Dalam pertemuan yang lalu kita membahas tanya jawab Yesus dengan Tomas, dan kita meminjam paradigma “tujuan dan jalan” –satu pertanyaan yang mewakili manusia. Manusia mau dapat tujuan-nya tapi tidak mau jalan-nya; lalu kalau sudah diberitahu tujuannya, manusia bersikeras bahwa dia bisa cari jalannya sendiri. Tapi itu sesuatu yang tidak mungkin. Bapa/Allah sepertinya adalah tujuan dari semua agama, tapi tidak semua agama mau menerima jalan yang satu-satunya, yaitu Yesus Kristus. Sebaliknya, Yesus mengajarkan “Akulah jalan, dan kebenaran, dan hidup”, di dalam pengertian bahwa Dia memastikan kalau kita berjalan di jalan yang benar, yaitu diri Yesus sendiri, maka kita pasti sampai kepada tujuan yang benar dan yang satu-satunya itu. Jadi, satu jalan menuju kepada satu tujuan. Tetapi dalam pikiran dunia, seringkali kita mau dikasih tahu tujuannya saja, nanti jalannya saya bisa cari sendiri, tidak usah bicara Yesus, kita bisa cari jalannya masing-masing, yang penting kita toh akhirnya juga sampai ke surga, akhirnya juga sampai kepada Bapa.
Kalau Saudara melakukan studi perbandingan, konsep surga dalam setiap agama itu tidak sama. Dulu orang bilang “jalannya tidak sama”; dan setelah diselidiki, sekarang orang mengatakan “tujuannya pun tidak sama”. Konsep nirwana, surga, dunia yang akan datang, dsb., dalam agama-agama lain tidak sama dengan konsep Kristen; jadi bukan cuma jalannya yang tidak sama, tujuannya pun tidak sama. Dengan demikian, kalau konsep “surga/dunia yang akan datang”-nya bukan persekutuan dengan Bapa, bukan tinggal di dalam Bapa, saya percaya itu berarti Yesus juga bukan jalannya. Yesus bukan jalan untuk menuju semua tujuan, termasuk “surga” yang kita ciptakan sendiri. Yesus adalah satu-satunya jalan, yang menuju kepada satu-satunya tujuan, yaitu Bapa. Bapa yang memiliki rumah, yang banyak tempat tinggalnya, yang membuka diri-Nya, Dia mengundang Saudara dan saya untuk bisa tinggal di dalam kehidupan-Nya. Kalau kita tidak tertarik dengan hal ini –tidak tertarik untuk tinggal di dalam Bapa—maka Yesus bukan jalannya, Yesus bukan jalan untuk orang yang seperti itu. Orang seperti itu silakan cari jalannya sendiri, dan dengan demikian juga sampai ke tujuan yang lain, yang bukan Bapa.
Dalam hal ini, kalau kita melihat perkataan Filipus di ayat 8, seolah-olah dia mengenal Bapa, seolah-olah dia mementingkan Bapa –tujuan itu. Tapi di dalam Alkitab tidak ada pembicaraan tentang Bapa tanpa Anak, sebagaimana juga tidak mungkin bicara tentang Anak tanpa Bapa. Ini sesuatu yang mengikat; bicara Bapa tidak mungkin tanpa Anak, bicara Anak tidak mungkin tanpa Bapa. Bapa-bapa Kapadokia mengajarkan, istilah “Bapa” dan istilah “Anak” itu relasional; tidak masuk akal memakai istilah “Bapa” kalau tidak ada “Anak”-nya. Seperti juga kalau saya bilang, “Saya adalah ayah”, lalu tidak ada anaknya, itu tidak mungkin. Bahkan istilah “laki-laki” pun istilah relasional; istilah “laki-laki” cuma make sense kalau ada “perempuan” –seandainya semuanya laki-laki, kita tidak pakai istilah “laki-laki”. Istilah “manusia” juga relasional; disebut “manusia” adalah dalam relasi dengan Tuhan/Pencipta atau dengan ciptaan yang lain. Jadi, membicarakan “Bapa” tapi tidak mau membicarakan “Anak”, itu tidak mungkin.
Ada orang mau bicara tentang Bapa, tapi tidak mau bicara tentang Yesus; ini tidak mungkin, menurut Injil Yohanes. Maka ketika Filipus bilang "Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami", maksudnya “kasih tahu kita Bapa/Allah, itu cukup, Yesus tidak perlu lagi”. Ini hal yang sangat menyedihkan, maka Yesus menanggapi: "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku?” Dalam gambaran seperti ini, seolah-olah Filipus sangat mementingkan Allah, tapi dia tidak menghargai Yesus yang membuka kemungkinan untuk orang bisa mengenal Allah dengan sempurna. Itu sebabnya Yesus mengatakan, “Engkau tidak mengenal Aku”.
Kalau saya boleh zoom gambaran ini, orang yang sudah lama bersama-sama di gereja, lama jadi orang Kristen, memang tidak ada jaminan orang itu pasti mengenal Kristus. Kepada Filipus saja, Yesus sendiri bilang “sudah lama engkau bersama-sama Aku, tapi engkau tidak mengenal Aku”. Dalam hal ini, kita musti hati-hati antara ‘in Christ’ (di dalam Kristus) dan ‘in the Church’ (di dalam Gereja); ini dua hal yang berbeda. Bukan maksudnya mau mengembangkan low view of the Church –kita mengikuti Calvin, percaya high ecclesiology—tapi tetap kita harus mengatakan bahwa Gereja tidak identik dengan Kristus. Kita tidak bisa mengatakan “di dalam Gereja pasti di dalam Kristus” –itu tidak tentu– di dalam Gereja tetap adalah di dalam Gereja, apalagi kalau cuma pengunjung. Filipus di sini seperti mengatakan “Bapa saja sudah cukup”; tapi tidak cukup. Bicara “Bapa”, harus bicara “Anak”; bicara “Anak”, harus bicara “Bapa”. Dan yang menolong kita masuk ke dalam pengenalan seperti ini adalah Allah Roh Kudus.
Yesus mengatakan, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (ayat 9). Dalam pengertian apa waktu dikatakan ‘melihat Kristus sama dengan melihat Bapa’? Pastinya kita cuma bisa tafsir di dalam pengertian rohani. Kalau kita tafsir dalam pengertian jasmani, ayat ini jadi tidak bisa dimengerti. Ada orang menafsir bagian ini sbb.: “kalau melihat Yesus sama dengan melihat Bapa, berarti Yesus sama dengan Bapa”; mereka menolak Trinitarian. Menurut mereka, Bapa, Putra, dan Roh Kudus, sebenarnya cuma satu Pribadi, yang ganti-ganti peran. Tetapi kalimat Yesus tadi maksudnya bukan begitu; kalau kita mengertinya secara demikian, berarti kita berpikir bukan dalam cara rohani melainkan cara jasmani. Seperti juga waktu Perjamuan Kudus, kalau kita cuma berpikir secara jasmani, berarti kita cuma makan roti dan anggur, itu saja. Tetapi kalau kita berpikir secara rohani, kita makan dan minum tubuh dan darah Kristus dalam pengertian yang sesungguh-sungguhnya, secara rohani. Ini tidak seperti yang diajarkan Zwingli bahwa itu cuma sekedar lambang dan kita tidak betul-betul masuk dalam spiritual realm tersebut.
Kembali ke bagian ini, waktu Yesus mengatakan “barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa”, maksudnya mau menyatakan bahwa di dalam kehidupan Kristus, Bapa dinyatakan secara sempurna. Jadi yang dimaksud di sini bukan penampakan (appearance) Yesus, misalnya soal potongan rambutnya, tinggi badannya, atau warna kulitnya, dsb.; hal seperti itu artinya melihat secara kasat mata, bukan melihat secara rohani. Kalau kita melihat secara rohani (spiritual seeing), kita bisa mengerti ayat ini, bahwa barangsiapa melihat Yesus, dia melihat Bapa secara sempurna.
Di dalam dunia, ada orang selalu melihatnya yang kelihatan. Kalau Saudara pergi ke toko-toko yang mahal, Saudara pertama-tama di-scan dulu dari atas ke bawah, di-profile ‘ini kira-kira buying power-nya berapa’ –naif sekali. Kekuatan daya beli orang sebenarnya tidak tergantung penampakannya, tapi ada orang percaya appearance seseorang itu setara dengan buying power-nya; ini berarti dia melihat dunia yang kelihatan saja. Dia sensitif melihat orang, yang ini sepertinya orang kaya, yang itu cuma orang sederhana, percuma saya kenalan sama dia nanti bakal direpotin, saya perlu kenalan dengan orang yang justru saya bisa repotin. Dunia kita seperti ini. Lalu waktu kita membaca Alkitab, kita harap Yesus juga seperti ini? Tentu saja tidak! Yang dimaksud Yesus adalah dalam dunia rohani, “barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa”. Kalau melihat Yesus secara fisik, Yesaya mengatakan, tidak ada yang menarik sampai kita menginginkan Dia. Kalau kita melihat Yesus dalam pengertian fisik, ya, sudah, kita cuma melihat itu saja, seperti kita melihat roti dan anggur tapi tidak melihat realita tubuh dan darah Kristus yang pernah dipecahkan dan dicurahkan di atas kayu salib. Waktu dikatakan “barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa”, berarti di dalam kehidupan Yesus kita melihat kehidupan Ilahi sepenuhnya. Atribut-atribut Allah, sifat-sifat Allah, sepenuhnya hadir dalam kehidupan Krsitus. Bukan cuma itu, perkataan-perkataan Allah, perbuatan-perbuatan Allah, pekerjaan-pekerjaan Allah –karya-Nya—juga di dalam Kristus.
Judul kotbah hari ini “Anak di dalam Bapa, dan Bapa di dalam Anak” (dalam bahasa Yesus: “Aku di dalam Bapa, dan Bapa di dalam Aku”), lalu anak judulnya “Johannine Perichoresis”. Meminjam istilah dari Bapa-bapa Kapadokia, perichoresis bisa diterjemahkan sebagai mutual immanence, mutual indwelling, saling meninggali, Bapa di dalam Anak dan Anak juga di dalam Bapa. Ini hal yang penting sekali. Seperti dalam Perjamuan Kudus, kita menghayati Kristus di dalam kita dan kita di dalam Kristus, dalam pengertian yang sesungguh-sungguhnya; karena kita, sekalipun banyak, dipersatukan di dalam tubuh-Nya yang satu. Ketika kita memakan tubuh Kristus, secara rohani, berarti kita yang tadinya banyak sekarang dipersatukan, di dalam Kristus. Ketika kita kita minum darah Kristus, secara rohani, berarti kehidupan Kristus masuk ke dalam kehidupan kita, kehidupan kita ditinggali oleh kehidupan Kristus, Kristus di dalam kita, kita di dalam Kristus.
Dunia kita tidak mengerti gambaran seperti ini, karena ‘saling meninggali’ ini tidak mungkin terjadi di dalam dunia. Saudara lihat di ruang ini, kaca bundar itu sengaja ambil desain dari Piet Mondrian, seorang seniman Belanda aliran De Stijl. Kalau Saudara perhatikan, di situ ada warna merah, biru, kuning, dan masing-masing punya kaplingnya sendiri, tidak bisa saling meninggali. Ruang geometris yang sudah diambil oleh merah, maka itu jadi tempatnya merah, sementara biru harus ambil belahan yang lain; dan itu dibatasi secara tegas dengan garis hitam, seakan-akan mengatakan “this is my private property, do not enter”. Di dalam dunia kita, tidak ada kemungkinan orang mengerti perichoresis ‘aku di dalam kamu, kamu di dalam aku’; yang ada adalah: yang punyaku, punyaku; yang punyamu, punyamu; punyaku bukan punyamu, punyamu kalau bisa jadi punyaku juga. Di dalam dunia yang berdosa, kita suka rebutan kapling –dan yang paling sedih, dalam dunia pelayanan pun ini terjadi.
Gereja harusnya yang paling mengerti perichoresis, tapi yang paling sedih waktu Gereja tidak mengerti ini, tidak mengerti apa artinya Kristus di dalam kita dan kita di dalam Kristus, lalu tidak ada saling meninggali; yang ada adalah gambaran ‘tertindas’, kalau kamu tinggal di dalam saya berarti saya tergencet, kalau saya tinggal di dalam kamu maka kamu yang tergencet. Ini sangat tidak mengerti perichoresis. Di dalam Alkitab, Trinitarian itu berada dalam relasi perichoretic; jika demikian, maka Saudara dan saya dipanggil untuk menghidupi kehidupan relasi perichoretic, seperti Tritunggal –kecuali kita tidak tertarik dengan kehidupan Tritunggal, tidak mau ikut Tritunggal, mau menciptakan allah saya sendiri, seperti Filipus mengatakan ‘tunjukkan Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami’. Dia mau Bapa yang tanpa Anak, atau mungkin orang lain mau Anak tanpa Bapa, dsb., ini memproyeksikan konsep “allah” dari dirinya sendiri. Tapi kalau Saudara dan saya percaya kepada Trinitas, relasi kita harusnya seperti relasi Trinitas.
Jadi, apa itu perichoresis? Di dalam pengertian apa kita bisa saling meninggali tapi tidak menindas dan tidak rebutan ruang? Dalam banyak hal, cara berpikir kita seperti desainnya Mondrian tadi, sangat geometrical spatial, harus dibagi-bagi, kalau yang di sini sudah diambil berarti tidak bisa ditempati oleh yang lain. Dengan cara pemikiran seperti ini, kita sulit mengerti Kristologi. Misalnya Kristologi “Dua Natur” –Allah sepenuhnya manusia, Allah sepenuhnya Ilahi—sulit kita mengerti, karena kita terbawa cara pemikiran geometrical spatial, lalu kita pikir kalau Yesus adalah Allah dan manusia, berarti manusianya 50% dan keilahiannya 50%. Ini Kristologi sesat. Yesus itu ke-Allahannya 100% dan kemanusiannya juga 100%, tapi kita bilang “mana bisa begitu?” Itu sama seperti bahwaTuhan itu kedaulatannya 100%, Dia 100% mengontrol kehidupan kita; tanggung jawab kita juga 100%, kehendak bebas kita 100%, tapi lalu kita bilang “mana bisa begini? kalau Tuhan mengontrol saya 100% berarti saya robot, dong; kalau Tuhan mengontrol saya 90%, berarti saya tinggal 10%; kalau Dia mengontrol saya 50%, berarti saya tinggal 50%” –kita berpikir secara geometrical spatial. Padahal cara berpikir ini tidak bisa menjelaskan seluruh realita, apalagi menjelaskan tentang Tuhan.
Ilustrasi yang lebih baik kalau pakai musik. Misalnya saya menyanyi nada ‘La …’, suara itu mengambil seluruh ruangan. Sekarang Saudara menyanyi nada ‘La’ tinggi, dan kita nyanyi bersama; lalu apakah suara saya mengambil 70% ruangan dan suara Saudara 30%? Ataukah suara saya tetap bisa menempati keseluruhan ruangan dan suara Saudara pun mengambil keseluruhan ruangan? Tentu yang terakhir yang betul. Tidak perlu ada sharing kapling di sini, suara Saudara mengambil ruang100% dan suara saya juga mengambil ruang 100%, namun suara Saudara dan suara saya tetap bisa dibedakan. Tuhan 100% mengontrol kehidupan kita, kita bertanggung jawab 100% terhadap kehidupan kita; ini namanya polifoni, 2 melodi yang jalan bareng, tidak usah dibenturkan pakai gambaran Mondrian, tidak akan masuk. Dalam pemahaman perichoretic, waktu Bapa di dalam Anak, Anak itu tetap Anak; waktu Anak di dalam Bapa, Bapa tetap Bapa –tetap bisa dibedakan, tapi juga saling meninggali.
Hal tersebut di atas adalah penjelasan secara teologis filosofis; tapi dalam hal konkretnya, Yohanes mengatakan 2 hal, yaitu: 1) perkataan, 2) pekerjaan. Yesus ditinggali Bapa, Bapa di dalam Anak, adalah dalam pengertian bahwa yang dikatakan oleh Anak sepenuhnya berasal dari Bapa, yang dikerjakan oleh Anak sepenuhnya pekerjaan Bapa. Ini konsep perichoresis Yohanes.
Mengaplikasikan ‘kita di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita’ dalam kehidupan kita, maksudnya adalah waktu kita berkata-kata, itu bukan dari diri sendiri melainkan kekayaan perkataan Kristus yang keluar. Tetapi, berapa banyak orang Kristen yang tertarik dengan ide seperti ini? Kita ini orang yang cerewet, terlalu banyak omong. Saudara boleh cek sebelum tidur, hari ini bicara apa saja, lalu Saudara pilah-pilah, kalimat mana yang ada artinya, yang betul-betul membangun orang lain, membuat orang lain hidupnya lebih dekat dengan Tuhan; kalimat mana yang ngomong atau tidak ngomong sebetulnya sama saja; lalu mungkin ada kalimat-kalimat lain yang waktu kita ngomong malah menyinggung orang lain sehingga orang bukan saja tidak diberkati tapi juga dihancurkan kehidupannya karena perkataan kita. Tuhan akan menghakimi kita menurut perkataan kita juga; waktu perkataan yang keluar dari kita bukan yang dari Kristus, kita sebetulnya tidak ada persekutuan dengan Kristus.
Ada orang melatih diri dengan retreat selama 1 minggu, belajar diam. Kita orang Timur suka ngomong dulu, mikir belakangan. Bukan berarti terapi diam itu lebih baik, karena Alkitab mengatakan “aku percaya, maka aku berkata-kata”. Persoalannya bukan bahwa kita musti lebih banyak diam daripada berkata-kata, tapi bagaimana kita berkata-kata dan yang kita katakan betul-betul berasal dari Tuhan, sehingga waktu kita berkata-kata, orang itu mendapat berkat. Dan ini bukan kata-kata basa-basi, apalagi kata-kata yang tidak tulus serta munafik. Di bagian lain dalam Perjanjian Baru dikatakan: “Hendaklah kata-katamu jangan hambar”. Ini bukan cuma bicara konten, tapi termasuk di dalamnya intonasi; dan lebih daripada itu waktu kita bicara, spiritnya/nafasnya apa. Lalu apa maksudnya kata-kata yang tidak hambar, menurut Alkitab? Dalam bagian tersebut, kata-kata yang tawar maksudnya kata-kata yang tidak ada kasih, kata-kata yang bukan keluar karena cinta kasih. Itu sebabnya kalau kita melihat dalam Alkitab, kita sadar, betapa lemahnya persekutuan kita dengan Kristus dalam hal ini; tahu dari mana? Tahu dari berapa banyak yang kita katakan betul-betul sinkron dan itu adalah yang kita terima dari Kristus, sebagaimana waktu Kristus bicara, kalimat yang keluar sepenuhnya dari Bapa.
Pendeta Stephen Tong mengingatkan kami, para hamba Tuhan, bahwa dalam kotbah bukannya tidak boleh ada lelucon sama sekali, tapi jangan sampai hal itu mengalihkan orang dari message yang dibahas. Ada orang yang membuat lelucon sekedar untuk mengangkat suasana supaya orang memberi perhatian ke mimbar, ini percuma. Lelucon itu boleh ada boleh tidak ada –dan mungkin lebih baik tidak ada—karena tidak menunjang pemberitaan Firman Tuhan, tidak memberikan ilustrasi apa-apa. Kepekaan seperti inilah yang dimaksud dalam kita berbicara. Kita berbicara yang membuat orang betul-betul dibangun, yang orang jadi mendapatkan kasih karunia, yang orang kemudian kehidupannya lebih mengasihi Tuhan; ataukah kita sekedar mulutnya sudah tidak bisa ditutup, ngomong terus saja, ngomong apapun. Kalau kita mau memahami relasi perichoretic antara kita dengan Kristus, maka kita musti belajar bagaimana dalam kehidupan ini kita berkata-kata dari kekayaan Firman yang mendiami kita, sebagaimana Yesus waktu berkata-kata, Dia mengatakan apa yang diterima-Nya dari Bapa, sebagai Nabi yang sempurna.
Hal kedua, yaitu kesatuan perichoretic dalam hal pekerjaan/karya. Yesus hanya melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh Bapa-Nya; Bapa-Nya bekerja, dan di situ Yesus juga bekerja. Pekerjaan yang dilakukan Yesus, sepenuhnya adalah pekerjaan Bapa-Nya. Tidak ada pengurangan, tidak ada penambahan. Kita percaya, pekerjaan kita di dalam dunia, yang bertahan sampai kekekalan hanyalah pekerjaan Kristus. Yang bukan pekerjaan Kristus, semuanya akan lenyap, hangus terbakar, tidak akan diingat oleh Tuhan; itu adalah pemborosan waktu dan anugerah Tuhan. Bukan berarti kita lalu jadi orang ekstrim yang cuma boleh jadi hamba Tuhan, atau hanya boleh mengerjakan yang disebut penginjilan dan berdoa, lalu semua yang lain, termasuk waktu luang (leisure time), jadi tidak ada tempatnya. Bukan itu; tapi kalau kita cek hidup kita, seringkali antara pekerjaan yang kita kerjakan dengan pekerjaan yang Tuhan mau kerjakan dalam hidup kita, ada gap. Dan gap tersebut bisa 2 macam, kita kerjanya kurang dari yang Tuhan mau kita kerjakan, atau kita kerja banyak sekali seperti melampaui porsi yang Tuhan berikan –dan mungkin bukan melampaui, tapi memang tidak mengerjakannya juga, hanya kelihatan seperti kita kerja banyak sekali. Di dalam Alkitab, ini seperti Marta. Marta mengerjakan banyak hal, repot, sibuk, tapi bukan pekerjaannya Tuhan.
Ada orang yang kerja luar biasa berat, tapi dia sendiri tidak bisa menikmati, lalu waktu tua sakit-sakitan sehingga seperti percuma kerja berat. Sebaliknya ada orang yang kerja terlalu santai, terlalu pengangguran. Di Singapura banyak orang tua yang masih kerja di pujasera, lalu dari perspektif Indonesia kita merasa itu kejam, mustinya orang tua seperti itu sudah pensiun, menikmati masa tuanya. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin justru yang seperti itu lebih bermakna hidupnya daripada orang yang tidak kerja, cuma diam-diam, bengong, nonton TV sampai ketiduran, dengar musik sampai 7 jam, dsb. Waktu ketemu orang yang seperti ini, saya ingin beli waktunya, saya pakai untuk urusan yang lain daripada cuma diam-diam di situ. Banyak orang tua waktu masuk usia senja, tidak tahu lagi apa aktifitas yang bisa dilakukan, ada kegelisahan dalam kehidupannya. Waktu kami kuliah di Jerman, ada satu nenek yang sudah sakit-sakitan, tidak bisa keluar dari rumahnya, lalu kadang-kadang jemaat besuk dia. Dan setiap ada yang besuk, mulai hari itu nama orang tersebut tidak pernah absen dari doanya, sampai dia mati. Ini orang tua yang bukan saja tidak pikun, tapi juga tidak mau tengggelam dalam dosa diem-dieman tok.
Bukan cuma orang tua, orang muda pun, bahkan anak Sekolah Minggu, membuang-buang waktu Tuhan dengan tidak mengerjakan pekerjaan Tuhan. Ini bukan masalah nanti waktu tua kita mulai insyaf lalu pilah-pilah mana yang pekerjaan Tuhan, tapi mulai usia Sekolah Minggu pun, kalau kita bisa mendidik mereka membedakan yang mana porsi dari Tuhan, dan yang mana boleh ada boleh tidak ada, maka kehidupan orang itu bisa dipakai Tuhan lebih efektif. Efektif itu berarti waktunya sekian dan kerjanya persis sekian juga. Yang tidak efektif kalau waktu yang dikasih sekian, lalu hasilnya lebih sedikit dari itu, karena banyak ngelamun, banyak kongkow-kongkow, banyak perkataan-perkataan yang tidak ada artinya, dsb. Kalau kita bersekutu di dalam Kristus in a perichoretic relation, maka bukan cuma perkataan kita adalah perkataan yang dari Tuhan, tapi juga pekerjaan kita.
Waktu Yesus di dalam dunia, dicatat Dia selesai melayani menyembuhkan banyak orang lalu orang banyak datang kepada Dia masih mau dilayani; dan setelah Yesus saat teduh, Dia berkata kepada Petrus, “Kita pergi ke kota yang lain” –Yesus sangat efektif. Yesus tidak terpengaruh orang banyak yang masih mencari Dia lalu tenggelam dalam kesukaan orang-orang yang dilayani. Bagi kita, kelihatannya seperti Dia kejam, masih ada orang mau disembuhkan malah pergi ke kota lain; tapi sebetulnya Dia sangat peka mana yang jadi porsi-Nya. Kita seringkali tidak peka. Kita seperti Marta yang mengerjakan semuanya lalu akhirnya kecapaian, uring-uringan, tegang, baper, sumbu pendek, dst.; atau terlalu nganggur, tidak mengerjakan pekerjaan Tuhan, akhirnya mau tidur pun gelisah. Tapi kalau hati nurani mulai mati, sudah nganggur-ngangguran tetap rasa tidak tertuduh, itulah orang yang Tuhan sepertinya tidak mau pakai lagi. Kalau Tuhan sudah tidak mau pakai lagi, berarti kita tidak ada lagi persekutuan dengan Kristus; karena kalau mengikuti perichoretic relation dalam Injil Yohanes, Saudara mendapati kesatuannya adalah kesatuan perkataan dan kesatuan pekerjaan.
Waktu kita mengerjakan pekerjaan Tuhan, kita tidak akan menjadi orang-orang yang restless/gelisah, melainkan kita akan berada dalam istirahat yang sempurna. Justru waktu orang tidak mau mengerjakan pekerjaan Tuhan, tidak mau bersatu dengan yang Tuhan kerjakan dalam kehidupannya, maka kehidupannya pasti gelisah, tidak tenang; dan ketika dia berusaha menekan ketidaktenangan itu, dia tidak mungkin berhasil. Kalimat yang terkenal dari Agustinus: “Jiwa manusia selalu restless sampai dia berhenti di dalam Tuhan, mendapatkan Tuhan adalah rumahnya”. Sebelum itu terjadi dalam kehidupan manusia, dia akan terus gelisah. Bersyukur dalam kehidupan kita kalau kita masih merasa gelisah, belum tumpul, belum bebal, karena berarti Tuhan belum membiarkan kita terhilang selamanya, Tuhan masih mau mengundang kita masuk ke dalam pekerjaan Tuhan. Orang yang melayani Tuhan, terlibat dalam pekerjaan Tuhan (bukan dalam arti pekerjaan Gereja saja, tapi juga kesaksian dalam keluarga, pelayanan di tengah-tengah masyarakat, bahkan juga waktu luang kita), orang itu akan mengalami persekutuan dengan Kristus; dan orang yang bersekutu Kristus, dia mengalami istirahat yang sejati. Seperti waktu kita Perjamuan Kudus, makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya, kita mengalami istirahat yang sejati.
Dan, karena di sini bicara tentang perkataan dan karya, maka kita mengerti ‘istirahat’ ini bukan dalam pengertian yang statis melainkan yang dinamis. Orang yang bersekutu dengan Kristus, dia bukan masuk ke dalam peristirahatan statis, melainkan dia akan digerakkan untuk berkata-kata dan melakukan pekerjaan Tuhan. Ini bukan sesuatu yang statis. Ada orang salah mengerti, dia mengerti mystic union with God sebagai sesuatu yang statis. Memang bicara tentang ‘berhenti’ itu ada aspek statisnya; misalnya saya berhenti dari rutinitas saya, tidak bekerja di hari Minggu, karena Senin sampai Sabtu sudah bekerja –ini berarti ada statisnya. Tapi dalam Alkitab, peristirahatan bukan dimengerti hanya dalam nuansa pasif terhadap sesuatu yang ini, melainkan juga aktif terhadap sesuatu yang lain. Saudara berhenti dari pekerjaan, supaya bisa lebih aktif beribadah, memuji Tuhan, mendengarkan atau memperkatakan Firman Tuhan; ini sesuatu yang aktif, dinamis, bukan pasif saja.
Kalau kita mengerti istilah ‘istirahat’ sebagai sesuatu yang pasif saja, nanti kita kecewa di surga karena di sana gambarannya bukan istirahat yang seperti tidur selama-lamanya menunggu prince charming –Yesus—mencium, baru Saudara bangun. Itu lebih mirip cerita Disney daripada Alkitab. Dalam cerita Alkitab, kita masuk surga, kita dipercayakan kota, berarti ada pekerjaan, bukan tidur bertahun-tahun. Saya kuatir, gambaran surga yang dualis, mempengaruhi kehidupan kita di sini dan sekarang. Kita jadi berpikir di sini kerja seberat-beratnya sampai suatu saat pensiun, lalu bisa lebih bekerja untuk Tuhan –ini gambaran dualis, bukan gambaran Alkitab. Gambaran Alkitab adalah sejak muda kita sudah terlibat dalam pekerjaan Tuhan. Kita bukan orang yang waktu muda bekerja untuk dunia dulu, lalu masuk umur 50 mulai bekerja untuk Tuhan. Alkitab tidak mengajar seperti itu, melainkan bagaimana menebus waktu kita yang di sini dan sekarang –termasuk waktu studi, waktu bekerja/kesaksian di tengah-tengah masyarakat—kaitannya dengan Kerajaan Allah, dengan doa “datanglah kerajaan-Mu”.
Yang terakhir, kalau hati kita berkobar-kobar dalam persekutuan dengan Kristus, mengatakan apa yang dikatakan Kristus dan mengerjakan yang dikerjakan Kristus, maka kita boleh berdoa. Ayat 13, “Apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak”. Sebetulnya tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa bagian ini pastinya tidak boleh ditafsir ‘betul-betul apapun’, lalu apapun boleh diminta, mau minta Mercy, BMW, atau apapun –karena ayat ini ada konteksnya. Contoh yang sangat konyol, kalau perkataan Tuhan Yesus betul-betul dimengerti sebagai apapun, maka boleh tidak berdoa ‘minta saya jadi tuhan, dan Tuhan pensiun’? Tentu saja tidak mungkin! Itu doa kekejian di hadapan Tuhan. Jadi, orang yang menafsir seperti itu, dia tidak baca Yohanes, dia cuma digerakkan nafsu pribadinya lalu pakai ayat ini untuk mendukung keinginannya yang berdosa mendapatkan apapun yang diminta. Tapi ayat ini tidak bicara itu.
Ayat ini bicara soal orang-orang yang hatinya suka bersekutu di dalam Kristus; sebagaimana Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa, demikian juga kita di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita. Maksudnya, kekayaan perkataan Kristus tinggal di dalam kita, dan kita mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Kristus. Maka, untuk orang-orang seperti ini, Alkitab mengatakan “mintalah apapun juga di dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak”. Saya percaya, doa yang menggairahkan adalah doa yang berkaitan dengan pekerjaan Tuhan seperti ini. Doa jadi mati, tidak menggairahkan, dan begitu melelahkan, kalau doa kita urusan-urusan remeh, soal keinginan pribadi yang tidak terlalu penting, tidak pernah mendoakan keinginan orang lain –dan kita sulit mendoakan yang seperti ini secara komunal karena kepentingan saya tidak tentu cocok dengan kepentingan orang lain. Dalam doa Bapa Kami, di situ visinya tentang Kerajaan Allah; inilah seharusnya yang menggairahkan kehidupan doa kita. Ini suatu undangan kehidupan doa yang dalam segala ketekunan, yaitu waktu kita tertarik melakukan pekerjaan Tuhan. Di situ sukacitanya tidak ada habisnya, karena memang tidak pernah terkuras. Tetapi ketika kita mencari sukacita yang tidak berkaitan dengan pekerjaan Tuhan, dengan perkataan Kristus, dengan penyataan diri Tuhan, kita akan cepat sekali menjadi undur. Saya berharap dalam Persekutuan Doa di gereja, kita dibukakan visi tentang Kerajaan Allah.
Bernard de Clairvaux pernah mengomentari orang-orang yang hidup di biara, dia bilang: “Hati-hati dengan biarawan yang seperti suka doa sendiri di kamarnya tapi tidak pernah mau doa bersama”. Ada yang salah dengan orang yang seperti itu, mungkin dia cuma berdoa untuk diri sendiri, untuk keluarganya, untuk kepentingannya, tapi tidak tertarik berdoa bagi pekerjaan Tuhan. Waktu kita datang ke gereja berdoa bersama-sama, Saudara diundang untuk menghayati apa artinya mengatakan “datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu”. Kehidupan yang seperti ini adalah kehidupan yang bersekutu di dalam Kristus.
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading