Kita melanjutkan pembahasan Kidung Agung; judul khotbah hari ini diambil dari judul yang diberikan LAI berikan dalam bagian ini, yaitu: “Mempelai Laki-laki dan Mempelai Perempuan Puji-memuji”.
Sebelum Gary Chapman mengeluarkan buku yang terkenal itu, “The 5 Love Languages”, yang salah satunya adalah “words of affirmation”, hal ini sudah dibicarakan Kitab Suci sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Bagian yang kita baca tadi, jangan dimengerti sebagai kalimat rayuan gombal, yang tidak tulus, omong kosong, dsb. –bukan seperti itu; ini perkataan yang tulus, ini suatu pengakuan (acknowledgement). Dan, pujian kepada pasangan seperti ini, tidak perlu dibenturkan dengan penyembahan berhala, atau tidak mau memuji karena nanti bisa bikin orangnya jadi sombong, dsb. –mungkin sebetulnya orang yang tidak mau memuji itu sendiri yang hatinya sempit, pelit pujian. Hati yang sempit, tidak bisa memuji orang lain; hati yang sempit tidak bisa mengatakan tentang kebaikan orang lain. Jadi, ketika Saudara membaca bagian ini, yang tentu konteksnya lebih sempit, yaitu kehidupan pernikahan, maka words of affirmation seperti dibicarakan dalam dunia modern, sebetulnya sudah ada.
Ayat 15 dan 16 di sini terjemahannya sedikit berbeda. Ayat 15, “Lihatlah, cantik engkau”, adalah perkataan dari mempelai laki-laki, lalu ayat 16, “Lihatlah, tampan engkau”, adalah perkataan dari mempelai wanita. Bagian ini sebetulnya di dalam bahasa aslinya, keduanya pakai istilah yang sama, yaitu ‘beautiful’, hanya saja mungkin kita agak geli kalau pakai istilah ‘cantik’ kepada laki-laki, jadi lebih baik pakai ‘tampan’. Tapi kalau Saudara baca secara puisinya, di sini memakai kata yang sama, sehingga betul-betul terlihat paralelnya. Bukan hanya itu, masih ada paralel-paralel lain yang nanti akan kita lihat.
Kita masuk dulu ke ayat 15, dikatakan: “Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau, bagaikan merpati matamu”. Mengapa di sini pakai istilah ‘merpati’? Ternyata bukan hanya Kidung Agung yang memakai istilah ‘merpati’ dalam kaitan dengan cinta, Richard Hess bahkan memberanikan diri untuk menafsir, bahwa ketika dalam peristiwa baptisan Yesus muncul burung merpati –yang kita tahu adalah Roh Kudus– bagian ini tetap ada kaitan dengan cinta. Kaitan gambaran burung merpati sebagai simbol dari cinta, itu dinyatakan di dalam peristiwa baptisan Yesus tersebut, karena dikatakan dalam Matius 3:17 ‘lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan”’, dan sebelumnya, di ayat 16 dikatakan ‘langit terbuka dan Ia (Yesus) melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya’. Ini tafsiran yang menarik, karena biasanya jarang mengaitkan Roh Kudus, apalagi burung merpati, dengan cinta/kasih; dan memang ayat 16 dan 17 tidak bisa dipisahkan. Menurut Richard Hess, burung merpati sebagai simbol cinta, ada di dalam ketiga Injil sinoptik, yaitu di dalam peristiwa baptisan Yesus.
Di dalam Kidung Agung, hal ini kemudian dikaitkan dengan mata, “bagaikan merpati matamu”. Apa sebenarnya yang disimbolkan di sini? Mengapa pakai ‘merpati’? Tentu saja pengertiannya bisa banyak sekali, tapi salah satu yang bisa kita katakan adalah adanya kehidupan yang lincah (lively), dan sudah pasti ketulusan juga termasuk di dalamnya. Maksudnya, dari mata terpancar sesuatu, mau mengatakan bahwa ada cinta. Dikatakan di ayat 15 tadi, “bagaikan merpati matamu”, berarti ini bukan mata yang tidak ada cahayanya, mata yang sayu, yang tidak peduli, apalagi yang penuh dengan kebencian; ini adalah mata yang memancarkan cinta. Dari situ kita tahu, perempuan ini mencintai sang mempelai laki-laki. Mereka melihat satu sama lain, mereka memandang mata satu dengan yang lain; dan mereka tahu dari pancaran mata itu, bahwa ada cinta yang keluar.
Kita sudah membahas bahwa kitab Kidung Agung ini banyak bermain dengan panca indra. Dalam kitab ini, panca indra penting. Kitab ini tidak banyak bicara hal-hal seperti refleksi filosofis (philosophical reflection), atau perenungan yang secara akal (reasonable contemplation), dan semacam itu, tapi lebih banyak bicara tentang indra, tentang persepsi indrawi (sensory perception), sangat bersifat ‘tubuh’, melibatkan panca indra, bukan seperti dalam filsafat yang lebih menekankan kontemplasi rasional, dsb. Dan salah satunya, yang diangkat di sini adalah persoalan ‘mata’; dari pandangan mata, kita bisa mengekspresikan cinta (ayat 15).
Ayat 16, tanggapan dari mempelai perempuan: “Lihatlah, tampan engkau, kekasihku, sungguh menarik; sungguh sejuk petiduran kita.” Sayang sekali, di dalam Bahasa indonesia bagian ini tidak terlalu jelas waktu dikatakan‘sungguh sejuk petiduran kita’; demikian juga dalam terjemahan ESV, “our couch is green”. Dalam bahasa aslinya, sebetulnya istilah yang dipakai cukup menarik, yaitu ra anana, yang artinya adalah spreading tree. Jadi, ‘our bed’ atau ‘our couch’ ini, dikatakan dalam ESV ‘is green’ (hijau), sehingga kita mungkin pikir ini cuma urusan warna, bahwa petidurannya hijau; tapi sebetulnya dalam bahasa aslinya yang dimaksud adalah seperti pohon yang bertumbuh, yang berkembang terus. Penekanannya lebih kepada bertumbuh-nya, daripada pohon-nya. Apa artinya? Artinya, di dalam cinta ada pertumbuhan; cinta bukan sesuatu yang statis, tidak bertumbuh dan akhirnya tidak berbuah. Kita menantikan banyak buah, di dalam kehidupan yang saling mencintai. Di dalam hubungan suami istri, tentu saja buah yang paling dekat yang bisa kita bicarakan adalah anak; dengan hubungan cinta, Tuhan mengaruniakan anak, dan dengan tepat kita bisa katakan anak-anak sebagai buah cinta.
Selain tentang anak, kita tahu bahwa melalui cinta, pengharapan kita bisa bertumbuh. Hidup ini perlu pengharapan; dan pengharapan terkandung di dalam cinta. Paulus di dalam 1 Korintus 13 mengatakan: “kasih itu mengharapkan segala sesuatu”. Di dalam cinta, ada pengharapan; pengharapan terkandung di dalam cinta. Manusia hidup, memerlukan pengharapan, karena tanpa pengharapan, akan sulit dan tidak ada kekuatan untuk melihat ke depan, untuk bergerak, dsb. Pengharapan itu dari mana? Bukan dari optimisme naif, tapi dari mencintai; orang yang mencintai, dia mengharapkan. Waktu kita tidak mengharapkan lagi, sebetulnya kita berhenti mencintai. Waktu Saudara mulai give up dengan relasi –baik relasi suami istri, relasi laki-laki dan perempuan, atau relasi yang lebih luas seperti persahabatan– waktu Saudara berhenti berharap, berarti Saudara berhenti mencintai. Pengharapan (hope) itu sendiri termasuk juga ‘spreading tree’ ini; di dalam bahasa yang sangat puitis, “petiduran kita seperti pohon yang berkembang, yang akan bertumbuh ke atas, yang akan memberikan buah-buah.”
Selain pengharapan, kita juga bisa membicarakan sukacita (joy). Dalam seminar dengan MRII di Eropa kemarin, kami membicarakan kaitan antara witness and joy; kita tidak bisa bersaksi tanpa sukacita. Kalau Kekristenan dilihat sebagai agama yang suram dan muram, yang orang-orangnya terlihat seperti banyak masalah, tidak keluar-keluar dari masalah, ditambah lagi kita menghiasnya dengan kalimat “kita sedang pikul salib –maka kita suram dan muram– salibnya berat”, saya sekali lagi mau mengingatkan, bahwa Tuhan Yesus mengatakan, kuk yang Dia pasang itu enak dan beban-Nya pun ringan. Kalau Saudara merasa Kekristenan itu tidak enak dan bebannya berat, maka ada yang salah di dalam kehidupan Saudara.
Sukacita adalah buah dari mencintai. Kita tentu saja bisa membicarakan sukacita di dalam berbagai aspek. Sukacita sendiri adalah buah Roh, seperti kita baca dalam Surat Galatia; tapi kalau kita boleh mengaitkannya dengan bagian kita, kita bisa mengatakan bahwa salah satu dari buah cinta (fruit of love) adalah sukacita sejati (true joy). Bukan kebetulan, di dalam pembicaraan Paulus kasih disebutkan sebagai yang pertama –kasih, sukacita, damai sejahtera– karena kasih yang sejati itulah yang membawa kepada sukacita. Sukacita ini berbeda dari kesenangan yang dari dunia. Kesenangan dari dunia adalah kesenangan karena kita memperoleh apa yang kita inginkan; dengan mendapatkan apa yang kita mau, kita jadi sukacita. Ini sukacita yang kekanak-kanakan.
Kalau kita mengaitkan sukacita dengan cinta, ini berarti bahwa justru waktu kita sanggup mencintai, waktu kita bukan terus-menerus mengharapkan dicintai tapi sebaliknya mencintai dengan aktif, maka kasih yang membuat kita mengasihi itulahyang memberikan sukacita yang sejati –sebagaimana di dalam Alkitab dikatakan ‘yang lebih berbahagia adalah yang memberi daripada yang menerima’. Orang yang mencintai, hidupnya lebih joyful; orang yang kurang joyful, dia sebetulnya kurang mencintai. Sama seperti di dalam cinta ada pengharapan, kita percaya juga di dalam cinta ada sukacita yang sejati. Kalau kita mau lebih mengerti apa artinya sukacita Tuhan, jadilah seperti Tuhan. Tuhan itu mencintai, Tuhan itu mengasihi, Dia di dalam sukacita yang penuh, dan Dia adalah sukacita itu sendiri, Dia adalah kasih itu sendiri. Saudara dan saya belajarlah jadi spreading tree ini, bukan jadi pohon yang statis dan tidak bertumbuh, tapi terus-menerus bertumbuh, makin luas, makin tinggi, makin berbuah. Apakah buahnya? Dalam hal ini, setidaknya adalah pengharapan, sukacita; ini adalah akibat/buah dari cinta kasih mereka.
Pasal 1 ini diakhiri dengan pembicaraan di ayat 17, “kayu aras balok-balok rumah kita, dari kayu eru papan dinding-dinding kita.” Kitab Kidung Agung ini sangat berbicara tentang alam (natural world) yang adalah ciptaan Tuhan, dan demikian juga cinta; cinta kehidupan suami istri itu ada di dalam konteks teologi penciptaan (theology of creation). Di dalam teologi ciptaan, Tuhan memberikan hal itu sebagai kado, supaya manusia bersukacita di dalamnya. Jadi Kidung Agung dan natural world ini tidak bisa dipisahkan. Dan bukan kebetulan bagian terakhir ini ditutup dengan pembicaraan tentang kayu aras, kayu eru –tentang dunia ciptaan. Ini bicara tentang sesuatu yang manusia dapatkan dari alam, tapi manusia itu sendiri kemudian menggunakan dengan mengelolanya. Jadi di sini ada dua hal. Di satu sisi adalah pemberian Tuhan, Tuhan yang memberikan, ‘inilah dunia Bapaku, di dalamnya kita bersukacita karena ini diciptakan oleh Bapaku’. Di sisi lain, ini bukan cuma bicara tentang kayu aras, tapi kayu aras yang menjadi balok-balok rumah kita, bukan cuma bicara tentang kayu eru, tapi bicara tentang papan dinding-dinding kita; jadi ada urusan mengelola/membudayakan alam (cultivate).
Ini mengingatkan kita dengan Kejadian pasal 2, perintah untuk mengusahakan dan memelihara taman; yang kita mau tekankan di sini, adanya kata ‘mengusahakan’. Memang memelihara juga, tapi bukan memelihara dalam arti jadi pecinta lingkungan (environmentalist) yang tidak boleh menyentuh alam sama sekali karena alam dianggap suci seperti Tuhan –yang seperti itu, bukan pandangan Kristen. Tentu saja ekstrim yang lain, yang mengeksploitasi dan menghancurkan alam sampai merusak ekologi, dsb., juga salah, jelas berlawanan dengan perintah dalam Kejadian 2, bahwa kita musti memelihara taman itu. Memelihara bukan berarti tidak mengusahakan; dalam memelihara, ada pengelolaan/pembudayaan (cultivation).
Di dalam bagian ini, kayu aras dan kayu eru adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia, tapi manusia juga bertanggung jawab untuk mengelolanya jadi balok-balok, papan dinding-dinding rumah; demikian juga halnya dengan cinta dan relasi suami istri. Orang yang jatuh cinta, itu suatu pemberian Tuhan di dalam konteks keindahan ciptaan; tapi jangan tidak diusahakan. Tidak ada tension sama sekali di sini. Ini bukanlah sesuatu yang ‘karena ini kado dari Tuhan, jadi saya tidak boleh sentuh’ –itu bukan ekologi Kristen; ekologi Kristen tidak mengajarkan bahwa Saudara tidak boleh berbuat apapun terhadap alam sama sekali.
Pada zaman Barok ada yang namanya French garden, yang ada di bagian belakang istana-istana di Eropa. French garden ini bentuknya sangat geometris; dan kita mungkin mendapat kesan ini taman yang sangat artifisial, setidaknya mau mengatakan bahwa ini taman yang ada sentuhan manusia. Tapi di zaman yang sedikit lebih belakangan, yaitu zaman Enlightenment, ada aliran baru, namanya English garden. English garden ini kontras dengan French garden. French garden menyatakan campur tangan manusia, sedemikian rupa sampai bentuk-bentuknya geometris dan terlihat artifisial; sedangkan English garden dipengaruhi worldview Deis, yang mengatakan bahwa Tuhan, setelah Dia menciptakan, Dia tidak lagi berurusan dengan dunia ciptaan-Nya, Dia tidak menyentuhnya lagi, dunia ciptaan sudah diberikan sistem dan hukum-hukum yang tidak bisa diganggu gugat, dan Tuhan senang dengan itu, sehingga Dia tidak perlu intervensi apa-apa lagi atas dunia ciptaan-Nya. Tentu saja dari perspektif Reformed kita tidak menerima pandangan Deis ini, tapi yang menarik, orang-orang yang mencetuskan aliran English garden ini, karena allahnya adalah allah yang tidak menyentuh dunia ciptaan, yang menciptakan saja lalu tidak ngapa-ngapain, tidak berurusan dengan dunia ciptaannya –dan manusia itu created after the image of god— maka English garden pun, kontras dengan French garden, dibiarkan sealami mungkin. Menurut mereka, French garden itu ngawur, itu bukan alam, jadi tidak keruan, jadi artifisial, tidak alamiah. Jadi, aliran English garden maunya yang alamiah, tidak usah disentuh, kalau pohon bertumbuhnya begini begitu, ya, sudah, biarkan saja, tidak usah digunting-gunting lalu dibentuk jadi begini begitu, apalagi jadi berbentuk anjing, kelinci, kura-kura, dsb., karena di alam tidak ada yang seperti itu, aneh sekali, biarkan saja sesuai bentuk aslinya.
Kembali ke Kidung Agung yang kita baca, menarik bahwa memang sesuatu ini adalah pemberian Tuhan, tapi bukan berarti tidak boleh dikelola/diusahakan. Cinta itu perlu kita usahakan. Bukan karena itu sesuatu yang alamiah lalu jangan disentuh sama sekali, jadi ultra environmentalist misalnya; itu bukan ajaran Kristen. Ajaran Kristen memberikan tanggung jawab, bahkan keberanian,untuk mengusahakan —termasuk juga dalam hal cinta.
Kadang-kadang sebelum menikah orang bergumul mati-matian, ‘apakah ini kehendak Tuhan, apakah ini wanita yang disediakan Tuhan, apakah ini pria yang disediakan Tuhan’, sampai doa puasa, dsb. Setelah bergumul, akhirnya merasa yakin ini wanita/pria yang diberikan Tuhan dalam kehidupan saya. Tapi setelah itu, akhirnya bubar pernikahannya; lalu kita mulai bertanya-tanya, ‘jangan-jangan dia bukan perempuan yang diberikan Tuhan, jangan-jangan saya salah nikah, jangan-jangan ini bukan pria yang diberikan Tuhan, saya salah nikah sih, akhirnya bubar begini, berarti dulu cari kehendak Tuhan-nya salah’. Pikiran seperti itu, simplistik sekali. Orang bubar nikah, itu tidak tentu karena pilihnya salah; orang bubar nikah, sangat mungkin karena relasinya tidak diusahakan. Katakanlah Saudara bekerja di tempat yang memang disediakan Tuhan, tapi etos kerja Saudara berantakan, ya, Saudara bisa dipecatlah di sana; dan waktu Saudara dipecat, jangan bilang “O, ini bukan perusahaan yang diberikan Tuhan” –nanti dulu. Memangnya kalau itu laki-laki atau perempuan yang Tuhan sediakan, maka apapun yang Saudara lakukan, pernikahan itu akan langgeng terus?? Prinsip dari mana yang seperti itu.
Pernikahan yang tidak diusahakan/ dibina (cultivate), yang kita cuma berkanjang dalam keyakinan ‘ini perempuan yang disediakan Tuhan, ini laki-laki yang disediakan Tuhan’, tapi tidak membina pernikahan itu, ya, akan rusaklah pernikahannya. Dunia ciptaan ini diberikan Tuhan? Ya. Ini sola gratia? Tentu. Tapi Saudara dan saya musti cultivate, musti membinanya, mengembangkannya. Ini bicara tentang spreading tree. Ini bukan sesuatu yang statis, lalu kita menghibur diri, “tapi ini sudah pohon yang benar, saya sudah tepat koq di bawah pohon ini”; ini bukan bicara tentang pohon yang satatis dan Saudara statis berada di bawah pohon tersebut, ini bicara tentang spreading tree, pohon yang bertumbuh dan berbuah –kalau kita terus setia di dalam cerita cinta kita.
Ayat pertama dari Kidung Agung 2, “Bunga mawar dari Saron (asphodel) aku, bunga bakung di lembah-lembah (lotus of the valley).” Ini istilah yang sulit. Istilah ‘bunga mawar’ bagi kita mungkin mudah/biasa, sedangkan asphodel ini istilah yang jarang. Istilah ini dalam Perjanjian Lama muncul di Yesaya 35:1-2: “Padang gurun dan padang kering akan bergirang, padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga; seperti bunga mawar (asphodel) ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai. Kemuliaan Libanon akan diberikan kepadanya, semarak Karmel dan Saron; mereka itu akan melihat kemuliaan TUHAN, semarak Allah kita.” Saya pikir, kita bisa membaca Kidung Agung 2:1 dari terang Yesaya 35:1-2 ini, yang juga menyebut asphodel. Di sini ada motif ‘padang gurun’, ada motif ‘berbunga lebat’; berbunga lebat dari padang gurun, bahkan padang yang kering. Ini berarti membicarakan keadaan yang tidak menjanjikan, tapi bisa ada kesuburan, ada berbunga lebat, yang kemudian ada sorak-sorai –dalam bahasa Indonesia bahkan sampai diulang 3 kali, “akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai”—dan ada kemuliaan Tuhan.
Di dalam Kitab Kidung Agung tidak membicarakan Tuhan –mirip seperti Kitab Ester dan Rut, kitab-kitab yang tidak banyak membicarakan Tuhan– tapi sebetulnya di sini Tuhan di-assumed, dan sukacitanya Tuhan dianggap sebagai yang memberikan kemungkinan ada sukacita ini, yang memberikan kemungkinan sorak-sorai. Ini mengingatkan kita pada visinya Jonathan Edwards; di dalam salah satu tulisannya, dia mengatakan bahwa Tuhan justru paling dipermuliakan ketika kita paling bersukacita di dalam Dia. Maksudnya, dia mau mengatakan bahwa tidak ada tension antara sukacita kita –kalau kita menghayatinya di dalam Tuhan– dengan kemuliaan Tuhan. Seringkali kita mengontraskan hal ini, kita pikir kalau kita terlalu bahagia, nanti Tuhan tidak senang; jadi seakan-akan Tuhan itu senang kalau kita muram, kalau kita berdukacita, atau bagaimana?? Di dalam Bahasa Jerman ada istilah schádenfreude, artinya orang yang bersukacita karena kemalangan orang lain; tapi Tuhan jelas bukan schádenfreude, sudah pasti Tuhan tidak begitu. Dia sendiri yang menciptakan kita, Dia berbahagia kalau kita berbahagia. Persoalannya, kita ini seringkali berbahagianya bukan di dalam Tuhan.
Di dalam kidung Agung, meskipun tidak ada pembicaraan tentang kemuliaan Tuhan, kesenangan Tuhan, bahkan tidak bicara tentang Tuhan, tapi ada ruang yang begitu luas yang diberikan untuk manusia bersukacita. Tuhan sendiri menyediakan sukacita itu. Tuhan dipermuliakan waktu kita mengerti kenikmatan yang diberikan ini. Kita jangan menahan perayaan (celebration) dengan rasa sungkan, seakan-akan kalau kita celebrate, kalau kita senang-senang –apalagi dengan urusan seks–sepertinya kurang kudus, dan kita mustinya hanya sukacita untuk hal-hal berkenaan dengan atribut-atribut Allah misalnya. Kalau seperti ini, kita masih berpikir secara dualisme. Justru Kidung Agung mau membebaskan kita dari pemikiran dualis seperti ini. Tuhan bisa dipermuliakan melalui sukacita orang yang menikmati seks secara benar di dalam Tuhan.
Yesaya 35:1-2 ini bicara tentang kemuliaan Tuhan, tentang ketidakmungkinan di padang gurun yang kering bisa ada bunga bermekaran, namun asphodel (bunga mawar, dalam terjemahan Bahasa Indonesia) menjanjikan hal ini. Ini bicara tentang image of fruitfulness di dalam kondisi yang tidak memungkinkan. Relasi cinta, apalagi di dalam kehidupan suami istri, memungkinkan hal ini. Tidak penting Saudara tinggal di mana, entah Saudara tinggal di padang gurun atau di istana, itu tidak jadi soal. Kita jadi salah kalau berpikir ‘saya musti tinggal di jenis rumah kayak begini, yang desainnya saya suka itu, kalau tidak, ya, tidak ada cinta, tidak ada kebahagiaan’. Saudara, ingatlah asphodel itu, yang memungkinkan adanya bunga bermekaran itu, meskipun sebetulnya di padang gurun kering –entah Saudara di gubuk ataupun istana.
Omong-omong, Kidung Agung ini banyak imajinasinya. Dalam hal ini saya cenderung sependapat dengan tafsiran yang mengatakan, bahwa ini sebetulnya imajinasi dari seorang gadis desa, seorang perempuan sederhana; dan dia berimajinasi tentang Salomo serta istananya. Mempelai laki-laki dari perempuan ini, sepertinya bukan Salomo, cuma pemuda biasa, tapi imajinasinya bisa sampai ke Salomo dan istananya. Mengapa bisa demikian? Tentu saja perempuan ini bukan sakit jiwa –imajinasi bukan berarti sakit jiwa –tapi justru karena ‘asphodel/bunga mawar’ memungkinkan hal itu, meskipun di gubuk namun dia bisa melihatnya sebagai istana. Imajinasi seperti ini tentu tidak asing bagi Saudara dan saya; tinggal di gubuk tapi serasa istana, tinggal di rumah sederhana tapi serasa rumah dari kayu aras yang tidak murah itu. Dalam kenyataannya, mungkin bukan seperti itu, mungkin rumahnya gubuk. Jadi, motif ‘asphodel/bunga mawar’ ini, mau menyatakan bahwa sejauh kita mencintai, sejauh kita digerakkan oleh cinta kasih, maka sebuah relasi bisa seperti bunga mawar yang berada di padang gurun/padang kering, yang sebetulnya tidak memberi alasan untuk bisa bergirang. Siapa sih, yang mau bergirang di padang gurun/ padang kering, tentu saja tidak; kalau di tanah perjanjian, ya, bergirang, tapi di padang gurun tentu tidak. Tetapi, motif ‘asphodel/bunga mawar’, memungkinkan hal itu.
Apakah artinya bunga mawar ini? Kita membaca kembali Kidung Agung 2:1, “Bunga mawar dari Saron aku, bunga bakung di lembah-lembah.” Terlihat ada kepercayaan diri (confidence) di sini; ini bukan sombong tapi kepercayaan diri yang sehat, harga diri (self esteem) dan citra diri (self image) yang sehat. Maksudnya, kehadiranku akan mengubah padang gurun ini jadi tempat yang menyenangkan untuk didiami, karena aku ini mawar, asphodel dari Saron. Lihatlah Yesaya 35 tadi, dalam keadaan yang tidak memungkinkan di padang gurun itu, mawar ternyata bisa bermekaran juga, ada kehidupan, ada keindahan –waktu kita mencintai. Meskipun di padang gurun, ada buah yang bisa dinantikan.
Bukan cuma itu, di dalam 1 Raja-raja 7 juga ada pembicaraan tentang bunga bakung (atau lotus, dalam terjemahan Bahasa Inggris); secara motif, bunga bakung ini dipakai sebagai dekorasi di bait Allah. Sedikit membaca Kidung Agung 2:1 dari terang 1 Raja-raja 7, ini berarti tidak ada dualisme antara kebahagiaan cinta dengan “Bait Suci”. Kebahagiaan cinta, dan sikap ibadah/penyembahan kepada Tuhan, bukanlah sesuatu yang di-dualisme-kan.
Saya dulu pernah ke sebuah gereja; dan di situ laki-laki dan perempuan tidak duduk bareng, laki-laki di sana, perempuan di sini, orang seperti tidak kenal dengan pacarnya sendiri, karena pemimpin gerejanya bilang “Lu jangan duduk sebelahan kayak begitu, Lu kalau mau pacaran, ya, silakan pergi ke taman atau ke mana, tapi ini hari Sabat, di gereja semua musti berhenti dari pacaran”. Gambaran seperti ini sangat dualis; seperti tidak senang kalau ada orang yang menjalin cinta, itu dianggap sesuatu yang tabu, apalagi di gereja. Tapi Kidung Agung tidak mengajarkan seperti itu. Di sini bicara tentang bunga bakung/lotus, yang dipakai untuk menggambarkan kehidupan cinta, ‘aku seperti bungabakung di lembah-lembah’; dan ternyata bunga bakung yang sama, juga dipakai untuk dekorasi Bait Allah. Jadi tidak ada dualisme antara kebahagiaan cinta dengan sikap ibadah di hadapan Tuhan.
Inilah ironisnya: semakin kita menciptakan dualisme, semakin kita kerepotan; semakin kita menganggap sesuatu tabu, semakin itu jadi berhala, karena kita tidak mampu juga untuk menekannya. Kita anggap itu sebagai sesuatu yang rendah, akhirnya kita merasa sedikit jijik, tabu, dsb., kita tidak mau membicarakannya karena kita mau jadi orang yang ‘religius’. Tapi justru karena penekanan itu, akhirnya aspek-aspek tersebut jadi tidak dikuduskan, tidak berkait dengan penyembahan kepada Tuhan. Kidung Agung tidak menerima tafsiran seperti itu; yang seperti itu, bukan yang dinyatakan oleh Kidung Agung.
Bukan cuma itu, di ayat 2 dikatakan: “Seperti bunga bakung di antara duri-duri, demikianlah manisku di antara gadis-gadis.” Kalau kita membandingkan bunga bakung/lotus dengan duri-duri, tentu tidak sebanding sama sekali; mana mungkin keindahan bunga bakung disejajarkan dengan duri-duri. Lalu maksudnya apa? Duri-duri itu sama sekali tidak signifikan; siapa sih, yang melihat bunga bakung dan duri lalu membanding-bandingkan mana lebih bagus?? Sudah pasti tanpa harus berpikir, jelas lebih bagus bunga bakung. Bunga bakung tidak sebanding sama sekali dengan duri-duri.
Waktu dikatakan “seperti bunga bakung di antara duri-duri, demikianlah manisku di antara gadis-gadis”, ini berarti dari perspektif mempelai laki-laki, tidak usah ada perempuan yang lain, semua itu tidak menarik, perempuan-perempuan lain itu cuma seperti duri-duri. Inilah hubungan pernikahan –ataupun belum menikah– yang sehat; suatu kebanggaan yang sehat. Ini jangan ditafsir “lho, dia menghina gadis-gadis yang lain”; sama juga, tidak lucu kalau kita lalu bilang, “kita juga musti menghargai ciptaan Tuhan seperti duri-duri ini, jangan dihina, dong”. Bukan ke sana message-nya. Waktu bicara bunga bakung dan duri-duri, di sini sebetulnya jelas sekali mana yang lebih menonjol. Demikian juga, orang yang mencintai seseorang, hatinya bukan mendua, bukan pikir-pikir lihat sana-sini, ‘ini atau itu ya… yang ini kakinya lebih menarik, tapi waduh, hidungnya agak pesek… yang itu hidungnya mancung, tapi kakinya panjang sebelah… susah juga, ya’, dst., tidak bisa menentukan, lihat-lihat kanan-kiri terus, dsb. Di dalam Kidung Agung, waktu dikatakan “seperti bunga bakung di antara duri-duri, demikianlah manisku di antara gadis-gadis”, jelas perhatiannya hanya kepada satu gadis itu saja, bukan yang lain.
Selanjutnya perkataan itu dibalas di ayat 3, yang sebetulnya pengertiannya dekat sekali atau bisa dibilang sama; dikatakan: “Seperti pohon apel di antara pohon-pohon di hutan, demikianlah kekasihku di antara teruna-teruna.” Ini message yang sama, mau mengatakan bahwa di antara para laki-laki yang lain, cuma ada satu ini, yaitu kekasihku ini, yang seperti pohon apel di antara pohon-pohon di hutan.
Mengapa di sini pakai ‘apel’? Kalau kita membaca dalam Perjanjian Lama, apel memiliki nuansa kesegaran. Tidak usah jauh-jauh, masih di pasal 2 Kidung Agung ini, juga muncul ‘apel’ di ayat 5: “Kuatkanlah aku dengan penganan kismis, segarkanlah aku dengan buah apel, … “. Kalau di zaman sekarang, apel itu hubungannya bisa dengan urusan diet, apel untuk mengeluarkan batu empedu, apple cider vinegar untuk menurunkan gula, dsb., jadi banyak sekali pengertian ‘apel’; sedangkan pada pada zaman itu, apel tidak dimengerti sebagai makanan untuk kesehatan tapi lebih sebagai makanan untuk menyegarkan (refreshing). Waktu dikatakan ‘kekasihku seperti pohon apel’, ini berarti sesuatu yang refreshing; dan secara rasanya, apel tidak membosankan, apalagi yang rasanya asam-asam segar. Apel memberikan rasa seperti itu, ada suatu kenikmatan dari rasanya, belum lagi baunya. (Memang kita agak jarang membahas Alkitab ke arah sini, tapi ini puisi, jadi tidak menarik kalau membahasnya secara skolatis analitis, tidak masuk untuk Kidung Agung). Jadi di dalam apel, ada rasa (taste), dan ada bau (odour) yang semerbak; dan dia menggambarkan kekasihnya seperti pohon apel yang berbau menyenangkan, dan memberikan rasa yang nikmat menyegarkan. Maksudnya, dia mau mengatakan, “saya mau menikmati kekasihku seperti menikmati apel; kekasihku itu sesuatu yang saya bisa menikmatinya”.
Cinta itu banyak berurusan dengan taste, bukan dengan intellectual cognition, intellectual comprehension; aneh sekali kalau menggambarkan cinta dengan gambaran seperti itu. Cinta adalah sesuatu yang dirasakan, sesuatu yang akan menyegarkan; maka waktu kekasihnya mengatakan “seperti bunga bakung di antara duri-duri”, dijawab dengan “seperti pohon apel di antara pohon-pohon di hutan, demikianlah kekasihku di antara teruna-teruna.” Seolah-olah mau mengatakan, ‘yang lain-lain tidak terlalu menyegarkan, tapi bau semerbakmu menonjol, mengalahkan semua yang lain; dan rasamu berbeda dari semua pohon-pohon di hutan, teruna-teruna yang lain’.
Selanjutnya, ayat 3b, “Di bawah naungannya aku ingin duduk, buahnya manis bagi langit-langitku.” Ayat ini sangat menarik; mengapa? Karena, waktu di sini dikatakan oleh si perempuan “seperti pohon apel di antara pohon-pohon di hutan”, kita yang laki-laki mendengar perempuan bicara begini, bisa langsung bereaksi ‘eh…, sebentar-sebentar, lu mau gigit gua, ya? ini cewek agresif, menakutkan, masa’ gua seperti pohon apel, emangnya gua bau apa, sih’, dst. Kita merasa ini perempuan yang suka mendominasi; tapi kemudian Saudara lihat ayat 3b mengatakan, “di bawah naungannya aku ingin duduk,”; dalam terjemahan Bahasa Inggris, “with great delight I sat in his shadow”.
Istilah ‘naungan’ di dalam terjemahan Bahasa Indonesia ini maksudnya adalah ‘in his shadow’. Ini mengingatkan kita, bahwa di dalam bagian awal perempuan ini hitam karena terbakar oleh sinar matahari, tapi kemudian di bagian ini dia mendapatkan perteduhan/bayangan (shadow) dari kekasih laki-lakinya. Indah sekali gambaran ini. Sangat kontras dengan gambaran waktu dia disuruh kerja oleh anak-anak laki-laki ibunya –yang bahkan dia tidak menyebutnya ‘saudara laki-lakiku’– dan di sini dikontraskan dengan kekasih laki-lakinya yang memberikan kepadanya perteduhan sehingga dia bisa berada di naungannya. Ini adalah gambaran ketundukan (submission) sebetulnya. Ini bukan gambaran perempuan yang tadi kita antisipasi ‘kayaknya ini perempuan agresif’; ternyata, ini bukan perempuan yang seperti itu. Ini perempuan yang mau tunduk, yang bisa rileks, yang bisa membiarkan dirinya duduk di bawah naungan mempelai laki-laki.
Kalimat selanjutnya, “buahnya manis bagi langit-langitku”; di dalam Bahasa Inggris: “In its shade I delight to sit, Its fruit is sweet to my palate”. Jadi, waktu perempuan ini dekat dengan kekasihnya, dia merasa mendapatkan perhentian, istirahat, relieve dari matahari yang terik itu; dan dia mengharapkan kehadiran suaminya di dekatnya, menyediakan refreshment seperti ini, menyegarkan dirinya. Tidak seperti pekerjaannya yang berat di bawah terik matahari dan tidak adanya belas kasihan para saudara laki-lakinya, kekasih laki-lakinya ini bukan demikian, perempuan ini bisa berteduh di bahwa naungannya.
“Buahnya manis bagi langit-langitku”, sekali lagi di sini memakai metafor taste, yang sangat membawa kita kepada imajinasi sensual pleasure, kenikmatan secara indra, yang di sini dirayakan. Ini juga bisa ditafsir ke arah love making, apalagi di ayat 4 bicara tentang ‘rumah pesta’, “Telah dibawanya aku ke rumah pesta” . Terjemahan Bahasa Indonesia ini tampaknya sangat “moral”, tapi kalau kita bandingkan dengan terjemahan Bahasa Inggris, ada yang menerjemahkan dengan ‘house of wine’ (ESV menerjemahkan mirip seperti Bahasa Indonesia: banqueting house). Waktu dipakai terjemahan ‘house of wine’ (rumah anggur), apa maksudnya? Ini bukan bicara tentang tempat mabuk-mabukan lalu kehilangan kontrol diri –kalau seperti itu, jadi betul-betul carnal; tapi seperti kita baca di dalam pasal 1, “karena cintamu lebih nikmat dari pada anggur”, gambaran anggur ini dipakai dalam kaitan dengan cinta, dan bahkan love making. Jadi, rumah pesta, banqueting house, atau house of wine, jangan ditafsir ke arah mabuk-mabukan, tidak ada penguasaan diri, dsb.; ini sebetulnya adalah simbol dari cinta erotis.
Ayat 4b dikatakan: “dan panjinya di atasku adalah cinta”; terjemahan Bahasa Inggris: “his banner over me was love”. Ada terjemahan lain, yang lebih sederhana dan mungkin lebih menolong kita untuk bisa mengerti, yaitu: “his intent for me is love”. Memang ini bahasa puitis, kita jadi bisa bertanya-tanya, apa maksudnya istilah ‘panjinya’ ini, kenapa bawa-bawa panji/bendera, dsb. Tapi yang dimaksud dengan panji/bendera di sini, bahwa tujuan, alasan, maksud, kemauan sang mempelai laki-laki ini adalah cinta. Jadi ayat 4 ini mau mengatakan tentang dibawa ke rumah pesta, rumah anggur, kemudian di sana menikmati hubungan yang intim antara suami dan istri. Inilah cinta yang lebih nikmat daripada anggur; anggur sangat nikmat, tapi cinta ini bahkan lebih nikmat daripada anggur.
Di bagian berikutnya kita mendapati motif yang lain; ayat 5: “Kuatkanlah aku dengan penganan kismis, segarkanlah aku dengan buah apel, sebab sakit asmara aku.” Ini bicara tentang refreshment lagi, sesuatu yang perlu disegarkan lagi. Mengapa perlu disegarkan? Dalam Bahasa indonesia dikatakan “sebab sakit asmara aku”. Ini terjemahan yang baik, tapi dalam Bahasa Inggris sebetulnya lebih sederhana, “I am faint (pingsan) with love” —karena sudah mau pingsan, maka perlu penyegaran. Apa artinya?
Ada beberapa hal yang bisa kita tafsir di sini. Kismis (anggur yang dikeringkan), pada saat itu dipercaya sebagai makanan yang bisa menstimulasi pikiran.Sekali lagi, ini berarti ‘rumah anggur’ sama sekali tidak bisa ditafsir sebagai kemabukan, karena jadi tidak cocok dengan ‘kismis’ yang menstimulasi pikiran. Jadi ini tidak bicara tentang cinta yang liar; ini bicara tentang cinta yang tetap ada pengendalian diri. Meski ada pengendalian diri, itu bukan berarti tidak berani ada kenikmatan sensual (sensual pleasure); inilah yang indah dari Kidung Agung. Kalau kita asketis, pietis, mungkin jadi susah mengertinya; akhirnya kita menafsir secara highly relligious, kita tidak berani mengatakan kalimat-kalimat seperti ini. Namun bagi Kidung Agung, tidak ada tension antara memuliakan Tuhan, menikmati ciptaan Tuhan yang juga memuliakan Tuhan, dengan menikmati sensual pleasure yang juga adalah anugerah Tuhan.
Itu sebabnya di bagian ini, alih-alih bicara kemabukan, di sini bicara tentang penganan kismis, kue/cake, yang dipercaya meningkatkan kesadaran (stimulating the mind). Bisa saja makanan ini jadi pengganti/substitusi karena kekasihnya sedang tidak ada bersama dengan dia, sebagai pengalih perhatian karena sakit asmara. Terlalu sakit, jadi perlu kue kismis untuk menggantikan, perlu buah apel untuk menggantikan. Tadi kita mengatakan buah apel sebagai sesuatu yang menyegarkan, dan kekasihnya seperti pohon apel (ayat 3), maka waktu dikatakan perempuan ini mau makan buah apel, itu juga bisa dalam pengertian bahwa dengan makan buah apel, bisa menggantikan kehadiran suaminya, seakan-akan dia sedang menikmati suaminya. Sangat imajinatif yang dikatakan di sini, tapi kita tidak cukup waktu untuk membahas lebih detail lagi.
Tadi kita mengatakan adanya gambaran perempuan yang tunduk; dan hal ini ditegaskan sekali lagi di ayat 6: “Tangan kirinya ada di bawah kepalaku, tangan kanannya memeluk aku.” Sangat tidak tepat kalau Saudara mengerti ayat 3 tadi sebagai perempuan yang mendominasi, agresif, dsb., karena di ayat 6 ini dia menempatkan dirinya di dalam passive mode, dia resting di dalam pelukan sang kekasih. Di sini Richard Hess bicara tentang menyerah secara pasif (passively yielding), ini adalah keanggunan perempuan. Perempuan, kalau mendominasi, suka perintah-perintah, bossy, dsb., itu jadi seperti monster gambarannya, mengerikan. Tapi di sini Saudara mendapati gambaran perempuan yang passively yielding.
“Tangan kirinya ada di bawah kepalaku, tangan kanannya memeluk aku.”Dia memberikan suaminya untuk memimpin, dan dia menikmati rasa aman (security) dan kepercayaan (trust) yang disediakan oleh mempelai laki-laki. Dia bukan memosisikan diri sebagai yang mencari dan mengusahakan security and trust –perempuan yang seperti itu, sebetulnya kasihan, hidupnya pasti amat sangat lelah. Yang menyediakan security and trust adalah laki-laki, bukan perempuan. Perempuan adalah yang menikmati security, dan dia bisa fully trusting suaminya. Tentu saja suami yang tidak dipercaya, itu masalah. Suami yang tidak menyediakan security, tentu saja masalah, karena bagaimana mungkin perempuan bisa passively yielding kalau seperti itu.
Ayat ini bukan hanya ayat yang menegur wanita, tapi menegur laki-laki juga. Betulkah laki-laki menyediakan tangan kirinya di bawah kepala perempuan, betulkah laki-laki menyediakan tangan kanannya untuk memeluk –ini khotbah untuk laki-laki. Tapi di sisi lain, ini khotbah untuk perempuan juga; betulkah perempuan bisa menjadikan dirinya passively yielding seperti yang digambarkan di sini. Perempuan ini sudah mau pingsan karena sakit asmara, tapi kemudian dia memberi dirinya untuk dipeluk oleh suaminya.
Terakhir, ayat 7: “Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem, demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang: jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!” Apa artinya? Kenapa musti ada sumpah di sini? Dan terutama apa arti kalimat terakhirnya?
Kehidupan saling mencintai, termasuk yang sampai melibatkan sensual pleasure, adalah sesuatu yang indah. Ini adalah karunia Tuhan (God’s gift), ini adalah keindahan ciptaan. Tetapi, ekstasi ini bukan sesuatu yang Saudara dan saya bisa permainkan, bukan untuk disalahgunakan. Ini adalah sesuatu yang suci, ini diberikan oleh Tuhan pada waktunya; maka dikatakan: “jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!”Dalam terjemahan Bahasa Inggris: “that you not stir up or awaken love until it pleases”. Apa yang dimaksud dengan ‘it’ di sini? Yaitu cinta itu sendiri. Mengapa pakai ‘it’ dan bukan ‘Tuhan’, bukankah lebih indah kalau pakai ‘Tuhan’? Sebetulnya, di sini ‘Tuhan’ di-assumed, sedangkan ‘cinta’ di sini seperti dipersonifikasi.
Dalam mitos kuno, ada yang namanya Cupid, yang digambarkan sebagai laki-laki kecil, agak gendut, dan membawa anak panah; lalu orang yang kena anak panahnya, langsung merasakan cinta yang tak terkendali. Ini mirip dengan yang digambarkan tadi, ‘menggerakkan cinta sebelum diingininya’; meski tentu saja kita tidak mengatakan ini fotokopi dari mitos Cupid. Jadi yang dimaksud di sini, cinta itu ada waktunya Tuhan memberikannya, dan kita jangan mendahului. Aplikasi sederhananya, jangan masuk kepada premarital sexual intercourse sebelum pernikahan, jangan membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya; segala sesuatu adalah di dalam waktunya Tuhan. Ini adalah pemberian dari Tuhan yang berdaulat itu; Tuhan akan memberikan pada waktunya, kita jangan mendahului Tuhan, karena mendahului Tuhan bisa menyebabkan kita hangus oleh hawa nafsu.
Kalimat ini juga adalah penghiburan bagi Saudara yang merasa ‘saya ini rasanya tidak diberikan karunia selibat, saya merasa harus nikah’, dalam hal ini, tunggulah waktunya Tuhan, nanti Tuhan akan menyediakan pada waktunya, Saudara jangan mendahului waktunya Tuhan. Di sisi lain, tentu saja kita harus mengusahakan. Pemberian Tuhan? Benar, itu pemberian Tuhan; tapi ada tanggung jawab kita untuk mengusahakan juga.
Waktu dikatakan di sini: “Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem, demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang: jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!”, ini bukan perkataan seorang perempuan yang sempit, yang tidak ingin orang lain punya pacar, tapi di dalam pengertian mau mengatakan bahwa hubungan cinta adalah sesuatu yang sangat suci. Betul ini adalah pemberian Tuhan, betul ini adalah karunia Tuhan yang indah di dalam ciptaan, di dalam dunia ini; tapi ini juga sekaligus adalah sesuatu yang sakral di hadapan Tuhan, bukan untuk dipermainkan.
Saya berharap, kita yang sudah menikah ingat, bahwa kita bukan menikah untuk cari kesenangan kita sendiri, tapi kita ada janji di hadapan Tuhan. Pernikahan itu sesuatu yang suci. Memang Protestan tidak mengatakan pernikahan adalah sakramen, tapi bukan karena ‘bukan sakramen’ lalu kita anggap pernikahan cuma sesuatu yang biasa-biasa saja, sama seperti saya makan, tidur, berak, dsb. –bukan demikian. Saudara jangan berpikir seperti itu. Pernikahan adalah sesuatu yang Tuhan sendiri menghargainya. Ini adalah God’s beautiful gift, Saudara jangan mempermainkannya.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading