Kita segera memasuki Musim Adven, yang secara penanggalan dimulai minggu terakhir bulan ini. Kalau pun kita tidak bisa menyelesaikan kitab Daniel sebelum Adven, it’s OK juga khotbah Adven dari kitab Daniel, karena semakin ke belakang kitab Daniel warnanya semakin sangat adven, mengenai bagaimana umat Tuhan bisa setia dalam dunia yang melawan Tuhan. Itulah yang kita lihat terus-menerus dalam kitab ini; dan jawabannya sering kali dengan dihadirkannya suatu gambaran, bahwa kerajaan-keranjaan dunia yang hari ini menindas kita tidak akan selamanya bertahan, mereka sudah ditetapkan set waktu untuk itu. Kerajaan-kerajaan dunia selalu ada era post-nya, post-Inggris, post-kolonialisme, post-Amerika, lalu mungkin suatu hari post-China, dst., namun Kerajaan Allah yang akan datang itu tidak ada post-nya, akan bertahan selama-lamanya.
Kita juga sudah melihat bagaimana hal ini bisa menggugah hati umat Allah untuk bertahan setia di tanah asing, karena punya pengharapan. Dan yang dihasilkan oleh pengharapan ini, bukanlah dengan lari keluar mendirikan monastery di padang gurun atau gua-gua yang terpencil, melainkan justru dengan melayani di pemerintahan Babilonia, belajar bahasa dan budayanya, memakai bajunya. Daniel dan kawan-kawannya bertahan setia kepada Allah justru dengan bertahan setia melayani kerajaan-kerajaan dunia tersebut. Mereka ternyata lebih efektif melayani orang-orang di dunia, justru karena mereka bertahan setia sebagai warganegara Kerajaan di surga. Itu sebabnya kitab Daniel sangat relevan bagi kehidupan modern kita hari ini, karena kita menghadapi tantangan yang sama; dan dalam bertahan setia di tengah-tengah dunia, godaan yang sama juga kita alami, entah itu untuk gagal setia dan kompromi, atau bertahan setia dengan cara melempari batu ke dunia. Namun ternyata itu bukan cara Daniel dan kawan-kawannya, mereka bertahan setia kepada Allah justru dengan melayani dunia; bukan melayani keduniawian, melainkan melayani ke dunia. Demikian yang kita lihat dalam bagian besar yang pertama, bagian stories.
Kita sekarang berada di tengah-tengah pembahasan bagian visions. Bagian ini punya poin yang sama, yaitu mengenai bagaimana bertahan setia, namun ada sedikit penekanan yang berbeda. Di bagian visions ini kita bukan cuma melihat urusan bertahan setia di tengah ketegangan-ketegangan dunia, tapi juga bagaimana bertahan setia dalam penantian, ‘kalau benar kerajaan-kerajaan dunia ini tidak akan bertahan selama-lamanya dan Kerajaan Allah akan datang, koq rasanya lama benget, sampai kapan, Tuhan??’ Ini juga suatu halangan dalam bertahan setia, ini juga sesuatu yang kita sebagai orang modern rasakan. Kita capek menanti. Kita malas hidup di masa sekarang berdasarkan realitas masa depan, yang tidak kunjung datang. Kita seperti anak-anak kecil di mobil yang baru lima menit jalan dan sudah tanya, “Sudah sampaikah? Sudah dekatkah?” Daniel basically menemukan dirinya dalam momen seperti ini (pasal 9), momen untuk bertahan setia dalam penantian. Kita akan melihat hal itu –ini warna adven.
Dalam pasal 9 ada satu penekanan yang unik, di sini bukan cuma ada sebuah vision (penglihatan) tapi juga bahwa center-nya ada pada sebuah doa, doa Daniel. Ada empat poin di sini yang akan kita lihat: 1) kenapa Daniel berdoa; 2) apa yang Daniel doakan; 3) kepada Siapa Daniel berdoa; 4) bagaimana doa Daniel dijawab.
Kenapa Daniel Berdoa (Daniel 9:1-3)
Kalau memperhatikan bagaimana setiap pasal kitab ini dimulai, Saudara melihat bahwa setiap pasal dimulai dengan sebuah penanggalan, mengenai kapan terjadinya, dalam tahun berapa, pemerintahan raja siapa. Ini sesuatu yang biasanya kita lewatkan begitu saja, namun sesungguhnya punya signifikansi yang tidak kecil.
Pasal 9 ini terjadi pada tahun pertama pemerintahan Darius; hal ini diulang sampai dua kali, di ayat 1 dan ayat 2, maka berarti ada sesuatu di situ. Darius dikatakan adalah anak Ahasweros (ini sepertinya bukan Ahasweros dalam kitab Ester, karena peristiwa tersebut masih lama sesudah bagian ini; Ahasweros atau Xerxes merupakan titel, bukan nama, dari beberapa raja, tidak cuma satu). Darius ini siapa sih? Kita ingat dalam cerita gua singa di pasal 6, Darius adalah raja pertama Media-Persia yang berkuasa persis setelah Babilonia runtuh di tangan raja terakhirnya, Belsyazar. Daniel dibawa ke Babilonia ketika masih sangat muda, kira-kira umur belasan, dengan demikian momen beralihnya kekuasaan dari Babilonia ke Media-Persia, adalah momen di mana orang-orang Yahudi sudah kira-kira 50-60-an tahun (tergantung dihitungnya dari starting point mana) di bawah kekuasaan Babilonia. Daniel sendiri kira-kira berumur 60-70-an, rambutnya sudah putih, dia sudah dibuang 50-60-an tahun di Babilonia, maka tentu dia bertanya ‘mau sampai kapan penantian ini?’
Daniel lalu dengan teliti menyelidiki Firman Tuhan, mencari jawabannya. Dia menemukan setidaknya sebagian dari jawabannya dalam kitab Nabi Yeremia. Yeremia mengatakan (Yer. 25:11-12): “Maka seluruh negeri ini akan menjadi reruntuhan dan ketandusan, dan bangsa-bangsa ini akan menjadi hamba kepada raja Babel tujuh puluh tahun lamanya. Kemudian sesudah genap ketujuh puluh tahun itu, demikianlah firman TUHAN, maka Aku akan melakukan pembalasan kepada raja Babel dan kepada bangsa itu oleh karena kesalahan mereka, juga kepada negeri orang-orang Kasdim, dengan membuatnya menjadi tempat-tempat yang tandus untuk selama-lamanya.” Nah, sekarang, dalam tahun pertama pemerintahan Media-Persia, negeri orang Kasdim tersebut telah beralih, Babilonia sudah runtuh, maka apa yang terjadi selanjutnya? Lalu Yeremia 29 misalnya, mengatakan: “Sebab beginilah firman TUHAN: Apabila telah genap tujuh puluh tahun bagi Babel, barulah Aku memperhatikan kamu. Aku akan menepati janji-Ku itu kepadamu dengan mengembalikan kamu ke tempat ini.” Nah, itu janji-Nya, berarti kita akan pulang. Jadi kalau semua ini terjadi dalam kurun waktu 70 tahun, sementara sekarang sudah 50-60-an tahun, dan Daniel sudah 60 tahun lebih sedikit, berarti masih mungkin ‘kan bagi Daniel untuk menunggu sebentar lagi dan dia bisa pulang ke Yerusalem. Mungkin dia harus pulang dengan kursi roda, mungkin dia harus pulang dengan menggunakan tongkat, tapi ada pengharapan untuk dia bisa melihat kembali kota kampung halamannya itu dengan matanya sendiri, ‘kan Tuhan memang bilang pembuangan ini tidak selama-lamanya, maka ada kemungkinan hal itu terjadi pada masa hidupnya.
Saudara perhatikan, Firman Tuhan ini menggerakkan Daniel untuk kemudian melakukan sesuatu. Apa yang Daniel lakukan? Di ayat 3 dikatakan Daniel lalu berdoa. Dari sini kita bisa tarik satu poin pertama mengenai kenapa Daniel berdoa.
Banyak orang Kristen waktu berkenalan dengan Teologi Reformed, sering kali yang ditekankan –meskipun bukan center-nya– salah satunya adalah kedaulatan Allah. Kita juga melihat kitab Daniel memberikan gambaran demikian, bahwa di balik runtuhnya Yehuda ternyata ada kedaulatan Allah, di balik kekuasaan bangsa-bangsa asing ternyata Allah berkuasa di atas mereka. Jadi memang ada penekanan yang besar di dalam Alkitab mengenai kedaulatan Allah, maka sering kali yang kita tanyakan adalah: kalau Allah berdaulat, dan Ia sudah menetapkan segala sesuatu sebelum waktunya, Dia tahu apa yang terjadi besok dan seterusnya, apa poinnya kita berlutut, berdoa dan meminta kepada Tuhan? Itu salah satu pertanyaan kita. Salah satu cara merespons pertanyaan ini, adalah dengan point out bahwa kalau Saudara sampai bertanya pertanyaan seperti ini, itu mungkin karena hidup Saudara selama ini terlalu nyaman. Apa maksudnya?
Saudara mungkin pernah dengar ungkapan “There is no atheist in foxholes”, tidak ada orang ateis di medan perang, di parit-parit foxholes. Foxholes adalah parit-parit yang digali manusia pada masa perang untuk bertahan kalau diserang hujan artileri. Ketika artileri meledak, tentu ledakannya ke kiri kanan depan belakang, maka salah satu cara untuk Saudara bisa selamat adalah dengan gali parit, Saudara berada di bawah tanah, tidak kena ledakan artileri, kecuali meledaknya tepat di parit tersebut maka tamatlah riwayatmu. Paling tidak, di foxholes tersebut Saudara ada kemungkinan selamat. Jadi Saudara bisa bayangkan berada di dalam foxholes sementara artileri meledak di kiri kanan depan belakang, Saudara juga mungkin melihat orang lain kena artleri yang meledak dan anggota tubuhnya beterbangan, dst., maka dalam situasi helpless seperti itu Saudara akan menemukan dirimu lebih sulit untuk tidak berdoa ‘kan. Ini realitas yang kita alami dalam hidup ini.
Saudara tidak usah masuk ke foxholes beneran untuk mengalami hal seperti ini. Waktu matahari bersinar terang dalam hidup kita, memang benar kita sering kali tidak merasa perlu berdoa. Tetapi sewaktu hidup kita dalam lembah bayang-bayang maut, kita menemukan lutut kita lebih sering menyentuh lantai untuk berdoa dan memohon. Ini bukan sesuatu yang jelek. Saya sudah sering point out bahwa Mazmur mayoritasnya adalah doa ratapan; bahkan doa-doa pujian syukur dalam kitab Mazmur pun seringkali dimulai dengan ratapan. Momen-momen kita berada di ujung tanduk, bagi Alkitab justru tanah yang subur bagi kehidupan doa. Itu sebabnya Kekristenan yang tidak pernah belajar meratap, Kekristenan yang berpikir datang ke gereja cuma hura-hura clappy-clappy all the time, sebenarnya bukan Kekristenan yang kembali ke Alkitab.
Waktu kita merenungkan mengenai motivasi berdoa, jangan pikir itu cuma urusan mengenai apa yang di atas. O, Tuhan bisa diubah, atau O, Tuhan berdaulat, maka itu yang menentukan saya akan berdoa atau tidak berdoa. Tidak demikian, Saudara, sesungguhnya kita berdoa atau tidak berdoa, salah satu faktor besarnya ada di dalam kita. Coba Saudara pikir, kenapa banyak manusia lain yang tidak mengenal Allah Alkitab tetap digerakkan untuk berdoa; Saudara pikir berdoa cuma ada dalam agama Kristen? Ini adalah natur dasar dari dunia dan bagaimana manusia dirajut. Jadi kita perlu menyadari, bahwa motivasi doa bukan cuma datang dengan terjawabnya urusan kedaulatan Allah. Kalau Saudara berpikirnya seperti itu, ada kemungkinan hidupmu selama ini terlalu nyaman. Itu respons yang pertama.
Sekarang kita masuk ke respons yang lebih direct terhadap pertanyaan tadi. Lewat bagian ini, Saudara melihat Daniel justru berdoa karena digerakkan oleh apa? Digerakkan oleh pembacaan Firman Tuhan, itu jelas. Tetapi, bagian apa yang dia baca, yang menggerakkan dia untuk berdoa? Yaitu bagian yang justru membahasbahwa Allah berdaulat menetapkan waktu tertentu, bagi Babilonia, dan juga bagi pemulangan orang-orang Yahudi.
Omong-omong, ini bukan pertama kalinya kita melihat hal tersebut. Kita ingat waktu membahas pasal 6, Daniel dimasukkan ke gua singa karena dia punya habit berdoa; dan waktu itu kita membahas bahwa lewat mode dia berdoa dengan membuka jendela menghadap Yerusalem, kita tahu isi doanya adalah doa bagi pemulihan Israel. Itu atas dasar apa? Atas dasar pembacaan Firman Tuhan, karena dalam acara dedikasi Bait Suci Yerusalem, Salomo mengatakan kepada Tuhan, “Kalau misalnya umat-Mu suatu hari dibuang, dan mereka berdoa dengan menatap ke kota suci-Mu ini, meminta ampun, Engkau akan memulihkan mereka, membawa mereka pulang” –sekali lagi ini kedaulatan Allah.
Dalam dua tempat di kitab Daniel tersebut, apakah kita menemukan bahwa yang memotivasi Daniel berdoa adalah pembacaan Alkitab, bagian yang berbicara mengenai kehendak Allah bisa diubah, bisa diganti? Tidak. Justru bagian-bagian yang bicara mengenai Allah yang berdaulat. Bagi Daniel, iman akan Allah yang berdaulat itu, malah menghasilkan doa. Ini persis kebalikan logika pertanyaan tadi, yang bertanya ‘kalau Allah berdaulat, ngapain berdoa?’ Di sini Daniel menjawab, “Saya berdoa karena Allah saya berdaulat”. Exactly karena Daniel melihat apa yang tertulis dalam Firman Tuhan, exactly karena Daniel melihat janji-janji Allah mulai digenapi –Babel mulai dihakimi– itulah yang menyebabkan dia mulai mengangkat suaranya dalam doa. Dia tidak mengatakan, “O, Babel mulai dihakimi, santailah gue, tidak perlu berdoa juga kejadian”. Dia juga tidak mengatakan, “Wah, aku musti berdoa nih, karena nubuat kepulangan 70 tahun ini bisa gagal kalau aku tidak berdoa”. Tidak demikian; bukan dua-duanya. Dia berdoa justru karena beriman bahwa Allah yang berdaulat itu akan melakukan apa yang Ia sudah janjikan, maka Daniel menuangkan isi hatinya kepada Allah dalam doa.
Ada banyak hal yang kita bisa belajar dari Daniel dalam bagian ini mengenai doa, selalu lebih banyak yang bisa kita bahas dibandingkan yang kita bisa katakan. Sekarang kita harus masuk ke bagian kedua, mengenai doanya sendiri, apa yang didoakan, ini doa macam apa. Saudara perhatikan, salah satu alat bantu waktu kita mau menganalisa teks, adalah dengan memperhatikan kata-kata yang diulang paling banyak. Kita baca doanya di ayat 4-19.
Apa yang Daniel Doakan (ayat 4)
Ayat 4: “Aku memohon kepada TUHAN, Allahku, dan mengaku dosa”. Jadi ini doa pengakuan dosa. Saudara lihat kata yang diulang paling banyak yaitu kami, banyak banget. Pertama-tama kita akan melihat kenapa doa Daniel adalah doa pengakuan dosa. Dari semua jenis doa yang possible untuk keluar dalam momen ini, misalnya puji syukur karena Allah berdaulat, puji syukur karena Babel mampus, permintaan untuk Allah melaksanakan janji-janji-Nya (memang ada di bagian belakang namun porsinya sedikit sekali), porsi besarnya adalah porsi pengakuan dosa, dan ini pengakuan dosa komunal, pengakuan dosa kami. Ini aneh. Kedua, lebih tidak masuk akal lagi ketika kita ingat ceritanya sejauh ini. Daniel dan kawan-kawannya itu kenapa sih sampai bisa terbuang ke Babilonia?
Ceritanya sudah dimulai ratusan tahun bahkan sebelum Daniel lahir. Singkat cerita, Israel ditebus Allah dari tangan Mesir. Dalam PA (Pemahaman Alkitab) kita sedang bicara mengenai istilah ‘penebusan’; dan penebusan beda dari ‘menyelamatkan’. Kalau Saudara rumahnya kebakaran, lalu Saudara diselamatkan oleh seorang pemadam kebakaran, Saudara tidak akan pernah mengatakan pemadam kebakaran menebus nyawamu. Tetapi, penebusan dan keselamatan dalam Kekristenan identik. Menebus itu apa? Menebus bukan cuma bicara mengenai kita keluar dari dosa atau lepas dari berhala –menebus bukan sekadar menyelamatkan keluar dari bahaya– menebus berarti Saudara dikembalikan, diambil kembali masuk ke dalam kepemilikan Tuhan.
Ini seperti kalau Saudara menebus kupon, berarti ada sesuatu yang oleh karena kupon tersebut jadi masuk ke dalam perbendaharaanmu. Itu penebusan, arti yang sebetulnya lumrah, cuma kita sering kali tidak sadar. Jadi, big part dari urusan keselamatan kita dalam Tuhan bukanlah sekadar keluar dari dosa atau lepas dari berhala, melainkan bahwa Saudara bisa lepas/keluar dari dosa atau berhala itu karena Saudara dibawa masuk kembali ke dalam keluarga Allah. Itulah penebusan. Dengan demikian dalam kasus Israel, kita tidak usah heran ketika mereka dikeluarkan dari Mesir itu, mereka lalu diikat dengan sesuatu yang baru, mereka masuk ke dalam rumah tangga Allah. Mereka harus hidup menurut aturan mainnya Allah, menjalankan peraturan rumahnya Allah, yang kita kenal dengan misalnya Sepuluh Hukum dan juga 600 peraturan dalam kitab-kitab Taurat. Mereka menjalankan ini demi tujuan Allah menyebarkan berkat kepada bangsa-bangsa lain, melalui mereka. Kalau Saudara lihat cerita-cerita selanjutnya –kitab Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja-raja—dan Saudara berikan rating seperti memberi rating bintang ke Gojek, Saudara akan beri rating berapa kepada Israel dalam menjalankan misi dan aturan main baru ini? Basically nol. Cerita mereka itu dicatat sebagai sepak terjang bangsa yang tegar tengkuk, yang super gagal, memberontak berkali-kali, meskipun diselamatkan berkali-kali juga; dan Allah Israel sesungguhnya benar-benar menunjukkan diri-Nya sebagai Allah yang panjang sabar, Dia menghadapi siklus pemberontakan ini terus-menerus sampai kira-kira 400 tahun, waktu yang begitu lama.
Akhirnya setelah 400 tahun, sudah genap waktunya, Allah lalu melakukan something, Dia meng-orkestrasi keruntuhan Kerajaan Israel karena pemberontakan 400 tahun tersebut. Inilah yang basically menyebabkan Daniel dan kawan-kawannya terbuang ke Babilonia. Di sini saya ingin coba mengajak Saudara membayangkan dirimu Daniel. Hidupmu selama beberapa belas tahun pertama mungkin bahagia di tanahmu sendiri, di tengah-tengah bangsamu sendiri, dikelilingi orang-orang yang mengasihimu dan kaukasihi. Namun kemudian datang segerombol tentara bangsa lain, menghancurkan rumahmu, membunuh orang-orang yang kaukasihi, dan celakanya membiarkan engkau hidup (kalau orang-orang sekitarmu semua mati, dan engkau dibiarkan hidup, itu sering kali dilihat sebagai kutukan ‘kan). Lalu engkau diseret berminggu-minggu dengan rantai di tangan dan leher untuk tinggal di tanah asing, yang dipenuhi orang-orang asing, hukum-hukum asing dan dewa-dewa asing. Dan, yang paling parah adalah: dari sekelompok orang-orang yang dibawa ini, “terpilihlah” beberapa orang, termasuk Saudara, yang tidak dibiarkan tinggal di pinggiran sana di kampung atau ghetto sendiri, melainkan disuruh masuk ke pusat bangsa bedebah ini dan melayani raja mereka! Ini ‘kan kayak worst case scenario, ya. Mungkin bagian yang paling ancur dari semua ini adalah ketika engkau bertanya ‘kenapa bisa sampai dapat nasib seperti; ini gara-gara siapa?’
Apa jawabannya? Daniel dan kawan-kawannya, sebagaimana kita sudah lihat dalam delapan pasal sebelumnya, adalah bad guys atau good guys? Mereka good guys. Mereka super good guys. Seseungguhnya super jarang di Alkitab, kita melihat karakter tokoh-tokoh Alkitab sebaik Daniel dan kawan-kawannya. Saudara harus tahu, bahwa buku Alkitab Anak-anak sama sekali bukan perwakilan yang setia kepada Alkitab, karena karakter-karakter dalam buku tersebut semuanya dibaptis habis dengan air suci entah dari mana, sehingga orang sebrengsek dan se-playboy Simson bisa jadi hero. Sesungguhnya, tokoh-tokoh dalam Alkitab yang seperti Daniel, itu perkecualian, jarang orang yang seperti itu.
Mengutip dari khotbah Vikaris Lidya dalam Persekutuan Doa mengenai orang yang biasanya kita anggap good guy di Alkitab, seperti Daud: kalau Saudara diperhadapkan dengan Daud dan Absalom, Saudara bela siapa? Kita berpikir Absalom ini brengsek sekali, karena kalau orang mau datang kepada Daud untuk minta perkaranya didengar (karena pada waktu itu raja juga adalah hakim yang tertinggi), sebelum orang itu sampai kepada Daud, dia dicegat di pelataran istana oleh Absalom. Absalom mengatakan, “Hai, Kawan! Kenapa mau bertemu Daud kemari?” Orang itu bilang, “Aku ada perkara”, lalu Absalom tanya, “Apa perkaramu?” Setelah orang itu bilang perkaranya begini begitu, Absalom kemudian akan bilang, “Kasihan sekali kamu, Kawan, karena di istana ini tidak ada yang mau mendengar perkaramu”. Semua orang yang mau datang kepada Daud, diracunin seperti itu. Namun kemudian kita baru sadar kenapa Absalom sampai melakukan hal ini, yaitu karena seperti itulah pengalaman Absalom sendiri terhadap Daud. Absalom adalah saudara Tamar, yang diperkosa oleh anak Daud yang lain, Amnon; dan waktu Amnon sudah ketahuan, Daud tidak menghukum Amnon. Itu sebabnya Absalom mengatakan, “Di istana ini tidak ada yang tertarik mendengar perkaramu”, itulah pengalaman dia terhadap Daud. Kita sekarang baru sadar betapa Daud kayak begini.
Satu lagi, mengenai Ahitofel, penasehat Daud yang menyeberang ke Absalom waktu Absalom memberontak mau ambil alih kerajaan bapaknya itu. Ahitofel ini menganjurkan Absalom –dan benar-benar dikerjakan– untuk meniduri istri-istri Daud di atap-atap. Ini ‘kan keji banget, ya. Saudara melihat orang seperti ini brengsek banget, kurang ajar banget, sampai kemudian Saudara menyadari satu hal, yaitu Ahitofel adalah kakeknya Batsyeba, perempuan yang dirampas Daud dengan membunuh suaminya karena Daud terpikat Batsyeba waktu Daud sedang berjalan-jalan di atap istananya. Jadi memang benar Absalom dan Ahitofel melakukan kejahatan, tetapi di mata mereka, mereka sedang menjalankan keadilan yang mereka tidak dapatkan dari Daud.
Saudara, itulah tokoh-tokoh di Alkitab, bahkan Daud. Itu sebabnya Daniel merupakan perkecualian. Daniel bukan cuma setia kepada Allah Israel, dia setia dengan cara melayani manusia. Jadi bayangkan kalau Saudara sebagai Daniel, duduk di Babilonia, 50 tahun lebih dibuang di sana, dan bukan gara-gara kesalahanmu! Engkau adalah orang yang hidup setia sesetia-setianya kepada Allah, engkau berada di sana gara-gara orangtuamu, gara-gara kakekmu, buyutmu, nenek moyangmu, yang telah memberontak dan berlaku busuk kepada Tuhan. Mereka yang tidak setia kepada Tuhan, dan engkau yang kena batunya! Itulah skenario hidup Daniel. Kalau Saudara jadi Daniel, Saudara merasa apa? Bayangkan, bangun tidur selama 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun, di Babilonia, dan setiap hari menemui pertempuran tidak habis-habisnya untuk tetap setia di tanah asing! Betapa mudah untuk Daniel mulai merasa self-pity, kepahitan, ‘aku ini ‘gak salah apa-apa koq, kenapa aku kayak begini hidupnya??’ Betapa mudah untuk Daniel mulai melihat dirinya bukan cuma superior terhadap bangsa-bangsa asing ini, tapi juga jatuh ke dalam godaan merasa superior bahkan terhadap sesama umat Allah. Bahkan kita bisa katakan memang ada modalnya kalau Daniel seperti itu.
Di dalam dunia ini, banyak dan sering sekali orang-orang atau kelompok-kelompok beragama mengidentifikasi diri mereka sebagai satu-satunya kaum sisa, satu-satunya kaum remnant, yang setia, ‘cuma kita yang setia, orang lain tidak’. Mereka memandang semua kelompok lain dan berpikir ‘cuma kita yang mewakili suara kebenaran; Allah hanya bersabda melalui kita’. Melihat orang-orang seperti ini, kita geleng-geleng kepala; kita mengatakan, “Wah, ancur banget orang-orang kayak begini”. Tapi itulah perangkapnya, karena begitu kita mengatakan, “Huh! Banyak tuh organisasi-organisasi agama yang kayak begitu, kayak GRII yang suka setan-setanin orang Kharismatik, orang Liberal, merasa benar sendiri”, dsb., kita pun sedang menaruh diri kita di atas mereka, dan dengan demikian kita bukan sedang membedakan diri dari para ekstremis GRII-GRII itu, kita justru sedang melakukan yang persis sama. Itu sebabnya saya mau mengajak untuk kita bersimpati dengan Daniel, karena dalam hidup kita yang tidak bagus-bagus amat saja, gampang sekali merasa seperti itu, gampang sekali kena temptation untuk merasa diri superior terhadap orang lain, bagaimana pula dengan Daniel yang memang benar-benar setia luar biasa?? Namun Saudara lihat, ini sama sekali bukanlah nada dan sikap Daniel yang Saudara baca dalam doanya. Doa Daniel persis kebalikannya: “Maka aku memohon kepada TUHAN, Allahku, dan mengaku dosaku”. Ini doa pengakuan dosa. So weird. Dan, dosa siapa yang diakui di sini? Dosa kami —kami telah berdosa, kami telah berlaku fasik di hadapan-Mu. Ini sangat aneh, dan bukan yang kita expect atas orang yang dalam posisi Daniel.
Demikianlah respons Daniel atas masa 70 tahun yang sudah hampir genap, Daniel berdoa dan mengaku dosaku, dosa kami. Betapa mudahnya Daniel untuk mengatakan yang sebaliknya. Kalau kita jadi Daniel, kita akan mengatakan, “Akhirnyaaa… ! Ya ampun, 70 tahun lama banget, bah! Koq, bisa sih!! Ini gara-gara nenek moyangku payah-payah semua! Akhirnya aku bisa balik, cuma aku yang setia”, dsb. –self-pity. Tetapi apa yang Daniel lakukan? Begitu lain. Dia malah berdoa pengakuan dosa –pengakuan dosa umat. Dia bukan menempatkan dirinya di luar, dia malah menempatkan dirinya di dalam keumatan yang berdosa itu. Dengan kata lain, Daniel menempatkan dirinya di dalam, namun justru dengan demikian membuktikan dia tidak berasal dari dalam. Itu sebabnya doa ini membukakan kita jantung hati dari yang namanya bertahan setia di tanah asing: di dalam dunia, tidak berasal dari dunia. Ironis. Waktu kita berusaha menempatkan diri di luar, justru itulah yang sering kali membuktikan kita sesungguhnya berasal dari dunia, duniawi, tapi sok di luar –seperti orang anti-sosial yang lalu bikin grup sosial anti-sosial. Daniel menunjukkan bahwa dia sejatinya bukan berasal dari dunia, justru karena dia memasukkan dan menempatkan dirinya di dalam dunia. Saya kira saya tidak perlu mengingatkan kepada Saudara, betapa ini mengingatkan kita kepada siapa, yang justru menunjukkan keilahian-Nya dengan menjelma menjadi manusia.
Kepada Siapa Daniel Berdoa
Siapa yang kepadanya Daniel berdoa? Dalam hal ini, bagaimana Daniel bisa jadi seperti Daniel? Kenapa Daniel bisa berdoa dengan sikap yang sama sekali terbalik dari yang kita expect? Di sini kita tergoda untuk mengatakan, “Ya, karena Daniel itu hebat” –mengenai karakternya Daniel. Tetapi tidak demikian, Saudara, ini justru karena karakter Allahnya Daniel, itulah yang mengubah karakter Daniel, mempengaruhi karakter Daniel. Saudara bisa jadi seperti Daniel kalau Saudara mengenal karakter Allahnya Daniel. Kita akan melihat itu di bagian ini.
Tadi kita melihat ada penekanan kata kami berulang kali, hal berikutnya yang ditekankan dalam doa ini adalah istilah lain. Di sini terjemahan LAI membingungkan, karena tiga kali istilah yang sama muncul dalam doa ini tetapi diterjemahkan berbeda-beda, yaitu istilah tsadeqah. Ada tiga kali di sini, pertama di ayat 7: “Ya Tuhan, Engkaulah yang tsadeq, tetapi patutlah kami malu seperti pada hari ini, kami orang-orang Yehuda, penduduk Yerusalem dan segenap orang Israel, mereka yang dekat dan mereka yang jauh, di segala negeri … ”; ini yang pertama, diterjemahkan ‘benar’. Berikutnya di ayat 14: “Sebab itu TUHAN siap dengan malapetaka itu dan mendatangkannya atas kami. Sesungguhnya, TUHAN, Allah kami, tsadeq dalam segala perbuatan yang dilakukan-Nya, tetapi kami tidak mendengarkan suara-Nya”; di sini diterjemahkan dengan ‘adil’. Terakhir ayat 16: Ya Tuhan, sesuai dengan segenap tsadeqah -Mu, kiranya murka dan kobaran amarah-Mu berlalu dari Yerusalem, kota-Mu, gunung-Mu yang kudus”; di sini terjemahan TB2 ‘segenap keadilan’, dalam TB1 ‘belas kasih’. Jadi dalam TB1 kata benar, adil, dan berbelaskasihan semua pakai satu kata yang sama. Nanti kita lihat kenapa LAI sampai bingung dengan kata ini lalu menerjemahkannya dalam berbagai kata.
Apa itu tsadeqah? Tsadeqah adalah istilah yang dalam bahasa Inggris kita kenal dengan istilah righteousness. Namun ini sama sekali tidak membantu karena istilah righteousness pun kita tidak mengerti apa artinya. Apa itu righteousness? Orang yang righteous itu seperti apa sih? Lalu kita akan mengatakan kira-kira seperti ini: orang yang righteous adalah orang yang secara moral baik. OK; tapi kalau cuma secara moral baik, Saudara juga bisa mengatakan ‘orang itu baik’. Jadi ada sesuatu yang lebih dalam istilah righteous, yang tidak bisa digantikan dengan good. Apakah itu? Tsadeqah (righteousness) adalah istilah yang mendeskripsikan karakter seseorang, tapi bukan karakter internal pribadinya tok. Tsadeqah adalah karakter seseorang yang didemonstrasikan ke luar; bagaimana seseorang memperlakukan orang-orang lain dalam relasi-relasi hidupnya, itulah tsadeqah, being righteous. Tsadeqah adalah istilah relasional. Gampangnya begini: kalau urusan baik, Saudara bisa baik pada dirimu sendiri, tetapi Saudara tidak bisa tsadeq tanpa orang lain. Itulah tsadeqah.
Berikut ini beberapa analogi untuk membantu mengertinya. Anggaplah seorang pria dalam hidupnya punya banyak relasi yang berbeda-beda. Kalau dia orang yang tsadeq, itu akan ditunjukkan dari tindakan dan sikap yang berbeda-beda juga, tergantung relasinya apa. Misalnya dia seorang suami, dia menjadi suami yang tsadeq kalau dia perhatian pada istrinya, dia tidak cuma tunggu diberitahu. Kadang memang perlu para istri memberitahu suamimu bagaimana membaca signal apa artinya apa, tapi seorang suami juga jangan setiap kali harus diberitahu, satu dua kali cukup, 10-15 kali cukup, jangan lebih dari itu, jangan 70×7 baru belajar. Kita harus coba mengerti kalau istri signal-nya begini maksudnya begini, dst. Itu namanya suami yang righteous, karena relasi tersebut berjalan dengan tepat. Tetapi terhadap anak-anaknya, bagaimana dia bersikap righteous? Yaitu dengan memberikan waktu, perhatian, dan mungkin main main mobil-mobilan bareng anaknya. Dengan istrinya, mungkin dia tidak perlu main mobil-mobilan bareng –kecuali memang istrinya suka begitu. Anyway, tsadeqah si suami kepada anak-anak lain dengan kepada istrinya. Lalu katakanlah dia juga seorang pemberi kerja, bagaimana dia berlaku righteous kepada karyawan-karyawannya? Yaitu dengan membuat suasana kantor yang kondusif, yang tidak toksik, membayar upah yang pantas serta tepat waktu, dan yang pasti bukan dengan menidurkan karyawannya malam-malam sambil membacakan buku cerita, meskipun seperti itulah tsadeqah dia kepada anaknya. Saudara bisa lanjutkan ini dalam hal relasi tetangga, relasi warganegara, dsb. Inilah yang namanya righteousness. Righteousness hanya bisa diungkapkan di dalam relasi. Saudara bisa menjadi orang baik pada dirimu sendiri, tetapi hanya bisa righteous dalam relasimu kepada orang lain. Jadi istilah bahasa Inggris ‘doing tight by other’, itulah righteousness. Ini kadang membingungkan, namun seperti itulah kira-kira maknanya. Istilah yang bagus dalam bahasa Indonesia adalah istilah yang bunyinya sangat mirip dengan tsadeq, yaitu sedekah. Sedekah dalam bahasa Arab berasal dari kata sidiq; sidiq artinya righteousness. Jadi kalau Saudara ambil konsep Arabic ini, righteousness adalah sesuatu untuk kita berikan kepada orang lain, bukan untuk kita gantung di leher kita sebagai medali. Menarik, ya.
Bagaimana Daniel menggunakan kata tsadeq ini bagi Tuhan? Yang pertama di ayat 7 tadi, “Ya Tuhan, Engkaulah yang tsadeq (benar), tetapi patutlah kami malu seperti pada hari ini”. Maksudnya: Engkau tsadeq, Engkau membuat kami malu, karena kami tidak tsadeq kepada-Mu. Engkau menebus kami dari perbudakan, meskipun kami tidak ada patut-patutnya mendapatkan itu; tsadeqah -Mu itu membongkar ketidak- tsadeqah kami, 400 tahun kami menginjak hukum-hukum-Mu.
Yang kedua, ayat 14: “Sebab itu TUHAN bersiap dengan malapetaka dan mendatangkannya kepada kami; karena TUHAN, Allah kami, adalah tsadeq”. Ini mulai lebih susah mengertinya. Jadi ketika Tuhan mendatangkan malapetaka kepada Israel, itu dilakukan karena Allah itu benar, righteous; Ia berlaku tepat kepada kami ketika Ia mendatangkan malapetaka kepada kami. What?? Apa maksudnya? Gampang Saudara, ini bukan tsadeq seorang ayah atau seorang suami lagi, ini tsadeq seorang hakim. Anggaplah Saudara korban ketidakadilan, orang merampokmu dan mengambil apa yang bisa diambil lalu dijual, sedangkan yang tidak bisa diambil, dia bakar. Saudara pulang ke rumah menemukan semuanya sudah hangus. Orang itu tertangkap, dan di pengadilan terbukti bersalah. Lalu Hakim mengatakan, “Kamu jelas bersalah, tapi yah, saya yakin kamu sebenarnya orang yang baik-baik saja, cuma hari itu kamu mengalami bad day, kamu mungkin di-PHK atau diceraikan istri, jadi okelah, kamu saya putuskan bebas, hanya dengan bayar denda 200 ribu saja, selesai urusan.” Apakah ini hakim yang righteous? Tidak ‘kan, karena dia tidak berlaku tsadeq kepadamu, dia tidak berlaku tsadeq kepada masyarakat yang perlu melihat ada konskuensi terhadap kejahatan seperti itu agar kejahatan semacam itu bisa ditekan. Dan, yang pasti dia juga dia tidak berlaku tsadeq kepada si pelaku, karena si pelaku akan berpikir ke depannya dia bisa melakukan hal-hal demikian tanpa penalti yang sebegitunya. Jadi tsadeq bagi seorang hakim dalam relasi-relasinya adalah dengan mendatangkan konsekuensi yang serius atas kejahatan. Itulah hakim yang righteous.
Dari sini Saudara bisa melihatbahwa karakter Tuhan yang seperti ini membuat Daniel terhindar dari self-pity. Tadi godaannya adalah mengatakan, “O, ini gara-gara nenek moyangku, aku tidak salah apa-apa”; Daniel mengatakan, “Tidak. Engkau menghancurkan Yerusalem, itu tsadeq, itu benar, righteous. Engkau harus mendatangkan konskuensi bagi Israel. Adalah tidak baik, tidak righteous, jika Engkau terus membiarkan Israel melanggar perjanjian-Mu tanpa konsekuensi”. Meskipun ini pada akhirnya sangat menyakitkan bagi Daniel, dia menyadari satu hal, bahwa memang Yerusalem sepantasnya dihukum. Jadi karakter Allah, itu mempengaruhi karakter Daniel. Bukan Danielnya yang hebat, melainkan Allahnya itu siapa.
Yang menarik tidak berhenti di situ, di ayat 16 Daniel mengatakan: “Maka Tuhan, sesuai dengan tsadeq-Mu, biarlah kiranya murka dan amarah-Mu berlalu dari Yerusalem, kota-Mu, gunung-Mu yang kudus”. Tsadeq yang kedua tadi sudah membingungkan, tsadeq yang ketiga ini paling membingungkan. Itu sebabnya TB1 saking bingungnya menerjemahkan istilah ini dengan belas kasihan –karena masuk akalnya memang begitu. TB2 baru sadar tsadeq itu kebenaran, keadilan, ketepatan bertindak, maka menerjemahkan dengan keadilan. Jadi di sini Daniel mengatakan, “Righteousness-Mu Allah, menyebakan-Mu harus menghancurkan Yerusalem; namun oleh righteousness yang sama, biarlah kiranya murka dan amarahmu berlalu dari Yerusalem.” Lah, bagaimana sih?? Sekali lagi, ini bukan kata yang berbeda, ini kata yang sama, righteousness, sehingga artinya Allah berlaku tepat bagi Israel dengan mendatangkan hukuman bagi Israel, dan karena Engkau Allah yang berlaku tepat, benar, rignteous, pulihkanlah kami dan ampunilah kami. What?? Bagi Daniel, rignteousness Allah mengharuskan Allah menghukum, tapi rignteousness yang sama juga menggerakkan-Nya untuk mengampuni dan memulihkan. Koq, bisa?
Satu analogi untuk mengerti ini, gambaran dari parenting. Anak saya, Niko dan Erik, semalam berantem. Erik datang kepada saya, minta sendok biru (dia memang punya satu sendok biru untuk main-main). Saya berikan sendok birunya. Dia melambai-lambaikan sendok itu dengan senang sebagaimana anak umur dua tahun. Lalu kokonya datang, ingin ambil sendok itu. Erik langsung, “Jangan, Koko!” Mereka lalu mulai saling mengancam dengan menggerak-gerakkan tangannya, akhirnya mereka makin medekat, dan Erik menggetokkan sendok itu ke kepala kokonya. (Omong-omong, di rumah saya tidak ada yang suka pukul-pukulan, ini sudah pasti bukan belajar dari saya; memang natur manusia berdosa, anak pendeta juga tidak beda –jadi ini penghiburan kalau anakmu juga begitu). Sudah pasti menggetoknya tidak keras, karena cuma sendok plastik, tapi Niko menangis habis-habisan. Dan, karena saya ayah yang righteouss, saya teriak kepada Erik: “Erik! Setop!”. Lalu apakah saya mengambil sendok biru kedua, taruh di tangan Niko, lalu mengatakan, “Sekarang baru adil; round one, fight!” ? Tentu bukan itu. Itu bukan seorang bapak yang rignteous. Apa hal yang tepat sebagai seorang bapak yang rignteous lakukan kepada anak-anaknya? Saya ambil sendok biru itu dari tangan Erik, saya bilang, “Erik, kamu disetrap, sana berdiri di tembok; tidak boleh seperti itu!” Dia sudah terbiasa dengan itu, maka dia pergi ke tembok dengan sedih, sementara kami hibur-hibur si Niko. Setelah beberapa menit, Erik dengan lirih mengatakan, “Sudah 5 menit belum, Papa?” Saya datang ke dia, saya marahi, saya bilang tidak boleh pukul-pukul koko, dsb. Setelah itu selesai? Tidak. Peran saya sebagai orangtua tidak berhenti di situ. Saya berlaku rignteous dengan mendatangkan konsekuensi atas kejahatan dan perusakan, tapi tidak berhenti di sini, harus ada tahap berikutnya kalau saya orangtua yang rignteous, yaitu saya perlu mengadakan pemulihan relasi antara anak-anak ini, maka saya suruh Erik minta maaf ke kokonya. Erik lalu datang ke kokonya, “Maaf, Koko”. Niko melengos, masih kesal. Saya lalu suruh Erik main dulu, tunggu Niko tenang, lalu beberapa menit kemudian saya suruh Erik minta maaf lagi. Niko masih seakan tidak rela, maka saya harus bilang ke Niko: “Niko, bilang ‘oke, Dede’”. Saya bukan cuma perlu mengajar anak saya untuk minta ampun, tapi juga mengajar anak yang satu lagi untuk mengampuni. Setelah Niko mengatakan, “Oke, Dede”, saya suruh mereka berpelukan, dan relasi baru pulih.
Saudara, ini baru tentang seorang parent yang rignteous; yang diperlukan bukan cuma seorang parent yang mengganjar apa yang salah, tapi juga memulihkan relasi tersebut, membawa relasi ini maju, bahkan memakai tindakan yang tadinya rusak sebagai dasar untuk membangun langkah selanjutnya, memperdalam relasi selanjutnya. Keduanya ada dan tidak bertentangan dalam dunia parenting, maka keduanya juga ada dan tidak bertentangan dalam diri Allah. Daniel percaya bahwa Allah itu rignteous ketika Allah membiarkan kita menerima akibat kebodohan dan kejahatan kita sendiri. Namun Daniel juga percaya bahwa Allah tidak berhenti di situ rignteousness-Nya; in some sense Daniel yakin, beriman, dan percaya, bahwa Allahnya itu belum benar-benar rignteous selama Ia belum melakukan tahap berikutnya, yaitu memulihkan, menyembuhkan, memberkati, bahkan mengambil hukuman-hukuman yang telah berjalan itu sebagai dasar untuk relasi ini diperdalam ke depannya. Pandangan yang begitu kaya, luar biasa limpah akan karakter diri Allah inilah yang membuat Daniel karakternya bisa dibentuk dan diubah. Saya mau tanya, apa efeknya melihat Allah yang seperti ini bagimu? Engkau akan di-humble-kan di hadapan Tuhan yang seperti ini. Ini sebabnya ciri khas Kekristenan yang terutama bukanlah soal berpengetahuan banyak atau apapun semacamnya, ciri khas yang utama adalah humble di hadapan Tuhan.
Ada seorang profesor yang datang ke sebuah konferensi, sebagai pembicara tamu. Sebelum Si Profesor dipanggil ke depan untuk bicara, sebagaimana biasanya ada introduksi mengenai profesor ini gelarnya apa, bidangnya apa, dsb. Orang yang memberi introiduksi tersebut menutup kalimatnya dengan mengatakan: “And above all, yang paling penting dari Profesor ini, adalah bahwa orang ini orang yang paling rendah hati yang pernah saya kenal.” Semua orang pun bertepuk tangan. Lalu sebelum Si Profesor naik ke atas, mendengar kalimat itu dia mengatakan kepada murid-muridnya yang menemani dia: “Kenapa dia bilang itu, seakan-akan itu sesuatu yang perlu dideklarasikan? Seakan-akan itu sesuatu yang saya punya dan orang lain tidak punya? Menjadi orang Kristen, dasar utamanya adalah kerendahan hati! Itu semua orang Kristen punya. Kenapa dia mengatakan seperti itu, sekaan-akan hanya sebagian kecil saja yang punya??” Menarik, ya. Kita jarang kepikiran.
Daniel melihat Allahnya sebegitu besar, sebegitu luar biasa tsadeq, yang tsadeq -Nya ke kiri dan ke kanan, yang tsadeq -Nya mengharuskan Dia untuk menghukum tapi juga memulihkan. Waktu engkau melihat Allah yang seperti ini, apa yang engkau rasakan? Berhadapan dengan Allah yang tsadeq seperti ini, siapa yang bisa mengatakan dirinya tsadeq? Tidak ada. “Engkau sadeq, dan sadeq kami cuma kain kotor”. Ini yang menyebabkan Daniel bahkan dalam momen yang dia akan sangat digoda untuk jadi self-pity dan merasa diri superior di atas orang lain, di hadapan Allah yang seperti ini, menyadari dirinya siapa. Lebih lagi, berhadapan dengan Allah yang seperti ini, membebaskan kita untuk menyadari bahwa sebersih-bersihnya kita mau melihat diri kita, kita pun ada andil, ada bagian, ada kontribusi, di dalam horor show yang hari ini kita sebut sebagi dunia. Ini sungguh dosa kami, dosa kita, bukan cuma dosa-mu.
Daniel mungkin tidak berkontribusi pada dosa-dosa Israel seperti raja-raja yang rusak itu, orang-orang yang mempersembahkan anak-anak mereka kepada berhala-berhala, tetapi saya percaya Daniel bisa mengenali cara-cara lain di mana dirinya juga tetaplah seorang kontributor atas kerusakan dunia ini, dan oleh sebab itu dia menempatlan dirinya di dalam situ bersama dengan mereka. Itu sebabnya tanda khas/keunikan seorang yang benar-benar sungguh umat Tuhan yang setia di dunia ini, seorang yang benar-benar memegang karakter Allahnya, melihat righteousness Allahnya, adalah: mereka humble, rendah hati, mereka tahu diri mereka tidak lebih baik daripada orang lain.
Saudara ingat seseorang di Perjanjian Baru, kali ini bukan Yesus Kristus melainkan Paulus, salah seorang rasul yang paling setia mengikut Yesus Kristus. Ada buku-buku mengenai the most influential people dalam sejarah yang menempatkan Paulus di atas Yesus Kristus; dan saya rasa Yesus akan setuju, karena Yesus mengatakan, “Engkau akan melakukan hal-hal yang lebih besar daripada Aku”, sebab oleh tangan Pauluslah Kekristenan merebak dan mengubah dunia. Dan, Paulus ini mengatakan pada akhir hidupnya dalam surat kepada Timotius, muridnya: “Timotius, kamu harus tahu satu hal, aku ini adalah pendosa paling besar yang pernah engkau temukan”. Kenapa Paulus sampai mengatakan seperti ini? Membaca kayak begini, kita akan mengatakan, “Ya, elah.. kalau Paulus saja kayak begitu, gue di mana??” Paulus mengatakan seperti itu bukan karena dia membenci diri, melainkan karena dia mengenal dirinya dengan benar; dan pengenalan diri yang benar seperti ini adalah karena dia mengenal Allah secara benar. Dia melihat keindahan Allah yang begitu luar biasa karena Allah ini begitu righteous.
Saudara, ketika engkau menyadari Allah itu tsadeq-nya bukan cuma akan menghukummu ketika engkau salah tapi juga memulihkanmu, ini membebaskanmu untuk bisa mengaku segala kebusukan dan membongkar semua kerusakanmu di hadapan Tuhan –membebaskanmu untuk berdoa mengaku dosamu kepada Dia. Itu sebabnya dalam Liturgi kita tidak bisa dilepaskan Doa Pengakuan Dosa. Gereja yang setop melakukan pengakuan dosa dalam liturgi mereka, merupakan Gereja yang sudah sangat bahaya berubah jadi non-Gereja.
Semua tradisi punya penekanannya masing-masing mengenai apa yang paling penting dalam ibadahnya. Kita di GRII mungkin adalah khotbah; kalau tidak ada khotbah –bahkan mungkin tidak ada khotbah dengan gaya tertentu yang nyelekit-nyelekit misalnya– kita mengatakan itu belum kebaktian. Orang yang lain mungkin mengatakan kalau tidak ada puji-pujian, itu belum kebaktian. Atau, kalau tidak ada lampu ala disko, itu belum kebaktian. Ada juga yang mengatakan kalau belum ada persembahan, itu belum kebaktian. Tapi salah satu hal yang paling sering terlupakan adalah: berapa banyak dari kita yang merasa belum kebaktian kalau kita belum mengaku dosa di hadapan Tuhan? Ini sesuatu yang jadi reminder untuk kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading