Kita masih di pasal 2, pasal yang paling panjang dalam kitab Daniel. Khotbah sebelumnya kita baru menyentuh permukaan saja, melihat dua kontras yang jadi warna utama pasal ini, yaitu antara Daniel dan para ahli nujum yang tidak mampu, sementara Daniel –si buangan, orang yang kalah itu– malah sanggup, bukan karena Daniel sendiri melainkan karena Allahnya. Kita juga melihat kontras yang dihadirkan dalam mimpi tersebut, antara patung yang mewakili kerajaan-kerajaan dunia, dengan batu yang menandakan Kerajaan Allah –beda kualitas, beda kekekalannya, dst.
Hari ini kita akan membicarakan pasal ini, hal-hal yang belum sempat kita bicarakan sebelumnya. Ini satu hal yang baik, karena Saudara jadi bisa melihat langsung bagaimana pasal yang sama bisa dibahas dua kali dan masih menghasilkan hal-hal yang segar. Hopefully ini mendukung paradigma bahwa khotbah itu simply trailer, bahwa Alkitab memang bukan untuk dikupas dan diperas habis dan ampasnya dibuang lalu kita move on karena sudah get the point. Itu bukan pradigma yang tepat waktu berurusan dengan Alkitab. Alkitab bukan kayak paper akademik, skripsi atau tesis, yang sekali dibaca maka Saudara tidak tertarik lagi untuk baca ulang karena sudah dapat poinnya. Alkitab lebih seperti sebuah karya seni, lukisan atau bahkan musik, yang Saudara tidak cuma pakai sekali tok, Saudara akan kembali dan kembali lagi; dan setiap kali Saudara masih bisa menemukan sesuatu yang segar di dalamnya.
Kita mulai dengan sesuatu yang sudah kita lihat sejak pasal 1 tapi belum saya address sampai sekarang, yaitu ayat 26, ‘Bertanyalah raja kepada Daniel yang bernama juga Beltsazar’.Ini poinnya, bahwa Daniel di dalam kitab ini sesungguhnya punya dua nama. Apa artinya? Kenapa hal ini muncul lagi dan lagi? Kalau cuma sebagai informasi doang, di pasal 1 sudah cukup untuk kita tahu Daniel punya nama lain, that’s it. Namun ternyata hal tersebut muncul berkali-kali dalam kitab ini, setiap kali penulis mengatakan ini Daniel, selanjutnya ada catatan itu: ‘Bertanyalah raja kepada Daniel yang namanya Beltsazar, “Sanggupkah engkau memberitahukan kepadaku mimpi yang telah kulihat itu dengan maknanya juga?”Jadi tampaknya ini bukan sekadar informasional, ada sesuatu yang mau ditekankan lewat hal ini.
Untuk menjawab hal ini, kita perlu melihat ke belakang, background dari kitab Daniel. Ini kitab mengenai masa pembuangan (Yehuda dibuang ke Babilonia). Pembuangan ini tidak terjadi sekali gabret; Nebukadnezar datang beberapa kali, dan terakhirnya dia datang menghancurkan seluruh Yerusalem. Nebukadnezar sesungguhnya sudah menundukkan Yehuda dan Yerusalem 20 tahun sebelumnya, tapi waktu itu dia tidak menghancurkan kotanya, hanya mengalahkan dan membawa sebagian kecil orang-orang dari Yerusalem ke Babilonia (yang dalam 2 Raja-raja 24 disebut sepuluh ribu orang, namun angka ini simply simbolis). Intinya, yang dibawa ini adalah kalangan porofesional, para pemimpin, orang-orang militer, pemerintahan, para seniman, craftsmen, tukang besi, para sarjana, orang-orang bijak, dst. Kenapa Nebukadnezar melakukan ini? Tujuannya bukan simply haus darah; Babilonia, sebagaimana proyek Menara Babel dalam Kejadian 11, tujuannya bukan mengurangi jumlah orang di dunia, tapi justru untuk mengumpulkan orang-orang dari seluruh dunia –tambah banyak– untuk menjadi satu kerajaan, satu nama, satu arah. Tujuannya bukanlah anihilisasi, tujuannya adalah asimilasi. Nebukadnezar membawa sepuluh ribu golongan elit Yehuda ke Babilonia untuk di-babilonisasi. Mereka akan tinggal di Babilonia sebagai minoritas, dan Nebukadnezar percaya cepat atau lambat mereka akan mengadopsi budaya Babel –dan ini memang benar.
Di Jakarta kita tidak menemukan sungai yang besar; Sungai Ciliwung bukan sungai yang besar, ini sungai yang kalau dilihat dari atas, Saudara langsung bisa tahu arusnya sedang kencang atau pelan. Sedangkan sungai yang besar, seperti Sungai Mahakam atau Sungai Kapuas, permukaan airnya bisa kelihatan tenang, and yet arusnya bisa jadi kencang sekali. Saudara tidak bisa tahu seberapa kencang arusnya hanya dengan lihat permukaannya. Kalau Saudara menyeberangi sungai itu dengan berenang, lalu sampai di seberang Saudara menengok ke belakang, maka Saudara lihat titik awal berenang bukan lagi di belakangmu tapi sudah bergeser jauh, karena Saudara ternyata berenangnya bukan lurus ke depan tapi sudah bergeser ke samping terbawa arus. Inilah yang terjadi ketika kita hidup sebagai minoritas. Di dalam arus sungai yang begitu besar, Saudara tidak akan sadar mengenai arus yang kencang itu, Saudara simply terbawa arus. Effortless untuk Saudara terbawa arus dalam sungai yang besar. Bahkan kalau Saudara mau mati-matian sekuat tenaga melawan arusnya, setelah sampai di seberang Saudara akan menyadari bagaimanapun juga Saudara sudah bergeser dari posisi semula.
Melawan pun, tetap akan hanyut oleh arus. Nebukadnezar tahu ini, maka inilah cara paling efektif untuk menaklukkan Yehuda. Bukan dengan membunuh mereka, melainkan dengan mengasimilasi mereka. Yang menarik, orang-orang Yahudi pun sepertinya sadar akan hal ini. Itu sebabnya ketika kloter pertama orang-orang buangan itu sampai di Babilonia, beberapa memang langsung diambil masuk ke istana raja (seperti Daniel dan kawan-kawannya), namun sebagian besar memilih tinggal di luar kota Babilonia. Mereka tinggal di daerah Nippur, di tepi Sungai Kebar, daerah yang berjarak lumayan jauh dari kota Babilonia. Mereka inilah rombongannya Yehezkiel. Kenapa mereka melakukan ini? Karena orang-orang Yahudi ini tahu apa yang akan terjadi kalau mereka masuk ke kota itu, mereka tahu rencana Nebukadnezar atas mereka. Ada rombongan nabi yang bangkit di tengah-tengah mereka, yang mengatakan ‘jangan masuk ke kota itu; itu kota laknat, jangan dirikan rumahmu di sana, bahkan di manapun di tempat ini –jangan keluarkan baju dari kopermu, tunggu sebentar saja, kita nonton di luar sini kayak Yunus–Tuhan akan menghancurkan mereka dan kita akan pulang, mari kita bertahan di luar kota itu dan kutuki mereka dari luar’.
Nabi Yeremia yang ketika itu di Yerusalem (dia tidak termasuk kloter buangan pertama; dan Yerusalem belum dihancurkan) sepertinya mendengar sikap kaum buangan itu, maka dia menulis surat kepada mereka, yang isinya kehendak Allah bagi umat yang dibuang itu (Yeremia 29). Isinya ini sangat mengagetkan, sbb.: “Jangan kamu diperdayakan oleh nabi-nabimu yang ada di tengah-tengahmu dan oleh juru-juru tenungmu, dan jangan kamu dengarkan mimpi-mimpi yang mereka mimpikan! Sebab mereka bernubuat palsu kepadamu demi nama-Ku. Aku tidak mengutus mereka”. Ini berarti nabi-nabi yang mengatakan untuk jangan masuk ke kota laknat tersebut adalah nabi palsu. Kalau begtiu, apa yang mau dikatakan nabi asli, apa kehendak Tuhan bagi kami? Jawabannya yaitu Yeremia 29:5-7 yang sangat terkenal itu: “Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya; ambillah isteri untuk memperanakkan anak laki-laki dan perempuan; ambilkanlah isteri bagi anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan anak laki-laki dan perempuan, agar di sana kamu bertambah banyak dan jangan berkurang! Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya –shalom-nya– adalah shalom-mu”.
Saudara menangkap kekagetan yang pasti terjadi di tengah-tengah komunitas buangan mendengar surat Yeremia ini? Ini counter intuitive banget ‘kan, ‘apa benar Tuhan ngomong kayak begini, apa benar kamu (Yeremia) nabi yang asli, jangan-jangan kamu nabi yang palsu??’, karena ada tiga hal yang kita bisa lihat dari surat ini.
Pertama, Tuhan mengatakan: “Itu kota, tempat ke mana kamu Aku buang” –Aku yang membuangmu. Ini berarti Tuhan mengatakan kepada mereka ini: kamu kehilangan rumahmu, kamu kehilangan kampung halamanmu, semua itu part of the plan, My plan; Aku memang berkehendak untuk kamu sekarang dicabut dari akarmu, tinggal di kota kafir, sebagai umat yang percaya. Dan, ini rencana-Ku buatmu, supaya kamu boleh diubah dan bertumbuh –juga supaya mereka boleh diubah dan bertumbuh. Jadi masuklah ke kota itu, jangan bertahan di luar. Aku memang sengaja meruntuhkan kerajaanmu, mencabut kuasa politikmu, menyerakkan kamu ke kota-kota kafir ini –Aku yang menyeburkanmu ke arus sungai besar kerajaan dunia ini. Ini poin yang kita sudah berkali-kali katakan sepanjang pembahasan kitab Daniel, namun masih mengagetkan juga, susah diterima.
Yang kedua, Tuhan basically mengatakan: “Tapi, jangan sampai kalian pikir opsinya cuma salah satu dari dua, yaitu asimilasi atau separasi”. Saudara, apa yang nabi palsu di sana katakan kepada mereka? Ya, asimilasi atau separasi, masuk atau tidak masuk; kalau kamu masuk, kamu akan terasimilasi, kamu kolaborator, pengkhianat bangsa, kamu akan kehilangan identitasmu, maka kita harus separasi, bukan asimilasi, tidak ada jalan tengah. Tetapi Tuhan di satu sisi mengatakan: “Kamu di sana harus bertambah banyak, jangan berkurang”, berarti jangan asimilasi, jangan kehilangan identitas, jangan berkurang, jangan ikut arus. Di sisi lain Tuhan mengatakan: “Dirikanlah rumah, buatlah kebun, ambil istri, lahirkan anak, bangun keluarga di sana, carikan suami/istri bagi anak-anakmu, usahakanlah kesejahteraan kota tempat Aku membuangmu”, berarti masuklah, dan tidak sekadar tinggal di situ tapi juga libatkan dirimu, jadilah ketua RT dan ketua RW, masuklah secara ekonomi dan juga secara budaya. Tuhan mengatakan untuk jangan asimilasi, tapi juga jangan separasi –‘hiduplah sebagai umat-Ku, tapi dengan cara terlibat dalam kehidupan kota’. Bagaimana caranya? Alkitab suruh kita hidup mendua hati?? Bagaimana caranya tinggal dalam kota manusia yang keji tapi menjadi warganegara kerajaan surga, tinggal dalam dunia tapi bukan berasal dari dunia?? Jadi, Allah seperti menyuruh mereka –dan kita– melakukan sesuatu yang impossible. Allah seperti mengatakan: ‘Aku tidak mau kamu mengasihi Aku lalu membenci kota itu, tapi Aku juga tidak mau kamu mengasihi kota itu lalu membenci Aku; Aku mau kamu mengasihi Aku dan kota itu’ –bukan asimilasi, dan bukan separasi.
Yang ketiga, mengenai caranya, yaitu: “Berdoalah bagi kota itu, usahakanlah kesejahteraannya”. Di sini ‘kesejahteraan’ pakai kata ‘shalom’, artinya bukan sejahtera dalam satu aspek tok tapi dalam segala aspek, luar maupun dalam, ekonomi, security, spiritual, relasional, estetika, dsb. Dengan kata lain: kamu tidak bisa masuk ke kota itu, lalu mendirikan gereja di situ, lalu berlindung di dalam temboknya, naik ke lantai atas, dan memandang rendah orang-orang di luar sana sambil, “Cckk, cckk, cckk…”. Tidak bisa demikian. Kamu disuruh masuk, turun ke jalan-jalan kota tersebut, mempertaruhkan keringat-darah-nyawa untuk membuat kota itu jadi kota yang shalom. Para nabi palsu menyuruh mereka berdoa, tapi doa terhadap kota itu; sedangkan Tuhan mengatakan lewat Yeremia, berdoalah untuk kota itu, bagi kota itu. Ini berarti, Yeremia menyuruh kaum buangan ini tinggal dalam dua kerajaan pada saat yang sama, berdiam di kota manusia, mengusahakan kesejahteraan kota manusia, demi Kerajaan Surga. Atau dengan kata lain, Allah sedang menyuruh umat-Nya untuk memiliki dua nama.
Saudara mulai menangkap hubungan semua ini dengan Daniel? Kita sering kali pikir, sebagai orang Kristen kita cuma bisa punya satu nama, kita cuma bisa pilih antara asimilasi atau separasi; kita sering kali pikir, yang ini nama Yahudinya, yang itu nama Babilonianya, dan kita harus pilih salah satu. Guru Sekolah Minggu saya dulu pernah mengatakan, “Kita sebenarnya tidak boleh menyebut Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, harus sebut nama Ibrani mereka yaitu Hananya, Misael, dan Azaria”. Tapi, Saudara tidak melihat nuansa seperti ini ada di dalam kitab Daniel sendiri. Berulang kali penulis kitab Daniel me-refer baik Daniel maupun kawan-kawannya dengan menekankan kedua nama yang mereka miliki itu. Berkali-kali dikatakan: ‘Daniel, yang juga disebut Beltsazar’, ‘Hananya, Misael, dan Azaria, yang juga disebut Sadrakh, Mesakh, dan Abednego’. Ini berkali-kali. Mereka punya dua nama.
Bahkan kalau kembali ke pasal 1 ada yang mungkin lebih mengerikan lagi. Di satu sisi Daniel digambarkan sebagai umat Allah, nabi Allah, totally monoteistis, berkomitmen hanya pada satu Allah yaitu Allah Alkitab. Tapi, bagaimana caranya Daniel, orang yang begitu setia kepada Allah ini, bisa sampai mesuk begitu dalam dan begitu tinggi dalam pemerintahan Babilonia? Jawabannya sebagaimana kita lihat sebelumnya, yaitu dengan Daniel mendapatkan pelatihan intensif, 3 tahun, dalam segala ilmu Babilonia. Ini ilmu apa? Saudara perhatikan pasal 2:2, siapakah orang-orang yang mau dilenyapkan Nebukadnezar karena tidak mampu memberitahu mimpinya? Orang-orang berilmu, ahli jampi, ahli sihir, ilmu-ilmu gaib para Kasdim. Dan waktu mereka mau dibunuh, Daniel termasuk di dalamnya. Ini berarti Daniel diperhitungkan di antara mereka, Daniel adalah mereka. Ini mungkin bikin bulu kudukmu merinding, namun Saudara harus tahu bahwa Daniel, untuk bisa mencapai posisinya, dia harus belajar semua ilmu jampi, sihir, ilmu-ilmu gaib orang Kasdim pada waktu itu. Sebagai orang Kristen dihadapkan kayak begini, banyak dari kita akan mengatakan, “No way! Kita tidak boleh sentuh semua itu”; tapi Saudara perlu pikir lagi setelah baca bagian ini.
Daniel adalah seorang yang percaya, tapi dia juga menguasai semua materi pendidikan Babilonia, and yet dia tetap menjaga distingsinya, identitasnya, worldview Alkitabnya. Dia terlibat di dalam, namun tidak terasimilasi. Koq bisa? Yaitu karena Yeremia 29. Yeremia 29 jadi semacam blueprint bagi hidup Daniel. Dalam hal ini ada yang mengusulkan bahwa kemungkinan besar waktu surat Yeremia itu dibacakan kepada komunitas buangan di Babilonia, Daniel ikut mendengar, karena Daniel adalah bagian dari mereka. Jadi, sebabnya dia bisa hidup dalam dua dunia sampai seperti itu, bekerja begitu dalam dan begitu tinggi di pusat politik serta budaya, belajar ilmu Babilonia, ilmu kafir itu, dan somehow tetap melakukannya dengan identitas sebagai umat Allah, adalah karena Yeremia 29 ini menafaskan hidupnya. Lalu, kenapa kita tidak bisa seperti Daniel? Karena kita sering kali terkunci dalam ‘either asimilasi or separasi’, karena kita menganggap bahwa kita cuma bisa punya satu nama.
Melihat bahwa inilah yang ada dalam kitab Daniel, jadi ironis, karena kitab Daniel sering kali dipakai orang Kreisten untuk tujuan yang sebaliknya dalam mengatakan kepada anak-anak Kristen ‘jadilah seperti Daniel’; dan apa maksudnya waktu mengatakan itu? Kayaknya sih, para guru Sekolah Minggu itu bukan mengatakan: begini ya, yang namanya jadi seperti Daniel berarti kita sebagai orang percaya perlu masuk ke dalam pemerintahan kafir, budaya kafir, ekonomi kafir, setinggi-tingginya dan sedalam-dalamnya; mempelajari dan bahkan manguasai semua ilmu sekuler mereka, bukan cuma tahu-tahu sedikit tok untuk cari kelemahannya melainkan menguasai, evaluated, dan certified, lalu tetap hidup dan bekerja di kota dunia ini sebagai orang Kristen yang jelas identitasnya. Pernahkan Saudara mendengar orang mengajarkan kitab Daniel seperti ini? Saudara yang guru Sekolah Minggu di sini, pernahkan Saudara mengajar kitab Daniel seperti ini? Inilah ironisnya, kita mendapati yang Gereja katakan sering kali lebih mirip perkataan nabi-nabi palsu pada zaman Yeremia.
Yeremia justru mengatakan yang sebaliknya: Tuhan yang mengirimmu ke sana, Tuhan mau memberkati kota tempat tinggalmu melalui engkau, orang-orang Kristen; dan sesungguhnya Tuhan mau memberkatimu juga, melalui tempat tinggalmu itu, karena kesejahteraan mereka adalah kesejahteraanmu juga. Ini satu prinsip yang kita sangat butuh. Kita sering kali merasa hubungan kita dengan kota sekuler tempat kita tinggal, adalah suatu hubungan yang eksklusif, either eksklusif permusuhan atau eksklusif pertemanan. Namun sesungguhnya tidak sesimpel itu. Bukan cuma kota atau manusia yang sekuler dan kafir itu butuh orang Kristen, tapi dalam gambaran di sini yang sebaliknya juga benar, bahwa orang Kristen butuh kota ini. Orang Kristen butuh tinggal di kota-kota di mana mereka tidak pegang kuasa, mereka tidak jadi kekuatan yang dominan. Tuhan tahu ini, maka Dia menempatkan kita di tempat-tempat seperti itu.
Salah satu bahan yang saya pakai dalam menyusun khotbah, yaitu dari Pendeta Tim Keller. Keller mengatakan, anak-anaknya mengatakan kepadanya, bahwa salah satu hal terbaik yang papanya beri kepada mereka adalah membesarkan mereka di New York, kota duniawi, dan bukan di daerah kantong Kristen somewhere. Kenapa? Karena di New York banyak hiburan, dsb.? Bukan. Tim Keller sendiri pernah melayani di di daerah kantong Kristen (biasa disebut Bible Belt di Amerika); dan biasanya di daerah seperti itu, semua orang waktu mendengar apa saja yang berbau rohani Kristen akan langsung angguk-angguk kepala, isu-isu apapun ada jawaban Kristennya yang semua orang langsung meng-amin-kan. Tapi waktu pindah ke New York, lalu banyak spend time dengan orang-orang yang sekuler, dia baru sadar betapa banyak jawaban-jawaban “Kristen” seperti yang tadi itu terlalu bodoh dan simplistik. Sebelumnya dia pikir sudah tahu segala alasan kenapa orang tidak mau percaya kepada Tuhan, namun ketika spend time dengan orang-orang yang sekuler, dia baru sadar bahwa orang-orang yang tidak percaya Tuhan itu sering kali punya alasan-alasan yang cukup masuk akal.
Saya jadi ingat waktu zaman saya masih remaja atau pemuda, GRII bikin semacam NRETC. Ketika Pak Tong calling dalam salah satu sesi, yang maju ke depan lebih banyak dibandingkan yang duduk. Kami sebagai panitia jadi kewalahan karena waktu itu masih pakai cara ‘kartu keputusan’ yang kita bagikan kepada mereka yang maju. Dalam rapat evaluasi, salah satu pendeta berkelakar, “Next time waktu calling, kartu keputusannya bukan untuk diberikan kepada orang yang maju, tapi kepada orang yang duduk, karena kayaknya lebih gampang, jumlahnya lebih sedikit; lalu ditulisnya alasan tidak maju: a) saya tidur, tidak mendengarkan khotbah, b) saya goblok, c) saya anak setan, dsb.” Waktu itu kamu tertawa mendengarnya karena rasanya memang itulah alasannya orang-orang tidak mau percaya Tuhan. Tapi itu pemikiran kantong Kristen, pemikiran Bible Belt. Waktu Tim Keller masuk ke dalam daerah sekuler, dia baru sadar bahwa ternyata tidak demikian, orang-orang ini punya alasan cukup masuk akal yang membuat mereka memilih untuk tidak percaya. Tim Keller lalu menulis buku untuk merespons alasan-alasan itu; dan itu malah lebih komunikatif, lebih bisa memenangkan banyak orang.
Saudara lihat, kita ini butuh kota-kota tempat kita tidak mendominasi, tidak berkuasa, karena Kekristenan itu jalan salib, agama salib. Kekristenan justru bisa bersinar, sering kali ketika dicabut turun dari posisi kuasa. Justru ketika Kekristenan menjadi satu kekuasaan yang besar/dominan dalam suatu negara, biasanya kita lihat dalam sejarah dunia itulah momen Kekristenan malah menurun, pudar, layu. Tidak selalu, tapi sering kali demikian. Itu sebabnya sering kali cara Allah membangunkan umat-Nya —revival, kebangunan Rohani– justru dengan mencabut kuasa dari umat-Nya. Itulah yang terjadi dalam pembuangan, dalam kitab Daniel. Itu juga mungkin yang harusnya jadi cara kita melihat hal-hal yang terjadi dalam hidup kita sekarang.
Inilah hal yang pertama, dua nama. Kita perlu menyadari bahwa kita umat yang punya dua nama. Kita perlu mengasihi Allah kita, dan mengasihi kota kita. Bukan asimilasi, tapi juga bukan separasi.
Hal kedua yang ingin saya highlight yaitu dari mimpinya sendiri. Kita sudah membahas mimpi ini bicara mengenai masa depan dari sudut pandang Daniel pada waktu itu, dan penafsiran Daniel membukakan apa yang akan terjadi dalam 600 tahun antara Daniel sampai Yesus Kristus. Namun kita juga sudah diperingatkan bahwa ini bukan tujuan utama diberikannya mimpi tersebut serta penafsirannya. Ini bukan untuk dipakai jadi semacam ancer-ancer dalam memetakan hal-hal yang kita baca di media mengenai situasi politik dunia hari ini, yang lalu kita sambung-sambungkan, kemudian kita figure out masa depan, kapan Yesus datang kembali, dsb. Saya tidak setuju yang begitu-begituan, dan saya perlu katakan ini dari awal, karena salah satu dari empat kerajaan tersebut adalah kerajaan Persia, artinya orang-orang Iran, dan sekarang ini Israel sedang konflik terhadap Iran, lalu banyak orang langsung nyambung-nyambungin, dsb. Tapi itu bukan message utamanya, saya tidak akan melayani apapun yang ke arah sana. Kenapa? Karena Saudara lihat Daniel mengatakan message utama dari mimpi itu apa, dan terutama bagi siapa (ayat 30), yaitu: “…supaya maknanya diberitahukan kepada tuanku raja”. Jadi, message utama dari mimpi ini, kalau Saudara mau mengertinya secara tepat, Saudara perlu melihatnya dari sudut pandang Nebukadnezar, menempatkan diri di posisi Nebukadnezar, bukan menarik Nebukadnezar atau Daniel ke posisi kita hari ini, karena yang seperti itu cara baca Alkitab yang ngaco.
Kita perlu masuk ke dalam sudut pandangnya Nebukadnezar. Nebukadnezar bereaksi keras terhadap mimpi ini; dan itu bukan karena dia sedang trying to figure out kapan Yesus datang kedua kalinya; dia ‘gak bakal mikir itu sama sekali maka kita juga tidak usah mikir ke sana juga. Dikatakan, dia sangat terganggu oleh mimpi itu, dia marah besar ketika para advisor-nya tidak mampu menjelaskan mimpi itu. Kita mungkin berpikir Nebukadnezar meledak karena dia benar-benar bingung dan tidak tahu apa arti mimpinya. Tapi seorang penafsir mengusulkan teori alternatif yang kita boleh pertimbangkan, bahwa Nebukadnezar meledak, marah keras seperti ini, justru karena dia sebenarnya tahu apa arti mimpinya, bahwa arti mimpinya sendiri cukup jelas. Nebukadnezar, paling tidak dalam level yang sangat mendasar, tahu apa arti mimpinya; dan ini sedikit menjelaskan sebabnya dia bukan terutama mencari apa penafsirannya, tapi mencari konfirmasi akan penafsiran. Itu sebabnya dia bersikeras advisor-nya tidak cuma memberitahu tafsirannya tok, tapi juga harus menceritakan ulang mimpinya –supaya dia tahu penafsirannya benar. Dia menuntut penafsiran yang pasti benar, karena mungkin dia sendiri dalam hati sudah tahu tafsirannya, namun arti tafsiran tersebut terlalu mengancam dan mengerikan, sehingga dia menolak untuk percaya, sampai dia mendapatkan konfirmasi dari luar. Demikian kira-kira teorinya.
Kalau kita mengasumsikan demikian, ini connected dengan kisah di pasal 3 (yang kita belum bahas), bahwa pada dasarnya mimpi Nebukadnezar ini benar-benar mimpi-nya Nebukadnezar. Dalam arti bahwa Nebukadnezar memang bermimpi –mungkin sejak masa mudanya— untuk mendirikan baginya suatu image, patung, yang begitu agung dan megah, yang menggambarkan dirinya sendiri. Dalam terjemahan LAI dikatakan patung yang mengerikan, namun lebih tepat diterjemahkan sebagai dazzling image, image yang begitu mengagumkan, membuat orang gemetar karena ‘wow’. Inilah yang Nebukadnezar inginkan orang melihat dirinya, sebagai figur yang menjulang tinggi mengatasi segala sesuatu, terbuat dari emas, mencengangkan, mengundang decak kagum. Inilah mimpi yang Nebukadnezar datang ke Babilonia untuk menjadikannya realitas. Dan, ini sesungguhnya tidak sebegitu bedanya ‘kan dengan mimpi-mimpi Saudara dan saya, waktu kita datang ke kota-kota besar dengan mimpi-mimpi kita masing-masing. Bedanya, Nebukadnezar cukup sukses dengan mimpinya, dia menjadi kaisar dari sebuah imperium dunia, mungkin waktu itu dialah orang yang paling berkuasa di dunia, mungkin sepanjang sejarah hanya 20 orang paling banyak yang pernah mencapai kuasa seperti dia. Tapi kemudian datanglah mimpi di pasal 2 ini; dan mimpi ini mengungkap bahwa kaki dari patung itu cuma tanah liat. Mimpi ini datang dan mengatakan ‘sekeren-kerennya kepala emasmu itu, kamu sangat rapuh fondasinya, sebegitu lemahnya sehingga sepotong batu (pebles, bukan batu karang) bisa menghancurkan seluruh patung’. Itu sebabnya Nebukadnezar begitu terganggu dengan mimpinya, sepertinya bukan terutama karena bingung apa artinya, melainkan karena dia menolak untuk percaya apa yang sebenarnya dia tahu sebagai arti mimpi tersebut.
Sekarang kita coba tempatkan diri dalam sudut pandang Nebukadnezar, dalam sepatunya Nebukadnezar. Kita datang ke kota besar dengan mimpi kita (meskipun mungkin banyak yang lahir di sini juga); mimpi-mimpi kita mungkin tidak sebesar skala mimpinya Nebukadnezar –meski bisa juga iya– tapi banyak dari kita punya esensi mimpi yang sama. Kita bermimpi ingin membangun sebuah image —image akan diri kita sendiri– yang megah, dan menjulang, dan mengagumkan. Kita punya angan-angan bahwa dunia melihat kita sebegitu spesial. Caranya ada banyak. Ada yang berusaha mencapai ini lewat penampilan. Kalau tidak percaya, coba kumpulkan postingan-postingan IG, profile-profile picture Whatsapp dari seluruh jemaat GRII Kelapa Gading, juga foto-foto selfie dan wefiemu, foto-foto keluarga-keluargamu, foto-foto liburan-liburanmu; lalu katakan pada saya, bahwa Saudara bukan orang yang berusaha membangun image yang megah dan agung dan spesial di hadapan dunia? Ada juga yang berusaha mencapai ini lewat hal-hal yang lain, mungkin lewat olahraga, maka postingannya bukan lewat IG melainkan Strava; dan setelah kita dapat PR di Strava, kita tulis komen untuk dibaca semua orang: “Saya cuma zone 2, lho; ini lagi nyantai larinya, lho; tadi larinya sambil kebelet pipis, lho’, dsb. –dan saya kadang-kadang melakukan itu juga.
Kita ini bermimpi; dan mimpi kita itu adalah mimpi yang membuat kita menyadari betapa fondasi dari kemuliaan kita ini, begitu rapuh. Seorang penafsir lain mengatakan dia punya mimpi yang mirip. Dia ini punya hobi menembak (competitive shooting), dan dia pernah bermimpi datang ke suatu shooting range, lalu dia tidak bisa mengambil pistolnya, tangannya seperti tidak bisa gerak, dia tidak bisa memasukkan pelurunya, tidak bisa membidik pistolnya, bahkan tidak bisa menarik pelatuknya. Tidak bisa! Dia membeku di hadapan pistol tersebut. Mimpi yang mengerikan. Kalau versi saya, selama 2-3 tahun terakhir ini saya punya recurring mimpi yang dalam satu tahun bisa 5-6 kali bangun dengan keringat dingin dan gemetar, bahkan kadang-kadang dengan air mata, yaitu bermimpi saya tidak mampu melindungi anak-anak saya.
Saya rasa ini bukan satu hal aneh, ini satu hal yang sering kali kita rasakan, yaitu kita basically sedang mendengar Tuhan berkata sebagaimana kepada Nebukadnezar: “Kalau kamu membangun kemuliaanmu di atas apapun selain diri-Ku, kamu harus tahu, semua itu cuma patung dengan kaki dari tanah liat, rapuh”; dan itu sebabnya kita terhantui dengan mimpi-mimpi ini, dengan ketidakmampuan, dengan kecemasan, karena kita tahu ujungnya bahwa fondasi kita begitu rapuh. Saudara membangun hidupmu di atas popularitas, Saudara akan takut terhadap angka polling. Saudara membangun hidupmu di atas uang, Saudara akan begitu ngeri membaca market. Saudara membangun hidupmu di atas penampilanmu, Saudara akan paling ngeri waktu menghadapi cermin. Tidak berhenti sampai di situ, Allah lalu mengatakan kepada Nebukadnezar: “Aku akan menghancurkan image-mu itu; suatu hari akan terjadi sesuatu yang menunjukkan kepada dunia, apa sesungguhnya fondasi kemuliaanmu itu”.
Saudara, ini sesunguhnya merupakan suatu prinsip, yang sangat praktis bagi kita semua. “Praktis dari mana, Pak??” Kalau kita kembali ke pertanyaan awal dari kitab Daniel mengenai bagaimana kita hidup sebagai umat Allah di tengah-tengah dunia yang tidak mengenal Allah, kita sering kali pikir kalau ada yang praktis artinya ‘berikan kepada saya peraturan-peraturannya’ –kita mintanya peraturan. Kita sering kali frustrasi terhadap Alkitab, yang tidak praktis, karena Alkitab tidak memberikan jawaban.
Saya pakai contoh diri saya sendiri. Saya dulu kuliah S1 di Melbourne, belajar vokal; dan yang namanya S1, itu general, tidak bisa pilih cuma musik gereja, saya harus ambil semua. Saya paling cemas kalau belajar opera, karena dalam opera tidak hanya menyanyi tapi juga harus akting. Lalu peran apa, yang sebagai musikus Kristen kita boleh ambil dan tidak boleh ambil? Kalau sampai saya harus memerankan seorang playboy misalnya, mencium wanita yang bukan istri saya, itu bagaimana? Di sini kita cari peraturan ‘kan. Dalam hal ini saya mengerti akan kecenderungan kita minta peraturan ketika memikirkan bagaimana hidup di tengah-tengah dunia ini, bahwa inilah yang kita rasakan sebagai aktor Kristen, musikus Kristen, pengusaha Kristen, lawyer Kristen, dsb., yaitu kita rasa membutuhkan peraturan. Kita datang kepada pendeta dan minta buku peraturan. Lalu pendeta mengatakan, “O, ya, ada tuh di Alkitab yang isinya peraturan”. “Yang mana, Pak?” Lalu pendetanya mengatakan, “Bo’ong deh…”.
Memang tidak ada di Alkitab peraturan tentang menjadi pengusaha Kristen, musikus Kristen, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Bukan tidak ada peraturan sama sekali, ada Sepuluh Hukum, ada peraturan-peraturan dasar selain itu juga, ada aturan untuk be generous dengan hartamu –dan ini banyak yang gagal– namun lebih spesifik dari itu tidak ada; dan kita sering kali kesal dengan kurangnya peraturan yang jelas di Alkitab. Itu sebabnya kita merasa Alkitab tidak praktis. Yang saya mau tunjukkan lewat pembahasan kitab Daniel hari ini, bahwa ini justru sangat praktis, karena di sini Saudara sedang diperlihatkan, apa bedanya antara aktor Kristen versus aktor non-Kristen, antara musikus Kristen versus musikus non-Kristen, antara pengusaha Kristen versus pengusaha non-Kristen. Bedanya bukan pada peraturannya, bedanya pada fondasinya. Ini bukan satu-satunya bedanya, namun ini yang paling fondasional. Apa fondasimu? Mengapa kamu melakukan semua ini? Patung siapa yang sedang engkau dirikan? Kemuliaan siapa yang engkau sedang bangun? Apakah engkau sedang membangun bagi dirimu suatu image mengenai dirimu yang engkau ingin semua orang lihat dan kagumi? Ini praktis. Ini sebabnya para pendeta dan vikaris –tentu yang waras–selalu enggan memberikan peraturan, karena memang tidak cukup.
Banyak orang Kristen datang ke kota-kota besar, lalu mereka simply terasimilasi ikut arus, tapi mereka tidak melanggar peraturan apa-apa. Mereka bisa mengatakan, “Apa salahnya saya melakukan hal ini?” –dan tidak ada yang bisa mengatakan dia salah. Karena apa? Karena peraturan tidak pernah cukup. Atau sebaliknya, bahkan para pendeta dan vikaris pun, ketika kami mengerjakan yang disebut “pekerjaan Tuhan”, tidak semua sedang benar-benar melayani kemuliaan Tuhan ‘kan. Tentunya hal ini dengan sangat mudah Saudara bisa lihat. Bahkan kadang-kadang para pendeta dan vikaris yang kerja paling keras, bisa jadi karena dia sedang membangun image dirinya, bukan Tuhannya. Omong-omong, jemaat senang dapat pendeta seperti itu, yang staminanya tidak pernah habis, yang tidak butuh tidur, yang selalu available, yang khotbahnya tertata super rapi, lucu, dsb. Tapi Saudara tahu, semua itu juga bisa dilakukan atas dasar fondasi tanah liat tok.
Ambil contoh dalam KKR Regional; tahun-tahun yang lalu saya selalu ditempatkan di sekolah-sekolah besar yang muridnya 700-900 orang. Karena sekolah besar, tidak ada ruangan besar yang cukup untuk mereka, harus di lapangan; dan lewat jam 8 sudah panas luar biasa di Sumba. Tidak ada gunanya khotbah kepada 700-900 orang yang dijemur kayak begitu, tidak ada efeknya, cuma bikin mereka kesal. Jadi saya mengatakan kepada panitia, mendingan sekolah-sekolah besar ini dibagi, semua orang pagi-pagi pergi ke sekolah besar, baru setelah itu kita pergi ke sekolah-sekolah yang lebih kecil, yang punya aula, atau bisa di dalam kelas, sehingga lebih efektif. Namun responsnya: “Tidak bisa, Pak Jethro, kami insecure kalau khotbah di sekolah-sekolah besar seperti itu; Pak Jethro yang lebih jago khotbah, harus ambil bagian yang besar itu”. Kalau seperti itu, jadinya Saudara datang ke sana mau ngapain?? Saudara sedang melayani siapa? Poinnya, kamu pergi mau mengabarkan firman Tuhan, demi kemuliaan Tuhan, atau kamu takut terbongkar jeleknya di hadapan banyak orang karena kamu gugup di hadapan ratusan orang. Pertanyaan paling simpel, bagaimana caranya membangun confidence untuk bicara di hadapan orang banyak? Kalau Saudara mau belajar bicara di hadapan 2000 orang, Saudara harus berbicara di hadapan 2000 orang, tidak ada jalan lain. Lalu kenapa tidak mau melakukan? Apa yang jadi taruhan di sini? Untuk apa engkau pergi, apa fondasimu? Saudara bisa melihat disini, betapa engkau pun bisa sangat mudah jatuh ke dalam hal yang sama.
Saudara lihat, mengerti signifikansi makna mimpi ini dari sudut pandang Nebukadnezar, dengan menempatkan kita di posisi Nebukadnezar –posisi antagonis, posisi bad guy— ini tidak datang secara natural ‘kan? Namun inilah kebenarannya. Kita secara doktrinal bisa percaya kepada Kristus, kepada Injil, and yet yang kita lakukan sesungguhnya sering kali adalah mendirikan image-image emas bagi diri kita sendiri, karena kita tidak percaya bahwa kita dianggap lebih berharga daripada emas di mata Allah. Kita merasa kita harus melakukan ini, maka kita terhantui oleh mimpi-mimpi kita. Kita tidak mengalami kenyenyakan spiritual. Kita selalu cemas dan takut. Kita tidak punya shalom. Itu sebabnya untuk mengerti apa artinya menjadi Kristen di tengah-tengah dunia ini, Saudara tidak bisa cuma bertanya ‘apa yang harus kaulakukan’, Saudara harus bertanya ‘kenapa engaku melakukannya’. Saudara harus melihat fondasimu. Ini praktis,
Terakhir. Kita kembali melihat batu yang datang menghancurkan kerajaan dunia ini. Apa makna dari batu ini? Kita sudah melihat bahwa batu ini mewakili Kerajaan Allah. Kita juga sudah melihat perbandingannya; dibanding patung tadi, Kerajaan Allah itu batu, paling murah dan mungkin paling tidak berguna, sementara bahan-bahan dari patung itu bernilai/berguna tinggi (emas, perak, tembaga, besi, tanah liat), namun batu justru selalu ada dan paling bertahan dibandingkan semua yang lain. Hari ini kita melihat lebih detail.
Perhatikan deskripsi yang diulang dua kali, ayat 34, ‘terungkit lepas sebuah batu tanpa perbuatan tangan manusia’. Dalam bahasa aslinya, ini batu terpotong bukan oleh perbuatan tangan manusia. Jadi ada kontras satu lagi, yaitu: patung jelas bikinan tangan manusia, sedangkan batu ini bukan bentukan tangan manusia. Ini ada kaitan dengan seluruh Perjanjian Lama, ketika orang Israel disuruh mendirikan mezbah menggunakan batu yang tidak dipotong, batu yang natural. Hal ini bukan untuk kita jadikan preferensi dalam membangun rumah orang Kristen hari ini, tapi maksudnya bahwa Kerajaan Allah adalah kerajaan yang bersifat supernatural, datang dari atas, bukan datang dari manusia; dan yang dari Allah inilah yang justru terlihat tidak berharga dan tidak berguna di mata manusia. Di mata dunia, Kerajaan Allah selalu miskin dan tidak berharga, lemah, bukan sesuatu yang dipandang tinggi, namun yang tidak berharga dan tidak berguna inilah yang justru menghancurkan apa yang dianggap berguna. Kita akan masuk ke deeper meaning dari gambaran ini nanti; Saudara keep in mind dulu gambaran batu dan kontrasnya tadi.
Kalau tadi kita membicarakan back ground dengan melihat ke belakang, sekarang kita akan membicarakan batu ini dengan melihat ke depan. Dalam beberapa dekade sebelum Yesus lahir, orang Yahudi pernah melancarkan beberapa pemberontakan besar terhadap penjajah Romawi; tentu saja pada akhirnya semuanya mati di bawah kaki Romawi. Yosephus, seorang sejarawan Yahudi yang mencatat peristiwa-peristiwa ini, berusaha menjelaskan hal apa yang bisa menggerakkan orang Yahudi untuk memberontak, karena mereka ini ‘kan minoritas, tidak punya senjata, jadi ada harapan apa untuk bisa menang?? Yosefus berusaha menjelaskan; dan jawabannya, bahwa ada tulisan-tulisan dalam literatur kenabian Yahudi yang jadi dasar inspirasi pemberontakan-pemberontakan berdarah ini, ada nubuatan misterius dalam kitab suci orang Yahudi yang membuat pejuang-pejuang itu berani mati melawan Romawi, yaitu nubuatan Daniel pasal 2. Itu sebabnya pasal 2 ini berbahaya, pasal yang pernah menginspirasi orang mengambil nyawa orang lain atas nama agama. Ini masuk akal, karena kalau Saudara sedang menanti Kerajaan Allah datang dan menghancurkan kerajaan-kerajaan dunia, apalagi kerajaan yang keempat itu sepertinya mirip banget dengan kerajaan Romawi, maka sebagai orang Yahudi yang sedang ditindas Romawi, kita akan more than happy membantu Tuhan mendatangkan Kerajaan-Nya, untuk kehendak-Nya bisa terjadi di bumi seperti di surga. Jadi apa yang harus kita lakukan dengan hal ini?
Penggambaran kerajaan-kerajaan ini tidak cuma berhenti di Persia, Yunani, dan Romawi, tapi jadi pola yang bisa kita lihat dalam kerajaan-kerajaan dunia sampai hari ini, entah itu kuasa-kuasa kolonialisme di abad 19-20, bahkan kuasa dari internet, sosmed, AI, pada zaman sekarang. Jadi, waktu kita sebagai orang Kristen mengharapkan dan mengaminkan hal ini, bahwa kuasa-kuasa kerajaan ini semuanya sementara dan bahwa Tuhan akan datang menghancurkan semuanya sampai sisa sekam yang ditiup angin, apa sebenarnya yang dimaskudkan itu? Kita perlu memperhatikan bagaimana Yesus membaca dan menpergunakan kitab Daniel.
Yesus melihat diri-Nya sebagai penggenapan dari nubuat ini. Yesus melihat diri-Nya sebagai pembawa Kerajaan Allah. Itulah message utama Yesus. Yesus masuk ke Yerusalem dengan mendeklarasikan diri-Nya lewat berbagai simbol, bahwa Dia Raja, Dia pembawa Kerajaan Allah. Semua orang mengelu-elukan Dia sebagai Mesias. Dia sendiri berkali-kali me-refer diri-Nya sebagai Anak Manusia, sebutan yang diambil dari kitab Daniel pasal 7. Kita ingat dalam pembahasan yang lalu, pasal 7 paralel dengan pasal 2; dalam pasal 2 batu menghancurkan patung empat bahan, lalu dalam pasal 7 Anak Manusia menghancurkan empat binatang buas. Anak Manusia adalah batu itu. Lalu apa yang Yesus lakukan waktu Dia menghadirkan diri-Nya seperti demikian? Dia bukan angkat senjata, Dia malah melakukan sesuatu yang mencengangkan orang. Dia menyembuhkan orang sakit. Dia mencelikkan orang buta, Dia menolong bahkan orang-orang bangsa lain, Dia pernah menyembuhkan hamba seorang perwira Romawi. Sebaliknya, Dia malah cari ribut dengan pemimpin-pemimpin agama Yahudi.Ini kayaknya salah strategi, ya, bagaimana sih, Tuhan Yesus koq, terbalik banget, ‘kan semua presiden juga tahu, harus main cantik dengan para pemimpin agama mayoritas?? Yesus malah begitu keras terhadap mereka-mereka ini, sampai-sampai para pemimpin agama tidak tahan dan merasa better Orang ini mati sajalah.
Pada malam terakhir sebelum dibunuh, Yesus mengadakan pertemuan dengan murid-murid-Nya. Dalam Injil Yohanes, Dia mengatakan panjang lebar bahwa Dia Mesias, Raja, namun kata-kata terakhirnya paling nyesek, yaitu: “Kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia”. Mengalahkan dunia, ini Daniel pasal 2. Dan segera setelah Dia mengatakan kalimat tersebut, malam itu juga Dia ditangkap, dihukum mati, lalu besoknya Dia dipukuli, dihina, lalu dieksekusi di atas kayu salib. Itukah yang namanya mengalahkan dunia?? Jawabannya: iya. Itulah Yesus mengalahkan dunia.
Kapan Yesus menjadi Raja menurut kitab-kitab Injil? Kapan Dia menerima mahkota-Nya? Kapan Dia menerima jubah kebesaran-Nya, mendapatkan tongkat kebesaran-Nya? Kapan Dia diusung dan naik takhta? Apa takhtanya? Yaitu yang kita hari ini sebut dengan SALIB. Dan di atas salib itu Dia juga mendapatkan titel-Nya, nama rajani-Nya, yang menunjukkan kepada seluruh dunia, siapa Orang ini, yaitu: Inilah Raja Orang Yahudi –inilah The King.
Saudara lihat, cara Yesus membawa batu Kerajaan Allah menghancurkan kerajaan-kerajaan dunia, adalah dengan cara yang begitu paradoks, kontradiktif bagi orang-orang sezamannya, bahkan bagi kita hari ini yang sudah mengikut Dia 1 tahun, 2 tahun, 20 tahun, yaitu dengan membiarkan diri-Nya dihancurkan oleh kerajaan dunia. Namun inilah caranya Injil membingkap peristiwa itu. Paulus belakangan juga me-refer salib sebagai momen Yesus melucuti pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, serta menjadikan mereka tontonan umum dalam kemenangan-Nya atas mereka. Tapi siapa yang dilucuti di sini?? Siapa yang ditontoni di sini?? Saudara pikir baik-baik, ini adalah momen kerajaan-kerajaan dunia itu dieksposs, dipermalukan, jadi tontonan. Ini Romawi di satu sisi, dan Yudaisme di sisi yang lain. Ada yang mengatakan inilah kaki besi yang bercampur dengan tanah liat, Romawi dan Yudaisme. Yang satu adalah kerajaan yang sampai hari ini masih dielu-elukan pencapaian sekulernya, yaitu koloseumnya, militernya, dan khususnya codex-nya (hukumnya). Yang satu lagi adalah agama ancient yang begitu dalam akarnya. Dan kedua-duanya melakukan apa dalam peristiwa salib? Kedua-duanya membunuh orang yang mereka tahu tidak bersalah. Ini tontonan yang sangat memalukan.
Inilah cara Allah mengalahkan kuasa kerajaan dunia; bukan menghantam dengan terorisme, revolusi, atau angkat senjata, melainkan dengan membiarkan senjata kerajaan dunia menghancurkan Anak-Nya, karena ternyata ujungnya ‘gak ngefek. Ujungnya mati, tapi kebangkitan dari kematian. Inilah yang dipertontonkan: semua yang kau anggap kuasamu, kekuatanmu, pengaruhmu, ‘gak ngaruh, bahkan semua itu diambil dirangkul, dan menjadi bagian dari momen yang menunjukkan dengan jelas Siapa yang sesungguhnya pegang power di sini. Pada akhirnya semua serangan itu bukan membuat Yesus lemah, melainkan menjadikan-Nya jauh lebih kuat dibandingkan kalau Dia tidak pernah mati.
Saudara, inilah maksudnya Allah mengatakan ‘Aku akan mendirikan Kerajaan-Ku; Kerajaan-Ku akan datang, Kerajaan-Ku akan menghantam kerajaan-kerajaan dunia ini, meruntuhkan mereka sampai habis, lalu Kerajaan-Ku akan bertumbuh menjadi kerajaan yang sangat berbeda, kerajaan yang fondasinya bukan lagi kemuliaan manusia melainkan kemuliaan Allah, oleh karena itu Kerajaan ini didasarkan bukan lagi atas penumpahan darah melainkan damai sejahtera, bukan lagi atas penindasan melainkan damai keadilan’. Karena apa, Saudara? Karena yang menang itu batu. Inilah pekerjaan Allah.
Saya percaya, waktu Tuhan mengatakan ‘lihat, kemuliaanmu yang kaudirikan di atas fondasi yang begitu rapuh ini akan hancur suatu hari’, Dia bukan mengatakan semua itu dengan nada mengancam, melainkan dengan nada yang lembut. Inilah yang sesungguhnya kita butuhkan, kita perlu diruntuhkan. Saudara bayangkan dunia yang diisi dengan manusia-manusia yang semuanya bermimpi membangun image mereka masing-masing, itu dunia yang kayak apa?? Itu dunia yang Saudara sedang hidup di dalamnya. Maka tidak heran sebelum dunia dicabut kuasanya, umat Tuhan dan Gereja terlebih dulu dicabut kuasanya. Kita terlebih dulu hidup menjadi kaum buangan di dunia ini. Kita terlebih dulu dipanggil untuk hidup sebagai kerajaan batu. Untuk kapa? Untuk jadi bukti hidup. Inilah yang kita butuhkan, yang dunia butuhkan, yaitu kita mulai belajar kerendahan hati, kita mulai belajar bergerak dari self-centeredness menjadi saluran berkat.
Saudara bisa membaca semua peristiwa pembuangan ini sebagai hukuman atas dosa-dosa kita; dan memang benar Yehuda dibuang karena ketidaksetiaannya, kita perlu dihukum karena kita semua juga sedang membangun image dan kingdom kita masing-masing. Tapi lihat, hukuman Tuhan tidak pernah semata-mata untuk menghancurkan, hukuman Tuhan selalu memurnikan, maka gambaran yang sering kali dipakai adalah api. Api itu sakit, ada yang terbakar, and yet yang terbakar dan sakit itu memang hal-hal yang perlu dibuang, yang tidak bisa dan tidak boleh mewarisi langit dan bumi yang baru.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading