Perikop ini diberi judul oleh LAI “Yesus bukan dari dunia ini”, tapi kalau kita bandingkan dengan salah satu terjemahan bahasa Inggris, misalnya ESV, bagian ini masih termasuk dalam satu perikop besar yang berjudul “I am the light of the world” (Yesus adalah terang dunia). Baik kita membaca dalam perspektif LAI yang menganggap ini satu perikop baru dengan penekanan yang baru yaitu Yesus yang bukan dari dunia ini, maupun kalau kita membacanya sebagai bagian dari perikop besar seluruhnya, keduanya sama-sama ada poinnya; Yesus yang bukan dari dunia, tetap tidak bisa dipisahkan dengan pernyataan Yesus sebagai terang dunia.
Di ayat 21 kita melihat satu gambaran yang lebih intens, satu kalimat peringatan yang lebih jelas dan lebih keras kepada orang-orang yang mendengarkan, waktu Yesus mengatakan "Aku akan pergi dan kamu akan mencari Aku tetapi kamu akan mati dalam dosamu. Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang.” Waktu dikatakan “Aku akan pergi”, sebenarnya menyatakan hal yang diberitakan kemudian, yaitu Yesus bukan dari bawah, bukan dari dunia ini melainkan Dia berasal dari atas, Dia datang dari Bapa dan Dia akan kembali kepada Bapa. Waktu Yesus mengatakan “Aku akan pergi”, pengertiannya bukan dalam pengertian dunia yang kelihatan, seperti pergi dari Israel, ke tempat lain, atau ke Yunani dsb., tetapi Dia menyatakan bahwa Dia tidak akan selama-lamanya bersama dengan mereka. Inkarnasi itu satu cerita yang terbatas, 3-3 ½ tahun itu; Yesus berada dalam dunia bukan selama-lamanya.
Perkataan “Aku akan pergi” ini, dalam pembacaan mereka berarti mereka musti tahu bahwa Yesus tidak selamanya bersama-sama dengan mereka; tetapi kita, yang tidak hidup sezaman dengan Yesus, memang tidak ada satu menit pun Yesus bersama dengan kita dalam pengertian inkarnasi. Dalam hal ini, saya pikir kalimat ini boleh kita hayati dalam konteks kita, bahwa waktu dikatakan “Aku akan pergi”, itu berarti Firman tidak akan selama-lamanya ada bersama dengan kita. Ada saatnya Firman itu akan pergi. Tidak selama-lamanya orang punya kesempatan untuk mendengarkan Firman, apalagi mereka yang tidak percaya, yang menolak, yang mengabaikan, dst. Sama seperti Yesus tidak selama-lamanya berada dalam dunia, demikian juga Firman tidak akan selama-lamanya datang mengunjungi kita dan terus-menerus dengan setia mengetuk pintu, menunggu terus sampai kapan pun kita akan menerima Firman itu baru Firman itu akan masuk. Gambarannya pasti bukan seperti itu, apalagi dalam prinsip teologi Reformed kita menekankan bahwa hal ini ada pada kedaulatan Allah, bukan pada kedaulatan manusia.
"Aku akan pergi dan kamu akan mencari Aku” –Calvin mengatakan tentu saja kalimat ini harus kita baca bukan dalam pengertian ‘mencari Tuhan dengan kesungguhan hati’, karena kalau mencari Tuhan dalam pengertian yang ini, tentu tidak akan mati di dalam dosa. Yang dimaksud dengan “kamu akan mencari Aku” adalah bahwa mereka mencari kebenaran, mencari Firman, mencari Kristus, tapi sudah terlambat, tidak ada lagi kesempatan untuk mendengar Firman, tidak ada lagi kesempatan untuk bertobat, tidak ada lagi anugerah, tidak ada lagi pertolongan. Atau, kalau kita tidak mau membacanya dari perspektif waktu –dalam arti kairos-nya salah, sudah tidak ada lagi, sudah bergeser—kita bisa membacanya dari perspektif bahwa mereka bukan betul-betul mencari; fenomenanya seperti mencari Tuhan tapi sebetulnya mungkin bukan mencari Tuhan. Ini seperti orang yang mencari Tuhan waktu kehidupannya mulai ada masalah. Tentu mungkin saja orang yang dalam keadaan seperti itu betul-betul mencari Tuhan, tapi saya percaya tidak sedikit orang yang dalam saat-saat terjepit baru berdoa, sebenarnya bukan mencari Tuhan tapi mungkin cari pertolongan, cari solusi supaya bisa keluar dari penderitaannya. Orang yang mencari Tuhan, dia mau mengenal pribadi Tuhan, dia mau mengetahui kehendak Tuhan, dia mau mengenal kebenaran, lalu dia mau melakukannya di dalam kehidupannya. Tapi orang yang mencari Tuhan cuma sekedar pakai Tuhan supaya bisa keluar dari keadaannya yang menderita, yang terpuruk, dsb., apakah betul dia mencari Tuhan?? Tanda tanya besar sekali.
Dalam lagu “Tambahlah Kasihku akan Tuhan” (More Love to Thee), kita bukan menyanyi ‘tambahlah kasih-Mu akan aku’ karena kasih Tuhan sudah sempurna, sangat cukup, bahkan berkelimpahan, tidak perlu ditambah-tambah lagi. Kalaupun mau tetap arahnya kasih Tuhan kepada kita, mungkin yang perlu ditambah adalah kesadaran kita akan kedalaman kasih Tuhan, bukan kasih Tuhan kepada kita. Lagu ini mengatakan, “tambahkan kasihku akan Tuhan, buatlah aku ini semakin mengasihi Engkau”, yang kalau dikaitkan dengan ayat tadi, inilah orang yang betul-betul mencari Tuhan. Yang mencari Tuhan, akan berdoa supaya dirinya semakin mengasihi Tuhan, bukan supaya Tuhan semakin mengasihi dirinya dan semakin mengasihi dirinya. Orang yang seperti itu, kanak-kanak, atau jangan-jangan belum percaya, bahkan belum lahir baru.
Oleh sebab itu, waktu Yesus mengatakan "Aku akan pergi dan kamu akan mencari Aku tetapi kamu akan mati dalam dosamu”, eksegese Calvin sangat tepat karena dikatakan “mencari Aku” tapi kemudian “mati dalam dosa”, sehingga kita mengerti bahwa yang dimaksud Yesus adalah bukan benar-benar mencari Tuhan. Alkitab mengatakan “barangsiapa mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh, Tuhan akan memberikan diri-Nya untuk ditemui”, tapi di sini dikatakan “mati dalam dosa”, berarti ini adalah orang yang bukan betul-betul mencari Tuhan. Di dalam Gereja selalu ada campuran orang-orang yang sungguh-sungguh mencari Tuhan dan orang-orang yang tidak mencari Tuhan, yang kelihatan seperti mencari Tuhan tapi sebetulnya tidak. Orang-orang ini mencari Tuhan –seperti yang Yesus katakan—telat waktunya; atau kalaupun tidak telat, motivasinya salah.
Dalam cerita orang kaya dan Lazarus yang miskin, yang kaya akhirnya masuk neraka, kemudian dia minta supaya ada dari dunia orang mati yang menginjili orang-orang yang masih hidup. Di sini ada perbedaan penafsiran, di neraka itu si orang kaya betul-betul sadar sepenuhnya tapi sadarnya telat, atau di sana pun dia masih juga salah mengerti; saya pikir masing-masing ada keindahannya. Kita juga perlu memberikan tempat bagi penafsiran bahwa orang-orang yang di neraka itu, meskipun sadar, tetap tidak sadar juga, dalam pengertian bahwa mereka tetap di dalam dosanya waktu mereka kelihatan seperti menyesal; mereka bukan menyesal tidak mengasihi Tuhan, mereka menyesal karena penderitaannya sendiri yang mereka terima. Tetap self-centered, tetap berpusat pada diri sendiri. Waktu si orang kaya itu menyuruh Abraham kirim orang, dsb., mungkin tetap self-centered, mungkin dia tidak betul-betul mencintai keluarganya, mungkin karena dia sendiri ketakutan atau entah bagaimana. Tapi intinya, waktu di ayat tadi dikatakan “mencari Aku”, kemungkinan pertama, waktunya terlambat; kedua, mungkin juga –baik terlambat atau tidak terlambat—mencari dengan motivasi keliru. Orang yang terlambat pun, tidak tentu sadar; mungkin dia menyesal mengalami kerugian seperti itu, tapi sebetulnya tetap tidak ada pertobatan, tidak ada penyesalan, dsb. Itulah terlambat yang sekaligus tidak ada koreksinya. Poin saya adalah: orang yang seperti mencari Tuhan lalu akhirnya mati di dalam dosanya, itu karena dua-duanya –waktunya telat, dan juga motivasinya tidak pernah beres.
“Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang” –ini kalimat antisipatif karena Yesus memang bukan berasal dari dunia ini, bukan dari bawah, Dia berasal dari atas; “… kamu akan mati dalam dosamu”. Perhatikan di sini, Yesus tidak basa-basi dalam penginjilan-Nya. Kita mau menginjili sehalus apapun, selincah apapun, suatu saat akan ada gap antara surga dan neraka, dan ada lompatan yang sangat besar ini. Bagaimanapun kita berusaha semulus-mulusnya membicarakan hal-hal yang universal, katakanlah supaya tidak usah menyinggung orang, tetap akan ada satu saat kita harus dengan jelas memberitakan kebenaran, dan kebenaran itu akan offensive terhadap orang yang berdosa. Yang tidak membuat offensive bukanlah jembatan yang kita bikin secara hati-hati, sangat lincah, dsb.; yang tidak membuat offensive cuma satu, yaitu Roh Kudus yang sedang bekerja. Kalau orang diberitakan Injil, kebenaran, dan dia tidak offended, itu hanya karena Roh Kudus bekerja. Kalau Roh Kudus tidak bekerja, semua orang akan offended, termasuk Saudara dan saya. Kita ini tidak tahan waktu terang menelanjangi kita. Orang di dalam keadaan hidup yang mencintai kegelapan, sangat tidak nyaman waktu dibawa kepada terang. Yesus berasal dari terang, Dia mengunjungi dunia yang penuh dengan kegelapan ini. Kegelapan tidak mungkin bisa menghampiri terang, yang ada hanyalah terang itu yang bisa menghampiri kegelapan.
Tapi perhatikan respon orang-orang Yahudi yang lebih mencintai kegelapan ini; ayat 22: "Apakah Ia mau bunuh diri dan karena itu dikatakan-Nya: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang?" Yesus tadi bilang “kamu akan mati dalam dosamu”, lalu mereka bilang “apakah Dia mau bunuh diri/ mati?” Mereka bahkan tidak bicara kepada Yesus (di sini mereka pakai kata ganti orang ketiga), tidak menanggapi perkataan Yesus, mereka bicara antar mereka sendiri. Ini mirip seperti di pasal 7, waktu di dalam ketidak-mengertian dan ketidak-tahuannya, mereka mengatakan kalimat yang jadi semacam nubuatan yang akan terjadi. Pasal 7:34 Yesus berkata, “Kamu akan mencari Aku, tetapi tidak akan bertemu dengan Aku, sebab kamu tidak dapat datang ke tempat di mana Aku berada." Lalu ayat 35, orang-orang Yahudi itu berkata seorang kepada yang lain, “Ke manakah Dia akan pergi, sehingga kita tidak dapat bertemu dengan Dia Adakah maksud-Nya untuk pergi kepada mereka yang tinggal di perantauan –orang-orang diaspora–, di antara orang Yunani, untuk mengajar orang Yunani?” Ini kalimat yang dikatakan secara sinis, sarkastik, tapi menjadi semacam kalimat ironi dalam ketidak-mengertian mereka, bahwa memang Injil nantinya akan mencapai orang-orang Yunani, Injil akan diberitakan kepada gentiles/ orang-orang kafir. Sama seperti itu, mereka mengatakan, "apakah Ia mau bunuh diri… ?"; dan memang Yesus mati, bukan bunuh diri, tapi menyerahkan diri-Nya untuk mati, Yesus dengan sengaja datang ke dalam dunia untuk mati di atas kayu salib. Ini jadi seperti nubuatan, bahwa Yesus memang akan mati.
Kalau Saudara membaca tafsiran, dalam Yudaisme ada konsep berdasarkan Kejadian 9 dan ajaran para rabi, bahwa orang yang bunuh diri akan pergi ke darkest hades (dunia orang mati yang paling gelap). Mereka mengatakan, "Apakah Ia mau bunuh diri –pergi ke darkest hades– dan karena itu dikatakan-Nya: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang?" Terbalik. Siapa sebenarnya yang ada dalam kegelapan?? Mereka mengatakan Yesus akan bunuh diri, yang artinya Dia akan tenggelam dalam dunia orang mati, bagian yang paling gelap; tapi jangan lupa, Yesus adalah terang dunia, dan memang betul Yesus akan mati, Dia akan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita yang percaya, kematian itu adalah kehidupan bagi kita. Merekalah yang ada dalam kegelapan. Merekalah yang menolak perkataan Kristus. Waktu orang berjumpa dengan Kristus, Kristus akan membicarakan kehidupan kita, “kamu akan mati dalam dosamu”. Tapi kita orang berdosa, kita tidak suka mendengar kalimat frontal begini. Yesus bilang “kamu akan mati dalam dosamu”, tapi mereka mengelak. Mereka tidak suka dengar Firman Tuhan yang frontal yang menyelidiki hati manusia seperti itu, maka mereka membolak-balik pembicaraan; Yesus membicarakan mereka, tapi mereka seperti membicarakan Yesus, jangan-jangan Yesus mau bunuh diri.
Namun kemudian Yesus menjawab: "Kamu berasal dari bawah, Aku dari atas; kamu dari dunia ini, Aku bukan dari dunia ini” (ayat 23). Orang yang dari dunia ini, dia bisa bunuh diri, dan setelah bunuh diri masuk ke dalam darkest hades; tapi itu bukan pada orang yang dari atas seperti Yesus. Yesus berasal dari atas, bukan dari dunia ini, Yesus tidak akan terikat oleh darkest hades itu, Dia adalah terang dunia. Jangan pikir Yesus bunuh diri lalu Dia terus tinggal dalam dunia bawah yang lebih bawah lagi dari dunia ini (underworld), tempat kematian itu. Memang Yesus akan betul-betul mati, tapi Yesus mengatakan “Aku berasal dari atas” –dunia bawah tidak akan mungkin pernah akan bisa mengikat Yesus.
"Karena itu tadi Aku berkata kepadamu, bahwa kamu akan mati dalam dosamu; sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu.” Tiga kali Yesus mengatakan “kamu akan mati dalam dosamu”. Alkitab mengajarkan, kecuali seseorang percaya kepada Yesus, dia akan mati di dalam dosanya. Kepercayaan kepada Yesus Kristus akan menyelamatkan kita, supaya kita tidak mati di dalam dosa. Yesus mengulang lagi, “jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu”, ini pembicaraan yang tidak enak didengar. Mengapa? Karena manusia lebih suka bicara tentang kasih Tuhan. Rasanya adem mendengar perkataan-perkataan seperti ini, “kamu disertai Tuhan”, “Tuhan itu mencintai engkau”, “kamu tidak akan pernah ditinggalkan-Nya”, tetapi perkataan “kamu akan mati dalam dosamu!”, mana tahan mendengarnya.
Saudara perhatikan, perjumpaan yang asli dengan Tuhan yang asli, akan ada kalimat-kalimat yang seperti ini. Kalau Saudara cuma mau mendengar kalimat-kalimat ‘Tuhan mengasihimu’, ‘hidupmu sangat berkenan’, itu bukan Tuhan yang asli, itu nabi palsu. Nabi palsu banyak sekali membicarakan kalimat seperti itu, mereka selalu memutar-balikkan; waktu seharusnya ditegur, tidak ada teguran, yang ada kalimat-kalimat yang manis. Kita juga selalu suka kalimat-kalimat manis seperti ini, selalu tidak bisa ditegur; dan itu sebetulnya ciri khas orang yang tidak percaya. Orang yang tidak percaya, tidak pernah bisa dengar kalimat-kalimat teguran dari Tuhan. Tuhan itu kudus, kita sangat berdosa. Dia mahakudus, kita luar biasa berdosa. Maka waktu terang itu mengunjungi kegelapan, Saudara berharap perkataan apa? ‘Lu lumayan terang juga’?? Mana mungkin. Kalau matahari diadu dengan lampu, lalu kita harap matahari mengatakan kepada lampu: “lumayan juga terangmu”, itu tidak mungkin, tidak bisa dibandingkan sama sekali; dan dalam kehidupan kita bahkan tidak ada terang yang seperti ini, lebih gelap lagi. Maka dalam perjumpaan seperti itu, apalah yang diharapkan oleh dunia, oleh Saudara dan saya, kecuali kalimat ini: “kamu akan mati dalam dosamu”.
Setelah kalimat tersebut diulang sampai ketiga kalinya, mereka tidak bisa berkutik. Awalnya mereka membuat distraksi “Dia yang mau mati, Dia mau bunuh diri”, mereka mau menghindar dari kalimat teguran itu, tapi sekarang tidak bisa lagi. Ayat 25 dicatat respons mereka, “Siapakah Engkau?” Ini kalimat yang sangat penting, yang seharusnya menjadi pertanyaan kita. Siapa sih Yesus itu? Siapa Dia itu, yang berani mengatakan kalimat ‘kamu akan mati dalam dosamu’? Kata tanya ‘siapa’ –bukan ‘mengapa’—adalah kata tanya yang paling tepat. Ini bukan tanya tentang alasan –‘berdasarkan alasan apa Kamu mengatakan kalimat itu’, atau ‘mengapa Kamu berani mengatakan itu, otoritas siapa?’– tapi ‘siapa Engkau’. Memang kalimatnya sederhana, “siapakah Engkau?”, tapi nuansanya bisa sangat kaya, termasuk juga ketersinggungan, termasuk juga kejengkelan, termasuk juga mungkin sebagian dari mereka memang mau tahu siapakan orang ini sehingga berani mengatakan kalimat seperti itu.
“Siapakah Engkau?”; ini kalimat perjumpaan dengan pribadi Yesus. Pertama Yesus memperkenalkan diri-Nya “I am the light of the world” (perikop sebelumnya); setelah semua pembicaraan tadi, Yesus mengatakan “kamu akan mati dalam dosamu”. Lalu mereka bilang kepada sesamanya, “Yesus akan mati, Yesus akan bunuh diri”. Dan Yesus mengulang lagi, “kamu akan mati dalam dosamu”. Sekarang mereka tidak bisa mengelak, mereka mulai jawab, “siapakah Engkau?” Inilah perjumpaan itu; yaitu waktu manusia tidak bisa mengelak terhadap Firman Tuhan dan berdiri di hadapan Tuhan –siapa Engkau? Inilah kalimat yang sama yang dikatakan Paulus waktu encounter dengan Yesus. Ini masuk ke dalam pengenalan pribadi. Ini adalah kalimat yang seharusnya kita tanya, lebih daripada semua pertanyaan yang lain. Lebih daripada pertanyaan “kapan saya keluar dari penderitaan saya”, “kapan saya ditolong”, “kapan saya sehat kembali”, “kapan saya sukses”, yang semuanya tidak penting sama sekali dibandingkan pertanyaan “siapakah Engkau”.
Kemudian Yesus menjawab, "Apakah gunanya lagi Aku berbicara dengan kamu?” (ayat 25). Saya belum mempelajari lagi apakah kalimat terjemahan bahasa Indonesia ini merupakan varian teks yang lain, yang digunakan dalam Alkitab bahasa Indonesia (maksudnya pakai manuskrip yang lain), tapi dalam BibleWorks bahasa asli yang saya miliki, kalimatnya lain, lebih dekat dengan terjemahan bahasa Inggris. Di situ waktu mereka tanya: “Who are You?”, jawaban Yesus adalah: “Just what I have been telling you from the beginning” (“Seperti yang sudah Kukatakan kepadamu dari mulanya”). Dari mulanya Yesus sudah kasih tahu Dia itu siapa sebetulnya, yaitu the bread of life, the light of the world, the good shepherd, dst., dalam perkataan “I am” (Ego eimi) yang sampai tujuh kali; dan sekarang mereka masih tanya “siapakah Engkau?” Ini berarti mereka tidak dengar Firman Tuhan, mereka dengar – lewat, dengar – lewat, dengar – lewat. Ini berarti mereka tidak benar-benar mengerti Firman Tuhan; sudah ngomong bolak-balik tetap tidak mengerti.
Dan dalam hal ini terjemahan bahasa Indonesia menarik; ini terjemahan ala Schleiermacher yang berusaha menyoroti psikologinya Yesus, seakan masuk ke dalam kesesakan Yesus yang sudah berulang-ulang kasih tahu tetap tidak mengerti, lalu Dia bilang, “apa gunanya Saya kasih tahu lagi??”; sementara terjemahan bahasa Inggris mengatakan: “seperti yang sudah Saya katakan kepadamu”. Mungkin ada betulnya bahwa Yesus merasa useless, betapa orang-orang ini sudah dikasih tahu berulang-ulang masih saja tetap tidak mengerti, mutar di situ-situ saja, tidak belajar-belajar; tetapi kita tidak dalam posisi untuk menyelidiki psikologinya Yesus, oleh sebab itu kali ini kita pakai versi terjemahan bahasa Inggris yang tampaknya lebih baik. Lagi pula kesulitan kalau saya pakai terjemahan bahasa Indonesia ini, karena pertamanya Yesus mengatakan “apa gunanya lagi Aku berbicara dengan kamu”, tapi lanjutannya “banyak yang harus Kukatakan dan Kuhakimi tentang kamu… ”, artinya Yesus bicara banyak juga, padahal tadi mengatakan ‘apa gunanya’. Jadi seakan-akan di sini Yesus mengalami mood swing; ini sulit kita terima. Sebenarnya Yesus bilang: “Saya sudah kasih tahu kamu (tapi lu ‘gak denger, lu ‘gak mau ngerti, lu ‘gak mau dididik. Terakhir Saya kasih tahu kamu ‘I am the light of the world’, malah lu bilang Gua yang di dalam kegelapan, darkest hades, karena mau bunuh diri pula. Yang di dalam kegelapan itu kamu bukan Saya, kamu yang perlu terang, Saya yang tidak perlu karena Saya terang dunia, sekarang lu tanya lagi ‘siapakah Engkau’??)”
Kalau kita pakai versi bahasa Inggris, maka ayat 26 jadi nyambung; dikatakan: “Banyak yang harus Kukatakan dan Kuhakimi tentang kamu… .” Mendengar kalimat seperti ini, tidak enak. Gereja yang mengatakan kalimat seperti ini, juga sulit pertambahan jemaatnya, lebih enak Gereja yang mengatakan “banyak pujian yang mau Kukatakan tentang kamu”. Kalau banyak kelebihan yang mau dikatakan, kita antusias, tapi kalau banyak kritik yang mau dikatakan, kita bilang, “Lain kali saja, Tuhan, saya sibuk hari ini”. Kita tidak tertarik sama Tuhan yang mengatakan “banyak yang harus Kukatakan dan Kuhakimi tentang kamu”. Kita maunya selalu kata-kata yang menyatakan kita benar, kita dimengerti. Inilah orang-orang Kristen yang cengeng, yang tidak bertumbuh, yang terus-menerus dalam kecebolan dan kekanak-kanakannya, tidak pernah bisa dididik oleh Firman Tuhan, tidak tahan dengar kalimat-kalimat seperti ini.
Jadi, Yesus bicara kepada mereka, “kamu akan mati dalam dosamu”, lalu mereka menghindar, mereka mengatakan, “Dia akan mati, Dia akan bunuh diri”. Lalu Yesus mengulangi, “kamu akan mati dalam dosamu”, mereka tidak bisa mengelak, mereka tanya, “siapa Engkau?” Ini pertanyaan yang betul, mereka mau mengenal Kristus. Lalu Yesus bilang, “Saya sudah pernah menyatakan diri Saya, dan Saya sekarang akan menyatakan tentang kamu, menghakimi kamu”. Saudara lihat gerakan dialektik ini; pengenalan akan Tuhan, membawa kita didefinisi oleh Tuhan, Tuhan akan mengatakan siapa kita sebetulnya, Tuhan akan menghakimi. Istilah menghakimi (judge) dalam bahasa Indonesia memang terlalu berat, seakan nuansanya dituduh, disalah-salahkan, tapi sebetulnya istilah ‘judge’ juga bisa dalam arti menilai. Waktu kita berjumpa dengan Tuhan, tidak bisa tidak, kita pasti dinilai oleh Tuhan; dan memang salah satunya di dalam nuansa penghakiman juga.
“Banyak yang harus Kukatakan dan Kuhakimi (Kunilai) tentang kamu… .” Waktu Yesus mengatakan kalimat ini, Yesus bukan menghakimi dari diri-Nya sendiri. Kalimat ini bukan dari seseorang yang ditolak terus-menerus lalu mengatakan kalimat balas dendam. Yesus bukan dikuasai kedagingan lalu menghakimi, menuduh, menyalahkan, dsb. Kalimat berikutnya penting: “… akan tetapi Dia, yang mengutus Aku, adalah benar, dan apa yang Kudengar dari pada-Nya, itu yang Kukatakan kepada dunia. " Konsep ini diulang terus oleh Yohanes, berarti ini penting sekali. Waktu Yesus mengatakan keadaan mereka, memberitakan penghakiman, itu karena Dia diutus oleh Bapa untuk mengatakannya, dan yang mengutus adalah benar. Yesus bukan mengatakan dari kehendak-Nya sendiri, melainkan kehendak Bapa; dan Bapa yang mengutus Anak, itu benar, penghakiman-Nya/ penilaian-Nya tidak pernah salah. Apa yang didengar dari Bapa, itulah yang dikatakan Yesus kepada dunia. Alangkah bahagia kalau kehidupan kita bisa seperti ini, mengatakan yang diterima dari Bapa, tidak kurang tidak lebih. Kita ini orang yang bicaranya selalu kepanjangan, Tuhan sudah ‘gak ngomong, kita ngomong terus, akhirnya jadi orang-orang Kristen terlalu cerewet yang menyebalkan, karena kita selalu kuatir orang tidak mengerti lalu kita ulang-ulang terus sampai 17 kali! Lalu orang yang ditegur, mulanya sudah setuju, tapi begitu diulang lagi kedua kali, ketiga kali, akhirnya tidak mau mendengarkan lagi. Problem yang lain, kita terlalu pendek bicaranya, ‘gak berani ngomong karena takut menyinggung perasaan orang lain, karena kita mau hidup di dalam damai. Kita tidak berani mengatakan kalimat yang kita dengar dari Bapa, akhirnya orang lain jadi tidak bertumbuh.
Perjumpaan yang sejati dengan Allah yang sejati, itu membawa kita kepada penghakiman. Memang Yohanes mengatakan “Anak itu datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya”, tapi kalimat ini bukan untuk dimengerti bahwa hal itu tanpa penilaian sama sekali. Yesus tidak tiba-tiba datang lalu mengumumkan: “Kamu semua selamat! Kamu semua damai sejahtera! Shalom bagi semuanya!” Kalau seperti itu, cerita-cerita sebagaimana dalam bagian ini jadi cerita apa?? Waktu Yesus mengatakan mengatakan “Aku datang bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyelamatkan dunia”, jelas musti kita mengerti sebagai menyelamatkan yang didahului dengan kalimat penghakiman, dan tidak menghakimi pada akhirnya. Tapi bukan berarti tidak ada penghakiman sebelum penyelamatan itu. Waktu kita mendengar Firman Tuhan, diri kita itu dihakimi oleh Firman Tuhan; itulah jalur yang benar. Tapi kalau kita tidak mau mendengar bagian ini, kita terus berkelit menghindar, memutar-balik semuanya seperti orang-orang yang dicatat di sini, maka kita tidak akan bertumbuh. Dan mungkin akhirnya kita mati di dalam dosa kita, karena selalu mengelak Firman Tuhan.
Ayat 27 Mereka tidak mengerti, bahwa Ia berbicara kepada mereka tentang Bapa. Saudara perhatikan, Yohanes tidak mengatakan “mereka tidak mengerti Yesus itu siapa” melainkan “mereka tidak mengerti Bapa”; maksudnya: tidak mengenal Yesus, berarti tidak mengenal Allah. Inilah keterikatan Trinitarian yang dimaksud Yohanes. Orang Israel mendengar ini bisa ngamuk, kita tahu koq Yahweh, kita percaya kepada Allah, kita bukan orang ateis, kita menyembah Allah, dsb.; tapi menurut Yohanes, barangsiapa menolak Anak, dia menolak Bapa. Ini satu paket, tidak bisa bilang ‘sebetulnya orang ini mengenal Bapa, mengenal Allah, tapi kurang well informed bahwa ternyata punya Anak’. Mereka yang betul-betul mengenal Allah sebagai Bapa, akan menerima Anak. Mereka yang tidak menerima Anak, yang menolak Kristus, sebetulnya menolak Allah yang sejati.
Mereka tidak mengerti, bahwa Ia berbicara kepada mereka tentang Bapa. Di sini makin lama makin terungkap kerusakan mereka, bahkan di dalam Yohanes, Saudara membaca perkataan “bapamu bukan Abraham, bapamu sebenarnya Iblis”; kalimat yang keras luar biasa. Yesus makin menyatakan diri-Nya, dan mereka juga makin terungkap kegelapannya. Mereka pakai istilah-istilah teologi, menyebut-nyebut Allah, Yahweh, Abraham, Musa, Taurat, dsb., ternyata waktu terang datang, terang itu membongkar semuanya, Yesus mengatakan, “Saya kasih tahu, bapamu itu Iblis sebetulnya”. Ayat 27 ini mengantisipasi hal itu.
Ayat 28, Maka kata Yesus: "Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia, dan bahwa Aku tidak berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri, tetapi Aku berbicara tentang hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepada-Ku. Apa maksudnya ‘Anak Manusia ditinggikan’? Maksudnya yaitu waktu Dia disalib. Humiliation pada saat yang sama adalah glorification, dalam konsep Yohanes. Ini sedikit berbeda dengan teologi Lukas. Kalau Saudara membaca Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, Saudara mendapati pola kesengsaraan yang mendahului pemuliaan, jalan salib mendahului pemuliaan. Tetapi Yohanes melihatnya: waktu Yesus naik ke atas kayu salib, itu kesengsaraan, kematian, dan pada saat yang sama sudah pemuliaan. Waktu Anak Manusia ditinggikan di atas kayu salib –salib itu betul-betul ditinggikan secara harfiah– di dalam pengertian rohani, Allah meninggikan Anak, yaitu dengan Anak menyatakan kesanggupan-Nya untuk mati bagi dunia ini. The glorification of The Son tidak harus menunggu kebangkitan.
Saya tidak sedang membenturkan Yohanes dengan Lukas, masing-masing ada keindahannya. Keindahan dalam Yohanes adalah waktu hal ini mau kita terapkan dalam kehidupan kita, ini berarti waktu kita tekun memikul salib, itu sudah pemuliaan Allah. Saudara jangan tunggu kehidupan dipulihkan dulu baru merasa mulai masuk dalam pemuliaan. Itu bukan theologia crucis-nya Yohanes. Teologi salib menurut Yohanes adalah waktu seseorang memikul salib dengan setia, di situ Allah sedang dan sudah mempermuliakan dia, seperti waktu Yesus ditinggikan di atas kayu salib berarti peninggian itu sudah pemuliaan Dia. Yohanes melihat kematian, kebangkitan, kenaikan Kristus ke surga sebagai satu paket, bukan sequential seperti Lukas.
"Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia”. Sekarang mereka belum mengenal siapa itu Yesus, tapi dari perspektif salib mereka akan tahu bahwa Yesuslah Dia –“I am He”. Kalau kita baca commentary, paling tidak ada 3 macam variasi tafsiran kalimat “barulah kamu tahu” ini. Yang pertama mirip seperti pengertian tadi, yaitu tahu tapi terlambat, sudah tidak ada kemungkinan bertobat. Jadi ini kalimat penghakiman –‘terlambat, kamu mati dalam dosamu, karena kamu sudah menolak dan tidak percaya’. Kemungkinan tafsiran yang kedua, bahwa ini bukan kalimat penghakiman melainkan berita keselamatan –‘waktu Anak Manusia ditinggikan, kamu akan tahu, sadar, bahwa Yesus adalah Anak Allah, Mesias, Tuhan, Allah sendiri, dan bahwa Yesus tidak berbuat apa-apa dari diri-Nya sendiri; lalu di situ kamu akan bertobat, kamu akan mengenal Allah’. Penafsiran ketiga –dan saya cenderung pada penafsiran ini—mengatakan bahwa sebenarnya keduanya termasuk; kalimat ini bisa punya nuansa penghakiman, sekaligus juga keselamatan, yaitu bagi mereka yang percaya. Mengutip perkataan Pendeta Stephen Tong, waktu Injil diberitakan, Injil itu mempunyai kuasa yang mengutubkan, yaitu yang percaya dan yang menolak.
Waktu Firman Tuhan diberitakan, itu juga punya kuasa yang mengutubkan/ memisahkan. Saudara jangan pikir diri Saudara yang memisahkan –yang ini saya mau dengar, yang itu saya tidak mau dengar; yang ini bagus, yang itu tidak; yang ini saya tertarik menaati, yang itu omong kosong, dsb. Mungkin dari perspektif Saudara, Saudara pikir diri Saudara yang dalam posisi seperti itu, sementara dalam kenyataan sebetulnya Tuhan yang memisahkan domba dan kambing. Tuhan yang sedang memisahkan, ini yang akan mendengar, itu yang tidak usah mendengar. Firman Tuhan ketika diberitakan, akan mengutubkan orang sebagai orang yang terus mengeraskan hati, dan menyelamatkan orang-orang yang percaya. Maka kata ‘tahu’ dalam kalimat "Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu”, itu tergantung tahu-nya tahu yang mana; apakah tahu dalam pengertian yang menyelamatkan, tahu dalam anugerah, yaitu tahu dan sadar, atau tahu yang seperti Saul, tahu dirinya mulai ditinggalkan dan Tuhan mulai membangkitkan Daud. Tahu bahwa Tuhan menyelamatkan kita, atau tahu bahwa Tuhan meninggalkan kita, bahwa tidak ada lagi kesempatan. Semoga kita bukan termasuk orang yang tahu terlambat, atau tahu salah, atau tahu dengan rasa sakit tidak ada lagi kemungkinan bertobat.
“Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu”; tahu tentang apa? Yaitu “bahwa Akulah Dia, dan bahwa Aku tidak berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri, tetapi Aku berbicara tentang hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepada-Ku.” Waktu orang mendengar Firman Tuhan, termasuk juga sampai sekarang, orang seringkali paranoia; kalau Firman Tuhan kena pada diri, lalu berpikir ‘ini orang tidak senang sama saya atau bagaimana, ya?? ini dia yang tambah-tambahin sendiri, dia sengaja mau tegur saya, ini bukan dari Tuhan’, lalu di sisi lain mengatakan, ‘nah, yang ini dari Tuhan, soalnya cocok buat orang sebelah saya’. Waktu ditegur, kita selalu ada paranoia bahwa itu bukan betul-betul berasal dari Tuhan. Waktu Yesus mengatakan kalimat ini, orang-orang Yahudi itu juga berpikir seperti itu, ‘Lu koq benci banget sama kita, bilang kita mati dalam dosa lah, Bapa kita Iblis lah, Lu jahat bener, memang keluarga kita salah apa sama keluarga Lu, apa pernah beli kayu ‘gak bayar atau gimana sampai Lu negur-negur kayak gini; ada persoalan apa??’ Mereka paranoia seakan Yesus itu benci sekali pada mereka, mereka tidak bisa terima bahwa yang dikatakan Yesus itu betul-betul berasal dari Allah, betul-betul berasal dari Bapa. Sama seperti itu juga sampai sekarang, orang kesuitan menerima kalimat Firman Tuhan bahwa itu betul-betul berasal dari Bapa.
Yesus, nabi yang sejati, Dia cuma mengatakan persis seperti yang Dia terima dari Bapa, tidak lebih, tidak kurang. Nabi-nabi palsu mengatakan yang Bapa tidak pernah katakan, dibolak-balik, sengaja mengatakan secara parsial supaya menyesatkan orang, supaya mendapatkan penerimaan, supaya mendapatan relasi yang lebih baik, supaya disenangi orang, dsb.; sedangkan nabi yang asli bukan seperti itu, nabi yang asli seperti Yesus, membicarakan yang diterima dari Bapa. Kita rindu bukan cuma di mimbar ini, tapi waktu kita pakai mulut dalam keseharian kita, kita mengatakan yang dari Bapa. Tapi bagaimana mengatakan yang dari Bapa kalau kita tidak diajar?? Ada orang tidak tertarik dengar Firman Tuhan, lalu mau bicara apa?? Yesus tidak berkata-kata dari diri-Nya sendiri, Dia berkata-kata yang diterima-Nya dari Bapa. Bukan cuma bicara, waktu berbuat pun, Dia tidak berbuat dari diri-Nya sendiri, melainkan berbuat yang diajarkan Bapa kepada-Nya. Inilah nabi yang sejati.
Ayat 29, “Dan Ia, yang telah mengutus Aku, Ia menyertai Aku. Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.” Inilah kalimat yang kita senangi, terutama bagian ‘Ia menyertai aku’, langsung terbayang padang rumput yang hijau, air yang tenang, menyediakan hidangan di hadapan lawanku; lalu ‘Ia tidak membiarkan aku sendiri’, jadi aku tidak pernah sendiri, betapa Kekristenan yang romantis. Tapi Saudara lupa di sini ada 4 hal, yang kita di atas tadi baru nomor 2 dan 3, masih ada nomor 1 dan nomor 4. Nomor satunya bicara ‘dan Ia, yang telah mengutus aku’.
Saudara jangan ge-er bicara penyertaan Tuhan, kalau kita tidak diutus Tuhan. Dari mana bisa bicara penyertaan tanpa pengutusan?? Tidak ada tempatnya. Ia yang mengutus – Ia yang menyertai, mengutus aku – menyertai aku. Kita maunya Tuhan menyertai, tapi kita bahkan tidak tanya diri kita ini diutus Tuhan atau tidak. Di dalam hal apa kita menjadi utusan Tuhan? Sudahkah kita menjadi utusan Bapa, seperti Yesus yang menjadi utusan Bapa? Kembali ke poin tadi, kalau saya diutus, saya tidak boleh bicara seenak saya sendiri, saya harus bicara hal yang saya terima dari yang mengutus; kalau saya diutus, maka yang saya lakukan harus sinkron dengan yang mengutus saya. Itulah namanya utusan. Kalau saya menjalani jalan saya sendiri, bicara perkataan saya sendiri, itu bukan utusan; lalu minta Tuhan menyertai?? Apa tidak sungkan, tidak diutus, tidak menghayati artinya utusan, tapi minta Tuhan menyertai.
Betapa kacaunya Kekristenan waktu terus-menerus bicara penyertaan Tuhan, tentang Tuhan yang tidak membiarkan kita sendiri, yang membuat kita senang sekali karena janji Tuhan ini. Nanti dulu! Kalimatnya belum selesai. Ada kata ‘sebab’ yang mengikuti kalimat tadi; “Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku (Anak) senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya (Bapa)”, maka “Bapa tidak membiarkan Aku sendiri”. Kita tidak berhak pakai kalimat ini –‘Tuhan tidak membiarkan aku sendiri’—kalau kita tidak berbuat apa yang berkenan kepada Tuhan, karena luar biasa munafik. Kalau kita tidak hidup yang berkenan kepada-Nya, tapi masih berani mengatakan ‘Tuhan tidak membiarkan aku sendiri’, ini berarti tuhan yang palsu, bukan Tuhan yang di Alkitab. Gereja tidak senang dengan perkataan ini, Gereja maunya ‘tidak peduli Ia berkenan atau tidak berkenan, pokoknya Tuhan tidak membiarkan aku sendiri’; tidak peduli Gereja melakukan yang berkenan atau tidak berkenan, pokoknya Tuhan tidak membiarkan Gereja sendiri. Tapi itu tidak ada ayatnya.
Matius 28 juga mengatakan yang sama, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai pada akhir zaman”, dan ada kalimat-kalimat sebelumnya, yaitu: “Baptiskanlah mereka di dalam nama-Ku, ajarkanlah mereka semua yang Kukatakan kepadamu”. Ada discipleship, ada penyertaan. Tetapi kalau tidak ada discipleship, lalu masih bicara penyertaan, maksudnya penyertaan apa, penyertaan versi mana?? Matius tidak pernah bilang ‘baik kamu menjalankan pemuridan atau tidak, baik jemaatmu dimuridkan atau tidak, bertumbuh atau tidak, ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman!’ Yang ada adalah penyertaan itu dikaitkan dengan pemuridan, tidak bisa tanpa pemuridan. Kalau kita tidak melakukan pemuridan, kalau kita tidak melakukan yang berkenan kepada Bapa, kta tidak bisa bilang kalimat “Tuhan, Allah, Bapa, tidak membiarkan aku sendiri’.
Yesus mengatakan kalimat ini pasti bukan cuma untuk dimengerti secara eksklusif, seperti pamer, ‘Tuh lihat, Aku berani mengatakan Ia tidak membiarkan Aku sendiri, lu ‘gak bisa ‘kan ngomong kayak gini kan?! Karena Saya satu-satunya yang senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya’. Bukan itu spiritnya. Waktu Yesus mengatakan kalimat tadi, Dia mau mengundang, bahwa sama seperti Dia yang tidak dibiarkan sendiri oleh Bapa –dan itu mungkin—karena Dia berbuat yang berkenan kepada Bapa, demikian juga Gereja, demikian juga murid-murid Kristus, seharusnya bisa mengatakan kalimat “Ia menyertai aku” ini, karena kita berjalan di dalam kuasa utusan Bapa, karena kita berbuat apa yang berkenan kepada Tuhan. Kiranya Tuhan menolong kita.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading