Kita melanjutkan pembahasan Daniel pasal 9. Sedikit intro, kitab Daniel bisa dibagi dalam dua bagian besar, stories dan visions, masing-masing enam pasal; dan sekarang kita sudah masuk ke bagian visions (pasal 7-12). Dalam bagian visions ini ada empat penglihatan yang datang kepada Daniel. Dua yang pertama dalam era Babilonia (pasal 7-8), gambaran empat binatang buas, lalu gambaran kambing dan domba jantan. Dua yang terakhir, datang pada era Media-Persia; yang pertama di pasal 9 yang hari ini kita akan bahas, gambaran mengenai tujuh puluh kali tujuh masa, sementara penglihatan yang terakhir mencakup pasal 10-12 sekaligus.
Hari ini kita melanjutkan mengenai penglihatan di pasal 9. Minggu lalu kita membahas porsi sentralnya, yaitu doa Daniel, tetapi belum sempat membahas penglihatan yang datang selanjutnya. Daniel di pasal 9 digerakkan untuk berdoa memohon pemulihan Yerusalem, berhubung dalam kitab Yeremia Daniel melihat Allah dalam kedaulatan-Nya sudah menetapkan masa 70 tahun bagi kekuasaan Babel, lalu setelah itu pemulangan orang Yahudi. Daniel dalam tahun pertama Media-Persia ini, lalu mengenali bahwa bagian pertama nubuat tersebut sudah digenapi, Babel sudah dihakimi, maka Daniel berdoa memohon Tuhan menggenapi juga bagian yang keduanya, pemulangan orang-orang Yahudi, pemulihan umat Allah. Minggu lalu kita membahas kenapa Daniel berdoa, bukan karena Allahnya perlu dibangunin, melainkan justru karena Allah ini Allah yang berdaulat. Yang kedua, kita membahas apa yang Daniel doakan, yaitu doa pengakuan dosa; bukan cuma doa pengakuan dosanya mereka, melainkan pengakuan dosa kami. Yang ketiga, kita membahas Siapa, Allah macam apa, yang kepada-Nya Daniel berdoa, yaitu Allah yang righteous, yang secara tepat dan adil menghukum kesalahan, tapi juga memulihkan umat-Nya. Kita tidak sempat membahas bagaimana doa ini dijawab, yaitu dengan datangnya Gabriel membawa gambaran mengenai sesuatu yang disebut tujuh puluh minggu. Inilah yang akan jadi fokus pembahasan hari ini.
Ayat 20-23
Hal pertama yang saya ingin highlight adalah gambaran bahwa doa Daniel dijawab bahkan sebelum dia selesai berdoa. Kita belum membaca jawabannya, tetapi di ayat 21 dikatakan: sementara aku berbicara dalam doa, Gabriel sudah terbang duluan ke arahku; dan di ayat 23 Gabriel sendiri mengatakan: “Aku sudah diberitahu untuk pergi kepadamu ketika engkau mulai menyampaikan permohonan” –bukan waktu selesai menyampaikan permohonan, melainkan waktu mulai menyampaikan permohonan. Jadi sebelum kita membahas jawaban doanya sendiri, saya ingin pakai waktu membahas satu hal yang mungkin kita tanyakan dalam benak kita ketika membaca doa seperti ini, yaitu: kenapa doa Daniel bisa dijawab begitu cepat dan langsung, ini doa macam apa sehingga bisa begitu cepat terjawab? Selagi Daniel masih berdoa, malaikat sudah jalan baru saja Daniel mulai menyampaikan permohonannya, Tuhan langsung menyuruh Gabriel pergi; saya ingin punya kehidupan doa kayak begini, bagaimana caranya?
Minggu lalu kita sudah mulai membahas doa Daniel, dan mengangkat pertanyaan ‘kalau Allah berdaulat –sebagaimana digambarkan bukan cuma dalam textbook-textbook Teologi Reformed doang tapi juga ditekankan berkali-kali dalam kitab Daniel—ngapain kita berdoa?’ Basically jawaban yang minggu lalu kita lihat adalah: doa Daniel dipanjatkan exactly merespons Tuhan yang berdaulat seperti itu.
Daniel di pasal 9 berdoa merespons Firman Tuhan melalui nabi Yeremia. Doa Daniel bukan keluar dari perasaan impulsifnya yang lagi kepingin berdoa atau tidak ingin berdoa, ada gerakan untuk berdoa atau tidak ada gerakan untuk berdoa. Sebagaimana kita lihat di pasal 6, Daniel punya habit berdoa demi pemulihan Yerusalem; dan itu pun merupakan habit yang datang merespons Firman Tuhan, perintah Tuhan –“daulat Tuhan”, mandat Tuhan– untuk berdoa sebagaimana dikatakan dalam kitab Raja-raja ketika Salomo mendedikasikan Bait Allah. Jadi, kalau Saudara mau menghubungkan hal ini dengan fakta bahwa doa Daniel dijawab begitu cepat, kita bisa mengambil kesimpulan kira-kira seperti ini: doa yang akan dijawab Tuhan, yang begitu cepat direspons oleh Tuhan, adalah doa yang datang bukan meminta sesuatu yang baru melainkan meminta sesuatu yang Tuhan sudah terlebih dulu janjikan. Itu sebabnya doanya begitu cepat dibalas. Logis ‘kan. Ini doa yang menagih janji. Dalam skema yang seperti ini, tidak pernah ada kontradiksi antara kedaulatan Allah dengan doa manusia.
Omong-omong, ini hal yang sangat praktis. Kita mungkin pernah mengalami momen-momen dalam hidup di mana kita sudah menyediakan waktu-waktu untuk berdoa secara rutin, tapi kita lalu bingung harus mendoakan apa. Di sini ada guidance yang sangat jelas, yaitu kita perlu be like Daniel, kita perlu belajar dari Daniel. Kita perlu menyelidiki Firman Tuhan, mencari di dalamnya hal-hal yang jelas Tuhan janjikan untuk kita angkat dan minta kepada-Nya; dan Tuhan akan menjawab doa-doa seperti itu, karena Tuhan sudah menjanjikannya terlebih dulu.
Ini menggemakan satu hal yang sudah kita bicarakan, mengenai natur doa. Doa adalah sebuah respons terhadap inisiatifnya Allah, doa tidak pernah merupakan inisiatif manusia untuk membuat Tuhan berespons. Doa selalu adalah respons terhadap inisiatif Allah, itu sebabnya doa yang dijawab Tuhan adalah doa yang berespons seperti ini. Apa yang Tuhan janjikan, itulah yang ditagih; di luar itu, jangan pernah tagih. Tidak heran doamu tidak dijawab, kalau engkau menagih sesuatu yang di luar janji Tuhan ‘kan.
Salah satu metafora yang sering kali dipakai mengenai doa, adalah perkataan: “Doa itu nafas hidup orang Kristen”. Ini metafora yang sangat menarik –meskipun bukan dari Alkitab– karena banyak hal. Yang pertama, Saudara tentu bisa menangkap maknanya, bahwa nafas itu sesuatu yang crucial, yang terus-menerus, tidak cuma kalau kita mau saja baru kita bernafas, maka doa pun seperti itu. Doa bukan sesuatu yang pinggiran, yang boleh ada boleh tidak ada, doa harus terus-menerus, bukan cuma waktu kita mau. Level berikutnya, yang mungkin kita tidak terlalu sadari namun terkandung dalam metaforanya, yaitu bahwa nafas manusia bukan cuma untuk survival, bukan cuma rutinitas, tapi juga sering kali kita pakai sebagai alat ekspresi, misalnya kalau kita kesal pada orang, kita berekspresi ‘hiiihhh’, kalau kita rasa lega, kita ‘huhhh…’. Demikian juga doa; doa bukan simply rutinitas belaka tapi juga menjadi suatu ekspresi dari dalam hati. Level yang ketiga dari metafora tersebut, yang juga bagus namun jarang disadari –dan saya rasa ini justru yang paling penting– yaitu natur dari nafas selalu adalah tarik dulu, baru bisa buang. Nafas bergantung penuh kepada apa yang di luar, supaya apa yang di dalam bisa hidup. Jadi, jika doa adalah nafas, maka untuk Saudara bisa berdoa, bisa mengeluarkan doa dari hatimu kepada Tuhan, Saudara harus terlebih dulu menarik something dari Tuhan ke dalam hatimu. Doamu, itu bergantung penuh pada yang eksternal tersebut, bukan bergantung penuh pada yang di dalam; apa yang di dalam, itu bergantung pada apa yang di luar. Saudara, inilah sebabnya doa Daniel sangat erat kaitannya dengan Alkitab. Kalau Saudara tidak mengenal Alkitab, jangan harap bisa berdoa secara alkitabiah. Ini logika yang sangat simpel. Kalau Saudara mau belajar berdoa dengan baik, Saudara harus baik-baik mempelajari Alkitab. Kalau Saudara tidak mengenal Alkitab, jangan harap bisa berdoa, karena jika tidak ada yang masuk, apa yang mau keluar??
Sometimes ada ekspektasi dalam zaman kita, bahwa kalau kita disuruh berdoa, kita harusnya bisa langsung melakukannya begitu saja tanpa harus belajar (mentalitas mie instan). Itu bukan dari Alkitab, entah dari mana. Ini sebabnya saya ingin spend time sedikit lebih lama di sini, untuk mengubah prinsip tersebut jadi tutorial praktis mengenai bagaimana kita berdoa.
Praktisnya seperti apa sih doa yang merespons Tuhan? Dalam hal ini saya ingat satu kisah yang bisa kita pelajari dari Musa. Dalam Kel. 32, momen Israel baru saja diberi Sepuluh Hukum oleh Tuhan secara lisan, “Jangan ada allah lain di hadapanmu, jangan membuat patung dan menyembahnya,” dst., lalu Musa naik ke atas gunung untuk menerima bentuk tertulisnya, di atas sana Tuhan lalu mengatakan kepada Musa: “Lihat tuh Musa, bangsamu itu, yang engkau bawa keluar dari Mesir … “, seperti orangtua waktu lihat anaknya bersikap jelak lalu bilang, “Lihat tuh anak Lu …”. Tuhan mengatakan, “Bangsa yang kau bawa keluar dari Mesir itu, begitu cepat hatinya beralih dari Aku; bangsa laknat tegar tengkuk. Sekarang minggir, Musa, biarkan murka-Ku menyala-nyala terhadap mereka. Aku akan menghancurkan mereka semua, dan membuatmu jadi bangsa yang besar menggantikan mereka”. Kalau kita dalam posisi Musa, Tuhan mengatakan seperti itu kepada kita, dari atas gunung yang menyala-nyala diliputi awan kemuliaan Tuhan, kita akan berespons apa? Khususnya Saudara-saudara yang sudah lama jadi orang Kristen, sudah lama di GRII, sudah menyaksikan Gereja yang katanya Tuhan cintai ini banyak sekali busuknya, bahkan mungkin lebih busuk dari orang non-Kristen yang kita kenal, lalu Tuhan datang kepada kita dan mengatakan kalimat seperti itu, apa yang kita katakan? “Monggo, Tuhan, silakan, habisi mereka, memang mereka brengsek-brengsek; saya mungkin tidak sempurna, tapi saya tidak sejelek mereka”. Namun apa yang Musa lakukan? Musa tidak melakukan itu, Musa bukan minggir, Musa malah menghadap Tuhan.
Kita ini orang-orang yang sangat mudah menyerah –mentalitas mie instan. Kita sering kali menyerah simply karena ‘kayaknya kondisinya ‘gak mendukung deh, kayaknya waktunya ‘gak pas deh’. Saudara perhatikan, apa yang membuat Saudara dan saya menyerah dalam hidup ini? Kita tidak usah tunggu Tuhan buka langit dan mengatakan,”Setop!”, kita menyerah hanya dengan merasa-rasa saja ‘kayaknya ini sulit, ya; kayaknya banyak halangan, ya’, lalu kita ambil kesimpulan ‘jadi ini bukan kehendak Tuhan’, lalu kita setop dan mundur, kita minggir, bahkan tidak perlu kalimat langsung dari Tuhan. Namun lihat, bagaimana Tuhan datang kepada Musa secara langsung dan menyuruh dia minggir, tetapi Musa malah menghadap Tuhan.
Saudara, ini satu hal yang dalam Alkitab bukan negatif. Musa jelas tidak sempurna, namun dalam kitab Keluaran hampir semua tindakan Musa (khususnya setelah dia dipanggil dan diutus oleh Tuhan) digambarkan sangat positif dan dihadirkan sebagai teladan bagi umat Tuhan; dan ini salah satunya: Musa punya keberanian untuk menghadang Tuhan. Kita perlu belajar dari bagian ini. Yang Musa lakukan waktu dia menghadang Allah adalah: dia menggunakan semua ilmunya, semua kemampuannya, untuk membangun suatu argumen di hadapan Tuhan, kenapa Tuhan jangan sampai melenyapkan bangsa tersebut. Ini ibarat seorang pengacara datang kepada seorang hakim, pengacara tidak cuma minta dengan mengatakan, “Please, please, Pak Hakim…”, melainkan ada argumentasinya, ada evidence-nya. Musa berkata-kata kepada Tuhan dan berusaha meyakinkan Tuhan, bahwa apa yang dia minta itu benar dan baik. Yang menarik, dalam kisah itu Tuhan lalu merespons Musa secara positif. Apa yang Musa katakan?
Yang pertama, Musa maju berdasarkan kasih Allah bagi Israel: “Tuhan, kenapa murka-Mu menyala-nyala bagi umat-Mu, umat yang namanya disebut dengan nama-Mu?” Daniel juga peka akan hal yang sama. Jadi inilah caranya kita berdoa kepada Tuhan. Ketika Allah itu berdaulat lalu kita berdoa merespons terhadap Allah yang berdaulat, pertanyaannya bukanlah soal berdoa atau tidak berdoa, melainkan berdoa seperti apa. Dan, seperti inilah doanya, doa yang mengambil dasar argumentasinya dari diri Tuhan, merespons apa yang Tuhan pernah katakan. Contoh gampangnya, doa minta kesembuhan. Misalnya ada jemaat yang anaknya sakit kanker, lalu kita mau berdoa minta kesembuhan. Banyak orang tanyanya ‘boleh atau tidak berdoa minta kesembuhan’, karena kita kayaknya ‘kan tidak mau doa tipe-tipe maksa seperti gereja seberang. Tapi di sisi lain, kalau doanya, “Ya, Tuhan, mau kankernya remisi ya, silakan, mau kankernya bertambah stadiumnya ya, silakan, pokoknya kehendak-Mu yang jadi”, kita juga rasa tidak bisa. Jadi bagaimana? Sekali lagi, bukan masalah boleh atau tidak boleh minta, melainkan minta yang seperti apa.
Kalau Saudara mau belajar dari Musa, maka dalam meminta, Saudara perlu putar otak –sama seperti Musa putar otak– cari alasan/argumentasi, bagaimana kesembuhan bagi anak ini akan menunjukkan kasih Tuhan bagi umat-Nya; bagaimana menghubungkan dua hal ini, itulah isi doamu. Dengan demikian kita bukan berdoa, “Tuhan, please, please, please … “; kita berdoa: “Tuhan, anak ini bukan cuma anak kami, ini anak-Mu” –seperti Musa mengatakan ‘itu bangsa-Mu, Tuhan’— “Ini anak yang namanya disebut dengan nama-Mu, karena dia telah dibaptis dalam nama-Mu. Bukan cuma anak ini yang adalah anak-Mu, orangtuanya adalah anak-anak-Mu juga, karena mereka bagian dari tubuh Anak-Mu yang Tunggal, yang Kau perkenan, maka kami tahu satu hal, Engkau mengasihi, memperkenan Anak-Mu, Engkau mengasihi kami. Tunjukkan kasih-Mu kepada orang-orang ini karena mereka biji mata-Mu, berikan kesembuhan kepada mereka, karena kami tahu Engkau lebih mengasihi mereka dibandingkan kami bisa mengasihi mereka. Perasaan-perasaan kasih yang kami punya bagi anak kami, itu cuma turunan dari kasih yang Engkau punya bagi anak-anak-Mu”. Saudara rasakan efeknya doa seperti ini? Ini doa meminta, and yet doa yang memintanya tidak bertabrakan sama sekali dengan kedaulatan Allah, karena ini doa yang lahir didasarkan exactly atas diri Allah tersebut; dan Saudara dapat ini dari Firman Tuhan.
In some sense, ini membuat kita menyadari, kita harusnya tidak berdoa atas dasar selain dari hal tersebut. Bahkan kalau Saudara tidak terpikir bagaimana permintaanmu itu ada alasan yang nyambung dengan bagaimana Tuhan menunjukkan kasih-Nya bagi umat-Nya, mungkin Saudara harusnya tidak boleh mendoakan hal-hal tersebut, karena Saudara tidak mau ‘kan berdoa untuk hal-hal yang tidak menunjukkan kasih Tuhan bagi kita. Demikian hal yang pertama, doa itu ada dasarnya, kasih Tuhan bagi kita.
Masih ada hal kedua dan ketiga. Dalam kasus Musa, selain urusan kasih Allah bagi umat-Nya, ada urusan kemuliaan Tuhan. Musa mengatakan, “Tuhan, kalau sampai Israel ini mampus, Engkau akan ditertawakan, dewa macam apa yang menyelamatkan bangsa-Nya dengan pertunjukan kuasa yang super amazing, membelah laut dsb., hanya untuk kemudian membantai mereka di padang gurun?? Konyol, Tuhan. Reputasi-Mu bakal hancur di tengah-tengah dunia ini!” Musa pada dasarnya mengatakan ‘Tuhan, kalau mereka mati, kemuliaan-Mu tidak maksimal’. Inilah caranya berdoa. Kita perlu berdoa dengan putar otak, coba menggali bagaimana hal yang kita minta itu akan menunjukkan kemuliaan Tuhan, karena Tuhan kita ingin kita berdoa seperti ini, Tuhan senang ketika umat-Nya peduli dengan kemuliaan-Nya. Jadi Saudara bisa berdoa, “Tuhan, Gereja kami sangat jauh dari sempurna. Gereja kami diisi dengan orang ini yang masih terus konflik dengan orang itu, Gereja kami diisi dengan kami, saya, yang juga begitu prideful dan ini dan itu. Tuhan, bereskan kami, karena dengan demikian orang-orang lain yang melihat kami, bisa memuliakan-Mu. Tetangga-tetangga kami akan mengatakan, ‘eh, ada something good yang terjadi di tengah-tengah Gereja itu, ternyata orang Kristen ada yang kayak begitu, tidak semuanya orang-orang sinting seperti yang kita pikir’. Tuhan ini sebabnya tolong bereskan Gereja kami ini”. Ini doa yang merespons karakter Allah. Dan, kalau kita tidak bisa menunjukkan dalam kata-kata, bagaimana hal yang kita minta itu bisa mendukung kemuliaan Tuhan, maka mungkin harusnya kita tidak boleh mendoakan hal tersebut, karena memangnya kita mau minta hal-hal yang tidak memuliakan Tuhan??
Yang ketiga, janji Tuhan. Musa mengatakan, “Ingatlah janji-Mu kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Janji-Mu bukanlah menghabisi mereka di padang gurun, janji-Mu adalah membuat mereka menjadi bangsa yang besar yang melaluinya Engkau memberkati bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Dan yang sekarang ada di kaki gunung itu, yang sedang menyembah patung lembu emas itu, adalah keturunan Abraham. Ingat janji-Mu”. Kita perlu mencari hal-hal dalam Alkitab yang Tuhan sesungguhnya katakan dan janjikan. Dia tidak pernah janjikan Ferrari, berarti engkau tidak boleh minta Ferrari kepda Dia. Dia janjikan our daily bread, roti harian, maka mintalah itu, jangan minta roti untuk seminggu kemudian. In some sens, Luther mengatakan itu menunjukkan bahwa umat Tuhan adalah umat yang bisa hidup cukup hanya dengan kebutuhan dasar. Adalah janji Tuhan bahwa kita, kebutuhan dasarnya dipenuhi. Tuhan tidak pernah janji beri kemewahan, jadi jangan minta itu. Tetapi kalau engkau perlu kebutuhan dasar, mintalah kepada Tuhan, karena Dia pernah menjanjikan itu. Dia menjanjikan hal-hal lain di dalam alkitab, Dia menjanjikan bahwa Gereja-Nya tidak akan pernah gagal, bahwa pintu gerbang maut tidak bisa mengalahkan Gereja-Nya. Doakan itu, minta itu. Dia berjanji bahwa Tubuh Anak-Nya ini, Gereja-Nya ini, akan memperlihatkan kemuliaan di seluruh bumi, maka kita perlu minta itu. Kita perlu menggoreng di otak kita hal-hal yang dalam Firman Tuhan memberikan indikasi karakter dan janji Allah yang kemudian jadi dasar permintaan kita. Memangnya kita mau minta sesuatu yang melawan Firman Tuhan, yang tidak ada dasar janji Tuhannya?? Tentu tidak.
Saya harap hal ini praktis. Ini bukan cuma ‘inilah doa yang seperti doa Daniel, doa yang didengar dan dijawab Tuhan karena ini doa yang merespons Firman Tuhan’, tetapi juga ada efeknya bagi kita. Richard Pratt pernah mengadakan acara semacam doa semalam suntuk, namun dalam hal ini bukan berdoanya yang semalam suntuk. Hari Jumat malam mereka tidak berdoa, mereka duduk bersama lalu brainstorming. Mereka ambil kertas berlembar-lembar, lalu saling mengobrol dan menuliskan mau mendoakan apa di hadapan Tuhan. Di setiap lembar kertas mereka tuliskan satu topik doa di bagian atas, lalu lembar berikutnya topik doa yang lain, dst. Di bawah topik doa tersebut mereka bikin tabel, dibagi tiga: kasih Allah bagi umat-Nya, kemuliaan Allah, janji Allah. Lalu mereka brainstorming bersama-sama, mengenai bagaimana topik doa yang saya minta ini menujukkan kasih Allah bagi umat-Nya, bagaimana topik doa yang saya minta ini menunjukkan kemuliaan Allah, bagaimana topik doa yang saya minta ini ada dasarnya dalam janji-janji Tuhan, dan mereka menuliskannya di situ satu kalimat demi satu kalimat. Mereka melakukan itu berjam-jam pada Jumat malam, mereka tidak berdoa malam itu. Besok paginya, hari Sabtu, mereka datang lagi, baru mereka berdoa. Waktu mereka mendoakan dari daftar yang sudah mereka tulis itu, satu kalimat demi satu kalimat tersebut di mulut para pendoa ini berubah jadi satu paragraf. Mereka berusaha mengangkat ini ke hadapan Tuhan, mereka berusaha meyakinkan Tuhan bahwa inilah sesuatu yang memuliakan nama Tuhan, yang menunjukkan kasih Tuhan bagi kita, yang ada dasarnya dalam janji-janji Tuhan. Satu kalimat menjadi satu paragraf. Apa hasilnya? Lima sampai enam jam mereka berdoa tanpa henti, namun rasanya lewat begitu cepat, mereka tidak sadar sudah berdoa selama itu.
Saudara bisa bayangkan, waktu kita melakukan hal seperti itu, kita bukan cuma me-listing daftar permintaan tok, kita sedang engage seluruh pikiran, hati, akal budi, tubuh, di hadapan Tuhan. Kalau Saudara pernah ada pengalaman berdoa seperti itu, Saudara akan tahu perasaannya adalah perasaan kenikmatan. Paling tidak salah satu efeknya adalah: Saudara tidak akan berdoa dengan mempertanyakan terus-menerus ‘apakah doaku ini didengar, apakah doaku ini dijawab’, dsb., karena Saudara sedang berdoa merespons Tuhan. Ini sesuatu yang kita perlu latihan.
Kita tidak mungkin bisa melakukannya dalam Persekutuan Doa GRII Kelapa Gading sekarang, mungkin suatu hari nanti kita bisa coba, namun yang pasti paling gampang Saudara belajar lewat latihan, dan paling bagus kita latihan bersama-sama. Itu sebabnya saya mengundang Saudara-saudara untuk datang ke Persekutuan Doa. Hal ini sesuatu yang seperti tidak ada kepekaannya, karena ratusan orang datang mau dengar Firman tapi hanya sedikit yang mau melatih diri berdoa di hadapan Tuhan. Persekutuan Doa kita setiap Sabtu merupakan latihan, konsepnya adalah paduan suara dalam doa, bukan datang lalu terserah masing-masing, mau buka suara silakan, tidak mau buka suara silakan, mau berdoa silakan, mau main HP silakan. Tidak demikian; ini paduan suara dalam doa, Saudara datang untuk melayani, Saudara datang untuk dilatih. Saudara dikritik dan dikoreksi. Dan, Saudara datang untuk membiasakan dirimu kayak begini. Tetapi itu kita lakukan bukan untuk membuat doamu jadi lebih susah dan berat, melainkan justru karena ini merupakan dasar untuk membuat doa-doamu lebih mengalir. Anyway saya hanya bisa menggerakkan orang untuk datang, sebatas ini saja, silakan Saudara pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Demikian hal yang pertama, mengenai kenapa doa Daniel bisa dijawab begitu cepat. Sekarang kita masuk ke jawaban dari doanya sendiri, di ayat 24-27.
Ayat 24-27
Membaca bagian ini, kita bingung, apa ini?? Tambah ironis lagi karena di ayat 22 waktu Gabriel datang kepada Daniel, dia mengatakan bahwa tujuannya datang adalah: “… untuk memberi kepadamu pemahaman dan pengertian”. Lalu waktu kita membaca apa yang Gabriel katakan, kita merasa ‘pemahaman dari mana??’ Dan, actually kalau Saudara merasa ini terlalu membingungkan, Saudara tidak sendirian. Bukan cuma kita yang di Kelapa Gading ini terlalu goblok-goblok sehingga tidak bisa mengerti ini, seorang Bapa Gereja yang besar bernama Jerome waktu mengomentari bagian ini, mengatakan: “Saya tidak bisa menentukan pandangan mana yang benar, maka saya hanya akan menuliskan, simply mengulangi, pandangan dari guru-guru besar sepanjang sejarah mengenai hal ini, lalu menyerahkannya kepada para pembaca untuk menentukan sendiri bagi mereka, yang mana kira-kira menurut mereka paling masuk akal”. Jerome sampai mengatakan begitu. Lalu Jerome mendaftarkan sembilan pandangan/tafsiran mengenai bagian ini, yang semuanya saling bertabrakan; dan dia mengatakan, “Saya tidak tahu yang benar yang mana, saya bahkan tidak tahu apakah ada yang benar di antara mereka semua”. Jadi kalau kita merasa pusing dengan bagian ini, encouragement-nya pertama-tama adalah bahwa kita tidak sendirian.
Tetapi, karena Gabriel mengatakan dia datang untuk memberikan akal budi dan pengertian/pemahaman, saya pikir tetap ada pengharapannya. Dan salah satu kunci membaca nubuatan-nubuatan seperti ini adalah: kita perlu fokus pada hal yang jelas/clear, dan biasanya itu adalah gambaran/poin besarnya; sedangkan poin-poin kecilnya, detail-detailnya, yang kurang clear, kita tidak harus selesaikan. Kenapa? Karena sometimes tujuan nubuat diberikan memang untuk itu. Nubuat-nubuat masa depan, Saudara tahulah temptation-nya apa, dan Tuhan juga tahu temptation-nya apa bagi kita, yaitu kita tergoda atau terdistraksi dengan hal-hal yang printilan, yang tidak penting, detail-detail mengenai yang ini akan fit dengan siapa, yang itu akan jadi peta untuk melihat hal apa, dsb. Itu tidak penting sebenarnya; yang penting adalah bagaimana semua hal tersebut membentuk satu gambaran besar yang merupakan poin teologisnya. Ini kadang-kadang menjelaskan kenapa bahasa yang dipakai begitu samar (cryptic) dan aneh, yaitu exactly di satu sisi untuk membuka poin yang besar yang penting, dan di sisi lain untuk menutupi hal-hal yang kecil dan tidak penting. Ini satu hal yang kita perlu belajar dalam membaca genre prediksi di dalam Alkitab. Kadang-kadang alasannya bahasa yang dipakai begitu cryptic, ecxactly adalah untuk menutupi, bukan untuk membuka, sedangkan yang clear yang kita perlu fokuskan. Inilah yang akan kita coba lakukan dalam bagian ini.
Kita fokus ke ayat 24 dulu: Tujuh puluh kali tujuh masa telah ditetapkan atas bangsamu dan atas kotamu yang kudus, untuk melenyapkan kefasikan, untuk mengakhiri dosa, untuk menghapuskan kesalahan, untuk mendatangkan keadilan yang kekal, untuk menggenapkan penglihatan dan nubuat, dan untuk mengurapi yang mahakudus. Perhatikan, ada 6 hal di sini. Saudara ingat konteks yang Daniel sedang hadapi. Dia duduk membaca kitab Yeremia. Dia mengharapkan pembuangan ini sebentar lagi selesai, karena Yeremia mengatakan hal ini berlangsung 70 tahun. Jadi Daniel berdoa memohon Tuhan memulihkan bangsa Israel. Dia bukan berdoa untuk mereka simply pulang tok, tapi untuk mereka dipulihkan. Kenapa? Karena Daniel mengetahui tulisan Yeremia, dan bahwa janji pemulihan yang Yeremia katakan bukanlah sekadar urusan perpindahan lokasi, dulu dari Palestina ke Babilonia, sekarang dari Babilonia balik ke Palestina, atau juga sekadar urusan pembangunan gedung dan tembok tok. Daniel tahu semua itu pasti ada, tapi itu cuma simbol dari hal yang paling penting, yaitu pemulihan hati umat Allah. Misalnya nubuatan dalam Yeremia 31: Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang lama itu yang mereka ingkari, … Tetapi beginilah perjanjian baru yang Kuadakan: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam hati mereka, Aku akan mengukirkannya dalam loh hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Demikianlah janji pemulihan yang akan datang. Jadi, waktu Daniel berdoa bagi penggenapan janji-janji ini, dia sedang mendoakan janji di mana Tuhan akan mengubah dan memperbarui hati umat Allah. Daniel sedang mengungkapkan kerinduan yang bukan simply kangen rumah, melainkan rindu umat Allah diubah dari pendosa-pendosa menjadi umat yang kudus, dan Allah tinggal di tengah-tengah mereka, mereka diubah dari pemberontak-pemberontak tegar tengkuk yang benci hukum Taurat dan menolak nabi-nabi Tuhan menjadi umat yang mencintai Taurat Tuhan.
Saudara perhatikan dari jawaban doanya, mengenai bagaimana doa Daniel tersebut dijawab. Aspek yang pertama: doa Daniel dijawab secara afirmatif. “Yes!” kata Tuhan melalui Gabriel, “Masa pembuangan ini memang ditetapkan atas bangsamu dan kotamu, untuk enam hal ini, tiga negatif (melenyapkan kefasikan, mengakhiri dosa, menghapuskan kesalahan) dan tiga positif (keadilan yang kekal, menggenapkan penglihatan dan nubuat, mengurapi yang mahakudus).” Saudara lihat, ini tidak kurang dari suatu statement yang jelas bahwa Allah berkomitmen menjalankan janji-Nya itu, janji-Nya untuk membawa suatu perjanjian yang baru (new covenant). Ini boleh dibilang sisi good news-nya.
Namun ada aspek kedua dalam hal bagaimana doa Daniel dijawab, yang kita bisa kategorikan sebagai bad news, yaitu bahwa apa yang dijanjikan itu –bukan cuma kepulangan tok tetapi juga pemulihan– tidak akan terjadi dalam akhir periode 70 tahun tersebut; bahkan 70 tahun itu barulah masa 70 tahun yang pertama dari total 7×70 tahun. ‘Ada 70×7 masa, kamu dipindahkan secara geografis, Bait Sucimu diruntuhkan; itu terjadi dalam 70 tahun yang pertama, dan setelah itu benar kamu akan pulang’. Tetapi ini baru bagian kecil, bagian pertama dari proses rencana Tuhan yang jauh lebih besar, yang tidak akan kelar hanya dalam waktu 70 tahun tok, melainkan perlu tujuh kali lipat waktu tersebut untuk bisa selesai dan genap. Ini poin besarnya yang saya rasa cukup jelas. Tuhan pada dasarnya mengatakan: Daniel, skala waktu yang Kupakai untuk menjalankan pemulihan yang kamu minta, itu jauh lebih besar daripada yang kamu bayangkan selama ini. Dengan kata lain, ada good news, afirmasi janji pemulihan itu, namun bad news-nya bahwa hal ini akan memakai waktu jauh lebih lama dibandingkan yang Daniel kira.
Apakah ini berarti Yeremia nabi palsu karena ternyata Yeremia salah? Tidak. Saudara perlu belajar bahwa cara baca angka-angka di Alkitab, terbalik dengan cara kita hari ini. Kalau kita hari ini pakai angka, kita menggunakan angka tersebut kebanyakan dengan tujuan literal/hurufiah, 257 maksudnya 257. Sedikit penggunaan angka pada zaman ini yang bersifat simbolis, kebanyakan bersifat literal/hurufiah. Di Alkitab justru terbalik, kebanyakan penggunaan angka adalah simbolis, sedikit yang literal/hurufiah.
Dalam zaman Yeremia sendiri, kenapa Yeremia menyebutkan angka 70 tahun? Yeremia itu menghadapi nabi-nabi palsu dalam zamannya, yang mengira urusan ancaman Babel akan cepat kelar. Mereka mengatakan, “Tidak usah masuk ke kota itu, tunggu saja di luar, tidak usah keluarin baju dari koper, tunggu sebentar lagi, Tuhan akan bawa kita pulang.” Tetapi Yeremia mengatakan, “Tidak. Masuklah ke sana, dirikan rumah, nikahkan anak.” Maksudnya apa? Maksudnya ini lama, long term. Jadi waktu Yeremia mengeluarkan angka 70 tahun, maksudnya dalam konteks seperti demikian, maksudnya it’s gonna takes longer than you think.Angka 70 tahun, kalau Saudara menyelidiki penggunaannya dalam Alkitab, sering kali identik dengan rentang masa hidup rata-rata manusia pada zaman itu. Saudara baca dalam mazmurnya Musa: ‘kalau kami kuat, usia kami 70-80 tahun’. Jadi angka 70 tahun maksudnya simbolis mengenai masa hidup seseorang dalam zaman tersebut. Jadi di sini Yeremia mau mengatakan kepada orang sezamannya, ‘kamu harus tahu, konklusi cerita pembuangan ini tidak akan terjadi dalam masa hidupmu’.
Di bagian yang lain, angka 7 juga tidak sembarangan, angka 7 melambangkan keutuhan, sempurna dalam arti utuh. Dengan demikian 70×7 melambangkan keutuhan yang paling utuh. Saudara ingat frasa ini pernah digunakan dalam Perjanjian Baru, kalimat Tuhan Yesus kepada Petrus di Matius 18. Petrus bertanya, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni? Sampai tujuh kali?” Lalu Tuhan Yesus menjawab, “Tidak! Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” Saudara tentu tahu, tidak ada orang waras yang akan menafsir ini sebagai hurufiah, seakan-akan waktu mengampuni orang, kita sambil hitung 1, 2, 3, 4, … sampai 490 kali, lalu begitu ke-491 sudah tidak ada ampun bagimu. Tentu tidak demikian. Petrus dan pendengar Yesus pada waktu itu menyadari poin yang Yesus mau ungkapkan, yaitu ‘perspektifmu mengenai pengampunan terlalu sempit, perlu di-ekspansi, perlu diperluas’, itulah maknanya 70×7.
Sama halnya dengan Daniel pasal 9 ini, gambaran yang Tuhan berikan kepada Daniel ini ada, untuk menantang perspektif Daniel terhadap skala waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semua kefasikan, untuk menggenapkan pemulihan. Tuhan pada dasarnya mengatakan kepada Daniel: “Daniel, sori ya, 70 tahun saja tidak cukup untuk mencapai transformasi dalam hati dan hidup umat Tuhan, perlu 70×7”.
Saudara, kita mungkin pikir ini bad news –saya tadi juga mengatakan ini sisi bad news-nya—tetapi ini harusnya bukan bad news yang menyebabkan kita maupun Daniel jadi depresi, karena ini di sisi lain ini berarti Allah kita itu tahu realitas, dan Allah kita bukan tipe Allah yang ngomong manis. Dan saya rasa Saudara tahu, realitas adalah jauh lebih berharga daripada omongan manis. Dalam rapat pengurus hari Kamis kemarin, seperti biasa kami sebelumnya makan-makan dulu, mengobrol santai dan cerita-cerita. Di situ ada pembicaraan mengenai anak-anak SMA kelas 3 yang ketika mau lulus, mereka pilih-pilih jurusan kuliah; dan banyak dari mereka punya mimpi yang tidak masuk akal, yang bertabrakan dengan realitas. Lalu ada kecenderungan sebagai guru-guru zaman sekarang yang segala sesuatu harus positif, untuk bicara manis kepada mereka, berusaha meng-encourage sebisa mungkin. Ini jelek –demikian kemarin para pengurus katakan– karena anak-anak ini ujungnya jadi hancur masa depannya. Saya lalu cerita, waktu saya masih mengajar di SKC, ada program semacam itu, di mana anak-anak SMA kelas 3 disuruh memberitahu gurunya kira-kira mau kuliah bidang apa, kemudian diusahakan supaya guru-guru yang bidang kuliahnya sesuai dengan minat mereka itu, coba ajak omong untuk cari tahu seberapa ini oke atau tidak oke, dsb. Waktu itu saya mengajar Musik karena saya S1 Musik, lalu ada anak yang datang ke saya karena dia ingin belajar Musik. Saya cerita kepada pengurus kemarin, saya rasa anak ini nyesel pilih saya karena yang saya lakukan hari itu adalah menghancurkan mimpinya. Saya basically mencoba mendengarkan dia menyanyi dan main piano, dan saya harus mengatakan realitasnya, bahwa menurut saya tidak bisa. Saya tanya dia mau kuliah ke mana, ke Jerman katanya. Dan saya mengatakan, “Begini, orang-orang yang belajar musik ke Jerman, kebanyakan sudah lulus dari Taiwan, Jepang, Malaysia, Singapura, baru belajar ke Jerman. Jadi kalau kamu ke sana, kamu berkompetisinya dengan orang-orang seperti ini. Lalu di sana kamu mau belajar Sopran, dan semua orang mau jadi Sopran; sama seperti kamu mau belajar piano, dan semua orang mau jadi pianis, kamu mau belajar violin, dan semua orang mau belajar violin.” Kalau Saudara melamar di Jerman main trombon misalnya, itu lebih besar kemungkinan diterima, tapi kalau mau jadi violinist, susahnya setengah mati karena buanyakk sekali yang mau itu. Jadi saya bilang, “Coba pikir-pikir lagi deh.” Di sekolah saya sendiri di Melbourne, 60-70% dari semua mahasiswanya adalah Sopran, setelah itu Bass, lalu Tenor, dan yang paling sedikit Alto. Saya tenor; dan saking sedikitnya, guru saya pernah mengatakan, “Tenor itu bukan suara, tenor itu penyakit.” Anyway, anak tadi mungkin menyesal pilih saya karena mimpinya dihancurkan, tetapi pengurus-pengurus kemarin mengatakan, “Enggak, Pak, itu bagus, karena ’gak ngomong manis.” Hal kayak begini kita bisa nyadar, bahwa lebih baik kita mendapatkan realitas yang memahitkan daripada omongan manis yang lalu bikin hidup kita hancur belakangan; tetapi terhadap Tuhan, sering kali kita tidak mau yang kayak begitu.
Dalam bagian ini, Saudara lihat betapa ini justru bad news yang harusnya membuat kita lega, karena Tuhan kita itu tahu realitasnya. Tuhan tahu behawa realitas pemulihan tersebut tidak akan terjadi dalam waktu yang terlalu singkat itu, 70 tahun. Hal ini akan terjadi pada waktunya, dan ketika terjadi, itu akan mencapai semua yang Tuhan janjikan dan inginkan secara penuh, tetapi tidak sekarang, tidak dalam waktu dekat. Sekali lagi, ini penantian –problem banyak orang Kristen. Perlu atau tidak kita mendengar hal seperti ini? Perlu! Sadarkah Saudara bahwa ini nubuat yang relevan bagi kita, bahkan hari ini? Ini adalah bagian Alkitab yang menantang ekspektasi kita yang ngawur terhadap cara kerja Tuhan dalam hidup kita.
Dalam Persekutuan Pemuda, saya sedang bahas bahan dari John Mark Comer, yang membahas mengenai hurry, mengenai ketergesa-gesaan dan keterburu-buruan. Satu hal yang menarik, Comer memulai bukunya dengan mengatakan seperti ini: Menurut kamu, musuh besar yang paling berbahaya di zaman ini bagi orang Kristen itu apa? Kita mungkin akan mengatakan itu adalah agama-agama lain, terorisme, Donald Trump, atau apapun isu-isu yang biasanya kita rasa sebagai ancaman besar terhadap iman kita. Namun Comer basically mengatakan bukan itu semua. Dia mengutip gurunya, Dallas Willard, yang mengatakan: “Ancaman paling besar, musuh paling berbahaya, yang ada hari ini di antara orang Kristen, adalah spirit keterburu-buruan dan ketergesa-gesaan, spirit hurry.” Koq, bisa sih bilang begitu, bahwa ketergesa-gesaan itu paling bahaya bagi orang Kristen?? Willard melanjutkan: “Karena spirit ketergesa-gesaan adalah spirit anti-Kristus”. Buset! Ngomongnya sampai begitu banget; masa’ sih??
Coba dengarkan apa yang jadi argumentasinya. Comer mengatakan, dalam sistem ekonomi Kerajaan Allah, apa yang paling berharga? Bukan emas, bukan harta, uang, bukan jabatan, dsb. Apa yang paling berharga dalam sistem ekonomi Kerajaan Allah? Kasih. Mengasihi Tuhan, mengasihi sesama. Dan satu hal yang pasti, Comer mengatakan, kasih itu perlu waktu. Omong-omong, kasih bukan cuma perlu waktu, kasih itu menyedot waktu. Saudara sebagai jemaat di sini, kalau masuk Tim Penggembalaan, Saudara akan sadar hal ini dengan sangat cepat. Begitu Saudara melihat sesama jemaat ada yang kekurangan, ada yang kesulitan, dan Saudara mau coba memperhatikan mereka, apa yang terjadi? Waktumu akan habis oleh mereka. Saudara punya anak, waktumu juga habis-habisan disedot oleh mereka. Jadi, kasih dan ketergesa-gesaan, tidak compatibel.
Coba Saudara cek momen-momen apa dalam hidup kita di mana kita paling kurang mengasihi. Saudara akan menemukan bahwa biasanya itu adalah momen-momen di mana kita paling sedang terburu-buru ‘kan. Coba ingat-ingat lagi bagaimana kita berelasi terhadap oerang-orang yang so called orang-orang yang kita kasihi, pada saat kita sudah telat, apakah kelihatannya kayak kasih? Tidak ‘kan. Isinya adalah ketidaksabaran, kemarahan, tatapan-tatapan mendelik, kata-kata yang pedas. Saudara lihat, kasih dan ketergesa-gesaan itu kayak air dan minyak. Dan mungkin itu sebabnya, Comer mengatakan, ketika Paulus dalam Alkitab mendaftarkan karakteristik kasih, dia mulai bukan dengan kemurahan hati atau kepedulian, melainkan bahwa kasih pertama-tama adalah sabar. Ini menarik, mungkin inilah sebabnya dalam Teologi, orang bicaranya mengenai ‘berjalan bersama Tuhan’, bukan ‘berlari bersama Tuhan’. Bahkan Pak Tong, yang Saudara kenal sebagai orang yang senantiasa ingin pegang momennya Tuhan, dsb., lagunya apakah “Aku sedang berlari-lari bersama Tuhan”? Tidak, melainkan “Aku sedang berjalan dengan Tuhanku”. Kenapa? Karena Allah itu kasih.
Teolog Jepang, Kosuke Koyama, mengatakan: Allah berjalan, karena Dia kasih; kalau Dia bukan kasih, Dia tidak akan berjalan, Dia akan melesat jauh lebih cepat. Tetapi Allah berjalan, karena kasih punya kecepatannya sendiri –atau lebih tepatnya, punya kelambatannya sendiri. Kecepatan kasih, itu beda dengan kecepatan teknologi, yang kita sudah terbiasa. Kecepatan kasih, itu lambat; and yet ini kecepatan yang melampaui semua jenis kecepatan yang lain, karena ini adalah kecepatannya kasih.
Dalam culture kita, ‘lambat’ itu hinaan. Orang yang IQ-nya rendah, kita sebutnya ‘dia lamban’. Kalau restoran yang pelayanannya tidak bagus, kita bilang ‘ini restoran yang lelet’. Kalau film membosankan, kita mengatakan ‘ini ceritanya ‘gak maju-maju’. Kita, sebagai orang di dunia ini dipengaruhi dengan culture seperti ini, kita pikir lambat itu jelek dan kencang itu bagus. Tetapi lihat dalam kitab Daniel, Kerajaan Allah adalah kerajaan yang upside down, terbalik dengan dunia. Kerajaan-kerajaan dunia maunya emas, besi, sedangkan Kerajaan Allah itu batu. Saudara lihat ini dengan jelas dalam banyak hal, khususnya dalam Rajanya sendiri, karena Yesus itu lambat. Yesus itu bisa dibilang lambat lahir, koq ‘gak lahir-lahir, sudah berapa ratus tahun tidak lahir-lahir. Yesus itu lambat ke Yerusalem. Murid-muridnya selalu mengatakan, “Ayo, ke Yerusalem, Tuhan, ayo ke Yerusalem!” dan Yesus tidak pergi-pergi, sampai seminggu terakhir dalam hidup-Nya baru Dia pergi, dan setelah itu mati pula. Yesus lambat naik kayu salib. Yesus lambat bangkit, sampai musti tiga hari di kuburan tuh ngapain sih?? Dan setelah bangkit, Dia lambat naik. Dan setelah naik, Dia lambat datang kembali.
Saudara lihat, kesabaran Allah digambarkan Alkitab memang dibahasakan dengan istilah ini, ‘panjang sabar’ (dalam Alkitab kita). Dalam Alkitab bahasa Ibrani tidak ada kata ‘sabar’; istilah yang diterjemahkan sebagai sabar dalam bahasa kita, adalah slow to anger, lambat marah. Saudara perhatikan, di dalam Alkitab, Yesus tidak pernah sekali pun digambarkan terburu-buru; dan memang itulah realitasnya, karena Dia Allah yang menjadi daging, dan seperti itulah kelihatannya kalau Allah menjadi manusia –tidak pernah terburu-buru, tidak pernah tergesa-gesa.
Dengan demikian satu hal yang terakhir, waktu Saudara melihat nubuat ini, ayat 25 mengatakan: Dari saat firman itu keluar, saat Yerusalem akan dipulihkan dan dibangun kembali, sampai kedatangan seorang yang diurapi, seorang penguasa, ada tujuh kali tujuh masa. Lalu selama enam puluh dua kali tujuh masa lamanya kota itu akan dibangun kembali dengan tanah lapang dan paritnya, tetapi pada masa sulit. Jadi ada berita mengenai pemusnahan, kesulitan, peperangan, dsb., yang basically mau mengatakan bahwa masa ini lama, tidak seperti yang kita bayangkan. Saudara tahu, waktu Ezra dan Nehemia melihat kembali ke belakang, ke nubuat dalam kitab Daniel, mereka mengangguk-angguk. Memang benar setelah 70 tahun yang pertama, Israel (Yehuda) kembali ke Palsteina, tetapi actually Yerusalem tidak bisa dibangun-bangun, karena tekanan dari berbagai tetangga di sebelahnya. Edict Kores yang memulangkan Yehuda itu tidak terlalu ngaruh; actually sampai 4 edict berlainan, dari raja-raja yang berlainan dalam kisah Ezra dan nehemia, untuk sampai tembok Yerusalem itu mulai dibangun. Jadi memang benar 70 tahun yang pertama itu penuh dengan kesulitan; tembok itu akan dibangun kembali, tapi di tengah-tengah kesulitan. Namun ini positif; kenapa? Karena ini realitas; dan ini memberitahu kepada kita bahwa Allah kita tahu masa depan, Allah kita in-control masa depan, dan Allah kita ‘gak ngomong manis. Ini kabar baik. Bandingkan dengan horornya penumpang Titanic ketika menyadari mereka akan tenggelam! Kenapa ini horor? Karena waktu naik kapal itu, mereka diberitahunya beda, mereka diberitahunya ‘ini kapal yang Tuhan pun tidak bisa tenggelamkan’; tetapi ternyata Tuhan tidak perlu turun tangan, cukup gunung es, dan urusan selesai. Saudara bayangkan dirimu salah satu dari mereka itu, Saudara diberitahunya begitu, realitasnya lain, betapa horornya! In some sense, yang diberitahu kepada Daniel ini betul horor, betul ada kesulitan, ada tantangan, dsb., tetapi paling tidak Saudara tahu, bahwa Tuhanmu tahu mengenai hal itu. Ini good news; dan Tuhanmu tidak ngomong manis.
And yet, berita yang paling good news di bagian ini ada di ayat 26: “Sesudah keenam puluh dua kali tujuh masa itu …”;jadi ada 7 tahun yang pertama, lalu 62 kali, basically 6 periode kali tujuh, dan sisa satu yang terakhir. Lalu apa yang akan mencetuskan periode terakhir ini, apa yang akan membuat ini segera berakhir? Yaitu: “… akan ada seorang yang telah diurapi –the annointed one, Massiah, Mesias– akan disingkirkan, dan tidak memiliki apa-apa”. Istilah disingkirkan di sini memakai kata cut off; cut off dalam Alkitab Perjanjian Lama selalu artinya di-eksekusi, dimatikan. Jadi ini adalah penghiburannya. Nubuat ini bicara apa? Nubuat ini bukan bicara mengenai kerajaan A yang melakukan B, lalu kerajaan C yang melayani ini dan itu, dan akhirnya ini semua akhirnya cuma melayani kuriositas kita, ‘O, ternyata begini ya, ternyata begitu ya’. Nubuat ini sedang bicara apa? Adakah makna yang lebih dalam dibandingkan nubuat mengenai momen salib? Ada nubuat apa yang lebih menarik bagimu dibandingkan nubuat yang membukakan kepadamu momen Anak Allah yang juga menunggu dan menanti??
Saudara, apa sih momen salib? Momen salib menceritakan kepada kita bahwa Allah kita sendiri willing untuk menunggu waktu yang lama. Tuhan tidak suruh kita melakukan apapun yang Dia sendiri tidak willing untuk lakukan terlebih dulu. Saudara lihat, momen salib membuat kita menyadari bahwa ketika Tuhan datang membawa keselamatan, Dia datang dengan membawanya di dalam dan melalui keterbatasan; dan keterbatasan yang Dia alami adalah keterbatasan waktu juga. Dia tidak datang langsung dewasa, lalu naik ke atas kayu salib —lima menit saja ya di atas salib, ya, jijik Aku sama kalian, ngapain lama-lama, buang-buang waktu-– lalu selesai. Dia mengalami proses sembilan bulan di dalam kandungan. Dia mengalami proses kelahiran dengan segala messiness-nya. Dia mengalami proses ngompol di popok. Dia 30 tahun menghidupi hidup yang biasa-biasa tanpa followers dan subscribers, untuk kemudian hanya melayani tiga tahun. Kalau kita melihat hal ini, kita mengatakan ‘ngapain ya, what a waste, buang-buang waktu!’
Namun dengan “membuang waktu” 30 tahun seperti itu, actually tidak ada yang terbuang, karena Saudara dan saya justru dapat sesuatu. Kita mendapatkan bahwa Allah kita tidak benci keterbatasan, bahwa waktu Dia menjadi manusia, Dia benar-benar jadi manusia. Dia menjadi manusia yang tentunya oke, Dia mencapai semua potensi yang manusia bisa capai, jauh melampaui apa yang kita bisa capai. Tetapi Dia menjadi manusia sejati justru karena Dia juga masuk ke dalam seluruh limitasinya, keterbatasannya. Ini good news. Ini sebabnya –sekali lagi– kita berjalan dengan Dia, dan bukan berlari dengan Dia.
Dia adalah Allah yang tidak buru-buru. Ini sebabnya waktu kita mengingat Yesus dalam Perjamuan Kudus, memakainya roti dan anggur. Roti tidak bisa langsung ditelan, roti harus dikunyah, bahkan roti yang kita pakai yang cuma hosti kecil itu pun harus dikunyah, perlu waktu. Anggur juga –bukan jus– tidak bisa cepat-cepat minumnya. Kita tidak terlalu ada culture apresiasi wine, tapi Saudara tahu anggur (wine) beneran itu dibukanya saja dengan menikmati, lalu dicium-cium dulu, dituang sedikit, digoyang-goyang gelasnya karena perlu oksidasi, dicium lagi, baru diminum. Minumnya pun pelan-pelan, sambil matamu memejam. Itulah anggur. Harusnya Perjamuan Kudus memang tidak buru-buru.
Bukan cuma kasih, sukacita juga tidak compatible dengan keterburu-buruan. Sukacita tidak datang ketika kita melihat matahari terbit, misalnya di Bali, lalu kita buru-buru ambil HP. Tidak ada sukacitanya kalau kayak begitu. Kita perlu attentive dan peka dengan momen yang sedang berlangsung, baru Saudara bisa bersukacita. Damai sejahtera apalagi, mana ada damai sejahtera yang datang dalam keterburu-buruan –tidak mungkin. Dan, inilah Allah kita, inilah apa yang Allah kita berikan bagi kita. Allah kita adalah Allah yang ikut bersama-sama di dalam semua penungguan dan penantian ini. Itulah salah satu —if not yang paling kuat– encouragement untuk kita bertahan setia sebagai umat Allah di tengah-tengah penantian yang begitu lama.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading