Natal di Barat, orang menghayatinya dengan ada salju, musim dingin (winter), dsb., yang kita di sini kadang-kadang agak kehilangan bagian itu. Poin yang saya mau katakan adalah: suasana-suasana itu tidak terlalu penting, karena suasana tiap negara, tiap kebudayaan, bisa berbeda-beda. Dalam hal ini, kalau kita mau belajar atau mengapresiasinya, termasuk dari lagu-lagu yang kontekstual seperti itu, saya pikir bukanlah untuk mencari suasananya melainkan unutk merenungkan apa sebetulnya arti Natal itu. Setiap tahun kita merenungkan Natal, dan semoga ini tidak jadi suatu berita yang membosankan, yang kita rasa sudah tahulah; ‘lu bolak-balik ngomong-nya itu lagi, itu lagi, makanya saya justru cari suasananya, karena yang ganti ‘kan suasananya, sedangkan beritanya kayaknya itu-itu terus’ –kacau kalau kita menghayatinya seperti ini. Mungkin justru suasananya itu-itu terus tidak jadi masalah asal beritanya bisa terus menyegarkan kita, membawa kita untuk lebih mengerti apa artinya lahir bersama dengan Kristus.
Tahun ini kita merenungkan satu bagian Firman Tuhan dari Perjanjian Lama, yaitu dari Mikha 5:1-5a (Alkitab versi elektronik; atau Mikha 4:14-5:4a Alkitab versi cetakan); serta kutipan atau penggenapannya, yaitu dalam Matius 2:1-5. Waktu membaca kedua bagian ini, variasi dari Mikha dan Matius, sebetulnya ada kata-kata yang lain, benar-benar lain dan bukan agak lain. Dalam Mikha, dikatakan: “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, …” –Betlehem Efrata adalah yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda; lalu Matius mengutip: “Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, …”. Bagaimana bisa Matius mengutip seperti ini? Apakah sengaja berpolemik dengan Mikha, atau tidak terima kalau Betlehem dibilang ‘yang terkecil’, atau bagaimana? Apa maksudnya Matius mengatakan seperti ini?
Dalam hal ini, kalau dari perspektif orang-orang yang selalu meragukan kebenaran Firman Tuhan, mereka akan mengatakan, “Inilah buktinya Alkitab banyak kontradiksi, mana bisa saya percaya kitab yang kontradiktif kayak begini?!”Kita tidak bisa menampung paradoks-paradoks seperti ini, lalu kita bilang, “Gambaran yang terpolarisasi seperti ini, mana bisa saya terima?!” Saya pikir, kita perlu rendah hati waktu mempelajari Firman Tuhan; jika tidak, kita sendiri akan tersandung, dan dengan sikap ketidakpercayaan itu akhirnya kita akan terhilang sendiri. Jadi, kalau ditanya, sebetulnya Betlehem Efrata itu yang terkecil atau sekali-kali bukan yang terkecil, maka jawabannya adalah: terkecil dan bukan terkecil. Terkecil menurut anggapan dunia ini, tapi dari perspektif Tuhan bukan kota yang kecil.
Kecil menurut dunia, hina menurut dunia, tapi menurut Tuhan bukan yang terkecil; di sini ada tension antara yang biasa dilihat oleh dunia (visi kerajaan dunia) dengan yang dilihat oleh Tuhan. Dengan demikian, tidak ada yang salah waktu Mikha mengatakan ‘yang terkecil’, karena memang Betlehem itu kecil kalau dibandingkan dengan Yerusalem. Yerusalem jauh lebih besar, Yerusalem punya bangunan-bangunan megah, Yerusalem adalah kota suci dan pusatnya. Kemegahan Israel ada di Yerusalem, di Sion itu, yang dipercaya tidak akan runtuh tapi akhirnya runtuh juga pada tahun 586-587 BC, setelah kerajaan Utara jatuh. Bahkan sampai sekarang, yang adalah 2000 tahun kemudian, kalau Saudara berkesempatan jalan-jalan ke Israel, di sana tetap saja yang lebih besar bagaimanapun juga adalah Yerusalem. Jika Saudara mau mengunjungi Betlehem, kalau tidak salah letaknya agak keluar dari Israel; dan di sana Saudara cuma bisa lihat satu tempat itu saja yang sekarang sudah menjadi gereja, yang dipercaya sebagai tempat kelahiran Yesus. Selain itu, tidak ada lagi yang bisa dilihat di Betlehem, tempat itu tidak terlalu menarik, sampai sekarang pun Betlehem tetap kecil dibandingkan Yerusalem, sedangkan di Yerusalem, banyak sekali yang bisa dilihat, kotanya sangat menarik. Tetapi, kalau Saudara membaca bagian dari kitab Mikha ini, sepertinya Yerusalem yang justru ditinggalkan oleh Tuhan.
Dalam Mikha 5:1 (versi elektronik; atau 4:14 versi cetakan), Mikha mengatakan: “Sekarang, engkau harus mendirikan tembok bagimu; pagar pengepungan telah mereka dirikan melawan kita; dengan tongkat mereka memukul pipi orang yang memerintah Israel”. Inilah Yerusalem; Yerusalem kota besar, tapi pemerintahnya dipermalukan seperti ini. Saudara lihat di sini ada gambaran kontras antara pemimpin Yerusalem dengan Raja/Mesias yang akan datang, yang dijanjikan itu. Pemimpin yang di Yerusalem memang betul pemimpin, tapi tidak becus, tidak sanggup memimpin. Ini gambaran pemimpin yang lemah, yang dipermalukan, yang dipukul pipinya dengan tongkat oleh musuh, malu-maluin, kota raja besar, tapi koq kayak begini pemimpinnya. Kemudian waktu Saudara membaca Matius, kita tidak bisa tidak berpikir kontras seperti ini juga, bahwa di sini ternyata kontrasnya balik lagi; setelah sekian lama, kejadiannya begitu lagi, seperti yang dikatakan Mikha. Bukankah ini keterlaluan? Saya percaya, Herodes dan juga ahli-ahli Taurat itu tidak sedang membaca Mikha lalu mencoba menggenapinya dengan menjadi pemimpin-pemimpin sialan supaya yang dikatakan Mikha tergenapi, dan kontrasnya tetap terpelihara; sudah pasti tidak demikian, karena siapa sih, yang mau menggenapi cerita buruk seperti itu?? Tapi ironisnya, justru yang terjadi memang demikian; penggenapannya termasuk juga gambaran pemimpin-pemimpin sialan yang terulang lagi di dalam Matius. Herodes yang pura-pura mau menyembah, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat di Yerusalem yang mirip sekali dengan gambaran pemimpin-pemimpin sialan yang digambarkan oleh Mikha, yang sama sekali tidak tertarik dengan berita Natal. Dan, yang saya kuatirkan, sekarang pun begini lagi, tahun 2021 ini pun begini lagi, ada orang-orang yang sialan, yang tidak peduli dengan berita Natal. Kelihatannya seperti merayakan, kelihatannya seprti datang ke gereja, kelihatannya seperti mau menyembah Kristus, tapi tidak –sama sekali tidak. Mungkin cuma mau cari suasana, mungkin mau coba baju baru, mungkin mau coba masker hijau dipadankan dengan baju merah –tidak jauh beda dengan zaman dulu. Urusannya sekedar urusan fashion-lah, urusan dekorasi, dsb.
Di dalam Matius, justru ironisnya yang menyembah adalah orang-orang majus dari Timur. Orang-orang majus itu datang dari Timur, yang kemungkinan besar dari Babilonia. Mereka adalah para astrolog Babilonia. Berapa lama perjalanan dari Babilonia ke Betlehem? Yang pasti tidak sedekat Yerusalem ke Betlehem. Dari Babilonia ke Yerusalem sudah jauh, apalagi kemudian ke Betlehem, itu lebih dari 1000 km, jarak yang jauh –dan mereka datang untuk menyembah. Bandingkan dengan orang-orang Kristen yang datang dari rumah ke gereja, berapa kilo jaraknya?? Orang-orang majus ini diperkirakan berbulan-bulan baru sampai Yerusalam. Ini bukan naik pesawat yang 1000 km ditempuh dalam 1-1 1/2 jam, ini perjalanan yang berbulan-bulan. Siapa di antara kita yang datang ke gereja dan mengatakan ‘saya sudah jalan dari bulan Oktober lho, Pak, sekarang baru sampai’? Tidak ada. Ada yang salah dengan Kekristenan sekarang ini. Something is very wrong. Ada yang ‘gak bener. Makin kita baca cerita Natal, kelihatan makin tidak cocok dengan gambaran Kekristenan sekarang. Sepertinya lebih cocok dengan ceritanya Herodes yang tidak mau datang itu, lebih cocok dengan ceritanya imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat yang tidak tertarik itu. Betapa sedih, gambaran seperti itu terulang lagi.
Waktu Mesias itu dibangkitkan, Dia akan menyatakan kekuatan Tuhan yang sesungguhnya, Dia akan menyatakan kemuliaan Tuhan yang sesungguhnya –gambaran yang ideal– tapi Dia lahirnya bukan di Yerusalem, bukan di kota besar nan megah itu, melainkan di Betlehem Efrata. Betlehem itu kota kecil, tapi Daud berasal dari sana; Betlehem adalah kota Daud. Ada kontinuitas pekerjaan Tuhan dengan Davidic covenant, perjanjian yang pernah dilakukan Tuhan kepada Daud. Pada saat itu, orang Israel sudah sangat hopeless, banyak orang sudah terlalu kecewa, sudah tidak mungkin bangkit lagi, sudah terlalu terpuruk. Sebagian mungkin marah-marah kepada Tuhan, “Mana Tuhan? Janji-Nya tidak setia; katanya ada kebangunan dinasti kerajaan Daud, tapi nyatanya tidak, kita kalah, dan malah tertawan”. Orang yang lain, yang sedikit lebih baik, mungkin bilang, “Iya, Tuhan sih memang berjanji, tapi janji-Nya kayaknya bukan tanpa syarat; dan sayangnya, kita memang sudah tidak taat, maka akhirnya kita dibuang oleh Tuhan, ya, sudah, mau bagaimana lagi?? Memang salahnya kita sendiri”. Jadi kelompok yang pertama tadi menyalahkan Tuhan, tidak introspeksi kesalahannya, tidak introspeksi kekurangan dirinya, pokoknya Tuhan yang tidak setia, Tuhan ini sepertinya bohong. Sementara kelompok yang kedua berpikir lebih baik, ‘Tuhan tidak mungkin salah sih, yang salah kayaknya memang kita, jadinya ya, sudah, bubar semua janji-janji itu; kita sendiri yang membubarkan/ mematahkan perjanjian itu, kita sendiri yang jadi covenant breaker, jadi ya, patah sekarang perjanjiannya; Tuhan sudah membuang kita, ya, sudah, dihadapi saja, tidak ada lagilah bangsa Israel yang besar itu, selesai sudah pengharapannya, tidak ada lagi, dan itu semua salahnya kita.’
Efrata artinya adalah berbuah, subur, fruitful; maka dalam keadaan terpuruk ini, tentu sulit mempercayai janji Tuhan. Lebih gampang bagi kita percaya kepada Tuhan kalau kita ini subur dan Tuhan mengatakan, “Aku akan memakai engkau”; dan di situ kita bisa segera mengatakan, “O, ya, Tuhan, kebetulan, saya lagi banyak modal, pakailah aku, Tuhan; talenta saya juga lumayan, kayaknya saya termasuk yang punya 5 talenta dan bukan cuma 1 atau 2 talenta itu, pakailah saya, Tuhan, memang saya ada resources, saya sehat, saya tidak sakit, saya masih muda, dan saya tidak kena Covid; silakan pakai saya, kupersembahkan bagi-Mu.” Percaya yang seperti itu, mungkin lebih gampang; tetapi percaya bahwa Tuhan masih mau memakai, masih mau memberkati, di dalam keadaan seperti Sara yang umurnya sudah tua sekali dan kemudian Tuhan mengatakan, “Pada hari yang sama, tahun depan, kamu akan melahirkan”, Sara cuma bisa tertawa. Mungkin itu tertawa sinis juga, ‘Aduhhh, kasih janji koq sekarang, bukannya dari dulu; dulu saya muda, saya lagi cantik-cantiknya, masih kuat gendong bayi, harusnya itulah waktunya, tapi umur segini?? Yang benar saja, masakan sudah keriput semua lalu masih gendong bayi, bisa-bisa jatuh sekalian bayinya dan mati sama-sama gua, apa-apaan?!’ Memang Alkitab tidak mencatat seperti ini, Alkitab hanya mencatat bahwa Sara tertawa; tapi tertawanya itu pasti bukan tertawa sukacita. Bagaimana kita tahu itu bukan tertawa sukacita? Karena di bagian itu, Sara ditegur dan dia takut; waktu ditegur, “Mengapa kamu tertawa?”, Sara jawab, “O, enggak-enggak, saya ‘gak tertawa, koq”. Untuk apa Sara menutup-nutupi bahwa dia tertawa kalau itu tertawa sukacita; kalau itu memang tertawa yang benar, tentunya Sara bisa menjawab, “Iya, Tuhan, saya tertawa karena saya senang akan janji ini”; tapi kenyataannya tidak demikian. Sara bukan tertawa senang, bukan tertawa ucapan syukur, tertawanya adalah tertawa sinis, tertawa ketidakpercayaan, tertawa yang agak menghina janji Tuhan.
Hati-hati, salah satu dosa dalam kehidupan manusia, ya, sinis ini. Terhadap Gereja, sinis. Terhadap orang-orang Kristen, sinis. Terhadap Tuhan, akhirnya sinis juga. Kasihan orang-orang yang sinis seperti ini, yang terlalu pahit kehidupannya, terlalu banyak kecewa, terlalu banyak luka kehidupannya, sampai tidak ada pengharapan lagi; dan, justru dalam keadaan seperti ini Tuhan datang. Tuhan datang di dalam keadaan titik nadir, nullpunkt, di dalam keadaan paling bawah, mengunjungi orang-orang mandul seperti Sara, seperti Hana yang melahirkan Samuel, seperti Elisabeth yang melahirkan Yohanes Pembaptis, dan juga seperti Maria meskipun Maria bukan mandul namun Maria tidak perlu bersuami untuk bisa mengandung Bayi Yesus karena itu adalah kelahiran oleh Roh Kudus. Tidak ada yang mustahil bagi Allah.
Kita seringkali bikin sintesa seperti ini: orang bilang “tidak ada yang mustahil bagi Allah”, kita meng-amin-kan, bahwa Tuhan itu mahakuasa, kita meng-amin-kan, tapi, ‘kalau Tuhan mau pakai, itu musti ada kondisinya, saya musti masih muda, saya musti lagi banyak uang, saya musti lagi sehat, tidak kena covid’, dsb. Katanya Tuhan mahakuasa, tapi Tuhan mahakuasa koq dibatasi dengan syarat-syarat itu?? Tuhan yang cuma bisa memakai orang yang masih muda, yang talentanya banyak, yang kaya, yang sehat dan tidak sakit-sakitan, itu sebetulnya bukan Tuhan yang mahakuasa, bukan Tuhan yang di dalam Alkitab. Apakah Saudara yakin kalau Tuhan cuma bisa pakai orang-orang muda, sementara yang lanjut usia sudah tidak bisa dipakai lagi?? Tuhan cuma bisa pakai laki-laki, dan tidak bisa pakai perempuan?? Tuhan cuma bisa pakai orang-orang yang saleh, dan tidak bisa pakai orang berdosa?? Itu Tuhan yang mana?? Tuhan yang di dalam Alkitab bukan itu. Tuhan yang di dalam Alkitab menjanjikan kebangkitan seorang Raja, Mesias, yang lahirnya di Betlehem Efrata; berbuah (fruitful) tetapi di tengah-tengah keadaan Israel yang tidak ada buah sama sekali (fruitless).
Kita sudah membahas dalam khotbah yang lalu, bahwa istilah ‘tunas’ menunjukkan sesuatu yang tumbuh dari akar yang kelihatan sudah mati, yang sudah tidak ada pertumbuhan lagi. Secara tampak luar, kelihatan kering, kelihatan tidak ada pertumbuhan lagi, dan sudah tidak mungkin; tapi kemudian bisa ada kehidupan. Ini kehidupan datang dari mana? Dari mana lagi, kalau bukan dari Tuhan. Tuhan agaknya suka bekerja di dalam saat-saat seperti itu. Kita bukan bersyukur karena penderitaan, kita tidak bersyukur karena Covid dan mengatakan ‘O, Tuhan, terima untuk Covid ini; kirimlah lebih banyak lagi, Omicron sampai Omega, sekalian saja sampai eskatologi’ –tidak demikian, itu orang yang tidak waras. Tentu saja kita bergumul, kita meratap, kita minta pembebasan –itu tidak salah, bahkan itu yang benar– tapi kita tahu, dengan keadaan ini memang terjadi pembersihan, pembebasan. Pembersihan apa, pembebasan apa? Jawabannya: pembebasan dari ‘kalau Tuhan bekerja, artinya saya musti sehat; kalau Tuhan mau membangkitkan pekerjaan-Nya, situasi musti aman, ekonomi musti berkembang, baru saya bisa melayani’. Inilah semua yang mau ditantang oleh Tuhan, seolah Tuhan mau mengatakan, “Saya bukan Tuhan yang seperti itu, bukan Tuhan yang kamu batasi seperti itu, yang tidak akan terjadi pemurnian Gereja hanya gara-gara pandemi dan kemudian Gereja jadi bubar; tidak demikian”. Tuhan akan jalan terus, seperti di bagian ini Tuhan juga jalan terus, Dia membangkitkan Mesias dari Betlehem Efrata, yang kecil dan tidak berarti itu.
Natai itu apa? Natal adalah: kita merayakan ‘yang tidak berarti’ (celebrating the insignificance), merayakan Betlehem dan bukan Yerusalem dengan gedung-gedungnya yang megah itu. Tuhan tidak tertarik dengan itu. Sebaliknya, yang secara signifikansi dianggap kecil, bahkan yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, Tuhan suka membangkitkan pekerjaan-Nya dari sana. Ini kontras sekali dengan the world’s obsession for greatness, for significance, for self significance. Gereja pun tidak kebal dalam hal ini, Gereja berusaha menjadi signifikan, Gereja berusaha menjadi besar –tapi juga merayakan Natal; apa tidak salah?? Gereja mengejar kebesaran, tapi koq, merayakan Natal, apa hubungannya?? Lebih baik ganti nama jadi “Gereja Herodes”, jadi lebih cocok karena yang mengejar kebesaran adalah Herodes; tapi itu tidak cocok dengan berita Natal.
Tidak ada yang besar dalam Natal; yang besar itu, justru adalah yang terkecil yang dihampiri oleh Tuhan. Inilah yang betul-betul besar. Namun kita tidak mendapatkan gambaran ‘kebesaran’ di sini; dan, agaknya, pola ini diulang terus. Mungkin secara manusia kita bisa bilang, “Tidak perlulah, Tuhan, ulang-ulang terus, saya sudah mengerti koq, kenapa diulang-ulang terus polanya, seakan-akan saya orang bebal?” Tapi kenyataannya sepertinya memang bebal, sampai musti diulang-ulang terus; dan sudah diulang terus, masih ‘gak ngerti-ngerti juga, bagaimana?? Natal ini sudah kita rayakan bertahun-tahun, dan tiap tahun beritanya begini terus, tapi masih ‘gak ngerti-ngerti juga, jadi mau diulang berapa kali kalau begini? Apa kita musti bikin Natal setiap bulan? Atau setiap Minggu, supaya kita ingat, bahwa ini merayakan yang tidak signifikan, yang kecil, yang lemah, dsb., merayakan berita ini, berita yang sama sekali dihina oleh dunia?
Berbahagialah mereka yang percaya, berbahagialah mereka yang lahir bersama dengan Yesus. Natal adalah Yesus lahir bukan karena keinginan laki-laki, bukan karena Maria bersetubuh dengan Yusuf –yang seperti itu adalah kelahiran jasmani, seperti Saudara dan saya. Natal adalah kelahiran oleh Roh Kudus, dikandung oleh Roh Kudus melalui anak dara Maria –berarti bukan oleh perseutubuhan dengan Yusuf. Saudara perhatikan, menurut Yohanes dalam Injil Yohanes pasal 1, Yesus lahir bukan dari keinginan laki-laki, demikian juga orang yang dilahirbarukan oleh Roh Kudus, itu juga bukan dari keinginan laki-laki. Yoh. 1:12-13, “Tetapi semua orang yang menerima-Nya (yang menerima Yesus Kristus) diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya (percaya di dalam nama Yesus); orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging (ini bukan bicara tentang kelahiran jasmani, ini bicara seperti kelahirannya Yesus Kristus), bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.” Inilah cerita kelahiran baru. Dan Yohanes mencatat, Yesus mengatakan kepada Nikodemus di pasal 3: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah”; yang tidak lahir bersama dengan Yesus, tidak masuk Kerajaan Allah.
Apa artinya lahir bersama dengan Yesus? Yaitu seperti dikatakan di sini, dilahirkan bukan cuma oleh keinginan manusia, laki-laki dan perempuan, yang kemudian melahirkan anak; yang seperti ini adalah kelahiran jasmani, dan kelahiran jasmani menghasilkan keturunan jasmani. Yohanes di sini membicarakan tentang keturunan rohani, tentang anak-anak Allah di dalam pengertian rohani; itulah yang namanya melihat Kerajaan Allah. Orang yang lahir baru, dia melihat kebesaran yang tidak dilihat oleh dunia ini. Orang yang buta terhadap kebesaran Tuhan adalah orang yang ketika Matius mengatakan, “Betlehem, sesungguhnya kamu sekali-kali bukan yang terkecil”, dia bilang, “Bukan yang terkecil?? Sampai sekarang pun kecil”; ini berarti dia tidak lahir bersama dengan Yesus, karena yang tidak lahir bersama dengan Yesus, yang tidak dilahirkan kembali, dia tidak bisa melihat Kerajaan Allah, yang dia lihat cuma kerajaan dunia, kebesarannya, kemuliaannya, kemegahannya. Itu sebabnya Natal tidak menarik untuk orang-orang ini, sehingga Natal pun berusaha dibikin besar. Tadi pagi saya sedikit koreksi karena saya merasa suara organ jadi besar sekali; dan tidak perlu volume dibesarkan karena ini Kebaktian Natal, tidak perlu lampunya jadi dua kali lebih terang, lantai dibersihkan dua kali lebih bersih, dsb. –membesar-besarkan Natal. Ironinya, Natal justru merayakan yang insignificant, Natal merayakan yang kecil, dan itulah kebesarannya. Kemuliaannya Natal justru ada di sana, dengan menghampiri yang kecil seperti Betlehem. Itulah Natal.
Kalau Saudara mau membaca cerita Natal, biasa Saudara membuka kitab-kitab Injil; bahkan tidak semua Injil mencatat cerita Natal, hanya Matius dan Lukas yang mencatat, sedangkan dalam Markus tidak ada, dalam Injil Yohanes ada sedikit saja rujukan-rujukan seperti ayat-ayat yang kita baca tadi. Kalau Saudara membaca surat-surat Paulus, lebih tidak ada lagi cerita Natal. Paulus tidak menulis cerita Natal, tapi Paulus menghidupi cerita Natal, Paulus sangat mengerti Natal; di dalam hal apa? Kita membaca 1 Korintus 1: “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.“ Perhatikan, dikatakan di sini, apa yang bodoh, yang tidak terpandang, yang lemah, yang kecil, yang hina; dan inilah Betlehem. Orang-orang Kristen adalah orang-orang yang bodoh, orang-orang yang biasa-biasa saja, orang-orang yang lemah, orang-orang yang hina bagi dunia –demikian kata Paulus. Tetapi orang sekarang mendengar kalimat ini, dia tidak terima; waktu dikatakan ‘apa yang bodoh dipilih Allah’, kita komentar, “Sebetulnya tidak bodoh-bodoh amat juga, ya, saya kayaknya tidak begitu, deh; lalu hina di dalam hal apa, ya? Masakan saya hina? Hina apanya??” Kita sepertinya lebih tertarik kalau Yesus lahir di Yerusalem atau di Roma, daripada Yesus yang lahir di Betlehem. Dan lebih parah lagi, kita lebih tertarik kalau Kaisar yang lahir, lebih menarik ceritanya, daripada Yesus lahir.
Ketika ada kelahiran dalam keluarga kaisar, seorang putra mahkota, itu sudah pasti dirayakan, dan langsung ada pujangga, ada orator, yang mengumumkan. Diumumkan di mana? Sudah pasti di istana. Orang-orang penting harus mendengar lebih dulu, baru kemudian diumumkan ke tempat yang lebih jauh dan makin jauh. Tempat-tempat yang paling jauh, yang paling tidak penting, mendengarnya baru belakangan. Jadi pengumumannya pun ada urutannya, dan tidak boleh salah urutannya. Tidak mungkin diumumkan lebih dulu di tempat-tempat yang ‘gak jelas, lalu terakhir baru di istana. Sampai sekarang pun di kebudayaan tertantu, kalau ada suatu berita, misalnya kelahiran anak, cara menyampaikan kepada keluarga besar pun ada urutannya dan tidak boleh salah; kalau urutan kelima tahu lebih dulu daripada urutan kedua, itu bisa ribut. Inilah dunia. Tapi Tuhan tidak demikian, Tuhan by pass urutan itu. Tuhan pakai pengumuman juga, tapi seperti meledek pengumumannya Kaisar. Ini Anak Allah yang lahir, musti ada pengumumannya; di mana? Di padang. Kepada siapa? Bukan kepada menteri-menteri tapi gembala. Gembala-gembala itu mendengar duluan, tahu duluan. Lukas mencatat, bahkan tentang penampakan malaikat yang sangat mulia itu, Maria dan Yusuf pun mendengar ceritanya dari gembala; dan Maria tidak tersinggung, tidak nelangsa, “koq gitu ya, kamu dengar koor malaikat, saya koq tidak, sih; saya ini mamanya lho!!” —tidak ada cerita kayak begini. Tapi di dunia, bukan cuma dalam sinetroan yang ada kayak begini, kehidupanmu dan kehidupanku juga banyak ketersinggungan-ketersinggungan kayak begini yang tidak ada cocok dengan cerita Natal, tidak ada urusannya dengan cerita Natal. Kalau demikian, cerita kelahiran siapa sih, sebetulnya yang ada di dalam kehidupan kita ini? Cerita kelahiran Kaisarkah, yang ada urutannya dan tidak boleh dilangkahi urutannya itu?? Natal sebetulnya hidup atau tidak sih, di dalam kehidupan Saudara dan saya? Atau ini cuma cerita perayaan ada lilin-lilin, lalu ‘sedih ya, tahun ini cuma pakai lilin elektrik, padahal saya lebih rela ketetesan panas tapi pakai lilin beneran, lebih ada sensasinya’ –Natal koq cari sensasi. Narasi apa sebetulnya yang terjadi di dalam hidupmu? Cerita apa yang sebetulnya betul-betul hadir di dalam kehidupan kita? Cerita kelahirannya Kaisar, yang ribet tadi, atau cerita kelahiran Yesus, yang menguasai kehidupan kita? Yang mana sebetulnya?
Tadi kita membaca di dalam 1 Korintus, pembicaraan tentang doktrin pilihan. Kita, orang Reformed, suka membicarakan doktrin pilihan/ predestinasi; tapi membicarakan doktrin predestinasi itu satu hal, sementara penghayatannya bagaimana? Doktrin pilihan bukan untuk dihayati dengan membusungkan dada, “we are the chosen Church, the chosen community, the elite, special force!” Kalau Saudara membaca 1 Korintus, Saudara akan mendapati prinsip Tuhan memilih, yaitu memilih yang bodoh, yang lemah, yang tidak terpandang, yang hina bagi dunia, yang tidak berarti; inilah yang dipilih oleh Allah. Pemilihan itu sebetulnya adalah Natal; Tuhan menghampiri orang-orang yang ada di bawah, Tuhan menghampiri kota yang kecil —Betlehem—itulah yang namanya predestinasi. Yang dipilih justru adalah orang-orang yang demikian. Herodes, ahli-ahli Taurat, imam-imam kepala, tidak dipilih. Tuhan tidak tertarik. Karena apa? Karena orang-orang ini sudah dipilih oleh dunia, untuk apa lagi Tuhan musti pilih mereka. Orang-orang itu sudah mendapat jatahnya di dalam kerajaan dunia, untuk apa Tuhan ikut-ikutan lagi. Kalau Tuhan bekerja, Dia akan menjungkirbalikkan apa yang dipercaya oleh dunia, Tuhan akan datang dengan cara-nya sendiri, Tuhan tidak perlu diatur oleh dunia. Tuhan tidak perlu disetir berdasarkan cara kemegahan, kemuliaan, kebesaran dunia.
Kalau Tuhan mau jungkir balikkan urutan kasih tahu siapa lebih dulu, bahkan Maria yang katakanlah paling dekat dengan Bayi Yesus pun bisa di-bypass dalam pemberitahuan ini, gembala-gembala diberitahu lebih dahulu lalu silakan gembala bicara kepada Maria –dan Maria juga harus menerima seperti itu. Memang Maria menerima; Maria betul-betul adalah hamba yang rendah. Saudara perhatikan, waktu Maria menyanyi magnificat, dia mengatakan Tuhan sudah memperhatikan kerendahan hambanya; tapi setelah Tuhan memperhatikan kerendahan hambanya, apakah Maria kemudian pelan-pelan mulai merasa lebih tinggi? Kalau demikian, dia pasti akan tersinggung di sini, ‘dulu sih, saya tidak apa-apa waktu saya diberitahu Gabriel, memang saya rendah, tapi sekarang harus tahu, ya, saya ini perempuan yang berbeda, saya bukan sembarangan perempuan, mana bisa saya dibandingkan dengan gembala-gembala ini’. Tapi bukan demikian yang terjadi, Maria konsisten menghayati kerendahan diri sebagai seorang hamba di hadapan Tuhan. Tidak ada yang berubah pada diri Maria di dalam hal ini. Dia bukan dulu orang yang dihina, lalu sekarang jadi orang yang lebih ada kewibawaan karena sudah berubah tidak seperti zaman dulu waktu masih miskin, misalnya; yang seperti itu bukan cerita Natal.
Sekali lagi, Betlehem itu sampai sekarang tetap kota kecil, tidak bisa bersaing dengan Yerusalem. Betlehem yang dipilih oleh Tuhan itu, tidak dipermuliakan secara dunia oleh Allah. Hanya karena Yesus lahir di situ, lalu Betlehem pelan-pelan jadi besar, sementara Yerusalem pelan-pelan jadi menciut dan dilupakan orang, itu tidak terjadi; sampai sekarang pun masih Yerusalem yang besar. Relakah Saudara menjalani jalan salib seperti ini di dalam kehidupanmu? Konsisten di tempat yang bawah menurut pandangan dunia seperti ini? Saudara, kita jangan memakai Natal jadi batu loncatan, Yesus Kristus jadi batu loncatan, bahwa ‘saya orang yang rendah, saya orang yang biasa, sederhana, namun Tuhan mengasihi saya; TETAPI SEKARANG hidupku sudah lain, saya sudah tidak dihina seperti dulu lagi, bersyukur Yesus Kristus yang membuat saya lebih mulia daripada dulu’. Kalau begini, berarti Yesus Kristus cuma dipakai jadi batu loncatan supaya kita mendapat kemuliaan dunia. Yesus Kristus cuma sarana supaya pada akhirnya saya bisa mendapat kemuliaan dunia, Yesus Kristus cuma instrumen supaya saya jadi kaya, jadi besar, jadi mulia, jadi signifikan, jadi orang sukses, dsb. –apapun arti suksesnya. Saya pikir, itu bukan Natal.
Dalam PA Pemuda, yang adalah Minggu Adven Ketiga, kita membicarakan tentang sukacita. Sukacitanya siapa? Sukacitanya para gembala. Apa sukacitanya gembala? Seperti Saudara membaca di dalam Matius, Tuhan datang sebagai Raja, tapi gambaran raja di sini adalah raja yang akan menggembalakan umat-Nya –dan yang disapa adalah gembala. Gembala adalah pekerjaan (vocation) yang rendah, yang di bawah, tidak bisa dibandingkan dengan CEO. Dalam hal ini, sukacita Natal adalah: kita tidak harus merangkak jadi CEO dulu, lalu baru bisa merayakan Natal; tidak demikian. Tuhan menyapa gembala, Tuhan sendiri memperkenalkan bahwa Mesias yang akan datang adalah gembala. Kalau demikian, bukankah tidak ada yang bisa lebih membahagiakan lagi? Bahwa bukan kita yang harus merangkak ke atas menjadi Tuhan, tapi Tuhan yang menjadi manusia, menjadi gembala. Tidak perlu menghina posisi/keadaan waktu kita dipanggil, ya, di situ saja, kerjakan dengan setia, Tuhan akan menghampiri engkau di tempatmu, Tuhan akan menghampiri di rumahmu, seperti Tuhan mampir ke tempatnya Zakheus at your very position, your very place.
Gembala, oleh dunia dianggap tidak berarti. Kalau menikah dengan gembala, seperti tidak terlalu ada masa depan; ‘musti cari yang lebih menjanjikan-lah masa depannya, kita musti upgrade keluarga, musti cari orang yang agak kaya supaya ada perubahan’ –inilah ceritanya dunia. Tapi Tuhan mengatakan, “akan menggembalakan mereka di dalam kekuatan Tuhan, dalam kemegahan nama TUHAN Allahnya; mereka akan tinggal tetap, sebab sekarang ia menjadi besar” (Mikha 5:3/4). Ada istilah besar, kemegahan, kekuatan di bagian ini, sementara tadi kita bicara tentang insignificant, kecil, tidak berarti; namun yang muncul di bagian ini adalah kebesaran, kemegahan, kekuatan versi Kerajaan Surga. Apakah itu kekuatan, apakah itu kemegahan nama Tuhan, apakah itu menjadi besar? Kalau Saudara membaca bagian ini, jawabannya sederhana, yaitu menggembalakan. Gereja yang ada di dalam kekuatan Tuhan, adalah Gereja yang menggembalakan. Gereja yang ada di dalam kemegahan nama Allahnya, adalah Gereja yang menggembalakan. Gereja yang menjadi besar –kalau mau pakai istilah ‘besar’– bukanlah urusan interiornya, atau luas areanya, atau jumlah jemaatnya; Gereja yang besar, menurut ayat ini adalah Gereja yang seperti Mesias, yaitu menggembalakan.
Natal berarti Saudara diundang untuk pertama-tama menerima bahwa Tuhan adalah Gembala, ‘Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku’. Tapi tidak berhenti di sana, Saudara juga diundang untuk menjadi gembala, seperti Mesias, karena kita ada persekutuan dengan Kristus (union with Christ). Kristus adalah Gembala, maka kalau kita dipersekutukan dengan Dia, kita juga menjadi gembala seperti Kristus –kecuali Saudara tidak tertarik bersekutu dengan Kristus. Gereja, kalau bersekutu dengan Herodes, itu lucu sekali, itu bukan Gereja namanya, Gereja seharusnya bersekutu dengan Kristus. Gereja yang bersekutu dengan Kristus, akan terus diubahkan jadi seperti Kristus. Luther mengatakan kalimat yang terkenal, ‘common priesthood of all believers’ (imamat umum semua orang percaya), bahwa yang disebut ‘imam’ adalah semua orang percaya, allgemeine Priestertum aller Gläubigen. Dalam hal ini kita bisa pinjam istilah tersebut juga, ‘common shepherdhood of all believers’, artinya setiap orang percaya diundang untuk menjadi gembala.
Saudara mungkin merasa “telat”, merasa ‘alangkah indahnya kalau saya menjadi gembala sejak dulu seperti gembala-gembala ini; sebelum mendengar pengumuman bahwa Tuhan akan menggembalakan, mereka ini pasti mengerti sekali waktu Tuhan mengatakan seperti itu.’ Daud waktu jadi raja, dia sudah pernah menggembalakan, dia tahu apa artinya menggembalakan; dan waktu dia mendapatkan penyataan Tuhan, “Tuhan adalah gembalaku”, dia tahu banget artinya, karena dia gembala. Kita merasa telat, tapi itu lebih baik daripada tidak tahu sama sekali. Daud memang ada posisinya sendiri, dia diberikan karunia untuk lebih dulu menggembalakan kemudian bisa mengerti ‘Tuhan adalah gembalaku’, itu bahagia sekali. Tetapi bagi saudara dan saya yang “telat”, kita kejarlah ketelatan kita, supaya kita bisa sungguh-sungguh mengenal artinya ‘Tuhan adalah gembala’. Ini mengenal yang bukan dari teori, ini mengenal sang Mesias, mengenal Yesus dengan cara kita sendiri menjadi gembala.
Harap Tuhan menolong kita. Harap Tuhan memberikan kepada kita kekuatan yang sesungguhnya, kemegahan yang sesungguhnya, bukan kemegahan nama kita, bukan kemegahan nama gereja kita, tapi kemegahan nama Tuhan, Allahnya, dan menjadi besar sampai ke ujung bumi. Bukan kita yang besar, tapi Kristus yang besar; lalu kita bersama dengan Kristus ketika kita juga lahir bersama Kristus; lalu kita juga menggembalakan, seperti Kristus menggembalakan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading