Pertanyaan pertama:
Pak, tolong jelaskan dari mana asal dosa? Apakah si ular sudah ada sejak dari Taman Eden sejak kejatuhan malaikat; kronologisnya malaikat jatuh dulu atau ada Taman Eden dulu?
Jawaban/respons:
Ini jenis pertanyaan yang selalu muncul dalam Question and Answer; dan basically kalau Saudara mau short answer-nya, jawabannya adalah: mengenai asal-muasal dosa, Alkitab tidak memberitahu kita.
Ini bukan karena saya kurang belajar, Saudara; Ini adalah posisi standar, textbook, doktrin Reformed dalam urusan asal-muasal dosa. Kalau Saudara baca buku-buku theologi sistematika dari penulis-penulis Reformed, orang-orang yang membangun theologi mereka dengan kembali ke Alkitab dan bukan kembali ke spekulasi manusia, , maka mereka semua basically berposisi seperti itu, mereka akan mengatakan bahwa Alkitab silent dalam merespons pertanyaan asal-muasal dosa. Alkitab tentunya insist bahwa dosa bukan dari Tuhan. Jadi Alkitab tidak menjawab persisnya dosa dari mana, tapi Alkitab insist bahwa dosa bukan dari Tuhan.
Ada beberapa ayat untuk mendukung hal itu, misalnya 1 Yohanes 1:5 misalnya: Dan inilah berita yang telah kami dengar dari Dia, yang kami sampaikan kepada kamu: Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan. Juga misalnya dari Yakobus 1:13, Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: “Pencobaan ini datang dari Allah!” Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun. Jadi Allah bukan sumber/penyebab dari dosa kita. Lalu misalnya juga Amsal 8:13, Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan; aku (maksudnyaTuhan), benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat. Demikian contohnya ayat-ayat yang dipakai, dan ada masih banyak yang lain tapi kita tidak buka semua. Itulah ayat-ayat yang biasa dipakai untuk mendukung bahwa Alkitab sepertinya berposisi cukup jelas asal-muasal dosa itu bukan dari Tuhan. Jadi kalau kita tanya dosa itu dari mana, Alkitab tidak mengatakan. Dan dalam hal ini, perhaps kita perlu belajar bahwa inilah satu sisi dari spirit back to the Bible, sisi yang kita harus belajar, bahwa back to the Bible bukan cuma berarti kita akan mendapatkan jawaban-jawaban yang sesuai dengan Alkitab, back to the Bible juga berarti kita perlu membatasi pertanyaan-pertanyaan kita berdasarkan Alkitab.
Kita salah kaprah –ini salah kaprah yang somehow sangat wide spread dalam theology–kalaukita mengira theologi yang back to the Bible itu bisa, dan mau, menjawab segala jenis pertanyaan. Tidak demikian, Saudara. Sebenarnya theologi yang back to the Bible itu bukan theologi yang cuma akan menjawab sesuai dengan Alkitab, theologi yang back to the Bible adalah justru theologi yang berani membatasi dirinya sesuai dengan Alkitab juga. Theologi yang mencerminkan Alkitab berarti theologi yang harus berani menyetop dirinya di bagian-bagian di mana Alkitab juga berhenti. Ayat saktinya mengenai hal ini, ayat pamungkas dari banyak KTB-KTB –sebagaimana juga kelompok saya dulu waktu KTB di Melbourne selalu pakai ayat ini ketika kita sudah mentok– yaituUlangan 29:29, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini”. Jadi Alkitab sendiri menyatakan ada hal-hal yang tersembunyi; dan berarti hal-hal yang tersembunyi itu memang bukan bagian Saudara, itu hal-hal yang hanya bagi Tuhan. Inilah yang namanya back to the Bible, inilah yang namanya spirit kembali ke Alkitab. Bukan cuma tekun menggali apa yang Alkitab berikan saja, tapi juga tahu batasannya kapan berhenti menggali, yaitu ketika Alkitab memang tidak memberikan. Tetap ada hal-hal yang tersembunyi karena bagaimanapun kita bukan Tuhan. Pendeta Joshua Lie, seorang pendeta yang dulu pernah melayani di gerakan kita dan sekarang melayani di Canada pernah ditanya, waktu nanti kita sudah sampai ke langit dan bumi yang baru, kita sudah mendapatkan tubuh yang surgawi, apakah kita itu bisa mengetahui segala suatu dengan pasti; dan saya rasa beliau memberikan jawaban yang sangat tepat, dia mengatakan: “Tidak, di langit dan bumi yang baru pun pengetahuan kita tidak mungkin sesempurna Tuhan. Kita tidak mungkin akan mengetahui segala suatu sesempurna Tuhan mengetahui segala suatu.” Sudah pasti pengetahuan kita akan bertambah, Saudara, tapi bagaimanapun juga pengetahuan kita tidak mungkin akan sesempurna pengetahuan Tuhan akan segala suatu. Kenapa? Karena bagaimanapun juga kita itu ciptaan, dan Dia itu pencipta. Hal ini tidak akan hilang waktu nanti kita berada di langit dan bumi yang baru.
Satu hal yang kita perlu terima sebelum kita melanjutkan pertanyaan ini, yaitu kita harus sadar bahwa kembali ke Alkitab berarti ada batasannya. Kita harus membatasi diri, kita harus sadar Alkitab memang tidak memberitahukan jawaban; Alkitab memang tidak tertarik untuk membahas asal-musal dosa, maka berarti kita juga tidak perlu. Nah, sekarang kita ubah sedikit pertanyaannya, begini: kenapa Alkitab tidak membahas asal-musal dosa? Inilah pertanyaan yang kita mungkin bisa lebih responsif. Jadi bukan tanya asal-muasal dosa, tapi kenapa Alkitab tidak membahas asal-muasal dosa.
Saya rasa ada dua alasan yang saya bisa bahas di sini. Yang pertama, sudah pasti berdasarkan Ulangan 29:29 tadi, bahwa kalau Tuhan tidak memberikan, itu berarti karena kita tidak perlu, dan kita perlu beriman terhadap hal ini. Kita sudah pernah membaca ayat lain di 2 Petrus 1:3, dikatakan: Karena kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia. Jadi Allah telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk bisa leading a godly life, dengan demikian Saudara lihat, kalau Alkitab tidak bukakan, kalau Alkitab tidak anugerahkan pengetahuan akan sesuatu kepada kita, ya berarti kita tidak butuh itu untuk bisa punya hidup yang godly. Lalu kenapa kita merasa butuh itu? Ya, mungkin kita butuh karena kita sekadar curious, kita kepingin tahu. Sekarang saya tanya balik, waktu Saudara tanya mengenai asal-muasal dosa, kenapa Saudara kepingin tahu itu? Coba Saudara pikirkan. Apakah pengetahuan ini sangat penting, sampai-sampai kalau ada jawabannya maka somehow bisa mempengaruhi keselamatan Saudara di hadapan Tuhan? Apakah Saudara perlu tahu asal-muasal dosa supaya Saudara bisa lebih mengasihi orang lain? Apakah Saudara perlu tahu ini, karena ini membuat Saudara bisa ber-Gereja dengan lebih baik? Coba Saudara bersikap kritis dan tanya, kenapa kita perlu tahu hal tadi. Saya rasa kalau kita jujur dan kita waras, kita akan sadar bahwa ternyata sebenarnya pertanyaan asal-muasal dosa itu memang interesting tapi useless, tidak berguna, tidak ada perlunya kita tahu itu. Menarik memang, tapi tidak berguna; dan sayangnya memang inilah yang seringkali merebak dalam budaya dunia modern, hal-hal yang menarik tapi tidak guna. Saudara lihat, Paulus bilang apa; apakah dia bilang, “Hendaklah kata-katamu senantiasa benar”? Bukan. “Hendaklah kata-katamu menarik”? Tidak. Paulus mengatakan: “Hendaklah kata-katamu membangun, berguna” –hendaklah kata-katamu berguna membangun orang lain. Jadi sama juga dengan theologi kita, kita perlu mengenali bahwa ada hal-hal yang jadi pertanyaan-pertanyaan theologis yang menarik, tapi tidak berguna, maka kalau memang seperti itu, tidak perlulah kita tanya. Kita perlu sadar dan mengenali atraksi hal-hal seperti itu yang kita tidak perlu berikan telinga kita. Itu alasan yang pertama, bahwa tidak diberitahu karena memang tidak perlu.
Yang kedua, masih berhubungan dengan pertama; G.C. Berkouwer, seorang theolog Reformed cukup ternama, mengatakan: berusaha mencari-cari jawaban akan pertanyaan asal-muasal dosa, itu bukan cuma tidak berguna, bukan cuma tidak berdampak positif, tapi sesungguhnya malah cenderung membawa efek/dampak negatif; dan dia lalu mendaftarkan kalau orang bertanya asal-muasal dosa itu biasanya buat apa. Saya tidak bisa bahas ini, Saudara bisa cari artikelnya kalau mau; tapi Berkouwer mengatakan setiap usaha untuk menjelaskan asal-muasal dosa, itu ujungnya cenderung digunakan untuk jadi alasan, untuk jadi excuse bagi manusia berdosa. Oh, dosa itu dari malaikat jatuh –berarti ‘kan bukan salahku, paling tidak bukan salahku 100%. Oh, dosa itu dari Adam –berarti ‘kan bukan salahku, paling tidak bukan salahku 100%. Dulu Pak Billy pernah cerita, ada orang tanya begini: “Adam itu payah banget; kenapa Adam yang di taman; kalau Tuhan taruh saya yang di taman pasti kita tidak jatuh.” Lalu Pak Billy mengatakan: “Kalau lu yang di taman, lu jatuh lebih cepat.”
Kita sudah bahas kemarin dalam dua kali kebaktian waktu kita membahas doktrin dosa, mengenai bagaimana cara Alkitab membawa pengharapan lewat membicarakan dosa, kenapa membicarakan doktrin dosa dalam Alkitab itu membawa pengharapan, yaitu lewat kita dibawa oleh Alkitab mengkonfrontasi dosa, mengakui keberdosaan kita, bukan dengan mencari-cari kambing hitam. Bahkan kita sempat mengatakan, mungkin itu sebabnya Alkitab tidak memberitahu dengan jelas buah pohon pengetahuan itu buah apa atau mirip buah apa. Jadi kenapa? Karena kalau sampai kita diberitahu, jujurlah bahwa kecenderungan hati kita adalah kita bakal menjadikan buah itu buah hitam –maksudnya kambing hitam dan istilah kambing hitam tidak bakal ada dalam sejarah dunia, diganti dengan istilah buah hitam. Bahkan cerita kejatuhan itu pun sudah memberitahu kecenderungan hati manusia seperti ini: Hawa berdosa, dia menyalahkan ular; Adam berdosa, dia menyalahkan Hawa. Dan actually Adam bukan cuma menyalahkan Hawa, Adam sebenarnya secara implisit/terselubung sedang menyalahkan Tuhan –“Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku itu, Tuhan… “. Sekali lagi Saudara, kalau Saudara mau menghadapi dosa, kalau Saudara mau mendapatkan pengharapan di dalam Alkitab waktu membicarakan dosa, caranya bukan dengan shifting blame, caranya bukan dengan cari kambing hitam; caranya adalah dengan menghadapi fakta keberdosaan dalam diri kita.
Saya kemarin di NRETC sempat mengatakan, “Kalau Saudara mengidap penyakit, bagaimana caranya bisa ada kemungkinan sembuh, ada pengharapan sembuh?” Istri saya, Dorothy, seorang dokter. Waktu dia masih kuliah Kedokteran, saya pernah tidak sengaja lihat salah satu buku kedokteran mengenai kanker di mejanya. Saya kaget setengah mati karena cover buku itu gambarnya mengerikan semua, foto tubuh manusia yang rusak, hancur habis-habisan karena kanker. Ada satu gambar yang saya sampai sekarang tidak bisa lupa, gambar orang yang mukanya kayak hilang, Saudara, hilang dimakan kanker. Kayak ada kuping, ada rambut, tapi mukanya itu tidak ada, tidak ada mata, tidak ada mulut. Mukanya itu kayak kawah, kayak bekas kanker yang sudah dipotong keluar, cuma ada lubang buat dia nafas. Saya kaget, saya tanya ke istri saya, koq bisa sih orang sampai kayak begitu, kankernya sampai makan mukanya kayak begitu. Lalu istri saya jawab, itu buku kanker Indonesia, foto pasien kanker di Indonesia. Itu sebabnya banyak dokter-dokter bule kalau mereka mau belajar mengenai kanker, mereka perginya ke Indonesia, ke India, Saudara; kenapa? Karena di sini kasusnya parah-parah. Orang Indonesia kalau mengidap kanker, malu, jadi mereka tidak mau ke dokter. Kanker di kepala, mereka tutupi pakai topi kupluk; lalu sampai berkembang parah dan sudah tidak bisa ditutup, sudah bau, baru ke dokter –makanya fotonya ngeri-ngeri. Jadi Saudara lihat, simple saja, kalau Saudara ada penyakit, maka kemungkinan sembuh hanya ada ketika kita berani mengakui –mengakui kerusakan di tubuh kita. Saudara bayangkan, kalau orang mengidap kanker, lalu cuma bilang, “Saya kanker ditularin orang” –memang kanker tidak bisa menular, tapi Saudara tentu mengerti maksudnya–maka tidak ada harapan bagi orang kayak begini. Jadi kita perlu hati-hati, Saudara; Berkouwer mengatakan, coba kita jujur ya, untuk apa sih kita tahu hal-hal yang kita tidak dibukakan ini; dalam hal asal-muasal dosa, ada kemungkinan besar ya, karena hati manusia berdosa tidak sudi menerima keberdosaan diri kita, makanya kita ingin cari kambing hitam. Jadi mungkin itu sebabnya hal ini tidak perlu dibukakan, tidak berguna soalnya untuk kehidupan yang godly; tidak dibutuhkan, dan actually berbahaya. Tidak semua pengetahuan itu berguna. Kita bersyukur Tuhan kita itu bijaksana. Dia bijaksana, berarti Dia bukan cuma memberikan kepada kita apa yang kita butuhkan, tapi juga menahan dari kita apa yang kita tidak perlu –salah satunya adalah pertanyaan asal-muasal dosa yang kita tidak diberitahu jawabannya. Itu anugerah.
Pertanyaan kedua:
Saya tahu bahwa berbohong adalah hal yang berdosa. Tapi saya takut pada suami saya, karena saya sering dimarahi; dan karena saya takut dimarahi, saya berbohong. Bagaimana menurut Pak Jethro?
Jawaban/respons:
Respons saya yang pertama, saya rasa kita semua harus berhati-hati, jangan sampai terjebak kepada kecenderungan tadi, yaitu Saudara berdosa, berbohong, tapi lalu Saudara bisa jadi –meski tidak tentu– menyalahkan pihak lain. Kita perlu berhati-hati dengan kecenderungan kayak brgini. Saya berdosa karena saya takut, saya takut karena saya dimarahin suami. Jadi ya, memang saya yang berdosa, tapi 40%-nya gara-gara dia suka ngamuk gitu, loh. Hati-hati, Saudara, karena itu tidak leads ke mana-mana.
Respons yang berikutnya; saya memberi disclaimer dalam merespons hal ini, saya tidak bisa merespons kasus orang ini secara langsung, karena hidup itu kompleks, seberapa kemarahan si suami, kita tidak tahu, kenapa si suami sampai marah, kita juga tidak tahu. Bisa jadi karena orangnya memang pemarah, karena orangnya memang sumbu pendek. Bisa jadi karena istrinya memang ceroboh, memang ngeyel. Bisa jadi karena dua-duanya. Pendeta Heru pernah memberikan satu contoh dalam menghadapi pasangan. Si istri datang, nangis-nangis, cerita bahwa dia dipukul suami, suaminya kasar. Mendengar itu, kita panas, brengsek ya cowok itu, mau pakai tangan pukul wanita, kurang ajar setengah mati, dst. Lalu Pak Heru panggil suaminya untuk datang. Wajtu datang, suaminya cerita, “Iya, Pak, saya memang pukul dia waktu itu.” Pak Heru tanya, “Kenapa kamu pukul dia?” Jawab si suami: “Dia ludahin saya, Pak!” Langsung Pak Heru merasa walah, koq, kayak gini sih, mungkin gue juga layang tangan kalau begitu. Saudara tentu mengerti maksudnya, ya. Hidup itu kompleks.
Di sini saya tidak bilang bahwa kasus Saudara dengan suamimu seperti ini, saya no comment terhadap itu, ini justru disclaimer. Urusan seperti ini kompleks, penyebabnya bisa banyak; dan sejauh pengalaman saya menghadapi kasus pernikahan, hampir selalu kesalahan adalah dari dua belah pihak. Kami hampir tidak pernah menemukan. kesalahan cuma dari salah satu. Itu juga sebabnya sesi ini QR, bukan QA; dan QR ini tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan pastoral, Saudara perlu punya OSG (KTB). Saudara perlu punya lingkaran saudara-saudara seiman yang mencintai Tuhan, yang peka akan firman Tuhan, di mana Saudara bisa bercerita, bisa saling menggembalakan dan saling digembalakan. Kalau Saudara mau mengandalkan saya atau pendeta atau vikaris yang lain, tidak sempat, impossible menggembalakan 450 orang. Saudara perlu membudayakan KTB dan OSG tersebut.
Anyway, saya pengen merespons lebih lanjut itu dari segi pragmatis. Kalau Saudara takut dimarahi, apakah karena Saudara memang ada kesalahan? Kalau Saudara ada kesalahan, Saudara harus tahu jalan keluar dari kesalahan itu, bukan dengan berbohong, bukan dengan bikin cover up.
Saya pernah nonton satu TV series, judulnya “Homeland”, yang sudah lama selesai lama. Ceritanya, ada seorang bekas tentara Amerika yang secara rahasia berhasil di-convert jadi teroris, tapi dia pulang sebagai tentara; orang tidak tahu dia teroris. Dia lalu berencana untuk membom Amerika. Dia ini dikejar-kejar oleh satu agen CIA yang yakin sekali dia itu teroris, namun tidak bisa membuktikan karena memang orang ini jago bikin cover story untuk berbohong. Lalu setelah dua musim kucing-kucingan, akhirnya di musim yang ketiga kalau saya tidak salah ingat, orang ini sudah tertangkap, dan buktinya udah agak banyak, tapi memang belum benar-benar ada pengakuan yang blak-blakan bahwa dia itu teroris, jadi orang ini harus di-interogasi. Orang yang menginterrogasi adalah si agen CIA tadi, dan cara interogasinya lain, bukan dengan disiksa; cara interogasinya itu adalah dengan mengatakan, “Ayolah, ngaku sajalah, confess, karena mengaku itu jadi lega”. Agen CIA sendiri cerita, “Gue waktu dulu ada kebohongan, ada cover up kayak gini, setengah mati loh keeping up story-storynya, kebohongan-kebohongannya. Setengah mati! Waktu akhirnya mengaku, lega; memang sakit, tapi akhirnya lega.” Memang benar, kita juga lihat di papan-papan iklan di Jakarta soal pajak: “ungkap pajak, tebus, lega”. Dan akhirnya itulah yang efektif, akhirnya si teroris ini mengaku. Kenapa? Karena dia sudah 1-2 musim, atau bahkan 3 musim dalam TV series-nya menyembunyikan terorismenya itu, di mana dia harus bikin cover story. Saudara kalau bikin cover story, Saudara harus bikin cover story lain untuk meng-cover cover story yang pertama ‘kan. Lalu Saudara harus bikin dan bikin lagi; dan keeping up hal ini susah setengah mati, capek luar biasa. Ini kita ngomong pragmatis saja ya, kalau istri tanya, “Kamu di mana kemarin?” Lalu kita bohong, “Aku di tempat A, di mall A.” Besoknya Saudara bertemu orang lain yang tanya, “Dua hari yang lalu kamu di mana?” Waktu Saudara mau ngomong, Saudara baru sadar, dia ini temannya istri gue nih, kalau mereka tek-tokan, celaka gue, maka Saudara langsung bilang, “Saya di A, saya di mall A”, karena ingat kemarin cover story-nya di A. Bohong lagi, Saudara. Lalu besoknya lagi Saudara baru sadar, celaka, teman istri gue kemarin itu, punya teman yang adalah teman gue satu lagi, yang tahu kemarin gue tidak di A; kalau mereka sampai tek-tokan, gimana ceritanya?? Maka Saudara sekarang bukan menjawab dengan bikin cover story, Saudara harus approach duluan temen yang satu ini, Saudara harus ngomong: “Kalau seandainya teman itu tanya ke elu kapan gue ada waktu itu, lu harus jawab A, jangan jawab B”. Lalu teman yang ini tanya, “Kenapa gue harus kayak begitu, ya? Ada apa ini?” Lalu Saudara harus bikin cover story berikutnya lagi: “Jadi begini, orang itu, … “. Pusing ‘kan, Saudara. Pusing setengah mati, keeping up ini susah, lama-lama jadi sinetron. At the very least, mungkin keeping up hal ini sebegitu susahnya sampai mengganggu hati nurani kita, sampai akhirnya Saudara rasa perlu tanya di Kebaktian. Di sini saya tidak ngomongin dosa, Saudara, saya ngomongin pragmatis saja. Saudara jangan pikir kebohongan itu jalan keluar. Kebohongan itu kelihatan seperti pintu darurat yang selalu tersedia untuk kabur, tapi Saudara tidak tahu waktu Saudara buka, itu ujungnya ke mana –dan Saudara tidak harus jadi orang Kristen untuk bisa mengamini hal ini.
Pada dasarnya, di dalam pernikahan memang selalu timbal balik, maksudnya dua pihak, mau tidak mau, namun healing dalam suatu pernikahan bisa dimulai dari salah satu, tidak harus dua-duanya. Dan, saya rasa salah satunya adalah kejujuran; itulah healing dalam suatu pernikahan. Saudara kalau tidak jujur pada orang, Saudara sedang memenjarakan dia sebenarnya; Saudara sedang memutus dia dari kebenaran, dari realitas. Salah satunya mungkin ini: misalkan orangtua kita yang sudah uzur tiba-tiba di-diagnosa penyakit yang mengerikan; dokter memanggil kita sebagai keluarganya dan memberitahu kondisinya, lalu kita bingung , takut orangtua kita tambah sedih, akhirnya kita tanggung sendiri saja, tidak memberitahu orangtua kita. Di situ kita mungkin mau playing superhero, namun ini tindakan yang saya rasa tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena kalau Saudara menahan seperti ini, Saudara memutus orang tersebut dari kebenaran; dan ada hak apa Saudara memutuskan seperti itu?? Seandainya Saudara jadi orangnya, Saudara tentu ingin tahu apa yang terjadi dengan tubuhmu sebenarnya. Dalam hal ini, saya rasa justru itulah salah satu fungsi kita dalam Gereja, yaitu kita bukan cuma disuruh untuk saling menghibur, bukan cuma disuruh untuk saling menguatkan, tapi juga saling menegur, karena Gereja harusnya jadi tempat di mana kebenaran bertakhta, di mana orang tidak dijaga dari realita, di mana orang tidak di-keep dari kebenaran.
Itu sebabnya saya tidak pernah takut mengkhotbahkan kepada Saudara bagian-bagian Alkitab yang seperti bisa membuat orang undur iman dan segala macam kebingungan-kebingungan, karena saya rasa hal tersebut justru perlu untuk Saudara tahu, Saudara berhak untuk mendapatkan gambaran yang seakurat mungkin terhadap firman yang kita percaya sebagai firman Tuhan. Dan, kita akan coba bersama-sama bergumul, untuk kita bisa melihat ini tetap sebagai kebenaran. Gereja yang berusaha menutup-menutupi, Gereja yang berusaha skip bagian-bagian yang sulit, saya rasa adalah Gereja yang tidak bertanggung jawab, dan itu bukan Gereja karena kebenaran tidak bertakhta dalam Gereja tersebut.
Kembali ke pertanyaan tadi, saya tidak bisa mengkomentari kasus Saudara secara persis karena saya tidak tahu juga, tetapi Saudara bisa mencari orang-orang Kristen yang sama-sama cinta Tuhan dan coba membicarakan kasusnya seobjektif mungkin. Karena Saudara seorang wanita, Saudara boleh consider datang ke Persekutuan Wanita (PW). Di PW kita ada komunitas yang cukup kuat, ada OSG-nya. Saudara bisa masuk ke sana, bicarakan, minta pendapat orang-orang lain. Doakan hal ini bersama-sama, dan kiranya anugerah Tuhan boleh masuk ke dalam kehidupan keluarga Saudara. Namun hal-hal seperti ini tidak bisa instan. Dan, hal-hal seperti ini tidak akan resolve dengan cara Saudara melakukan kebohongan, menambah kebohongan, tambah lama tambah banyak.
Pertanyaan ketiga:
Apakah bosan itu dosa? Atau akibat dosa? Apakah sebelum kejatuhan manusia tidak ada rasa bosan?
Jawaban/respons:
Ini pertanyaan saya belum pernah dapatkan. Interesting, ya; saya belum pernah dengar sebelumnya ada orang yang mengatakan kebosanan itu dosa. Saya bisa meresponnya begini: secara logika harusnya tidak. Contoh paling gampang, misalnya Saudara suruh antri bikin paspor, lalu Saudara bosan rasanya menunggu giliran; itu sudah pasti bukan dosa kayaknya. Saya, dalam proses bayi tabung kami, menunggu dokternya itu gila-gilaan, bisa jadi disuruh datang jam sekian lalu ketemunya baru tiga jam kemudian. Tiga jam menunggu, itu pasti bosanlah, tapi saya cukup yakin itu bukan dosa. Jadi, secara logika kayaknya bosan bukan dosa.
Secara biblika, mungkin yang paling deket nyerempetnya adalah konsep idle hands, tangan yang kosong, tangan yang nganggur, sebagai kesempatan bagi iblis untuk bekerja. Itu konsep yang ada akar Alkitabnya, karena misalnya kita baca di Amsal 16:27, dikatakan: Orang yang tidak berguna —orang yang tangannya itu nganggur– menggali lobang kejahatan, dan pada bibirnya seolah-olah ada api yang menghanguskan. Tidak berguna ‘kan berarti tidak menggali, ya; tapi orang yang tidak berguna itu malah menggali. Menggali apa? Menggali lobang kejahatan. Jadi itu ayat yang seringkali diambil sebagai akar dari konsep idle hands sebagai the devil’s playground; demikian biasa dikatakan orang.
Hal ini juga ada di dalam Perjanjian Baru, misalnya di 2 Tesalonika 3:11 dikatakan: Kami katakan ini karena kami dengar, bahwa ada orang yang tidak tertib hidupnya (undisciplined) dan tidak bekerja, melainkan sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna. Kalimat dalam bahasa Inggrisnya lebih ikonik: “not busy melainkan menjadi busy bodies” –tidak sibuk tapi jadinya tukang kepo. Lalu ada juga di 1 Timotius 5:13 — jadi kayaknya Paulus menghadapi ini bukan hanya di satu tempat– dikatakan: Lagipula dengan keluar masuk rumah orang, mereka membiasakan diri bermalas-malas dan bukan hanya bermalas-malas saja, tetapi juga meleter dan mencampuri soal orang lain dan mengatakan hal-hal yang tidak pantas. Ini terjemahan lama, meleter dalam terjemahan baru diganti; kalimatnya seperti ini: Lagipula dengan keluar masuk rumah orang, mereka membiasakan diri bermalas-malas dan bukan hanya bermalas-malas saja, tapi juga suka bergunjing dan mencampuri urusan orang lain dan mengatakan hal-hal yang tidak pantas —jadi kira-kira maksudnya gossiping, kepo-ing. Jadi sepertinya yang spesifik diserang di Alkitab adalah orang-orang yang nganggur sedangkan harusnya mereka bekerja, orang-orang yang idle hands. Jadi saya tidak rasa ada biblical basis untuk mengatakan rasa bosan itu dosa; jadi sepertinya dari segi logika maupun dari segi Alkitab, tidak dosa.
Namun ada bagian yang saya rasa lebih menarik dalam merespons hal ini, yaitu saya rasa yang justru lebih problematik dalam zaman kita bukanlah kebosanan, melainkan apa yang kita lakukan untuk mengatasi kebosanan. Banyak gereja-gereja mengadakan seminar seperti misalnya “Overcoming Boredom”, seakan-akan boredom itu satu hal yang dosa atau segala macam, seakan-akan boredom itu sesuatu yang sangat-sangat harus tidak boleh ada dalam hidup Kristen. Saya rasa, problem sebenarnya bukan boredom, problemnya justru distraction yang kita senantiasa pakai untuk mengisi hidup kita supaya kita tidak bosan. Itu yang saya rasa lebih berbahaya, lebih problematik; yaitu distraction, diversion, yang kita suka pakai supaya kita tidak bosan. Mungkin tema yang kita sebagai orang modern sangat butuhkan, bukanlah overcoming boredom melainkan overcoming distraction.
Kalau Saudara punya mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar, saya rasa cukup jelas problem zaman kita adalah bahwa zaman kita justru overloaded; dengan apa? Dengan distraction. Zaman dulu bumi itu jauh lebih tenang, jauh lebih sunyi. Dan, Saudara tahu bahwa dalam momen kesunyian, kesunyian itu membebaskan, karena kesunyian itu membebaskan orang untuk bisa baca buku, untuk bisa menulis buku, untuk bisa berpikir misalnya. Sedangkan hari ini, kita mau isi bensin saja, kita tidak bisa menghindari perusahaan somewhere itu yang mau mencuri perhatian kita, mau distracting kita, entah itu dengan iklan dari gambar, atau sales-sales yang annoying banget dengan tawarannya untuk wax, untuk dilap kacanya, dsb., padahal saya cuma mau isi bensin 100 ribu yang harusnya cepat banget. Atau kalau Saudara naik lift, zaman sekarang jarang ada lift yang dindingnya kosong, selalu ada iklan, entah iklan Netflix atau segala macam lainnya. Zaman kita itu penuh dengan itu. Yang lebih parah, bukan cuma kita dibombardir dengan distraction-distraction seperti itu, kita juga secara aktif senantiasa mencari distraction-distraction ini. Hari ini semua orang bawa di kantong mereka masing-masing alat yang menjanjikan aliran yang tidak pernah berhenti itu, aliran konten baru yang tidak pernah habis. Zaman sekarang ini kita selalu bisa mencari novelty, hal yang baru itu cepat sekali datangnya. Saudara tinggal buka feed sosmed Saudara, selalu ada yang baru, selalu ada yang lebih baru, selalu ada yang lebih bagus, ada yang lebih seru, ada yang lebih cantik, ada yang lebih keren, ada friend baru, ada follower baru. Bahkan salah satu fenomena yang sangat menarik dalam zaman modern ini yaitu bukan cuma membuka sosmed untuk mencari apa yang lebih baru dalam arti orang cantik yang baru atau gambar mobil keren yang baru atau semacam itu, kita bahkan mencari kemarahan-kemarahan baru lewat sosmed. Inilah hobi zaman modern, kita buka sosmed untuk marah, kita buka sosmed to be offended. Ayo kita mengakulah akan hal ini, bahwa kita itu menikmati ketika bisa mengenali sesuatu sebagai menjijikan, sepertinya ada rasa kepuasannya. Waktu Saudara buka sosmed, lalu Saudara bisa terkejut terhadap kekonyolan terbaru, yang benar aja nih orang gitu ya, mengatakan di mulut kita seakan-akan tidak percaya ada manusia bisa segitu hancurnya, and yet secara deep inside kita sedang mengatakan secara rahasia, “more, more, give me more… “. Kita menanti-nantikan kehancuran-kehancuran seperti itu, karena kita menikmatinya, bahkan kita share lagi ke orang lain, supaya mereka juga boleh ter-distract dengan kemarahan-kemarahan yang membawa kenikmatan ini.
Kembali ke pertanyaan tadi, Saudara rasa ada problem dengan kebosanan? Saya rasa tidak, Saudara; saya rasa justru problemnya terbalik Saudara, yaitu hal-hal yang kita senantiasa pakai untuk mengatasi kebosanan —distraction itu– yang saya rasa jelas dosa. Kenapa? Karena distraction-distraction seperti ini ujungnya membuat dirimu menjadi kerdil, petty, yang diurusi adalah hal-hal yang tidak penting seperti kemarahan-kemarahan yang tidak berguna itu, hal-hal yang kita mengatakan interesting tapi tidak membangun. Itulah yang exactly Paulus serang, yaitu not busy tapi jadi busy bodies. Kerjanya ngapain? Bergunjing, mengatakan hal-hal yang tidak perlu, ngegosip, kepo, dan sebagainya. Itulah yang Alkitab larang dengan jelas, yang jelas-jelas Alkitab sebut dengan dosa.
Kalau Saudara mau tahu yang mana yang dosa, maka distraction-distraction yang seringkali kita pakai untuk mengatasi kebosanan itulah yang dosa, bukan kebosanannya. Itu sebabnya kalau Saudara mau mengatasi distraction –sekarang tema kita berubah, kita bukan mau overcoming boredom melainkan overcoming distraction— bagaimana caranya? Maybe jalan keluarnya adalah: belajar bosan. Mungkin kebosanan, di zaman modern ini, bisa menjadi salah satu karakter kehidupan yang kristiani.
Blaise Pascal, seorang ilmuwan tapi juga seorang theolog (filsuf), bisa membantu kita menerangkan hal ini, karena —believe it or not— Pascal di abad ke-17 sudah membahas mengenai boredom dan juga distraction dan diversion. Jadi sepertinya boredom (kebosanan) dan juga distraction-distraction tidak cuma something yang ada di zaman sekarang, tapi bahkan di zaman Pascal pun sudah ada. Pascal pertama-tama mulai dengan mencoba mendefinisikan boredom; Pascal mengatakan, boredom adalah ketika manusia tidak punya distraction, manusia tidak punya diversion. Pascal mengatakan, secara alami manusia akan bosan ketika manusia tidak bisa ngapa-ngapain, ketika tidak ada yang bisa men-distract dia, ketika tidak ada yang dia bisa lakukan. Jadi, kebosanan bagi Pascal adalah sesuatu yang natural, sesuatu yang terjadi otomatis ketika tidak ada yang men-distract kita. Pascal mengatakan, kenapa bisa sampai kayak begini, kenapa manusia tidak bisa hidup dalam ketenangan dengan diri mereka sendiri, kenapa ketika mereka tidak ada hal yang lain lalu cuma berhadapan dengan diri mereka sendiri maka mereka tidak bisa beristirahat dalam situasi seperti itu, yaitu karena manusia adalah manusia berdosa, dan manusia berdosa merasa hidupnya kosong. Manusia berdosa tahu hidupnya kosong, manusia berdosa itu tahu hidupnya itu tidak ada maknanya, maka mereka benci dengan rasa bosan karena rasa bosan senantiasa adalah fenomena bahwa saya itu hidupnya tidak ada apa-apanya, dan manusia tidak mau menghadapi perasaan itu. Itu sebabnya manusia berusaha mencari diversion, distraction, supaya mereka tidak perlu menghadapi realitas diri atau hidup mereka yang kosong dan meaningless tanpa Tuhan. Itulah kata-kata Pascal. Masalahnya, Pascal melanjutkan, diversion dan distraction tersebut tidak really works; oleh karena itu manusia senantiasa menemukan diri mereka terus-menerus balik dan balik lagi kepada hidup mereka yang kosong, dan itu yang menyebabkan mereka senantiasa berusaha mencari distraction dan diversion yang lain lagi. Inilah rasa bosan.
Omong-omong, inilah sebabnya kita belajar pemikiran-pemikiran orang-orang besar pada zaman dulu, karena pemikiran-pemikiran yang agung itu bertahan, relevan di zaman kita sekarang. Saudara kaget dengar Pascal mengatakan kayak begini, kita merasa ini jauh lebih illuminating dibandingkan banyak orang zaman sekarang mengatakan mengenai kondisi zaman sekarang. Jadi, kalau Saudara bosan, Saudara boleh membaca tulisan-tulisan mereka, atau at least baca tulisan mengenai mereka. Itu salah satu caranya mengatasi kebosanan dengan lebih positif.
James Smith, seorang filsuf zaman sekarang, lalu melanjutkan. Berdasarkan tulisan Pascal tersebut, dia mengatakan, “Hai Orangtua-orangtua modern, didiklah anakmu untuk bosan”. Jadi Saudara harus belajar membiasakan dari kecil anak-anakmu, untuk bosan. Kenapa? Pascal mengatakan, karena di dalam masa bosan, kita cuma ada diri kita sendiri, kita menghadapi realitas bahwa hidup kita kosong; maka waktu orang bosan, itulah masa di mana orang mulai bertanya pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai kehidupan, pertanyaan-pertanyaan yang paling penting mengenai kehidupan. Waktu bosan, orang mulai bertanya, kenapa hidupku terasa kosong? Kenapa hidupku seperti meaningless? Dari situ, lalu mulai beralih ke pertanyaan, untuk apa aku ada di sini? Lalu mulai beralih ke pertanyaan, apa tujuan hidup manusia? Saudara, pertanyaan-pertanyaan itu muncul dari mana? Dari rasa bosan. Pertanyaan Katekismus Westminster yang pertama, “apa tujuan hidup manusia?”, dan jawabannya “menikmati dan memuliakan Tuhan”, itu tidak akan keluar jika tidak ada kebosanan.
Saudara bayangkan kenapa James Smith mengatakan “orangtua-orangtua modern, didiklah anakmu untuk bosan”? Saudara bayangkan, anak yang dari kecil tidak pernah terbiasa untuk bertanya pertanyaan-pertanyaan seperti ini dalam hidupnya, dia akan jadi anak kayak apa? Ya, itulah anak modern yang kita lihat hari ini berkeliaran di mana-mana, yang tidak bisa berpikir lebih jauh dari layar HP-nya. Inilah yang Pascal katakan, bahwa kita, manusia, sesungguhnya tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan besar ini, karena kita merasa tidak punya jawabannya –kalau kita tidak dalam Tuhan. Itu sebabnya manusia berusaha untuk memenuhi hidup mereka dengan distraction.
Kalau Saudara mau mengalahkan distraction, Saudara harus belajar embracing boredom, merangkul rasa bosan, bukan overcoming boredom –mulai belajar hidup bosan. Ketika Saudara belajar untuk berdamai dengan kebosanan, belajar merangkul kebosanan, maka barulah kita mulai bisa disapih dari distraction-distraction dalam hidup kita, dan dengan demikian kita baru mulai membuka diri kita. Waktu kita distracting diri kita, ujungnya apa? Menjadi kerdil. Orang yang bosan, barulah dia mulai bisa membuka hidupnya terhadap suara dari luar, suara dari orang lain. Bukan kerdil, bukan cuma membicarakan orang lain, tapi mendengarkan orang lain bicara. Itu tidak bisa terjadi kalau orang itu hidupnya di-distract terus. Jadi Saudara lihat, ini juga bahkan persyaratan untuk seseorang bisa membuka dirinya kepada Tuhan.
Lewat kebosanan, lewat merangkul kebosanan, orang baru belajar untuk membuka diri kita terhadap karya anugerah Tuhan dalam hidup kita. Contoh konkretnya yaitu Paul Schrader, seorang pembuat film yang gaya filmnya unik, gaya film yang namanya slow cinema. Kalau Saudara nonton slow cinema, Saudara sebagai orang modern pasti merasa bosan. Tapi Paul Schrader punya poinnya; dia mengatakan satu kalimat yang bagus: “People don’t leave church because they’re bored. They go to church to be bored.” Ini kalimat provokatif, ya. Maksudnya apa, Saudara? Maksudnya, orang bukan karena bosan maka meninggalkan gereja; orang datang ke gereja untuk bosan –dalam arti untuk belajar bosan. Dan yang Schrader maksudkan dalam kata boredom, itu lebih ke arah stillness, ketenangan, suatu suasana quiet yang dibutuhkan untuk seseorang bisa merenung. Orang perlu ketenangan untuk bisa merenung. Orang perlu waktu teduh untuk bisa merenung. Saudara tahu, merenung itu dibutuhkan untuk bisa ada reverence, sikap hormat; dan sikap hormat itu dibutuhkan kalau Saudara mau mendengar. Dengan demikian, kita datang ke gereja memang untuk bosan, karena tanpa itu kita tidak bisa mendengar. Schrader pakai kata tersebut, karena dalam mata zaman kita yang overloaded dengan distraction sana-sini, ketenangan macam itu rasanya bakal jadi kayak kebosanan. Ini kalimat provokatif, Saudara jangan salah mengerti. Inilah exactly sebabnya kita perlu belajar bosan.
Kenapa Gereja tidak terlalu tertarik untuk memberikan Saudara entertainment? Setidaknya karena ini Gereja yang masih bertanggung jawab, Gereja tidak takut untuk membosankan jemaat-jemaatnya. Saya rasa, itulah Gereja yang sejati, karena kebosanan bagi orang-orang modern seperti kita ini, bukan dosa, tapi mungkin sesuatu hal yang kita perlu minta dari Tuhan, supaya kita bisa belajar mendengar Dia dalam kehidupan kita.
Pertanyaan keempat:
Dengan berkembangnya teknologi telah diciptakan teleskop, James Webb Space Telescope (JWST), yang sangat canggih bisa melihat objek berjuta-juta tahun cahaya jauhnya [bukan cuma berjuta-juta tahun cahaya, tapi bilyunan tahun cahaya]. Dengan demikian probabilitas ditemukannya kehidupan lain menjadi tidak nol. Jika kemudian ditemukan kehidupan lain, bagaimana respons iman sebagai umat Kristiani?
Jawaban/respons:
Actually saya juga seorang astronomy enthusiast, meskipun saya tidak pakar-pakar banget, tidak seperti misalnya Pendeta Ivan Raharjo yang sampai punya teleskop berbagai macam. By the way, teleskop JWST sebenarnya bukan teleskop yang diluncurkan untuk urusan discovery of alien life; James Webb Space Telescope adalah teleskop yang dipakai untuk menerawang ke masa-masa awal Big Bang. James Webb itu melihat dalam spektrum infrared, sehingga dia bisa lebih jauh melihat apa yang terjadi dalam masa lalu. Saudara tahu, waktu kita menerawang ke luar angkasa, kita sebenarnya melihat gambar masa lalu yang baru sampai ke kita sekarang. Jadi gambar yang sampai ke kita sekarang, misalnya kita lihat bintang yang jauh banget, ternyata itu baru sampai ke kita setelah 13 juta bilyun tahun. Itulah namanya gambar masa lalu. Jadi dengan menerawang semakin jauh, semakin Saudara nge-zoom paling jauh, Saudara semakin bisa melihat gambar dari masa lalu alam semesta. Itulah tujuan diluncurkannya teleskop James Webb Space Telescope. Tujuannya bukan untuk mencari alien life; kalau untuk itu, ada apa teleskop-teleskop yang lain, misalnya yang disebut night sky survey telescope. Teleskop yang ini lebih wide melihatnya, lalu mereka mencoba untuk mendeteksi dari bintang-bintang yang kelihatan itu, apakah ada bintang-bintang yang seperti ketutupan oleh suatu konstruksi tertentu. Lalu kalau misalnya ada bintang yang ketutupan oleh konstruksi tertentu, misalnya pembangkit listrik dari masyarakat alien yang advance, itu akan terdeteksi; dan harapannya dengan mereka bisa menemukan alien life. Jadi JWST sebenarnya bukan terutama untuk tujuan itu.
Anyway penjelasan tadi cuma hal teknikal saja; pertanyaan adalah kalau misalnya ditemukan alien life (kehidupan lain di planet lain), bagaimana respons iman sebagai umat Kristiani. Dalam hal ini saya tidak terlalu lihat ada problem, karena meskipun dalam Alkitab bercerita mengenai penciptaan sepertinya memang localized di bumi ini, Alkitab juga tidak pernah mengatakan secara eksplisit bahwa tidak ada kehidupan lain di tempat-tempat yang lain. Kita tidak tahu hal itu, kita tidak pernah mendapatkan tentang hal itu; hal tersebut merupakan sesuatu yang Alkitab –sekali lagi– silent, sama seperti asal-muasal dosa. Alkitab tidak pernah concern soal mengetahui apakah di tempat lain ada bumi lain selain kita, atau Tuhan pernah menciptakan something yang lain, atau misalnya bahkan dalam universe yang lain Tuhan pernah menciptakan. Kita tidak tahu hal itu; dan bisa jadi sampai di langit dan bumi yang baru pun kita tidak akan tahu. Konklusinya, ketika Alkitab silent dalam hal ini, maka berarti kita tidak perlu tahu, dan berarti bagi iman kita hal ini tidak terlalu ngaruh; dan saya rasa itu benar.
Anggaplah Saudara di planet bumi, dan Saudara percaya bahwa kehidupan di planet bumi diciptakan oleh Tuhan. Lalu waktu Saudara melihat misalnya di Mars ada kehidupan, ada air, dan segala macam kehidupan, so what? Itu ‘kan tetap ciptaan Tuhan, karena Allah menciptakan segala sesuatu, bahkan yang lebih jauh lagi yaitu Pluto, yang lebih jauh lagi yaitu bintang Alpha Centauri, dan yang paling jauh pun semua juga ciptaan Tuhan. Jadi apapun yang Saudara temukan dalam alam semesta ini, kita akan masukkan dalam rubrik ciptaan Tuhan.
Lalu kalau kita menemukan alien life, dalam arti makhluk-makhluk luar angkasa yang intelligent, yang punya pribadi, itu jadi pertanyaannya lebih lanjut. Pertanyaannya misalnya: apakah mereka jatuh dalam dosa seperti kita, apakah mereka diselamatkan seperti kita. Kita juga bisa bertanya-tanya seperti itu, namun sekali lagi saya rasa memang kita tidak perlu tahu akan hal ini dari Alkitb, karena yang Alkitab berikan memang adalah untuk kita punya hidup yang godly life. Di luar itu, adalah urusan Tuhan. Saudara memang bukan tanya hal tersebut sih dalam pertanyaan tadi, Saudara tanya mengenai respons iman kita, tapi basically saya ingin mengajak kita untuk menyadari bahwa hal-hal yang Alkitab tidak beritahukan itu, maybe memang bukan suatu hal yang perlu dipusingin terlalu gimana juga. Dan, anyway kalau Saudara bilang sekarang diciptakan teleskop yang sangat canggih, semakin jauh melihat, sehingga probabilitas ditemukannya kehidupan lain jadi tidak nol, saya koq malah terbalik melihatnya. Saya malah melihatnya begini: kita ini di bumi, lalu dulu kita cuma bisa melihat sejauh sekian, dan kita tidak lihat ada alien; lalu belakangan semakin jauh kita bisa melihat, dan tetap tidak menemukan alien; belakangan lagi semakin jauh kita bisa melihat, dan tetap tidak menemukan alien; maka saya rasa itu berarti bukan probabilitasnya bertambah tapi malah berkurang. Logisnya begitu toh.
Saudara harus tahu bahwa sains itu tidak netral, ya. Tentunya penggalian datanya sendiri merupakan sesuatu yang orang Kristen pun bisa salah baca, orang ateis juga bisa salah baca, orang Kristen bisa menghasilkan data yang baik, orang ateis juga bisa menghasilkan data yang baik; namun penafsiran data adalah sesuatu yang subjektif. Penafsiran dari data yang ada dalam alam semesta ini, kita filter melalui worldview sosial kita. Bagi beberapa ilmuwan yang tidak percaya Tuhan, yang ateis, yang naturalistik, sangat sulit untuk menerima bahwa dalam alam semesta yang begitu luas, yang begitu resourceful itu, tidak ada kehidupan seperti di bumi. Itu simply sesuatu yang aneh sekali buat mereka, karena worldview mereka adalah worldview naturalistik, yang Saudara lihat ya yang Saudara lihat itu, what you see is what you get, basically; tapi bagi kita yang tidak seperti itu, bagi kita yang punya worldview yang lain, tentu kita tidak terlalu merasa itu aneh sehingga kita juga tidak merasa harus demikian. Saudara jadi bisa mengerti sekarang kenapa dari segi ilmuwan-ilmuwan yang sekuler, mereka sangat ingin mencari itu, mereka seperti sedikit-sedikit langsung mengatakannya itu alien life, padahal sebenarnya juga tidak.
Saudara perlu hati-hati dengan clickbait; banyak sekali artikel-artikel sains itu diputar, di-spin. Misalnya Saudara melihat headline artikel yang mengatakan, ditemukan tanda-tanda kehidupan alien life di planet ini, dsb.; tapi waktu Saudara buka, Saudara baca secara detail, ternyata tidak seheboh headline-nya. Yang seperti itu ‘kan biasa; clickbait zaman sekarang kayak begitu. Bahkan para ilmuwan sendiri pun, yang mungkin juga ateis, waktu dikutip pun, mereka tidak segitu antusiasnya; mereka mengatakan, “Ya ini cuma satu data dari data-data yang banyak, kita tidak tahu persisnya berarti apa, apakah bisa mengindikasikan alien life? Bisa iya, bisa juga tidak.” Jadi mereka sendiri juga bisa netral, karena ilmuwan memang dilatih berpikir secara objektif seperti ini. Hanya saja, begitu ini masuk ke dalam berita, ke dalam media zaman sekarang –yang sekali lagi inginnya men-distract orang– jadi lain bentuknya, maka Saudara perlu hati-hati dalam hal tersebut.
Sekali lagi, itu sebabnya Saudara biasakan baca buku, bukan baca berita. Berita hari ini, apalagi yang di sosmed, itu sangat-sangat sempit. Orang kalau baca berita, itu berita yang baru kemarin ‘kan, baru satu hari, baru tiga hari, baru seminggu; dan Saudara belum terlalu bisa memprosesnya. Tapi kalau Saudara lihat literatur mengenai Perang Dunia II, sekarang kita punya literatur yang luar biasa dalam membahasnya karena risetnya sudah sangat banyak dan sangat bertanggung jawab; lalu kapan Saudara bisa tahu berbagai macam aspek yang detail mengenai Perang Dunia II? Sekarang, 70 tahun setelah Perang Dunia II, karena sudah ada waktunya, sudah ada periodenya. Namun yang kayak begini tentunya nggak gres, jadi orang tidak tertarik. Saudara bayangkan, pengetahuan 70 tahun dibandingkan dengan pengetahuan satu hari, itu tidak bisa dibandingin, Saudara. Kapan-kapan saya ingin bahas satu buku yang kecil yang mengatakan, daily news itu makes you dumb, Saudara ngikutin berita harian itu bikin Saudara jadi goblok. Tentu kita tidak harus setuju sepenuhnya, itu kalimat juga agak provokatif, dan tentunya kita juga ingin mengikuti juga perkembangan, namun Saudara lihat approach-nya beda sekali. Orang zaman dulu itu waktu bikin berita, itu adalah berita bulan lalu, berita tahun lalu, mereka research, mereka sampaikan secara mendetail dan akurat apa yang terjadi, dari berbagai macam kesaksian, dari berbagai macam sisi; sedangkan zaman sekarang everything harus instan, maka sudah tidak ada perhatian seperti itu lagi, everything pokoknya langsung hajar gabret. Itu sebabnya yang kita dapat juga sangat dangkal dan sangat membodohi.
Jadi, ini something yang kita bisa coba renungkan; dan secara iman Kristen, saya rasa tidak terlalu ada keberatan dengan alien life kalau pun ada. Namun secara pengamatan saya sejauh ini, saya merasa sepertinya indikasinya evidence-nya itu lebih ke arah tidak ada. Bahkan seorang scientist Italia bernama Enrico Fermi terkenal sekali dengan istilah Fermi Paradox, yaitu dia mengatakan, kenapa dalam universe yang begitu luas, kehidupan seperti kita sangat sedikit. Ini satu paradoks yang dari dulu orang berusaha menjelaskan tapi tidak bisa. Jadi, orang scientist pun sangat menyadari ada keanehan seperti ini dalam alam semesta kita. Itulah yang mendasari kenapa banyak sekali yang ingin coba discover alien life –justru karena realitasnya, evidence-nya, menunjukkan ke arah yang lain. Saudara perlu membacanya seperti ini. Dulu kasus-kasus romo abuse anak jadi berita yang heboh sekali; kenapa? Pak Tong menjelaskan pakai sisi yang lain, bahwa ini berarti jarang ada romo abuse anak, karena kalau semua romo abuse anak, ya, tidak akan jadi berita. Itulah daily news, Saudara; yang diangkat adalah hal-hal yang interesting, tapi tidak tentu berguna. Orang gigit anjing, itu berita; anjing gigit orang, itu bukan berita. Benar ‘kan? Berita itu, orang gigit anjing. Anjing gigit orang, itu bukan berita.
Jadi, hati-hati dengan berita-berita seperti itu, karena biasanya Saudara disuguhi dengan sisi yang interesting, tapi sebenarnya tidak berguna. Dan, mari kita menyadari bahwa mungkin kita suka membaca hal-hal seperti ini karena kita cari distraction-distraction supaya kita tidak usah bertanya pertanyaan-pertanyaan yang penting tadi itu. Kita sebagai Gereja, mungkin salah satu cara kita bisa memproklamirkan kehidupan yang Kristiani di hadapan dunia hari ini, adalah dengan belajar bosan.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading