Kita akan membagi khotbah hari ini dalam tiga babak. Babak pertama: Tesalonika; babak kedua: Berea; babak ketiga: Atena.

TESALONIKA
Kita ingat pada pasal sebelumnya, Paulus ditangkap dan dipenjara di Filipi. Peristiwa penangkapan tersebut ilegal; Paulus sebetulnya secara hukum punya hak untuk diadili, dan punya hak juga untuk menyeret orang-orang yang menangkap dia ekstra yudisial itu ke pengadilan. Pembesar-pembesar dan pejabat-pejabat kota lalu dengan gemetar pergi ke penjara, menyuruh melepaskan Paulus dan temannya secara diam-diam, tetapi Paulus menolak. Paulus mengatakan: “Tanpa diadili, mereka mendera kami warganegara Roma di depan umum, menjebloskan kami ke dalam penjara. Sekarang mau mengeluarkan kami dengan diam-diam? Tidak bisa demikian! Biar mereka datang sendiri dan membawa kami ke luar.” Pembesar-pembesar kota itu lalu menghadap Paulus –pada hari sebelumnya Paulus yang menghadap mereka– mereka menghadap Paulus dengan takut karena tahu telah melakukan pelanggaran di hadapan hukum Roma. Merekalah yang telah memerintahkan Paulus dan temannya untuk ditangkap, tetapi sekarang mereka memohon supaya Paulus dan temannya pergi meninggalkan kota itu. Palulus tidak segera pergi ngibrit dengan buntut dikepit di antara dua kaki belakang, Paulus berlama-lama sedikit, santai-santai tinggal di rumah Lidia lebih dulu, untuk meninjau saudara-saudara di sana dan memberi penghiburan sebelum dia berangkat dari situ.
Mereka sampai di Tesalonika. Di Tesalonika dia masuk ke rumah ibadat orang Yahudi. Jadi seperti biasa Paulus memang terlebih dahulu mencari titik kontak yang paling dekat dengan Injil. Berhubung Injil merupakan penggenapan dari Perjanjian Lama, maka logis kalau dia memberitakan Injil kepada orang yang sudah paham betul Perjanjian Lama, yaitu orang-orang Yahudi, maka setiap kali dia pergi ke kota yang baru, dia mencari orang-orang Yahudi atau rumah ibadat orang Yahudi.
Di sana sepertinya Paulus diterima, dia disuruh khotbah tiga hari Sabat berturut-turut, bertukar pikiran bagian-bagian Kitab Suci dengan mereka. Dia menerangkan dan menunjukkan bagaimana Mesias harus menderita. Mereka tampaknya kurang jelas akan hal ini, sepertinya bagi mereka Mesias just akan datang dan membereskan semua yang bengkok dalam dunia dengan kekuatan yang tidak bisa dilawan bangsa-bangsa asing, pastinya Mesias ini akan memimpin mereka dalam perang sebagaimana yang sudah-sudah –seperti Simson, Gideon, Saul, Daud, yang memimpin bangsa Israel dalam perang, dan menang. Itu saja yang mereka tahu; tetapi ternyata Mesias itu harus menderita dulu. Ini konsep baru bagi mereka, maka Paulus menjelaskannya. Apalagi bahwa Mesias itu pada akhirnya mati dan kemudian bangkit (dibangkitkan oleh Tuhan), ini juga baru buat mereka, mereka tidak paham sebelumnya. Paulus pun menjelaskan dari Kitab Suci, seperti yang dilakukan Yesus.
Beberapa orang dari mereka lalu menjadi yakin, dan menggabungkan diri dengan Paulus dan Silas. Mereka dimenangkan oleh Paulus, mereka teryakinkan oleh berita Injil yang diberitakan dalam tiga minggu itu. Jadi penginjilan Paulus di sini tidak hit and run, yang cuma datang lalu sharing-sharing, ‘Lu orang berdosa lho, nanti malam kalau Lu mati, habislah. Lu tahu ‘gak jalan keluarnya? Sudah kenal apa belum dengan Yesus?’, sementara Yesus itu artinya apa, tidak dijelaskan, ‘pokoknya Lu percaya sama Yesus yang gua beritakan ini, berdoa bersama gua terima Yesus dalam hati Lu, nanti Lu ‘gak perlu khawatir lagi’. Paulus tidak seperti itu, dia menjelaskan dari Perjanjian Lama, berarti penjelasan yang agak panjang, diperlukan waktu tiga minggu, sampai kemudian mereka jadi sangat jelas apa yang mereka tolak atau yang mereka harus terima.
Selanjutnya dikatakan oleh Lukas: ‘Beberapa orang dari mereka menjadi yakin dan menggabungkan diri dengan Paulus dan Silas dan juga sejumlah besar orang Yunani yang takut kepada Allah, serta tidak sedikit perempuan-perempuan terkemuka’. Yang dimaksud ‘beberapa orang dari mereka’ adalah beberapa orang dari sinagoge itu. Di sinagoge pasti mayoritasnya orang Yahudi, tapi ada juga beberapa orang dari latar belakang Yunani yang simpati kepada agama Yahudi. Ini seperti juga di gereja ada orang-orang dari keluarga bukan Kristen, mungkin dari keluarga Budha, Konghucu, Islam, Hindu, atau apapun, yang karena satu dan lain alasan, hadir juga di gereja, bahkan bisa juga orang yang latar belakang keluarganya ateis. Jadi ini sesuatu yang wajar, di semua agama saya kira ada yang seperti itu. Dalam hal ini kita sudah melihat contoh yang Lukas catat sebelumnya, ada Kornelius pembesar Romawi yang simpati pada agama Yahudi, maka dia sering hadir di sinagoge. Namun hal yang di-highlight Lukas di sini adalah bahwa orang-orang sejenis itu, outsiders di sinagoge, yang lebih banyak diyakinkan oleh Paulus melalui kabar mengenai Mesias yang menderita, Mesias yang mati, Mesias yang bangkit. Orang-orang Yahudi sendiri bagaimana? Tidak disebut di sini, kemungkinan bukan tidak ada, melainkan tidak sebanyak orang Yunani dan orang-orang yang takut kepada Allah.
Lalu orang-orang Yahudi itu menjadi iri hati (maksudnya orang-orang Yahudi yang tidak percaya, bukan merujuk suku tertentu), dan dengan bantuan preman-preman pasar, mereka bikin keributan, menyerbu rumah Yason dengan maksud menyeret Paulus dan Silas untuk diadili. Menarik bahwa mereka tidak menyeret Paulus dan Silas ke hadapan sidang agama Yahudi melainkan ke persidangan rakyat; dan rakyat di sini maksudnya tentu rakyat Romawi. Jadi tuduhannya sangat jelas; tuduhannya bukan: “Orang-orang yang telah mengacaukan seluruh dunia telah datang ke mari, Yason menerima mereka; mereka bertindak melawan hukum Allah, melawan Taurat, melanggar hari Sabat”, melainkan bahwa mereka melanggar ketetapan-ketetapan Kaisar. Sejak kapan orang Yahudi simpati dan ingin menganiaya orang yang melanggar ketetapan kaisar Romawi?? Mereka sendiri ‘kan suka nyinyir di medsos terhadap kaisar Romawi, mereka tidak suka pada Kaisar karena Kaisar menganggap dirinya dewa, sedangkan dewa-dewa adalah bualan omong kosong bagi orang Yahudi; jadi sejak kapan mereka mendadak jadi buzzer Kaisar?? Biasanya mereka kepinginnya Kaisar cepat mati saja, kalau Mesias datang nanti dihabisi saja Romawi sampai gulung tikar, koq sekarang sebegitu pedulinya dengan orang-orang yang makar/subversi, tidak taat pada Kaisar?? Mereka sendiri tidak taat pada Kaisar. Jadi kenapa mereka begitu? Tentu saja di sini Lukas mau menggambarkan bahwa Paulus dan Silas seperti Yesus dianiaya, oleh orang-orang Yahudi yang tadinya juga benci pada Romawi tetapi memakai hukum Romawi untuk mempersulit hidup mereka. Yesus waktu itu juga dituding sebagai pemberontak terhadap Kaisar, mereka mengatakan, “Orang Ini mengaku Raja; kalau Pontius Pilatus melepaskan Orang ini, Pontius Pilatus bukan sahabat Kaisar”, demikian mereka memberi pressure pada Pontius Pilatus, padahal lucu juga, sebab biasanya pemuka-pemuka agama Yahudi berseberangan dengan poilitik Romawi.
Demikianlah tuduhan mereka terhadap Paulus dan Silas, tetapi orangnya tidak bisa ditangkap karena kebetulan sedang pergi entah ke mana, maka yang ditangkap si bapak kos, Yason, yang memberikan tumpangan. Yason pun diseret ke depan sidang pengadilan rakyat, mungkin semacam rapat kelurahan atau balaikota. Yason kemudian memberikan jaminan. Entah apa jaminannya, Lukas tidak mencatat; mungkin jaminan dengan membayar denda, atau berupa kata-kata seperti: “Tangkap saya kalau mereka mengacau lagi”, atau “Kalau sampai malam ini mereka masih di kota ini, jebloskan saya ke penjara”, atau apapun lainnya. Intinya mereka reda, tidak gempar lagi, Yason dan saudara-saudara lainnya dilepaskan. Malam itu juga saudara-saudara di situ segera menyuruh Paulus dan Silas berangkat ke Berea. Inilah permulaan dari episode Berea.
BEREA
Setibanya di Berea, mereka melakukan hal yang sama, pergi ke sinagoge Yahudi. Orang-orang Yahudi di Berea lebih terbuka hatinya terhadap pesan mesianik ini.
Dikatakan di sini: ‘Mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian’. Ini satu motif yang penting karena frasa ‘supaya kamu tahu apakah semuanya itu benar demikian’ merupakan frasa khas Lukas; Lukas mengatakan itu kepada Teofilus yang mulia di dalam permulaan Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Lukas memang menuliskan ini semua supaya orang-orang di luar Yahudi, seperti Teofilus, bisa mengetahui apakah semuanya benar demikian. Jadi ini supaya tidak iman buta, supaya tidak ‘lu percaya gue aja deh, gue ajarin lu, sebenernya begini-begini… ‘; dan Lukas tidak demikian, dia memberikan evidences-nya, exegesis-nya, bukti-buktinya, alasan-alasannya, prosesnya, dan sekarang silakan kamu putuskan sendiri. Di bagian ini Lukas menitipkan hal tersebut jadi suatu komentar atas orang-orang Yahudi di Berea, yang ternyata juga sudah memenuhi sikap tersebut. Jadi, apa yang diharapkan Lukas atas komunitas Kristen, khususnya non-Yahudi, ternyata dipenuhi oleh orang-orang Yahudi di Berea; dengan kata lain, orang-orang Yahudi di kota ini menjadi model Gereja yang kira-kira merupakan ideal dari eklesiologinya Lukas.
Di antara mereka yang jadi percaya di Berea itu, Lukas mengatakan: ‘… tidak sedikit di antaranya adalah orang Yunani yang terkemuka, baik perempuan maupun laki-laki’. Deskripsinya di sini agak berbeda dari deskripsi resepsi Tesalonika, ‘sejumlah besar orang Yunani yang takut akan Allah menggabungkan diri, menjadi yakin dengan berita Paulus dan Silas’. Kalau dikatakan ‘sejumlah besar’ dan ‘tidak sedikit’, kira-kira lebih banyak yang mana? Lebih banyak yang ‘sejumlah besar’, lalu downgrade sedikit barulah ‘tidak sedikit’. Artinya, di Berea ini lebih banyak komposisi orang-orang Yahudi yang menerima Injil dibandingkan di Tesalonika. Di Tesalonika sepertinya kebanyakan orang-orang non-Yahudi yang menerima Injil, walapun di Bereka juga tidak sedikit orang-orang Yunani yang menerima Injil. Kurang lebih demikian yang Lukas utarakan lewat ekspresi tersebut.
Penekanan Lukas baik di pasal 17:1-4 dan pasal 17:10-12 adalah soal adanya laki-laki maupun perempuan di antara orang-orang percaya tersebut. Harusnya ‘kan cukup disebutkan ‘orang-orang Yunani’ atau ‘orang-orang Yahudi’, tapi kenapa dia menyebutkan ‘laki-laki dan perempuan’? Dalam bagian yang pertama, dia sebutkan ‘tidak sedikit perempuan terkemuka’, di bagian kedua dia sebutkan ‘perempuan maupun laki-laki’, lalu di pasal 16 dia juga menyebutkan ‘Lidia’, yang pastinya seorang perempuan; kenapa? Saya kira –apalagi kalau kita bandingkan dengan situasi sosial kultural abad pertama—tentu saja ini mau menggambarkan bahwa gerakan Yesus ini merupakan terobosan, karena di dalam lingkungan Yahudi biasanya orang tidak bicara dengan ekspresi seperti tadi, berhubung perempuan dianggap auxiliary, cuma pelengkap/pembantu saja, cuma subset dari main set yang adalah laki-laki. Gerakan Kristen merupakan gerakan yang mau mengembalikan fitrah dari human being, homo sapiens, sebagai homo relationis, manusia sebagai mahkluk persekutuan, sebagaimana gambaran dalam Kejadian 1:27, manusia diciptakan di dalam (menurut) gambar dan rupa Allah, lalu ditambahkan: ‘laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka’; artinya, diciptakan dalam gambar dan rupa Allah adalah diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Jadi, kalau kita menilik ekspresi yang Lukas pilih, ‘demikian prempuan dan laki-laki percaya kepada Injil’, saya kira ada penekanan itu, meski dia bisa memakai ekspresi yang lebih sederhana, lebih generik, lagipula tulisan ini dibikin oleh orang pada zaman tinta dan kertas mahal sehingga setiap kata dihitung, tidak seperti kita sekarang yang menulis panjang atau pendek sama saja.
Honeymoon period di Berea ini tidak berlangsung lama, karena ketika orang-orang Yahudi dari Tesalonika dengar bahwa Paulus pindah ke Berea, berkiprah di sana –bikin kacau lagi– mereka datang menghasut orang-orang di Berea, menggemparkan, bikin provokasi, sehingga akhirnya orang-orang percaya di Berea, jemaat yang baru berdiri itu, menyuruh Paulus segera berangkat menuju pantai. Dari situ kemudian Paulus sampai ke Atena; tidak diceritakan oleh Lukas apakah dia sampai Atena lewat darat atau laut, karena tidak ada catatan di sini bahwa mereka melepas Paulus sampai ke kapal, dsb. Intinya Paulus diantar sampai ke Atena, lalu orang-orang itu balik lagi ke Berea untuk berpesan kepada Silas dan Timotius agar menyusul Paulus segera. Rupanya Silas dan Timotius sengaja ditinggalkan di Berea, kemungkinan untuk menyelesaikan serial PA mereka, meneruskan karya Paulus di sana, berhubung Paulus yang lebih “wanted” di situ, sedangkan Silas dan Timotius tidak terlalu dicari, yang penting Paulus-nya sudah pergi.
ATENA
Paulus pergi ke Atena. Dikatakan di sini ‘sementara dia menantikan kedatangan Silas dan Timotius’; jadi alasannya Paulus bersikeras agar Silas dan Timotius datang, kemungkinan karena dia membutuhkan mereka di kota yang hampir-hampir tidak ditemukan orang Yahudi. Sepertinya hanya sedikit orang Yahudi di sana, karena di bagian ini tidak dikatakan adanya sinagoge.
Kita tahu Atena itu kota filsuf, kota filsafat. Mungkin ini mirip seperti kalau kita mengatakan ‘Aceh kota yang sangat agamis’, ‘Las Vegas kota yang sangat sekularis’, maka di sini ‘Atena kota yang sangat filosofis’. Di Atena, kita ingat ratusan tahun sebelumnya ada Pericles, seorang penguasa kota yang sangat bijaksana, membawa Atena dalam hanya belasan tahun menjadi masa keemasan. Atena menyaksikan kematian Socrates. Atena juga menyaksikan akademia dari Plato berdiri. Atena juga menyaksikan Lyceum dari Aristotle berdiri. Atena juga menyaksikan orang-orang Stoa, seperti Zeno dari Citium, mengumpulkan murid-muridnya di Stoa Poikile untuk bertukar pikiran mengenai filosofi Stoisisme. Atena juga menyaksikan Epicurus membeli sebidang tanah untuk mengumpulkan murid-muridnya, berdiskusi soal-soal filsafat kehidupan. Jadi Atena adalah kota filsuf; dan ketika Paulus masuk ke Atena, dia sadar butuh bantuan, maka dia menyuruh agar Silas dan Timotius setelah menyelesaikan tugasnya di Berea, cepat-cepat datang ke Atena.
Sementara menunggu (menunggunya mungkin beberapa hari, beberapa minggu, bahkan beberapa bulan), Paulus keliling-keliling di kota itu. Di kota itu ada rumah ibadat orang Yahudi. Paulus kemudian bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi di signagoge itu, dan juga orang-orang yang takut akan Allah (orang-orang non-Yahudi yang simpati pada agama Yahudi). Juga di pasar (marketplace) Paulus bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah. Namun di Atena itu lebih banyak orang-orang dari golongan Epikuros dan Stoa yang berdebat dengan Paulus. Perdebatan yang dimulai di pasar ini kemudian diformalisasi, Paulus diberi podium untuk mempertanggungjawabkan sekaligus memberikan sebuah public lecture, di sebuah tempat yaitu Bukit Mars (Mars Hill). Dia diundang oleh event organizer yang bernama Areopagus, suatu sidang yang menangani pengajaran-pengajaran dan situasi-situasi yang bersangkut-paut dengan kota mereka.
Di antara orang-orang yang menyidang Paulus, mereka bertanya, “Boleh kami tahu ajaran baru mana yang engkau ajarkan ini? Engkau memperdengarkan kepada kami hal-hal asing, kami ingin tahu apa artinya”. Audiens di situ siap mendengar; di sini Lukas memberi gambaran ‘semua orang di Atena dan orang-orang asing yang tinggal di situ hanya punya waktu untuk hal-hal baru’. Maksudnya, mereka adalah orang-orang yang sangat rindu mendengarkan pengajaran yang canggih, yang terkemuka, yang paling update; kalau yang sudah kuno, sudah pernah dengar sepuluh kali, ngapain kita dengar lagi, sedangkan kalau hal yang baru, mereka siap mendengarkan. Jadi di satu sisi, dibandingkan dengan orang-orang di Tesalonika yang close minded, orang-orang di Atena ini bahkan lebih open minded daripada orang-orang di Berea. Tapi apa benar mereka open minded? Kayaknya tidak juga. Mungkin deskripsi yang lebih tepat bukan open minded tapi mereka curious saja. Curiousity tentu salah satu komponen dari open mindedness, namun mereka tidak benar-benar open minded kayaknya. Mereka hanya kepingin dengar dengan penasaran karena rasa ingin tahu mengenai apa yang dikabarkan oleh Paulus, tetapi ketika mereka menganggap itu berarti harus meninggalkan cara hidup yang lama, mereka tidak bisa terima, mereka menolaknya sama sekali.
Bagaimanapun, Paulus memanfaatkan kesempatan itu. Paulus berdiri di hadapan sidang Areopagus itu. Di Bukit Mars itu ada sebuah tempat yang memang cocok banget, berhubung ada tembok tinggi di belakang yang jadi semacam pemantul suara, sehingga bikin lokasi tersebut cocok banget untuk audiensi orang banyak, suara Paulus bisa didengar sampai jauh dengan baik. Paulus memulai ceramahnya dengan pendekatan yang mencari satu commond ground; dia mengatakan: “Hai orang-orang Atena, aku lihat dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada ilah-ilah.” Ini satu hal yang mereka tidak bisa tolak. Paulus di sini mengatakan ‘kamu tuh religius banget’; dan itu memang benar, sudah terkemuka di mana-mana bahwa di Atena itu, untuk menemui patung jauh lebih ada chances ketimbang menemui orang, jumlah patung lebih banyak daripada jumlah orang.
Selanjutnya dia mengatakan: “Waktu aku berjalan-jalan, aku ketemu sebuah mezbah, dan di mezbah itu dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal.” Ini mungkin berhubungan dengan satu insiden di kota itu yang suatu ketika ada wabah penyakit, lalu mereka pakai segala cara, mereka cari kambing hitamnya dan kemudian mempersembahkan kurban. Mereka mempersembahkan kurban kepada Dewa Zeus, kepada dewa ini dan dewa itu, tetapi wabahnya tidak kunjung reda. Lalu konon (dalam hal ini ada banyak versi) ada satu sosok misterius datang menyuruh mereka mempersembahkan kurban kepada sesuatu dewa, sosok itu lalu menghilang, dan tak lama kemudian wabahnya selesai. Mereka bertanya-tanya, “Itu dewa siapa yang mengunjungi kita??” Tidak ada yang tahu. Jadi untuk mencegah supaya wabahnya tidak datang lagi, mereka mendirikan mezbah di mana-mana, mezbah untuk mempersembahkan kurban “kepada allah yang tidak kami kenal” –karena allahnya memang tidak tradisional, allahnya nameless, allah yang asing. Namun Allah yang asing itulah sepertinya yang diberitakan oleh Paulus; dan Paulus memanfaatkan hal itu.
Paulus mengatakan: “Aku membawa kabar, aku membawa Injil dari Allah yang tidak kamu kenal itu, yang mezbahnya aku lihat. Yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itu yang aku beritakan; dan Allah itu –demikian Paulus taruh dalam placeholder itu– adalah Allah orang Ibrani”. Memang dia tidak mengatakannya secara politik identitas begitu sih, namun yang dia katakan itu isinya sama, bahwa ini Allahnya orang Ibrani. Ayat 24-28 Paulus blending narasi teologi dari Kejadian pasal 1-11 dengan karya-karya dari Aratus, Cleantes, dan Epimenides.
Khususnya dari Cleantes, dia mengarang “Ode to Zeus”, puji-pujian kepada Dewa Zeus, di mana dia menggarisbawahi supremasi Dewa Zeus yang kekuasaannya ada di mana-mana, di segala tempat dalam jagat raya ini, dan bagaimana Dewa Zeus menyediakan providensia. Cleantes ini orang Stoa; dan orang Stoa sangat percaya pada providensia ilahi (kita mengetahu istilah/konsep ‘providence’ bukan dari Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, kita meminjam istilah itu dari orang-orang Stoa). Cleantes menceritakan bagaimana Zeus provide bagi ciptaannya melalui law and order (hukum dan peraturan), lewat providence; juga bagaimana semua manusia berasal dari Zeus, ciptaan Zeus. Yang terakhir, Cleantes juga menceritakan bagaimana anak-anak manusia punya kegelapan, pemberontakan, di dalam hatinya, namun pada akhirnya hukum dan kemahakuasaan, kedigdayaan, serta kedaulatan Zeus yang akhirnya menang. Dengan demikian Cleantes secara implisit atau secara parafrasa mengutip Epictitus, seorang filsuf Stoa yang lain, bahwa fate/fatum/takdir menuntun mereka yang taat, tapi menyeret mereka yang tidak taat. Takdir menuntun dengan lemah lembut mereka yang hatinya terang, yang hatinya lurus, yang mau menyelaraskan hatinya dengan hukum dari Zeus atau para dewa, yang mau tak mau, karena sudah pasti benar. Ini sama seperti kalau orang mengatakan 2+2 adalah 4,1 –kurang taat sedikit– maka suatu hari nanti mau tidak mau dia belajar dan belajar, dan tahu 2+2 adalah 4, bukan 4,1; artinya pada akhirnya kebenaran akan menang, simply karena kebenaran itu benar. Demikian konsep yang ada di belakangnya. Jadi dalam “Ode to Zeus”, Cleantes mencoba mengatakan bahwa pada akhirnya kehendak para dewa yang akan menang karena mereka benar, dan mereka yang menyelenggarakan kehidupan serta jagat raya ini; namun ada orang-orang yang hatinya gelap, dan mereka itu toh pada akhirnya akan melakukan kehendak dewata juga, tetapi karena diseret, unwilling; fate guides the willing, but drags the unwilling.
Demikian Cleantes; dan dikutip oleh Paulus dengan blending Kejadian pasal 1. Dia menggambarkan bagaimana Allah menjadikan bumi dan segala isinya: BERESHIT BARA ‘ELOHIM ‘ET HASHAMAYIM VE’ET HA’ARETS. VEHA’ARETS HAYETAH TOHU VAVOHU (pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi, bumi belum berbentuk dan kosong). Dia address hari pertama sampai hari ketiga mengenai ‘tidak berbentuk’ (tohu), dalam arti kacau balau, terang campur dengan gelap, air di atas campur dengan air di bawah, dst. (hal ini nantinya balik lagi dalam banjir zaman Nuh); dan tohu ini yang kemudian dibikin jadi berbentuk, menjadi keteraturan, lewat tindakan penciptaan memisahkan. Tuhan memisahkan terang dari gelap, memisahkan siang dari malam, memisahkan air di atas dan air di bawah, memisahkan daratan dan lautan.
Bukan cuma memisahkan, membikin space, Dia juga mengisi, memberi konten, basically dengan memberi penguasa. Dia memberi penguasa dari langit yaitu burung-burung, penguasa dari laut yaitu ikan-ikan dan lewiatan. Jadi ada dua penguasa. Burung di sini bukan sekadar seperti gambaran kita tentang burung yang berkicau, burung pipit yang kecil, yang kita keker pakai lensa Canon 1000 mm 2,8 atau apapun, tapi gambarannya dahsyat, seperti burung elang, bahkan kayak monster-monster burung versi orang-orang Amerikan Latin, orang-orang Aztec, Inca, dsb. Jadi gambarannya dekat dengan burung-burung yang seperti itu, burung-burung yang mengerikan. Demikian juga dengan ikan-ikan, jangan bayangkan ikan guppy atau ikan koki yang lucu-lucu; ikan-ikan di sini adalah monster-monster laut juga, lewiatan juga. Tuhan menciptakan itu semua, segala isi dari jagat raya ini, penguasa dari langit dan penguasa dari lautan, juga the beast of the earth (penguasa daratan), yaitu sapi-sapi yang besar. Kemarin saya lihat video tentang sapi, ukurannya tidak gede-gede banget, seekor sapi jantan remaja. Tapi waktu dia lagi ngamuk, dia menanduk mobil segede Honda Mobilio atau Avanza, dan mobil tersebut kayak mainan saja, bisa terangkat, bergeser, dst., luar biasa. Itu baru sapi, bukan binatang yang paling gede, gajah lebih gede lagi. Tuhan menciptakan itu semua. Dia membikin bentuk, Dia addressing tohu, dan Dia memberi isi, Dia addressing bohu.
Itu semua Dia kerjakan sendiri, Dia adalah sumbernya. Dia tidak tinggal dalam kuil-kuil buatan manusia, Dia tidak dilayani oleh tangan manusia, tidak seperti dewa-dewa asing yang perlu diberi makan. Dia tidak kurang apa-apa. Ini allude doanya Salomo, bahwa seisi hutan milik Tuhan, segala lembu dan sapi kepunyaan Tuhan, disembelih semua pun itu semua dari Tuhan; dan memangnya Tuhan butuh itu? Jawabannya: tidak; malah Dialah yang memberi hidup, memberi nafas kepada semua orang dan segala sesuatu. Selanjutnya, dari satu orang saja Dia menjadikan seluruh umat manusia. Tentu ini allude pada kisah penciptaan Kejadian pasal 1-2, bahwa dari Adam, satu orang saja, Dia membangun dan menjadikan seluruh umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi. Dia menentukan musim-musim dan batas-batas kediaman mereka (seperti dalam cerita Nuh). Semua itu diselenggarakan Allah supaya apa? Supaya mereka mencari Allah. Supaya mereka mudah-mudahan menemukan Dia, walaupun Dia tidak jauh dari kita masing-masing, sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada.
Orang-orang Stoa ketika mendengarkan ini semua, tentu mengartikannya secara panteistis, tetapi Paulus jelas bukan orang panteis, dia seorang Jewish; dan kita tahu reaksi orang Jewish terhadap pantheism dan juga pseudo-pantheism seperti Spinoza. Spinoza terlahir sebagai Baruch Spinoza, dan dia diusir dari sinagoge Amsterdam waktu masih belasan tahun karena bikin risalah teologi filsafat, yang waktu dibaca rabi-rabi dianggap tidak ortodoks, dia diperingatkan untuk mencabutnya, dia tidak mau, dan akhirnya diusir. Sampai sekarang masih ada doa pengusirannya, berbunyi: “Terkutuklah masukmu dan keluarmu, terkutuklah ketika engkau duduk dan ketika engkau berdiri, terkutuklah engkau di dalam rumah dan di luar rumah … “. Dosanya adalah panteisme, kira-kira begitu di dalam pikiran orang Yahudi; namun kalau kita baca lebih teliti, kemungkinan tuduhannya juga salah, meski mereka melihatnya begitu. Paulus pastinya tidak panteistis, bahkan mungkin tidak seperti Spinoza ekspres-ekspresinya. Anyway, Paulus mengatakan ini kepada orang-orang panteis, orang-orang Stoa, jadi dalam hal ini saya kira dia tidak membeo panteisme orang-orang Stoa untuk diterima orang-orang Stoa. Paulus mau mencari titik temu, untuk kemudian membawa mereka pada pemahaman yang betul, maka terakhir dia mengatakan sesuatu –yang mereka tolak.
Dia mengatakan: “Allah menyelenggarakan providensia-Nya itu –sesuatu yang mereka bisa terima– supaya kita menemukan Dia dan supaya kita bertobat/berbalik dari kebodohan ini”. Kebodohan apa? Kebodohan ‘walaupun kita berasal dari keturunan Allah (Paulus kutip ini dari pujangga Aratus, seorang Stoa juga), tetapi kita berpikir bahwa keadaan Ilahi itu seperti emas atau perak atau batu atau ciptaan kesenian/keahlian manusia’. Dari kebodohan itu, Allah memerintahkan semua orang untuk bertobat. Dan, Allah telah bersabar, namun kesabaran Allah ada batasnya, kesabaran Allah akan diakhiri dengan penghakiman, dan penghakiman itu diadakan oleh Seseorang yang dibangkitkan dari kematian. Orang itu siapa, tentu yang dimaksudkan Paulus adalah Yesus. Pada titik ini, sebelum Paulus sempat menyebut ‘nama-Nya Yesus’, mereka sudah pergi, masing-masing berdiri dari kursinya dan meninggalkan tempat itu. Mereka mengatakan, “Kami ingin mendengar engkau berbicara lagi tentang hal itu”, namun dengan ekspresi yang sebetulnya mengejek, menolak Paulus. Kenapa? Karena mereka menolak kebangkitan orang mati, jadi mereka menolak kebangkitan Yesus juga.
Namun bukan semuanya menolak, ada juga orang-orang yang menerima. Orang-orang yang menerima ini bukan sekadar orang-orang yang tidak punya pilihan, orang-orang yang sudah seperti barang-barang sisa (reject shop), orang-orang yang tidak ada yang mau mereka, melainkan orang-orang yang terkemuka. Misalnya Dionisius, yang kemudian hari dikenal sebagai Dionisius Areopagit; dan juga seorang perempuan bernama Damaris. Kembali muncul motif ini, ‘seorang perempuan’, karena tentu Paulus ada misi tertentu, Injil ingin menyampaikan liberasi/kemerdekaan juga kepada kaum perempuan.
Demikian tiga babak dalam pasal ini; apa yang bisa kita pelajari dari sini?
Saya kira beberapa hal. Pertama-tama, kita bisa melihat ada perbedaan antara resepsi, atau lebih tepatnya demografi orang-orang yang menerima Injil di Tesalonika, Berea, dan Atena; dan kita bisa belajar sesuatu dari situ. Di Tesalonika ada indikasi lebih banyak orang-orang non-Yahudi yang menerima. Di Berea sepertinya orang-orang Yahudi lebih reseptif. Di Atena sepertinya hampir semua tidak menerima, orang-orang Yahudinya juga menolak, dan yang menerima sepertinya orang-orang non-Yahudi (orang-orang pagan) kalau dilihat dari namanya.
Dari sini, saya kira kita bisa belajar bahwa kita tidak boleh terlalu fokus pada orang-orang yang menolak atau mengeraskan hati. Kita tidak perlu terlalu fokus untuk menang, seolah-olah kalau mereka menerima maka kita menang, dan kalau mereka menolak maka kita kalah. Kita tidak perlu terlalu fokus ke sana, karena panggilan kita adalah menjadi saksi yang setia. Panggilan kita terutama pada message yang kita utarakan, baik lewat kata-kata maupun lewat cara hidup kita, segala perbuatan kita kepada orang lain; dalam hal ini, message kita itu apa, Injil atau message dunia ini.
Mengenai siapa yang bertobat, berapa banyak yang bertobat, itu bukan urusan kita, itu urusan Tuhan. Dan kenyataannya, siapa yang menerima dan siapa yang menolak, kita tidak bisa cari polanya. Kalau dikatakan ‘orang-orang Yahudi akan lebih banyak menolak’, ternyata tidak tentu juga, orang-orang Yahudi yang di Berea lebih lembut daripada yang di Tesalonika. Kalau dikatakan ‘orang-orang non-Yahudi akan lebih banyak menerima’, kenyataannya tidak juga, terlihat bahwa orang-orang Atena sepertinya sama sekali tidak ada titik kontak, sepertinya kehidupan orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi terpisah/segregatif, dan di Areopagus tadi indikasinya tidak ada orang-orang Yahudi. Namun hal itu tidak mencegah Injil diterima juga, ada orang-orang seperti Dionisius yang menerima Injil Paulus, padahal sepertinya tidak ada titik kontaknya; titik kontaknya adalah filosofi Stoisisme, tapi apa bisa?? Filosofi Stoisisme begitu berbeda dari Injil Kristus; walaupun dalam beberapa hal ada samanya, tapi titik mulanya, titik akhirnya, metodologinya, berebeda sekali. Namun toh Tuhan juga bisa memanggil milik-Nya dari antara orang-orang Yunani asli.
Jadi, dari demografi dalam catatan Lukas ini, kita mengetahui Injil itu yang paling utama bukan rekrutmen, bukan angka/jumlah berapa, bukan metode bagaimana supaya paling efektif/efisien, melainkan seberapa kita setia pada message-nya, seberapa kita setia dalam menghidupinya sebagai umat perjanjian, karena kita terpanggil menjadi saksi-saksi dari datangnya Kerajaan itu, menjadi martir (martir artinya saksi). Kalau kita bersaksi dengan setia –kadang-kadang dengan menderita, kadang-kadang juga bukan menderita, jadi tidak perlu dicari-cari—yang pasti kita akan membuat lingkungan kita mengetahui/melihat Kerajaan Allah. Jika tidak, mereka tidak bisa melihat. Kerajaan Allah hanya bisa terlihat lewat cara hidup orang-orang Kristen, dari bagaimana kita menghidupi perjanjian kita dengan Tuhan. Dunia terutama melihat dari situ. Kita juga tidak perlu besar kepala, seolah-olah kalau kita tidak berbuat sesuatu, kalau orang Kristen tidak ada, maka Tuhan tidak bisa berbuat apa-apa. Tentu Tuhan bisa berbuat sesuatu, karena Tuhan ’kan menciptakan jagat raya ini jagat dari ketiadaan, jadi Tuhan pasti bisa berbuat sesuatu, namun Dia suka memakai kita. Jadi itulah bagian kita, menghidupi perjanjian dengan Allah; dalam hal ini, sama seperti orang-orang Yahudi dalam Perjanjian Lama.
Hal yang kedua, kita belajar dari resepsi orang-orang Yahudi, bahwa orang-orang Yahudi ini banyak yang menolak Injil; umat Tuhan yang sudah menerima firman Tuhan, banyak yang melawan datangnya Kerajaan Allah. Dari hal ini, kita belajar apa? Kita belajar bahwa kita ini, orang-orang Kristen, tidak tentu tidak melawan datangnya Kerajaan Allah. Orang-orang Yahudi menyangka mereka hidup bagi Tuhan, menyangka mereka justru membela perkara Kerajaan Allah. Di sini saya kira hal yang sama bisa kita katakan mengenai Gereja; ini adalah yang disebut sebagai prinsip Protestan, istilah yang dipakai Paul Tillich, yaitu bahwa Gereja tidak sama dengan Kerajaan Allah. Gereja bisa menjadi saksi/model datangnya Kerajaan Allah, Gereja bisa menjadi agen yang menghadirkan Kerajaan Allah, tapi Gereja bukan Kerajaan Allah, karena Gereja bisa juga melawan dalam ketidaktaatannya. Dan biasanya, dalam perlawanan terhadap Kerajaan Allah, Gereja tidak sadar sedangmelawan Kerajaan Allah.
Dalam hal ini, misalnya sama seperti yang dilakukan oleh German Chritians pada periode pemerintahan Hitler, melawan datangnya Kerajaan Allah. Ini maksudnya bukan semua orang Kristen di Jerman pada periode tersebut, karena ada juga orang-orang seperti Bonhoeffer (Confessing Church), yang masih setia pada Injil dan tidak menjadi buzzer atau penjilat Hitler. German Chritians adalah suatu denominasi/aliran, di mana mereka mau menggabungkan ideologi politik yang tidak masuk akal itu, yang dipercaya para pengikut Nazi –termasuk di antaranya para teolog yang mengikut Nazi—dan menandatangani deklarasi mendukung pemerintahan Hitler; termasuk juga orang-orang liberal Jerman dan juga guru-guru dari Karl Barth, menandatangani deklarasi tersebut. Di sini saya kira kita bisa belajar sesuatu, bahwa Gereja juga bisa seperti orang-orang Yahudi tadi, seperti umat Tuhan dalam Perjanjian Lama, yaitu Gereja melawan datangnya Kerajaan Allah.
Paul Tillich, seorang pelarian dari pemerintahan Nazi juga (dia lari ke Amerika), saya kira paham betul akan hal ini, maka dia mengutarakan prinsip Protestan tadi, bahwa Gereja tidak sama dengan Kerajaan Allah, Gereja bisa melawan Kerajaan Allah, walaupun Kerajaan Allah berkenan untuk hadir lewat Gereja juga. Saya kira kita harus mawas diri di sini. Yang kita anggap kita bela, atau kita anggap diri kita dianiaya oleh dunia dsb. –karena lihat saja orang seperti Charlie Kirk yang berani membela kebenaran itu ditembak mati—tidak tentu artinya kita sudah setia pada Kerajaan Allah. Saya tidak mengatakan ‘tentu tidak’ melainkan ‘tidak tentu’, karena urusan-urusan seperti ini kompleks, dan di dalam Gereja pasti ada saja orang yang yakin betul jawabannya A, dan ada orang yang yakin betul jawabannya bukan A, jadi saya tidak finalisasi di sini. Demikian hal kedua yang kita bisa belajar.
Hal ketiga yang kita bisa belajar, adalah bahwa toh pada akhirnya Injil Tuhan tidak bisa dihalang-halangi. Injil Tuhan tidak bisa dihalang-halangi oleh orang-orang Yahudi yang iri hati, yang ingin melawan kehendak Tuhan. Injil Tuhan juga tidak bisa dihalang-halangi oleh ketidaktahuan Paulus caranya memberitakan Injil di Atena, oleh ketiadaan rencana Paulus memberitakan Injil di Atena karena rencananya semula adalah menunggu Silas dan Timotius, lalu mungkin rundingan dulu, mungkin cari bala bantuan dulu. Paulus sudah pakai metode standar memberitakan Injil dengan menjumpai orang Yahudi, entah di sinagoge mereka ataupun di pasar, dsb., tapi di Atena ini Silas belum datang, Timotius belum datang, dan orang-orang Yahudi sepertinya juga tidak reseptif seperti di Berea. Akhirnya yang terjadi adalah Tuhan memakai Paulus apa adanya, dia bicara dengan coba mencari titik kontak yang paling banyak, dan akhirnya dia menemukan filosofi Stoa dan Epikurean (khususnya Stoa) bisa dipakai menjadi jalan masuk.
Saya mungkin perlu jelaskan sedikit bedanya Epikurean dan Stoa, yang saya kira sampai hari ini masih ada. Saya jelaskan secara populer saja, orang-orang Epikurean adalah orang-orang yang mengatakan bahwa hidup itu untuk senang-senang; namun senang-senang di sini tunduk kepada law of diminishing returns. Ini kayak kalau kamu makan keripik kentang, waktu mau mulai gigitan pertama kamu mempertimbangkan dulu, ‘makan atau tidak ya, nanti kalau maka, tangan gue minyakan, gue juga udah sering makan’, dsb., tapi akhirnya menyerah juga dan makan satu. Waktu makan satu, nikmat banget. Dari tidak mau sampai akhirnya mau makan, ada gap, tapi begitu makan satu, makan yang kedua lebih cepat, dari dua ke tiga ambilnya lebih cepat lagi, lebih banyak, habisnya juga lebih cepat –tapi nikmatnya turun. Orang-orang Epikurean tahu itu, bahwa kalau kenikmatan diumbar, kenikmatannya turun, maka mereka mendisiplin diri supaya nikmatnya konstan, kalau bisa naik. Itu sebabnya orang-orang Epikurean –namanya juga Epikuros, Epikurus, bukan Epigemuk– tidak mengumbar makan-makan terus, dia tahu harus mendisiplin diri supaya nikmatnya terjaga. Ini sejenis orang yang suka makan tapi badannya kurus –kira-kira begitu– orang yang menikmati hidup, kalau makan seiris doang, tidak diumbar, karena kenikmatan yang paling tinggi pada akhirnya bukan makan-makan, bukan minum, bukan seks, tapi diskusi filosofi. Itulah Epikuros. Dia juga orang yang materialis. Dia mengikuti Demokritos, Leukippos, bahwa jiwa tidak ada. Dia menolak ajaran dari Plato, “imortality of the soul”, yang diajarkan juga oleh Gereja Katolik, dan dibela oleh filsuf Kristen seperti René Descartes, dsb., (“imortality of the soul” sebetulnya tidak alkitabiah, namun Gereja banyak mengadopsi konsep itu, soal jiwa yang tidak ada mulanya, atau ada mulanya, tapi yang pasti kekal, dsb.; ajaran yang kita ambil dari Plato). Di atas dasar itu, Epikurean pada akhirnya mengatakan ‘yang baik pada dirinya sendiri hanyalah kenikmatan’.
Kira-kira kalau kita cari tahu orang-orang di sekeliling kita, pada zaman kita, masih ada tidak orang Epikurean? Jawbannya: tentu ada, banyak banget. Hollywood memberitakan itu, Jeremy Bentham memberitakan itu, John Stuart Mill memberitakan itu, bahkan orang-orang seperti Edward de Bono, self-help dan segala macamnya memberitakan itu –hedonisme, materialisme– karena hidup ini hanyalah eksistensi yang tidak ada perbedaan kualitatif dengan hewan, kira-kira begitu. Demikian hedonisme, Epikureanisme, materialisme, di satu sisi.
Di sisi lain, orang-orang Stoa juga ada di sekeliling kita. Ini orang-orang yang punya prinsip, orang-orang seperti Immanuel Kant barangkali kalau versi modernnya. Misalnya, kalau ditanya ‘kenapa kamu main dengan anakmu’, orang hedonis akan mengatakan, “Ya, karena nikmat, main sama anak lenbih nikmat daripada makan bakmi, lebih nikmat daripada jadi workaholic atau entertain bos”, dsb. Itulah orang hedonis, melakukan demi result-nya, yaitu kenikmatan; dan kenikmatan adalah bahasa universal, tidak pandang kamu dari gereja mana, agama mana, semua orang mencari nikmat dan menjauhi kesakitan. Jeremy Bentham mengatakan itu, John Stuart Mill mengatakan itu, tetapi orang-orang seperti Kant, dan saya kira juga orang-orang Stoa sezaman Paulus, tidak percaya begitu. Mereka percaya bahwa tindakan moral harusnya bernilai karena itu bermoral, that’s it. Tindakan moral itu bernilai karena selaras dengan keutamaan, selaras dengan virtue, yang dalam orang Romawi virtue adalah keberanian, kebijaksanaan, keadilan, pengendalian diri. Alasannya kamu tidak korupsi, ya, karena itu bijaksana. Kenapa manusia perlu bijaksana, jawabannya karena bijaksana itu baik, karena manusia ada untuk bijaksana, hal itu baik dalam dirinya sendiri.
Jadi, orang-orang Epikurean dan orang-orang Stoa ada di sekeliling kita; lalu bagaimana kita menjadi orang Kristen? Dari ketiga babak ini, saya kira kita bisa belajar sesuatu, bahwa kita tidak bisa memastikan mereka akan menuruti kita, menerima apa yang kita anggap benar, menerima Injil. Di bagian ini, mereka ini menolak Injil, lalu Paulus marah-marahkah? Dia patah arang dan mengutuk merekakah? Dia bilang, “Percuma saja, gue buang ludah sama Lu” ? Tidak. Apakah Paulus menjilat mereka, “Jangan begitu dong, ayo dong jadi Kristen” ? Tidak juga. Paulus meninggalkan mereka. Begitu saja. Namun Tuhan toh juga menambahkan orang-orang yang percaya, seperti Dionisius dan Damaris. Ya sudah, tidak apa-apa. Dan pada akhirnya, apakah ada ‘Surat Paulus kepada Jemaat di Atena’ ? Tidak. Apakah ada catatan mengenai jemaat Atena di kitab Wahyu? Tidak ada. Jadi memang dalam dunia kuno, Atena tidak menjadi kota yang seperti Antiokhia, tidak menjadi kota yang ada gereja seperti di Efesus, Korintus, dst. Jadi tidak semua benih ditabur lalu menghasilkan buah dan jadi kebun yang bagus, tapi tidak apa-apa, karena toh Tuhan bekerja juga di tengah kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading