Minggu ini kita masuk di dalam Minggu Adven Pertama.
Pohon natal kita juga siap di Minggu Adven Pertama ini; dan seperti biasa, kemarin kita ada acara kebersamaan untuk membuat pohon natal ini, suatu tradisi yang baik yang bisa terus dilanjutkan. Kalau Saudara ingin tanya, pohon natal kita kali ini artinya apa, Saudara musti tanya sendiri kepada yang mendesain; tapi mungkin kita bisa mengingat dari 1 Petrus 2:5, di situ dikatakan bahwa orang-orang percaya “dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah. “
Tradisi “pohon natal” ini menarik, di luar segala kontroversi pro-kontra-nya. Waktu saya mempelajarinya kembali, ternyata ini tradisi yang muncul dari Protestan, di zaman Renaissance, sementara hiasan natal Roma Katolik pada waktu itu adalah palungan. Menurut ceritanya, Luther pernah meletakkan sebuah lilin di pohon yang ada pada musim Natal itu. Di Barat, Natal jatuh memang tepat pada winter solstice (winter soltice adalah titik balik setelah gelap terpanjang pada musim dingin/winter); dan dalam keadaan winter seperti itu, pohon cemara/pinus adalah pohon yang evergreen. Pohon yang daunnya masih ada di musim winter sementara pohon-pohon lain rontok daunnya, somehow menyatakan suatu gambaran kekekalan, simbol ketidakberubahan yang tidak termakan oleh kuasa winter itu. Selain itu, pohon natal bentuknya segitiga, yang pada zaman itu ditafsir sebagai gambaran dari Tritunggal; dan puncaknya yang mengarah ke atas –ke surga– mengingatkan bahwa kita memang suatu saat akan ke sana, bahwa tempat kita bukan di sini. Jadi, silakan memasang pohon natal di rumah, kalau memang mungkin; kalau tidak pun tidak apa-apa, itu bukan sesuatu yang esensial untuk keselamatan kita –bahkan untuk Natal– namun tetap bisa indah.
Perenungan Minggu Adven Pertama ini diambil dari Yeremia 23:5-8. Ayat 1-4 pasal 23 berbicara tentang para gembala; ada para gembala yang ditegur oleh Tuhan karena mereka membiarkan kambing domba gembalaan Tuhan hilang dan terserak, lalu dikatakan bahwa Tuhan sendiri akan mengumpulkan sisa-sisa kambing domba-Nya dari segala negeri, Tuhan akan mengangkat gembala-gembala yang akan menggembalakan mereka. Waktu kita membaca mulai dari ayat 5, ini meninggalkan pembicaraan tentang gembala, dan seperti masuk ke dalam suatu motif atau tema yang baru. Kalau di dalam pembicaraan awal tadi, para gembala yang ditegur/dihakimi maupun yang akan diangkat oleh Tuhan, semuanya berbentuk plural, maka di ayat 5 ketika dikatakan “Sesungguhnya, waktunya akan datang, demikianlah firman TUHAN, bahwa Aku akan menumbuhkan Tunas adil bagi Daud”, yang dimaksud dengan Tunas adil tersebut adalah singular, menunjuk pada satu figur tertentu. Memang waktu bicara tentang ‘tunas yang adil’, secara sederhana biasanya menunjuk pada plural, bukan singular. Misalnya di dalam pasal 33:17, hal ini terlihat cukup jelas; dikatakan: “Sebab beginilah firman TUHAN: Keturunan Daud tidak akan terputus duduk di atas takhta kerajaan kaum Israel!” Ini bicara tentang dinasti Daud yang akan selalu ada penggantinya, tidak akan berhenti.
Kita mungkin agak memandang rendah krisis yang terjadi pada saat itu. Waktu kita membaca kitab Yeremia dan Ratapan, berarti ini sudah bicara tentang jatuhnya kerajaan Selatan, bukan cuma kerajaan Utara, sedangkan kalau kita bandingkan dengan kitab Yesaya, ketika itu yang jatuh kerajaan Utara. Kerajaan Selatan waktu itu masih yakin sekali, “O, itu ‘kan kerajaan Utara yang collapse, memang mereka punya tempat ibadah sendiri yang tidak pernah diperintahkan Taurat, makanya collapse”. Mereka yakin Sion (Yerusalem), tidak akan pernah runtuh.
Seperti Saudara tahu, setelah Salomo, pada masa Rehabeam dan Yerobeam, kerajaan tersebut terkoyak jadi kerajaan Selatan dan kerajaan Utara. Kerajaan Selatan ini yakin sekali bahwa Tuhan berpihak kepada mereka; mereka menganggap “kerajaan Utara sedang dihukum, tapi kita tidak akan pernah mengalami seperti itu”. Tapi ternyata kerajaan Selatan runtuh juga; dan itu amat sangat mengejutkan mereka. Lalu seperti kerajaan Utara, mereka masuk ke dalam pembuangan juga; maka pertanyaannya sederhana saja: sebetulnya Davidic covenant ini bubar atau masih berjalan terus, atau bagaimana? Perjanjian Allah dengan Daud itu sebetulnya bersyarat (conditional) atau tidak bersyarat (unconditional)? Kalau ternyata bersyarat, ‘ya, sudah, janji itu bubar, kita memang tidak taat, kita ada salah, maka sekarang masuk pembuangan –janji itu bubar, soalnya bersyarat’.
Di dalam teologi Perjanjian Lama, ternyata dua puzzle ini –bersyarat dan tidak bersyarat (unconditional) —dua-duanya hadir. Di lingkaran Reformed, kita suka pakai istilah ‘paradoks’; dan itu tepat sekali karena di dalam Alkitab banyak sekali paradoks seperti ini, lalu kalau orang tidak mengerti, dia akan menuduh ini seperti kontradiksi dst. Di satu sisi, pembuangan (exile) itu nyata; dan ini menyatakan ada aspek ‘syarat’, bahwa kalau tidak taat maka akan kena hukuman –ada aspek ‘bersyarat’ di situ. Di sisi lain, Tuhan tidak berhenti dengan janji-Nya, Dia jalan terus; meski ketidaktaatan orang Israel, Tuhan tetap setia –ini berarti aspek ‘tidak bersyarat’. Ayat yang kita baca tadi, tekanannya seperti lebih ke aspek unconditional waktu dikatakan “Tuhan akan menumbuhkan Tunas adil bagi Daud”. Ini menyatakan juga bahwa Mesias akan muncul dari keturunan Daud.
Kalau kita membaca dalam Zakharia 3:8 di situ juga ada istilah ‘tunas’: “Dengarkanlah, hai imam besar Yosua! Engkau dan teman-temanmu yang duduk di hadapanmu — sungguh kamu merupakan suatu lambang. Sebab, sesungguhnya Aku akan mendatangkan hamba-Ku, yakni Sang Tunas.” Jadi, ‘tunas’ sebetulnya adalah titel mesianik di dalam Perjanjian Lama, demikian menurut Zakharia sebagaimana dipakai di sini. Dan, mesias ini akan turun dari garis keturunan Daud; kontras dengan raja yang tidak adil pada zaman itu, yang namanya Zedekia. Ironis, nama Zedekia artinya “Yahweh adalah keadilan”, tapi dia sendiri bukan raja yang adil dan benar. Mungkin ini nama memang dimaksudkan sebagai ironi, bahwa selain Yahweh, tidak ada yang benar, tidak ada yang adil.
Ketika di bagian ini pakai istilah ‘tunas’ secara metaforis, tentu kita bisa mengerti bahwa ini sesuatu pertumbuhan yang baru dari akar yang boleh dibilang sudah mati. Akar yang mati, tidak mungkin bisa ada pertumbuhan lagi, kecuali Tuhan dengan kuasa penciptaan-Nya bertindak. Natal itu apa? Salah satunya adalah: tindakan Tuhan yang kreatif di tengah-tengah gambaran yang mandul, tidak berbuah, kering kerontang, mati, dsb.
Dalam bahasa Jerman ada istilah stunde null, artintya zero point, titik nadir, yaitu ketika Jerman kalah perang dan semua kotanya berantakan tinggal puing-puing. Brueggemann pakai istilah ini, bahwa stunde null atau nullpunkt inilah gambaran waktu Tuhan membangkitkan pekerjaan-Nya. Kita percaya, bahwa bukan kebetulan cerita-cerita di Alkitab ada semacam pola tertentu, baik itu Hana ataupun Sara adalah orang-orang mandul. Memang kita tidak mengatakan Maria juga mandul, tidak ada catatan Maria mandul, tapi kita melihat bahwa Yesus lahir tanpa hubungan Maria dengan Yusuf, artinya ada suatu ketidakmungkinan (impossibility) di sini, mirip dengan tradisi ‘mandul’ di dalam Perjanjian Lama. Intinya, Tuhan suka bekerja di saat –saat paling hopeless dan helpless itu; dan ‘tunas’ itu sendiri sebetulnya mempunyai arti demikian, bahwa di tengah-tengah keadaan yang mati dan tidak berpengharapan, sesuatu bisa bertumbuh.
Berbicara tentang tunas (branch), kita ingat Yohanes 15 dalam Perjanjian Baru. Mirip seperti arti nama Zedekia yaitu ‘Tuhan satu-satunya yang benar/adil’, di dalam pasal 15:1 Yesus mengatakan, “Akulah pokok anggur yang benar”. Seharusnya yang berbuah itu Israel, tapi Israel tidak ada yang berbuah, mandul; maka Yesus datang dan mengatakan, “Akulah pokok anggur yang benar”. Di sini ada pengharapan, karena Israel bangsa yang tidak berbuah tapi kemudian Yesus mengatakan, “Akulah pokok anggur yang benar”; dan kemudian ada undangan, “tinggalah di dalam Aku, maka kamu akan berbuah”.
Di dalam kehidupan ini, kita suka hitung-hitungan modal yang ada pada kita, mengkalkulasikannya, lalu menghitung dengan modal/skill seperti ini kita bisa bekerja apa; kita melihat keadaan, apakah situasinya mendukung atau tidak mendukung, kondusif atau tidak kondusif. Tentu saja ini tidak salah. Memang ada tempatnya untuk melakukan seperti ini, dan bahaya sekali kalau orang seperti kelihatan beriman atau berserah lalu tidak melakukan penghitungan apa-apa, jangan-jangan bukan beriman melainkan nekad, atau apalah. Tapi poin yang mau kita katakan di sini terutama adalah: hati-hati, kalkulasi tidaklah bisa membatasi pekerjaan Tuhan, dan tidak boleh membatasi pekerjaan Tuhan.
Kalau kembali pada situasi zamannya Yeremia, di dalam keadaan pembuangan seperti itu sebetulnya tidak ada pengharapan untuk melanjutkan dinasti Daud. Orang mungkin bisa nostalgia ke belakang, ‘zaman dulu itu, pada zaman Musa, Tuhan membebaskan Israel keluar dari Mesir, betapa itu sangat berkuasa’, tapi itu dulu sedangkan sepertinya sekarang tidak ada lagi. Yang menarik, di bagian ini dengan berani sekali ada relativisasi cerita Keluaran (Exodus); dan ini Tuhan sendiri yang mengatakannya, bukan Yeremia. Kita membaca di ayat 7: “Sebab itu, demikianlah firman TUHAN, sesungguhnya, waktunya akan datang, bahwa orang tidak lagi mengatakan: Demi TUHAN yang hidup yang menuntun orang Israel keluar dari tanah Mesir!” Jadi dikatakan di sini, orang tidak lagi mengatakan yang seperti itu, itu sudah tidak ada lagi, ‘kita sekarang mengubah pengakuan iman kita’ –berani sekali.
Dalam hal ini Yeremia ternyata tidak sendirian, Saudara bisa menemukan motif ‘relativisasi old exodus’ ini di dalam kitab Yesaya; dan inilah buktinya bahwa hal tersebut betul-betul dari Tuhan, bukan secara otentik dari Yeremia padahal Tuhan tidak pernah mengatakannya. Yesaya 43:16-18, ‘Beginilah firman TUHAN, yang telah membuat jalan melalui laut dan melalui air yang hebat, –ini jelas tentang Exodus— “yang telah menyuruh kereta dan kuda keluar untuk berperang, juga tentara dan orang gagah — mereka terbaring, tidak dapat bangkit, sudah mati, sudah padam sebagai sumbu —, firman-Nya: “Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala!”’
Sayangnya, ayat 18 ini seringkali ditafsir secara paksa tidak keruan dan keluar dari konteks, seperti: ‘janganlah ingat hal-hal yang dahulu, mantan pacarmu itu lupakan saja’; padahal mana ada disebut mantan pacar dalam Yesaya?? Atau mungkin orang Injili menafsir agak lebih baik sedikit, ‘janganlah ingat manusia lamamu, kita sudah manusia baru’; tapi bagian ini tidak membicarakan manusia lama dan manusia baru, itu Paulus bukan Yesaya. Jadi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘hal-hal yang dahulu’? Yaitu semua yang dikatakan Tuhan dalam kalimat sebelumnya, soal kereta dan kuda yang ditenggelamkan, tentara dan orang gagah, dsb., yang adalah the old Exodus itu, karena hal-hal tersebut sudah selesai, dan sekarang move on, please.
‘Move on’ ini bukan berarti sekedar melupakan yang lama, dan kemudian tidak ada gantinya, sehingga hanya sekedar move on saja; tidak demikian, karena di sini ada the new Exodus. Perhatikan kembali Yeremia 23, dikatakan di ayat 8: melainkan: “Demi TUHAN yang hidup yang menuntun dan membawa pulang keturunan kaum Israel keluar dari tanah utara dan dari segala negeri ke mana Ia telah mencerai-beraikan mereka!, maka mereka akan tinggal di tanahnya sendiri.” Jadi ini paradoks yang lain lagi. Sebetulnya kita mengingat atau tidak, Exodus itu? Sebetulnya kita mengingat atau tidak, pekerjaan Tuhan di masa lampau? Jawabannya, kalau menurut teologi-teologi Perjanjian Lama, adalah: ya dan tidak. Kalau Saudara membaca Mazmur, jawabannya ‘ya’, karena dalam Mazmur kita menyanyikan pekerjaan Tuhan di masa lampau. Tapi kalau kita membaca teologinya Yesaya dan Yeremia, mereka sepakat mengatakan ‘tidak’, karena ada pekerjaan Tuhan yang baru yang dinyatakan. Antara ‘ya’ dan ‘tidak’ yang terbatas dalam ekspresinya ini, sebetulnya mau menjelaskan apa? Mengapa perlu ada ‘ya’ dan ‘tidak’, dan bukan cukup ‘ya’ saja, atau ‘tidak’ saja? Begini, maksudnya bahwa ada orang mengingat pekerjaan Tuhan yang lampau, tapi tidak tahu pekerjaan Tuhan yang baru.
Waktu saya masih kuliah di Heidelberg. Pernah ada peringatan 100 tahun-nya Claus Westermann, seorang teolog Perjanjian Lama yang sangat terkenal, dan dia pernah mengajar di Heidelberg, seorang profesor yang penting. Dalam peringatan tersebut, profesor Perjanjian Lama yang mengajar saya pada waktu itu, memulai kalimat pertamanya kira-kira seperti ini: “Marilah kita tidak bernostalgia dengan kejayaan masa lampau”. Maksudnya, riset Perjanjian Lama harus berjalan terus, tidak bisa berkanjang dalam kemuliaannya Westermann terus, karena jika demikian berarti tidak berkembang. Perhatikan di sini, Saudara belajar teologi Reformed jangan dengan nostalgia kosong, yang terus membicarakan TULIP dst., dan tidak ada perkembangan, terus berputar-putar dalam perdebatan 400 tahun lalu, yang sebetulnya sedikit relevansinya dengan waktu sekarang karena tidak ada kontekstualisasinya dengan zaman sekarang. Tapi sekarang ini orang masih terus saja membicarakan perdebatan 400 tahun lalu itu, ngapain?? Bukan tidak boleh membicarakan Canons of Dort; bicarakanlah Canons of Dort, tapi mungkin dalam kaitannya dengan Levinas, Gadamer, atau Habermas, atau yang lainnya lagi, yang bisa jauh lebih menarik di dalam gambaran sekarang daripada perdebatan zaman 400 tahun lalu yang putar-putar, itu lagi, itu lagi. Tidak ada “new exodus”-nya, tidak ada kontekstualisasinya, cuma nostalgia masa lampau. Yang seperti ini berarti orang yang tidak mencintai masyarakat sezamannya, tapi mencintai orang 500 tahun lalu yang sudah tidak bisa dicintai juga, yang sebagian ke neraka, sebagian ke surga dan sudah di dalam cinta Tuhan yang sempurna. Ngapain, sih, melayani orang-orang 400 tahun lalu itu, yang sudah tidak ada itu, lebih baik melayani melayani orang-orang yang di sini sekarang ini. Mengingat masa lampau, ‘ya’, namun tidak ada ‘tidak’-nya, maka jadinya seperti itu.
Meski demikian, waktu ditanya ‘apakah kita mengingat masa lampau; ya, atau tidak?’, tentu saja harus ada ‘ya’-nya, dan tidak bisa hanya ‘tidak’. Kita perlu akar di dalam teologi dan pemberitaan kita. Kita perlu identitas. Ketika dikatakan di sini tentang me-relativisasi old Exodus, saya pikir di dalam Yesaya tadi jelas, Tuhan sendiri mengatakan ‘Aku yang melakukan’, sehingga berarti hal itu bukan dianggap sebagai sesuatu yang kamu harus hapus dari ingatanmu, seakan-akan Tuhan bilang ‘Saya juga tidak pernah melakukan itu’; bukan demikian, Tuhan memang mengatakannya.
Saya mengambil ilustrasi dari seni. Banyak orang kagum dengan lukisan Picasso. Kalau tidak salah, suatu hari Georges Brach mampir ke rumahnya dan melihat-lihat atelier-nya, dan dia heran, “Hai, Pablo, koq tidak ada Pablo di sini?” –maksudnya koq, tidak ada lukisan Picasso sendiri di situ. Lalu Picasso jawab, “I cannot afford it” –saya tidak bisa bayar itu, saking mahalnya. Melihat lukisan Picasso, mungkin Saudara pikir, ‘gambar kayak begini sih saya juga bisa, anak saya juga bisa’; banyak orang tidak sadar bahwa Picasso sangat bisa dan sangat ahli melukis gaya lama, bukan cuma model yang seperti rusak-rusak, gaya deformasi itu. Lukisannya sangat progresif, sangat kontekstual, tapi dia ada kaitan dengan tradisi, dan bukan tanpa tradisi.
Kalau di dalam hal komposer Romantik, Saudara bisa melihat bahwa orang-orang seperti Johannes Brahms atau Felix Mendelssohn somehow sangat menonjol, mereka mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak ada pada komposer-komposer lain yang mungkin dianggap lebih progresif, seperti Berlioz atau Franz Liszt. Tidak semua komposer Romantik punya penguasaan teknik menulis fuga secara polifoni seperti Brahms dan Mendelssohn, karena kedua orang ini memang belajar, sedangkan yang lain tidak belajar sedalam mereka.
Poin yang mau kita katakan: sekedar progresif tapi tidak ada tradisi yang menopang, biasanya dangkal; kelihatan seperti laku, tapi segera dilupakan orang juga, karena dangkal. Kalau kita kembali pada pembicaraan kitab Yeremia, penekanannya adalah relativisasi dari old Exodus, mari membicarakan the new Exodus. Dengan demikian, sama juga untuk zaman kita sekarang, Tuhan mungkin tidak bekerja secara triumphalist seperti zaman dulu, yang membelah Laut Merah, tapi melalui Kristus yang “lemah” itu, yang mati di atas kayu salib. Mana mujizatnya? Mana orang-orang yang dibakar semua seperti zaman Elia, waktu Yohanes minta supaya orang-orang itu dibakar saja, koq, tidak ada? Koq, yang ada bukan seperti itu, yang ada adalah gambaran Mesias yang “kalah”? Koq, lahirnya hanya sebagai bayi yang kecil mungil begitu? Tentu saja, karena Yeremia dan Yesaya juga sudah bilang bahwa ini new Exodus, bukan old Exodus, jadi ya, change your expectation; idealismemu tentang Gereja yang sehat, Kekristenan yang sehat itu diganti, dong, jangan pakai zaman yang Tuhan sendiri sudah melampauinya.
Kita bergumul terus tahun demi tahun, apa sebetulnya makna Natal untuk kita. Di satu sisi ada hal yang sama, yang memang tidak berubah; di sisi lain, ada yang ganti terus, yang baru terus –mungkin sama seperti pohon Natal kita, yang memang tetap pohon Natal, tapi tiap tahun kita ganti terus.
Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading