Hari ini kita memasuki Minggu Adven Kedua, dan kita akan merenungkan Firman Tuhan yang berkaitan dengan ini, dari Yesaya 63:15 – 64:3. Di sini, ayat yang biasa dikaitkan dengan Minggu Adven yaitu Yesaya 64:1, “Sekiranya Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun, sehingga gunung-gunung goyang di hadapan-Mu”. Ayat ini, secara tradisional dalam penafsiran Gereja dianggap sebagai ayat yang mengharapkan kedatangan Tuhan.
Adven itu sebetulnya apa? Adven adalah penantian; ad artinya penantian sebelum, vent artinya kedatangan, maka adven artinya penantian sebelum kedatangan, maksudnya sebelum kedatangan Kristus pada peristiwa Natal. Seumur hidup selama kita, Gereja, berada di dalam dunia, adalah juga masa adven, karena kita menantikan kedatangan Yesus kembali. Jadi ada paralel antara Adven-Natal dengan adven kita sekarang yang bertahun-tahun ini – Tuhan datang kembali. Ketika kita melihat dari double perspective tersebut, maka Tuhan adalah Tuhan yang sudah datang tapi sekaligus belum datang, sudah datang pada peristiwa Natal tapi belum datang kembali. Dengan demikian ketika kita melihat pasal 64:1, termasuk juga ketika kita mengertinya di zaman sekarang, ayat ini bukan cuma populer untuk perenungan Adven tapi juga seringkali menggerakkan orang-orang untuk mengharapkan kebangunan rohani (revival), “Sekiranya Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun.”
Kadang-kadang di dalam tradisi Protestan, kita agak sensitif dengan pengulangan-pengulangan yang sifatnya repetitif, tapi kita mungkin tidak sadar bahwa para pendahulu kita –yang adalah orang-orang Reformed– juga menggunakan istilah-istilah yang repetitif. Misalnya tentang ‘minta supaya Pentakosta terjadi lagi’, kita menganggap orang yang mengatakan ini teologinya tidak beres, kita bilang, “Pentakosta koq diulang-ulang, Pentakosta ‘kan cuma sekali”. Kita sensitif dengan orang yang berdoa ‘Tuhan, mohon Engkau lahir di hati kami’, kita mengatakan, “Tahun lalu sudah doa minta Tuhan lahir di hatinya, tahun ini doa begitu lagi, ulang-ulang ‘gak jelas, jadi sebetulnya Tuhan sudah lahir di hatimu atau tidak, sih?! kalau sudah lahir, ngapain dong, doa minta Tuhan lahir di hati lagi, nanti tahun depan bilang begitu lagi, sebetulnya sudah lahir atau tidak lahir??” Resek sekali kalau kita begini.
Sekali lagi, kalau kita berpikirnya polarisasi seperti itu, kita tidak akan mengerti kelimpahan dari Firman Tuhan. Tentu saja kita tidak menggeser poin bahwa Natal itu terjadi satu kali, seperti juga Yesus mati satu kali bukan berulang-ulang, dan Pentakosta pun secara sejarah memang cuma satu kali, tidak ada Pentakosta yang kedua, ketiga, keempat, dst. Itu semua memang betul, namun tidak meniadakan aspek atau dimensi repetitif. Saudara bisa membaca di dalam tulisan Luther, dia mengatakan, “Komm, heiliger Geist, Herre Gott” (“datanglah Roh Kudus”) –dan tidak ada orang kritik, “Luther, kamu ‘gak tahu Pentakosta cuma terjadi satu kali? koq, ada lagu kayak begitu, sih, bilang ‘datanglah Roh Kudus’, Roh Kudus sudah datang ‘kan, Luther”. Tidak ada orang yang koreksi seperti itu, entah karena itu Luther atau bagaimana. Begitu juga waktu orang-orang Puritan mengharapkan kebangunan rohani, mereka berharap Pentakosta terjadi lagi, tapi koq tidak ada koreksi. Saya bukan bermaksud membawa Saudara kepada teologi yang bikin Saudara pikir ‘orang yang khotbah ini mulai ‘gak jelas teologinya, mulai ‘gak reformed teologinya’; tapi pertanyaannya, apakah saya yang ‘gak reformed atau kita yang kurang lengkap membaca tradisi Reformed??
Seperti dikatakan ayat tadi, bisa atau tidak kita mengharapkan kembali, “sekiranya Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun”? Orang-orang Revivalist berdoa seperti yang dikatakan ayat ini, “sekiranya Engkau turun”, dan tidak ada yang menanggapi, “itu salah secara teologis, sudah turun, ‘gak usah mengharapkan turun lagi” (urusannya soal sudah dan belum), karena ini adalah sesuatu yang kita selalu bisa doakan lagi, lagi, dan lagi.
Di dalam konteks Yesaya, kita tahu Yesaya berurusan dengan nubuatan kepastian kejatuhan kerajaan Utara. Kerajaan Utara akan jatuh ke tangan bangsa Asyria, dan Yesaya tahu penghakiman ini pasti terjadi, tidak mungkin tidak terjadi, karena bangsa ini bangsa yang mengeraskan hati. Di pasal 6, Saudara membaca kalimat yang sering dikutip Yesus Kristus sendiri di dalam Injil, bahwa bangsa ini melihat tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak mendengar, dan Tuhan berkata, “Jangan sampai mereka melihat, sehingga Aku menyembuhkan mereka”. Kalimat ini berarti sudah total; dan membaca kalimat seperti ini, Saudara mungkin merasa ‘koq, Tuhan kayak begitu, ya, bukannya Tuhan senang kalau manusia datang kepada-Nya, kalau manusia bisa melihat kemuliaan-Nya? koq, Tuhan bilang “jangan sampai mereka melihat, supaya Aku menyembuhkan mereka”??’ Saudara jangan lupa, motif ‘pengerasan hati’ ini sudah didahului dengan orang-orang yang mendengar khotbah, mendengar Firman Tuhan, tapi mereka tidak berespons dengan benar, mereka terus menolak, menolak, dan menolak, sampai akhirnya Tuhan bilang “sudah cukup, buatlah mereka ini hatinya mengeras, matanya tidak melihat, supaya jangan Aku menyembuhkan mereka” –karena sudah pernah diberi kesempatan itu.
Poin yang mau kita katakan adalah: kalau Tuhan menghakimi, kalau Tuhan mendatangkan penghukuman-Nya, Tuhan tidak pernah terlalu cepat. Sebaliknya, dari perspektif manusia kita mungkin malah sering mengatakan Tuhan sepertinya terlambat. Kita melihat orang jahat tapi tidak mati-mati, orang melakukan yang tidak adil tapi hidupnya lancar-lancar terus, seperti tidak tersentuh hukum; kita gereget, kita berdoa kepada Tuhan, dan Tuhan sepertinya berlambat-lambat. Dari perspektif manusia, waktu kita merenungkan bagian ini, seringkali tidak tepat kalau kita mengatakan Tuhan terlalu cepat menghukum, justru kita menganggap Tuhan terlalu lambat; tetapi Tuhan memang panjang sabar. Meski demikian, kalau Tuhan betul-betul sudah menyatakan penghakiman-Nya, maka hal itu sudah pasti, tidak terlalu dini. Kejahatan tersebut sudah terjadi dari generasi ke generasi, ke generasi, maka waktu Tuhan menghukum, tidak ada yang salah, jangan bilang, “koq, Engkau memberikan penghukuman-Mu, kita ‘kan hidup benar”; orang yang bilang seperti itu, dia sangat tidak mengenal diri.
Hari Rabu lalu kita PA dari kitab Yeremia. Di situ ada kalimat sindiran yang ditujukan kepada Tuhan dari orang-orang yang terbuang: “papa makan buah yang asem, saya yang ngilu”, maksudnya orangtua saya yang makan manisan tapi yang ngilu saya. Tuhan kemudian bilang, “Stop kalimat itu!” Apa maksud kalimat itu? Maksudnya: yang berdosa siapa, tapi yang nanggung hukuman siapa, Tuhan ini tidak adil kayaknya; yang salah sama Tuhan siapa, yang kena hukuman siapa, mana keadilan Tuhan?? Di situ Tuhan bilang, tidak ada orang yang menanggung dosanya orang lain; yang ada adalah: orang itu sendiri juga berdosa, maka dia sendiri menanggung hukuman –karena dia berdosa– bukan karena papanya, atau nenek/kakeknya yang berdosa. Di dalam profil kitab Yeremia, ini adalah theological Novum; sedikit kontras dengan Deuteronomistic Theology yang mengatakan tentang turun sampai keturunan ketiga dan keempat (Saudara bisa mendengar penjelasannya dalam PA). Dikatakan di sini, waktu orang mengalami penghukuman, jangan bilang dirinya tidak berdosa dan yang berdosa adalah nenek moyangnya; itu mental ‘korban’, itu self-righteousness.
Membicarakan keadaan pandemi yang kita alami dengan dikaitkan murka Tuhan, memang sulit dan tidak populer. Saya tahu ada hamba-hamba Tuhan yang menolak mengaitkan hal ini, menganggap pembicaraan yang seperti itu adalah tafsiran yang sudah terlalu ketinggalan zaman, orang sudah terlalu susah jadi jangan bicara penghakiman Tuhan lagi, sebaliknya mari kita bicara tentang diakonia, menolong orang dan sesama jemaat. Saya setuju bahwa diakonia penting, mengembangkan kesadaran bahwa kita musti melayani satu dengan yang lain itu penting, tapi mengatakan hal-hal ini untuk menggantikan berita penghakiman Tuhan? Saya pikir tidak demikian. Kita tidak suka bicara tentang Tuhan yang mengoreksi, kita tidak suka bicara tentang Tuhan yang menghakimi, seolah-olah kita ini tidak layak untuk menerima koreksi dan tidak layak untuk dihakimi. Itulah self-righteousness. Itulah orang-orang yang di dalam kehidupannya tidak pernah merasa perlu dikoreksi. Dan yang paling celaka, berusaha terus-menerus mengoreksi orang lain tapi tidak sadar ada balok di matanya. Yesaya tidak demikian, Yesaya bukan orang seperti itu.
Waktu Yesaya melihat penghukuman akan berjalan dengan pasti, dia masih berdoa kepada Tuhan, masih berusaha membujuk Tuhan. Inilah hamba Tuhan. Hamba Tuhan —orang Kristen—bukan bersukacita waktu melihat dosa yang kemudian menuai penghakiman; Yesaya tidak mengatakan, “Sukur lu, ‘kan gua sudah bilang; gua sudah khotbah tapi lu tolak terus, akhirnya beginilah akibatnya, sukurin” –yang seperti ini, bukan hamba Tuhan. Hamba Tuhan yang bersukacita karena kejatuhan hamba Tuhan yang lain, Gereja yang bersukacita karena Gereja yang lain jatuh, itu tidak benar, itu Gereja yang tidak mencerminkan Kristus, itu bukan Gereja yang mengenal Kristus. Yesaya bukan orang seperti itu; Saudara tidak menemukan nabi yang seperti itu di sepanjang Alkitab. Sebaliknya Yesaya tahu, dirinya sama berdosanya dengan bangsa Israel.
Saudara baca di pasal 6, pasal yang terkenal itu, waktu dia melihat Tuhan yang mahakudus, yang Yesaya katakan adalah (pasal 6:5): “Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.”Perhatikan, Yesaya mengatakan, “celakalah aku! aku binasa! sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir”; Yesaya tidak mengatakan, “untung saya ‘gak najis bibir; memang sih, saya tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, tapi saya sendiri sih, ‘gak najis bibir kayak merekalah, ya, mulut saya ini rapi, koq, makanya waktu saya melihat Tuhan, puji Tuhan saya ‘gak mungkin matilah, karena saya ‘gak najis bibir” –ayat seperti ini, tidak ada. Saudara perhatikan ayat seperti itu tidak ada. Ayat yang bilang “syukurlah Gereja kita ini bener, ‘gak kayak Gereja yang lain; Gereja lain sudah pasti kena penghukuman, tapi Gereja kita ya, lainlah”, itu tidak ada! Betul-betul tidak ada. Yang ada adalah perasaan sama-sama berdosa di hadapan Tuhan. Bahaya sekali orang yang tidak mengerti ini, karena akan jadi judgmental, sementara dia sendiri tidak sadar bahwa dirinya orang berdosa di hadapan Tuhan.
Yesaya amat sangat jelas bahwa dirinya tidak lebih baik daripada orang-orang sebangsanya. Lalu bagaimana ia melihat penghukuman yang tak tertahankan ini, yang pasti akan terjadi, dan betul-betul terjadi? Dia berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, Tuhan, Tuhan, di mana kecemburuan-Mu, keperkasaan-Mu, hati-Mu yang tergerak, dan kasih sayang-Mu?” (Yes. 63:15). Saya tertarik dengan ayat ini, karena Yesaya sadar bahwa kecuali Tuhan berubah, tidak ada yang bisa berubah; manusia, dari dirinya sendiri, tidak tertarik untuk berubah, sama sekali tidak tertarik, adanya mengeraskan hati. Kecuali Tuhan, yang cemburu itu, yang perkasa itu, yang hati-Nya gampang tergerak oleh belas kasihan itu –kecuali Dia bertindak mengubahkan– tidak ada jalan keluar bagi Israel.
Perhatikan, yang diangkat oleh Yesaya di sini adalah atribut-atribut Allah. Dia bahkan tidak bicara tentang penderitaan Israel maupun dirinya, yang tertawan oleh Asyria –meski memang itu tidak harus salah, di dalam Mazmur pun ada ayat-ayat seperti itu. Ayat-ayat seperti “Tuhan, lihatlah penderitaan kami, betapa kami telah dipermalukan”, memang ada, tapi menariknya di bagian ini tidak ada yang kalimat yang seperti itu. Yesaya tidak bicara hal itu, Yesaya fokus pada Allah yang dia kenal, yaitu Allah dan sifat-sifat-Nya —kecemburuan-Nya, keperkasaan-Nya, hati-Nya yang tergerak, kasih sayang-Nya. Itulah yang ada di pikiran Yesaya.
Yesayamengatakan: “Jangan kiranya Engkau menahan diri!” (15b). Menahan diri dari apa? Menahan diri dari menyatakan kecemburuan-Nya. Betapa ini bahasa yang sangat intim. Kalau di dalam bahasanya Yeremia, para pakar bahkan pakai istilah “the most pornographic description of Jerusalem” di sepanjang Perjanjian Lama, ketika Israel digambarkan seperti penyelewengan sundal, yang sudah berzinah dengan bangsa-bangsa lain, yang akhirnya ditelanjangi, dipermalukan, dsb.
Yesaya di sini mengatakan, “Di mana kecemburuan-Mu?” Waktu kita membaca bagian ini, kita bisa salah mengerti, ‘lho, yang salah siapa, yang disalahin siapa’. Apalagi waktu kita membaca ayat 17: “Ya TUHAN, mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalan-Mu, dan mengapa Engkau tegarkan hati kami, sehingga tidak takut kepada-Mu?”; dalam hal ini, kalau Saudara salah baca, jadinya akan pikir ‘lho, sudah salah, malah menyalahkan Tuhan, kacau ini’ –maksudnya Yesaya yang kacau. Tapi itu salah, jangan dibaca seperti itu; bukan itu maksudnya. Ini adalah pengakuan kebersalahan di hadapan Tuhan, bahwa memang sudah menyeleweng. Lalu mengapa Yesaya mengatakan kalimat seperti ini? Jawabannya sederhana: Yesaya tahu, kecuali Tuhan yang bertindak, kecuali Tuhan yang beranugerah, kecuali Tuhan yang menyatakan kasih sayang-Nya, tidak ada manusia yang kembali kepada Tuhan. Bukankah ini harusnya terdengar familier bagi kita yang mengaku Reformed? Human total inability, total depravity, tidak ada orang yang mencari Tuhan.
Orang yang mencari Tuhan, itu tidak ada; orang yang mengejar Tuhan, itu tidak ada. Semua kecenderungannya adalah menegarkan hati, tidak takut kepada Tuhan. Itulah kecenderungan hati manusia. Dan, itu sebabnya Yesaya mengatakan, “Tuhan, mengapa Kau biarkan kami sesat dari jalan-Mu? Kecuali Engkau menarik kami kembali, kecuali Engkau mencintai kami kembali, kecuali Engkau cemburu atas penyelewengan kami, maka kami akan terus menyeleweng” –sebenarnya inilah yang dimaksud dalam kalimatnya, dan bukan pembenaran diri, apalagi menyalahkan Tuhan. Ini bukan mempersalahkan Tuhan, tapi suatu teriakan yang begitu putus asa, bahwa kecuali Tuhan yang menyeret dan menarik kembali, tidak ada orang yang bisa kembali kepada Tuhan. “Tuhan, mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalan-Mu?”, dari diri kita sendiri, kita akan sesat, kita akan tidak mengenal Tuhan, kita akan menyembah allah lain. Gereja yang terus-menerus berpikir seperti ini, adalah Gereja yang ada harapan. Tetapi, Gereja yang berpikir ‘saya sih, ‘gak sesat; yang sesat itu Gereja lain’, ini masalah banget. Saudara mengerti paradoks ini? Orang yang terus-menerus bilang “saya rendah hati, saya rendah hati, saya rendah hati, orang itu congkak, orang itu congkak, orang itu congkak”, Saudara tentu tahu itu orang yang congkak, bukan orang yang rendah hati ‘kan??
Yesaya mengaku bersama dengan Israel,“Mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalan-Mu, dan mengapa Engkau tegarkan hati kami, sehingga tidak takut kepada-Mu?” Kalau Gereja tidak melihat dirinya berada dalam keadaan masalah, maka tidak ada pengharapan kebangunan rohani. Sama sekali tidak ada, karena Gereja tidak merasa dirinya sakit, koq, Gereja tidak merasa ada masalah, Gereja tidak merasa bahwa Tuhan sebetulnya tidak lagi senang berada di sana. Tuhan seperti sudah mau bergerak keluar tapi Gereja sepertinya juga tidak menahan, seperti Yakub yang menahan, “Tuhan, kecuali engkau memberkati aku, aku tidak akan melepaskan Engkau”. Yang seperti ini jadi tidak ada, karena Gereja tidak peka, Tuhan mau keluar atau tidak keluar, tidak tahu, lalu “O, sudah tidak ada, ya? sudah hilang, ya? sudah tidak ada di sini? sudah pindah toh ke bukit Zaitun??” Tadinya Tuhan harusnya ada di gunung yang ada Bait Allah, tapi sudah pindah, dan orang masih tidak jelas juga bahwa sudah pindah. Keterlaluan. Tapi Yesaya tidak demikian, dia jelas sekali.
Dia membaca dinamika ini dengan jelas, dan dia seolah mengingatkan Tuhan, “Bukankah Engkau Bapa kami? Sungguh, Abraham tidak tahu apa-apa tentang kami, dan Israel tidak mengenal kami. Ya TUHAN, Engkau sendiri Bapa kami; nama-Mu ialah “Penebus kami” sejak dahulu kala” (ayat 16). Selanjutnya, kalimat yang tadi kita baca, dan dilanjutkan: “Kembalilah oleh karena hamba-hamba-Mu, oleh karena suku-suku milik kepunyaan-Mu!” (ayat 17).
Saudara, waktu terjadi pengerasan hati, hal itu bukan terjadi dalam satu malam seperti orang membalik telapak tangan, begitu berubah lalu Tuhan langsung murka. Bukan demikian. Tuhan bukan sumbu pendek. Bukan karena suatu kejadian yang baru kemarin, lalu Tuhan bilang, “ini dunia terlalu jahat, oke, pandemi saja, karena seminggu lalu terjadi kejahatan”. Bukan demikian; itu bukan Tuhan. Sekali lagi, dari perspektif manusia, seringkali Tuhan itu seperti terlambat. Waktu bangsa Israel di bawah belenggu Mesir, berapa lama baru Tuhan menarik mereka keluar? Di dalam Alkitab ada catatan, yaitu empat ratus tahun! Ini seperti misalnya Saudara berada dalam suatu keadaan, dan Saudara menjerit kepada Tuhan, lalu 400 tahun kemudian baru Tuhan menghukum musuh. Menurut Saudara, itu telat bukan? Tidak mungkin terlalu cepat, bukan? Jadi, waktu Tuhan membinasakan kereta-kereta Firaun dan tentara-tentaranya, tidak ada orang yang boleh mengatakan, “Tuhan, Lu koq kecepetan, sih? Kasih kita kesempatan lagi, dong”. Tidak ada yang seperti itu! Kesempatannya sudah diberikan lama sekali, koq masih minta kesempatan lagi??
Tuhan itu bukan Tuhan yang begitu ada kesalahan lalu langsung memberikan penghakiman, langsung menurunkan penghukuman. Yang seperti itu, bukan Tuhan yang ada di dalam Alkitab. Tuhan yang di dalam Alkitab, waktu Dia menyatakan penghukuman-Nya, berarti pasti –sekali lagi, pasti–pasti sudah bergenerasi-generasi kejahatannya. Kalau orang sudah mendapat penghukuman Tuhan dan masih tidak sadar juga, masih bilang “dosa kita sebetulnya apa, ya? kenapa kita mengalami seperti ini?”, itu adalah orang yang sangat tidak mengenal diri. Itu berarti tidak beres introspeksinya. Tetapi yang Saudara lihat di bagian ini, waktu Yesaya mengucapkan kalimat tadi, tidak ada excuse. Bahkan kalimat yang mengatakan‘mengapa Kau biarkan kami sesat dari jalan-Mu, mengapa Engkau tegarkan hati kami’, itu jangan dibaca sebagai kalimat pembenaran diri. Bukan demikian maksudnya. Ini adalah kalimat pengakuan bahwa memang sudah terjadi penegaran hati terus-menerus, sudah lama sekali, dan Tuhan sebetulnya sudah memberi kesempatan.
Ini seperti ketika Yesus mengutip perkataan Yesaya, “bangsa ini melihat tapi tidak melihat, mendengar tapi tidak mendengar”, itu bukan berarti Yesus baru memulai pelayanan lalu langsung mengeluarkan kalimat tersebut. Ketika itu Yesus sudah banyak berkhotbah, sudah menyampaikan Injil, sudah memberitakan tentang Kerajaan Allah, sudah cukup lama, tapi terus-menerus ditolak, ditolak, dan ditolak, orang mengeraskan hati dan mengeraskan hati, lalu akhirnya sampai pada yang disebut point of no return, satu titik yang tidak bisa balik lagi, kesabaran Tuhan sudah selesai. Bukan berarti Tuhan jadi tidak sabar; Tuhan sih tetap sabar, tapi kesabaran Tuhan jangan Saudara mencobainya. Kalau sampai pada titik ini, tidak mungkin lagi bisa ada turning point, kecuali Tuhan sendiri yang berbalik, dan inilah yang Yesaya mohonkan sebetulnya. Israel sendiri tidak bisa berbalik, sudah tidak bisa ditolong lagi, sudah tidak mungkin bangsa ini bertobat kecuali Tuhan yang berbalik, yang kembali menghadapkan wajah-Nya. Kalau ini tidak terjadi, berarti bagsa ini tidak bisa lagi diselamatkan.
Sulit ya, menjadi hamba Tuhan seperti Yesaya; di satu sisi dia tahu kepastian penghukuman Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah salah, Tuhan juga tidak pernah terlalu dini, tapi di sisi lain sebagai orang yang mengenal Tuhan, dia masih bisa menengahi seperti ini. Inilah hamba Tuhan yang mengenal Tuhan; yaitu bahwa Tuhan tidak bersukacita waktu Dia menghukum. Tuhan tidak senang waktu membinasakan. Ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan itu tidak bersukacita atas kematian orang fasik.
Orang yang katanya ‘hamba Tuhan’, tapi dia bersukacita atas kejatuhan hamba Tuhan lain, dia bukan hamba Tuhan. Gereja yang bersukacita atas kejatuhan Gereja lain, itu bukan Gereja. Kalau hamba Tuhan mengenal Tuhan, dia tidak seperti itu. Bacalah lagi cerita ini, bukankah tidak ada kalimat yang nyukurin, “Kapok lu, salah sendiri, saya ditolak terus, akhirnya nasib lu seperti ini, rasain! Akhirnya lu berhadapan dengan Tuhan sendiri”; yang seperti ini, kedagingan sekali. Yesaya bukan demikian. Paulus pun tidak seperti itu; dia mengatakan, “Aku rela terkutuk secara jasmani bersama dengan orang-orang sebangsaku”. Dia tidak bilang, “Karena lu menolak dan menolak Kristus, sukurinlah akhirnya Tuhan bergerak kepada gentiles”. Kalimat seperti itu tidak ada, tidak muncul dalam surat Paulus; sebaliknya Paulus menangisi bangsa yang menolak Tuhan. Itulah orang yang mengenal Tuhan, seperti juga Yesaya yang mengenal Tuhan. Sekali lagi, kecuali Tuhan yang berbalik, yang menghadapkan kembali wajah-Nya, tidak ada pengharapan apa-apa dari manusia karena manusia –Saudara dan saya– memang seperti itu, tidak tertarik kembali kepada Tuhan.
Ada beberapa alasan yang bisa disimpulkan dari kalimat-kalimat yang dikatakan dalam bagian ini. Saya memakai sebuah tafsiran, yang mengatakan adanya five privileges yang dipakai jadi argumentasi Yesaya.
Pertama, argumentasi Israel adalah bangsa pilihan. Argumentasinya begini: ‘Tuhan, kami ini ‘kan bangsa pilihan-Mu, bukan kami lho, yang memilih Engkau tapi Engkau yang memilih kami; masakan Engkau membuang bangsa pilihan-Mu sendiri?’ Saudara perhatikan, di sini bicara tentang predestinasi? Ya. Bicara tentang doktrin pilihan? Ya. Tapi pertanyaan pentingnya, ini semua dihayati seperti apa, dihayati dalam konteks apa. Doktrin predestinasi bisa dihayati secara luar biasa ngawur; percaya doktrin predestinasi tapi penghayatannya amburadul dan tidak ada dasarnya di dalam Alkitab –salah menghayati. “We are the chosen people!” —dari nadanya saja tentu Saudara tahulah kira-kira ke mana arahnya. “Kita ini komunitas pilihan yang lain daripada yang lain, tidak seperti … “ –mirip doanya orang Farisi yang datang bersama pemungut cukai itu, yang bilang “tidak seperti … .” Yesaya tidak menghayati doktrin pilihan seperti itu.
Yesaya menghayati doktrin pilihan dalam pengertian, ‘Tuhan, kami ini ‘kan umat-Mu, ‘kan Engkau yang memilih kami, bukan kami yang memilih Engkau, masakan Engkau membuang umat pilihan-Mu sendiri?’Adakah penghayatan doktrin predestinasi seperti ini dalam kehidupan kita? Bukan boasting, “We are chosen people, chosen community, chosen Church, tidak seperti Gereja-gereja yang lain; we are chosen!” Mana dasar Alkitabnya? Yesaya tidak merenungkan doktrin predestinasi dalam pengertian demikian.
Kedua, argumentasi God’s indwelling presence, bahwa Tuhan itu hadir bersama dengan umat-Nya, hadir secara khusus. Dalam peristiwa lembu emas pada zaman Musa, Tuhan murka dan mengatakan, “Saya tidak akan pimpin lagi bangsa ini, nanti Saya pakai perantara saja, biar malaikat yang pimpin, Saya tidak akan pimpin lagi.” Lalu Musa membujuk Tuhan, “Tuhan, bukankah kami ini dibedakan dari bangsa lain … .” Saudara perhatikan, dibedakan karena apa? Karena Israel menang perang? Bukan. Karena Israel pemenang Nobel Prize terbanyak di dunia, the smartest of the smartests? Bukan. Tidak ada Nobel Prize waktu itu. Apa yang kita pikirkan tentang kemuliaan bangsa pilihan Allah? Kemuliaan yang diberikan Tuhan atas komunitas yang dipilih Allah itu apa sebetulnya, menurut Saudara dan saya? Orang yang pintar-pintar, yang IQ-nya tinggikah? Orang-orang yang hard working-kah? Atau apa?? Musa mengatakan, “Bukankah kami ini dibedakan dari bangsa lain, yaitu karena Engkau berjalan bersama dengan kami, karena Engkau ada ditengah-tengah umat-Mu”.
Keunikan Kristen itu apa sebetulnya? Keunikan komunitas Kristen itu apa? Kalau menurut Musa, karena Tuhan itu Imanuel. Yang tidak puas dengan ini, berarti tidak mengenal Kekristenan yang ada di dalam Alkitab. Kalau Saudara lebih tertarik dengan kualifikasi-kualifikasi lain, kayaknya Saudara tidak sejalan dengan Musa. Musa mengatakan, bangsa Isarel ini dibedakan dari bangsa-bangsa lain, “karena Engkau sebagai Allah kami, Engkau rela berjalan bersama dengan kami, masakan Engkau tidak rela lagi berjalan bersama dengan kami?? Masakan engkau pakai malaikat, dan bukan Engkau sendiri yang menuntun kami? Kami tidak mau itu, Tuhan. Kami mau Engkau sendiri yang menuntun kami karena kami bangsa pilihan, yang lain daripada yang lain, yang berbeda dari bangsa-bangsa lain.” Apa bedanya? Bedanya: “Karena Engkau berjalan bersama dengan kami, karena Engkau hadir di tengah-tengah kami; itulah yang membedakan kami dari bangsa-bangsa lain.”
Saudara, seberapa tertarikkah kita dengan kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita? Atau, kita lebih tertarik dengan hal-hal yang lain? Seberapa tertarikkah kita –seperti Yesaya– mengejar kehadiran Tuhan bagi komunitas kita, bagi diri Saudara, bagi keluarga Saudara, bagi Gereja tempat Saudara beribadah?? Jangan-jangan, dalam situasi pandemi ini kita lebih mengejar viewer di YouTube. Kami yang adalah hamba Tuhan pun tidak kebal terhadap godaan-godaan seperti ini, “berapa banyak, sih, viewer-nya?”
Saya pernah mengatakan kalimat kutipan dari Ravenhill, “Kalau orang mau tahu seberapa populer sebuah gereja, datang saja ke Kebaktian Pagi-nya, kalau ramai, berarti gereja itu lumayan populer; kalau mau tahu popularitas pendetanya/ pengkhotbahnya, coba datang ke Kebaktian Sore-nya, kalau ramai juga, berarti bukan cuma gerejanya yang populer tapi hamba Tuhan-nya juga; tapi kalau kamu mau tahu seberapa populer Tuhan di dalam gereja itu, datanglah ke Persekutuan Doa-nya.” Saudara dan saya, mari kita introspeksi bagian ini, seberapa populer Tuhan di dalam gereja kita. Memang kalimat ini tidak mutlak. Tentu saya tidak mau mengatakan bahwa kita menilai spiritualitas orang sekedar dari kehadiran di dalam Persekutuan Doa, karena memang tidak bisa secara reduktif seperti itu; tapi kalau Persekutuan Doa saja kita tidak tertarik, kita mau mengharapkan apa? Saya pernah mengatakan kepada Saudara, ada gereja yang seminar-seminar dan PA-nya ramai, tapi Persekutuan Doa-nya sepi; ada juga gereja yang PA-nya sepi, tapi Persekutuan Doa-nya ramai sampai ratusan orang. Kita kira-kira yang mana? Ada orang yang suka belajar, yang seperti cinta Firman Tuhan, tapi tidak suka bersekutu di dalam doa –ada yang tidak benar di sini. Perhatikan, Yesaya mengejar kehadiran Tuhan, karena dia tahu waktu Tuhan hadir, yang lain boleh tidak ada; kalau Tuhan sudah ada di sini, kita sudah komplit. Biarpun sound system-nya tidak sempurna, atau suara pianonya entah bagaimana, atau cat temboknya kurang rapi, dsb., itu semua urusan kecil, tetapi kalau Tuhan tidak hadir, ini berarti kita di dalam masalah besar.
Ketiga, argumentasi kepemilikan; Yesaya menggunakan istilah ‘suku-suku milik kepunyaan-Mu’; “Kami adalah suku-suku milik kepunyaan-Mu, bukankah kami milik-Mu?” Ada keanggotaan keluarga Allah di sini, yang sudah pasti milik Tuhan.
Keempat, bahwa Israel dipimpin oleh Tuhan sendiri; Tuhan sendiri yang menjadi Raja atas mereka. ‘Bukankah Tuhan sendiri yang jadi Raja atas kami, koq sekarang jadi dibuang; bagaimana ini?’
Kelima, karena Israel sharing God’s name, Israel mendapat penyataan Tuhan; Tuhan menyatakan diri-Nya sendiri sehingga bangsa kepunyaan-Nya ini boleh mengenal nama-Nya. Mengenal ‘nama’ di sini, bukan sekedar mengenal nama ala Shakespeare yang bilang ‘what is a name?’, tapi mengenal siapa Allah sesungguhnya, sifat-Nya seperti apa. Yesaya sangat mengenal Tuhan itu seperti apa; di dalam pengenalan inilah, Yesaya mempertaruhkan pengharapannya, ‘Tuhan, bukankah kami berbagian di dalam nama-Mu, bukankah Engkau sendiri yang memperkenalkan kepada kami, bukankah kami ini mengenal Engkau, Tuhan? Masakan engkau membuang kami, seolah-olah kami ini tidak dikenal?’ Itu sebabnya di bagian ini ada perkataan: “Abraham tidak tahu apa-apa tentang kami, dan Israel tidak mengenal kami.” Jadi seakan-akan Yesaya mengatakan, ‘koq, kami jadi tidak dikenal? Bukankah kami ikut serta di dalam kemuliaan nama-Mu?’
Saudara, saya pikir ini bagian yang memang agak jarang dibahas, tapi sebetulnya satu demi satu kita bisa merenungkannya menjadi suatu khotbah yang penuh, tentang apa artinya berbagian di dalam nama Tuhan. Setiap Minggu kita mengatakan kalimat “dikuduskanlah nama-Mu”, dan kita sudah pernah membahas adanya sedikit perbedaan tata bahasa dalam Doa Bapa Kami. Dalam kalimat “berikanlah makanan kami yang secukupnya”, itu bentuknya second imperrative, maksudnya Tuhan yang memberikan, sedangkan kita tidak berbagian/terlibat di dalam pemberian itu. Sedangkan dalam kalimat “dikuduskanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu”, secara bentuk dalam bahasa aslinya, kita sendiri ikut terlibat di dalamnya, dalam arti kita juga mengatakan kepada diri sendiri, ‘mari kita menguduskan nama Tuhan’; itu bukan cuma urusan Tuhan dan tidak perlu pakai kita, tapi kita sendiri juga bertanggung jawab untuk mendatangkan kerajaan Tuhan. Jadi, apa artinya sharing His name? Apa artinya ‘dikuduskanlah nama-Mu’ dalam kehidupan kita?
Sekali lagi, Yesaya menggunakan 5 hak istimewa (privileges) ini; bahwa Israel adalah chosen people, bahwa ada God’s sanctuary di Israel, bahwa Israel adalah milik kepunyaan Tuhan, bahwa Israel adalah di bawah penguasan Tuhan, dan yang terakhir bahwa Israel mengenal siapa Tuhan itu. Setelah ini, baru kemudian Yesaya mengatakan kalimat yang terkenal itu, “Sekiranya Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun” (Yes. 64:1).
Menarik, bahwa pembacaan ayat tersebut di dalam Adven biasanya dibaca sebagai pengharapan ke depan; Yesaya mengharapkan secara eskatologis, “sekiranya Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun”, yang kemudian digenapi waktu Yesus memang turun, inkarnasi; tetapi kalau kita baca bahasa aslinya, dalam partikel lū- di sini, artinya lebih menunjuk pada yang di belakang. Saya bukan bermaksud mengatakan salah, tapi mungkin kadang-kadang resepsi Gereja tidak memperhatikan aspek ini, bahwa ini bukan melulu ke depan, tetapi juga rujukan ke belakang. Terjemahan bahasa Inggris, misalnya ESV, dikatakan, “Oh that you would rend the heavens and come down”.Dalam hal ini, ada komentator mengatakan, terjemahan yang lebih tepat sebetulnya “Oh that you had”, bukan “Oh that you would”, karena istilah ‘would’ meski ada past-nya tapi terutama juga himbauan/pengharapan ke depan, yang artinya eskatologis –dan ini memang cocok untuk Adven karena Yesus kemudian datang. Tetapi sebetulnya di dalam bahasa aslinya, di sini Yesaya seolah-olah mau mengatakan, ‘seandainya Engkau pada waktu itu —waktu yang dibelakang— mengoyakkan langit dan turun, kita tidak akan hancur seperti ini, Tuhan; akan berbeda nasibnya Israel, tidak akan ada Asyria yang bermegah atas kita, mereka akan gemetar ketakutan menghadapi Engkau; lawan-lawan Israel akan dihanguskan oleh Tuhan —seandainya/ sekiranya Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun, (tapi sayangnya, Engkau tidak turun, Tuhan, jadi keadaan kami seperti sekarang ini)’. Itulah sebetulnya yang mau keluar dari mulut Yesaya. Tapi Tuhan mengatakan, ‘Tidak. Saya akan turun.’
Di dalam pikirannya Yesaya, Tuhan sudah tidak turun, maka dia mengatakan ‘seandainya Engkau turun’, tapi ternyata Tuhan tidak turun, jadi sudahlah, terima nasib, memang sedang dihukum, dan hukuman Tuhan memang selalu adil, jadi terima saja –namun dia masih ada lamentasi, “sekiranya Engkau turun pada waktu itu”. Lalu di sini Tuhan bilang, “Aku akan turun”. Pertanyaannya, turun bagaimana? Jawabannya, seperti di katakan di bagian ini, yaitu bukan seperti yang ada dalam pemikiran Yesaya, karena Tuhan melakukan kedahsyatan yang ‘tidak kami harapkan’; Yesaya mengatakannya di ayat 3: “Engkau melakukan kedahsyatan yang tidak kami harapkan”. Perkataan ini betul sekali; dan saya percaya Yesaya tidak terlalu mengerti kalimat ini. Dia sebetulnya meraba-raba waktu mengatakan kalimat ini. Ini kalimat kenabian yang dia sendiri tidak mengerti sepenuhnya. Saya bukan mengatakan dia tidak mengerti sama sekali — kalau tidak mengerti sama sekali, jadi seperti orang kesurupan– maksudnya, Yesaya tidak mengerti kedalaman kalimat ini di dalam perspektifnya, yang hidup sebelum Kristus datang.
“Engkau melakukan kedahsyatan yang tidak kami harapkan”. Di dalam pikiran Yesaya, ya, sudah, Tuhan sudah tidak bakal turun; seandainya Tuhan dulu turun, maka dia pasti akan melakukan ini dan itu, tapi masalahnya Dia tidak turun, jadi ya, sudah, sekarang kita di bawah penguasaan Asyria, bangsa kafir itu; seandainya Tuhan turun –seandainya– maka bumi pasti gemetar. Apa yang bisa membuat bumi gemetar? Satu saja, Yesaya jelas melihatnya, yaitu kehadiran Tuhan. Itu saja. Yesaya tidak minta yang lain-lain, tidak minta kuasa militer yang di-upgrade, yang bukan cuma prajurit pejalan kaki tapi juga ada kavalerinya, ada kuda dan keretanya, dsb.. Bukan itu semua, itu semua tidak penting. Hanya satu saja, yaitu apa? Your presence. Kehadiran Tuhan. Kalau itu ada, sudah cukup. Itu akan membuat bangsa-bangsa lain takluk.
Ayat 2, “seperti api membuat ranggas menyala-nyala”. Perhatikan, waktu Tuhan hadir, ada kuasa destruktif. Kita tidak bisa minta kehadiran Tuhan tanpa mengizinkan Tuhan bergerak di dalam kuasa-Nya yang destruktif. Saya kuatir sekali dengan gambaran Kekristenan yang kehadiran Tuhan selalu menyenangkan, sentimental, membawa aku ke padang berumput hijau dan air yang tenang, oh, betapa ayemnya, suasana sore-sore minum kopi di balkon disertai pemandangan indah —dan itulah Tuhan. Kayaknya tidak demikian di dalam Alkitab. Coba saja lihat perjumpaan Yesaya dengan Tuhan. Oh, enaknya melihat Tuhan, nyaman lho, Tuhan; apakah demikian? Bukan. Yesaya tahu persis, bahwa perjumpaan ini berarti kematian. Ada kuasa destruktif. Kalau kita tidak mengenal aspek ini di dalam perjumpaan dengan Tuhan, saya kuatir yang kita sembah bukan Tuhan tapi berhala; berhala yang gambarannya cuma gambaran-gambaran menyenangkan.
Kalau Tuhan hadir, Tuhan akan “mengobrak-abrik” kehidupanmu dan kehidupanku; tapi sebetulnya bukan mengobrak-abrik, Tuhan merapikan. Dari perspektif kita, itu seperti Tuhan mengobrak-abrik; mengapa? Karena kita ini banyak keamanan yang palsu (false secutity). Karena di dalam dunia ini, kita banyak kerapian-kerapian palsu yang kita ciptakan sendiri, sehingga waktu Tuhan hadir, Tuhan seperti mengobrak-abrik. ‘Tuhan jangan begini, ini sudah di sini, saya dari dulu aturnya kayak begini, jangan diubah-ubah, Tuhan; saya tradisinya dari dulu seperti ini, Gereja kita dari dulu seperti ini, Tuhan, jangan diubah lagi’. Bahaya yang seperti ini. Ini Gereja yang tidak mengikut Tuhan, Gereja yang status quo, Gereja yang berhenti bertumbuh, Gereja yang bukan dikuasai Tuhan, tapi dikuasai manusia. Bahaya. Dan, yang paling bahaya adalah posisi seperti saya, Pak Jethro, para penatua, dsb.; kalau kita sebagai pemimpin Gereja tidak membiarkan Tuhan memimpin, ini posisi yang paling bahaya.
Waktu Tuhan hadir, Dia akan hadir dan membongkar. Ada kuasa destruktif. Dia akan membakar, membuat ranggas menyala-nyala. Di dalam konteks Yesaya, ini maksudnya lawan-lawan atau musuh Israel, misalnya bangsa Asyur. Tapi jangan lupa, waktu Tuhan hadir di dalam kehidupan kita, Dia juga akan membakar ketakutan Saudara yang entah karena alasan apa, terus saja Saudara tidak muncul di sini [di gereja], terus saja merasa nyaman nonton [kebaktian] di rumah, padahal kita sudah mulai ibadah fisik sejak kapan-kapan. Waktu Tuhan datang, Dia akan menghancurkan ketakutanmu. Waktu Tuhan datang, Tuhan akan menegur your comfort zone yang merasa ‘sudah begini saja, enak, saya bisa pause lalu nanti di-play lagi, saya bisa sambil minum, saya bisa sambil tiduran kalau capek’. Tuhan PASTI akan membakar itu kalau Dia hadir! Pasti Tuhan akan merusak bagian itu, karena Dia adalah Tuhan Yang Mahakudus! Kecuali keadaan Saudara betul- betul tidak memungkinkan sama sekali, apa boleh buat; kalau Saudara terbaring di tempat tidur (bedridden), bukan tidak mau datang tapi memang tidak bisa datang, saya percaya Tuhan pasti sangat mengerti. Namun Saudara yang terus saja dipenuhi ketakutan, dsb., apa sih, sebetulnya alasannya?? Hancurkanlah sekuritas palsumu itu, itu bukan Tuhan! Tuhan yang asli bukan itu. Tuhan yang asli itu berbeda.
Tuhan akan menghancurkan keegoisan kita; dan banyak hal akan dibakar/dihancurkan Tuhan, waktu Tuhan hadir. Tetapi Tuhan bukan cuma hadir di dalam kuasa-Nya yang menghancurkan (His destructive power), Dia juga akan hadir di dalam kuasa-Nya yang mengubahkan (His transforming power). Dia akan mengubah —‘api membuat air mendidih.’ Ini gambaran yang positif. Air yang tadinya dingin, suam-suam kuku, tidak ada ketertarikan/selera rohani, akan dibakar sampai mendidih. Persoalan Kekristenan itu apa? Mungkin bukan kurangnya seminar-seminar; salah satu persoalan terbesar di dalam Kekristenan adalah: suam-suam kuku (lukewarmness), orang Kristen tidak terbakar untuk Tuhan. Sudah begitu, lalu pakai Mazmur 23, ‘Ia membimbing aku ke air di padang rumput hijau dan air yang tenang’, lalu kita tambahkan sendiri dengan ‘dan ada angin semilir-semilir, lalu saya mulai ngantuk, dan akhirnya tertidur di padang rumput hijau itu lalu tidak bangun-bangun sampai 17 tahun’. Sangat bermasalah, gambaran Kekristenan kayak begini. Tidak ada zeal untuk Kerajaan Allah. Tidak seperti yang digambarkan dalam perumpamaan orang yang menemukan mutiara yang berharga lalu dia menjual segala miliknya untuk mendapatkan mutiara yang berharga itu; waktu dia menemukan mutiara yang berharga tersebut, dia bilang pada dirinya, ‘waduh, selama ini yang saya simpan ini mutiara apa sebetulnya, tidak bisa dibandingkan dengan mutiara yang berharga ini’. Paulus mengatakan, “Yang dulu itu seperti sampah, kalau dibandingkan dengan Kristus”.
Mengapa tidak ada gambaran yang seperti ini? Kalau boleh mengutip Ravenhill, dia mengatakan: “Saya malu menjadi anggota Gereja modern; sangat berbeda dari Gereja di zaman Kisah Para Rasul, apa yang salah, ya, di dalam Gereja modern ini??” Kalau Tuhan hadir, Dia akan hadir seperti api, dan membuat air mendidih; tidak ada orang suam-suam kuku. Waktu terjadi kebangunan rohani, tidak ada tempat di sana untuk orang kategori ‘doesn’t matter, tenang saja, jangan radikal kayak begitulah, jangan menggebu-gebu, tenang saja, ini padang rumput hijau, air yang tenang… ‘ –tapi itu gambaran kuburan, bukan Mazmur 23.
Kembali kita membaca, “seperti api membuat ranggas menyala-nyala” —destructive power; “seperti api membuat air mendidih” — Tuhan melakukan transformasi sehingga orang-orang hidupnya betul-betul makin lama makin mencintai Tuhan dengan segenap hatinya, segenap akal budinya, segenap kekuatannya, segenap jiwanya, dan mengasihi sesamanya manusia seperti dirinya sendiri. Dikatakan selanjutnya: “untuk membuat nama-Mu dikenal oleh lawan-lawan-Mu, sehingga bangsa-bangsa gemetar di hadapan-Mu.”
Terakhir, Yesaya mengatakan: “karena Engkau melakukan kedahsyatan yang tidak kami harapkan” (ayat 3a).Tidak salah kita membaca bagian ini dalam konteks Adven, karena tetap ada aspek ‘ke depan’-nya, meskipun Yesaya sudah mengatakan “sekiranya Engkau mengoyakkan langit dan Engkau turun”, dan dalam pikiran Yesaya, ini sudah telat, karena Tuhan tidak turun pada kenyataannya dan mereka sudah collapse. Tetapi Tuhan bilang, ‘belum; Saya masih akan jalan terus, Saya tidak berubah setia, Saya akan mengoyakkan langit dan Saya turun’. Dan betul, Tuhan mengoyakkan langit dan turun, tapi turun di dalam bentuk bayi. Ini benar-benar melampaui yang diharapkan. Yesaya juga kayaknya tidak berpikir seperti ini. Saudara baca yang dikatakan di sini: “membuat nama-Mu dikenal oleh lawan-lawan-Mu, … bangsa-bangsa gemetar di hadapan-Mu”.Apa sih, bayangan Yesaya? ‘Asyur ini, yang congkak kayak begini, pasti kelar hidupnya kalau Tuhan datang, pasti tidak berani kurang ajar kayak begini’ –mungkin itulah yang ada dalam pikiran Yesaya.
Tetapi waktu Tuhan turun, orang Romawi masih pongah, masih congkak, masih memerintah; lalu mana yang dibilang ‘bangsa-bangsa gemetar di hadapan-Mu’? Apa artinya? Bukankah memang sudah dikatakan, Tuhan melakukan kedahsyatan yang tidak kami harapkan. Adakah bangsa yang gemetar di hadapan Tuhan waktu peristiwa Natal? Ada. Orang majus itu. Orang majus itu bukan Israel, mereka itu bangsa lain yang gemetar di hadapan Tuhan. Mungkin kita tidak senang yang kayak begini. Mungkin kita lebih suka kalau kaisar Romawi yang bertekuk lutut kepada imam besar, misalnya? Gereja yang kelihatan powerful, misalnya? Yang semua orang seperti kelihatan sembah sujud pada Gereja, lalu bilang, “Wah, luar biasa ya, orang-orang Kristen, kita perlu orang-orang Kristen”; yang seperti itukah? Kalau demikian, sepertinya kita tidak mengerti berita Natal. Apa artinya ‘bangsa-bangsa gemetar di hadapan-Mu’?
Pola ini sepertinya diulang terus di dalam Perjanjian Baru. Saudara baca cerita Pentakosta, dalam Pentakosta, Tuhan juga turun. Dia mengoyakkan langit, dan Dia turun; dan, memang bangsa-bangsa gemetar. Saudara baca di dalam Kisah Para Rasul, bangsa-bangsa gemetar mendengar pekerjaan Tuhan dinyatakan. Waktu mereka bisa mendengar pekerjaan Tuhan di dalam bahasa mereka masing-masing, mereka itu bangsa-bangsa yang sedang gemetar. Apakah kita tidak suka dengan gambaran ini? Kita lebih suka dengan gambaran triumphalist, gambaran kejayaan Kekristenan yang kelihatan secara kasat mata?
Saya kuatir, Gereja tidak mengenal berita Natal. Gambaran seperti ini benar-benar mengkuatirkan, padahal Yesaya sudah mengatakan “Engkau melakukan kedahsyatan yang tidak kami harapkan”. Apa sih, yang diharapkan oleh Gereja di dalam Natal? Saudara dan saya perlu menjawabnya di hadapan Tuhan; dan berharap harapan kita bukan ngawur, tetapi di dalam anugerah dan pertolongan Tuhan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading