Kita sedang membicarakan satu seri mengenal panggilan (calling). Tapi ini bukan seperti seri calling pada umumnya yang langsung lompat ke urusan kejelasan dan kepastian karir atau pasangan hidup; bahkan sejauh ini, di dalam ketiga seri sebelumnya, satu hal yang kita makin lama makin jelas adalah: bahwa urusan kejelasan bukanlah prioritas dalam relasi kita dengan Tuhan.
Dalam khotbah pertama, kita membicarakan bahwa menerima panggilan Tuhan, fenomenanya adalah: hal-hal yang selama ini kita anggap jelas, malah justru dipertanyakan atau dibuat jadi kabur. Dalam khotbah kedua, kita melihat, hal ini tidak mengherankan karena yang namanya relasi dengan Tuhan sebenarnya bukanlah urusan kepastian melainkan trust; bahwa relasi yang sehat adalah relasi yang tetap bisa ada trust meski kepastian tidak tentu. Bahaya sekali suatu relasi kalau relasi tersebut berubah, hanya karena situasinya berubah. Misalnya, saya cuma mau berelasi dengan kamu, jadi suami atau istri kamu, selama rekening bank kita di atas 150 juta –itu bukan relasi. Dalam khotbah ketiga, kita masuk lebih dalam lagi dekonstruksi ini, kita mempertanyakan kenapa kita selama ini mengira Alkitab menyediakan kejelasan/kepastian tersebut, baik urusan karir ataupun pasangan hidup. Setelah kita selidiki, jawabannya adalah karena seringkali sadar atau tidak sadar, kita datang kepada Alkitab dengan kacamata yang salah. Dalam pembahasan itu, kita memakai contoh tentang bagaimana kita telah salah membaca kisah Gideon, kita menyalahgunakannya jadi semacam manual untuk mengetahui kehendak Allah. Dan, bukan hanya salah baca satu pasal, tapi juga bahwa secara umum kacamata yang kita pakai untuk mendekati Alkitab ternyata ngawur. Kita mendekati Alkitab seakan-akan Alkitab itu Wikipedia, atau KUHP, atau sebuah panduan aturan hidup; dan inilah yang membuat kita akhirnya frustasi terhadap Alkitab. Sama saja kalau Saudara menggunakan buku komik sebagai buku pelajaran sekolah, Saudara pasti akan frustrasi.
Dekonstruksi yang kita lakukan dalam 3 khotbah pertama itu sepertinya sudah cukup, dan kita mungkin sudah bisa bergeser ke fase kontruksi. Meski demikian, tetap saja saya akan memperingatkan Saudara, dalam fase konstruksi ini bukan berarti Saudara akan pulang dengan mengetahui pasangan hidup Saudara siapa atau karir apa yang harus Saudara pilih. Maksudnya rekonstruksi di sini adalah begini: kalau problem urusan panggilan kita berakar dari problem cara kita membaca Alkitab, maka kita harus memulai rekonstruksi ini dengan mempelajari bagaimana membaca Alkitab dengan baik. Kita perlu menggeser cara kita melihat Alkitab; dan sungguh mengejutkan, bahwa di bagian tengah ke belakang nanti kita akan melihat bahwa hal ini punya implikasi sangat dekat dengan bagaimana kita memikirkan urusan panggilan.
Dalam introduksi ini, saya juga mau memberitahu Saudara, mengenai bahan-bahan khotbah seri ini –dan juga seri-seri lain—saya sangat berutang pada The Bible Project di internet; dalam hal ini kalau Saudara belum tahu mengenai The Bible Project, saya ingin mendorong Saudara untuk juga coba melihatnya.
Kita masuk ke dalam diskusi hari ini. Jadi, kalau sekarang kita mau membangun ulang paradigma kita terhadap Alkitab, kita mulai dengan satu hal: belajar melihat Alkitab sebagai sebagai kitab yang Ilahi dan manusiawi pada saat yang sama. Ini bukanlah satu prinsip atau paradigma yang baru. Ini juga bukan kontroversial. Kalau Saudara perhatikan konfesi-konfesi iman sejak dulu, jelas hal ini tertulis di dalamnya. Konfesi-konfesi iman Kristen tidak pernah menganggap Alkitab cuma sebagai tulisan ilahi semata-mata ataupun sebagai tulisan manusia semata-mata saja; mengapa? Karena teksnya sendiri demikian. Kalau Saudara membuka Alkitab, Saudara akan melihat bahwa teksnya sendiri mengklaim bahwa: di satu sisi, melalui Alkitab kita menerima perkataan dari Allah sendiri; tapi di sisi lain, tidak pernah menyangkal atau menyembunyikan fakta bahwa ini adalah hasil tulisan manusia. Hal ini kontras dengan keyakinan agama lain, misalnya yang mengklaim bahwa kitab sucinya turun dari surga sehingga tidak tercemar oleh manusia sama sekali, atau kalaupun ditulis oleh manusia, sifatnya berupa dikte sehingga tidak mungkin tercemar oleh keterbatasan manusia, rasio manusia; dan oleh karenanya mereka mengklaim inilah firman Tuhan. Dalam Kekristenan berbeda; Kekristenan yang ortodoks tidak pernah menyangkal keberadaan sidik jari manusia. Dalam hal ini, keberadaan sidik jari manusia tersebut bukan dalam arti manusia diambil alih kesadarannya, semacam dirasuk oleh Tuhan sehingga waktu menulis mereka tidak sadar diri, lalu tiba-tiba saja ketika sadar, sudah ada kitab yang rapi tertulis –tidak seperti itu. Mereka benar-benar menulis dengan digunakan seluruh rasio, emosi, kehendak, dan pengalaman mereka.
Mengapa ini paradigma yang kita perlu coba pelajari? Karena kita somehow tidak nyaman dengan paradigma seperti ini. Kita, entah bagaimana, tidak nyaman kalau Firman Tuhan itu ada jejak kaki manusianya. Kita inginnya Firman Tuhan itu melampaui manusia dong; okelah ilahi dan manusia, tapi keilahiannya harus lebih utama dong. Kalau Saudara mendengar riset yang mengatakan cerita Nuh itu tidak orisinal berasal dari orang-orang Yahudi, melainkan sudah ada lebih dulu dalam tradisi mitos Timur Tengah yang lain, dan dengan demikian Alkitab sepertinya berhutang pada budaya-budaya di luar Israel –ketika Saudara mendengar ini– bagaimana rasanya? Atau ketika kita mempelajari manuskrip-manuskrip Alkitab, dan ternyata Alkitab kita hari ini bukan berasal dari satu salinan teks yang rapi, melainkan merupakan kompilasi dari begitu banyak manuskrip yang berlainan, sementara manuskrip-manuskrip peninggalan sejarah begitu banyak jumlahnya dan meski sangat mirip satu dengan yang lain tapi bahkan manuskrip dari satu kitab yang sama pun kadang-kadang bisa ada perbedaan detail –mengetahui ini semua, membuat Saudara merasa apa?
Atau tidak usah jauh-jauh, kembali ke Alkitab itu sendiri, Saudara menemukan catatan kehidupan Yesus bukan cuma satu tapi ada empat. Keempatnya seperti ditulis dari empat perspektif manusia yang berbeda; dan meskipun secara garis besar, keempatnya setuju satu dengan yang lain, dalam detail-detailnya mereka bisa berbeda. Gaya penulisannya pun berbeda; Lukas adalah seorang Yunani berpendidikan tinggi sehingga bahasa Yunani-nya super canggih, sementara Yohanes adalah seorang Yahudi yang bahasa Yunani-nya sederhana. Kalau Saudara mendengar semua hal ini –dan ini cuma garis besar soal kemanusiaan Alkitab—Saudara merasa apa? Mungkin Saudara merasa susah menerima, ‘ini ‘kan firman Tuhan, harusnya melampaui kemanusiaan, tapi koq, warnanya ternyata sangat manusawi??’ Jadi, Saudara lihat di sini problemnya; dan inilah alasannya kita perlu mempelajari isu ini, bahwa meskipun dalam Pengakuan Iman, kita mengakui adanya sifat ilahi dan sifat manusiawi, tapi pada praktisnya kita curiga, enggan, bahkan menolak mengakui faktor manusiawi dalam Alkitab.
Hal ini bertambah parah dalam satu abad terakhir, dengan munculnya begitu banyak serangan dan tekanan di dunia Barat yang meragukan keilahian Alkitab, yang mengakibatkan gereja secara refleks membela keilahian Alkitab juga. Itu sebabnya dalam seratus terakhir atau bahkan lebih ini, yang Saudara dengar adalah penekanan bahwa Alkitab itu ilahi, ilahi, dan ilahi, lalu akhirnya kita lupa bahwa Alkitab juga manusiawi. Dan bukanlah hal yang positif ketika gereja terlalu menekankan keilahian Alkitab, sampai melupakan kemanusiawian Alkitab. Segala sesuatu yang kebablasan itu tidak baik, sama seperti orang memborong Susu Beruang dan obat cacing untuk menangkal Corona, akhirnya memang tidak kena Corona tapi masuk rumah sakit karena over dosis obat cacing. Demikian juga dengan Alkitab; kita seringkali berusaha menutup-nutupi atau menghapus sisi manusiawi dari Alkitab; hal ini tidak positif, karena pada akhirnya kita tidak bisa menghalangi orang berkenalan serta menyentuh sejarah penulisan Alkitab yang sangat manusiawi itu.
Barth Ehrman, seorang yang sangat terkenal hari ini sebagai orang yang sangat ateis dan melawan iman Kristen, dia lahir di dalam keluarga Kristen, dalam tradisi Kekristenan yang sangat tradisional yang seringkali hanya menekankan keilahian dari Alkitab. Barth Ehrman kemudian mempelajari manuskrip, dan dia melihat ternyata manuskrip-manuskrip Alkitab begitu berantakan dan begitu manusiwai. Di situ imannya runtuh, karena yang ilahi dan yang manusiawi dilihatnya sebagai sesuatu yang bertentangan. Saudara lihat problemnya? Problemnya bukan pada Alkitab itu sendiri, melainkan pada kacamata orang dalam melihat Alkitab.
Saudara, iman yang kuat bukanlah iman yang pokoknya menekankan keilahian Alkitab tok. Iman yang kuat, yang bertahan terhadap goncangan, adalah iman yang justru punya paradigma yang lain, paradigma yang bisa melihat keilahian dan kemanusiawian Alkitab sebagai dua hal yang tidak harus bertabrakan. Bagaimana caranya? Kita bisa kembali ke Alkitab. Tapi sebelumnya, saya ingin Saudara menyadari lebih dulu, bahwa kacamata yang sedang bertengger di mata kita hari ini ternyata tidak valid, yaitu kacamata yang menganggap sesuatu itu ilahi karena bukan manusiawi. Itu kacamata yang tidak fair. Kita sudah membahas kitab Ester dalam 13 kali khotbah; dan Saudara melihat bagaimana Alkitab memandang cara kerja Tuhan di dunia bukanlah seperti itu –apa yang ilahi berarti tidak natural, apa yang natural berarti bukan ilahi.
Pendeta Jadi pernah memberi contoh begini: misalnya Saudara menyetir mobil malam-malam, jalanan gelap, suasananya menakutkan, lalu mesin mobil Saudara bunyi-bunyi, keluar asap, dan akhirnya mogok. Saudara lalu berdoa, “Tuhan, tolong saya. Tuhan, tolong saya”, dan mesin itu hidup kembali; di situ kita mengatakan itu adalah tangan Tuhan. Tapi kalau kita memelihara mobil baik-baik, kita servis, kita cuci, kita menghindari lubang waktu menyetir, dan mobilnya terus berjalan, siapa yang memuji Tuhan dalam skenario ini? Siapa yang kemudian mengatakan, “Puji Tuhan, Tuhan telah berkarya dalam hidup saya”? Saudara, inilah kacamata kita. Dan, ini tidak adil. Itu sebabnya kita kembali ke Alkitab untuk melihat bagaimana Alkitab memandang relasi antara yang ilahi dan yang manusiawi. Di situ Saudara akan menemukan kacamata/paradigma yang berbeda dengan kita.
Mari kita coba fokus dalam satu hal saja, satu benang merah di dalam Alkitab, yaitu mengenai bagaimana Roh Allah bekerja di dalam dunia ini. Roh Allah pertama kali diperkenalkan di halaman-halaman pertama Alkitab, pada saat penciptaan dunia, yaitu Ruah Elohim; dikatakan: ‘Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air’ (Kejadian 1:2). Di sini tentunya Roh Allah bukan cuma nongkrong, tapi berpartisipasi dalam penciptaan. Yang menarik, kalau Saudara menganalisa Alkitab, ini mungkin satu-satunya catatan di Alkitab, di mana Roh Allah bekerja di dunia tanpa keterlibatan manusia –karena waktu itu memang belum ada manusia—sedangkan dalam catatan-catatan berikutnya, Saudara akan menemukan bahwa Roh Allah selalu bekerja melalui atau dengan melibatkan manusia. Misalnya, dalam catatan berikutnya ketika manusia dicipta, Allah menghembuskan nafasnya bagi manusia sehingga manusia jadi makhluk yang hidup; dan kata ‘nafas’ atau ‘ruah’ di sini sama dengan ‘roh’ dalam bahasa Ibrani. Dengan demikian Saudara melihat, bahwa sejak awal mula manusia, dalam penciptaannya pun tidak pernah lepas dari yang ilahi, kehidupan manusia berasal dari Roh Allah. Berikutnya, kita bertemu lagi dengan istilah ‘Roh Allah’ di kitab Kejadian yaitu pada kisah yang terakhir, kisah tentang Yusuf. Ketika itu terjadi kelaparan; Roh Allah memenuhi Yusuf, memberikan Yusuf akal budi dan bijaksana sehingga dia bisa menyelamatkan daerah itu dari kelaparan. Kita membaca hal ini dalam Kejadian 41, ketika Firaun mengatakan kepada para pegawainya, “Mungkinkah kita mendapat orang seperti ini, seorang yang penuh dengan Roh Allah?” (ayat 38).
Menarik bahwa di dalam kitab Kejadian itu terdapat satu simetri, yaitu dimulai dan diakhiri dengan kisah Roh Allah bekerja; yang pertama, dalam menciptakan manusia, dan yang kedua, dalam bekerja melalui manusia. Poinnya adalah: setelah ini, Saudara melihat terus-menerus sepak terjang Roh Allah, dan Saudara tidak pernah menemukan Roh Allah bekerja tanpa semacam keterlibatan manusia. Saudara tidak usah kaget akan hal ini, karena inilah gambaran yang cocok sekali dengan tujuan diciptakannya manusia, yaitu untuk menjadi gambar dan rupa Allah di atas dunia ini.
Berikutnya kita melihat kitab Keluaran. Keluaran 31: 1-5, Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Lihat, telah Kutunjuk Bezaleel bin Uri bin Hur, dari suku Yehuda, dan telah Kupenuhi dia dengan Roh Allah …”; dan selanjutnya, apa yang dimaksud dengan dipenuhi Roh Allah,yaitu dipenuhi “dengan keahlian dan pengertian dan pengetahuan, dalam segala macam pekerjaan, untuk membuat berbagai rancangan supaya dikerjakan dari emas, perak dan tembaga; untuk mengasah batu permata supaya ditatah; untuk mengukir kayu dan untuk bekerja dalam segala macam pekerjaan.” Saudara lihat keberadaan Roh Allah ini, seperti pada zaman Yusuf, yaitu Roh Allah bukan datang dengan cara merasuki atau mengambil alih diri manusia, tapi justru bekerja melalui kemanusiaan seorang manusia –melalui keahlian tangannya,pengertiannya, pengetahuannya, untuk membuat rancangan-rancangannya. Saudara juga melihat selanjutnya pada diri Musa, pada diri para tua-tua Israel, dan para hakim-hakim, atas mereka dibangkitkan Roh Allah; demikian juga dalam diri Saul dan Daud. Daud mengatakan dalam 2 Samuel 23:2, “Roh TUHAN berbicara dengan perantaraan-ku, firman-Nya ada di lidah-ku”; di sini kita melihat, ilahi dan manusiawi tidak dipertentangkan. Mengapa tidak dipertentangkan? Karena orang-orang inilah gambar dan rupa Allah di atas dunia ini.
Sekarang ini masih dekat dengan masa Natal, dan tentu ingatan Saudara masih segar dengan renungan-renungan dan khotbah-khotbah bahwa Anak Allah turun menjadi manusia. Tapi perhatikan, di sana bukan cuma ada persatuan antara yang ilahi dan manusiawi dalam diri Kristus saja, namun juga bahwa Alkitab dengan jeli mencatat, Maria mengandung dari Roh Kudus.
Di dalam Kisah Para Rasul, ketika Roh Kudus dicurahkan, apa yang kemudian jadi fenomenanya? Biasanya kita cuma ingat ada lidah-lidah api, tanda yang supranatural itu. Tapi Saudara harusnya bertanya juga, ketika dunia hari itu melihat Roh Allah bekerja –dari perspektifnya yang adalah perspektif orang luar, dan bukan perspektif 120 murid Yesus itu— apa yang mereka lihat sebagai pekerjaan Roh Kudus? Tentu saja yang mereka lihat adalah manusia. Manusia yang entah bagaimana punya kemampuan berbahasa yang luar biasa, namun tetap saja manusia, dan melalui bahasa manusia juga.
Saudara lihat di sini, dalam kacamata Alkitab dari depan sampai belakang, ketika Allah bekerja di dalam dunia ini melalui Roh-Nya, caranya adalah melalui manusia. Dengan kata lain, ketika Saudara bertemu dengan Roh Allah di dunia ini, Saudara bertemunya dengan seorang manusia atau umat manusia. Allah Alkitab senantiasa ingin bekerja melalui manusia; ketika Roh-Nya bekerja, bekerjanya melalui manusia. Dengan demikian, Saudara harusnya tidak heran ketika Allah berbicara, memberikan firman-Nya, Dia juga memberikannya melalui tangan, tulisan, perkataan manusia. Itu sebabnya waktu kita mendiskusikan asal-muasal Alkitab, kita tidak perlu ketakutan dengan elemen manusiawinya Alkitab. Kita tidak perlu mencari-cari semacam penjelasan yang menjauhkan Alkitab dari sidik jari kepengarangan manusia. Kita tidak perlu pakai paradigma ‘saya mau membuktikan keilahian Alkitab, yaitu ini ilahi karena ini bukan manusia’, karena itu jalan buntu, dan itu bertentangan dengan kesaksian Alkitab itu sendiri.
Apakah Saudara merasa paradigma ‘ilahi dan manusiawi’ ini, paradigma yang gampang digoncang, yang tinggal disentuh sedikt langsung runtuh? Ini bukan gampang digoncang, Saudara. Justru jika Saudara punya paradigma seperti ini, iman Saudara lebih kuat. Mengapa? Karena kalau Saudara punya kacamata melihat Alkitab sebagai ilahi dan manusiawi, maka ketika Saudara menyelidiki Alkitab dan menemukan bahwa Alkitab berbicara melalui budaya manusia setempat, kebiasaan-kebiasan setempat, gaya bahasa setempat, dengan menggunakan cerita-cerita setempat, ataupun datang melalui proses yang manusiawi seperti melalui salinan, catatan, bahkan perpektif manusia, Saudara tidak akan terganggu dengan semua itu. Kalau Saudara masih kesulitan menerima Alkitab sebagai kitab yang ilahi dan manusiawi, pertanyaannya: bagaimana Saudara bisa menerima inkarnasi Kristus? Di dalam semua konfesi iman ortodoks, Saudara menemukan bahwa Yesus itu Allah, dan pada saat yang sama juga manusia; dan kedua natur ini tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang bertabrakan atau bersaingan. Saudara juga tentu ingat, Yesus disebut sebagai Firman Allah yang hidup; jadi, kalau Saudara bisa menerima Firman Allah yang hidup sebagai yang ilahi dan manusiawi, lalu kenapa Saudara pakai double standard waktu melihat firman Allah yang tertulis?
Sampai di sini mungkin Saudara berkatan “Oke, saya mengerti, Pak, tapi apa hubungan ini semua dengan calling?” Tepat sekali, apa hubungannya, Saudara? Apa problem kita hari ini dengan urusan mengenai calling/panggilan? Problem kita pada hari ini dengan urusan ‘panggilan’ –yang tidak pernah selesai-selesai– yaitu kita ingin panggilan tersebut datang dengan cara apa?
Kita ingin sekali belajar mengenai panggilan, karena kita merasa arah hidup kita tidak jelas. Tuhan tidak kasih kejelasan saya musti pilih karir apa atau nikah sama siapa, ada begitu banyak pilihan, atau tidak ada pilihan sama sekali, jadi harus ngapain?? Saya mau tanya kepada Saudara, panggilan yang kita nanti-nantikan, yang tidak datang-datang itu, bentuknya kayak apa, ya? Jangan-jangan Saudara berharap ketika panggilan Tuhan datang, itu datangnya secara supernatural, tidak manusiawi, ‘saya baru yakin ini panggilan dari Allah ketika panggilan ini sama sekali tidak bisa dijelaskan secara manusiawi’. Dr. Richard Pratt pernah memberikan satu cerita lucu, “Bagaimana tahu kehendak Tuhan dalam hidupmu?” Alkisah ada orang seperti ini: untuk saya bisa tahu ini kehendak Tuhan, berarti ini bukan tangan manusia. Jadi, suatu hari saya datang ke undangan pernikahan, dan saya mau lihat apa kehendak Tuhan tentang apa yang harus saya makan. Saya tidak tahu apakah itu ayam atau soto atau apa, tapi saya tidak akan menggunakan tangan saya; karena kalau Tuhan yang berkehendak berarti itu bukan kehendak saya, kalau tangan Tuhan bekerja berarti itu bukan tangan saya. (Kenapa tidak sekalian saja bilang, kalau tangan Tuhan, berarti bukan mulut saya, usus saya, dsb.). Lalu Richard Pratt bertanya, kira-kira hari itu orang tersebut akan tahu atau tidak, apa kehendak Tuhan bagi dirinya? Tentu saja dia akan tahu kehendak Tuhan bagi dirinya pada malam itu, yaitu bahwa dia tidak makan. Bukankah ini bodoh?
Contoh lain, Saudara menyetir mobil, dan Saudara bilang kepada Tuhan, “Tuhan, jika Engkau berkehendak menghentikan mobil ini, maka mobil ini tidak usah kurem, akan berhenti dengan sendirinya”. Atau cerita klasik tentang orang yang kebanjiran sampai setinggi atap rumah, dan dia berdoa pada Tuhan, “Tolong selamatkan aku”, lalu datang perahu karet, dan dia tidak mau naik karena menunggu pertolongan Tuhan; berikutnya datang perahu motor, bahkan sampai helikopter SAR pun tetap tidak mau naik karena menunggu pertolongan Tuhan. Akhirnya dia mati tenggelam, dan di surga dia tanya kepada Tuhan, “Tuhan, kenapa tidak selamatkan aku?” Tuhan geleng-geleng kepala.
Apa problemnya di sini, Saudara? Problem kacamata; terlalu memisahkan antara yang ilahi dan yang manusiawi. Apa problem kita dalam hal panggilan selama ini? Yaitu kita ingin mendapatkan kehendak Tuhan, dan kita mengatakan “bagaimana saya tahu kehendak Tuhan??” Kita pengen dapat sesuatu yang tidak melibatkan otak kita; kita ingin jawaban yang datang dengan tidak melibatkan pengalaman kita, strategi kita, atau tangan kita.
Katakanlah seorang anak remaja datang ke pendeta, “Pak, bagaimana saya tahu kehendak Tuhan?” Pendetanya mengatakan, “Kamu pakai otaklah, pikir baik-baik, pakai strategi yang baik, timbang secara matang, perhatikan berbagai faktor, bicara dengan banyak orang, cari orang-orang yang lebih berbijaksana, cari orang-orang yang lebih berpengalaman, cari orang-orang yang lebih dewasa dan dengarkan apa kata mereka”; lalu si anak mengatakan, “O, itu bukan kehendak Tuhan, itu kehendak manusia, Pak.” Saudara lihat ini masalahnya di mana? Kacamatanya. Kacamata yang mengatakan, jika Tuhan bekerja, berarti itu bukan melalui manusia. Tapi Saudara tadi sudah melihat di dalam Alkitab, bahwa ketika Roh Kudus bekerja, bekerjanya melalui manusia dan di dalam kemanusiaannya; bukan dengan mengambil alih kesadarannya, melainkan melalui segala kesadarannya, melalui rasionya, melalui hasratnya, melalui emosinya. Bezaleel dipakai dalam segala rancangannya. Yusuf dipakai dalam segala bijaksananya. Daud dipakai dalam segala perasaannya, hasratnya; bukankah itu isi Mazmur ‘kan.
Mungkin Saudara berkata, “Tapi Pak, di Alkitab juga ada cara-cara seperti buang undi, pakai urim dan tumim yang tidak perlu pakai otak untuk mendapatkan jawaban Tuhan.” Bruce Waltke punya satu poin yang menarik dalam hal ini. Dia mengakui memang ada cerita-cerita seperti itu di dalam Alkitab; bahkan di awal Kisah Para Rasul pun, mereka masih membuang undi untuk menentukan siapa yang akan mendapat tempat dalam posisi dua belas rasul, menggantikan Yudas. Tapi setelah itu, ceritanya adalah Roh Kudus dicurahkan; dan, Waltke mengatakan, setelah Roh Kudus turun, Saudara tidak pernah lagi melihat Alkitab mencatat praktika seperti itu. Tidak ada lagi praktika mencari kehendak Allah dengan memakai undi dsb. Bahkan dalam seluruh Perjanjian Baru tidak pernah ada instruksi tentang mengetahui kehendak Tuhan lewat cara-cara ajaib. Tidak pernah ada formula ajaib yang ditawarkan kepada orang Kristen, yang entah bagaimana bisa membuka pintu ajaib nan canggih, yang membuat kita bisa mengintip rencana Allah yang kekal. Yang ada, justru Simon Magus dihardik dan dibentak karena mencari-cari kuasa supernatural. Kita juga melihat bahwa Yesus menegur orang-orang sezamannya sebagai angkatan yang serong karena mereka senantiasa meminta tanda.
Saudara, setelah Roh Kudus turun, sekarang kita sebagai umat Tuhan hidup oleh Roh dan dipimpin oleh Roh; dan itu bukan berarti kita diambil alih kesadarannya, sebaliknya kita lebih disadarkan. Orang yang dipimpin oleh Roh, dia bukan disetop rasionya, melainkan rasionya dikuduskan sedikit demi sedikit; itu sebabnya ada pengudusan kehendak, pengudusan emosi, pengudusan rasio, dst. Jadi apa problemnya? Problemnya ada di kacamata. Problemnya, kita merasa ini tidak cukup. Kita merasa pimpinan Roh Kudus yang datang lewat semua itu –pembaruan rohani, pembaruan pikiran, pembaruan emosi—tidak cukup. Kita terkunci dengan kacamata yang melihat bahwa ketika Tuhan bekerja, ketika yang ilahi bekerja, berarti semua yang manusiawi berhenti. Tapi itu bukan cara Tuhan bekerja. Cara Tuhan bekerja adalah dengan melibatkan engkau, melibatkan orang-orang beriman di sekitarmu yang dipenuhi dengan Roh Kudus. Melibatkan ini, berarti melibatkan keseluruhan dari yang apa Dia ciptakan dalam diri manusia; secara individual berarti rasio, hasrat, emosi; secara komunitas berarti persekutuan, sharing pengalaman, diskusi. Kita perlu sadar akan hal ini.
Kadang-kadang dalam tradisi kita, kita terbiasa merasa harus kritis terhadap segala sesuatu yang berbau manusiawi. Bicara rasio manusia, kesannya ‘pasti berdosa’, demikian juga emosi manusia itu berlawanan dengan Tuhan, kehendak manusia itu menentang kehendak Tuhan; tapi Saudara perlu bertanya, ketika mansuia dikuduskan dari dosa, apa yang terjadi? Apakah itu berarti Saudara berhenti memakai rasio Saudara? Atau bahkan Saudara berhenti jadi manusia? Saudara, ketika manusia dikuduskan, yang terjadi bukanlah rasio Saudara dihentikan, tapi dikembalikan ke arah yang benar. Sama juga dengan emosi Saudara, sama juga dengan hasrat Saudara, sama juga dengan kehendak Saudara.
Banyak orang berpikir, menjadi Kristen berarti melampaui kemanusiaan kita, somehow ber-evolusi menjadi mahkluk yang melampaui daging dan darah. Tidak demikian, Saudara. Menjadi Kristen berarti kembali menjadi manusia seutuhnya; bukan dengan hasratnya dibuang, tapi justru dengan hasratnya diperbaharui, dikembalikan, dipulihkan. Memang benar kalau Saudara orang Kristen baru, yang masih kanak-kanak secara iman, Saudara mungkin boleh lebih kritis terhadap hasrat, emosi, rasio Saudara. Tapi hal tersebut bukan sampai mati kayak begitu terus, karena semakin Saudara berjalan dengan Tuhan, semakin Saudara bisa memakai, menggunakan, bahkan percaya terhadap emosi, rasio, dan hasrat Saudara. Ada satu ayat yang menarik sekali dalam Roma 15:20, hanya saja bahasa Indonesianya agak kurang jelas dalam hal ini. Dikatakan dalam bahasa Indonesia: “Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah diletakkan orang lain”; dalam bahasa Inggris: “and thus I make it my ambition to preach the gospel, not where Christ has already been named, lest I build on someone else’s foundation”. Perhatikan dalam bahasa inggris yang dikatakan adalah: “saya memakai ini sebagai ambisi saya untuk mengabarkan Injil, bukan di tempat Kristus telah dikabarkan, tapi di tempat Kristus belum dikabarkan”. Itulah ambisinya Paulus. Di sini Saudara bisa bingung, karena ‘ambisi’ selalu konotasinya negatif. Tapi ambisi sebenarnya netral, ambisi bisa positif dan bisa negatif, bisa kudus dan bisa busuk. Semakin lama Saudara berjalan bersama Tuhan, ambisi Saudara akan diubah dari ambisi yang egois (selfish ambition) menjadi ambisi yang kudus (holy ambition); demikian juga rasio Saudara, hasrat Saudara, emosi Saudara, kehendak Saudara. Itu sebabnya dalam hidup kita, pengalaman berjalan dengan Tuhan hampir tidak pernah sesederhana diberitahu harus ke kiri atau ke kanan. Dalam berjalan dengan Tuhan, yang seringkali kita alami mungkin malah ditanya balik oleh Tuhan, “Menurut lu harus ke kiri atau ke kanan” –setidaknya ini pengalaman saya dengan Tuhan. Dan ini bukan hal yang negatif, karena ini seperti seorang ayah yang bijak; waktu anaknya bertanya kepada dia, “Pa, ini boleh ‘gak?”, maka ayah yang bijak akan bertanya balik, “Menurutmu bagaimana?” Lalu waktu anaknya jawab, “Menurutku begini, Pa”, si ayah mengatakan, “Ok, tapi kalau misalnya begini, bagaimana?” Ayah yang baik akan mengajak anaknya melihat dari sudut yang lain tanpa harus langsung memberitahu jawabannya, bukan untuk membuat anaknya bingung tapi inilah pendidikan yang melibatkan seluruh diri anak tersebut, mendidik rasionya, emosinya, kehendaknya, untuk membangun anak ini dari dalam dan bukan sekedar membelenggu dari luar.
Apakah Saudara menginginkan seorang guru yang waktu mengajar cuma beritahu apa yang benar? Di zaman saya, saya merasa sekolah di Indonesia akhirnya cuma mencetak dan bukan mendidik, seperti seorang ayah yang cuma bilang “Tidak! Pokoknya ini, harus begini, lu ikut gua, sampai mati gua yang benar!” Tentu saja ada tempatnya juga yang seperti itu, bukan tidak ada sama sekali; tapi Saudara tidak bisa bertahan di situ terus. Sedihnya, begitu banyak orang Kristen yang seperti itu, menginginkan iman yang penuh dengan tanda-tanda. Alkitab mengatakan, iman yang kayak begini memang bukan berarti tidak ada iman, tetap saja iman, tapi ini iman yang kekanak-kanakan –atau lebih parahnya, ini imannya Simon Magus.
Terakhir, mengapa Dia melakukan dengan cara seperti ini? Mengapa Dia memakai cara memberitahukan kehendak-Nya bukan dengan cara langsung beritahu tapi dengan melibatkan diri kita secara keseluruhan? Saya mengingatkan Saudara kembali pada pembahasan kitab Yunus; apa sebabnya Tuhan bersikeras memakai Yunus? Di dalam kitab Yunus, semuanya menurut pada Tuhan; ombak, laut, ikan besar, raja besar Niniwe, rakyat Niniwe sampai dengan sapi-sapinya, pohon jarak, ulat, angin Timur, semuanya menurut pada Tuhan. Hanya ada satu tokoh yang ngeyel melulu dalam kitab ini, yaitu Yunus; dan Tuhan terus bersikeras memakai Yunus. Mengapa? Yang pasti adalah karena Tuhan tidak mementingkan hasilnya. Kalau Tuhan fokus pada hasil, Tuhan tinggal suruh ikan besar pergi ke Niniwe, lebih cepat hasilnya. Jadi mengapa Tuhan bersikeras pakai Yunus? Karena fokusnya bukan pada hasil, fokus-Nya pada Yunus.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading