Kita melanjutkan seri “Calling”, dan hari ini masuk seri yang ke-6.
Dalam 3 khotbah pertama, kita mulai dengan dekonstruksi, meruntuhkan lebih dulu paradigma-paradigma kita yang ngawur dalam mendekati tema ‘calling’ –kita ingin jawaban yang gampang, ingin calling yang ada kepastian, mengira Alkitab hadir dalam bentuk buku jawaban atau buku aturan. Dan, kita sudah melihat bahwa Alkitab memulai calling-nya atas kita justru bisa melalui keragu-raguan, melalui trust dan bukan melalui kepastian; juga bahwa Alkitab lebih dalam dari sekadar buku jawaban.
Dalam 2 khotbah berikutnya, kita mulai merekonstruksi, bahwa kita jangan datang dengan ekspektasi atau paradigma yang salah. Ekspektasi atau paradigma yang tepat, pertama adalah paradigma yang bukan memisahkan antara yang ilahi dengan yang manusiawi. Calling Saudara, jangan dianggap akan datang dengan cara yang luar biasa, yang supernatural; cara Roh Kudus bekerja seringkali melalui hal-hal yang manusiawi, maka cara Saudara mencari panggilanmu bukanlah dengan berhenti berpikir, sebaliknya dengan mulai berpikir keras, mulai merasakan apa yang Tuhan rasakan, mulai menginginkan apa yang Tuhan inginkan. Itu tidak selalu melalui cara-cara instan atau supernatural, juga bukan dengan cara yang jelas sejelas-jelasnya seperti tiba-tiba ada tulisan dari surga via petir menyambar, melainkan melalui cara-cara yang manusiawi, yang biasa-biasa, seperti misalnya ketika Saudara berdiskusi dalam KTB.
Yang kedua, kita melihat Alkitab adalah suatu kitab bijaksana, bukan kitab aturan; dan bijaksana menurut di dalam Alkitab tidak pernah sekadar pengetahuan, tapi selalu sebuah keahlian (skill). Yang namanya keahlian, itu tidak didapatkan dalam waktu singkat; keahlian sepertinya instan –seorang yang ahli diperhadapkan dengan momen tertentu, dia langsung tahu harus melakukan apa– tapi Saudara tidak akan sampai pada poin ini lewat waktu yang instan. Seorang pemain bola bisa menentukan split second –harus gojek ke kiri atau ke kanan, lewat 3 back ini bagaimana caranya, lewat kipper yang sedang posisi begini jadi harus tendang bola ke arah mana, dsb.–dalam situasi itu dia harus bikin split second, yang kelihatan praktis, langsung, instan, tapi itu bukan dicapai dalam waktu singkat. Saudara tidak bisa menjiplak atau meniru keahlian hanya dengan mengertahui teknik A atau B. Keahlian tidak bisa direduksi jadi petunjuk-petunjuk, misalnya dalam situasi A harus melangkah ke kiri, dsb.; keahlian membutuhkan waktu, proses yang lama, dan juga membutuhkan kehadiran orang lain, komunitas, Gereja, umat Tuhan.
Sekarang kita masuk ke fase berikutnya, melihat melalui cara pandang tersebut, apa isi Alkitab mengenai ‘calling’. Jadi fase pertama, kita menanggalkan kacamata yang salah; fase kedua kita mulai mengenakan kacamata yang lebih tepat, membereskan ekspektasi-ekspektasi kita mengenai ‘calling’ dalam Alkitab; dan sekarang kita mulai melihat melalui kacamata tersebut, sebenarnya apa sih, isi Alkitab mengenai ‘calling’, apa perkataan Alkitab mengenai ‘calling’, apakah ‘calling’ manusia menurut Alkitab.
Hari ini kita akan fokus pada satu hal –dua hal tapi sebenarnya satu– dan di sini saya sengaja pakai kalimat kontroversial untuk membuat Saudara bangun dari tidur. ‘Calling’ manusia menurut Alkitab yang akan kita lihat hari ini yaitu: tujuan manusia diciptakan, ternyata bukan terutama untuk beribadah kepada Allah (ini bagian pertama); manusia ternyata dipanggil untuk simply menjadi manusia (ini bagian kedua).Manusia diciptakan, fungsinya/perannya/calling-nya bukan terutama untuk beribadah kepada Tuhan, tapi ternyata untuk menjadi manusia. Apa maksudnya? Kita akan masuk lebih dalam, mengupas hal ini pelan-pelan, dan berharap Saudara jadi mengerti maksud kalimat tersebut.
Ketika kita mau bicara mengenai apa itu calling manusia menurut Alkitab, hanya ada satu tempat untuk memulai, yaitu dari awal mula kisah seluruhnya tentang bagaimana Alkitab menggambarkan tujuan manusia diciptakan. Yang jelas, panggilan manusia sejak diciptakan, gambarannya erat berhubungan dengan bumi ini –inilah poin yang akan kita lihat. Kejadian 1:26-28. Ayat 26: Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Perhatikan, dikatakan ‘baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita’, supaya mereka apa? Supaya mereka pergi ke gereja hari Minggu? Supaya mereka pergi ke PA hari Rabu? Supaya mereka kasih persembahan? Supaya mereka menyanyikan lagu-lagu hymn? Tidak. Ayat 27-28: Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Apa yang disuruh di sini? Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah Sekolah Minggu dan taklukkanlah itu, berkuasalah atasnya? Tidak, sama sekali tidak. Saudara perhatikan di sini, tugas manusia pada awalnya adalah untuk berkuasa atas binatang-binatang di bumi, menaklukkan bumi, dan mengisi bumi.
Kita maju sedikit ke Kejadian 2:15, ini satu ayat yang lumayan insightful untuk membuat kita menyadari tujuan manusia diciptakan; ‘TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.’ Sekali lagi perhatikan, tugas manusia itu erat hubungannya dengan bumi –dalam hal ini, taman– yaitu mengerjakan taman, memelihara taman, melindungi taman.
Bagian ketiga, kita melihat Mazmur 8; memang ini bukan bagian awal dari Alkitab, tapi tetap satu bagian yang berhubungan dengan penciptaan. Ayat 7, 8, 9: “Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.” Sekali lagi perhatikan, apa peran manusia di sini? Ketika Allah membuat manusia, yang Allah panggil untuk manusia lakukan adalah berkuasa dan memerintah atas alam ciptaan; Tuhan meletakkan segala sesuatu di bawah kaki manusia, contohnya berbagai jenis binatang.
Kalau Saudara kembali kepada tiga bagian ini, teks-teks yang menceritakan mengenai mangapa, untuk tujuan apa manusia diciptakan, peran apa yang paling fundamental bagi manusia, perhatikan bahwa semua arahnya ke bumi. Waktu Saudara menjadi manusia, Saudara mewakili Allah, Saudara dipanggil untuk menjalankan pemerintahan yang bertanggung jawab atas bumi ini. Pertanyaannya: berapa kali kita menempatkan panggilan ini sebagai panggilan yang terutama, yang paling mendasar? Di dalam cara berpikir orang-orang Kristen umumnya pada hari ini, arahnya hampir-hampir terbalik. Entah bagaimana kita sudah dibiasakan untuk berpikir bahwa peran utama manusia di bumi ini adalah untuk menyembah Tuhan; dan Saudara mungkin agak terkejut bahwa istilah ‘menyembah Tuhan’ ternyata tidak pernah ada secara eksplisit di dalam bagian-bagian Alkitab yang membicarakan tujuan awal diciptakannya manusia.
Kita akan melihat, mengapa panggilan untuk menyembah Tuhan, tidak masuk secara eksplisit dalam panggilan manusia, dalam peran yang pertama-tama mengenai tujuan manusia diciptakan; mengapa di Alkitab tidak ada secara eksplisit dikatakan “untuk menyembah Tuhan”. Katekismus Westminster mengatakan “tujuan manusia diciptakan adalah untuk menikmati dan memuliakan Tuhan”, bukankah itu bagus; tapi kenapa di seluruh teks Alkitab yang bercerita mengenai tujuan manusia diciptakan, selalu ujungnya yang terutama tentang peran manusia berinteraksi dengan bumi ini, sedangkan urusan penyembahan Tuhan tidak masuk secara eksplisit? Jawabannya: bukan karena manusia tidak dipanggil untuk menyembah Tuhan –sudah pasti manusia dipanggil untuk menyembah Tuhan– tapi hal tersebut tidak secara eksplisit masuk di dalam kalimat-kalimat tentang peran manusia secara orisinal, karena yang namanya penyembahan kepada Tuhan di dalam Alkitab tidak unik pada manusia; seluruh makhluk ciptaan di surga dan di bumi memang dipanggil untuk menyembah Tuhan.
Mazmur 148 misalnya, adalah mazmur yang memanggil seluruh ciptaan untuk menyembah Tuhan, bukan cuma manusia. Penyembahan, bukanlah sesuatu yang unik pada manusia. Kita melihat ayat 1, ada panggilan kepada makhluk-makhluk surgawi untuk menyembah Tuhan: “Haleluya! Pujilah TUHAN di sorga, pujilah Dia di tempat tinggi!” Lalu ayat 2, 3, dan 4 mendaftarkan makhluk-makhluk yang dipanggil untuk menyembah Tuhan ini, yaitu malaikat-malaikat, tentara-tentara langit, benda-benda langit seperti matahari, bulan, bintang, termasuk juga air yang ada di langit. Ayat 7 memperluas panggilan untuk menyembah ini kepada makhluk-makhluk di bumi; dan polanya tetap sama, ayat-ayat berikutnya mendaftarkan siapa persisnya di bumi yang dipanggil untuk menyembah Tuhan, yaitu makhluk-makhluk laut, laut itu sendiri, bahkan segala cuaca, petir, es, salju, kabut, bukit-bukit, binatang-binatang, lalu pada akhirnya baru manusia (ayat 12). Saudara lihat, panggilan untuk menyembah Tuhan berlaku bagi semua ciptaan Allah; dan manusia cuma salah satu kategori di dalamnya. Bahkan kalau Saudara perhatikan, dari seluruh daftar dalam 11 ayat, manusia hanya muncul di 2 ayat. Jadi ini bukan berarti manusia tidak dipanggil untuk menyembah Tuhan –tentu saja manusia dipanggil untuk menyembah Tuhan– tapi ternyata panggilan untuk menyembah ini bukan sesuatu yang unik, hanya pada manusia.
Kalau Saudara menyelidiki teks yang secara eksplisit menjelaskan penciptaan manusia dan tujuan penciptaan manusia, yaitu Kejadian 1 dan 2 yang tadi kita baca, Mazmur 8, dan juga kita akan melihat Mazmur 104, maka Saudara menemukan tidak satu pun dari itu semua yang mengatakan bahwa esensi penciptaan manusia adalah ‘manusia diciptakan untuk menyembah Tuhan’. Sekali lagi, bukan karena manusia tidak dipanggil untuk menyembah Tuhan, tapi karena menyembah Tuhan bukan sesuatu yang unik pada manusia, menyembah Tuhan adalah sesuatu yang ditujukan bagi semua makhluk, menyembah Tuhan bukanlah sesuatu yang membedakan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Dengan demikian, kalau kita bertanya “apa itu manusia”, jawabannya tidak bisa hal ‘menyembah Tuhan’, meskipun itu benar.
Saya jelaskan dengan analogi sederhana. Misalnya saya tanya, “Untuk apa komputer diciptakan oleh manusia?” Kalau Saudara jawab, “Komputer ada untuk memudahkan hidup manusia”, itu memang benar, tapi itu jawaban yang tidak tepat, karena hal tersebut tidak unik pada komputer, ada banyak sekali hal lainnya yang manusia ciptakan demi memudahkan hidup manusia. Jadi, kalau Saudara ditanya ‘apa tujuan komputer diciptakan’, Saudara harus mencari fungsi atau peran yang unik pada komputer, yang tidak ada pada benda lain, yang membedakan komputer dengan benda-benda yang lain. Begitulah logikanya. Sama halnya dengan itu, tentang menyembah Tuhan yang kita bicarakan tadi. Jadi, kalau Saudara mau tanya ‘apa panggilan manusia yang esensial’, jawabannya bukan ‘menyembah Tuhan’, bukan itu panggilan yang esensial dan unik bagi manusia. Lalu jadinya apa? Jawabannya sederhana saja: yang unik bagi manusia, adalah supaya manusia menjadi manusia.
Kalau Saudara merasa aneh akan hal ini, saya rasa itu karena selama ini kita terlalu sempit memikirkan apa artinya menyembah Tuhan; mungkin kita pikir hanya manusia yang dipanggil untuk menyembah Tuhan. Tetapi dalam cara pandang Alkitab, bukit-bukit, bintang-bintang di langit, bahkan salju dan kabut, semuanya menyembah Tuha –sama seperti manusia. Jadi yang kita butuhkan adalah mereformasi paradigma kita mengenai apa artinya menyembah. Bagaimana bintang-bintang di langit dan bukit-bukit menyembah Tuhan? Sudah pasti bukan secara verbal, sudah pasti bukan pakai musik, sudah pasti bukan pakai lagu hymn, sudah pasti bukan dengan perasaan, dsb.; itu sebabnya penyembahan tidak perlu disempitkan pada hal-hal seperti ini. Bagaimana gunung menyembah Tuhan, memuji Tuhan, memuliakan Tuhan, yaitu simply dengan menjadi gunung. Bagaimana bintang meyembah Tuhan, yaitu simply dengan berfungsi sebagai bintang, membakar elemen nuklir menurut ukuran dan warna masing-masing, dari jenis bintang red supergiant sampai jenis white dwarfs, pulsar, black hole, dsb. Dan, jika gunung-gunung, bukit-bukit, bintang-bintang, dan binatang-binatang menyembah Tuhan dengan simply menjadi bukit, menjadi gunung, menjadi bintang, dan menjadi binatang, lalu bagaimana manusia menyembah dan memuliakan Tuhan? Yaitu dengan simply menjadi manusia, dalam segala keutuhan maknanya. Inilah bagian yang kedua.
Manusia bukan menjadi manusia karena dia menyembah Tuhan; penyembahan adalah panggilan bagi seluruh ciptaan, termasuk manusia. Jadi kalau kita tanya, apa peran dan panggilan manusia yang paling mendasar dan unik, maka jawabannya adalah: menyembah dengan cara yang manusiawi, cara yang unik pada manusia. Apakah yang unik pada manusia? Di sinilah Saudara mengerti mengapa Kejadian 1, Kejadian 2, Mazmur 8, berkali-kali mengatakan keunikan peran manusia bukanlah urusan penyembahan, keunikan peran manusia adalah urusan berinteraksi dengan bumi ini. Keunikan manusia adalah: manusia dipanggil untuk menggunakan kuasa-kuasa yang Tuhan berikan kepada kita untuk mengusahakan dan mentransformasi bumi ini.
Selama ini Kekristenan umumnya punya penekanan yang terlalu sempit. “Bisakah manusia jadi manusia tanpa Tuhan?”, kita jawab, “Tidak!” Tentu saja itu benar. “Bisakah manusia jadi manusia tanpa sesamanya?”, kita menjawab, “Tidak bisa!”. Tentu saja itu juga benar, karena Tuhan sendiri mengatakan ‘tidak baik kalau manusia seorang diri saja’. Tetapi, berapa kali kita mengatakan bahwa manusia juga tidak bisa jadi manusia tanpa bumi? Ini aneh bagi orang Kristen pada umumnya, tapi ini kata Alkitab; masih banyak orang Kristen yang mengira bahwa tujuan akhir manusia adalah untuk meninggalkan bumi ini dan tinggal di surga. Di dalam Protestanisme bahkan ada gereja-gereja yang mengajarkan ‘BIBLE’ sebagai singkatan dari ‘basic instruction before leaving earth’ –tidak bisa lebih ngawur lagi dibandingkan yang Saudara baca di Alkitab. Singkatan tersebut bukan dikatakan orang luar sebagai ejekan, tapi betul-betul gereja itu sendiri yang mengajarkan kepada jemaatnya, bahwa Alkitab adalah instruksi-instruksi dasar sebelum meninggalkan dunia ini. Ngawur sekali.
Kalau Saudara kembali ke Alkitab, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Tentu saja manusia dipanggil untuk beribadah kepada Tuhan, tentu saja manusia dipanggil untuk mengasihi sesamanya, tapi, entah bagaimana, kita seperti kehilangan sesuatu; sebenarnya bagaimana sih, manusia menyembah Tuhan sebagai manusia; dan bagaimana manusia mengasihi sesamanya, sebagai manusia, dalam cara yang partikular bagi manusia, yang secara unik manusiawi?? Kalau Saudara perhatikan, dari awal hal ini selalu berkaitan dengan bagaimana manusia berinteraksi dengan bumi; itulah cara manusia mengasihi Allahnya, dan itulah cara manusia mengasihi sesama manusia –tidak pernah tanpa itu.
Kita lihat beberapa contoh. Ketika Tuhan membuat Taman Eden di Kejadian 2, memang taman itu diberikan kepada manusia untuk jadi sumber makanannya; Kejadian 2:16, TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya … “. Tapi ada paradoks di sini, bukan cuma manusia yang membutuhkan taman, tapi taman juga membutuhkan manusia. Mundur ke ayat 4-5, dikatakan: ‘Ketika TUHAN Allah menjadikan bumi dan langit, —belum ada semak apa pun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apa pun di padang’ –ini adalah bagian sebelum Tuhan membuat taman itu. Di bagian ini taman tersebut belum ada; mengapa? Ada alasannya, yaitu ayat 5b: ‘sebab TUHAN Allah belum menurunkan hujan ke bumi’ —ini alasan pertama yang logis, yaitu karena belum ada air; selanjutnya alasan yang kedua: ‘dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu’. Jadi, ternyata manusia bukan hanya dibuat dari tanah, tapi juga dibuat bagi tanah. Taman ini adalah sesuatu yang diciptakan bagi manusia, namun ternyata taman ini juga adalah suatu proyek di mana manusia dipanggil untuk ikut serta dalam pengembangannya. Manusia bukan dipanggil untuk cuma menerima taman ini sebagai seorang consumer, manusia dipanggil untuk mengusahakan taman ini sehingga bisa jadi taman. Kalau tidak ada manusia, Tuhan tidak bikin taman.
Teks berikutnya Mazmur 104, yang kembali memperlihatkan bahwa hal yang esensial pada manusia adalah urusan interaksi dengan bumi. Dalam mazmur ini ada pembicaraan tentang makhluk-makhluk ciptaan Allah yang banyak sekali. Dari 35 ayat yang membicarakan makhluk-makhluk ciptaan Allah, hanya 2 referensi yang mengacu pada manusia; tapi dari 2 referensi ini, kita menemukan kembali gaungan tema yang sama mengenai apa itu manusia, siapa itu manusia. Perhatikan ayat 14-15: ‘Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia’; rumput adalah untuk dimakan hewan (ternak, misalnya sapi); sedangkan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia –bukan dibilang ‘untuk dimakan manusia’. Jadi, hal yang natural bagi sapi –yaitu makan rumput-rumputan– adalah hal yang natural bagi manusia –yaitu mengusahakan tanah; ini paralel (Hebrew parallelism). Pola ini kembali muncul di ayat 21-23, sekarang perbandingannya bukan antara hewan ternak dan manusia, tapi antara singa dan manusia. Ayat 21-22: ‘Singa-singa muda mengaum-aum akan mangsa, dan menuntut makanannya dari Allah. Apabila matahari terbit, berkumpullah semuanya dan berbaring di tempat perteduhannya’; ini adalah tentang singa, tentang ke-singa-an, singa yang singawi, hal yang natural bagi singa, yaitu mengaum-aum, cari mangsa, lalu setelah matahari teduh mereka berbaring di tempat perteduhan. Ayat berikutnya adalah paralelnya, hal yang natural bagi manusia, yaitu: ‘manusia pun keluarlah ke pekerjaannya, dan ke usahanya sampai petang’ (ayat 23).
Saudara lihat, ada pola yang berulang di dalam dua bagian ini; pemazmur membicarakan mengenai manusia dan esensi manusia, dengan cara membandingkannya terhadap binatang. Sementara Tuhan memberikan rumput untuk ternak, demikian pula Tuhan memberikan tumbuh-tumbuhan bagi manusia untuk diusahakan (ayat 14-15). Sementara singa melakukan apa yang seharusnya seekor singa lakukan, yaitu mengaum-aum dan kemudian berbaring, demikian pula manusia melakukan yang seharusnya seorang manusia lakukan, yaitu keluar ke pekerjaannya dan berusaha sampai petang (ayat 21-23). Di dalam 2 referensi ini, manusia adalah manusiawi karena mereka bekerja, karena mereka mengusahakan tanah. Saudara tidak membaca di sini bahwa manusia itu manusiawi karena mereka datang ke gereja, dan ikut PA, dan bayar perpuluhan, dan menyanyikan lagu-lagu hymn –meskipun itu penting.
Kembali ke Mazmur 8, dikatakan: ‘Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindah–kannya?’ –ini pertanyaan, kemudian dijawab: ‘Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.’ Ayat berikutnya menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘menjadikan manusia hampir sama seperti Allah, memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat’ yaitu dengan berkuasa atas binatang-binatang, di laut, di darat, di udara, dan mengusahakannya. Sekali lagi, manusia bukan manusia, tanpa bumi ini. Maka tidak heran, ketika kita kembali ke teks sentral mengenai tujuan manusia diciptakan dalam Kejadian 1:28, penekanan utamanya adalah urusan bagaimana manusia mengusahakan tanah dan berkuasa atas binatang; dan Saudara bisa membacanya sebagai pertanian dan peternakan.
Peternakan dan pertanian adalah dasar dari seluruh kultur manusia, agriculture adalah dasar dari semua human culture; semua kultur ujung-ujungnya mengarah pada urusan tanah dan binatang. Itu sebabnya panggilan di dalam Kejadian 1 ini adalah panggilan manusia yang paling dasar, yaitu pengembangan seluruh budaya, teknologi, peradaban manusia, sebagai wakil-wakil Allah di atas dunia ini. Itulah gambaran yang kita terima di dalam Alkitab. Inilah alasannya, teologi yang Alkitabiah selalu menempatkan mandat budaya sebagai panggilan yang sakral, sebagai pekerjaan Tuhan, karena inilah panggilan manusia yang esensial, yang fundamental. Sebagaimana bukit simply menjadi bukit, sebagaimana bintang simply menjadi bintang, demikian juga panggilan manusia adalah untuk simply menjadi manusia, berfungsi sebagai manusia. Dan, artinya berfungsi jadi manusia yaitu mengusahakan tanah, berkuasa atas binantang, mengembangkan kultur/budaya, peradaban; membuat termanifestasi di atas bumi ini sesuatu yang merefleksikan Allahnya. Inilah panggilan manusia yang paling mendasar dan esensial, yaitu interaksinya dengan bumi.
Saudara mungkin selama ini sudah tahu bahwa ADA panggilan ini, tapi poin khotbah hari ini bukan soal tahu atau tidak tahu bahwa panggilan ini ada, poin hari ini adalah: Saudara sadar atau tidak bahwa panggilan ini berada di tengah, di posisi sentral, di tempat yang paling esensial dan fundamental dari hal yang menjadikanmu manusia. Saudara pernah atau tidak memikirkan, kenapa Allah seperti “hanya” memanggil Saudara untuk mendevosikan 1 hari dari 7 hari bagi Dia? Bukankah ini aneh? Bukankah Tuhan adalah Tuhan atas hidup kita, tapi kenapa Dia cuma suruh kita datang ke gereja 1 hari saja? Kenapa tidak tiap hari saja sekalian? Ya, karena memang panggilan Saudara tidak cuma untuk di gereja; yang di gereja ini hanya salah satunya, dan bisa dibilang sepertujuh-nya. Namun demikian, 6 hari lainnya pun adalah panggilan Tuhan untuk Saudara mengerjakan pekerjaan Tuhan. Tidak heran kalau panggilan yang ini 6 hari, sedangkan yang di gereja cuma 1 hari, karena memang 6 hari itulah panggilan Saudara yang lebih mendasar, yang lebih fundamental, yaitu panggilan untuk berkarya atas bumi ini, untuk mengembangkan budaya atas bumi ini. Dengan kata lain, bagi Alkitab Saudara akan berhenti jadi manusia jika Saudara diceraikan dari Allah, Saudara akan berhenti jadi manusia jika Saudara diceraikan dari umat manusia, tapi Saudara juga akan berhenti jadi manusia jika Saudara diceraikan dari bumi ini.
Poin ini juga kita temukan ketika mengintip budaya tetangga Israel. Melalui budaya bangsa-bangsa sekitar Israel pada waktu itu, yaitu budaya ANE (Asian Near East, Timur Dekat Kuno) –budaya Mesir kuno, Mesopotamia kuno, bangsa-bangsa di kiri kanan Israel– kita bisa lebih menyadari apa yang dimaksud dengan teologinya Allah Israel. Semua dewa-dewi pada zaman itu ada patung berhalanya, sebagai gambar/image mereka yang ditaruh di kuil; dan pada umumnya orang beranggapan patung itu adalah perwakilan dari dewa mereka, lewat patung tersebut mereka bisa berelasi dengan dewa-dewinya. Tapi perhatikan, pada zaman itu bukan cuma patung berhala yang dianggap sebagai perwakilan allah/dewanya, ada satu lagi yang dianggap sebagai pengantara/mediator resmi, perwakilan resmi dewa-dewi kepada umatnya, yaitu raja-raja. Firaun Mesir dianggap personiifikasi dari Dewa Ra, raja-raja Mesopotamia disebut sebagai gambar dan rupa dewa-dewi mereka, dsb. Yang menarik, setiap raja pada zaman kuno itu bukan cuma jadi pemimpin politik tapi juga pemimpin spiritual, mereka adalah imam besar agamanya. Itu sebabnya ketika Naaman menderita kusta dan disuruh pergi ke Israel mencari kesembuhan dari nabi TUHAN oleh pembantunya, dia tidak mencari nabi TUHAN, dia pergi ke Israel mencari raja Israel. Mengapa begitu? Karena memang cara berpikir orang Asian Near East seperti itu. Dan waktu Naaman datang kepada raja Israel, dia bukan datang untuk minta izin masuk Israel, dia datang untuk minta kesembuhan dari raja Israel, karena menurut anggapan orang zaman itu, seorang raja juga adalah pemimpin agama tertinggi, imam tertinggi, perwakilan para dewa bangsa tersebut.
Perhatikan, para raja zaman itu dianggap perwakilan para dewa, gambar dan rupa para dewa, imam besar para dewa; tapi saya mau tanya, apa fungsi terutama seorang raja pada zaman itu? Seorang raja adalah patron dari seni-budaya-peradaban, seorang raja menulis hukum bagi umatnya, seorang raja adalah seorang gubernur yang harus membangun kota-kota, bahkan salah satu tugas yang secara ekplisit disebutkan dalam salah satu teks kuno Mesopotamia adalah men-supervisi sistem irigasi pertanian —agriculture— yang jadi dasar keseluruhan budaya dalam masyarakat. Dengan kata lain, gambaran fungsi/peran seorang raja dalam zaman itu adalah seorang tukang kebun –tukang kebun yang ideal– dan, dengan mengerjakan fungsi tukang kebun inilah raja tersebut berfungsi sebagai imam, dengan mengerjakan fungsi tukang kebun inilah raja tersebut menjadi gambar dan rupa dewa bangsa itu, dengan mengerjakan fungsi tukang kebun inilah raja tersebut hadir mewakili kuasa dan kehendak dewa bangsa itu. Gambaran seorang imam besar dalam zaman tersebut ternyata bukan dihadirkan dengan pergi ke kuil-kuil menjalankan dan ritual, melainkan dengan pergi ke ladang dan mengairi sawah-sawah.
Tentu saja Alkitab tidak serta-merta menjiplak begitu saja gambaran dari bangsa lain; tentu saja gambaran dari Alkitab ada keunikannya sendiri. Tapi di mana perbedaan itu persisnya? Alkitab tidak menolak gambaran ‘tukang kebun’ sebagai fungsi ‘gambar dan rupa Allah’, jadi bukan di sini perbedaannya. Perbedaannya, atau keunikan Alkitab, pertama-tama tentu saja ‘dewanya’. Bangsa lain mengatakan ada banyak dewa, sementara Alkitab menyatakan hanya ada Satu “Dewa”; bangsa lain menganggap dewa-dewi itu bisa diwakilkan oleh patung, sementara Alkitab mengatakan tidak bisa. Namun keunikan yang lebih penting dari Alkitab adalah mengenai aspek perwakilan dewa melalui manusia. Bangsa-bangsa lain mengatakan, dewa-dewa diwakilkan kepada manusia melalui kaum elit, satu-dua orang saja, seperti raja, imam, dll., sedangkan di dalam Alkitab Allah memanifestasikan kehadirannya di bumi ini melalui seluruh umat manusia, pria dan wanita, kaya dan miskin –semuanya dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Inilah keunikan Alkitab yang radikal, yang pada zaman itu men-demokratisasi-kan konsep ‘imago Dei’ dengan menempelkannya pada semua orang. Ini juga sebabnya bangsa Israel pada zaman itu merupakan satu-satunya bangsa dalam budaya ANE yang tidak merasa peradaban atau masyarakat membutuhkan seorang raja. Israel pada awalnya tidak punya raja, dan baru belakangan mereka punya raja; ini satu hal yang aneh sekali pada zaman itu. Waktu Israel pertama kali punya raja, itu disebabkan karena rakyat Israel minta raja kepada Samuel “supaya kami jadi seperti bangsa-bangsa lain”.
Pada awalnya, persis sebelum Tuhan menurunkan Sepuluh Hukum di Gunung Sinai, Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa tujuan diturunkannya hukum tersebut adalah supaya Israel menjadi suatu kerajaan imam (priestly kingdom), atau keimaman yang rajani (royal priesthood), yang setiap rakyatnya –bukan cuma satu-dua– berfungsi sebagai raja/imam, me-mediasi kuasa-kehendak-berkat Tuhan bagi seluruh bumi. Sebelum itu pun sejak semula Tuhan memang menciptakan ras manusia demi tugas panggilan ini, panggilan seorang imam/raja sebagai gambar dan rupa Allah di atas dunia ini (Kejadian 1). Lalu dengan cara apa hal ini akan terjadi? Sekali lagi, Alkitab menekankan dengan sangat berat akan fungsi manusia dalam mengembangkan dan mengusahakan budaya serta peradaban –dalam mengairi sawah-sawah dan ladang– itulah tugas setiap manusia, job desc setiap manusia. Bagi Alkitab, job desc setiap manusia adalah job desc seorang raja pada zaman tersebut.
Saudara, perjalanan kita masih panjang, saya belum tahu khotbah ini akan selesai pada seri keberapa. Hari ini kita memulai fase yang baru, kita menerawang ke dalam Alkitab untuk melihat panggilan manusia; dan kita baru mulai di awal kisahnya, karena kisahnya kompleks dan panjang, tidak cukup hanya dengan satu pertemuan ini. Kita perlu melihat tujuan awal dari penciptaan manusia (creation), sebagaimana kita lakukan hari ini; tapi tentu saja kita juga perlu melihat bagaimana kejatuhan dan dosa manusia (fall) mempengaruhi gambaran ini; bagaimana penebusan dan pembaharuan yang Tuhan lakukan (redemption) berdampak dalam gambaran panggilan ini; dan tentu saja bagaimana tujuan akhir Allah menciptakan (consummation), akan membentuk harapan kita terhadap panggilan ini –inilah rangkaian C, F, R, C, sebagaimana yang kita pasti pernah dengar; dan khotbah hari ini baru menyentuh bagian yang pertama (C – creation). Jadi pembicaraan ini masih panjang, tapi hari ini kita fokus pada yang pertama, creation; dan di sini kita akan berhenti dulu untuk kemudian bertanya: jadi apa implikasinya bagi kita hari ini?
Ketika kita balik ke awal kisahnya, kita menemukan bahwa panggilan sebagai manusia ternyata bukan terutama –atau bukan hanya– soal pergi ke gereja, menyanyikan lagu pujian, bikin KKR, memberi persembahan, dsb., tapi simply untuk berfungsi sebagai manusia, sebagaimana bukit berfungsi sebagai bukit, dan bintang berfungsi sebagai bintang. Dan, fungsi yang manusiawi ini yaitu untuk membuat budaya di atas dunia, mewakili Tuhan, keluar ke pekerjaannya pagi-pagi dan kembali dari usahanya saat petang –itulah panggilan yang lebih fundamental. Saudara, apa implikasinya jika menjadi manusia memang berelasi dengan Tuhan dan memang berelasi dengan manusia, tapi ternyata juga untuk berelasi dan berinteraksi dengan dunia ini? Sekarang kita akan bicarakan hal ini.
Ada tiga poin dalam hal ini. Pertama, lewat semua ini, Saudara bisa melihat dignitas pekerjaan manusia –keagungan, nilai, harga dari pekerjaan manusia. Sekali lagi, poin khotbah hari ini bukan ‘Saudara dipanggil untuk mengusahakan bumi’, karena semua juga sudah tahu hal itu; poin hari ini adalah: sadarkah Saudara seberapa esensialnya panggilan tersebut dalam Alkitab; sadarkah Saudara bahwa dalam Alkitab, yang secara eksplisit dinyatakan berulang kali sebagai panggilan manusia, bukanlah sekadar menyembah tapi untuk berinteraksi dengan bumi ini; sadarkah bahwa Saudara tidak bisa disebut manusia menurut Alkitab, jika Saudara diceraikan dari bumi, dari tanah dan para binatang. Inilah poin khotbah hari ini.
Dengan demikian, implikasi yang pertama jelas untuk Saudara bisa menyadari, seberapa agungnya panggilan untuk bekerja, untuk mengusahakan bumi, untuk mengembangkan budaya manusia –seberapa agungnya pekerjaan ini di mata Allah. Hari ini kita lebih sering pakai kacamata atau paradigma Yunani kuno dalam melihat pekerjaan, yaitu bukan sebagai berkat, tapi sebagai kutukan. Saudara ingat cerita mitologi Yunani kuno, Pandora’s Box, kotak asal-usul segala sesuatu yang salah di dalam dunia ini. Konon sebelum Pandora’s Box dibuka, dewa-dewa dan manusia hidup dalam harmoni, segala sesuatu terpenuhi, tidak ada kesakitan, tidak ada kematian, tidak ada pekerjaan; tapi setelah Pandora’s Box dibuka, yang keluar adalah kematian, sakit-penyakit, dan pekerjaan. Saudara lihat, mitologi kayak begini memandang rendah sekali yang namanya pekerjaan. Aristoteles bahkan mengatakan, “Kalau saja benang bisa merajut dirinya sendiri, maka manusia akhirnya bisa bebas dari perbudakan”; bagi Aristoteles, hidup yang limpah adalah hidup yang tidak usah bekerja. Mirip ya, dengan masyarakat modern, termasuk juga banyak orang Kristen, bahwa pekerjaan dipandang sebagai halangan bagi hidup yang lebih hidup. Aristoteles bahkan mengusulkan, “Biarlah kasta masyarakat yang tidak mampu berkontemplasi, yang tidak mampu berpikir tinggi, merekalah yang mengerjakan semua pekerjaan-pekerjaan ‘buruh’ itu, supaya kami-kami yang mampu berpikir ini dibebaskan untuk berpikir terus, tidak usah kerja”; inilah hidup yang limpah bagi Aristoteles.
Kontras dengan semua ini, Alkitab memutar balik gambarannya. Bagi orang Yunani, pekerjaan/usaha itu menurunkan derajat manusia ke level binatang; tapi dalam Alkitab, lewat gambaran-gambaran tadi, kita melihat bahwa pekerjaan/usaha manusia itulah yang justru membedakan manusia dari binatang, itulah yang menjadikan keagungan manusia, itulah yang menjadikan manusia sedikit di bawah Allah, itulah yang menjadikan manusia sebagai raja/imam.Tidak heran, kalau dewa Yunani Kuno menjelma jadi manusia, mungkin dia menjelma sebagai seorang philosopher king, raja yang kerjanya cuma urusan filosofi, konsep, strategi abstrak. Tapi Allah Alkitab, pertama-tama di Perjanjian Lama digambarkan sebagai tukang kebun, Dia-lah yang mendirikan Taman Eden, Dia-lah yang memakai tangan-Nya bersentuhan dengan debu tanah lalu memahatnya menjadi manusia, Dia Allah yang bekerja dengan tangan-Nya di tanah; dan di Perjanjian Baru, tentu saja kita melihat Dia menjelma sebagai tukang kayu.
Implikasi yang kedua, jikalau panggilan yang fundamental bagi manusia adalah untuk bekerja, untuk mengembangkan budaya, maka berarti semua jenis pekerjaan adalah panggilan yang sakral. Ini kalimat yang sudah sering kita dengar, tapi entah bagaimana kita sulit percaya. Kita sulit untuk percaya bahwa pekerjaanmu di dunia sekuler adalah sama sakralnya dengan pekerjaanku [pendeta] di atas mimbar ini. Tapi kalau Saudara mengerti definisi pekerjaan menurut Alkitab, bahwa pekerjaan bukan soal menukar jasa dengan uang melainkan pengembangan budaya –kalau Saudara melihatnya dengan kacamata seperti ini– maka tidak ada tempat kerja yang Saudara tidak bisa lihat sebagai panggilan yang saklar.
Lester DeKoster, seorang penulis, menyadarkan kita bagaimana pekerjaan manusia begitu esensial; dan gambarannya sangat menarik. Lester mengatakan, pekerjaan adalah bentuk di mana kita membuat diri kita berguna bagi orang lain, dan orang lain membuat diri mereka berguna bagi kita; tanpa ini, tidak bisa ada masyarakat. Contohnya, bisakah Saudara membuat sendiri kursi yang sedang Saudara duduki? Saudara jawab, “Bisa, saya tukang kayu; saya cuma butuh kayu”; dan ini berarti Saudara perlu menebang kayu. Bisakah Saudara menebang kayu sendirian? “Bisa, tapi saya butuh alat-alat untuk menebang kayu.”. Bisakah Saudara membuat sendiri alat-alat untuk menebang kayu? “Bisa, tapi habis itu saya perlu kendaraan untuk mengangkut kayu tersebut, juga saya perlu mendirikan lumbung untuk menyimpan kayunya, dan saya juga perlu membangun jalan untuk bisa mentransportasikan kayu-kayu itu, … “–Saudara bisa teruskan lagi daftarnya. Lester lalu mengatakan, pendeknya, pertanyaan ‘apakah Saudara bisa membuat kursi itu sendirian’, jawabannya memang bisa, tapi mungkin seumur hidup Saudara cuma bisa bikin SATU KURSI.
Saudara, Lester mengajak kita untuk berandai-andai, jikalau semua orang berhenti kerja saat ini juga, maka yang terjadi adalah peradaban akan runtuh; makanan hilang dari toko-toko, pompa bensin segera kering, jalanan tidak lagi aman, komunikasi dan transportasi berhenti, air dan listrik habis, dan yang bisa survive dari semua ini pun akan berakhir dengan kedinginan, tidur di gua-gua, berpakaian kulit binatang. Di sini Lester mengatakan, perbedaan antara peradaban dan padang belantara adalah: pekerjaan.
Kalau Saudara melihatnya seperti ini, maka tidak ada pekerjaan yang tidak sakral karena semua ini adalah cara Tuhan memberkati dunia ini dengan kehidupan (maksud ‘pekerjaan’ di sini bukan dalam arti tukar jasa dengan uang, tapi dalam arti mengembangkan budaya, mengusahakan tanah/bumi). Tim Keller memberikan satu contoh menarik; kita seringkali menganggap rendah pekerjaan membersihkan rumah, kita malas membersihkan rumah karena itu pekerjaan yang seperti tidak ada gunanya. Tim Keller lalu bertanya, apa yang akan terjadi jika tidak ada yang membersihkan rumah Saudara? Satu hari mungkin tidak masalah. Dua hari, mungkin mulai ada bau-bau yang tidak jelas dari mana. Seminggu, mulai ada bau-bauan yang lebih santer. Sebulan … dua bulan … tiga bulan … enam bulan … setahun … ? Mungkin tidak sampai setahun Saudara akan mati kalau tidak ada yang membersihkan rumah, karena kuman, kotoran, dan segala penyakit sudah berada di situ. Saudara lihat, pekerjaan membersihkan rumah tidaklah kurang dari pekerjaan untuk menyalurkan kehidupan dari Tuhan bagi orang lain. Hal ini melengkapi bagian yang tadi sempat kita bicarakan, mengenai bagaimana Saudara memenuhi ‘golden rules’. Semua dari kita meng-amin-kan bahwa panggilan manusia adalah mengasihi Allah dan mengasihi sesama; tapi bagaimana caranya? Caranya adalah dengan BEKERJA. Bagaimana Saudara memuliakan Allah, mengasihi Allah? Dengan cara sebagaimana bukit menjadi bukit, maka manusia menjadi manusia, manusia mengembangkan budaya. Dengan cara apa? Bekerja. Mengasihi Allah dengan cara bekerja. Lalu bagaimana caranya mengasihi sesama? Sama juga, Saudara menjadi berkat bagi sesamamu adalah dengan menjalankan fungsi manusiawi ini, mengusahakan bumi ini, mengembangkan budaya ini; karena seperti Lester katakan, beda antara padang belantara dan paradaban adalah pekerjaan. Saudara lihat, esensi manusia tidak pernah bisa lepas dari interaksinya dengan bumi ini.
Kita masuk kepada implikasi yang ketiga/terakhir. Jadi implikasi yang pertama, bekerja itu agung, sakral; implikasi kedua, tidak ada pekerjaan tertentu yang lebih saklar daripada pekerjaan lainnya. Implikasi yang ketiga adalah: jika pekerjaan adalah satu hal yang begitu mendasar dalam kita memuliakan Tuhan dan mengasihi sesama, maka cara bekerja yang Kristiani itu seperti apa? Cara bekerja Kristiani adalah simply bekerja secara: kompeten. Sebagai orang Kristen, kalau Saudara tanya ‘bagaimana saya bisa menjadi seorang pekerja yang Kristiani’, maka salah satu jawabannya: Saudara mengejar ‘kompeten’ dalam pekerjaanmu.
Saudara, karena Gereja sering salah kaprah mengenai anugerah, maka seringkali gereja jadi tempat semua yang ‘medioker’ berkumpul. Tidak seharusnya seperti ini. Orang yang tidak bisa menyanyi, di gereja dibilang, “’Gak apa-apa nyanyi, ‘kan yang penting hatimu mau melayani”. Contohnya –maaf saja– kadang-kadang di gereja orang mengusulkan paduan suara lansia untuk memberikan persembahan pujian; lalu kalau kita tanya, “Nyanyinya bagus ‘gak?”, responsnya, “Ini bukan masalah nyanyi bagus atau tidak, ini soal kita mau menghargai mereka, memberi ruang untuk mereka melayani, yang penting hatinya untuk pelayanan ‘kan, tidak usah pikirin kualitas dsb., itu ‘gak bener, ingat anugerah, terima orang apa adanya … “ dst., dst. Sekali lagi saya minta maaf, ini cuma contoh, saya percaya di antara lansia-lansia kita pasti ada juga yang bisa nyanyi, tidak mungkin tidak ada; berharap contoh ini tidak menyinggung para lansia. Tapi saya pakai contoh ini karena ini contoh yang riil. Atau contoh yang lain, misalnya bikin drama di gereja. Saudara lihat, di mana-mana drama di gereja itu standarnya rendah sekali; dari script-nya, aktingnya, produksinya, semua rendah sekali. Dan kalau kita mengemukakan hal-hal seperti ini, orang akan mulai sensi, “Kamu ini perfeksionis banget, ‘gak ada kasih”, tapi cobalah Saudara pikirkan, kalau khotbah di gereja standarnya rendah, Saudara akan bilang yang sama atau tidak? “Yah, ‘gak apa-apa pendeta itu ‘gak bisa khotbah, yang penting ada hati melayani; ‘gak apa-apa saya dengerin terus 2 jam dia ngalor-ngidul, yang penting dia ada hati untuk melayani” –Saudara tidak akan berpikir seperti itu ‘kan??
Jika pekerjaan, pembentukan dan pengembangan budaya adalah panggilan manusia yang sakral di hadapan Tuhan, maka cara kita untuk mengasihi sesama melalui pekerjaan, tidak bisa tidak adalah lewat mengejar kompetensi! Ini bukan teologi sukses, atau teologi perfeksionisme, dsb. Saya tahu ini bisa disalahgunakan oleh orang-orang perfeksionis, tapi jangan salah, waktu kita mengatakan “kerja tidak perlu kompeten”, “Gereja menerima apa adanya”, kalimat itu juga bisa disalahgunakan –dan banyak disalahgunakan. Sekali lagi, anugerah memang menerima kita apa adanya –itu benar– tapi anugerah juga tidak pernah berhenti di situ. Anugerah menerima kita apa adanya, demi membawa kita naik; itu namanya anugerah. Anugerah selalu siap menerima kita di tempat kita berada sekarang –itu benar– tapi anugerah juga tidak akan pernah puas membiarkan Saudara bertahan di tempat Saudara sekarang, di level Saudara sekarang. Jadi, cara kita mengasihi sesama manusia lewat pekerjaan kita adalah lewat pelayanan yang kompeten –dalam pekerjaan kita, dalam karir kita. Jika tujuan Allah di balik pekerjaan ini adalah untuk kita mengasihi, maka cara terbaik untuk melayani Tuhan adalah dengan mengerjakan pekerjaan itu sebaik mungkin dan sekompeten mungkin.
Dorothy Sayers pernah bicara tentang bagaimana Gereja membimbing seorang tukang kayu Kristen. Dia menyayangkan, bahwa Gereja pada umumnya cuma menuntut tukang-tukang kayu Kristen untuk tidak mabuk dalam peekerjaannya, untuk tidak malas-malasan, juga untuk datang ke gereja hari Minggu, dan khususnya bayar perpuluhan. Seharusnya yang Gereja beritahukan kepada para tukang kayu ini, hal terutama yang dituntutkan oleh Kekristenan adalah: bahwa sebagai tukang kayu, dia sanggup membuat meja-meja yang baik dan kokoh. Satu contoh, sebuah pesawat yang mengalami gangguan mesin ketika sedang terbang –dan pilotnya seorang Kristen. Bagaimana cara terbaik pilot Kristen ini mengungkapkan imannya kepada para penumpang? Apakah dengan mengambil mikrofon lalu bilang, “Mari kita semua berdoa”? Dalam momen seperti itu, entah dia berdoa atau tidak berdoa, itu bukan critical issue-nya; critical issue-nya adalah: apakah pilot ini cukup kompeten untuk mendaratkan pesawat tersebut dengan selamat atau tidak. Kasih atau pemberian terbesar yang sang pilot bisa berikan bagi para penumpangnya, adalah pengalamannya dan skill-nya dalam menghadapi situasi genting seperti ini.
Saudara, jika panggilan manusia yang terutama adalah ikut serta dalam pembangunan bumi ini, maka batu karang yang mendasari pelayanan kita, dalam pekerjaan-pekerjaan kita, adalah ini: semangat untuk mengejar kompetensi. Saudara dipanggil untuk mengasah talentamu dan mengejar kompetensi dalam karirmu bukan karena itu bisa mendatangkan uang atau posisi yang lebih tinggi –meski tentu saja dua hal itu bisa datang juga–melainkan sebagai bentuk Saudara memuliakan Tuhan, mewakili Tuhan di atas interaksi Saudara di bumi ini; Tuhan tidak bikin sampah, jadi saya juga tidak bikin sampah. Dan ini juga sebagai bentuk kasihmu kepada sesamamu; pekerjaan yang kompeten adalah bentuk kasihmu dan pelayananmu bagi orang lain. Jika Saudara bekerja atas dasar ini, maka Saudara akan melihat bagaimana Saudara bisa mulai menentukan panggilanmu dengan lebih tepat. Saudara akan mulai lebih memilih pekerjaan yang lebih berguna bagi banyak orang, dibandingkan pekerjaan yang lebih besar bayarannya. Saudara akan dengan serius memikirkan pekerjaan-pekerjaan yang mungkin tidak terlalu besar gajinya, tidak terlalu menarik, tidak terlalu diinginkan, tapi bisa menolong banyak orang. Saudara mungkin bahkan tergerak untuk memilih pekerjaan-pekerjaan yang bisa jadi Saudara bukan paling jago di situ, tapi karena melihat masyarakat yang Tuhan tempatkan di tengah-tengah Saudara, membutuhkan peran itu. Pertanyaannya: apakah kita mengejar ini atau tidak?
Lucunya, kalau Saudara mengejar ini, Saudara akan didorong untuk mengejar kesuksesan. Kalau Saudara benar-benar melayani lewat pekerjaan Saudara, Saudara akan mengejar kesuksesan. Tetapi, orang yang seperti ini tidak akan, atau kecil kemungkinannya, mengejar kesuksesan sampai-sampai dia over-work, karena tujuan dia memilih pekerjaan ini adalah demi orang lain. Dan waktu Saudara mengejar kesuksesan seperti ini –demi melayani orang– namun berhadapan dengan kegagalan, maka Saudara tidak akan sebegitu frustrasinya dengan kegagalan tersebut, karena Saudara tahu ‘saya memang tidak bisa, dan tidak tahu seberapa saya bisa, tapi yang penting saya akan coba’. Kalau dari awal sudah seperti ini, ketika berhadapan dengan kegagalan, Saudara akan bilang, “Ya, sudah, memang harga diri saya bukan di situ koq, jadi ya, coba lagi saja, coba belajar dari pengalaman”, dst. Yang pasti, kalau Saudara bekerja dengan cara seperti ini, Saudara bisa menemukan fulfillment dan sukacita justru dalam pekerjaan, meskipun pekerjaan Saudara mungkin bukan pekerjaan yang menarik di mata dunia, atau gajinya tidak terlalu besar dan tidak terlalu diinginkan orang.
Di Amerika, generasi usia kerja hari ini adalah generasi eks tentara (karena Amerika habis perang dengan Afganistan dan Irak). Orang-orang yang pergi perang ini dirotasi, misalnya perang 1 tahun lalu kembali, istirahat beberapa bulan, setelah itu pergi lagi, dst. Menariknya, dalam banyak kesaksian pribadi yang riil ataupun dalam fiksi-fiksi, ketika mereka kembali ke Amerika untuk rehat, banyak di antara mereka yang tidak sabar menunggu kapan kembali lagi ke Irak atau Afganistan. Mengapa? Karena bayaran jadi tentara itu besarkah? Karena nyamankah? Tidak. Tapi karena mereka menemukan fungsi mereka di sana, karena mereka merasa ‘saya berguna bagi orang lain’, atau paling sedikit ‘saya berguna bagi sesama tentara di sebelah kiri kanan saya’. Inilah sebabnya orang menemukan fulfillment dalam pekerjaannya; bukan karena dia mendapatkan pekerjaan yang hebat atau bayaran yang besar, melainkan karena dia bisa punya spirit untuk melayani kebutuhan orang lain dalam pekerjaan. Dan inilah gambaran yang Saudara dapatkan di dalam Alkitab.
Satu hal terakhir, dalam pekerjaan-pekerjaan seperti ini, meskipun kecil skalanya namun tetap bisa memberi dampak yang besar, tetap bisa menjadi bagian di mana Saudara membentuk budaya. Seorang penulis, Andy Crouch, bercerita mengenai istrinya, Katherine, yang adalah seorang profesor Fisika. Seperti pada umumnya, seorang profesor Fisika bekerja di lab dengan murid-muridnya, melakukan riset, dsb.; dan setting ‘lab’ biasanya steril, bukan cuma steril secara fisik dalam arti tidak ada kuman, tapi juga steril secara atmosfir, bisa ngapain sih dalam setting ‘lab’ seperti ini. Tapi Andy Crouch cerita, istrinya itu putar musik klasik di lab, sehingga dia mulai menciptakan budaya (atmosfir) yang mendukung kreatifitas dan keindahan. Katherine bisa membentuk respons murid-muridnya ketika mereka menemukan hasil yang seru maupun hasil yang mengecewakan, yaitu lewat cara dia meresponi murid-muridnya –membentuk budaya. Katherine bisa melawan budaya workaholic dan budaya malas-malasan, karena dia bisa menunjukkan teladan kerja; orang melihat dia kerja keras tapi balance, ada istirahat, ada rekreasinya. Katherine terkadang membawa anak-anaknya ke tempat kerja, hanya untuk menciptakan satu budaya –gambaran– bahwa keluarga tidak perlu dilihat sebagai halangan bagi karier, bahwa riset dan mendidik anak itu tidaklah harus bertabrakan dalam kehidupan seorang ibu. Katherine juga mengundang murid-muridnya ke rumahnya, sehingga mereka bisa melihat Katherine bukan hanya sebagai pemabntu-pembantu riset saja tapi juga sebagai human being. Saudara lihat, lewat setting ‘lab’ yang kecil dan terbatas ini, Katherine punya kemampuan dan ruang untuk bisa membentuk dunia, membentuk bumi ini, mengembangkan budaya. Inilah panggilan kita. Inilah seberapa sentralnya panggilan ini di dalam kehidupan Kristen.
Sekali lagi, khotbah hari ini masih bagian yang pertama; kita belum membicarakan mengenai dampak dosa terhadap panggilan ini, mengenai bagaimana persisnya Tuhan memulihkan panggilan ini, juga harapan kita ke depan akan langit dan bumi baru yang akan mengubah harapan kita mengenai panggilan ini. Tapi paling tidak, dari bagian pertama ini kita mulai mendapatkan satu kupasan pertama, yaitu sebenarnya di mana tempatnya pekerjaan Saudara di dalam imanmu; dan ternyata tempatnya sangat sentral.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading