Bulan ini kita membahas banyak tema mengenai Advent karena kita dalam masa penantian; Advent adalah mengenai penantian. Berbicara mengenai penantian, hal yang paling perlu kita tanyakan bukan “menantikan siapa” –karena hal itu sudah cukup jelas—melainkan yang lebih penting adalah “kita menantikan mesias yang seperti apa”. Zaman sekarang ini problem yang utama bukan bahwa banyak orang belum mendengar mengenai Natal, melainkan bahwa banyak orang sudah mendengar berbagai hal mengenai Natal, mengenai Allah, yang tidak sesuai dengan Alkitab. Hari ini saya ingin bertanya satu hal yang lebih dalam dari “siapa yang kita nantikan” atau “seperti apa mesias yang kita nantikan”, yaitu: “Apakah kita ini umat yang menanti, atau tidak?” Apakah kita sebagai orang Kristen menyadari bahwa penantian adalah satu identitas yang cukup sentral sebagai umat Allah? Penantian adalah satu tema motif yang bukan cuma muncul sekali-sekali di dalam Alkitab melainkan terus-menerus, dan sebenarnya penantian adalah cerita Alkitab itu sendiri.
Kita hari ini membaca Keluaran, tapi saya akan membahas bukan cuma dari bagian tersebut. Saya ingin Saudara memperhatikan satu kalimat yang paling terkenal dari Yohanes Pembaptis, yaitu: “Behold The Lamb of God” (“Lihatlah Anak Domba Allah”). Ini satu kalimat yang sepertinya baru/ orisinil, karena di seluruh Alkitab sebelum Yohanes Pembaptis, Saudara tidak menemukan ada orang yang menggambarkan Allah atau Mesias sebagai domba. Di bagian sebelum-sebelumnya dalam Alkitab, penggambaran Mesias sebagai gembala (teologi gembala), itu lumrah, sudah ada sejak Daud, bahkan sejak Ishak; sedangkan penggambaran Allah dan Mesias sebagai domba, benar-benar baru di dalam Yohanes, seperti satu hal yang orisinil. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Justru kalimat Yohanes Pembaptis ini –yang sepertinya baru—sebenarnya adalah satu kulminasi/ klimaks dari suatu penantian yang amat panjang, yang kisah-kisahnya bisa kita lihat dalam Perjanjian Lama, dan salah satunya bagian yang kita baca tadi mengenai domba Paskah.
Kita juga akan mundur sedikit, kembali kepada cerita Abraham dan Ishak. Memang dalam Perjanjian Lama belum ada yang menggambarkan Allah sebagai domba, tapi ada beberapa cerita yang di situ figur domba cukup sentral. Kita akan memperhatikan cerita-cerita ini dan melihat apa yang bisa dikatakan mengenai hidup kita hari ini.
Yang pertama, mengenai domba Paskah (bagian yang kita baca tadi). Bagian ini datang dalam konteks tulah yang terakhir atas bangsa Mesir. Firaun sudah dipukul Tuhan berkali-kali untuk membiarkan bangsa Israel pergi namun dia tetap mengeraskan hati, dan di bagian ini adalah pukulan terakhir atau jurus pamungkasnya. Tuhan mengatakan, “Pada malam ini Aku akan menjalani tanah Mesir, dan semua anak sulung, dari anak manusia sampai anak binatang, akan Kubunuh” (ayat 12). Dan di ayat 23: “Apabila Ia melihat darah pada ambang atas dan pada kedua tiang pintu itu, maka TUHAN akan melewati pintu itu dan tidak membiarkan pemusnah masuk ke dalam rumahmu untuk menulahi.”
Pertama-tama kita perlu memikirkan, pengumuman macam apa yang Tuhan berikan kepada orang-orang ini. Hal ini bisa dibilang bukan cuma suatu akibat dosa –meskipun tentu ada bagian itu juga—melainkan satu penghukuman yang aktif yang Tuhan berikan kepada orang Mesir. Seperti Saudara ketahui, dalam Alkitab seringkali kita melihat bahwa Saudara tidak perlu dihukum untuk mengalami suatu akibat dosa. Tuhan seringkali tidak seperti polisi, yang kalau Saudara melanggar, lalu polisi mengenakan denda, barulah Saudara jadi terhukum. Tuhan bisa kita lihat sebagai dokter, dalam arti kalau kita melanggar aturannya maka dokter tidak perlu menulis denda dan Saudara bakal kena akibat dengan sendirinya. Misalnya dokter bilang: “kamu diabetes, jangan banyak makan coklat”, lalu kalau Saudara makan coklat, dokter tidak perlu menuliskan dendanya tapi Saudara bakal kena akibatnya sendiri. Tuhan sendiri mengatakan di Roma 1, bahwa yang akan Dia lakukan terhadap orang fasik adalah justru tidak melakukan apa-apa; Dia akan menyerahkan orang fasik kepada hawa nafsu mereka sendiri. Akibat dosa adalah sama seperti waktu kita melanggar aturan/ hukum Tuhan, yang adalah desain alam semesta, tentu secara natural/ otomatis kita bakal kena akibatnya. Tuhan itu bukan polisi, Tuhan itu dokter; kalau tidak mau menurut, tanggung sendiri akibatnya.
Tetapi Saudara tidak melihat hal itu di bagian yang kita baca ini; yang ada adalah penghukuman yang datang secara aktif dari Tuhan, satu pemusnahan yang sengaja Tuhan bawa. Dan ini adalah satu kekuatan yang tak dapat dihentikan. Saudara bisa bayangkan seperti apa nuansa pemusnahan tersebut, apalagi Mesir pada saat itu bukan negara kecil melainkan negara super power, maka betapa ini satu kuasa yang akan menghajar sebuah negara adikuasa! Dalam konteks seperti inilah datang satu kalimat yang aneh, kepada orang Israel Tuhan mengatakan: “Kalau kamu mau selamat dari kekuatan luar biasa yang mengerikan ini, caranya adalah melalui seekor domba”.
Ini adalah satu hal yang bagi kita mungkin sudah terlalu terbiasa, sehingga perlu dikagetkan lagi. Apakah Saudara melihat hal ini? Bahwa satu cara yang bisa melepaskan kita dari suatu penghakiman yang disengaja adalah dengan seekor domba? Seekor domba berbulu yang lucu dan bodoh itu dan paling lemah dari antara semua binatang? Bahwa menyembelih seekor domba lalu makan bersama keluargamu, dan menaruh darahnya di ambang pintu, lalu kamu akan selamat? Ini adalah satu hal yang membingungkan! Saudara bisa bayangkan perasaan orang Israel yang mendengar perkataan Musa pada waktu itu. Mereka mungkin bukan lega dan mengatakan, “Oh, untung ada caranya untuk lepas… ”, bisa jadi respon orang Israel bukan cuma bingung tapi juga merasa terhina. Itu sama seperti kalau Saudara di-diagnosis terkena kanker stadium 4 yang sangat berbahaya lalu dokter mengatakan: “Obatnya tidur siang, istirahat, dan minum teh panas saja.”
Hal ini lebih jelas lagi kalau kita kembali ke cerita yang lebih awal, yaitu tentang Abraham, salah satu cerita dengan domba yang juga menempati tempat cukup sentral. Ceritanya di Kejadian 22, ketika Abraham sudah punya anak yang dinantikan sebegitu lama dan sangat disayanginya, yaitu Ishak, dan satu hari Tuhan meminta anaknya untuk dijadikan korban bakaran. Ini membuat Abraham sangat bergumul. Tetapi satu hal yang perlu kita ingat adalah: mengapa Abraham bergumul, inilah yang menjadi pertanyaan.
Kalau Saudara dan saya membaca bagian ini, melihat Tuhan menuntut pengorbanan darah manusia dengan mengorbankan anak, kita berpikir bukankah ini bertabrakan dengan karakter Tuhan?? Bukankah Tuhan sendiri di bagian lain mengatakan bahwa tidak boleh mempersembahkan anak sebagaimana dilakukan bangsa-bangsa lain?? Jadi mengapa bisa seperti ini, bukankah ini tidak masuk akal?? Bahkan orang sampai menyimpulkan pengertian yang salah, inilah buktinya iman itu irasional, tidak pakai otak, seperti juga Abraham yang perintah kepadanya tidak masuk akal namun dia tetap percaya dan taat, inilah iman. Ini kesimpulan yang salah; dalam teologi Reformed, iman dan pikiran itu satu arahnya. Kembali ke bagian ini, kita sebagai orang-orang yang modern seringkali punya pembacaan yang salah. Kita tidak mengerti bahwa perintah ini bukan tidak masuk akal; Abraham bergumul justru karena perintah ini masuk akal.
Kalau kita membaca lebih lanjut konteks zaman itu, kita akan mengerti sebenarnya ada apa di balik perintah ini. Rabbi Jon Levenson, seorang ahli Yudaisme yang mengajar di Harvard, pernah membahas bagian ini. Dia mengatakan supaya kita ingat satu hal, bahwa masyarakat di zaman Abraham tidak se-individualis zaman sekarang. Zaman sekarang, kriteria kesuksesan adalah diri kita sendiri –status, posisi, diri saya sendiri—terutama di negara Barat, tapi juga di negara Timur, lebih lagi kalau tinggal di kota. Misalnya di sekolah, yang ditekankan adalah supaya si anak bisa mencapai mimpi-nya. Zaman sekarang jarang sekali orang mengajarkan kepada anak “kamu jangan mengejar mimpimu sendiri, kamu harus menempati tempatmu di masyarakat, kamu harus mengisi kebutuhan di masyarakat”. Bahkan kalau sebagai orangtua Saudara mengatakan “kamu harus meneruskan mimpinya Papa”, orang akan memicingkan mata melihat Saudara. Tetapi orang yang hidup di zaman itu, aspirasi utamanya adalah untuk kemakmuran keluarganya; kalau bicara mengenai sukses, itu adalah kesuksesan keluarganya, demikian juga hal yang membawa malu akan turun kepada seluruh keluarga. Hal seperti ini kadang masih ada juga di dalam kultur kita. Waktu saya kuliah di Melbourne, ada juga orang-orang Indonesia yang berada di sana bukan terutama untuk kuliah, melainkan karena “diusir” keluarganya. Kalau mahasiswa-mahasiswa yang lain tidak bisa pulang karena mungkin tidak cukup uang, mereka ini tidak bisa pulang karena orangtuanya tidak mau mereka pulang, alasannya karena mereka LGBT, atau narkoba, atau hal lainnya yang membawa malu.
Jadi Saudara bisa bayangkan di zaman Abraham, seseorang dinilai bukan berdasarkan hal yang dia capai, yang dia punya, yang dia alami, yang dia lakukan, melainkan berdasarkan keluarganya –orangtuanya seperti apa, keluarganya seperti apa. Dan kalau dia membuat malu, yang malu bukan saja orangtuanya tapi seluruh klan bisa malu. Bukan cuma itu, di zaman Abraham ada yang disebut hukum primogenitur. Seseorang bukan cuma didefinisikan berdasarkan keluarganya, tapi keluarga juga menaruh harapan dan seluruh masa depannya pada satu orang, yaitu si anak sulung, sehingga harta warisan bukan dibagi rata kepada semua anak melainkan mayoritas kepada anak sulung ini, supaya nama keluarga tetap jaya, supaya ada penerus –bukan cuma dalam hal uang, tapi juga status, dsb. Dalam konteks seperti inilah perintah Allah datang kepada Abraham dan juga Israel. Ini satu perintah yang kita jarang baca, tetapi muncul berkali-kali dalam Alkitab, misalnya dalam Keluaran pasal 22 dan 34, Bilangan pasal 3 dan 8. Di situ Allah mengatakan: “Yang sulung dari anak-anakmu lelaki haruslah kau persembahkan kepada-Ku” (Kel. 22:29); “Tetapi anak yang lahir terdahulu dari keledai haruslah kautebus dengan seekor domba; jika tidak kautebus, haruslah kaupatahkan batang lehernya. Setiap yang sulung dari antara anak-anakmu haruslah kautebus, dan janganlah orang menghadap ke hadirat-Ku dengan tangan hampa” (Kel. 34: 20).
Jadi berarti Allah mengatakan kepada Israel, “Anak sulungmu, baik anak manusia maupun anak binatang, pada dasarnya adalah milik-Ku, harus dikorbankan, mati, kecuali kamu tebus”. Ini satu message yang agak kabur bagi kita pada hari ini karena tidak dijelaskan alasannya. Tetapi satu hal yang pasti, kita tidak mengerti hal ini karena kita memakai kacamata modern, tidak melihatnya dengan kacamata yang asli. Hal-hal yang di dalam Alkitab tidak dijelaskan, seringkali bukan karena artinya tidak jelas atau tidak ada alasannya, melainkan justru karena artinya sangat jelas bagi pembaca mula-mulanya. Contohnya kalau Saudara hari ini mau pergi ke toilet, di situ ada yang gambar figur laki-laki dan ada yang figur perempuan, maka Saudara langsung tahu maksudnya yang satu WC untuk laki-laki dan satunya lagi WC untuk perempuan, tanpa perlu ditulis “ini WC perempuan, itu WC laki-laki”. Penjelasan seperti itu tidak perlu, bukan karena alasannya tidak jelas atau tidak ada artinya atau tidak ada alasannya, melainkan justru karena bagi zaman kita hal itu sudah sangat jelas.
Jadi pada zaman Abraham dan Israel, perintah tadi tidak dijelaskan bukan karena tidak jelas, melainkan karena bagi mereka itu cara komunikasi yang sangat jelas yang artinya tidak bisa hilang lagi, yaitu bahwa Allah pada dasarnya mengatakan: “Semua dari kamu/ keluargamu berhutang dosa kepada-Ku –ada hutang dosa dari seluruh keluarga di muka bumi –dan sama seperti semua anak sulung mewarisi harapan, ekspektasi, beban, harta, dan juga hutang keluarganya, demikian juga Aku akan menimpakan kepada anak sulungmu seluruh hutang dosamu sebagai satu keluarga.” Sangat jelas pada zaman itu bahwa Tuhan bukan saja meletakkan tanggung jawab harta kepada anak sulung, tapi juga tanggungan dosa –‘anak sulung dalam keluarga dianggap bertanggung jawab untuk gaya hidupmu, gaya hidup keluargamu, dan pada dasarnya hidupnya dihapus, kecuali kamu menebusnya’. Dari sini Saudara sekarang bisa melihat bobot dan nuansa di balik hukuman Tuhan atas anak sulung bangsa Mesir. Mengapa hal ini merupakan jurus pamungkas, pukulan yang terakhir, yang paling dahsyat? Bukan karena seorang anak mati –waktu itu sebuah keluarga punya banyak sekali anak—melainkan bahwa matinya seorang anak sulung berarti harapan dan seluruh masa depan keluarga itu direnggut. Ini seperti seorang ahli bedah yang tangannya dipotong, atau seorang penyanyi yang lidahnya dipotong, yang memang cuma bagian kecil tetapi bagian yang paling krusial, paling mendefinisikan siapa dirinya.
Sekarang kita jadi mengerti bahwa perintah ini bukan perintah yang tidak masuk akal. Abraham bergumul atas perintah ini, tapi bukan karena perintah ini tidak masuk akal; Abraham bergumul justru karena dia menyadari perintah Tuhan ini masuk akal. Seandainya Tuhan memerintahkan Abraham untuk membunuh Sara dan mempersembahkan kepada-Nya, sepertinya Abraham bakal protes karena apa dasarnya Sara dikorbankan. Tetapi begitu Tuhan mengatakan “Abraham, ambil anakmu, yang tunggal itu, yang kau kasihi itu, persembahkan dia bagi-Ku”, Abraham langsung mengertinya sebagai perintah yang masuk akal. Dia jelas bergumul, tapi dia tidak pernah mengatakan “apa-apaan Tuhan, Kamu monster, Kamu tidak bisa melakukan ini!” Abraham mengerti sekali bahwa Allah sedang melakukan suatu hal yang Dia berhak melakukannya; Allah sedang menagih hutang, yaitu Ishak akan mati karena dosa Abraham dan seluruh keluarganya. Ini satu hal yang lumrah. Abraham bergumul karena mau tidak mau dia harus menerima bahwa ini adalah perintah yang adil, yang rasional, yang masuk akal. Dalam masa Advent, ketika kita bertanya “siapa Allah yang kita nantikan”, kita perlu bertanya lebih dulu “Allah seperti apa yang kita nantikan, apakah Allah yang seperti ini atau bukan”. Apakah kita menantikan Allah yang ketika Dia menagih segala sesuatu yang kita cintai dalam hidup ini, maka kita mau tidak mau harus mengatakan itu adil? Bisakah kita menerima Allah yang demikian sebagai Allah yang masuk akal? Kalau tidak, jangan-jangan kita menantikan Allah yang lain.
Tetapi poin kita hari ini adalah bahwa melalui cerita-cerita tadi, kita melihat ada hutang, Tuhan berhak menagihnya, dan Dia menagih Abraham, lalu di saat-saat terakhir tiba-tiba Tuhan mengatakan “berhenti!” dan muncullah si domba itu. Abraham disuruh mengganti Ishak dengan domba tersebut. Di sini kembali muncul “domba”.
Kalau kita punya persepetif yang benar, mengerti konteks awal ketika cerita ini diberitakan, kita akan berespons secara sedikit berbeda. Tadinya mungkin kita menganggap cerita ini masuk akal dan sangat melegakan, karena tadinya Allah seperti menyuruh-nyuruh perintah yang tidak masuk akal lalu sekarang Dia berubah, Allah menggantinya dengan domba –jadi masuk akal, ceritanya selesai, happy ending, Abraham kembali mendapatkan anaknya, semua orang pulang dengan bahagia. Itu kalau kita membacanya dengan kacamata modern. Tetapi sekarang Saudara mengerti bahwa ceritanya tidak seperti itu. Ceritanya membuat kita punya lebih banyak pertanyaan daripada jawaban – cliffhanger ending, bukan happy ending. Di sini bukan Allah memberi perintah yang tidak masuk akal lalu berakhir dengan sesuatu yang masuk akal, melainkan justru Allah memberikan perintah yang sangat masuk akal –“Abraham, oleh karena dosamu, dan dosa anakmu, dan dosa seluruh keluargamu, Aku akan menagih hutangmu sekarang, dan menagih lewat anakmu yang tunggal itu”—lalu di akhir cerita Allah menyuruh Abraham berhenti dan ganti dengan domba, bagian ini justru tidak masuk akal bagi Abraham. Ini sama tidak masuk akalnya sebagaimana cerita di Mesir dalam Keluaran tadi.
Di situ ada penghakiman dan pemusnahan yang Tuhan datangkan, tapi sekarang bisa selesai hanya dengan seekor anak domba; di mana masuk akalnya?? Kita bukan mengatakan bahwa tidak ada kelegaan dalam cerita-cerita tadi –tentunya memang ada kelegaan karena Abraham kembali mendapatkan Ishak, dan bagi orang-orang Israel anak-anaknya tidak jadi mati—tapi lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Cerita-cerita ini membuat kita jadi menanti dan bertanya-tanya, ‘koq bisa seperti ini, mengapa kanker bisa sembuh oleh karena teh panas?? apa yang terjadi di balik ini??’
Domba di sini tidak diperlakukan seperti halnya sapi di India yang dianggap hewan suci; dalam Israel tidak ada budaya seperti itu. Mereka tahu, dan sudah melakukan itu berkali-kali, bahwa mereka selamat oleh karena darah domba, namun mereka tidak pernah meng-atribusikan keselamatannya kepada si domba itu sendiri. Domba tidak jadi binatang yang spesial atau disembah-sembah dalam budaya Israel. Domba tetap domba, binatang yang paling bodoh dan paling lemah. Jadi pertanyaannya, mengapa? koq bisa? ada apa di balik itu?? Dalam cerita Alkitab di Perjanjian Lama, yang terjadi adalah kebingungan, pertanyaan, bukan cuma kelegaan. Ada penantian yang mereka terus alami dalam hidupnya sebagai umat Tuhan.
Kembali ke cerita Mesir tadi, waktu Tuhan menuntut akan membunuh anak-anak sulung Mesir, orang Israel harus melakukan ritual dengan domba tersebut, karena jika tidak, anak-anak mereka pun akan mati. Pemusnahan yang Tuhan jalankan dalam tulah yang terakhir itu bukan hanya bagi orang Mesir, tapi juga orang Israel, hanya saja orang Israel diberikan jalan keluar untuk bisa lewat dari semua itu, yaitu melalui darah domba. Ini berarti pemusnahan tersebut tidak membedakan orang. Ini berarti Allah sedang mengatakan kepada Israel, “Ya, Saya tahu kamu yang diperbudak, Saya tahu kamu jadi korban, Saya tahu kamu menyembah Allah yang benar, yang sejati, dan mereka menyembah allah-allah palsu, tapi ketahuilah, kalau kamu menghadapi si pemusnah atas dasar dirimu sendiri, nasibmu tidak akan berbeda dari orang Mesir, anakmu juga akan mati. Tidak peduli standar apapun yang ada dalam hidupmu, entah itu standar 10 Perintah, atau standar kasih, apalagi hati nurani, kalau malam ini kamu keluar dan menemui penghakiman tersebut atas dasar kebajikanmu sendiri, kamu akan didapati tidak lebih baik daripada orang-orang Mesir itu. Tidak peduli seberapa pun kamu pikir dirimu punya etika, punya doktrin yang benar, bisa melakukan mujizat, punya pengetahuan Alkitab yang luas, kalau malam ini kamu keluar, kalau kamu tidak menemui si pemusnah atas dasar darah domba yang tercurah itu, maka nasibmu akan sama dengan orang-orang Mesir yang paling kamu anggap jahat itu.”
Hal ini bukan cuma dosa si anak sulung, bukan cuma dosa satu orang, tapi ini dosa seluruh keluarga, dosa seluruh bangsa, dan Allah sedang menagih, dan harapannya cuma salah satu dari 2 kemungkinan: anak sulung mati atau ada domba yang mati. Dengan kata lain, kalau kita mem-parafrasa-kan Yesaya 53, kita akan mengatakan: “Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi si anak sulung, ditimpakan atas si domba”. Si domba itu menjadi pengganti, menjadi substitusi, yang membayar hutang si anak sulung. Si domba mati supaya si anak sulung tetap hidup, supaya keluarga itu tetap hidup. Setiap anak sulung dalam keluarga Israel yang malam itu hidup, akan mengatakan: “Satu-satunya alasan saya bisa hidup, adalah karena domba itu tidak hidup”. Ada kelegaan, tapi ada juga pertanyaan, mengapa ceritanya bisa seperti ini? Itu sebabnya kita melihat bahwa ceritanya tidak berakhir pada Abraham atau Musa, tetapi pada Domba Allah, yaitu Yesus Kristus.
Pada malam Tuhan Yesus ditangkap, Dia bersama murid-murid-Nya sedang merayakan Paskah. Ada beberapa hal yang mengejutkan dalam perjamuan Paskah tersebut. Yang pertama, bahwa Tuhan Yesus berdiri lalu mengucapkan beberapa kata. Hal ini ada latar belakangnya, dalam perjamuan Paskah pada waktu itu ada pemimpinnya, biasanya bapak dalam suatu keluarga. Bapak ini akan berdiri dan menjelaskan kepada anak-anak dan keluarganya arti semua ritual Paskah yang mereka jalani tersebut –ini diperintahkan dalam Keluaran 12 dan 13. Kalau Saudara membaca kitab ritual orang-orang Yahudi, ada yang namanya ritual “seder”, berisi 15 langkah yang harus dilakukan dalam Yudaisme ketika merayakan Paskah. Salah satunya adalah: sang bapak (pemimpin perjamuan) mengambil sayur yang melambangkan orang Israel lahir dari tanah –latar belakang yang sangat hina—lalu dicelupkan ke air garam yang melambangkan air mata, dan seterusnya. Semua ada simbolnya, dan akan dijelaskan oleh si pemimpin perjamuan. Pada malam Paskah “Perjamuan Terakhir”, Tuhan Yesus berdiri lalu mengucapkan sebuah kalimat, tapi kalimatnya bukan ‘inilah sayuran yang melambangkan kita orang-orang Yahudi yang menderita, inilah roti penderitaan orang-orang Yahudi’, melainkan Dia mengatakan: “Inilah roti, tubuh-Ku yang Kupecah-pecahkan bagimu; inilah anggur, darah-Ku yang Kucurahkan bagimu”.
Yang kedua, dalam ritual “seder” memang ada roti (roti penderitaan), ada 4 cawan anggur –yang juga ada dalam perjamuan Paskah Tuhan Yesus—dan domba, tetapi dalam Paskah “Perjamuan Terakhir” Tuhan Yesus, tidak ada dombanya. Mungkin para murid bertanya-tanya mengapa tidak ada domba dalam perjamuan Paskah tersebut. Tetapi inilah satu cara Tuhan Yesus mengkomunikasikan kepada mereka, bahwa memang ada domba, hanya saja dombanya bukan di atas meja melainkan yang sedang berdiri di sebelah meja. Inilah satu cara Tuhan Yesus mengatakan “Akulah Domba itu, Akulah yang dituju oleh semua gambaran yang kamu terima beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun itu. Kematian-Ku, pekerjaan-Ku di atas kayu salib, kebangkitan-Ku, kedatangan-Ku adalah klimaks dari penantian yang sudah sedemikian lama, beratus-ratus dan beribu-beribu tahun, sejak Musa, sejak Abraham. Kematian-Ku sebagai Domba Allah adalah klimaks dari sejarah ciptaan”.
Itu sebabnya Matius dan Lukas membuka Injilnya bukan dengan cerita kelahiran saja, tetapi memulainya dengan silsilah. Hal itu semata-mata mengatakan bahwa ini cerita yang bukan bab pertama, melainkan entah sudah bab ke-berapa, dan inilah klimaksnya. Yohanes bahkan lebih lagi, dia bukan membuka dengan silsilah melainkan dengan kalimat “pada mulanya”, yaitu mengutip kitab Kejadian. Yohanes mau mengatakan bahwa cerita Tuhan Yesus dengan Injil-Nya adalah cerita klimaks dari seluruh ciptaan.
Bukan itu saja, banyak sekali orang-orang dalam cerita Injil yang mengatakan “akhirnya, sekarang telah muncul”, misalnya Simeon dengan kalimatnya yang terkenal: “Sudah waktunya sekarang Tuhan, Kau panggil hambamu pulang, karena aku akhirnya sudah melihat keselamatan yang dinantikan begitu lama itu”. Waktu Maria menyanyikan magnificat, dia bukan sekedar membuat satu lagu yang baru melainkan mengutip/ mereferensi/ memparafrasakan nyanyian Hana di 1 Samuel, ada banyak sekali hal yang mirip di situ. Maria sedang mau mengatakan bahwa yang terjadi ini bukan sesuatu yang baru, tapi bahkan merupakan klimaks dari doa Hana, yang Hana doakan ternyata bukan cuma dipenuhi dalam Raja Daud melainkan oleh Sang Anak Daud yang akan dilahirkan ini. Ketika Yohanes Pembaptis melihat Tuhan Yesus, dia juga mengatakan: “Behold The Lamb of God, inilah Domba Allah yang akan menghapus dosa dunia” –bahwa sekarang saya mengerti jawaban dari cerita Abraham, jawaban dari cerita orang Israel yang diselamatkan karena domba, yaitu bukan karena dombanya, tetapi karena itu semua menunjuk kepada Domba Allah; sekarang saya mengerti anak-anak sulung kita selamat karena Allah memberikan Anak Sulung-Nya, hutang dosa kita bisa dihapus karena Allah sendiri membayarnya.
Inilah jawaban Allah bagi Abraham. Abraham bertanya-tanya, ‘Bagaimana bisa seekor domba memgganti anakku yang tunggal, yang kukasihi, yang kubawa ke atas gunung, yang kutaruh di atas kayu??’ Jawaban Tuhan adalah: ‘Karena Aku membawa Anak-Ku yang Kukasihi, yang tunggal, ke atas gunung, dan menaruhnya di atas kayu –kayu salib. Cuma bedanya antara Aku dan kamu: dalam kasus-Ku, tidak ada yang bisa mengatakan “berhenti!”’ Satu hal yang agak spekulatif –karena belum didapatkan bukti arkeologisnya secara final– kemungkinan sangat besar tempat Abraham mengorbankan Ishak adalah sama dengan tempat Tuhan Yesus disalibkan. Seperti Saudara ketahui, Abraham membawa Ishak ke atas Gunung Moria. Gunung Moria adalah suatu perbukitan di sekitar Yerusalem; bukit Golgota adalah bukit yang ada di luar Tembok Yerusalem. Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke Gunung Kidul, dan ternyata yang namanya Gunung Kidul itu tidak ada satu gunungnya atau puncaknya secara spesifik, tapi semata-mata maksudnya daerah pegunungan di selatan (kidul = selatan). Begitu juga mungkin sama seperti ketika orang menyebut “Gunung Moria”, yang dimaksud bukan satu gunung atau puncak tertentu, tapi semata merujuk pada suatu perbukitan yang mengelilingi Yerusalem, dan salah satunya adalah Bukit Golgota.
Hal lain lagi, tahukah Saudara mengapa Yohanes 19:33 mencatat bahwa tidak satu pun tulang Tuhan Yesus dipatahkan? Karena –seperti yang kita baca dalam Keluaran 12 tadi– domba Allah tidak boleh bercacat dan bercela. Tahukah Saudara mengapa Matius 27 mencatat ketika Tuhan Yesus meninggal kegelapan meliputi seluruh daerah itu? Karena di Keluaran 12 tadi dikatakan, supaya ketika orang Israel menyembelih domba itu, waktunya adalah setelah matahari terbenam.
Saudara, dalam cerita Abraham dikatakan ada hutang dosa, dalam cerita Musa dikatakan ada hutang dosa; dan pada kedua cerita tersebut dikatakan ada penggantinya, yaitu seekor domba. Dalam cerita Tuhan Yesus, Dia mengatakan “Akulah Dombanya”. Yang kita bisa tarik dari semua ini, bahwa cerita Alkitab, cerita umat Allah, adalah cerita mengenai umat yang menanti. Dalam cerita Alkitab, yang Saudara lihat adalah penantian yang begitu panjang, yang berkali-kali, dan setiap kali bukan satu kisah yang kemudian ada ending-nya, selesai urusan. Sama sekali tidak. Setiap kisah tersebut meskipun ada ending-nya, ada kelegaannya, ada jawabannya, tapi memberikan lebih banyak pertanyaan, membuat kita makin menanti, makin intens, makin lebih jauh bertanya ‘apa sebenarnya yang sedang mau dikomunikasikan lewat semua ini?’ Dan baru menemukan jawabannya dalam diri Tuhan Yesus.
Bagaimana dengan kita yang hari ini hidup di zaman post-Perjanjian Lama, zaman Gereja, zaman Perjanjian Baru? Kita juga tetap menanti. Kita merayakan Advent, kita bukan merayakan kebaktian Natal saja. Kita menantikan Allah yang hadir kembali kepada dunia ini, menantikan kepenuhan Kerajaan Allah hadir di dunia ini. Kita menantikan saat ketika Singa dari Yehuda akan muncul; dan ketika Singa dari Yehuda ini dipanggil, dalam Kitab Wahyu ternyata yang muncul bukan seekor singa melainkan seekor domba yang telah disembelih. Motif domba muncul terus. Maka berarti zaman kita ini pun sedang hidup di dalam penantian. Dengan demikian, ketika kita datang kepada Alkitab, kita sebenarnya mencari apa, menantikan apa? Apakah kita menyadari, bukan cuma masalah siapa yang kita nantikan, seperti apa mesias yang kita nantikan, tapi juga bahwa kita adalah umat yang harusnya hidup dalam penantian?
Apakah kita menanti? Atau setiap kali kita hanya mencari kelegaan? Coba kita tanyakan pada diri sendiri. Waktu Saudara ke gereja, waktu Saudara baca Alkitab, mendengar Firman, ber-saat teduh, berdoa, apa yang Saudara cari? Kelegaan? Saya membaca Alkitab karena saya ingin mendapat pedoman hidup, karena saya ingin mendapat prinsip-prinsip membangun keluarga, karena saya ingin mendapat cara-cara mendidik anak, karena saya ingin mendapat ini dan itu; lalu ujungnya apa? Supaya saya lega, supaya problem saya selesai, supaya ketegangan yang saya alami dalam hidup ini bisa beres, bisa lega, ceritanya bisa selesai. Kalau Saudara melihat dalam Alkitab, mungkin Saudara bahkan tidak menemukan itu.
Di dalam Alkitab bukan tidak ada pedoman hidup, memang ada. Ada aturan-aturan, ada ritual-ritual, ada harus ini harus itu. Dalam bagian yang kita baca tadi juga ada, di situ dikatakan harus menorehkan darah domba itu pada kedua tiang dan ambang pintu, harus melakukan ini itu, jangan melakukan ini itu, pakai bajunya harus begini begitu; tetapi mengapa Allah memberikan semua itu? Tujuan utamanya bukan untuk memberikan kelegaan, bukan untuk memberikan suatu resolusi, tujuan utamanya justru untuk menciptakan satu penantian yang lebih lagi. Mengapa? Apa yang mau dikatakan lewat semua ini?
Saudara, mungkin semua peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman itu didesain bukan untuk membuat kita lega –saya sudah melakukan kewajiban agamaku, saya sudah melakukan ini dengan baik—tapi justru untuk menciptakan satu ketegangan, kebingungan, yang hanya akan mendapatkan kelegaan yang terakhir ketika Sang Domba Allah itu datang kembali. Kalau pinjam istilah zaman sekarang, ini berarti bahwa Alkitab adalah kisah yang bukan tanpa resolusi, bukan tanpa kelegaan; Tuhan tidak sekejam itu meninggalkan kita tanpa kelegaan ini –Abraham mendapatkan Ishak kembali, orang-orang Israel mendapatkan anak-anak mereka—tetapi bukan cuma itu yang ada di Alkitab. Ada satu penantian, ada satu ketegangan/ tension, ada satu rasa greget yang tidak akan bisa hilang kalau kita menjadi umat Tuhan; dan mungkin itulah bagaimana Tuhan menginginkan umat-Nya hidup, dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Tapi kita tidak suka yang seperti ini. Paulus mengatakan: “Seluruh ciptaan mendesah, mengerang seperti perempuan yang sedang sakit bersalin, menantikan pemulihan ciptaan” –menantikan pemulihan yang final, yang akan terjadi ketika Domba Allah yang tersembelih itu muncul lagi pada akhir zaman.
Pertanyaannya buat kita hari ini, bukan cuma ‘siapa yang kita nantikan, mesias seperti apa yang kita nantikan’ tapi apakah kita sebagai orang Kristen adalah orang-orang yang menanti? Kalau kita adalah orang-orang yang menanti, kita akan hidup dengan ada dua sifat yang seperti bertabrakan tapi adalah satu. Yang pertama, Saudara dan saya akan jadi orang-orang yang sangat sabar, sangat ahli dalam menunggu. Waktu kita menghadapi kegagalan, hal-hal yang tidak ideal, penderitaan dan kerusakan atas dunia ini, kalau kita sadar bahwa panggilan kita adalah untuk menantikan yang belum hadir –belum hadir secara penuh– kita akan jadi orang-orang yang sangat sabar dalam menghadapi benturan-benturan dan goncangan-goncangan dalam hidup. Tapi di sisi lain, bukan cuma jadi orang yang sabar dan berarti pasif, kita juga akan jadi orang-orang yang gregetan, orang-orang yang ingin mempercepat kedatangan Tuhan itu, orang-orang yang aktif mengerjakan pekerjaan Tuhan yang akan datang secara komplit itu. Ini dua hal yang seperti bertabrakan, tapi tidak harus begitu.
Contohnya, tentara yang sedang dikepung dari segala sisi, tidak bisa ke mana-mana lagi, juga sudah habis amunisi senjatanya, terluka parah, hopeless, lalu tiba-tiba mendengar tiupan terompet tanda bala bantuan sedang datang –belum datang tapi akan hadir—maka bukankah suara terompet itu akan mengubah sama sekali cara tentara-tentara ini menjalani hidup mereka? Mereka mungkin akan melempari musuh dengan batu, dan sang kapten mungkin berteriak untuk bertahan sedikit lagi dan sedikit lagi karena bala bantuan akan datang, situasinya tidak berubah, tetapi ada perubahan yang mendasar sekali, perubahan yang membuat mereka berjuang untuk mempercepat sedikit saja kedatangan bala bantuan itu, meskipun dengan batu-batu yang remehan.
Hari ini, kita sebagai orang Kristen tidak dua-duanya; kita jadi orang-orang yang tidak sabaran mengahdapi tembakan dan kehabisan amunisi karena kita cari kelegaan, kita tidak sadar bahwa panggilan kita adalah panggilan penantian. Di sisi yang lain, kita mungkin jadi orang-orang yang mengatakan, “Ya sudahlah, Tuhan akan datang ‘kan, Tuhan akan membuat segala sesuatu beres ‘kan, ya sudah, yang nanti urusan nanti, yang sekarang urusan sekarang; ngapain saya lemparin batu ke musuh, apa gunanya?? Memangnya bisa ngapain?? Mereka itu pakai senapan”. Waktu kita punya pengharapan yang sejati, waktu kita menghidupi sebagai Gereja yang menanti, kita tidak akan seperti ini. Dan itulah yang akan membuat Saudara dan saya jadi orang-orang yang, ketika jadi dokter akan berusaha sebaik mungkin bekerja untuk memperbaiki tubuh orang yang rusak. Meski itu cuma berarti lempar batu, tapi karena kita mengharapkan dan menantikan pemulihan yang akan datang itu, kita tahu ini bukan pekerjaan yang sia-sia. Bukan cuma dokter, tapi bahkan penata rambut, menguntai rambut yang kusut menjadi rambut yang indah; karena suatu hari nanti Allah menguntai segala sesuatu yang kusut di dunia ini dan menjadikan segala sesuatu indah, maka saya mau melakukan bagian saya yang terkecil pun.
Inilah sebabnya orang-orang Kristen bukan orang-orang yang mencari pedoman hidup –tanya kepada hamba Tuhan atau buku-buku ‘apa yang harus saya lakukan’—sama sekali tidak; orang-orang Kristen adalah orang-orang yang bertanya kepada dirinya, “apakah yang saya bisa lakukan”. Inilah hidup orang yang menantikan. Pertanyaannya adalah: apakah kita menantikan, apakah kita orang-orang yang hidup dalam Advent?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading