kebun anggurku sendiri tak kujaga”, lalu ayat 7, “Ceriterakanlah kepadaku, jantung hatiku”. Terlihat di sini pergeseran lagi; di ayat 7 ini perkataannya ditujukan bukan lagi kepada putri-putri Yerusalem, melainkan kepada sang kakanda. Dia mengatakan, “di mana kakanda menggembalakan domba, di mana kakanda membiarkan domba-domba berbaring pada petang hari” –ada dua kali kata ‘di mana’ yang diulang. Dia seperti ada kerinduan untuk berpindah lokasi, ‘tampaknya saya berada di tempat yang salah di sini, karena itu, di mana …’.
Kita bisa menyoroti bagian ini di dalam tradisi Medieval mystic, karena bagian ini sepertinya memang sangat potensial untuk ditafsir secara alegoris. Tapi sebelumnya kita mau membicarakan terjemahan Bahasa Indonesia yang memakai kata ‘petang hari’ dalam kalimat “di mana kakanda menggembalakan domba, di mana kakanda membiarkan domba-domba berbaring pada petang hari”. Dalam bahasa aslinya, di sini sebetulnya memakai istilah sohorayim, yang terjemahan Bahasa Inggris lebih tepat, yaitu noon atau midday — tapi Bahasa Indonesia menerjemahkan ‘petang hari’, ada semacam ideologi tertentu di sini. Ini sebenarnya ada kaitan secara implisit ada motif istirahat/berhenti (rest). Perempuan ini mengharapkan gambaran penggembalaan domba-domba itu, dibandingkan keadaan dirinya menjaga kebun anggur di bawah terik matahari yang panas dan tidak ada istirahatnya; karena menggembalakan domba, itu ada istirahatnya, sedangkan di kebun anggur terus-menerus kena sinar matahari, tidak ada berhentinya.
Dalam hal ini, Bahasa Indonesia yang memakai istilah ‘petang hari’, berarti berkaitan dengan bubaran kerja. Waktu Saudara kerja, lalu tiba waktunya jam pulang, apakah Saudara merasa begitu sukacita ‘O, ini jam pulang, sekarang saya masuk Firdaus!!’ ? Jadi bermasalah kalau prinsip ‘istirahat’ kita seperti itu; bukan seperti itu yang dipikirkan perempuan ini. Cara berpikir seperti ini, yaitu istirahat waktu petang, istirahat waktu selesai kerja, lalu setelah itu masuk paradise yang disebut “me time”, itu adalah kehidupan yang amat sangat dualistis. Sedangkan kalau berhenti sementara, pada midday, setelah itu tentu kerja lagi; dan ini adalah istirahat yang sangat berbeda dari pengertian istirahat ‘petang hari’ tadi. Perempuan ini tidak mengharapkan istirahat bubaran kerja lalu tidak usah kerja lagi –setidaknya dalam satu hari itu– sebaliknya ini adalah suatu istirahat yang dia sadar sepenuhnya bahwa setelah itu dia akan kerja lagi. Dia menikmati pekerjaan itu, tapi tentu dia perlu istirahat.
Gambaran ini sangat menarik bagi saya. Saudara bayangkan, orang yang sudah kerja dengan begitu tersiksa dari pagi sampai petang di bawah terik matahari, lalu kalau dia boleh berharap, Saudara pikir dia akan mengharapkan apa? Saudara mungkin mengatakan, “Enough is enogh! Sekarang saya perlu istirahat, 3 bulan berhenti, ‘gak ngapa-ngapain sama sekali” –dan inilah dualisme. Tapi bukan itu yang dikatakan perempuan ini. Dia menyadari, kerja di bawah pengaturan saudara-saudara laki-lakinya ini memang terasa seperti penindasan; tapi kemudian apa yang dia harapkan? Yang dia harapkan adalah: ‘Ah, sekiranya, saya dikasih pekerjaan yang ada istirahatnya di tengah, dan setelah itu saya tetap mau kerja lagi’ –sangat realitis gambarannya. Ini orang yang sangat beres.
Saudara, kalau di dalam kehidupan ini terlalu ekstrim kanan, misalnya kerja yang sangat berat, maka setelah itu bukan di-seimbangkan dengan bergerak ke ekstrim kiri, tapi harusnya dengan Saudara bergeser ke tengah. Ini prinsip yang penting dalam banyak hal. Waktu Saudara terlalu capek dengan tugas-tugas rumah tangga, Saudara harusnya menyelesaikan bukan dengan “pokoknya habis ini saya betul-betul ‘gak mau ngurusin lagi, sama sekali saya ‘gak mau tahu lagi”, karena kalau begitu, jadi schizophrenic. Lalu apa harusnya solusinya? Solusinya adalah jangan kerja berat yang tidak ada istirahatnya, carilah pekerjaan yang Saudara bisa ada istirahat at midday tadi. Dan bukan sekedar istirahat dalam arti “me time”, tapi terutama berada bersama dengan sang kekasih laki-laki itu. Saudara perhatikan di sini, istirahat yang sesungguhnya adalah hubungan cinta dengan orang yang mencintai dan dicintai (love relationship), bukan dengan Saudara melakukan apa yang Saudara senangi. Bagian inilah yang tadi kita katakan ada potensi untuk kita tafsir secara berkaitan dengan Kristologis.
Maksudnya, dalam hidup di dunia ini, kita sama seperti perempuan yang ditaruh/dipekerjakan oleh ideologi-ideologi yang mirip “saudara-saudara laki-laki” tersebut. Kita tidak dekat dengan hal-hal itu sebetulnya, kita ada jarak, tetapi kita memang berada di dalam dunia yang sama dengan ideologi-ideologi itu, dan ini membuat hidup kita benar-benar dalam belenggu. Saudara bisa sebutkan apa saja, entah itu keinginan untuk jadi terkenal seperti selebriti, pencarian akan pengakuan orang lain, menjadi orang yang selalu ditepuktangani, jadi pusat perhatian, narsisisme, cerita-cerita sukses menurut dunia ini, yang kalau tidak kita dapatkan jadi seperti rasa kering sekali, belum lagi, rasa aman yang didapat dengan kekayaan, dsb.; ada banyak ideologi di dalam dunia ini yang benar-benar menjerat dan tidak memberikan istirahat –itu memang betul. Tidak ada istirahat yang sesungguhnya di sana.
Bagaimana dunia menyelesaikan hal ini? “Ah, tidak apa dong, ‘kan ada yang namanya traveling, kalau kamu sudah terlalu tersiksa dalam pekerjaanmu, kamu panjangin saja traveling-nya, jangan cuma 2-3 hari tapi sekalian 3 minggu, jadi seimbang” –kembali lagi, ekstrim kanan ekstrim kiri. Atau kalau yang tidak suka travel, ya, bikin pesta untuk mengimbangi kehidupan –solusi schizophrenic yang lain lagi. Tapi bukan itu jawabannya. Jawabannya adalah dengan bertanya seperti perempuan ini, “di mana kakanda menggembalakan domba, di mana kakanda membiarkan domba-domba berbaring pada petang hari.” Mudah-mudahan saya tidak berlebihan intepretasinya, bahwa sang kakanda ini bukan cuma memberikan istirahat kepada si kekasih wanita jika dia bekerja bersamanya, tapi bahkan domba-dombanya pun dibiarkan berbaring pada tengah hari, sehingga ini jelas bukan gambaran gembala yang kejam.
Kalau kita berada di bawah ideologi-ideologi dunia ini, kalau kita berada di posisi yang salah, kita harusnya merindukan, kita harusnya bertanya, “di mana Kristus itu?”, di mana Sang Gembala Agung itu, yang memberikan istirahat kepada domba-domba-Nya pada tengah hari itu, saya ingin bersama Dia. Sedangkan domba-dombanya saja diberikan istirahat, apalagi aku yang adalah kekasih jiwanya. Ini mirip sekali dengan cerita Prodigal Son; waktu anak bungsu itu sadar, dia juga berpikir seperti ini. Waktu dia menyadari kejatuhannya, dia berpikir, ‘orang-orang upahan bapaku saja diperlakukan begitu baik, aku sendiri yang sebetulnya adalah anaknya, malah harus menderita seperti ini; sekarang aku mau kembali kepada bapaku’. Tiba-tiba dia bisa melihat keindahan yang ada pada bapanya, bukan lagi sebagai sosok yang mengancam tapi sebagai suatu sosok yang dia rindukan, yang bahkan orang-orang upahan bapanya pun diperlakukan dengan begitu baik. Dia berpikir, aku akan kembali kepada bapaku; tidak usah kembali jadi anak karena saya juga sudah tidak layak, cukup menjadi orang upahan bapa pun saya sudah bahagia sekali, karena bapaku ini adalah bapa yang sangat baik. Ini ada kemiripan dengan domba-domba yang diberi kesempatan berbaring pada tengah hari.
Saudara, apakah kita punya kesadaran ketika kita berada di lokasi yang salah seperti ini, lalu kemudian bertanya seperti perempuan ini, “di mana kakanda membiarkan domba-domba berbaring pada siang hari”? Kiranya Tuhan menarik kita supaya kita boleh ada bersama-sama di mana Dia berada.
Ringkasan khotbah ini belum Diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading