Ini mungkin pasal paling terkenal dalam kitab Daniel, cerita Daniel di Gua Singa. Dalam hal ini, terkenal bukan satu hal yang positif, karena biasanya bagian yang terkenal di dalam Alkitab justru paling banyak salah mengertinya. Saudara mungkin –atau pasti– pernah mendengar cerita ini dipakai jadi dasar untuk mengatakan ‘kalau kamu jujur, murni, percaya kepada Tuhan seperti Daniel, maka seperti Daniel juga, Tuhan akan jaga hidupmu, tidak ada cakar singa yang bisa menyentuhmu’. Pengajaran seperti ini, membuat Saudara either jadi orang Kristen yang jelek, atau menjadikan Saudara tidak mau lagi jadi orang Kristen, karena kita menemukan realitas hidup ternyata tidak seperti itu. Ini satu hal yang mungkin orang katakan dari Alkitab, ‘pokoknya percaya, everything will be OK’, tetapi itu bukanlah Alkitab. Hari ini hopefully kita bisa meluruskan apa yang sesungguhnya kisah ini bawakan, apa fungsinya ada cerita seperti ini di dalam Alkitab.
Outline khotbah hari ini, ada tiga hal yang kita bahas: pertama mengenai dunia, kedua mengenai doa, ketiga mengenai Darius; dunia yang membenci kita, doa Daniel, dan Darius sang raja yang tidak bisa tidur. Terakhir, kita akan membuat konklusi.
DUNIA (ayat 1-10)
Saudara pasti familier dengan istilah parno (paranoid). Kadang kita suka becandain teman kita yang parno, atau kita sendiri yang parno, namun kalau Saudara mempelajari fenomena paranoia sebagai kelainan psikis, itu cukup “menarik”. Orang yang paranoid, problemnya bukan pada persepsinya, bukan apa yang dia lihat atau dengar, bukan di mata atau di kuping. Kalau kita mau kategorikan paranoia sebagai kelainan jiwa, ini bukanlah bahwa dia mendengar suara-suara yang tidak ada, melihat hal-hal yang tidak nyata. Problemnya bukan pada apa yang dia lihat (persepsi) melainkan pada pengertian di balik persepsi tersebut, dia mengartikan apa yang dia lihat atau dengar secara salah. Waktu dia lihat helikopter lewat, orang lain juga bisa lihat, memang benar ada helikopternya; waktu dia lihat orang menelpon, memang benar ada orang yang sedang menelpon. Problemnya, dia yakin banget helikopter itu ada untuk memata-matai dirinya; dia yakin orang yang menelpon itu sedang memata-matai dirinya, hanya karena secara tidak sengaja mata orang itu pas melihat ke dia. Dia selalu pikir orang-orang sekitarnya itu mau mencelakai dirinya, ada bahaya di balik setiap tong sampah dan pot tanaman. Hasilnya hidup yang hancur oleh ketakutan, dan kecemasan, dan kecurigaan. Dalam hal ini kalau Saudara baca pasal 6, Daniel orang yang persis kebalikan dari paranoia. Daniel benar-benar dikelilingi oleh orang-orang yang memang mau menjatuhkan dia, benar-benar ada bahaya yang mengancam dari setiap sudut hidupnya, namun Daniel malah punya damai sejahtera yang amazing, di sepanjang pasal ini Daniel hanya bicara satu kali, sangat damai.
Kenapa Daniel bisa punya damai sejahtera seperti itu? Dalam hal ini sama, bukan urusan persepsi. Orang tadi parno bukan karena persepsi yang ngaco, apa yang dia lihat memang benar-benar ada, demikian juga Daniel bisa berada dalam damai sejahtera, itu bukan karena persepsinya ngaco. Apa yang benar-benar ada dan mengancam dirinya, yang berbahaya, Daniel lihat, Daniel tahu, dia bukan tidak lihat; pembedanya adalah pengertian di balik persepsinya. Daniel mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, khususnya dia tahu Siapa yang benar-benar pegang kendali di balik semua ini. Itu kuncinya damai sejahtera. Kalau Saudara mau hidup seperti Daniel, Saudara perlu belajar damai sejahtera yang seperti ini.
Pertanyaannya, bagaimana Daniel hidup sehingga dia bisa persis kebalikan dari paranoia? Di sini kita menemukan penggambaran dari hidup sebagai musafir (pilgrim), pendatang, imigran, orang buangan di dunia ini, dalam cerita tentang Daniel di pasal ini dan pasal-pasal sebelumnya. Ini satu penggambaran yang Tuhan Yesus sebut sebagai ‘orang yang hidup di dalam dunia, namun bukan berasal dari dunia’.
Yang pertama, Daniel hidup dalam dunia. Itu jelas karena dalam titik ini Daniel sudah kira-kira berumur 80 tahun. Dia sudah kira-kira 70 tahun melayani dengan setia berbagai raja dan kerajaan di daerah tersebut, mulai zaman Nebukadnezar, lalu Belsyazar, dan sekarang Darius sang raja yang baru. Sejak zaman kekaisaran Babilonia sampai sekarang diganti dengan kerajaan Media Persia, dia terus melayani. Jadi Daniel ada di dalam dunia; dan, di dalam dunia dia bukan cuma ngalor-ngidul ke sana kemari, sejak pasal pertama dia terus-menerus mau dinaikkan pangkatnya. Di bagian ini dia mau dinaikkan lagi dari yang tadinya ‘satu di antara tiga petinggi’, yang tugasnya menjaga supaya raja tidak mengalami kerugian, sekarang saking excellent-nya dalam hal tersebut, dia mau dinaikkan sebagai yang tertinggi di antara semuanya.
Satu hal, ini membuat kita menyadari bahwa korupsi bukan cuma ada pada zaman ini, atau cuma ada di negara kita; sejak zaman itu, dalam kekaisaran yang begitu sukses pun, yang menguasai seluruh known world pada waktu itu, sesungguhnya penuh dengan korupsi, sampai-sampai perlu ada petinggi-petinggi supaya raja tidak mengalami kerugian. Dan, bahwa Danial mau dipromosikan saking dia excellent dalam tugas tersebut, berarti Daniel sangat efektif sebagai orang yang memerangi korupsi. Tidak heran dia dibenci. Namun poin yang mau kita lihat di sini adalah: Daniel efektif sebagai pelayan dari kerajaan dunia, karena Daniel masuk ke dalam. Dia bukan anggota kabinet bayangan, atau lebih jelek lagi cuma kritikus politik, yang cuma bisa cuap-cuap tok mengkritik politikus-politikus yang menurut mereka juga cuma bisa cuap-cuap tok –ironis. Daniel ada di dalam dunia, dia benar-benar masuk dengan begitu dalam di dunia. Itu yang pertama.
Yang kedua, Daniel bukan lalu jadi berasal dari dunia. Daniel mau dipromosikan jadi yang tertinggi di antara tiga petinggi, maka semua orang yang segera akan jadi bawahannya, tidak terima. Mereka mulai cari borok-boroknya Daniel. Ini satu hal yang kita juga familier di zaman kita, begitu ada Menteri Keuangan baru, maka medsos dan WA-WA kita pernuh dengan forward-forward-an yang isinya mencoba membongkar borok-borok Menkeu yang baru itu. Kualifikasi positifnya tidak dicari, orang tidak peduli, yang dicari adalah borok-boroknya, yang kita makan dan dengan lahap mem-forward adalah borok-boroknya. Kenapa kita lahap dengan yang kayak beginian? Kenapa kita yakin banget orang lain ada borok yang perlu dibongkar? Jawabannya, to certain extent karena kita tahu bahwa kita sendiri banyak boroknya juga, sehingga kita senang kalau baca artikel atau forward-an tentang orang lain ketahuan ada boroknya, karena kita jadi merasa better sedikit berhubung orang lain pun sama saja. Mereka mencari korupnya Daniel, mencari borok-boroknya Daniel, mungkin karena mereka pikir Daniel sama dengan mereka. Ironisnya, mereka menyadari orang ini ternyata beneran tidak ada boroknya sama sekali. Jadi sekarang mereka menyadari Daniel beda dengan mereka; dan momen inilah yang membuat mereka tambah benci kepada Daniel, lalu menyusun skema untuk menjatuhkan dia. Saya ingin menyoroti hal ini untuk jadi pelajaran pertama kita dari pasal ini. Saudara perhatikan, ketika mereka pikir Daniel sama dengan mereka, mereka membenci dia, menggali borok-boroknya; namun ketika mereka menyadari Daniel ternyata beda, mereka tambah membencinya. Dikira sama, dibenci; ternyata beda, dibenci juga. Jadi apa yang menyebabkan mereka benci Daniel? Ini poin yang pertama.
Sebagai orang Kristen, kita menyadari dalam dunia ini memang ada ketegangan antara yang di dalam Gereja versus yang di luar Gereja, antara Gereja dengan dunia, yang kadang-kadang meluas jadi konflik terbuka. Dan, kalau mau menjelaskan ketegangan tersebut penyebabnya apa, biasanya ada dua jawaban dari dua pihak yang berbeda; dan dua jawaban ini sama-sama kurang memuaskan. Dari sisi orang Kristen, menjelaskan dengan mengatakan: “Ya, karena orang Kristen baik-baik, seperti Daniel, maka ketika kita baik, dan kebaikan itu membongkar kebobrokan mereka, mereka tidak senang. Itu sebabnya dunia benci pada Gereja”. Ini penjelasan yang kurang realistis, karena terus terang saja berapa banyak sih orang kristen yang kayak Daniel?? Tidak sebegitu banyaknyalah. Penjelasan sisi satunya lagi dari orang-orang di luar Gereja, penjelasan orang-orang dunia: “Karena orang-orang Kristen itu munafik, kerjanya guilt tripping orang lain, kepingin bikin orang merasa bersalah, dsb.; kerjanya cuma ngomongin dosa.” Ini pun penjelasan yang tidak utuh, tidak realistis, karena tidak semua orang Kristen seperti itu. Kalau begitu, jadi kenapa dong? It’s because memang orang Kristen itu aneh di mata dunia. Itu saja penjelasannya. Waktu mereka expect kita sama, mereka membenci kita; waktu mereka menyadari kita berbeda, mereka makin membenci kita. Kenapa ‘sama’ dibenci, ‘beda’ juga dibenci? Karena memang orang Kristen itu aneh, beda, tidak predictable, strange di mata dunia. Dunia memang tidak bisa mengerti kita; ini sudah sepaket dengan menjadi orang Kristen. Kita tidak perlu kaget akan hal ini. Demikian poin yang pertama.
Ada ilustrasi bagus dalam hal ini, dari Tim Keller yang menceritakan ulang dari J.R. Tolkien dalam Lord of the Rings. Orang-orang hobit dalam Lord of the Rings tinggal di tempat bernama Shire. Shire begitu hijau, nyaman, terpisah dari dunia luar. Mereka terisolasi dari semua aneh-anehnya dunia; kalau di luar ada perang, mereka tidak peduli. Mereka setiap hari hidup dengan tenang, aman, damai, dalam kantong mereka sendiri; dan kalau ada perubahan sedikit, mereka langsung panik karena mereka tidak suka perubahan, mereka ingin keadaaan aman-damai-tenteram ini berjalan terus-menerus, mereka nyaman dengan semua itu. Lalu ada dua tokoh di antara mereka, Frodo dan Sam, yang harus pergi berpetualang untuk mengalahkan Sauron (tokoh evil), karena Sauron mengancam seluruh dunia, termasuk Shire akan hancur kalau Sauron dibiarkan. Tentunya orang-orang di Shire tidak peduli dengan itu, mereka bahkan tidak tahu sama sekali bahaya ini, mereka hidup dengan santai saja. Ada dua tokoh hobit lain, Merry dan Pippin, yang simply sedang berjalan-jalan, lalu bertemu Frodo dan Sam, kemudian terbawa ikut, dan akhirnya mereka harus pergi ke tempat-tempat yang mereka tidak mau pergi. Itu tempat-tempat yang mengerikan, penuh monstrer, yang membuat mereka berkali-kali nyawanya di ujung tanduk, dst. Mereka jadinya terus berjuang dan berjuang, sampai akhirnya menang melawan Sauron, sehingga seluruh dunia terselamatkan, termasuk Shire, meskipun orang-orang di Shire tidak tahu apa yang terjadi. Setelah kemenangan ini, Merry dan Pippin kembali ke Shire; dan karena petualangan besar tersebut, mereka kembali sebagai orang yang berbeda, mereka sekarang jadi pemimpin-pemimpin di Shire, jadi orang-orang yang bisa diandalkan.
Sekali lagi, Shire adalah lingkungan yang begitu aman, damai, tenang; kalau ada gangguan sedikit, orang-orang di situ sudah langsung panik, karena mereka memang tidak pernah menghadapi hal-hal yang luar biasa. Misalnya tetangga putar musik terlalu kencang, seluruh desa itu langsung panik, sedangkan Merry dan Pippin karena sudah pernah mengalami begitu banyak bahaya, dengan tenang bisa menghadapi situas-situasi seperti itu. Mereka menjadi orang-orang yang begtu efektif melayani di Shire, karena mereka keluar. Namun yang terjadi atas Merry dan Pippin bukan cuma itu, orang-orang Shire juga mulai merasa mereka berbeda. Sekarang koq, tertawanya lebih lepas dan sukacita; dulu ‘gak kayak begini. Kalau menangis, mereka itu menangisnya sendu dan pilu sekali; dulu ‘gak kayak begini. Apa yang terjadi pada mereka sih?? Mereka ini suka pergi ke pantai lalu duduk di situ, tidak ngapa-ngapain, hanya mendengarkan suara ombak dan menerawang ke ufuk horizon, menyanyikan lagu-lagu yang kita tidak tahu dari mana, kita tidak pernah dengar. Ada apa dengan mereka??
Apa yang terjadi, Saudara? Yang terjadi adalah: Merry dan Pippin tidak lagi punya akar di Shire, akar mereka telah dipindahkan to the land beyond the sea. Namun yang menarik, karena akar mereka telah dipindahkan ke the land beyond the sea, itulah yang menyebabkan mereka bisa efektif melayani Shire sebagai pemimpin-pemimpin di situ. Ini menarik, karena kalau Saudara lihat peta Shire menurut para hobit, begitu melewati batas Shire, tidak ada apa-apa lagi; peta mereka cuma Shire doang. Mereka tidak tahu apa-apa lagi di luar sana, mereka tidak peduli juga. Ini menjelaskan sebabnya mereka begitu panik kalau ada sesuatu terjadi, karena seperti orang yang cuma tahunya ‘penjamin hidupku adalah uang’, maka begitu uang terancam, langsung kabur, panik tidak tahu harus ngapain. Kalau orang tahunya ‘aku diterima orang karena penampilanku’, maka begitu penampilan rusak, ya sudah, tidak ada yang lain, pasti panik. Kalau cuma tahu ‘kasih yang adalah pengakuan-pengakuan orang lain sesamaku’, begitu hal ini hilang, langsung panik, tidak bisa hidup lagi. Orang-orang yang pindah akarnya, sebagaimana Merry dan Pippin pindah ke luar, itulah yang menyebabkan mereka bisa efektif melayani di dalam sini –justru karena mereka bukan berasal dari situ lagi. Ini gambaran yang sangat menarik dari Tolkien mengenai gambaran warga Kerajaan Surga.
Kadang-kadang kita salah, berpikir kita ini melayani di dunia, berarti kita musti nyaman di dunia; atau berpikir kita ini warga Kerajaan Surga, maka tidak ada tempatnya melayani di dunia ini, cuma necessary evil saja sementara kita di sini, minimal saja engagement kita dengan dunia.Tetapi, gambaran yang kita baca justru bahwa orang-orang Kristen itu orang-orang yang akarnya bukan di dunia ini, akarnya di dunia yang akan datang, and yet itu yang justru menyebabkan mereka paling efektif melayani di kerajaan dunia pada hari ini. Sense of belonging penting bagi orang Kristen; pertanyaannya, sense of belonging di mana?
Saudara, inilah kehidupan sebagai seorang musafir, kehidupan yang mengerti jadi orang buangan itu kayak apa, yaitu hidup di sini tapi bukan berasal dari sini. Dengan demikian, kalau Saudara hidup sebagai musafir, sebagai orang buangan, Saudara tidak merasa aneh kalau dunia tidak mengertimu, bahwa kalau dunia merasa engkau sama, mereka membencimu, tapi kalau mereka menyadari engkau beda, mereka membencimu juga. Memang tidak mungkin dunia mengerti kita, karena dunia tidak mengerti Injil. Injil itu keselamatan melalui kelemahan. Siapa yang mengerti ini, selamat gara-gara lemah?? Apa-apaan. Mereka tidak mengerti itu, maka mereka tidak mengerti kita. Mereka akan terus salah paham terhadap kita, tetapi lalu –ada yang penting di sini– kita bisa memahami kesalahpahaman mereka. Mungkin salah satu esensi jadi orang Kristen adalah: Saudara bukan cuma disalahpahami oleh dunia –semua orang dunia juga bisa saling salah memahami– tapi juga sebagai orang Kristen, Saudara memahami kesalahpahaman dunia mengenai kita.
Orang Kristen sering kali ada dua ekstrim. Yang satu begitu mengasihi dunia, sampai benar-benar mengasihi dan akhirnya tidak beda dengan dunia; yang satu lagi tipe orang-orang Kristen yang bisa dibilang militan, yang menyadari sekali perbedaannya dengan dunia, namun ujung-ujungnya komplain atau bahkan membanggakan diri ‘kita ini dipersekusi, kita dianiaya begini dan begitu, harusnya tidak begitu’, dsb. Dua-duanya bukan gambaran Kekristenan. Kekristenan itu sudah pasti ada kesalahpahaman; kalau Saudara hidup di dalam dunia ini dan dunia tidak ada kesalahpahaman denganmu, berarti Saudara seorang Kristen pengecut. Di sisi lain, bukan cuma ada kesalahpahaman, tapi juga ada unsur di mana kita berusaha memahami kesalahpahaman mereka, karena mereka sendiri tidak akan paham.
Saya mendapatkan kutipan seorang bernama Amy Mantravadi dari Vikaris Chias; dan yang saya sampaikan kepada Saudara lebih ke yang Pak Chias katakan berhubung kutipan aslinya tidak terlalu bagus literasinya. Kira-kira begini: kita sering kali mengatakan ‘koq dia ‘gak ngerti sih kayak begini, harusnya ‘ngerti dong, common sense ini, harusnya dia bisa lihat dan mengerti; kenapa dia ‘gak bisa??’ Lalu dalam hal ini Amy menjawab: “Ya, karena dosa itu membutakan, jadi tidak usah heran dengan itu, tidak usah kagetlah; buktinya kamu juga buta ‘kan, karena kamu tidak sadar dia buta”. Menusuk banget, ya. Benar juga.
Kita juga sering kali buta, buktinya kita tidak sadar orang lain buta; dosa itu memang membutakan, koq. Hidup sebagai seorang pilgrim, menyadari inilah realitas dunia ini, maka kita mempersiapkan diri untuk menghadapi. Paulus berkali-kali mengatakan: “Kita akan mengalami kesusahan” (1 Tes. 3:4), “Kalau orang mau melayani Tuhan, pasti akan menderita” (2 Tim. 3:12); pertanyaannya adalah bagaimana kita mempersiapkan diri. Kita belum masuk ke pembahasan urusan gua singanya, tapi lihat, dari awal pasal ini tidak ada cerita mengisahkan hidup Kristiani yang ‘pokoknya percaya, everything will be OK’. Alkitab justru mengatakan terbalik, “Prepare yourself! Dunia pasti akan membencimu”. Saudara perlu mempertanyakan Kekristenan-kekristenan yang versi ‘Tuhan mengasihimu dan punya rencana yang indah bagimu’ lalu kita pikir hidup kita akan dilindungi dari segala jenis ketidaknyamanan. Itu iman palsu. Penganiayaan, itu perlu kita expect constantly, seorang murid tidak lebih daripada gurunya; dan Saudara lihat bagaimana dunia memperlakukan Sang Guru. Seorang musafir sadar, dunia ini bukanlah rumahku, meskipun bumi ini rumahku. Rumah kita adalah di dunia yang akan datang, dan itu sebabnya kita tidak usah kaget ketika dunia welcome kita dengan kebencian dan ketidakmengertian, namun respons kita adalah berusaha memahami kesalahpahaman mereka ini. Itu namanya menjadi orang Kristen.
Satu hal untuk menutup bagian pertama ini, lompat sedikit ke ayat 14, ketika para konspirator itu melaporkan Daniel kepada raja Darius, mereka mengatakan, “Daniel, si orang buangan dari Yehuda itu …”, tujuannya untuk menghina. Maksudnya, ‘bodo amat dia umurnya sudah 80 tahun dan sudah 70 tahun melayani di tengah-tengah kita, he was never one of us, dia ini buangan dari Yehuda, dia ini orang luar, dia ini tidak bisa dipercaya’. Itulah hinaan mereka atas Daniel, namun bagi orang Kristen itu mungkin justru pujian tertinggi, karena meskipun Daniel tidak pernah benar-benar menjadi salah satu dari mereka, dia melayani mereka sebegitu lamanya, 70 tahun —dengan setia melayani di dalam dunia tapi tidak berasal dari dunia. Ini poin yang pertama. Jadi, waktu dikatakan ‘Tuhan punya rencana yang indah bagi hidupmu’, seperti itulah rencana-Nya; pertanyaannya, apakah rencana seperti itu indah bagimu, atau tidak?
DOA (ayat 11-15)
Bagain ini adalah center point dari pasal 6, bagian tengah/daging dari sandwich-nya, sementara cerita gua singa bukan center-nya. Banyak hal bisa kita bicarakan dari sini sebagai prinsip-prinsip doa Kristiani, namun kita tidak bisa bahas semuanya karena keterbatasan waktu. Salah satu hal yang pertama, fokus dari doa Daniel.
Kenapa Daniel waktu berdoa membuka jendela dan berkiblat ke Yerusalem? Apakah ini ada unsur gaibnya, dan kita juga harus berdoa seperti itu karena doa seperti ini lebih manjur? Tidak. Daniel simply sedang melakukan skenario yang diberikan melalui Salomo. Salomo dalam 1 Raj. 8:46-51 waktu berdoa mendedikasikan Bait Allah di Yerusalem (jauh sebelum pembuangan), mengatakan: “Suatu hari kalau umat-Mu berubah setia, dan karena itu Engkau membuang mereka ke tanah yang jauh, maka kiranya umat-Mu berdoa dengan menghadap ke Yerusalem, membuka jendela-jendela mereka, memohonkan pemulihan dari Tuhan, pengampunan atas dosa-dosa mereka yang besar; dan ketika Engkau mendengar mereka berdoa merendahkan diri di tanah buangan itu, Engkau memulihkan mereka”. Jadi ini bukan superstition, bukan gaib-gaiban, bukan simply nostalgia; dan nantinya di Daniel pasal 9:1 ada catatan mengenai doa Daniel, yang dia doakan pada tahun pertama pemerintahan Darius, which is yang dia lakukan di pasal 6 ini.
Apa isi doanya? Exactly hal tadi, berdoa minta ampun akan dosa-dosa Israel, memuji Allah, dan berdoa mengenai kesejahteraan umat Allah, mengenai kesulitan dan pemulihan umat Allah. Ini menarik, karena Daniel dalam konteks pasal 6 ini sedang dianiaya, mengalami persekusi agama; dia tahu mau dijatuhkan. Kalau Saudara dan saya mengalami seperti itu, kira-kira apa yang kita doakan? Probably pertama-tama kita ngomel-ngomel ke teman atau posting-posting di sosmed, sedangkan Daniel bukan ngomel, bukan protes di hadapan Tuhan. Tentu kita tidak bisa mengatakan secara pasti bahwa Daniel tidak ada concern sama sekali dalam hal yang sedang dia hadapi itu di hadapan Tuhan, namun lewat bungkus dari doanya, kita tahu fokusnya bukan ke sana, ini doa bagi Yerusalem, bukan doa bagi diri. Dan perhatikan catatan di situ, dikatakan ‘dia berdoa dan memuji Allahnya’. Salah satu pertanda doa kita beres di hadapan Tuhan, doa kita alkitabiah atau tidak, terlihat dari proporsi pujian/ucapan syukur kita dibandingkan dengan permintaan, seberapa banyak kita memuji dibandingkan meminta. Dan, permintaan Daniel di sini mengenai kesulitan dan pemulihannya siapa? Yerusalem dan umat Allah.
Kalau Saudara mau tahu ‘kapan sih saya benar-benar bertumbuh jadi anggota Gereja’, itu bukan sekadar Saudara punya keinginan ikut atestasi internal, tapi juga bahwa secara lokal Saudara menyadari orang-orang yang Saudara temui di gereja lokalmu itu sedang menerobos dan tersangkut dalam rawa-rawa kehidupan, dan meraka perlu didoakan untuk bisa melihat secercah saja karunia Tuhan di tengah kegelapan dunia ini. Seberapa kita menyadari hal ini dan ingin mendoakannya? Secara global, juga ketika kita menyadari penderitaan domba-domba Kristus di tengah-tengah segala penganiayaan dunia. Saya bukan mengatakan kita tidak boleh berdoa untuk diri sendiri, tidak sesederhana itu; poinnya bahwa bertumbuh dalam kehidupan Kristen, salah satu indikatornya adalah kita makin menemukan –bersama-sama dengan Daniel– bahwa doa syafaat, berdoa bagi orang-orang yang kadang tidak mampu mendoakan diri mereka sendiri, dalam hidup kita porsinya besar. Itulah hal pertama yang kita lihat, fokus doa Daniel.
Yang kedua, doa Daniel di sini merupakan center point-nya, karena ini sebenarnya sebuah tindakan perlawanan. Namun yang menarik, perlawanan terhadap siapa? Kalau kita menempatkan diri dalam posisi Daniel, apa yang akan kita katakan?
Hukum tadi mengatakan tidak ada orang yang boleh berdoa kepada ilah secara langsung; bukan tidak boleh berdoa kepada ilah mereka, melainkan kemungkinan sangat besar maksudnya mulai 30 hari ini saja semua orang di negara itu berdoa kepada ilah mereka masing-masing harus melalui satu orang yaitu Darius. Darius di sini menempatkan dirinya bukan sebagai dewa, melainkan sebagai mediator satu-satunya dari semua dewa. Tujuannya apa? Ini bukan agenda agamawi; ini perintah yang dikeluarkan –dan baik di mata Darius– karena ini agenda politis, usaha untuk menciptakan kesatuan di antara bangsa tersebut, dengan menjadikan Darius satu-satunya mendiator/pengantara antara manusia dengan ilah mereka masing-masing. Bisa dibilang ini persis sama dengan cerita patung Nebukadnezar di pasal 3. Kembali kita ingat pasal 4 paralel dengan pasal 5, dan pasal 3 paralel dengan pasal 6, cerita Daniel di gua singa ini paralel dengan kisah Sadrakh-Mesakh-Abednego di dapur api. Jadi ini tindakan politis. Kalau kita menghadapi yang seperti ini, maka sebagai orang modern yang sering kali sangat pragmatis, kita akan mengatakan, “Ya sudahlah, no choice, hukum ya hukum, kita harus berhenti doa, lagipula ‘kan cuma 30 hari doang, Tuhan ‘kan Kerajaan-Nya kekal anyway. Jadi ‘gak segitunyalah ya, lagipula tujuannya bukan menghujat Tuhan tapi untuk mendirikan kesatuan. Ini sedang masa transisional antara kerajaan Babilonia dan kerajaan Media Persia, perlu kestabilan masyarakat, maka kita jangan jadi orang-orang yang malah bikin perpecahan, dong”. Atau kita mengatakan, “Tidak, saya akan tetap tarik garis”. Oke, fine. Tapi bagaimana dengan kasus-kasus yang mirip, seperti skip Kebaktian Minggu, skip persekutuan, skip pertemuan-pertemuan orang-orang percaya karena diundang kondangan nih, karena toko tidak bisa tutup nih —concern-concern yang pragmatis itu? Bagaimana dengan semua itu? Sama saja ‘kan. Itu sebabnya doa Daniel merupakan center point dari kisah ini, doa Daniel justru pivotnya, bahwa di tengah-tengah situasi tersebut Daniel tetap berdoa dengan jendela terbuka ke arah Yerusalem sehingga semua orang bisa melihat.
Omong-omong, orang lalu tanya: “Bukankah Tuhan Yesus mengatakan kita harus menyembunyikan kehidupan doa kita dari hadapan orang lain?” Sekali lagi, ini sebabnya belajar Alkitab perlu belajar konteks dan konteks. Waktu Yesus mengatakan kalimat itu, Dia sedang bicara kepada orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat, orang-orang Yahudi, yang pada zaman itu berdoa merupakan sesuatu yang instragamable, fashionable. Jadi dalam konteks orang-orang yang ‘doa itu instragamable’, maka berdoa dengan bersembunyi, kunci pintu, itu baik. Tetapi Daniel dalam konteks yang sama sekali berberda, konteks ketika berdoa dilarang. Kalau Saudara hidup dalam waktu di mana berdoa itu dilarang, lalu Saudara berdoa sembunyi-sembunyi, itu simply kepengecutan.
Sekali lagi, ini kisah yang sudah terlalu terkenal, maka selalu disalahmengerti. Yang mana dalam kisah ini, yang Saudara pikir sebagai bahaya terbesar? Kisah Daniel 6 menunjukkan kepada kita bahwa bahaya-bahaya yang kita tidak lihat, itulah yang secara umum lebih mengerikan dibandingkan bahaya-bahaya yang kita lihat. Gampangnya begini: kalau pasal 6 jadi film, momen apa yang bakal membuat orang-orang Kristen mendesah, geleng-geleng kepala, “Aduhhh, jangan sampai kayak begitu… bagaimana nih… “ ? Kapan, momennya apa? Ya, tentu momen Daniel diturunkan sedikit demi sedikit ke gua singa itu, yang gelap, tidak kelihatan apa-apa, cuma terdengar auman-auman singa, dan kemudian pintu batu ditutup; lalu kita mendesah, “Aahhh… apa yang akan terjadi??” dsb. Tapi Saudara harus tahu, dalam cerita ini, waktu sampai ke gua singa sesungguhnya bahaya besar yang sejati sudah lewat, perjuangan besarnya sudah menang. Bukan urusan gua singa itu center point-nya, tapi di sini, di doa Daniel.
Memang benar urusan gua singa itu suatu mukjizat, bahwa Tuhan bisa menjaga nyawa anak-anak-Nya dari gua singa. Kita tahu itu. Tetapi adalah juga suatu mukjizat yang tidak kalah mukjizatnya, bahwa tangan Tuhan menjaga tangan Daniel tetap terlipat dan lututnya tetap bertelut dalam doa, ketika Babilonia, Media Persia, mau melepaskan genggaman serta dekapan tangan-tangan tersebut. Ini juga hal yang begtu luar biasa, bahkan mungkin lebih mukjizat. Daniel tahu isu utamanya bukan sekadar urusan kecil, trivial religius, yang ‘sudahlah, tunggu saja sebentar, 30 hari saja’; bukan itu. Daniel tahu, ini urusan kesetiaan terhadap perintah pertama ‘jangan ada allah lain di hadapanmu’ –isu yang sama dengan pasal 3.
Kita sering kali malas berdoa, atau malas datang ke Persekutuan Doa, karena kita pikir doa itu ‘gak ngefek; namun Saudara lihat, doa dalam kisah ini adalah cara Daniel menjaga hukum pertama. Dalam doa, dan dengan doa, dia terus menjaga penyembahannya kepada Allah satu-satunya yang sejati. Lewat doa, dia sedang menghancurkan dan meruntuhkan para berhala. Itulah efeknya doa, itulah kuasa doa. Bahaya yang paling mengerikan, yang paling menggoda, bukanlah patung emas Nebukadnezar dengan segala kemegahannya, bukan ancaman gua singa dan Darius dan apapun lainnya; bahaya yang paling besar di sini adalah rasa aman Daniel sendiri. Yang mana yang paling penting bagi Daniel, ‘Allah disembah’ atau ‘aku merasa aman’? Dan, dengan Daniel berdoa, dia sedang mengatakan ‘aku menolak menjadikan keamananku sebagai berhala; dengan berdoa, aku menghancurkan berhala tersebut’. Itulah doa. Doa tidak remeh sama sekali, hanya saja sering kali tidak kelihatan di mata manusia.
DARIUS (ayat 16-28)
Ada sesuatu yang mau diceritakan lewat tokoh Darius ini. Yang pertama, perhatikan di ayat 12-13, cara para konspirator adalah dengan menjebak raja. Mereka tahu Daniel mau dipromosikan dsb., maka mereka menjebak raja dengan mengatakan, “Hukum Mesia Persia tidak bisa diubah ‘kan, ya Raja”, lalu Darius mengatakan, “Ya, tidak bisa diubah”, setelah itu baru mereka mengatakan, “Nah, Daniel kena nih, Raja”.
Ini satu hal yang menarik, karena di bagian ini Saudara sudah melihat apa sih tujuan politis dari perintah ini, bahwa orang berdoa hanya boleh melalui Darius, yaitu untuk menciptakan unity. Darius ingin mempersatukan, Darius ingin punya kontrol atas bangsanya, negaranya. Namun di bagian ini apa yang terjadi? Persis seperti Nebukadnezar di pasal 3, Nebukadnezar juga mendirikan patung emas untuk menjadi dasar unity (kesatuan) bagi seluruh orang dari berbagai suku bangsa dan bahasa di daerah kekuasaannya, namun yang terjadi adalah orang-orang tertentu menggunakan kuasa ini untuk menjebak raja mereka. Dalam pasal 3, Nebukadnezar sepertinya tidak bermaksud aturannya itu dipakai untuk menjebak Sadrakh, Mesakh, dan Abednego; dia ingin orang-orangnya bersatu, tapi kemudian yang terjadi adalah bangsa ini tidak suka dengan bangsa itu, orang-orangnya makin berantem dan menggunakan semua tadi untuk saling membunuh. Perpecahan, itulah yang terjadi, padahal tujuannya untuk membuat kesatuan. Sama halnya dengan Darius, Darius tertarik dengan usulan perintah tadi karena menjanjikan suatu unity, tapi yang terjadi adalah perintah tersebut malah digunakan untuk menjebak raja dengan tujuan melemparkan Daniel ke gua singa. Ini basically membongkar kepada kita, bahwa raja-raja ini ternyata tidak benar-benar punya kuasa, mereka simply sedang dikontrol oleh orang lain; orang lain memakai kuasa raja-raja ini untuk menguasai yang lain.
Omong-omong, bukan berarti Darius tidak bisa ngapa-ngapain; meskipun hukumnya tadi tidak bisa dicabut, dia sebenarnya bisa bikin hukum yang lain. Hal seperti ini terjadi dalam kitab Ester, konteksnya sama, hukum Media Persia tidak bisa dicabut, tapi kemudian raja membereskan hal itu dengan membikin hukum lain berikutnya, dengan demikian ketika rakyat melihat hukum yang kedua itu berlawanan dengan hukum yang pertama, mereka tahu hukum yang pertama itu salah, dan direvisi dengan hukum yang kedua. Tetapi kenapa Darius tidak melakukan itu? Karena Darius baru saja dijebak. Dia dijebak dengan mengafirmasi ketidakberubahan hukum Media Persia; dan kalau dia sadar lalu langsung menciptakan hukum yang me-nullify hukum yang pertama itu, dia tentu kehilangan muka-lah. Lagipula ini bakal menggoyang kekuasaannya ke depan juga, berbahaya, ini masa transisional dari Babilonia ke Media Persia, dst.
Sekarang Saudara bisa mengerti sebabnya Darius pada akhirnya memilih untuk mengorbankan Daniel dibandingkan meresikokan kuasanya, karena dia ini sebenarnya tidak really punya kontrol, dia justru sedang dikuasai/dikontrol oleh kuasa. Ini poin yang Saudara akan lihat terus berulang, karena di pasal 17 dst. ketika Daniel diturunkan ke gua singa, apa yang diceritakan? Di ayat 17-21, isinya bukanlah teriakan-teriakan Daniel di gua singa; yang diceritakan kepada kita pada dasarnya kesengsaraan si raja. Menarik ya. Daniel yang dilemparkan ke gua singa, namun yang kita baca berikutnya adalah raja yang tidak bisa tidur malam itu. Darius malam itu tidak bisa tidur, tidak mau makan, tidak mau hiburan, semua itu dia tolak. Dia galau setengah mati. Daniel waktu belakangan dinaikkan dari gua singa, dia terdengar begitu kalem, kata-katanya begitu singkat, tidak ada detail-detail yang perlu diomongin, dia tidak bicara sambil terengah-engah, “Aduh, Raja, thank you banget, thank you banget… aku sudah ngeri banget semalam-malaman itu, memang sih mulut-mulut singanya tertutup tapi kita ‘gak tahu kapan tiba-tiba bakal terbuka, lagipula ada singa yang mulutnya tiba-tiba menguap terbuka, ngeri banget… “, dsb. Tidak ada yang kayak begitu, sama sekali tidak ada. Daniel hanya mengatakan, “Tuhan mengutus malaikat-Nya ke gua singa untuk menutup mulut singa-singa itu. Karena aku tidak bersalah, ya, aku tidak mati”. Itu saja. Omongannya sangat simpel.
Saudara lihat, Daniel malam itu tidur lebih nyenyak di dalam gua singa yang bau dan mungkin basah, becek, gelap, dibandingkan Darius dalam segala kemewahan kerajaannya. Kita bisa berimajinasi sedikit –ini bukan Alkitab–mungkin malam itu Daniel nyender di badan singa yang berbulu dan hangat-hangat empuk itu, mengobrol dengan malaikat yang diutus itu, sampai tertidur dengan lelap; lalu terbangun karena diganggu Darius yang pagi-pagi sudah teriak-teriak. Ini membuat kita menyadari, Darius yang punya segala kenikmatan duniawi yang bisa didapatkan manusia, ternyata tidak bisa enjoy semua itu, semua itu tidak mendatangkan kesejahteraan buat dia malam itu, sementara Daniel yang tidak punya apa-apa, yang basically sedang dalam penganiayaan, malah enjoy istirahat malam yang begitu nyenyak. Kenapa? Karena dia memang tidak punya kemewahan, tapi dia punya kehadiran Allahnya. Ini sekali lagi mengingatkan kepada kita, damai sejahtera yang sejati bukan datang dari kepemilikan dan harta benda, melainkan dari kehadiran; khususnya kehadiran Allah kita.
Lebih lanjut penggambaraan ini, Raja Darius di sini memang bukan dihadirkan sebagai raja yang jahat, dia dihadirkan sebagai raja yang naif, yang tidak bisa melihat lebih dari skema-skema yang diajukan orang-orangnya, dia juga diperlihatkan sebagai raja yang punya kasih bagi Daniel tapi juga helpless dan tidak bisa ngapa-ngapain. Hal-hal tersebut sepertinya sesuatu yang intensional dari penulisnya, karena mungkin maksud penulis adalah mengingatkan kepada orang Israel: lihat ya, kalaupun kamu punya penguasa-penguasa, kamu hidup sebagai orang buangan, kamu hidup di bawah kerajaan-kerajaan dunia –dan kadang-kadang kamu bisa punya penguasa-penguasa yang tidak memusuhimu, yang care denganmu, yang baik padamu, yang berkenan kepadamu– you know what, jangan pernah taruh pengharapanmu kepada mereka, karena mereka sesungguhnya sama helpless-nya dengan orang lain. Ini cara penulis kitab Daniel mengkhotbahkan Mazmur 146: Jangan percaya kepada para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan. Apabila nyawanya melayang, ia kembali ke tanah; pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya.
Saudara, dalam situasi di mana ada pemimpin yang tiran, kita tahu Allah yang memegang segala kontrol, dan kita bisa comfort di dalam-Nya. Tetapi dalam situasi-situasi di mana petinggi-petinggi kita baik-baik, kita ditantang untuk menyadari bahwa ya, bersyukurlah kepada Tuhan karena itu semua dari Tuhan. Pemerintah adalah tangan Tuhan, maka kalau mendapatkan pemerintah yang baik, nikmatilah dan bersyukurlah sebagai karunia dari Tuhan, tapi jangan pernah engkau menaruh kepercayaanmu kepadanya, jangan pernah berbangga diri karena engkau diperkenan oleh manusia, karena engkau tidak tahu hari Selasa pagi mana tiba-tiba engkau harus menukar perkenanan manusia dengan penyembahan akan Allah yang sejati.
Di bagian berikutnya, perkataan Darius sendiri menyajikan hal ini. Saudara perhatikan, semua orang mengatakan, “O, Raja, kekallah hidupmu”, tapi Darius sendiri mengatakan apa? Sementara di pasal 3 deklarasi mengenai kuasa Tuhan itu datang dari mulut Sadrakh-Mesakh-Abednego, di pasal ini deklarasi mengenai kuasa Tuhan itu datang dari mulut Darius. Darius mengatakan di ayat 17b, di sini dalam LAI bentuknya permintaan/harapan, “Allahmu yang kausembah dengan setia, Dialah kiranya yang melepaskan engkau!”tapi dalam bahasa Aramaik (bahasa aslinya) tidak ada kata ‘kiranya’; kalimatnya: “Allahmu yang kausembah dengan setia itu, Dialah yang akan menyelamatkan engkau!” Ini menarik, karena para penerjemah, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, sulit meng-iya-kan bahwa Darius punya iman yang sebegitunya di hadapan Tuhan. Tapi perhatikan, ngapain Darius sampai perlu bicara kepada orang yang dia pikir bakal langsung mati?? Ngapain dia musti datang melihat Daniel diturunkan ke gua singa, jika dia tidak punya keyakinan seperti itu? Jadi mungkin memang Darius somehow punya iman bahwa ‘Allahmu akan –bukan kiranya— menyelamatkan engkau’. Namun kembali lagi, poinnya bukan untuk fokus kepada Darius, soal apakah Darius jadinya orang pilihan atau bukan, dsb., tapi bahwa Darius di sini sedang dipakai Tuhan untuk membuat kita beralih kepada Dia, yang satu-satunya adalah pengharapan manusia. Tuhan itulah yang punya kuasa di balik semua ini. Jangan menaruh percayamu pada para petinggi ini, mereka helpless sama seperti orang lain. Ini preventive theology, menghancurkan berhala sebelum jadi berhala beneran.
Kontras berikutnya, kita melihat nasib para konspirator. Di sini kita lihat, Daniel selamat bukan karena singa-singanya berubah jadi kucing-kucing. Begitu Daniel diangkat dari gua singa itu, maka –sebagaimana hukum dunia kuno ‘mata ganti mata’, orang-orang yang menuduhkan tuduhan yang tidak benar kepada orang lain itu hukumannya adalah disuruh menerima hukuman yang sama– orang-orang ini pun dilempar ke gua singa, dan mereka langsung mati bahkan sebelum tubuh mereka menyentuh dasar gua. Pengalaman mereka begitu berbeda dengan yang Daniel alami. Penyebabnya apa?
Jawaban dari Daniel sendiri ada di ayat 23: “Allahku telah mengutus malaikat-Nya untuk mengatupkan mulut singa-singa itu, sehingga mereka tidak melukai aku, karena ternyata aku tidak bersalah di hadapan-Nya; juga terhadap tuanku, ya Raja, aku tidak melakukan kejahatan.” Saudara, kita sering kali membaca bagian ini sebagai bagian moralisme, bahwa Daniel selamat karena dia tidak bersalah, karena dia kudus, karena Danielnya murni. Tidak demikian, Saudara. Kalaupun dia murni tapi Allah tidak mengutus melaikat-Nya, itu tidak ada gunanya. Jadi bukan itu poinnya. Poinnya, Daniel sedang menunjukkan bahwa krputusan pengadilan yang ngaruh, bukanlah putusan pengadilan duniawi, melainkan keputusan pengadilan surgawi. Nama Daniel, Dani El, artinya: El is my judge, hakimku adalah Allah. ‘Siapa yang menghakimiku, bukan kamu, Raja, tapi Allahku menemukan aku tidak bersalah, maka aku tidak disentuh cakar singa; sebaliknya konspirator-konspirator tadi, mereka memang bersalah di hadapan manusia dan di hadapan Allah, mereka mati’.
Ini menarik, karena Daniel menyapa Raja dengan mengatakan, “Kekallah hidupmu, Raja”, tapi Darius sendiri belakangan mengakui: “Orang harus takut dan gentar kepada Allahnya Daniel, sebab Dialah Allah yang hidup, Dialah yang kekal untuk selama-lamanya –bukan saya, bukan raja-raja dunia”. Darius sedang mengajak kita untuk melihat kepada Allah.
Terakhir, ayat 29: Daniel mempunyai kedudukan tinggi pada masa pemerintahan Darius dan masa pemerintahan Kores, orang Persia itu.
Kalimat ini menutup seluruh ceritanya. Ini membuat kita juga menyadari seluruh kehidupan Daniel ada di dalam gua singa, bukan cuma pasal 6 tok, karena Daniel sedang berada dalam pembuangan seumur hoidupnya. Namun Saudara lihat, Tuhan menjaga Daniel sampai kapan? Sampai zaman Kores. Itu adalah momennya doa Daniel mengenai pemulihan Yerusalem mulai terjawab. Kores adalah instrumen Tuhan untuk mulai memulangkan orang-orang Yahudi ke Yerusalem, membangun kembali tanah air mereka. Daniel sendiri, sejauh yang kita tahu, tidak pernah dicatat ikut pulang. Dia tetap harus menunggu Yerusalem yang baru, yang datang dari surga. Sampai mati, dia tetap hidup dalam mode penantian, hidup sebagai musafir. Tapi Saudara lihat poin dari kisah ini, bahwa mungkin koq, hidup dalam penatian seperti itu.
Hidup sebagai pilgrim seperti ini, tidak pernah gampang, sampai mati Saudara tidak pernah merasa berada di rumah. Tetapi, adalah mungkin untuk survive dalam dunia ini sebagai orang buangan, sebagai pendatang, sebagai imigran, selagi melayani terus kerajaan-kerajaan dunia ini, selagi kita menantikan kota yang akan datang.
Konklusinya apa? Konklusinya, bagaimana dengan orang-orang yang tidak seperti Daniel, yang mati dicabik-cabik di gua singa, yang terbakar dalam api perapian? Di mana Tuhan dalam situasi-situasi tersebut? Saudara, inilah sebabnya kisah ini tidak bisa dipakai untuk mengatakan ‘jika kamu baik, jika kamu percaya Tuhan, Tuhan akan menjaga kamu, tidak akan ada cakar singa dalam hidupmu sama sekali, tidak akan ada yang jelek dalam hidupmu’. Tentu tidak seperti itu, karena di Alkitab jelas ada Seorang yang lain, yang lebih tidak bersalah daripada Daniel, yang dilempar ke gua juga, Dia jelas jauh lebih mempercayakan diri-Nya kepada Allah Bapa dibandingkan Daniel. Jadi, kalau Saudara membaca kisah Daniel dengan kacamata moralistik tadi, ‘pokoknya begini-begini, Tuhan akan begitu-begitu’, itu bertabrakan bukan saja dengan kisah Daniel, tapi juga dengan kisah Yesus Kristus. Yesus Kristus bahkan mengatakan Dia datang sebagai tabib. Dia datang bukan demi orang-orang yang sehat, demi orang-orang yang super believer seperti Daniel yang hebat; Dia datang untuk orang-orang yang sakit, orang-orang yang cari tabib. Orang-orang yang cari tabib itu orang-orang yang tidak ada opsi lagi selain menyerahkan tugas maintenance badannya ini kepada tabib, itu namanya orang-orang sakit. Jadi, kenapa ada kisah Daniel 6 kalau begitu? Buat apa jadinya kisah ini, kalau bukan untuk mengajarkan kita bahwa orang yang baik-baik akan diselamatkan Tuhan? Apa tujuannya?
Banyak tujuannya, sebagaimana tadi kita sudah lihat, yaitu mengajarkan mengenai prinsip hidup di dunia, mengajarkan mengenai doa-doa orang Kristen, mengajarkan mengenai siapa yang sesuangguhnya ada di balik orang-orang tinggi seperti Darius, dst. Tapi kenapa ada kisah ini secara keseluruhan? Jawabannya adalah yaqng Saudara baca tadi, Darius mengatakan, “Dia, Allah, melepaskan dan menyelamatkan, mengadakan tanda dan mukjizat”. Apa sih mukjizat? Saudara pernahkah lihat mukjizat di Perjanjian Baru atau Perjanjian Lama, yang Tuhan simply cuma mengeluarkan power? Misalnya para rasul atau para nabi mengatakan, “Sini-sini, Lu mau lihat seberapa hebat Tuhan gue? Lihat tuh gunung, lima detik lagi meletus. Lima, empat, tiga, dua, satu”, lalu duarrrr… dan semua orang kaget, “Hah!! Gila… beneran!” pernahkah Saudara lihat mukjizat seperti itu dalam Alkitab?
Kalau mukjizat cuma buat menunjukkan kuasa, cara-cara yang dipakai di Alkitab kurang bagus kayaknya, seperti dengan menyentuh orang kusta, dengan memberi makan orang yang lapar, dsb. Kayaknya ada cara-cara lain deh, yang lebih bagus kalau mukjizat mau menunjukkan kuasa. Itu sebabnya Saudara tahu mukjizat bukan simply menunjukkan kuasa. Mukjizat itu tanda; dan tanda berarti ada sesuatu yang lebih penting daripada barangnya sendiri. Tanda menunjuk kepada sesuatu. Tanda menceritakan kisah Injil. Di sini Daniel umur 80, tua renta, masuk gua singa tapi mulut-mulut singa itu terkatup rapat. Ini apa? Ini tanda, preview, fortaste, icipan, bayang-bayang, antisipasi, trailer, dari sesuatu yang suatu hari nanti Tuhan akan bawakan masuk ke dunia ini. Yesaya 11:6-7 misalnya, anak-anak akan berbaring dan bermain dengan ular beludak, ular tedung, ular kobra; domba-domba akan berbaring dengan singa-singa. Di Mazmur 7, Mazmur 10, Mazmur 57, raungan singa selalu menyimbolkan kehancuran yang terjadi dalam dunia ini karena kerusakan yang dibawa oleh dosa. Jadi, kita dalam Teologi Reformed percaya, mukjizat bukanlah berhentinya hukum alam (kodrat alam); mukjizat adalah icipan dipulihkannya alam, dipulihkannya kodrat alam yang sesungguhnya. Itulah fungsinya mukjizat-mukjizat. Ini bukan janji bahwa setiap kali Saudara mengalami gua singa maka Saudara akan diselamatkan, ini icipan dari apa yang Tuhan akan kerjakan di masa yang akan datang, janji Tuhan kepada kita.
Saudara, kenapa ini penting buat kita? Karena ini bukan cuma bayang-bayang apa yang akan terjadi di masa depan, ini juga preview dari apa apa yang telah terjadi dalam Kristus. Di pasal 3 ada tokoh malaikat Tuhan; di mana? Di dalam dapur api. Di pasal 6 ini ada tokoh malaikat Tuhan, di dalam gua singa. Nebukadnezar heran bukan soal Tuhan ada atau Tuhan kuat, tapi cara Tuhan menyelamatkan; Tuhan tidak menyelamatkan di luar dapur api, di luar gua singa, Dia menyelamatkan dengan masuk ke dalam. Ini siapa, Saudara, yang juga dituduh dengan tuduhan yang tidak-tidak, yang juga dibawa ke hadapan penguasa, yang penguasanya juga secara gagal berusaha mengalihkan hukuman berat itu, yang pada akhirnya dihukum, yang pada akhirnya dimatikan, yang ditaruh di dalam gua dan dil luarnya disegel dengan batu yang besar? Bedanya, Daniel keluar tanpa bekas cakaran singa, Orang ini tubuh-Nya justru memar di mana-mana, bolong di mana-mana. Daniel cuma mendapat ancaman akan nyawanya, Yesus Kristus benar-benar mendapatkan maut itu sendiri. Yesus Kristus itu innocent, tapi menerima nasib orang yang guilty. Tidak ada malaikat untuk menghibur Dia di dalam gua, bahkan Dia ditinggalkan oleh Allah Bapa di atas kayu salib. Ini pun prinsip Injil. Ini pun suatu tanda bagi apa yang Allah lakukan melalui Kristus. Daniel merupakan tanda bagi Daniel yang sejati, Daniel yang ultimat, Daniel yang sejatinya masuk ke dalam gua singa yang paling riil juga, sehingga bukan hari ini kita tidak perlu masuk ke gua singa, melainkan sehingga hari ini engkau dan saya bisa masuk ke dalam gua-gua singa kita yang jauh lebih kecil, dan kita masuk dengan kedamaian di hadapan Tuhan.
Yesus mati bagi dosa-dosa kita, bukan dosa-dosa Dia sendiri, maka di atas pengadilan surgawi Dia dinyatakan tidak bersalah, dan Dia keluar. Tapi perhatikan, Daniel keluar, tidak bersalah, diselamatkan hanya untuk keselamatan dirinya sendiri. Yesus keluar dari kuburan, membawa keselamatan bagi orang lain, bagi semua yang mempercayakan diri kepada-Nya. Innocence-Nya, righteousness-Nya diperhitungkan bagi kita semua. Itu adalah the true goodnews, karena berarti yang diselamatkan melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus tidak cuma orang-orang super believers macam Daniel, tapi Saudara dan saya, orang-orang berdosa, orang-orang ordinary yang sering kali jatuh ke dalam godaan kerajaan-kerajaan dunia. Di mata dunia kita semua ini hancur dan berantakan, tapi Dani El, God is my Judge.
Kenapa Allah melihat kita ini indah? Karena Allah melihat akhir prosesnya, Allah melihat inilah jemaat yang tidak bercacat cela, yang tanpa kerut, nantinya. Inilah berita Injil. Keselamatan kita berada bukan atas dasar kekuatan kita, bukan atas dasar seberapa kita bisa jadi seperti Daniel, melainkan atas dasar seberapa Kristus telah menjadi seperti Daniel, bahkan melampaui Daniel, taat bagi kita, menjadi seperti kita. Itulah kekuatan kita dan damai sejahtera yang paling sejati untuk bisa hidup di tengah-tengah dunia yang penuh dengan singa.
Poin paling terakhir. Menjadi musafir, metafornya dalam Perjanjian Baru adalah menjadi garam. Garam tidak berguna waktu ditaruh dalam botol, garam selalu dikeluarkan. Dan, garam bukan cuma keluar, garam pada waktu itu tujuan utamanya bukan sebagai perasa (karena terlalu mahal), tapi untuk mengawetkan. Ini berarti Saudara taruh garam ke barang-barang, yang akan rusak kalau bukan karena kehadiran garam. Banyak orang Kristen hari ini inginnya menghindari tempat-tempat yang rusak, yang akan busuk kalau bukan karena ada kita di situ. Kita maunya melayani di tempat-tempat yang stabil, yang tidak membutuhkan kita melayani mereka –kalau bisa kita yang dilayani. Apa yang terjadi jikalau Kristus juga berpikir sama, Kristus maunya tinggal di kompleks yang paling nyaman, yang cluster-cluster-nya dijaga satpam 24 jam? Dia tidak akan datang ke dunia.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading