Kalau kita melihat secara sepintas, ayat 1-4 mazmur ini sepertinya kontras dengan ayat 5 dan seterusnya. Dalam hal ini para pakar kitab Mazmur ada yang menafsir, mungkin ini tadinya dua mazmur yang berbeda, yang kemudian digabungkan. Tapi kalau kita mengenal teologi bijaksana (wisdom theology), pemaparan dalam bentuk antitesis adalah sesuatu yang biasa.
Struktur antitesis di sini cukup jelas; ayat 1-4 menggambarkan keadaan orang fasik, lalu ayat 5 dan seterusnya membicarakan tentang Tuhan dan sifat-Nya. Ini mengingatkan kita pada Mazmur 1, di situ ada kontras/antitesis antara orang benar dan orang fasik, meski di Mazmur 36 ini memang agak berbeda. Di sini orang fasik digambarkan dalam kalimat-kalimat yang cukup sulit diterjemahkan dari bahasa aslinya; terjemahan bahasa Indonesianya dikatakan: ‘dosa bertutur di lubuk hati orang fasik’. Terjemahannya secara bebas: dosa adalah suatu kesenangan bagi orang fasik.
Salah satu kelebihan kitab Mazmur adalah mengangkat persoalan kesenangan manusia; dan di sini kebenaran bukan hanya digambarkan sebagai sesuatu yang jahat tapi juga meracuni human desire, kesenangan manusia dibuatnya jadi gelap. Memang terdengar absurd, ‘koq ada ya, manusia yang kesenangannya kejahatan’, tetapi demikianlah yang digambarkan Kitab Suci, bahwa kesenangan orang fasik memang seperti itu. Jadi dosa ini bukan cuma sekedar error, mistake, atau salah sasaran –sebagaimana definisi yang sering kita pakai– tetapi ini menimbulkan kesenangan yang sesat.
Memang ada absurditas di dalam kefasikan; seperti dikatakan di ayat 2: ‘sebab ia membujuk dirinya, sampai orang mendapati kesalahannya dan membencinya.’ Ada pembujukan penipuan diri (self-deception), tapi orang itu seperti tidak terganggu juga kalau orang mendapati kesalahannya dan membencinya, yang penting dia sendiri senang melakukan itu. Di dalam konteks teologi bijaksana, pemazmur mengatakan, inilah orang yang ‘berhenti berlaku bijaksana’ (ayat 3). Dikatakan juga di ayat 4, ‘ia menempatkan dirinya di jalan yang tidak baik’ (‘jalan’ adalah salah satu kosakata dalam teologi bijaksana). Jadi ini pembalikan dari semua yang baik dan benar; bukan bicara tentang ‘jalan hikmat’, sebaliknya bicara tentang ‘jalan kebodohan’. Segala nilai-nilai yang baik di sini di-negasi; dia menghina, melawan, membuang nilai-nilai yang baik itu.
Tadi kita sudah mengatakan, bagian ini ada kemiripan dengan Mazmur 1, tapi juga ada perbedaan. Dalam penggambaran orang fasik di sini, kontrasnya bukanlah orang benar, seperti penggambaran dalam Mazmur 1; kontrasnya di sini adalah Tuhan dan sifat-sifat-Nya, atribut-atribut-Nya. Saudara perhatikan ayat 5, 6, dan seterusnya, bagian ini ditulis sebagai suatu pujian. Menggambarkan kebaikan Tuhan, menggambarkan kasih setia Tuhan, dsb., kita tidak bisa melakukannya semata-mata secara objektif, dingin, rasional, dsb.; kita mempersaksikannya di dalam bentuk pujian kepada Tuhan. Waktu menjelaskan tentang orang fasik, di sini pemazmur menjelaskannya dengan kengerian, betapa ini adalah sesuatu yang menjijikkan. Ini paralel dengan menjelaskan tentang Tuhan, yang bukan tanpa kekaguman, bukan tanpa penyembahan. Sekali lagi, kitab Mazmur merupakan kitab yang menyoroti human desire; waktu menjelaskan tentang kejahatan, mazmur bukan menjelaskannya dari titik netral (point of neutrality) melainkan dengan satu sikap hati yang merasa jijik. Demikian juga waktu menjelaskan tentang Tuhan, mazmur bukan menjelaskan dari titik netral.
Ada keindahan tersendiri dari Mazmur 36 kalau dibandingkan dengan Mazmur 1 –yang tentu saja juga indah– yaitu alih-alih menggambarkan kontras antara orang fasik dan orang benar, di Mazmur 36 ini orang benar seperti berada di latar belakang. Kita tidak melihat orang benar di sini, yang ada adalah Tuhan yang benar, Tuhan yang mahabaik. Dalam hal ini kita boleh juga melakukan penafsiran Mamzur 36 dari terang Mazmur 1, mengenai siapa itu orang benar, yaitu tidak lain tidak bukan adalah orang yang mengagumi kebenaran Tuhan, mengagumi kebaikan Tuhan, mengagumi kasih setia Tuhan. Orang benar itu mengenal Tuhan, yang kasih-Nya sampai ke langit, kesetiaan-Nya sampai ke awan (ayat 5); maksudnya, bicara tentang kasih setia Tuhan, di dalam bahasa aslinya adalah membicarakan tentang sesuatu yang sifatnya luber. Tuhan itu adalah sumber segala kelimpahan, dan di dalam-Nya kita mendapatkan segala sesuatu bukan hanya cukup, tapi juga berkelimpahan.
Saudara membaca penggambaran di sini, kasih Tuhan itu sampai ke langit, setia-Nya sampai ke awan; Manfred Oeming menafsir, ini maksudnya universal. Kalau kita melihat daratan, di daratan ada batas-batas, misalnya batas-batas negara ini dan negara itu; tapi kalau Saudara melihat ke atas, di langit tidak ada batas-batas negara. Jadi maksudnya, kasih setia Tuhan adalah sesuatu yang universal, melampaui segala batasan-batasan bangsa dan negara. Kita percaya, dalam kehidupan kita sebagai warga negara yang baik tentu ada tempatnya untuk punya jiwa nasionalis yang cinta tanah air, tapi kita juga harus berhati-hati akan sifat nasionalisme berlebihan, yang akhirnya menjadi sauvinis (chauvinist), merasa kita harus memperta-hankan kultur kita, kebudayaan kita, bangsa kita, ideologi negara kita, dsb., yang akhirnya tidak lagi melihat universalitas kasih setia Tuhan.
Salah satu tanda dari kuasa Injil justru adalah mengeluarkan kita dari nasionalisme yang sempit, yang hanya berpikir untuk bangsa sendiri saja, suku sendiri saja. Itu tidak cocok dengan cerita mazmur ini. Orang yang mengenal kasih Tuhan, mengenal setia Tuhan, berarti dia memiliki keluasan hati yang universal seperti ini, yang bukan cuma diarahkan secara eksklusif hanya kepada bangsa atau suku tertentu, karena memang melampaui itu. Kalau kita tidak mau menerima hal ini, kita bilang “saya lebih mencintai bangsa saya saja”, jangan-jangan ideologinya adalah ideologi yang sudah jadi berhala. Saudara perhatikan, orang Israel/orang Yahudi pun ada fase mereka berpikir seperti itu, mereka menolak Kristus karena Kristus tidak berpihak kepada orang Israel/orang Yahudi; mereka tidak mengerti mengapa Kristus harus untuk semua bangsa. Kita jangan membuat sempit kasih setia Tuhan yang luas, yang luber itu.
Bukan hanya itu, ide ini sangat berkait dengan konsep keadilan (righteousness) menurut Alkitab, bahwa keadlian berarti bukan hanya berpihak pada sebagian orang, melainkan kepada semua orang. Mengorban-kan orang-orang yang kecil, yang lemah, itu paling gampang. Berpihak pada orang-orang yang besar, yang penting, yang ber-uang, itu paling gampang. Tapi keadilan Allah bukan seperti itu; keadilan dan hukum Allah adalah seperti gunung-gunung, bagaikan samudra raya yang hebat (ayat 6) –sekali lagi, ini berarti bagi semua orang. Bahkan kita terkejut waktu membaca bukan hanya manusia, tapi hewan juga diselamatkan oleh Tuhan. Dalam kebudayaan Timur, memang kita sepertinya kurang menghargai hewan, tetapi Tuhan sendiri ternyata menyelamatkan hewan juga. Jika bukan cuma manusia tapi hewan juga diselamatkan, maka betapa jauhnya pikiran bahwa keselamatan hanya untuk bangsa tertentu; pikiran seperti itu sangat jauh dari pikiran pemazmur di bagian ini.
Satu hal yang mungkin bisa juga jadi kritik atau koreksi atas kebudayaan kita, yaitu mengenai Allah yang digambarkan dengan gambaran yang lebih feminin di ayat 7: ‘Anak-anak manusia berlindung dalam naungan sayap-Mu.’ Di dalam ideologi patriotik/heroik, biasanya yang seringkali digambarkan adalah spirit machismo, penggambaran yang macho, yang sangat maskulin. Cerita tentang orang-orang besar dengan kepahlawanannya, yang digambarkan memiliki kekuatan maskulin, sangat populer dalam gambaran seperti ini. Itu sebabnya, kuasa merupakan sesuatu yang sangat penting. Untuk ideologi yang seperti ini, gambaran keibuan tidak ada tempatnya.
Kita bukan mau mengatakan bahwa di dalam Alkitab tidak ada penggambaran Allah yang maskulin sama sekali –tentu saja ada gambaran seperti itu, dan banyak– tapi yang mau kita katakan di sini, ada keindahan tersendiri ketika menggambarkan Allah dengan gambaran keibuan-Nya, naungan sayap-Nya, dsb. Sifat yang ditekankan di sini bukan keperkasaan-Nya atau kepahlawanan-Nya dalam perang –bukan bagian itu– melainkan kasih setia-Nya dalam melindungi anak-anak manusia. Kalau kita jujur dalam kehidupan kita, kita ini tidak selalu kuat; ada saat-saat kita lemah, jatuh, bahkan takut, kita sakit, kita ragu-ragu, rapuh dan rentan. Saya kuatir, kalau kita hanya memiliki pengenalan Allah yang melulu maskulin, tidak ada gambaran Allah yang di dalam naungan sayap-Nya kita bisa berlindung, maka kita tidak mendapatkan penghiburan dalam saat-saat seperti itu.
Sebetulnya banyak sekali aspek feminitas yang kita sangat butuhkan dalam kehidupan ini. Termasuk juga bahkan waktu kita bicara mengenai kehidupan sehari-hari; ketika anak yang masih kecil membutuhkan makanan, siapa yang menyiapkan? Tentu ibu yang menyediakan makanan. Saudara baca di ayat 8, dikatakan di sini: ‘Mereka mengenyangkan dirinya dengan lemak di rumah-Mu; Engkau memberi mereka minum dari sungai kesenangan-Mu –berarti mereka mendapatkan makanan dan minuman dari Tuhan.Saudara, hidup ini bukan hanya tentang bekerja, berperang, mencari nafkah –bukan hanya itu. Hidup ini juga adalah tentang bagaimana kita mendapatkan perlindungan, bagaimana kita mendapatkan makanan dan minuman. Dan, Mazmur 36 ini mengatakan, kita mendapatkan itu di dalam Tuhan, yang besar kasih setia-Nya. Itu sebabnya ayat 9 penting sekali –dan ini juga jadi judul kotbah kita–‘pada Tuhan ada sumber hayat’, ada fountain of life. Kita mendapatkan kesegaran kehidupan kita dari Tuhan, Dia-lah sumbernya. Dalam konteks kitab bijaksana, yang dikatakan ‘sumber hayat’ atau ‘fountain of life/source of life’, tidak lain tidak bukan adalah hikmat pengajaran yang keluar dari mulut orang-orang bijak/orang-orang benar. Maksudnya, pengenalan akan Allah yang seperti ini –Allah dan sifat-sifat-Nya, kasih setia-Nya, kebaikan-Nya sebagaimana digambarkan di sini– adalah kehidupan.
Di dalam Perjanjian Baru, kita tahu ini digenapi di dalam Kristus, Orang Benar itu. Khususnya di dalam Injil Yohanes kita mengenal The Seven Great ‘I am’, di situ ada penyataan Allah yang dinyatakan di dalam Yesus Kristus. Bukan hanya itu, Yesus juga menyebut diri-Nya terang dunia (the light of the world); ‘I am the light’ dan ‘I am the life’ muncul dalam The Seven Great ‘I am’. Di dalam Kristus-lah kita mendapatkan penyataan Allah yang sejati. Tapi penyataan seperti ini mengganggu ideologi kita. Maka, pilihannya salah satu, antara kita meninggalkan ideologi kita yang salah lalu datang kepada Kristus, atau atau kita tetap berada di dalam ideologi yang salah yang tidak melihat terang itu.
Mungkin dengan berhati-hati, kita bisa menafsir ayat 9 ini juga dari perspektif Kristologi Perjanjian Baru, ‘di dalam terang-Mu kami melihat Terang’. Yesus Kristus adalah Terang yang dari Terang; Dia adalah Tuhan yang dari Tuhan, Allah dari Allah. ‘Di dalam terang-Mu kami melihat terang’, di dalam Kristus kita melihat terang Ilahi yang sesungguhnya. Dalam pemikiran orang Israel, melihat terang artinya memiliki kehidupan. Orang yang belum lahir, dia belum melihat terang. Orang yang tidak memiliki kehidupan, dia berjalan di dalam kegelapan. Terang dan kehidupan betul-betul tidak bisa dipisahkan. Kita lihat dalam cerita penciptaan (teologi penciptaan), di kitab Kejadian Tuhan memberikan kehidupan dengan menciptakan terang. Kita tahu juga dalam dunia biologi, kalau tidak ada terang, tidak ada kehidupan. Tapi yang dimaksud di bagian Mazmur ini tentu saja terang dalam pengertian rohani; orang yang tidak melihat terang Ilahi, tidak melihat terang Allah, dia tidak bisa melihat terang yang sesungguhnya, dia buta, dia berjalan dalam kegelapan.
Bagian terakhir dari Mazmur 36, bagaimana dengan nasib orang-orang fasik itu? Saudara membaca di dua ayat terakhir, ada permo-honan dari orang-orang yang telah melihat terang Tuhan: ‘Janganlah kiranya kaki orang-orang congkak menginjak aku, dan tangan orang fasik mengusir aku’ (ayat 11). Lalu pemazmur mengakhirinya dengan: ‘Lihat, orang-orang yang melakukan kejahatan itu jatuh; mereka dibanting dan tidak dapat bangun lagi’ (ayat 12). Kapan ini akan terjadi? Ini adalah satu pengharapan eskatologis (eschatological hope).
Percaya kepada Tuhan, mengenal Tuhan, melihat terang yang sejati, itu bukan berarti kita kemudian tidak lagi melihat ketidakadilan di dalam dunia ini. Lihatlah kehidupan Kristus; Kristus sendiri mengalami ketidakadilan itu sampai akhirnya Dia mati di atas kayu salib. Percaya kepada Yesus Kristus bukan berarti kita kemudian diluputkan dari segala macam ketidakadilan. Percaya kepada Kristus berarti kita memiliki pengharapan bahwa pada akhirnya orang benar akan dibenarkan, ada vindication of the righteous; dan juga ada keyakinan bahwa orang fasik tidak akan luput dari penghukuman. Pengharapan yang seperti ini bisa terus menguatkan kita, menolong kita untuk tidak berhenti mengenal Tuhan, tidak berhenti beribadah kepada Tuhan, dan juga tidak berhenti memuji Dia dan segala sifat-sifat-Nya.
Kiranya Tuhan memberkati Saudara sekalian.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading