Kita akan membicarakan satu tema lepas yang boleh dibilang penyelidikan favoritnya saya, yaitu genre narasi Perjanjian Lama; dan hari ini kita akan melihat kitab Rut. Sebagaimana sudah pernah dibicarakan, gaya narasi Alkitab itu singkat dan padat, tanpa memberikan banyak latar belakang langsung masuk ke poin-poinnya. Itu sebabnya seperti biasa, untuk bisa mengerti dengan benar, kita perlu membahas sedikit gambaran kehidupan zaman itu. Dalam kasus ini kita mau melihat, sebenarnya kehidupan macam apa yang dihadapi seorang asing seperti Rut, yang imigrasi ke Israel.
Pada dasarnya, menjadi imigran hampir selalu membutuhkan keberanian yang besar, karena bayangkan saja Saudara meninggalkan tempat tinggal Saudara selama ini, pindah ke tempat yang baru, negeri yang baru, dengan budaya yang baru dan bahasa yang baru. Selain itu, yang namanya imigran, biasanya dia pindah karena kondisi-kondisi tertentu –ekonomi ataupun bencana– sehingga biasanya orang-orang imigran ini sulit dalam hal keuangan, dan juga tidak punya kuasa. Kalau Saudara pernah ada pengalaman “imigrasi sementara“ ke luar negeri, misalnya sekolah di sana jadi mahasiswa, biasanya juga begitu; tidak punya uang, kerja juga tidak terlalu banyak, bergantung pada beasiswa atau orangtua, dst. –inilah pengalaman imigrasi. Pengalaman jadi imigran, bukanlah pengalaman yang menyenangkan, ini pengalaman yang penuh perjuangan.
Ada satu cerita yang terjadi waktu orang-orang berimigrasi dari Eropa Timur ke Amerika pada kira-kira akhir abad 19, tentang seorang imigran Kroasia yang harus pergi lebih dulu, tidak bisa langsung ajak anak istrinya, karena dia musti buka jalan. Anak istrinya ditinggal di Kroasia sementara, dan selama 8 tahun si suami yang imigran ini kerja banting tulang di sebuah tambang, di Amerika, demi mendapat cukup modal untuk memberangkatkan anak istrinya menyusul ke Amerika. Dalam 8 tahun itu dia tidak bisa berkomunikasi dengan anak istrinya (karena di akhir abad 19 memang belum ada caranya), sehingga si istri hanya bisa menunggu sambil mengasuh anaknya. Setelah 8 tahun tidak ada kabar, datanglah sebuah surat. Dalam surat itu cuma terlampir tiket kapal laut dengan nama si istri dan anaknya, juga nama stasiunnya di Amerika. Istri dan anaknya itu lalu pergi, dengan cuma membawa satu koper kecil, tiket kapal laut, dan nama stasiunnya. Dia tidak mengerti bahasanya, tidak kenal siapa-siapa, dan tidak ada uang; namun ketika mereka sampai di Amerika dan menunggu di stasiun tersebut, di situ sudah ada suaminya dengan kereta kuda. Saudara ingat, mereka selama ini tidak bisa berkomunikasi; dan pada zaman itu tidak ada jadwal yang pasti kapan kapal laut itu tiba seperti pada zaman kita hari ini. Lalu bagaimana bisa ketemu? Yaitu karena sejak si suami mengirim tiket kepada istrinya, setiap hari dia datang dengan kereta kudanya, menunggu orang-orang yang hari itu tiba di stasiun, lalu kalau di antara orang-orang tersebut tidak ada istri dan anaknya, besoknya dia kembali lagi untuk menunggu lagi. Begitu seterusnya. Saudara bayangkan seperti apa perasaannya, terus-menerus datang ke situ, sampai mereka akhirnya bertemu.
Membayangkan kehidupan imigran yang seperti ini, apa respons Saudara? Saudara mungkin berdecak kagum, geleng-geleng kepala, lalu kita biasanya tanya, ‘kenapa ya, mau mengalami semua itu; koq, berani sekali meresikokan segala sesuatu?’ Dan, hampir selalu jawabannya adalah: karena ada harapan akan kehidupan yang lebih baik. Semua imigran, apalagi pengungsi, mereka itu pindah demi kehidupan yang lebih baik. Tidak ada orang yang pindah ke negara lain demi kehidupan yang lebih jelek; tidak ada yang mau seperti itu. Proses pindah itu sulit sekali, tapi orang-orang berani melakukannya karena mereka punya dasar pengharapan tadi, berharap bisa punya kehidupan yang lebih baik di sana.
Kitab Rut dimulai dengan seorang imigran, Elimelekh, bersama istrinya Naomi serta anak-anak mereka, yang pindah ke Moab karena Israel ditimpa bencana kelaparan. Kenapa mereka pindah? Karena mereka punya pengharapan di Moab ada kehidupan yang lebih baik. Ironisnya, yang mereka temukan di Moab bukanlah kehidupan yang lebih baik, tapi justru tragedi. Kita tidak diceritakan persisnya, tapi intinya adalah kedua anak laki-kaki mereka mati.
Saudara pasti pernah mendengar bahwa nama anak-anak ini mewakili nasib mereka, Mahlon artinya ‘si sakit-sakitan’, Kilyon artinya ‘habis/tamat’ –dan kita bingung kenapa namanya seperti itu. Tampaknya ini bukanlah nama asli mereka, melainkan nama yang dipakai untuk mewakili nasib mereka. Yang menarik, nama Mahlon dan Kilyon ini sepertinya bukan nama Ibrani, tapi ada kemungkinan nama orang Kanaan; dan mereka juga menikahi dua perempuan Moab, Orpa dan Rut. Jadi ini suatu indikasi dari sang penulis, bahwa yang terjadi dalam keluarga ini bukan cuma perpindahan fisik, tapi juga perpindahan/pergeseran rohani. Jangan lupa, setting kisah ini adalah zaman Hakim-hakim; salah satu poin besar dalam kitab Hakim-hakim adalah mengenai bahayanya percampuran dengan bangsa-bangsa lain via pernikahan dengan perempuan-perempuan asing. Dalam hal ini, ada penafsir yang mengusulkan bahwa bukan cuma nama Mahlon dan Kilyon mengandung suatu sigbifikansi, tapi nama Elimelekh juga adalah sebuah nama yang ironis. Nama Elimelekh berarti ‘Allah adalah Rajaku’ (el=Allah, melekh=raja, elimelekh=the God is my king), tapi yang dilakukan orang ini ketika bencana kelaparan menimpa Israel –yang adalah tempat Allah Yahweh bertakhta–adalah kabur ke negara lain demi mencari keamanan, bahkan anak-anaknya sampai mengambil nama Kanaan dan menikah dengan perempuan-perempuan asing. Kita melihat ini suatu indikasi yang halus, bahwa ada suatu pergeseran rohani via pergeseran geografis. Tidak heran, yang mereka temukan di sana justru adalah yang tadinya mereka hindari, Elimelekh dan kedua anaknya mati, Naomi jatuh miskin dan tertinggal sebatang kara.
Naomi betul-betul tidak ada harapan; pertama, karena Naomi sudah terlalu tua sehingga tidak bisa bekerja di ladang. Kedua, Naomi tidak bisa menikah, bukan karena tidak bisa mendapat jodoh, tapi karena pada zaman itu orang menikah bukan demi cinta, bahkan juga bukan demi seks, melainkan demi punya keluarga yang adalah segala-galanya, sehingga kalau sudah terlau tua untuk menghasilkan anak, tidak mungkin bisa menikah lagi. Naomi sendiri mengatakan ini di pasal 1. Yang ketiga, kalau anak-anak adalah suatu pengharapan, dalam hal ini anak-anak Naomi pun sudah mati, juga menantu-menantunya tidak ada prospek kalau pun mereka kembali ke Israel karena pada zaman Hakim-hakim, Israel bentrok dengan Moab –Saudara bayangkan masuk Israel bukan hanya sebagai imigran tapi sebagai musuh. Yang keempat, satu pengharapan yang mungkin bisa dilakukan oleh Naomi adalah menjual tanahnya (pada waktu itu semua orang Israel punya tanah). Belakangan ketika di pasal 4 Boas mengatakan bahwa Naomi mau menjual tanahnya, banyak orang berpikir ini berarti Naomi masih punya properti; tetapi sebenarnya pada zaman itu, seorang janda tidak boleh mewarisi atau memiliki tanah, dengan demikian kalaupun Elimelekh memiliki tanah, kemungkinan besar dia sudah menjualnya sebelum pindah ke Moab, atau tanah itu sudah jatuh ke tangan orang lain. Waktu Boas mengatakan “Naomi mau menjual tanah”, sepertinya itu hanya sebagai eufemisme (kalimat penghalus) dari maksud sebenarnya, yaitu: siapa yang mau menebus tanah ini bagi Naomi.
Naomi ini tidak punya harapan; secara ekonomi tidak ada harapan, secara famili tidak ada harapan, bahkan secara rohani pun sudah bergeser. Naomi tidak ada signifikansi apa-apa; dia pergi demi harapan, pulang tanpa harapan. Tapi lucunya, ketika kita membaca pasal 4, ujung kisah ini berakhir dengan Naomi bersukacita. Pertanyaannya: apa yang menyebabkan Naomi bisa sukacita seperti ini? Kalau Saudara membaca ayat 14, itu karena Naomi telah menemukan penebus, Naomi telah ditebus; ayat 15 mengatakan bahwa jiwanya telah disegarkan. Bagaimana bisa? Apa yang terjadi di sini?
Saudara jangan lupa, Naomi adalah orang yang ketika kembali ke Israel, teman-temannya hampir tidak bisa mengenali dia; dan itu memang seperti yang dia katakan, “Aku sudah bukan Naomi, (yang dalam bahasa Ibrani berarti menyukakan hati, pleasant), tapi panggilah aku, Mara (pahit), karena Allah telah melakukan hal yang pahit kepadaku. Dengan tangan yang penuh aku pergi, tetapi dengan tangan yang kosong TUHAN memulangkan aku.” Kalau begitu, apa yang terjadi di sini; kenapa bisa justru berakhir dengan sukacita dan kepenuhan? Jawabannya sudah pasti karena Naomi menemukan penebus; tapi kalau Saudara perhatikan baik-baik ayat 14-15, agak ambigu mengenai siapa persisnya yang disebut sebagai penebus itu. Mungkin ini disengaja, karena paling tidak kita melihat dalam kitab ini ada 3 penebus yang berbeda-beda.
Penebus yang pertama, yang paling jelas identitasnya, adalah Boas (istilah Ibraninya: ga’al dan go’el). Boas diperkenalkan sebagai kaum keluarga Elimekekh, masih ada hubungan darah dengan Naomi; itu sebabnya biasanya penebus (ga’al) ini diterjemahkan bukan redeemer tapi kinsman-redeemer, artinya penebus yang berasal dari kaum keluarga (karena seorang penebus pada zaman itu harus berasal dari kaum keluarganya).
Mari kita melihat sedikit latar belakang semua ini. Naomi ketika itu kembali ke Israel bersama Rut, sementara Orpa tidak ikut. Dalam keadaan mereka yang miskin, bagaimana caranya untuk makan? Rut kemudian memungut bulir-bulir dari ladang orang. Ini bukan suatu pencurian, karena ada hukum di Israel bahwa pemilik ladang tidak boleh menuai hasil ladangnya sampai habis, harus ada sisa yang boleh dituai oleh orang-orang miskin dan para pendatang (hukum Israel ini sebenarnya melarang orang memaksimalkan profit bagi dirinya; ini sangat menarik, tapi kita tidak akan membahas hal itu hari ini). Jadi, masalah terselesaikan, Rut dan Naomi bisa dapat makan. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu, karena Rut ini seorang Moab, yang berarti untuk keluar rumah saja dia sudah mempertaruhkan nyawanya. Kita mengetahui situasi ini dari perkataan Boas, ketika Rut bertemu dengan Boas; pasal 2:8-9 Boas mengatakan, “Kamu jangan pergi ke ladang lain, kamu berbaur saja di antara pekerja-pekerja perempuanku, nanti aku akan bilang kepada pekerja-pekerjaku yang laki-laki untuk tidak menyentuh kamu”. Ini bukan kalimat basa-basi atau sekedar kesopanan. Boas mengatakan ini karena Boas tahu, Rut bisa kena masalah, bisa diperkosa atau bahkan dibunuh di ladang yang lain, bahkan di ladangnya sendiri pun tidak sama sekali bebas dari bahaya; itu sebabnya dia sampai harus memperingatkan pekerja-pekerjanya yang laki-laki untuk jangan sampai menyentuh Rut, dikarenakan Rut ini orang Moab, pihak marjinal, bahkan bisa dibilang pihak musuh. Saudara ingat, hakim pertama pada zaman Hakim-hakim adalah Ehud, dan lawan dari Ehud adalah Eglon, raja Moab, yang menindas Israel; dalam hal ini kita tidak tahu Rut hidup pada zaman hakim yang keberapa, tapi sudah pasti orang tidak sebegitu cepatnya membuang dendam. Mendengar perkataan Boas, tidak heran Rut terkesima dengan kebaikan Boas, dan dia menceritakannya kepada Naomi. Naomi mengatakan, “Anakku, tahukah Boas itu siapa, dia itu ga’al kita, dia bisa jadi seorang penebus bagi kita”.
Mengenai latar belakang soal penebusan, Saudara bisa baca aturannya di Imamat 25. Ketika itu, pada zaman Yosua, Tuhan membagi-bagikan tanah Kanaan yang baru ditaklukkan kepada orang-orang Israel menjadi milik pusakanya, sehingga tiap-tiap suku, tiap-tiap bani, tiap-tiap keluarga mempunyai tanah pusakanya masing-masing. Tuhan sepertinya tahu bahwa hidup manusia bisa naik, bisa turun, ada keluarga yang bisa kaya raya, ada keluarga yang bisa jatuh miskin dan akhirnya mau tidak mau harus kehilangan milik pusakanya. Itu sebabnya Tuhan membuat 2 pasal hukum yang mengatur mengenai bagaimana sebuah keluarga yang telah kehilangan tanahnya, bisa memperolehnya kembali. Yang pertama adalah pada tahun Yobel; seperti kita ketahui, setiap 50 tahun, daftar kepemilikan tanah di Israel akan di-reset. Yang kedua, misalnya belum genap 50 tahun, tanah itu bisa ditebus, tapi hanya oleh seseorang dari kaum keluarga yang sama, itu sebabnya namanya adalah kinsman-redeemer ga’al. Demi keutuhan sebuah keluarga, Tuhan memberikan aturan ini, sehingga orang yang menebusnya juga harus dari kaum keluarga yang sama.
Sekarang dalam hati Naomi terbersit harapan, ‘mungkin Boas mau menebus tanahku kembali’. Menebus ini bukan dalam arti cuma beli tanah doang, tapi dalam arti merestorasi/memulihkan keluarganya. Ini suatu harga yang demikian mahal, apakah mungkin Boas mau melakukannya? Yang harus dilakukan oleh Boas dalam hal ini: pertama, dia harus beli tanahnya –ini mungkin bagian yang paling gampang. Kita tidak tahu siapa sebenarnya yang waktu itu memegang tanahnya Elimelekh, tapi sepertinya itu tidak masalah, karena Boas kaya-raya. Yang kedua, tujuan penebusan seperti ini bukan cuma untuk memulihkan harta/aset, tapi untuk memulihkan sebuah keluarga; dan untuk sebuah keluarga bisa pulih, berarti harus ada keturunan, sementara keluarga Elimelekh sudah habis, tidak ada ahli waris, sehingga kalaupun ada tanah, tidak akan berpengaruh karena mau diwariskan kepada siapa?? Dengan demikian, kalau Boas mau menebus keluarga Naomi, berarti Boas harus menikahi Naomi, dan ini berarti anak-anak Boas dari Naomi –kalau Naomi masih bisa melahirkan anak– tidak akan disebut anak Boas melainkan anak Elimelekh, karena mereka akan meneruskan keturunan Elimelekh, bukan keturunan Boas. Pertanyaannya lagi, pada zaman di mana keluarga begitu penting, siapa yang mau melakukan hal seperti ini?? Lagipula, Naomi tidak mungkin bisa melahirkan anak, dia sudah begitu tua, sehingga siapapun yang mau menebus tanah Naomi, dia harus mengambil Rut, si perempuan Moab itu, sebagai istrinya. Kalau Saudara membaca Ulangan 23, Saudara bisa mendapatkan gambaran seberapa dibencinya orang Moab oleh orang Israel; Ulangan 23 mengatakan, bangsa Amon dan Moab, serta keturunannya, tidak boleh masuk ke pelataran rumah Tuhan, bahkan sampai ke keturunan yang ke-10. Saudara bayangkan, kalau hari ini menikahi orang yang anak-anaknya tidak boleh dibawa ke gereja sampai ke 10 keturunan, siapa yang mau?? Jadi, Naomi maupun Rut tahu, ini hanya bisa terjadi jikalau orangnya punya hati yang luar biasa, maka mereka menyusun sebuah rencana.
Malam-malam, Rut menemukan Boas tertidur di lumbung, Rut menyingkap kainnya, dan tidur di kaki Boas. Banyak orang menafsir bagian ini sebagai metafor seks dsb., tapi ini hanyalah suatu gesture yang umum pada waktu itu yang melambangkan pernikahan, sebagaimana dapat kita baca di pasal 3:9. Di situ Boas bertanya: “Siapakah engkau ini?” Jawab Rut: “Aku Rut, hambamu: kembangkanlah kiranya sayapmu melindungi hambamu ini, sebab engkaulah seorang kaum yang wajib menebus kami.” Jadi Rut menyingkapkan selimut, di sini maksudnya adalah supaya Boas memakai selimut itu untuk menudungi Rut; dan ini adalah gesture pernikahan. Saudara tentu pernah melihat tradisi-tradisi pernikahan yang simbolnya bukan dengan sang suami membuka cadar istrinya, melainkan sang suami memakaikan jubah/kain kepada istrinya; ini adalah gesture yang menyimbolkan pernikahan, yang sampai sekarang pun masih ada. Dan, seperti kita sudah bahas tadi, menikahi Rut berarti menebus keluarganya Elimelekh dan Naomi. Boas sadar akan hal ini, dia tahu sejauh apa yang harus dia lakukan, karena yang Rut minta adalah sampai ke ujungnya, dengan mengatakan “…sebab engkaulah seorang kaum yang wajib menebus kami.” Boas sadar, dan dia mau melakukannya –dan dia benar-benar melakukannya.
Begitu Boas menikahi Rut, yang terjadi bukan cuma utang Rut atau Naomi dibereskan, tapi juga milik Boas menjadi milik Rut dan Naomi. Ini adalah gambaran penebusan yang kita lihat juga sampai ke Perjanjian Baru; waktu penebusan terjadi, itu bukan cuma masalah pengampunan, tapi juga diberikannya hidup baru. Ini bukan gambaran penebusan di mana orang yang ditebus itu dilepaskan dari permasalahannya saja; tapi sesungguhnya yang terjadi adalah orang tersebut dibawa masuk ke kehidupan yang baru. Ini satu hal yang seringkali banyak orang Kristen tidak sadar, bahwa yang namanya penebusan, bukanlah cuma berarti Saudara dilepaskan oleh hakim, “kamu boleh pergi, kamu tidak dihukum”; penebusan juga adalah ketika sang hakim mengundang si bekas terdakwa masuk ke rumahnya, untuk santap malam bersama. Itulah yang namanya penebusan; dan ini kita lihat terjadi dalam gambaran penebusan Boas ini. Inilah penebusan yang pertama, yang paling bisa kita lihat dengan jelas, atau boleh dibilang penebusan formal-nya.
Tapi di kitab ini kita juga melihat penebusan yang lain, penebus yang lebih tersembunyi dan tidak terlalu jelas. Kita kembali ke pasal 4:14-15, dan kita melihat salah satu ayat yang harusnya paling menohok bagi budaya Yahudi pada waktu itu; ayat 14 bagian akhir, “Termasyhurlah kiranya nama anak itu di Israel”. Ini bicara mengenai si anak, yaitu Obed; selanjutnya: “Dan dialah yang akan menyegarkan jiwamu dan memelihara engkau pada waktu rambutmu telah putih” –bagaimana bisa? Jawabannya di kalimat berikutnya: “sebab menantumu yang mengasihi engkau telah melahirkannya, perempuan yang lebih berharga bagimu dari tujuh anak laki-laki.” Itu sebabnya mari kita sekarang fokus pada Rut –karena memang kitab ini judulnya bukan ‘kitab Boas’ tapi ‘kitab Rut’.
Saudara, mengapa Rut pulang dengan Naomi? Kalau Saudara baca kalimat Rut yang sangat terkenal di pasal 1, itu sebuah kalimat yang sebenarnya mirip sekali dengan kalimat pernikahan –dan memang seringkali dipakai di dalam pernikahan. Saudara perhatikan, Naomi mengatakan kepada Rut dan Orpa, “sudahlah, pergilah, kamu tidak bisa menolongku di sana; di sini ‘kan kamu ada orangtua, kamu bisa ada penghasilan, kamu punya status sosial atau paling tidak punya koneksi, punya kaum keluarga, punya sesuatu meskipun mungkin bukan punya segala sesuatu, tapi kalau kamu ikut aku, kamu tidak akan punya apa-apa”. Di situ Orpa pergi, sementara Rut tetap bertahan pada Naomi, dan muncullah kalimatnya di pasal 1:16-17, yang sering kita dengan dalam pernikahan: “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu apa pun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada maut!” Ini mirip janji pernikahan, ‘rumahmu adalah rumahku, kesulitanmu adalah kesulitanku kesukacitaanmu adalah juga kesukacitaanku, sampai maut memisahkan kita’.
Di sini Saudara melihat satu gambaran imigran yang aneh; semua imigran pindah demi harapan akan hidup yang lebih baik, jika tidak, bagaimana bisa menghadapi kesulitan proses tersebut –tapi Rut tidak demikian. Rut mengatakan “aku ikut denganmu”, karena apa? Karena nothing. Dia tidak mengharapkan apa-apa; yang dia expect malah “biarlah Tuhan menghukumku kalau ada sesuatu selain maut, yang memisahkanmu dariku”. Luar biasa. Ini satu-satunya imigran yang pindah tanpa harapan; bukan cuma tanpa harapan karena masa depan memang suram, melainkan Rut tidak membawa ekspektasi dalam perpindahannya ini. Dia mengikut Naomi tanpa ekspektasi. Banyak orang Kristen bahkan tidak seperti Rut. Banyak di antara kita yang menjadi orang Kristen karena berharap hidupnya akan lebih baik; tapi Rut tidak berharap akan semua itu. Sebaliknya, Rut expect Tuhan akan menghukum dia jika dia tidak bertahan bersama Naomi; dan dalam hal ini Rut menggunakan istilah Yahweh, dan bukan sekedar Elohim (Yahweh adalah nama personal Allah Israel dan biasanya hanya digunakan oleh umat-Nya).
Banyak dari kita mungkin tidak sadar bahwa kalimat yang dikatakan Rut ini bukan cuma kalimat pernikahan, tapi juga kalimat janji baptisan. Baptisan bukan sekedar berarti Saudara berjanji tidak akan meninggalkan Tuhan; janji Baptisan adalah janji bahwa Saudara mengikat diri kepada umat Allah, apapun yang akan terjadi. Janji Baptisan bukanlah cuma janji dalam hubungan Saudara dengan Tuhan, tapi juga dalam hubungan Saudara dengan umat Tuhan. Itu sebabnya sakramen Baptisan tidak dilakukan secara privat, melainkan dilakukan dalam kebaktian. Kalau ada orang yang sakit di rumah sakit, dan ada kebutuhan orang itu untuk dibaptis di ranjang kematiannya, tentu kita akan pergi ke sana karena yang sakit itu tidak bisa pergi ke gedung gereja, sehingga Gerejalah yang pergi kepada dia; tapi Saudara perhatikan, yang pergi ke sana adalah Gereja. Artinya, setiap kali hamba Tuhan pergi untuk membaptis seperti itu, kita akan ajak beberapa jemaat untuk datang menyaksikan baptisan tersebut. Alasannya, baptisan bukan cuma urusan pribadi antara Saudara dengan Tuhan, tapi urusan ikatan antara Saudara dengan umat Tuhan. Intinya, kalau Saudara meragukan kerohanian Rut, Saudara mendapatkan jawabannya di sini; bukan melalui Rut meyakinkan kita dengan menyatakan pengetahuan teologis, doktrinal, bahkan lulus ujian, dsb., tetapi melalui dia menyatakan hidup yang berpaut dengan umat Tuhan. Itulah caranya menyatakan kerohanian yang berpaut kepada Tuhan. Rut sebenarnya bisa memilih untuk tinggal di tempat yang aman, yang di sana dia ada nama, ada keluarga, ada prospek, tapi itu tempat di mana imannya akan mati. Lalu di mana imannya bisa bertahan? Yaitu bersama dengan umat Allah. Dan, jika tempat di mana imannya akan bertumbuh itu mengakibatkan dia kehilangan statusnya, keluarganya, namanya, prospeknya, bagi Rut tidak masalah. Tapi perhatikan, hal tersebut bukan satu-satunya alasan Rut memutuskan pindah ke Israel; bahkan sebenarnya aspek vertikal ini tidak muncul di teks-nya. Yang muncul di teks-nya justru adalah tentang kasih Rut kepada sesamanya manusia; Naomi-lah yang membuat Rut berpaut dan mau tinggal di Israel.
Saudara lihat, inilah satu contoh di mana kasih kepada Allah tidak bisa dilepaskan –atau bisa dibilang tidak bisa di-ekspresikan– tanpa kasih terhadap sesama manusia. Keduanya ini berbarengan; ‘cintailah allahmu dan cintailah sesamamu manusia’ tidak pernah terpisah. Kalau Rut memilih ikut ke Israel, paling tidak Naomi akan survive; sebaliknya kalau Rut memilih tinggal di Moab, Naomi pasti habis, tidak bisa survive. Jadi, Rut tahu satu hal, jika dia ingin Naomi hidup dan mendapat kehidupan, maka dia sendiri harus membuang kehidupannya. Kalau dia ingin Naomi kembali dan mendapatkan nama, dia sendiri harus kehilangan namanya. Kalau dia ingin Naomi dipulihkan keluarganya, dia sendiri harus kehilangan keluarganya. Dan, dia melakukannya. Rut menjadi miskin, supaya lewat kemiskinannya, Naomi bisa menjadi kaya. Rut menjadi pendatang dan orang asing, sehingga Naomi bisa diterima kembali sebagai orang dalam. Ini mengingatkan Saudara kepada siapa?
Hasil akhirnya, di pasal 4:15 Naomi ditebus; tapi ditebus oleh karena apa? Yaitu oleh karena ‘menantumu yang mengasihi engkau; perempuan yang lebih berharga bagimu daripada 7 anak laki-laki’. Ini kalimat yang menarik. Saudara lihat di sini, ini adalah salah satu bukti bahwa Alkitab tidak pernah ketinggalan zaman –meskipun sebenarnya Alkitab tidak perlu ikut-ikutan zaman. Zaman hari ini bicara tentang kesetaraan (equality), dsb., lalu seringkali kita di zaman ini merasa lebih enlighten, dan kita menghina-hina budaya yang hanya mau punya anak laki-laki. Tapi saya rasa kalau kita rendah hati, realitasnya kita semua adalah seperti itu; kalau orang di dunia Barat –atau juga Saudara dan saya– hari ini seperti di China yang hanya boleh punya satu anak, saya ingin tahu, Eropa/dunia Barat lebih memilih anak laki-laki atau perempuan? Bagaimana dengan Saudara dan saya? Bisa saja bilang diri kita sudah enlighten, namun kadang-kadang orang Eropa dan dunia Barat bisa bicara banyak hal, semata-mata karena hidup mereka sudah terlalu nyaman; demikian juga kita. Tapi kalau kita masuk ke dalam realitas harus memilih, karena cuma boleh punya satu anak, Saudara kira-kira akan pilih anak laki-laki atau perempuan? Ini suatu pertanyaan. Kabar baiknya, di dalam Alkitab kita bisa melihat bahkan di zaman Perjanjian Lama pun hal ini sudah didobrak jauh-jauh hari; anugerah Allah dalam hidup Naomi melalui Rut, itu lebih dari anak laki-laki, bahkan 7 anak laki-laki, padahal punya 7 anak laki-laki adalah keluarga ideal pada zaman itu.
Bagaimana bisa ada kekuatan seperti ini, seorang imigran yang radikal dan revolusioner seperti Rut ini? Rut ini imigran yang radikal. Rut ikut Naomi, melakukan the right thing. Dia tidak expect apapun waktu pindah. Dia tidak expect kehidupan yang lebih baik, atau dapat suami, atau dapat uang –tidak semuanya itu. Dia hanya expect kematian, jikalau dia tidak melakukan apa yang harusnya dia lakukan. Kita jadi ingat Yosua dalam peperangan Yerikho. Ketika itu Yosua melihat seseorang dengan pedang terhunusnya, lalu Yosua mengatakan, “Kamu lawan atau kawan?” —kamu berdiri untuk kami, atau kamu berdiri terhadap kami? Dan sosok tersebut menjawab, “Tidak dua-duanya”. Yosua tanya, ‘kamu di pihak kami atau pihak sana’, maksudnya kalau di pihak kami, berarti sesuai dengan agenda kami, sedangkan kalau di pihak sana, berarti melawan agenda kami. Sosok tersebut mengatakan, “Engga deh, agenda lu ‘gak segitu pentingnya; aku bukan datang ke hidupmu untuk menyerang agendamu, tapi jangan salah, aku juga bukan datang ke hidupmu untuk mendukung agendamu, agendamu tidak ada apa-apanya. Aku Panglima Balatentara Allah, jadi kamu yang ikut agenda-Ku”. Saudara, setiap orang Kristen harusnya mengatakan apa yang Rut katakan, ‘kiranya Tuhan menghukum aku, jika aku datang dengan agendaku sendiri; pokoknya aku akan ikut’.
Saudara lihat perbedaan antara Naomi dan Rut. Naomi pergi dari hadapan Tuhan –setidaknya pada awalnya– untuk memperjuangkan gambaran kehidupan yang sesuai dengan agendanya, sesuai ekspektasinya; dan yang terjadi adalah: dia justru kehilangan hidupnya. Sedangkan Rut, dia menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, dan Tuhan mengembalikan kepadanya suatu kehidupan yang baru. Kehidupan yang baru ini tidak seperti yang mungkin Rut bayangkan. Kita tidak tahu Rut membayangkan apa. Rut mungkin membayangkan, kalau bisa hidup tidak berkekurangan, kalau bisa dapat cowok Israel yang baik-baik, kalau bisa aku jadi anak perempuan yang baik bagi Naomi. Tapi waktu dia kemudian menyerahkan semua gambaran dan bayangan itu, Tuhan mengembalikan suatu kehidupan bagi Rut, yang membuatnya lebih berharga daripada 7 anak laki-laki. Ini melampaui gambaran yang mungkin Rut pernah bayangkan (saya cukup yakin, Rut tidak pernah membayangkan dirinya akan jadi seperti itu). Kalau Rut memperjuangkan gambarannya/agendanya mengenai kehidupan yang oke menurut kacamatanya, apakah dia akan berakhir dengan dirinya dideklarasikan sebagai yang lebih berharga daripada 7 anak laki-laki? Siapa yang bisa membayangkan, bahwa melalui seorang Rut, Naomi bisa dipulihkan begitu rupa?
Saudara, ketika kita menaati Tuhan, mau tidak mau kita harus rela menyerahkan semua gambaran, kacamata/paradigma, pengharapan/ekspektasi kita, akan hidup yang baik atau cara yang oke bagi kita. Saudara tidak bisa datang kepada Tuhan demi Tuhan mengikut agendamu atau gambaranmu mengenai apa yang baik dan apa yang tidak. Tapi kabar baiknya, hidup yang Saudara serahkan kepada Tuhan itu akan dikembalikan, tujuh kali lebih indah daripada apa yang Saudara sanggup untuk bayangkan.
C. S. Lewis pernah bilang, waktu Tuhan masuk ke dalam hidup kita, kita pikir, ‘Yah, Tuhan, rumah saya ini pondok yang kecil, silakan masuk, saya tidak ada apa-apanya, Tuhan; ada bocor di situ, kalau Tuhan mau, tolong bersihkan bocornya; ada tikus di sana, ada rayap di sini, silakan Tuhan tolong perbarui hidupku’. Lalu Tuhan mulai bongkar pintu, bongkar rayap. Tapi tidak berhenti di situ, Dia mulai runtuhkan tembok, Dia mulai cabut atap; dan kita merasa sakit. “Tuhan, setop, atap yang itu tidak ada rayapnya, tembok yang ini oke-oke saja, tidak ada tikusnya; kenapa Tuhan runtuhkan?” Tuhan terus bekerja, meruntuhkan semua dan semua, sampai kita sakit luar biasa. “Setop, Tuhan! setop!” Lalu Tuhan mengatakan, “Kenapa setop?” Kita jawab, “Yah, aku mau jadi pondok yang baik bagimu, Tuhan, kenapa Engkau runtuhkan pondok ini??” Tuhan mengatakan, “Aku mau membuatmu jadi istana; kamu susah sekali, ya, kamu ‘gak mau, ya.”
Kembali ke kitab Rut, sekarang kita melihat penebus yang ketiga. Kita sudah melihat penebus yang kelihatan jelas, penebus yang formal, kemudian penebus yang agak tersembunyi, dan sekarang penebus yang ketiga, the true redeemer. Pasal 4:13-14, Lalu Boas mengambil Rut dan perempuan itu menjadi isterinya dan dihampirinyalah dia. Maka atas karunia TUHAN perempuan itu mengandung, lalu melahirkan seorang anak laki-laki. Sebab itu perempuan-perempuan berkata kepada Naomi: “Terpujilah TUHAN, yang telah rela menolong engkau pada hari ini dengan seorang penebus. Termasyhurlah kiranya nama anak itu di Israel.”
Saudara, tahukah kota apa tempat Naomi dan Boas ini? Kita mundur ke ayat 11, dikatakan di situ: “Biarlah engkau menjadi makmur di Efrata dan biarlah namamu termasyhur di Betlehem.” Lalu ayat 14 dikatakan akan terlahir seorang anak yang namanya termasyhur di Israel; dan anaknya ini lahir di Betlehem. Kebetulankah ini? Tentu kita tahu, anak ini adalah Obed, Obed adalah kakeknya Daud, dan belakangan ada keturunan Daud yang kembali lahir di Betlehem, yang namanya termasyhur. Tapi kemiripannya tidak berhenti sampai di sini, karena Anak Daud yang terlahir di Betlehem itu membawa karakteristik yang kita lihat dari orangtuanya yang kuno ini, dari penebus yang pertama dan kedua, dari Boas dan Rut. Seperti Rut, Anak yang terlahir di Betlehem belakangan itu, meninggalkan negeri Ayah-Nya. Seperti Boas, Dia bukan cuma membayar dosamu, Dia mengundangmu untuk masuk ke dalam kehidupan-Nya. Seperti Rut, Dia telah meninggalkan nama-Nya dan signifikansi-Nya. Seperti Boas, Dia menjadi kaum keluargamu. Seperti Rut, Dia membuang hidup-Nya supaya Saudara mendapatkan kehidupan. Tapi, ada bedanya juga; jikalau Rut mengatakan “hanya kematian yang bisa memisahkan kita”, Anak Daud ini mengatakan, “bahkan kematian pun tidak bisa memisahkanmu dari kasih-Ku”.
Sedikit sharing pribadi, Minggu lalu Pak Billy sudah mengumumkan mengenai perpindahan beliau, maka sekarang kita memasuki masa transisi sekitar 6-12 bulan, sampai GRII Kelapa Gading ada serah terima kepada gembala sidang yang baru. Siapa orangnya? Sampai sekarang masih belum tahu; sementara ini, saya akan menjalankan tugas interim. Mungkinkah saya orangnya? Bisa jadi. Atau mungkin orang lain? Bisa jadi juga. Dan, bagi saya pribadi, masa 6-12 bulan ini ideal, karena sampai momen ini pun, saya tidak yakin kalau saya orang yang tepat untuk menjadi gembala sidang, bukan cuma di GRII Kelapa Gading tapi di mana pun. Alasannya bukan karena Saudara; kalau bicara perpindahan hamba Tuhan, boleh dibilang Gereja ini yang paling siap, karena Saudara sudah terbiasa dengan gembala yang bolak-balik Singapur, Jerman, dsb. Saya juga sudah lama di sini, sejak tahun 2013, jadi kalau Pak Billy bilang dia sudah 9 tahun lalu selesai, saya juga tahun depan ini 9 tahun, lalu setelah itu saya yang pindah?? Anyway, ini bukan karena Saudara. Saya juga banyak bicara dengan sesama hamba Tuhan yang lain, dan kalau saya mendengar cerita situasi kondisi jemaat-jemaat yang mereka tinggalkan ataupun jemaat yang baru, itu jauh mengerikan daripada kita. Kita ini sangat dipenuhi anugerah Tuhan; kita tidak ada problem gedung, tidak ada problem keuangan, tidak ada problem power struggle, tidak ada problem konflik yang berarti –kita juga tidak ada problem makanan pastinya, di Kelapa Gading ini berlimpah ruah. Jadi urusannya bukan karena Saudara; kalau Saudara boleh dinilai, ini jemaat yang mungkin paling siap untuk menerima gembala yang baru, pengurus-pengurusnya sangat dewasa. Tapi saya tidak yakin dengan diri saya sendiri, maka baik juga ada 6-12 bulan masa interim, karena saya jadi bisa mengevaluasi diri saya. Mungkin Sinode juga belum yakin dengan saya; kalaupun demikian, itu wajar dan normal karena saya sendiri juga merasa seperti itu –dan mungkin di antara Saudara juga ada yang merasa demikian.
Sejak pertengahan tahun lalu, Pak Tong sudah pernah memanggil saya dan tanya kepada saya, bagaimana kalau saya pegang GRII Kelapa Gading. Saya tolak mentah-mentah. Di depan Pak Tong, saya bilang, “Enggak, ‘gak mau!” Kenapa? Karena saya rasa tidak cocoklah jadi gembala; orang kayak begini jadi gembala?? Dalam setengah tahun terakhir ini, saya bahkan menimbang-nimbang untuk mundur dari kependetaan, karena saya pikir, kalau kependetaan berarti harus pegang jemaat seperti ini, lebih baik saya mundur saja, melayani di tempat yang lain. Sekarang dengan diputuskannya masa transisi 6-12 bulan, saya pikir ini ideal, karena dalam masa-masa ini Saudara dan saya bisa sama-sama mengevaluasi apakah kehendak Tuhan untuk saya lanjut di sini atau tidak. Omong-omong, Saudara mungkin jadi sadar mengapa saya pilih seri khotbah mengenai ‘panggilan’ (calling). Ini bukan cuma demi Saudara –meskipun saya pastinya menyusun khotbah itu demi Saudara– tapi juga untuk saya sendiri bergumul di hadapan Tuhan, bagaimana saya bisa tahu Tuhan memanggil saya di mana.
Pertanyaannya: bagaimana kita mengevaluasi hal ini? Bagaimana Saudara mengevaluasi saya di sini lanjut atau tidak, bagaimana saya mengevaluasi diri saya di sini lanjut atau tidak? Dan, mengevaluasi berarti ada suatu bayangan, gambaran, standar yang harus dipenuhi, lalu kita bandingkan dengan realitasnya; realitasnya cocok atau tidak dengan standarnya. Kalau dari 10 kriteria, cuma lulus 2, ya, kayaknya enggaklah –itulah namanya mengevaluasi.
Sekarang pertanyaan berikutnya: seperti apakah gambarannya, agenda apa yang harus dipenuhi oleh seorang gembala? Saya bisa bayangkan, baik saya maupun Saudara masing-masing punya daftar kriteria ini. Daftar saya isinya misalnya: saya harus dapat konfirmasi dari Tuhan. Bagaimana caranya tahu ada konfirmasi dari Tuhan? Biasanya bagi saya gambarannya adalah: kalau saya terpanggil untuk peran A, maka Tuhan harus kasih saya kemampuan untuk itu, dong, talenta untuk itu, kapasitas untuk itu –dan kayaknya saya tidak ada. Seperti sudah berkali-kali saya katakan, saya ini introver; introver berarti kalau saya ketemu orang banyak, itu seperti HP yang layarnya nyala terus, baterainya terkuras (draining). Saya ini recharge-nya pada momen-momen saya sendirian, atau ketika ketemu satu dua orang yang bisa bicara hal-hal yang dalam. Jadi bagaimana? Tidak ada konfirmasi sepertinya, kriterianya tidak masuk. Di sisi lain, Saudara juga pasti punya daftar sendiri; saya tebak saja, misalnya: O, itu kalau Pak Jethro bisa menunjukkan sifat kebapakan, bukan cuma datang sebagai seorang guru tapi seorang ayah, kalau Pak Jethro lebih banyak senyum, menyapa, kalau Pak Jethro lebih sering makan bareng, dan seterusnya Saudara isi sendiri. Apa hubungannya dengan khotbah hari ini? Pertanyaan hari ini untuk Saudara dan saya adalah: bagaimana jika (what if) taat kepada Tuhan, itu berarti kita membuang daftar-daftar ini?
Saudara, kita tidak tahu apakah Rut punya daftar seperti ini atau tidak, tapi sekali lagi, semua orang yang mau pindah ke negeri lain, mereka pindah demi kehidupan yang lebih baik; dan kehidupan yang lebih baik itu ada daftar kriterianya. Rut tidak demikian. Rut ikut, Rut membuang daftarnya jauh-jauh, Rut hanya tahu the right thing to do adalah mengikut Tuhan. Saya perlu tanya pada diri saya, saya rela membuang daftar saya atau tidak; apakah saya hanya mau jadi gembala, ketika saya melihat jelas bahwa diri saya ada kapasitas untuk itu; apakah saya hanya mau jadi gembala kalau saya tiba-tiba berubah jadi orang ekstrover, yang supel dan gaul. Saudara perlu tanya diri sendiri juga, apakah Saudara rela buang daftar-daftar itu atau tidak; apakah Saudara baru mau ikut suatu gereja ketika gembalanya sesuai dengan gambaranmu; apakah Saudara baru mau ikut dan berjuang sama-sama dalam kepengurusan ketika pemimpinnya sesuai harapan Saudara.
Saya tidak tahu, dalam 6-12 bulan ini kita akan coba lihat sama-sama; tapi saya akan ajak Saudara untuk bersama-sama menjalani ini. Kita bukan tidak boleh mengevaluasi, tapi mungkin tanda yang tepat/sejati apakah saya di sini cocok jadi gembala Saudara dan Saudara cocok menjadi jemaat di sini bagi saya, kriterianya bukanlah daftarku atau daftarmu dipenuhi, melainkan apakah melalui kita bersama-sama di sini —dalam 6-12 bulan ini atau dalam 8 tahun terakhir— Saudara dan saya semakin mirip Kristus yang menyerahkan daftar-Nya, atau tidak. Kabar baiknya, ketika kita menyerahkan daftarnya kepada Tuhan seperti Rut, Tuhan menyerahkan kembali kepada kita 7 kali lipat lebih limpah dari yang bisa kita bayangkan. Saudara doakan hal ini, saya juga akan berdoa terus mengenai ini.
Saya rasa, tanda yang sejati bukan saya khotbahnya jadi lebih bagus, atau saya ada kesuksesan, atau pengurus aman, nyaman, damai sejahtera, dan jemaat senang melihat saya. Bukan itu. Kita pasti akan ada konflik, akan ada masalah. Kalau mengambil bahasanya kitab Pengkhotbah, sekarang seumpama roda mungkin kita sedang berada di atas, dan suatu saat nanti pasti akan ada di bawah. Tapi yang saya ingin lihat adalah, apakah lewat semua konflik, semua kesulitan, semua kerusakan, ada kuasa kebangkitan Kristus di tengah-tengah kita atau tidak. Kuasa kebangkitan itu mengasumsikan adanya kematian; kuasa kebangkitan tidak akan hadir jika tidak ada kematian. Kuasa kebangkitan bukanlah senang-senang, aman damai sejahtera setiap saat sepanjang waktu. Kuasa kebangkitan itu mengatakan bahwa kematian bukanlah akhirnya. Saya rasa itulah yang saya ingin lihat; tapi tentunya kita berdoa kepada Tuhan untuk Tuhan membawa kita kemari. Sementara itu, mari kita bersama-sama arahkan pandangan kita kepada Tuhan, penebus yang ketiga, Penebus yang terakhir, yang demi saudara dan saya, Dia melepaskan dan menyerahkan semua daftar-daftar itu. Jangan salah, Yesus ada daftarnya; Dia mengatakan, “kalau boleh, cawan ini lalu daripada-Ku” –berarti ada daftarnya– “tapi biar kehendak-Mu yang jadi”.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading