Dalam Kebaktian Doa Kamis Kudus yang lalu Pendeta Jethro mengaitkan SALIB sebagai tempat kita mengenal identitas Yesus; dia membahas dari Injil Markus. Secara singkat, digambarkan bahwa salib bukanlah terutama mengenai apa yang kita dapatkan dari Yesus, yaitu pengampunan, keselamatan; memang itu semua benar, tapi Markus membingkai tulisan injilnya itu dengan menceritakan bahwa semua orang, termasuk murid-murid Yesus, selama bertahun-tahun melihat pelayanan Yesus namun mereka tidak bisa mengenali identitas Yesus yang sesungguhnya, dan yang akhirnya benar-benar sadar siapakah Yesus adalah seorang prajurit Romawi di bawah kaki salib yang berkata: “Sungguh Dia ini Anak Allah”. Sampai di salib, barulah kita benar-benar sadar identitas Yesus yang sesungguhnya. Selama bertahun-tahun murid-muid-Nya melayani bersama, mendengar pengajaran-Nya, tapi mereka tidak paham, mereka missed sesuatu yang yang sangat penting. Saya kuatir, kita sebagai orang Kristen bisa saja bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, datang ke gereja tapi kita juga missed tentang siapakah Tuhan.
Bagaimana kita bisa tahu mengenai seseorang? Saya teringat suatu hari ada camping, lalu ada kesempatan malam itu sharing dengan seorang kawan karena tidur bersama. Sebenarnya kami sudah sering bertemu, di kampus bareng, dsb., tapi karena ini momen camping, malam hari, jadi akhirnya kami sharing heart to heart apa yang jadi pergumulan, yang jadi concern, dsb. Jadi hari itu ada special connection, saya baru kenal teman saya itu lebih daripada bertahun-tahun pelayanan bareng, temenan bareng, makan bareng, dll.; karena apa? Karena ada ada pembicaraan dari hati ke hati, saling membuka hati, lalu jadi tahu sebenarnya orangnya seperti apa. Pertanyaannya, kalau kita punya waktu bicara heart to heart dengan Yesus, kira-kira apa yang Dia akan sharing-kan? Apa sih isi hati yang terdalam dari Tuhan Yesus? Inilah yang akan kita bahas dari khotbah hari ini dari Matius 11:28-30, dengan judul perikop “Ajakan Juruselamat”.
Kita akan fokus pada ayat 29, perkataan Yesus, “… karena Aku lemah lembut dan rendah hati”, di dalam bahasa Inggrisnya, “I am gentle and lowly in heart”. Di sepanjang 4 Injil kita bisa membaca ajaran-ajaran Tuhan Yesus, tentang perumpamaan-perumpamaan-Nya, kisah-kisah pelayanan-Nya, mujizat-mujizat-Nya, interaksinya dengan para murid, bahkan tentang pertentangan dengan lawan-lawan-Nya. Tetapi kalau kita ingin melihat Yesus membuka isi hati-Nya, heart to heart talk, itu hanya ada satu kesempatan yaitu ayat 29 yang tadi kita baca. Yesus itu seperti apa? Yesus itu lemah lembut dan rendah hati. Ini satu-satunya kesempatan kita bisa melihat isi hati-Nya yang terdalam, Dia menyatakan diri-Nya, “Aku lemah lembut dan rendah hati”. Ini bukan penilaian Matius yang menulis Injil tersebut, bukan juga penilaian para rasul; ini kesaksian langsung dari Yesus sendiri. Sebenarnya Yesus bisa saja dijelaskan dengan kata yang bebeda; misalnya kita bisa mengatakan “Dia berhati mulia”, atau misalnya “Yesus itu seorang yang berhati luas, tidak sempit hati”. Atau bisa juga, “Dia itu seorang yang murah hati, yang siap memberikan”. Itu semua benar, Dia berhati mulia, berhati luas, murah hati, tapi Dia memilih untuk mendeskripsikan identitas-Nya sebagai ‘lemah lembut dan murah hati’.
Kita bisa saja agak terganggu dengan kata ‘lemah lembut’, karena lembut bukan berati lemah, lembut justru adalah suatu kekuatan –tapi kita sudah terbiasa memakai kedua kata ini disandingkan berbarengan ini, lemah lembut. Apa artinya ‘lemah lembut dan rendah hati’ ini, yang dalam bahasa Inggrisnya, ‘gentle and lowly in heart’? Istilah ‘gentle’ (lembut) hanya muncul 3 kali lagi di Perjanjian Baru. Matius 5:5, “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”; Matius 21:5, “Katakanlah kepada puteri Sion: Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda”; 1 Petrus 3:4, “…perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari Roh yang lemah lembut”. Saudara perhatikan, ketiga ayat tersebut memakai kata ‘lembut’, tapi dalam terjemahan bahasa Inggris (NIV, ESV), 3 ayat tersebut memakai istilah yang bebeda-beda, yaitu meek, humble, gentle; contohnya, “Blessed those who are meek …”.
Apa artinya Yesus itu gentle? Kita sering mendengar istilah ‘gentleman’; calon-calon istri biasanya menilai calon suaminya gentleman atau tidak dari mana, yaitu dari dia membukakan pintu mobil atau pintu rumah. Tapi gentleman artinya lebih dari sekadar itu; seorang yang gentle artinya dia tidak gampang terprovokasi, tidak sumbu pendek, perkataannya tidak tajam/pedas tapi penuh pengertian. Kalau secara gestur tubuh, orang yang gentle bukanlah orang yang tuding-tuding seperti kakak sulung yang berkata kepada adik bungsunya, “Ngapain kamu pulang?? Kita tidak mau kamu balik lagi, pergi sana!”; gentle itu seperti sang bapa yang merindukan anaknya kembali, gesturnya adalah membuka tangan lebar-lebar, “Come, datanglah” lalu menerima dan memeluk.
Bagaimana dengan arti rendah hati (lowly in heart)? Kita sering kali mengerti ‘rendah hati’ sebagai suatu sifat, kebajikan, artinya tidak sombong; tapi di Alkitab, lowly digambarkan bukan sebagai sifat di dalam melainkan lebih ke kondisi di luar, tentang bagaimana orang tersebut direndahkan. Misalnya di dalam Magnificat Maria, Maria bersukacita dan menyanyi demikian: “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah” –orang-orang yang rendah, di dalam Kerajaan Allah ditinggikan. Ini seperti orang yang datang ke pesta tidak punya jas yang bagus, pakaiannya compang-camping, tapi kemudian diberikan jas yang pantas. Yesus inkarnasi ke dunia bukan jadi orang VIP, dia bukan lahir di istana, Dia bukan hangout dengan ratu dan raja; Dia lahir di palungan. Kalau kita melihat dengan siapa Yesus hangout, kita mungkin mencibir, “Huh, temenannya sama orang rendahan”, karena Dia hangout-nya dengan pemungut cukai, pelacur, orang yang tato-an, orang-orang yang kasar seperti itu. Dia bukan hangout dengan orang-orang yang rohani, atau para penguasa; Dia hangout dengan orang-orang yang lowly in heart, yang strata sosialnya boleh dibilang paling bawah. Murid-murid-Nya adalah para nelayan, bukan orang Farisi terpandang; Dia makan bersama para pemungut cukai dan pelacur.
Apa maksudnya Yesus itu lemah lembut dan rendah hati? Ada dua hal yang kita ingin bahas, yaitu tentang siapa (who) dan bagaimana (how), berkenaan dengan identitas Yesus ‘lemah lembut dan rendah hati’. Yang pertama, tentang ‘who’. Implikasi kalau kita mengenal Yesus sebagai Orang yang lemah lembut dan rendah hati, yang pertama adalah: siapapun boleh datang kepada Dia. Dia adalah Orang yang accessible, approachable, semua orang boleh datang kepada Dia, tidak ada syaratnya, semua pendosa boleh datang. Tidak perlu achieve million dollar club untuk bisa makan bareng dengan Yesus. Tidak perlu masuk membership club orang Farisi baru bisa hangout dengan Yesus. Yesus bukan VIP yang restricted access dengan ada banyak bodyguard, satpam, bouncer, dsb., sehingga kalau mau bertemu Yesus antriannya panjang dan hanya orang-orang tertentu yang boleh datang. Yesus tidak demikian; dikatakan bahwa siapapun, anyone, semua, boleh datang. Tetapi dalam dunia ini kita secara insting sadar makin tinggi posisi seseorang, atau makin gemerlap sebuah institusi, semakin susah aksesnya. Kalau ke Oxford atau Harvard, yang bisa masuk adalah orang-orang yang paling tinggi nilainya, yang paling pintar, paling smart, paling bright, top of the crème dari society; sedangkan yang NEM-nya pas-pasan, yang UAS-nya bukan lulus tapi lolos, jangan harap bisa daftar ke Harvard atau Oxford. Orang yang mau kerja di Fortune 500 Company, CV-nya harus impresif, mentereng, sampai-sampai waktu orang baca akan berdecak kagum; sedangkan yang skill-nya pas-pasan, yang pengalaman kerjanya tidak ada, jangan harap bisa diterima di Fortune 500 Company, bisa jadi CV-nya begitu diterima langsung masuk ke tong sampah karena mereka sudah punya banyak calon dan tinggal pilih mana yang paling terkeren untuk bisa kerja di situ.
Waktu kita ke gereja, kadang juga demikian. Orangtua sering kali ngomelin anak, “Ke gereja koq pakai baju tidur; ke gereja harus pakai baju yang terbaik”. Lalu kalau anaknya mulai pecicilan, mulai ‘gak tenang, kita bilang, “Ke gereja, sikap harus benar, harus duduk tenang” –tidak boleh ada noda/kotor, semua harus bersih, sikap juga harus sempurna. Jadi seakan-akan anak mendapat gambaran bahwa yang boleh datang ke gereja itu orang-orang yang baik-baik, yang bajunya putih, dan juga yang tanpa dosa cacat cela. Gambaran demikian tentunya tidak salah, memang kita harus pakai baju yang sopan, harus bersikap baik, dsb., tapi sering kali orang bisa salah mengerti, menganggap yang bisa datang ke gereja adalah orang-orang yang demikian, yang CV-nya baik, yang rekam jejaknya bersih, tidak ada criminal records –dan ini salah besar. Justru dalam ayat yang kita baca hari ini dikatakan bahwa yang datang kepada Tuhan Yesus –yang diterima di company-nya Yesus–CV-nya hanya berisi dua hal: letih lesu dan berbeban berat. Coba kalau Saudara yang sedang cari pekerjaan, bikin CV begini: skill/keahlian ‘selalu letih lesu’, pengalaman kerja ‘sering berbeban berat’, lalu kirim CV ini ke BCA atau Indofood, kira-kira bakal diterima tidak? Ini orang yang sering rebahan, gampang capek, banyak tanggungan, jadi bakal banyak alasan tidak datang kerja dsb., maka perusahaan tidak bakal mau terima; perusahaan tidak mau pegawai yang letih lesu, yang mukanya panjang Senin sampai Jumat. Letih lesu akan membuat Saudara ditolak di perusahan mana pun, tapi justru letih lesu dan berbeban berat yang membuat Saudara diterima Tuhan Yesus.
Apa maksudnya letih lesu? Letih lesu di sini bukan seperti gambaran tadi, bukan cuma secara fisik; tapi kalau letih lesu secara fisik saja membuat Saudara ditolak, apalagi letih lesu-nya dalam hal mental atau rohani. ‘O, saya penderita skizofrenia, saya ini mental health-nya banyak problem’, yang seperti ini perusahaan juga tidak terlalu mau terima. Letih lesu dalam ayat ini sering kali digambarkan dalam bahasa Inggris sebagai labour and heavy laden, bukan cuma secara fisik tapi secara jiwa, secara hati yang terdalam. Orang-orang seperti apa?
Dalam tafsiran seringkali menafsirkan letih lesu dan berbeban berat ini adalah letih lesu dan berbeban berat karena dosa, karena perasaan bersalah. Kita tahu kita sudah bikin janji mau ikut Tuhan tapi sering kali melupakan, kita bikin komitmen tapi akhirnya gagal lagi dan jatuh lagi dalam dosa, kita ngamuk lagi padahal sudah janji ‘gak bakal ngamuk. Itu semua membuat kita akhirnya letih lesu dan berbeban berat. Atau, sering kali juga ditafsirkan sebagai beban hukum Taurat. Tuhan Yesus pernah menegur orang-orang Farisi, “Hai, orang-orang Farisi, mengapa kamu menaruh beban yang berat kepada orang-orang, yang kamu sendiri tidak mau pikul, yang kamu sendiri tidak bisa pikul?? Kamu bebankan beban Taurat, harus ikut ini dan ini dan ini, tapi kamu sendiri tidak bisa”. Ini gambaran orang yang taruh standar tinggi, dan dia tahu dirinya tidak akan pernah mencapai standar tersebut. O, kalau saya mau diterima Tuhan, saya harus sekian, tahu teologinya/doktrinnya harus sekian, moral saya harus sekian, kesucian hidup saya harus sekian, tekad saya harus sekian, konsistensi saya harus sekian –dan kita jauh banget dari standar itu. Orang yang seperti itu akan terus saja labour, terus saja heavy laden, tidak pernah bisa tenang di dalam hatinya; dan Tuhan bilang, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat”.
Saudara sekalian yang letih lesu dan berbeban berat karena dosa, karena situasi hidup, karena kondisi keluarga, karena kondisi finansial –karena semuanya– dikatakan di sini, “Datanglah kepada-Ku dan Aku akan memberikan kelegaan kepadamu”. I will give you rest. Ini bukan rest yang Saudara harus beli; dunia menawarkan, “Kamu mau healing/rest, kamu harus beli.” Tapi Tuhan Yesus tidak demikian. Tuhan Yesus bilang, “Datang kepada-Ku, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu –kelegaan yang tanpa bayaran– marilah kepada-Ku.” Kenapa Dia undang Saudara datang? Karena Dia tahu masalah setiap kita adalah: kita berdosa, kita letih lesu dan berbeban berat; dan Dia tahu yang kita butuhkan. Saudara tidak butuh 7 hari 6 malam di Tokyo karena kalau isi hati kita tidak dibereskan maka semua jalan-jalan liburan itu tidak pernah memberikan the true rest. The true rest datangnya dari kelegaan yang Tuhan berikan. Demikian tentang “who”, bahwa siapa pun boleh datang untuk mendapatkan kelegaan ini, tapi kelegaan ini hanya diberikan kepada mereka yang datang. Undangan Tuhan adalah: “Mari datang kepada-Ku”; ini undangan, berarti Saudara yang harus datang, Tuhan tidak paksa, Tuhan tidak tarik-tarik, Tuhan tidak main force. Dia mengundang dengan rela, Dia memberi undangan, maka kita juga bukan robot yang tidak ada pilihan. Tuhan memperlakukan kita untuk boleh datang dengan sukarela.
Namun faktanya, ada orang-orang yang tidak mau terima undangan Tuhan, yang tidak percaya akan rest yang diberikan, yang terus saja menolak undangan penuh kasih karunia ini dan terus mengeraskan hati. Mengapa di dunia ini masih ada orang-orang yang terus mengeraskan hati seperti Firaun yang sudah diberi 10 tulah pun tetap keras hati? Ada orang-orang yang tahu dirinya bedosa, tahu harus melakukan apa, tapi dia tidak mau lakukan, karena hatinya tidak ingin. Tahu harusnya melakukan A, B, sesuai dengan Alkitab, bahwa Alkitab melarangnya atau Alkitab menyuruhnya, tapi itu tidak sesuai dengan isi hatinya maka dia bilang, “No way”, dan dia bisa pakai ayat-ayat Alkitab untuk membenarkan pilihannya tidak datang kepada Juruselamat. Bagi mereka yang menolak, di delapan ayat sebelumnya ada satu perikop yang menulis tentang Yesus mengecam beberapa kota, “Celakalah engkau Korazim … celakalah engkau Betsaida … celakalah engkau Kapenaum …!” Karena apa? “Karena kamu sudah melihat banyak mujizat pun, kamu tidak betobat; kalau saja ini tejadi di Sidon, Titus, atau Sodom, mereka akan bertobat. Tetapi kamu sudah lihat semua, dan kamu tidak mau bertobat, celakalah kamu.”
Yesus mengecam kota-kota yang tidak mau bertobat; tapi bagi orang berdosa yang mau datang, yang mau terima undangan-Nya, hati Tuhan Yesus penuh kelembutan yang mengatasi segala dosa, sebesar apapun. Jalan tersebut tidak penah dihalangi oleh halangan dosa dan besarnya dosa kita; karena apa? Karena Yesus punya satu titel —titel yang diberikan oleh musuh-musuh-Nya— yaitu: sahabat orang berdosa. Abraham diberi titel ‘sahabat Allah’; Yesus, Sang Anak Allah, diberikan titel ‘sahabat orang berdosa’. Bagi kita yang merasa diri orang berdosa, ini justru penghiburan karena we can be friends with Jesus, seperti misalnya kalau di Facebook Saudara bisa add friends Jesus. Tapi syaratnya apa? Syaratnya kita sadar kita ini orang berdosa, karena orang yang tidak merasa diri orang berdosa, dia tidak mau add Yesus. Orang-orang Farisi tidak mau add Jesus as their friends, malah mereka bilang, “Ngapain Kamu makan dengan orang-orang bedosa?? Dasar sahabat orang berdosa!” Yesus tidak malu dibilang Dia sahabat orang bedosa; ada satu ayat yang Yesus mengatakan, “Aku tidak lagi menganggap kamu sebagai hamba, Aku menganggap kamu sahabat.” Sahabat itu artinya apa? Sahabat adalah orang yang Saudara curhat, yang Saudara share your deepest heart; Saudara tidak share itu kepada hamba, kepada pegawai, atau kepada si mbok. Kita share kepada teman yang kita percaya, teman yang dekat. Dan, kita bukan cuma share kepada Tuhan di dalam doa, kita mendapati di ayat tadi Tuhan juga share isi hati-Nya kepada kita, maka kita jadi tahu siapakah Dia, bahwa Dia adalah Yesus yang lemah lembut dan rendah hati. Yesus lemah lembut dan rendah hati, berarti siapa pun boleh datang, He is approachable, He is accessible –ini yang pertama, tentang ‘siapa’.
Yang kedua, tentang ‘bagaimana’; bagaimana Dia memperlakukan orang-orang yang datang kepada Dia. Kalau misalnya pegawai Saudara nilep uang perusahan berkali-kali, ketahuan, lalu Saudara beri kesempatan lagi dan lagi, dan sekarang dia datang lagi mengaku mencuri lagi; Saudara akan bertindak bagaimana? Pecat! Hajar! Cincang! Atau apapun, tergantung kebengisan Saudara; tapi kira-kira itulah yang kita akan lakukan. Kita memperlakukan orang tergantung dari banyaknya atau tingginya pelanggaran-pelanggaran yang dia lakukan. Tapi coba kita lihat bagaimana Yesus memperlakukan orang-orang berdosa.
Ibrani 5:2, ‘Ia harus dapat mengerti orang-orang yang jahil dan orang-orang yang sesat, karena ia sendiri penuh dengan kelemahan’. Ini satu perikop yang sedang berbicara tentang imam besar. Imam besar adalah seseorang yang harus dapat mengerti orang-orang yang jahil dan orang-orang yang sesat, karena ia sendiri penuh kelemahan; Ia harus berempati, harus bisa simpati. Namun kalimat ‘harus dapat mengerti’ ini kurang enak translasinya; sebenarnya dalam bahasa Inggrisnya kita akan langsung tahu ayat ini connected dengan Matius 11 tadi, ‘He has to deal gently’, Ia harus berurusan dengan lemah lembut terhadap orang-orang yang jahil dan sesat itu. Jadi kalau orang-orang yang berdosa datang, imam besar harus deal gently, tidak boleh kasar, tidak boleh sinis; yaitu kepada siapa? Sekali lagi di bagian ini terjemahan bahasa Indonesia saya kurang suka; dikatakan ‘orang-orang yang jahil dan orang-orang yang sesat’, seakan-akan ini dua kelompok orang berdosa, padahal sebenarnya ini adalah gambaran totalitas orang berdosa. Orang jahil di sini dalam bahasa Inggrisnya ‘the ignorant’; orang sesat ‘the wayward’. The ignorant adalah orang yang berdosa secara tidak sengaja, accidental; sementara the wayward adalah oang yang berdosa secara sengaja, sudah tahu tapi tetap dilakukan, deliberate. Dua hal ini, yang berdosa secara tidak sengaja dan yang berdosa secara sengaja, adalah dua golongan mewakili semua orang —dan Jesus deals gently. Kita mungkin bisa deal gently dengan orang yang tidak sengaja, ‘gak sensitif, ‘gak peka. Misalnya baru mengalami musibah, lalu ada orang yang tidak tahu dan dia mengeluarkan kata-kata yang tidak peka, contohnya orang baru keguguran lalu kita tidak sengaja tanya, “Anaknya bagaimana?” Ini bikin lukanya muncul lagi, tapi karena tidak sengaja, kita mungkin bisa ‘ya sudahlah, maafiin sajalah, memang dia ‘gak tahu, memang dia ‘gak sengaja’. Tapi bayangkan kalau dia sudah tahu orang tersebut tidak bisa punya anak tapi dia sengaja tanya, “Anakmu di mana? Coba lihat anakku banyak, lho”, itu membuat hati luka; dan kita sulit mengampuni orang yang sengaja. Namun di ayat ini dikatakan Yesus deal gently bukan saja kepada mereka yang ignorant tapi juga kepada yang jelas-jelas tahu dan sengaja.
Saya tanya kepada Saudara, kalau mau jujur, Saudara lebih sering berdosa tidak sengaja atau sengaja? Maksudnya, kita berdosa karena kita tidak tahu, ‘O, ternyata ini melanggar Firman Tuhan ya; saya tidak tahu lho, korupsi ternyata melanggar, maaf ya, saya khilaf’; atau kita sebenarnya tahu, kita sadar ini berdosa, tapi kita tetap lakukan? Yang mana lebih sering? Saya duga, lebih sering yang kedua, apalagi di gereja Reformed kita banyak sekali pengajaran-pengajaran ketat. Kita tahu koq, kita bukan tidak tahu sesuatu itu salah, tapi hati kita tetap ingin melakukan yang salah itu. Bagaimana Yesus deal dengan kita yang jelas-jelas berdosanya bukan tidak sengaja, tapi benar-benar sengaja? Dikatakan di sini, Dia bisa tahan dan tetap deal gently. Mengapa? Saudara bisa tahan atau tidak dengan mertua yang lidahnya tajam, seperti Naomi yang setiap perkataannya tajam? Tentu agak susah untuk tinggal bersama, mengampuni, dsb.; maka seringkali curhatnya, “Enggak bisa tahan …”. Tapi Tuhan kira-kira bagaimana ya memperlakukan pendosa-pendosa yang jelas-jelas memilih berdosa, memilih meninggalkan prinsip-prinsip Firman Tuhan? Dikatakan bahwa Dia bisa tahan, Dia tetap deal gently. Kenapa Dia bisa tetap deal gently? Karena Dia Tuhan yang lemah lembut dan rendah hati. Dia bukan orang yang pura-pura tidak tahu apa yang terjadi, Dia tahu, dan hati-Nya seperti magnet yang datang justru kepada kelemahan, kepada pemberontakan –kepada dosa-dosa. Dia bukan menghindari tapi justru datang, Dia seperti ibu yang anaknya “ngiik..” sedikit, langsung datang mencari, menenangkan, mencoba memberikan kelegaan. Dan, kalau Saudara terus merasa diri dihakimi oleh dosa, lalu berkata, “Tuhan buang saya, Tuhan tidak peduli saya, Tuhan ‘gak care sama saya”, faktanya berkata lain: bahwa Saudara datang di Kebaktian ini, Saudara punya kesempatan dengar Firman Tuhan, Saudara dengar dari puji-pujian, Saudara tetap ada bersama umat Tuhan, bukankah ini juga anugerah Tuhan, belas kasihan Tuhan, menunjukkan Saudara belum dibuang?? Bagaimana mungkin kita berkata kita ini dibuang Tuhan, tapi faktanya kita sendiri masih mendapatkan semua means of grace ini? Jadi, datanglah kepada Dia, karena Dia lemah lembut dan murah hati.
Kalau Saudara berdosa, gagal, dunia akan berkata, “Look into yourself and be better. Hei, jangan cengeng, kalian yang gagal! Lihat dirimu, introspeksi, dan be better.” Tentu ini lebih baik daripada sekadar lihat diri lalu bunuh diri; tapi itu hanya menumpuk letih lesu dan beban berat lebih banyak lagi. Misalnya Saudara sudah janji, “O, Tuhan, saya komitmen baca Alkitab setahun, satu hari 4 pasal mulai Januari”, lalu hari ini tanggal 16 April dan Saudara lihat sudah bolong baca Alkitab 2 bulan, maka Saudara menghakimi diri, “Ya sudahlah, memang lu ‘gak bisa kayaknya, gagal lagi, ‘kan, janji-janji kosong saja. Sudahlah, tahu dirilah, kita sama-sama tahu bahwa kita tidak akan pernah bisa achieve komitmen seperti orang-orang suci itu…”. Akhirnya kita dihakimi dan dihakimi oleh hati nurani. Kita jatuh lagi dan jatuh lagi, lalu kita berkata pada diri, kita tidak akan pernah bisa menang, kita akan selalu kalah. Tapi Alkitab bukan berkata ‘look into yourself, look into your heart’, melainkan, “Look unto Christ, look into His heart”, lihatlah kepada Yesus, lihatlah kepada hati-Nya. Dan ketika kita datang, kita mendapati Dia Juruselamqat yang lemah lembut dan rendah hati, yang deal gently dengan kita, yang tidak membuang kita, yang terus menerima kita dan menyambut kita.
Kalau Saudara tidak percaya, dan bilang, “Itu ‘kan perkataan-Nya, bagaimana dengan tindakan-Nya??” maka Saudara boleh komparasi dalam empat Injil bagaimana Yesus dalam tindakan-Nya, apakah Dia NATO (no action talk only), atau benar-benar konsisten dengan semua perkataan-Nya. Dalam hal ini kita akan melihat beberapa ayat. Matius 8:2, ‘Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.”’ Saudara, kira-kira Tuhan mau tidak? Jelas mau. Ayat 3, ‘Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.”’ Matius 9:35-36, ‘Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala’. Kalau Saudara lihat orang banyak, perasaannya apa? ‘Wah, macet ini, jauh-jauh deh’. Tapi Yesus ketika melihat orang banyak, Dia tergerak hati-Nya dan belas kasihan karena mereka lelah dan terlantar. Kecuali Saudara kerja di bagian marketing, lihat orang lelah bisa pikir ‘Wah, ini bagus, pangsa pasar buat obat kuat, buat minuman energi, ini banyak calon konsumer’. Tapi Yesus tidak lihat mereka sebagai objek, Yesus melihat mereka sebagai orang-orang yang lelah terlantar, dan tergeraklah hati-Nya. Yesus juga dicatat 2 kali menangis; dua-duanya menangis bukan untuk diri-Nya. Yang pertama, Yesus menangisi Yerusalem, ‘O, Yerusalem, Aku seperti induk ayam yang menantikan anak-anaknya’, tapi Yerusalem tidak mau bertobat. Yang kedua, Dia menangisi Lazarus yang mati dan dikelilingi orang-orang yang berduka, padahal beberapa menit kemudian Lazarus akan dibangkitkan, namun Yesus tetap tersentuh, Yesus tetap tergeerak, Yesus tetap menagis seperti orang-orang yang menangisi Lazarus. Dia menangis melihat fakta kematian, fakta dosa; Dia tidak suka hal tersebut.
“Tapi, Pak, Bapak kayaknya kurang seimbang, dari tadi ngomongin Yesus yang lemah lembut; Yesus ‘kan juga gahar, Yesus ‘kan juga adil, Yesus ‘kan juga bisa murka. Nanti kalau pembahasannya tidak balance begini, jadi bisa justification orang berbuat dosa seenaknya, lho Pak. Harus ngomongin dong, fakta Yesus marah, tentang murka-Nya!” Tentu Saudara. Dalam buku yang ditulis Dane Ortlund, judulnya “Gentle and Lowly”, dia sudah tahu orang kira-kira objection-nya akan ke mana, lalu dia memberikan beberapa hal untuk memperjelas; dan saya akan mengutip dua saja. Poin yang pertama, kita tentunya setuju –dan tidak perlu dibahas panjang lebar lagi– bahwa murka Allah dan sifat lemah lembut rendah hati Tuhan tidaklah bertabarakan, tidak bertentangan. ‘O, kalau Dia lagi murka, berarti Dia tidak lemah lembut; O, kalau Dia lemah lembut, berarti Dia tidak murka’ –bukan demikian. Keduanya ada sekaligus, atau tidak ada sekaligus; dan kita tahu, kelemahlembutan, kasih, rendah hati, itu juga mencakup murka terhadap dosa, seperti dikatakan tadi bahwa yang terus mengeraskan hati akan mendapat hukuman. Namun di sini saya lebih ingin membahas poin yang kedua; Ortlund bilang: kita harus mengikuti pola yang ditampilkan Alkitab; kalau Alkitab menampilkan pola yang proporsinya memang tidak seimbang, kita juga tampilkan proporsi yang tidak seimbang itu, karena itulah yang biblical. Dan kita memang lihat di dalam Alkitab tidak proporsional, Tuhan Yesus lebih banyak dicatat Dia memberikan belas kasihan, Dia mengasihi, Dia lemah lembut, Dia memberi kesempatan (kepada wanita berdosa yang hendak dilempari batu, Dia mengatakan ‘pergilah dengan damai sejahtera’ dan tidak dihukum), dibandingkan catatan-catatan Yesus murka. Tentu ada catatan-catatan Yesus murka, Dia menyucikan bait Allah, memutarbalikkan meja, mengatakan ‘celakalah engkau …’, Dia juga mengutuk orang-orang Farisi. Semua itu ada juga, tapi tidak proporsional, jauh lebih banyak tentang His grace and His mercy. Jadi, lebih baik kita juga ikutan tidak proporsional seperti Alkitab, dibandingkan seimbang secara dibuat-buat (dalam bahasa Inggrisnya dikatakan: “Better to be biblical improportionaltely than artificially balance”).
Kita memang melihat Yesus itu sering kali memutarbalikkan bukan hanya meja-meja, tapi konvensi-konvensi dan norma-norma sosial. Yang mereka lihat, kalau Saudara tahir maka Saudara jangan dekat-dekat dengan orang yang najis, karena kalau Saudara bersentuhan dengan mayat, atau orang kusta, atau wanita yang sakit pendarahan, Saudara akan ikutan najis. Itu sebabnya ada peraturan soal clean dan unclean; kalau lagi najis tidak boleh beribadah kepada Tuhan, tidak boleh dekat-dekat bait suci. Tapi yang kita lihat dalam Alkitab, setiap kali Yesus melihat orang-orang berdosa, yang Dia lakukan justru datang mendekat; sedangkan orang Yahudi mewajibkan orang kusta berteriak “najis! najis!” supaya orang-orang sekitarnya menjauh, jangan sampai terkena dan ikutan najis. Memang kita sekarang sepertinya sudah jarang bertemu orang kusta, tapi Saudara menjauh dari orang yang bagaimana? Mungkin padanan modern-nya sekarang ini yaitu orang-orang yang lidahnya tajam, yang toksik, yang kalau bertemu langsung bilang, “Bro, boleh pinjam lagi ‘gak?” Ini orang-orang yang bikin kita menjauh, karena kalau terkena, entah uang kita yang keluar atau hati kita yang keluar (makan hati). Kita tidak mau dekat-dekat dengan orang-orang ini, juga orang-orang yang catatan kriminalnya jelek, yang merugikan. Tapi Tuhan justru hati-Nya tergerak, datang, dan menyentuh mereka. Waktu Yesus menyentuh mererka, bukan Dia yang jadi najis, tapi yang kusta jadi tahir, si pemungut cukai seperti Zakheus justru bertobat, perempuan yang berzinah berjanji tidak berzinah lagi.
“Tapi itu ‘kan Yesus, Dia punya kuasa supernatural!”. Seorang teolog Jerman, Jürgen Moltmann, mengatakan: mujizat bukanlah interupsi terhadap natural order, tapi justru restorasi. Mujizat itu bukan interupsi tapi restorasi, karena apa? Karena kita sudah terbiasa hidup di dalam dunia yang tidak natural, dunia yang sudah jatuh; dan kita sudah menganggapnya lumrah, yaitu sakit penyakit, wabah, kusta, kematian, corruption, kejahatan, nepotisme. Itu semua kita sudah anggap biasa dan lumrah. Sebegitu terbiasanya kita, sampai kita sudah tidak percaya lagi slogan “Polisi mengayomi dan melindungi”; yang kita tahu, kalau diberhentikan polisi di jalan maka kita ajak damai, karena kita anggap lumrahnya demikian. Kita sudah sangat terbiasa dengan semua hal tesebut; sedangkan mujizat Yesus sebenarnya bukan sesuatu yang supernatural di dunia natural ini, tapi justru sesuatu yang natural di dunia yang sudah tidak natural, penuh kejahatan dan kejatuhan. Itu sebabnya kalau kita sudah sangat terbiasa di air comberan, kita tidak lagi merasa hitam karena sekitarnya sudah hitam. Lalu bagaimana kita bisa sadar kita ini orang berdosa, kita ini letih lesu dan berbeban berat? Pasti banyak dari kita yang berada dalam dosa dan rasa bersalah, tapi bagaimana dengan orang yang merasa fine-fine saja?? Kebanyakan dari kita selalu punya alasan ‘kita memang berdosa sih, tapi setidaknya tidak separah si A, si B’ –gua memang suami yang ‘gak sempurna sih, tapi setidaknya ‘gak seperti dia lho, yang main cewek, main judi; jadi dibanding dia, saya orang suci. Kita selalu bisa cari orang yang lebih hancur, lebih amoral dari kita, lalu bagaimana di tengah-tengah situasi demikian kita bisa menyadari kedalaman dosa kita?
Kitab Yesaya mencatat, Tuhan berdiam di dua tempat. Di mana Tuhan berdiam? Yesaya 57:15, “Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk.” Dikatakan di sini Tuhan bersemayam di dua tempat, yang pertama: di tempat yang tinggi dan kudus; dan orang-orang agama berusaha dengan moralitasnya, dengan ketekunannya, untuk mencapai Tuhan di surga –dan akhirnya mereka labour and heavy laden karena mereka tidak akan pernah bisa capai ke situ. Tuhan tahu orang-orang Farisi capek, dan Tuhan bilang, ‘kamu tidak akan bisa capai ke situ, maka lebih baik kamu sadar posisi’. Sadar posisi di mana? Di bawah. Karena kita tidak pernah sadar, maka Tuhan yang datang mencari kita, inkarnasi. Bersama siapa? Bersama orang-orang yang remuk dan rendah hati.
Siapa yang suka ya, kalau identitasnya ditulis “remuk dan berdosa, filthy sinner, najis”? Kita tidak suka dapat label demikian. Kita, orang Kristen sadar koq akan realitas dosa, tapi yang kita tidak sadar adalah ke-besar-an dari dosa, karena kita sering kali mengecilkannya, meremehkannya, menjustifikasi dosa-dosa kita dengan berkata, “No body’s perfect, semua orang juga berbuat salah, koq”. Memang itu betul, tapi kita musti membedakan dua hal; Martyn Lloyd-Jones pernah bilang, betul bahwa kita tidak pernah bisa sempurna, tapi kita musti sadar dua hal yang sangat berbeda: Saudara ke arah yang benar tapi jatuh bangun, atau ke arah yang betul-betul bertolak belakang, jalan yang salah, dengan alasan tidak ada yang perfect. Yang satu memang masih banyak jatuh bangun, tapi ke arah yang benar; sedangkan satunya lagi benar-benar arah yang salah. Dan, kita tidak akan pernah merasa diri pendosa besar, karena dosa itu by nature menyembunyikan diri, tidak suka menonjolkan diri; dosa itu sangat humble, tidak pernah berkata, “Saya ini pendosa besar!” Dosa, by nature membutakan, menyembunyikan diri sampai-sampai kita yang berdosa tidak sadar kita itu pendosa besar, kita selalu mencari oang yang dosanya lebih besar daripada kita. Alkitab sering kali mengatakan ini sebagai kebutaan. Sampai kapan? Sampai Yesus datang membuka mata kita, dan kita sadar kita harusnya putus asa (despair), kita tidak ada harapan, barulah kita datang kepada Yesus. Saudara tidak datang ke dokter bedah kalau Saudara cuma lecet, ‘kan?
Saya ini paling anti obat dan anti dokter; kalau saya demam atau pusing, dsb., saya akan diamkan sampai sembuh sendiri. Saya jarang banget makan obat, dan haram banget ke dokter, kecuali kalau terpaksa. Tapi waktu saya dulu di Singapur, setiap tahun saya cantengan jempolnya karena gunting kuku terlalu dalam, bernanah. Lalu saya google bagaimana mengoperasi cantengan ini; dikatakan: celupkan jempol di air panas, lalu gunting pelan-pelan, dst. Saya lalu ambil gunting kecil dan mulai operasi, tapi baru tersentuh sedikit saja sakitnya sampai ke ubun-ubun, jadi tidak bisa tidak harus ke klinik. Begitulah, saya tidak akan ke dokter, saya tidak akan ke rumah sakit, kecuali terpaksa, kecuali sakitnya sudah di ubun-ubun. Itulah gambaran kita, pendosa yang tidak mau datang ke Juruselamat, kecuali Saudara sudah putus asa, hancur lebur tidak ada harapan, baru datang ke Juruselamat, baru berkata, “Lord, have mercy upon me.” Tapi, kita punya default, kita punya factory setting, adalah tidak pernah despair, karena kita selalu rasa fine-fine aja. “Apa kabar, Pak Slamet?” “Baik, puji Tuhan.” Jarang sekali kalau sehari-hari ditanya apa kabar, lalu kita bilang, “I’m wretch! Saya ini pendosa yang harus dihukum ke neraka paling bawah!!” Kita tidak begitu, factory setting kita: “Fine-fine saja, dosa-dosa kecil itu wajar-wajar saja, biasa-biasa saja, yang ke neraka itu mereka, kami orang Reformed tidak”. C.S. Lewis bilang, “You have to die before you die, otherwise there is no more chance”. Kita harus mati sebelum kita mati, kita harus despair sebelum kita mati, karena setelah itu tidak ada kesempatan lagi. Kita harus merasa putus asa, merasa tidak ada jalan lain kecuali datang ke klinik Yesus. Tetapi rasa putus asa tersebut memang bukan tujuan akhir, rasa putus asa adalah komponen yang penting dalam pertumbuhan rohani supaya kita datang mencari Yesus, karena tanpa rasa putus asa, kita tidak akan pernah cari Yesus. Tentu saja kita bisa datang cari Yesus untuk pelengkap, untuk suplemen, tapi kita tidak akan cari Dia sebagai juruselamat. Itu sebabnya yang namanya despair penting; tapi bukan berarti kita harus tetap di situ. Despair hanya sebagai sarana untuk kita mencari Yesus, bukan kita menikmati despair atau senang dalam kondisi despair, menikmati pesta self-pity dan semua orang mengasihani saya.
Bukan cuma penting untuk menyadari kita despair, tapi juga langkah berikutnya, yaitu datang kepada Yesus. Kita memang kasihan kondisinya, tapi bukan kita pusatnya; pusatnya adalah datang kepada Yesus. Itu sebabnya dalam bagian terakhir saya ingin membahas satu kata ini, yaitu datang –karena tidak semua datang. Yohanes 6:37, “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang.” Datang kepada Yesus, kita tidak akan dibuang. Perhatikan di sini, “datang kepada-Ku”, bukan ‘datang ikut ajaran-Ku’, bukan ‘datang ikut gereja-Ku’. Kita bukan datang ke institusi, kita bukan datang ikut doktrin-doktrin. Ada bahaya, seperti satu buku yang ditulis Michael Horton judulnya “Christless Christianity” (Kristen tapi tanpa Kristus), dan jangan-jangan kita bisa ‘Reformed tanpa Kristus’. Kita bisa bahas teologi berjilid-jilid, tapi tidak datang kepada Yesus. Kita bisa membahas tentang Yesus, tapi tidak datang kepada Yesus. Karena apa? Karena sebagaimana banyak pasien takut datang ke dokter, demikian juga banyak pendosa yang takut ketemu Yesus. Lho, pendosa takut ketemu Yesus?? Bukankah Dia sahabat orang berdosa? Betul, harusnya demikian.
Harusnya kita tidak takut untuk datang; tapi kenapa waktu kita berrdosa, kita ini tidak datang kepada Yesus?? Kita justru menjauh dari Yesus? Karena kita termakan oleh kebohongan-kebohongan dunia ini, kebohongan yang mengatakan banyak alasan untuk tidak datang kepada Yesus –dan hati kita memang bisa memberi banyak alasan. “Tapi Pak, saya pendosa besar”; dan ayat ini berkata ‘ia –kamu– tidak akan Kubuang’. “Tapi saya sudah umur segini, Pak. Saya dari awal buang-buang waktu, berdosa besar, sembahyang-sembahyang ke ilah-ilah palsu, lau masakan di tahun-tahun terakhir saya baru sembah Yesus??”; dan Tuhan bilang ‘ia tidak akan Kubuang’. “Tapi saya orang yang keras hati, Pak; berulang-ulang pendeta datang, saya tutup pintu, saya tolak semua, masakan saya sekarang bisa datang kepada Yesus??”; Tuhan bilang ‘ia tidak akan Kubuang’. “Saya pernah menyangkal Tuhan Yesus; saya dulu lahir di keluarga Kristen, tapi saya hidup begajulan, saya hidup seks tidak beres, saya judi sini-sana, saya drugs sini-sana, masakan Yesus masih mau terima saya??”; Tuhan bilang ‘ia tidak akan Kubuang’. “Pak, saya kalau jadi orang Kristen, saya tidak ada talenta apa-apa, nothing to offer, tidak seperti dia yang suaranya bagus, tidak seperti mereka yang bisa ikut choir, yang bisa main musik; saya tidak akan kontribusi apapun, masakan Yesus mau pegawai kayak begini??”; Tuhan bilang ‘ia tidak akan Kubuang’.
“Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang”, semua alasan bisa dihentikan dengan satu ayat ini. John Calvin mengatakan, hati kita itu pabrik berhala, terus-menerus melahirkan berhala baru; sementara John Bunyan mengatakan, hati kita itu pembuat alasan. Saudara pernah coba ChatGPT? Misalnya, ‘berikan saya 10 alasan untuk saya memilih studi ini dan bukan studi itu, atau saya pergi ke negara ini dan bukan ke negara itu’, nanti ChatGPT akan memberikannya. Hati kita seperti demikian, kita bisa berikan alasan-alasan, puluhan bahkan ratusan, untuk tidak perlu datang kepada Tuhan Yesus, karena kita memang tidak mau datang kepada Tuhan Yesus, karena kita takut ditolak, takut dihakimi. John Bunyan seorang puritan yang secara intelektual tidak sehebat John Owen, Thomas Goodwin, atau yang lain; dia seorang pembuat panci, tapi kerohaniannya luar biasa. tulisan-tulisannya, seperti “Pilgrim’s Progress”, amat sangat membuat hati kita hangat oleh spiritualitasnya. Bunyan pernah membuat semacam percakapan imajiner dari seorang yang terus-menerus bikin alasan untuk datang, dan Tuhan meyakinkan dia; demikian:
“Tuhan, Engkau ‘gak ngerti, saya ini sudah kacau habis, saya ini dalam segala lini –kerohanian, finansial, keluarga– semua kacau!”
“Aku tahu.”
“Ya, tentu Kamu tahu lebih dari kebanyakan orang; tapi saya ada dosa-dosa terdalam yang saya tidak pernah share, pasangan hidup saya pun tidak tahu!”
“Itu pun Aku tahu.”
“Itu bukan cuma dulu, Tuhan, bukan cuma di belakang, tapi juga sekarang masih terjadi, saya masih bergumul dengan dosa ini, saya masih berkanjang dalam dosa ini, masakan Kamu mau terima saya??”
“Aku mengerti.”
“Saya ‘gak yakin bisa lepaskan dosa ini, kayaknya dosa ini akan terus nempel di saya. Saya sulit melepas dosa-dosa ini, saya sulit melepas mental yang ada di dalam pemikiran saya yang salah, yang keliru. Masalah dendam, saya masih sulit lepaskan; masa lalu, saya sulit lepaskan!”
“Justru jenis seperti itu yang harus datang kepada-Ku.”
“Aduh, Tuhan, bebannya berat; dan setiap tahun makin jadi tambah berat!”
“Biarkan Aku yang menanggungnya.”
“Ah! Itu telalu berat untuk ditanggung siapapun, bahkan Tuhan Yesus pun kayaknya tidak mau tanggung!”
“Tidak; Aku mau.”
“Masalahnya, Tuhan, dosa-dosaku itu bukan hanya kepada orang lain, dosa-dosaku juga kepada Engkau, aku benci Engkau! Aku tidak suka Engkau, aku sering mengejek, menjadikan nama-Mu sebagai makian, hujatan!”
“Karena itu, yang paling tepat untuk mengampunimu adalah Aku, karena engkau berdosa terhadap Aku, maka biarkan Aku yang datang mengampunimu.”
“O, tidak Tuhan, kalau Engkau datang masuk ke dalam hatiku, Engkau akan lihat semua kebusukan hatiku, dan Engkau akan muntah dan muak melihat aku lagi!”
“Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang. Case closed. Datang kepada-Ku; yang datang kepada-Ku, sebesar apapun dosamu, se-memuakkan apapun, tidak akan Kubuang.”
Kita sulit percaya gambaran tadi, karena kita melihat Yesus seperti teman kita. Waktu kita lagi susah, kita datang ke teman lalu mengutarakan masalah kita dsb.; bulan depan kita datang lagi dan masalahnya tetap sama, lalu teman kita mulai jengkel. Setelah 3 tahun kita datang terus dan masalahnya tidak selesai-selesai, akhirnya dia mulai mpet, mulai bosan, mulai tidak empati, dan kita juga mulai tahu diri, mulai merasa bersalah datang, sungkan untuk datang lagi dan lagi. Jadi kita melihat Yesus seperti teman kita yang baterenya sudah mulai kosong, dan kita anggap cengli-lah ya, memang orang kekuatannya terbatas. Tapi Yesus bukan teman kita yang kekuatannya terbatas (limited); Yesus itu limitless. Dari mana kita dapatkan gambaran itu? Dari Alkitab. Itu sebabnya kita tidak boleh membaca Yesus berdasarkan gambaran-gambaran cengli dunia, gambaran-gambaran kita tentang orang lain. Di hadapan Kristus, justru dosa dan kelemahan kitalah yang menjadi syarat kita boleh datang. Kamu bersalah lagi, kamu jatuh lagi, kamu dendam lagi, kamu bergumul lagi? Datang. Lagi dan lagi.
Ketika kita akhirnya datang pun, bukan tekad kita yang bikin kita stay, melainkan Dia. Seperti seorang anak di kolam renang, awal-awalnya dia yang pegang kita, tapi mulai makin dalam dan mulai dia agak kelelep, kita yang pegang dia. Sama juga, adakalanya kita sudah terhanyut dalam dosa, kita pikir kita sudah lenyap, baru kemudian kita sadar bahwa kita masih di gereja, kita masih ada orang-orang Kristen yang membesuk. Itu berarti Tuhan masih pegang kita; untuk apa? Untuk datang. Datang. Kenapa kita datang? Karena Dia lemah lembut dan rendah hati. Itulah Dia, dan Dia tidak bisa tidak lemah lembut, Dia tidak bisa tidak rendah hati. “Datanglah kepada-Ku”, dan ketika kita datang, kita datang ke kayu salib. Kita melihat apa di kayu salib? Kita melihat Juruselamat kita terbuang demi kita. Supaya apa? Supaya kita tidak dibuang. Dan, Dia bisa memberikan janji, “Datang kepada-Ku, yang datang kepada-Ku tidak akan dibuang”, karena Dia sudah pernah merasakan dibuang, Dia sudah pernah merasakan ditinggalkan oleh Allah Bapa; dan Dia mengambil semua itu supaya kita tidak dibuang.
Saudara yang bergumul dengan dosa di dalam hati Saudara, hari ini Saudara punya dua kesempatan. Yang pertama, datang kepada Tuhan, lagi dan lagi; atau yang kedua, Saudara membuang kesempatan itu dan terus membuat alasan. Tapi Yesus hari ini memberikan sesuatu yang mengingatkan kita untuk datang, karena Dia tidak akan membuang kita, dan karena Dia lemah lembut dan rendah hati.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading