Kita melanjutkan seri kotbah tentang pertemuan dengan Allah; kali ini seri yang ke-6, masuk ke Perjanjian Baru, yaitu kisah mengenai Paulus. Ini adalah satu bagian ketika Paulus menceritakan pengalamannya bertemu dengan Tuhan. Melalui bagian ini kita bisa mempelajari, bahwa konsep Alkitab mengenai bertemu dengan Tuhan, itu berbeda dari konsepnya kita. Dan kita mau melihat, apa yang bisa kita perbaiki dari hidup kita, lewat hal ini. Pembahasannya akan dibagi sesuai urutan bagian ini, yaitu: ayat 1, konteks Paulus menuliskan bagian ini; ayat 2-6, Paulus menceritakan pengalaman surgawinya; ayat 7-10, Paulus menceritakan pengalaman durinya.
Mengenai konteksnya, kita bisa lihat dari ayat pertama tapi juga keseluruhan Surat 2 Korintus ini, yaitu Paulus menghadapi fakta bahwa di Korintus ada pengajar-pengajar palsu yang menyesatkan jemaat dengan mengabarkan Injil yang palsu; dan di sini Paulus menegur jemaat Korintus untuk berhenti mengikuti orang-orang ini. Problemnya, penyesat-penyesat itu bisa punya pengaruh dan pendukung karena mereka mengklaim dirinya sebagai rasul, dengan demikian mengklaim bahwa dirinya punya otoritas dari Tuhan, bahkan ada indikasi mereka mengklaim otoritas kerasulannya itu pada posisi di atas otoritas Paulus. Di pasal 11 Paulus secara sarkastik menyebut orang-orang ini “super-apostles”/ “huperlian apostolos”, atau dalam terjemahan LAI “rasul-rasul yang tiada taranya”, kemungkinan karena memang hal itulah yang diklaim orang-orang tersebut, bahwa mereka punya pengalaman rohani yang luar biasa melebihi rasul-rasul. Hal ini membuat Paulus masuk ke dalam keadaan bagai makan buah simalakama; di satu sisi seakan-akan dia musti menunjukkan kalau dirinya punya pengalaman seperti itu –artinya dia tidak kalah dengan mereka—meski tidak ada gunanya bermegah seperti itu, dan di sisi lain demi jemaat, barangkali tidak ada jalan lain selain melakukan hal tersebut.
Jadi ayat 1 pada dasarnya Paulus mengatakan, “Ya, sudah, meskipun secara umum pamer-pamer seperti ini tidak ada gunanya, bodoh, tapi karena kamu memaksa, saya akan ceritakan yang terjadi antara aku dengan Tuhan”. Perhatikan di sini, dalam cara Paulus bermegah, dia tidak melakukan seperti yang biasa kita lakukan ketika bermegah. Cara kita biasanya dengan menambahkan secara kuantitas; misalnya yang satu bilang “gua satu kali seminggu berbahasa roh”, ditimpali dengan “gua 3 kali”, lalu “gua selalu”, dst., dst., tambah dan tambah terus. Tapi Paulus tidak demikian. Dia seakan mengatakan, “Benar saya punya pengalaman, tapi jenisnya berbeda, sekarang silakan kamu tentukan sendiri yang mana pengalaman yang sesuai dengan Injil” –jadi perbedaannya bukan kuantitatif, melainkan kualitatif.
Bagian berikutnya, yaitu tentang pengalaman surgawi Paulus, ayat 2-6. Sebelumnya, perlu dijelaskan bahwa di bagian ini terjemahan LAI sedikit misleading; waktu dituliskan “diangkat ke tingkat yang ketiga dari surga”, seakan-akan surga ada tingkatannya, tetapi yang benar adalah kata yang dipakai bukan ‘surga’ melainkan ‘langit’. Sebenarnya ini cara yang sangat umum pada waktu itu bagi orang Yahudi waktu membicarakan bahwa langit pertama adalah udara, langit kedua adalah tempat bintang-bulan-matahari, dan langit ketiga adalah surga; jadi di bagian ini Paulus hanya mau mengatakan bahwa dia diangkat ke surga, bukan bahwa surga ada tingkatan-tingkatannya, dsb.; tidak ada bau-bau mistis sama sekali.
Tetapi yang membingungkan bukan soal itu. Yang membingungkan, dari konteks dan perkataannya, di satu sisi cukup jelas Paulus sedang membicarakan dirinya, namun di sisi lain, dengan gaya bahasanya yang aneh, seakan Paulus mengatakan bahwa itu bukan dirinya. Kita tahu orang yang dimaksud di bagian ini memang jelas adalah dia, tapi mengapa Paulus menuliskannya seperti itu, bolak-balik pakai kata ganti orang pertama dan orang ketiga, ‘aku’ dan ‘orang itu’? Dari bagian ini, mungkin pelajaran yang bisa kita tarik adalah bahwa pengalaman rohani yang Paulus miliki –pengalaman setaraf itu—merupakan satu pengalaman yang mengakibatkan penerimanya enggan untuk membicarakannya kepada orang lain. Bagi Paulus, pengalaman-pengalaman seperti ini, dalam situasi normal tidak akan pernah jadi bahan sharing ke orang lain.
Dalam situasi normal, pengalaman itu akan dia bawa sampai mati, tetapi kali ini situasinya begitu genting sehingga mau tidak mau dia harus menceritakannya. Mengapa demikian? Jelas bukan karena Paulus seorang yang introvert yang tidak suka membuka kehidupan privatnya, karena dari bagian lain kita melihat Paulus adakalanya secara jelas dan terbuka menceritakan pengalamannya yang lain, tanpa memakai bahasa-bahasa seperti tadi. Misalnya, pengalaman pertobatannya dalam perjalanan menuju Damaskus, dia bicarakan secara langsung bahkan di 2 surat (1 Korintus dan Galatia), dan secara tidak langsung melalui Lukas dalam Kisah Para Rasul. Di Kisah Para Rasul pun ada pengalaman-pengalaman lain yang luar biasa menakjubkan, yang sepertinya Paulus sama sekali tidak keberatan diketahui orang banyak, seperti ketika dia digigit ular beludak namun tidak mati, kapal karam tapi tidak binasa. Juga di Kis. 22, Paulus pernah mengatakan, “Sesudah aku kembali ke Yerusalem, ketika aku berdoa di Bait Allah, rohku diliputi oleh kuasa Ilahi, aku melihat Dia yang berkata kepadaku …”. Dalam Kis. 23 Lukas menuliskan: ‘Pada malam berikutnya, Tuhan datang berdiri di sisinya [di sisi Paulus], dan berkata,” Kuatkanlah hatimu …” ‘ –jadi jelas Paulus menceritakan kepada Lukas sehingga Lukas bisa menuliskannya.
Tetapi mengapa pengalaman yang ini, yang sepertinya jauh lebih menakjubkan dibandingkan semua pengalaman yang lain itu, malah dia simpan selama empat belas tahun sampai muncul situasi genting dalam gereja Korintus, yang membuat dia akhirnya merasa harus mengeluarkannya? Ini berarti, bagi Paulus pengalaman seperti ini memang tidak perlu diceritakan. Pengalaman seperti ini ketika Saudara mengalaminya, justru membuat Saudara jadi enggan menceritakannya –dalam situasi normal. Ini sangat berbeda dengan orang zaman sekarang; kalau hari ini kita mendapatkan pengalaman seperti Paulus, kita langsung menulis buku bestseller, deklarasi ke seluruh dunia. Tetapi yang bagian ini sampaikan kepada kita, bahwa tanda kesejatian pengalaman rohani seseorang adalah ketika pengalaman tersebut justru tidak ingin gembar-gembor, bahkan sebaliknya kita ingin menyimpannya erat-erat sampai mati, atau paling tidak sampai muncul situasi kritis yang membuat hal itu akhirnya harus keluar –seperti yang dialami Paulus.
Ini fenomena yang sulit diriset, karena ini fenomena “orang enggan untuk membicarakan”, sehingga bagaimana mungkin diriset. Tetapi kalau kita mau ambil satu bukti –kalau boleh dikatakan demikian—yaitu dari kehidupan Dr. David Martyn Lloyd-Jones. Beliau ini menulis banyak sekali buku, tetapi baru setelah dia meninggal dan biografinya terbit, kita tahu bahwa Dr. David Martyn Lloyd-Jones pernah punya pengalaman seperti Paulus. Dia menulis buku begitu banyak, tapi tidak menulis tentang yang itu. Kita baru tahu dari biografinya, karena penulisnya kenal dekat dengan dia dan berhasil mengorek tentang hal ini.
Saya bukan sedang mau mengatakan bahwa pengalaman rohani semuanya seperti itu, bahwa ketika orang mengalami suatu pengalaman rohani maka dia tidak bakal menceritakan kepada orang lain, tetapi saya rasa, semakin tinggi taraf pengalaman rohani yang terjadi pada seseorang, hal itu justru mengisi diri mereka dengan semacam keengganan yang kudus (holy reluctance). Bukan berarti semua orang yang menulis pengalaman rohaninya, pasti palsu –bisa saja memang riil—tetapi mungkin pengalaman rohani tersebut tarafnya tidak mendekati pengalaman yang Paulus alami; semakin dekat dengan taraf yang seperti itu, mungkin perlu derek kapal tanker untuk menarik keluar cerita-ceritanya. Mengapa?
Di ayat 6 Paulus memberikan alasannya: “Tetapi aku menahan diriku, supaya jangan ada orang yang menghitungkan kepadaku lebih dari pada yang mereka lihat padaku atau yang mereka dengar dari padaku.” Dengan kata lain, Paulus enggan membicarakan pengalamannya rohaninya ini, mungkin karena dia sadar bahwa begitu kita menceritakan pengalaman rohani pribadi kita, tidak bisa tidak, secara otomatis kita sedang mengklaim suatu otoritas. Itu sebabnya orang-orang yang sebentar-sebentar mengatakan “Tuhan berkata kepadaku”, dia serta-merta membunuh percakapan; Saudara jadi tidak ada ruang sama sekali untuk berbincang dengan dia dalam level setara. Waktu seorang mengatakan “Tuhan berkata kepadaku”, dia langsung menempatkan dirinya di level otoritas, dia berada di atas Saudara, Saudara tidak bisa berargumentasi lagi dengannya, Saudara hanya ada pilihan ikut dia atau menolak. Menceritakan pengalaman rohani seperti ini, mau tidak mau akan mengklaim otoritas yang untouchable, yang sulit untuk diuji/ dievaluasi, yang memaksa orang terkunci dalam pilihan hitam putih “kamu percaya saya, atau kamu menuduh saya berbohong”.
Tentu saja bukan maksud Paulus mengatakan adalah jahat mengklaim otoritas, tapi Paulus menghendaki otoritas tersebut datang dari apa yang orang lihat –yaitu tingkah laku dan karakternya—dan dari apa yang orang dengar –yaitu perkataannya. Dua hal ini –tingkah laku dan perkataan—merupakan dua hal yang sangat terbuka untuk diuji/ dievaluasi, untuk diselidiki/ dianalisa; sedangkan pengalaman tidak bisa seperti itu. Kalau Saudara bicara, lalu orang mendengar dan menilai perkataan itu sesuai Firman Tuhan, lalu dia ikut Saudara, itu baik, karena memang perkataan gampang untuk dievaluasi. Dan di situ otoritas Saudara tidak melekat pada diri, melainkan seperti sebuah mantel yang Saudara kenakan; begitu Saudara melenceng dari perkataan itu, sudah pasti Saudara tidak boleh menuntut orang tetap mengikuti Saudara. Sama halnya dengan tingkah laku. Kalau Saudara hidup berintegritas, hidup bermoral, hidup kudus, dan orang melihat tingkah laku Saudara sesuai dengan Firman Tuhan lalu mereka mengikut Saudara, itu baik. Itu otoritas yang sehat karena bisa diuji; begitu Saudara menyimpang, orang tidak mau ikut lagi. Tetapi pengalaman tidak bisa seperti itu; begitu kita menceritakan pengalaman, orang tinggal percaya atau tidak percaya. Itulah mungkin yang membuat Paulus tidak mau menceritakannya, karena hal itu tidak bisa diuji, dan dia tidak mau mengklaim otoritas yang lebih tinggi dengan cara seperti itu.
Betapa mengagumkan, seorang pendiri gereja yang begitu besar namun menaruh dirinya setara dengan orang Kristen lainnya. Seringkali orang Kristen tidak bisa merasa dirinya setara, entah dia merasa di atas Hamba Tuhan, atau di bawah Hamba Tuhan. Orang yang selalu bilang “hamba Tuhan bilang saja, saya ikut”, kalau dilihat dari bagian ini, bukanlah sistem yang Paulus lakukan. Paulus memberikan argumennya, “Apa yang saya katakan, yang saya perbuat, silakan evaluasi; saya tidak akan taruh pengalaman saya yang entah kamu percaya atau tidak, yang tidak bisa dievaluasi –setidaknya, dalam situasi normal tidak begitu caranya”. Bukan berarti pengalaman tidak ada artinya, tapi bagi Paulus, kalaupun ada pengalaman, biarlah pengalaman itu diresepsi orang secara tidak langsung; biarlah pengalaman itu mengubah diri saya, tapi pengalaman itu sendiri bukan untuk dikonsumsi orang, dalam situasi normal. Ini alasannya Paulus.
Kita bisa pikirkan satu alasan lain lagi tentang hal ini; kita mengambil analogi dari film. Dalam sebuah film, ketika seorang tokoh muncul untuk pertama kali, adegannya biasa dipakai untuk menggambarkan kepada penonton sifat tokoh tersebut –meski tidak selalu. Kalau seorang tokoh mau digambarkan sebagai orang bijaksana, adegannya misalnya seperti ini: semua orang sedang pusing tidak menemukan solusi suatu masalah, lalu tiba-tiba tokoh ini masuk dan memberikan solusi yang tidak terpikirkan orang lain. Kalau kepada kita mau diperlihatkan seorang tokoh yang licik, maka adegannya seperti ini: tokoh tersebut masuk, lalu kamera bergerak menyorot apa yang dia lakukan di bawah meja, yang di luar sudut pandang tokoh-tokoh lainnya. Bagaimana dengan memperkenalkan tokoh yang brengsek –yang biasanya tokoh pinggiran– secara singkat dan jelas? Mungkin Saudara pernah melihat adegan seperti ini: seorang tokoh masuk, petantang-petenteng, lalu mengatakan “Gua kemarin baru berhubungan intim dengan seorang wanita”, lalu dengan gembar-gembor menceritakan semua detail hubungan intimnya dengan wanita itu. Waktu kita nonton adegan itu, kita langsung merasa ini orang brengsek, karena adalah menjijikkan mengumbar-umbar intimasi dengan seseorang kepada orang-orang lain. Bahkan kalau kita mendengar seseorang dengan bangga mengumbar-umbar keintimannya dengan orang lain, kita tahu pasti, tidak pernah ada intimasi yang sejati dalam hubungan mereka.
Keintiman yang sejati ketika dua pribadi saling membuka diri, saling meresikokan diri, saling menjadi rentan satu terhadap yang lain, tentu secara common sense membuat mereka merasa hal itu sesuatu yang harus mereka proteksi, hanya milik berdua, bukan konsumsi orang lain. Sama seperti seorang wanita yang sedang di-PDKT pria yang dia suka, mulanya dia dengan excited menceritakan kepada sahabatnya; tetapi semakin dia intim dengan laki-laki ini, sahabatnya mungkin komplain karena ceritanya makin lama makin kering, tidak detail lagi, dan lama-lama tidak ada cerita sama sekali. Ini wajar, karena si wanita merasa intimasi itu hanya milik saya dan dia, bukan untuk dikasih lihat ke orang lain –dalam situasi normal. Mungkin saja ada situasi darurat –misalnya keperluan diagnosa medis, yang mengharuskan seseorang cerita kepada dokter detail kehidupan intimnya.
Itu sebabnya, orang yang mengalami suatu pengalaman intim dengan Tuhan seperti ini, justru membuat dirinya ada keengganan yang kudus untuk tidak menceritakan kepada orang lain, karena intimasi memang bukan untuk di-share ke mana-mana –dalam situasi normal. Paulus mengalami itu 14 tahun lalu, dan dia tidak menceritakannya kepada orang lain; dan sekarang pun dia kelihatan tidak sejahtera sekali menuliskan hal ini, terihat dari cara menulisnya yang aneh dan canggung tentang hal ini.
Sebelum melanjutkan, kita perlu perhatikan satu hal, bahwa cara Paulus mengemukakan pengalamannya ini, kelihatan dia sebisa mungkin meredam detailnya. Dia cuma bilang “Tuhan mengangkat aku”, tidak lebih dari itu. Dan satu hal lagi, dia mengatakan bahwa hal itu terjadi atas seorang Kristen –dalam bahasa aslinya yang lebih tepat yaitu “kepada seseorang di dalam Kristus”. Perhatikan, dia tidak mengatakan “ini terjadi kepada seorang rasul di antara rasul-rasul yang lain” –yang seperti ini justru mungkin kalimatnya para “super rasul” tadi. Jadi kembali terlihat adanya keengganan yang kudus (holy reluctance) di sini; dan mungkin justru itulah tanda kesejatian sebuah pengalaman surgawi.
Sekarang kita masuk ke dalam “pengalaman duri”-nya Paulus; dan sebenarnya ini lebih menakjubkan. Kalaupun kita merasa pengalaman surgawinya tadi menakjubkan, bagi Paulus tidak. Paulus pada dasarnya mengatakan tidak suka bermegah atas pengalaman yang itu, sedangkan pengalaman yang ini –pengalaman duri—adalah kemegahannya yang paling tinggi. Bahkan banyak komentator mengatakan, bagian tentang pengalaman duri ini merupakan klimaks, bukan saja dari pasal 12 tapi dari seluruh Surat 2 Korintus.
Kalau di bagian pertama tadi kita biasanya tertarik dengan istilah ‘tingkat yang ketiga dari sorga’ –padahal itu tidak penting—di bagian ini seringkali kita tertarik soal ‘duri dalam daging’ Paulus, soal apa itu durinya. Sekali lagi, hal itu tidak penting, karena Alkitab tidak memberitahu; hal yang Alkitab tidak beritahu berarti tidak penting. Dari metafornya, yaitu duri dalam daging, secara sederhana kita tahu maksudnya bukan pedang ke jantung atau peluru ke kepala, sehingga ini berarti satu kondisi yang tidak mengancam nyawa Paulus namun menyebalkan, menyakitkan, setiap kali gerak jadi sakit.
Pengalaman duri dan pengalaman surgawi itu, tidak dikontraskan oleh Paulus. Paulus pada dasarnya menggandengkan kedua pengalaman ini bersamaan. Paulus mengatakan bahwa pengalaman duri ini datang setelah pengalaman surgwai, dan pengalaman duri ini datang karena pengalaman surgawi. Paulus mengatakan, keduanya sama-sama pemberian dari Tuhan –meski memang dia mengatakan ‘utusan Iblis’—keduanya sama-sama pemberian (gift) dari Tuhan, bukan yang satu pemberian, dan yang lain kutukan. Satu berita yang kita tidak suka, bahwa dalam kehidupan Kristen, mungkin pengalaman kekuatan atau pengalaman surgawi itu bergandengan tangan dengan pengalaman kelemahan. Paulus menghadirkan keduanya dengan maksud bahwa kita justru baru menemukan poin yang indah, yang menakjubkan, ketika mendapatkannya bersamaan.
Apa yang kita lihat ketika kita mendampingkan keduanya bersamaan? Paulus mengatakan, pengalaman kelemahan ini adalah sesuatu yang datang setelah, dan karena pengalaman kekuatan. Itu berarti, mungkin dalam kehidupan Kristen, kekuatan dan kelemahan adalah seperti kanan-kiri-kanan-kiri langkah yang membuat kita maju. Ini bukan langkah maju lalu mundur, melainkan langkah kanan dan kiri yang membawa kita maju, buktinya Paulus mengakhiri dengan perkataan bahwa di dalam kelemahan ini kuasa Tuhan disempurnakan, kuasa Tuhan makin nyata, makin jelas. Setidaknya, kelemahan adalah bagian dari pola ini berjalan. Sama seperti suatu langkah tidak bisa terlalu jauh antara kiri dan kanan –nanti Saudara jatuh—demikian juga kemajuan datang dari kombinasi kiri-kanan, kiri-kanan. Dan kita tidak suka pola ini, karena bagi kita, pertumbuhan antitesis dengan kelemahan, pertumbuhan tidak bisa datang dari kelemahan, apalagi dari kelemahan dan kekuatan datang bergantian. Paulus mengatakan, model Kekristenan adalah kuasa Tuhan disempurnakan lewat kelemahan. Tapi bukan berarti Paulus masochist; dia tidak mengatakan “aku suka sekali dengan kelemahan, ayo Tuhan, pukul lagi”, dia tiga kali kepada Tuhan minta durinya dicabut. Lalu Tuhan menjawab: “Tidak, justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku lebih powerful, lebih sempurna, dalam hidupmu.”
Ini mungkin satu hal yang Saudara merasa sudah tahulah, bahwa kita lemah lalu Tuhan membawa kekuatan, dsb. Memang benar kita sudah tahu, tapi kita tidak menghidupinya. Satu contoh, mengenai kelemahan dalam berdoa. Kalau mau jujur, apa halangan kita untuk berdoa? Jawabannya: doa yang kering. Kita tidak senang berdoa karena kita tidak selalu mendapati doa yang enak, mengalir. Bahkan kita cukup yakin bahwa ketika kita berdoa pribadi, yang sendirian, yang orang lain tidak lihat, maka akan membuat doa kita 90% dapat dipastikan kering. Waktu kita merasa lemah dalam doa dan doa kita kering seperti ini, kita merasa ‘inilah saat Tuhan tidak bekerja dengan kuasa-Nya’. Menurut kita, kalau Tuhan bekerja dengan kuasa-Nya, saya harusnya merasa kuat. Itu sebabnya kita menghindari perasaan kelemahan ini, dan akhirnya kita tidak suka berdoa. Tetapi Paulus memberikan model yang lain, dia mengatakan, “Justru dalam kelemahanlah, kuasa Tuhan disempurnakan.”
Kita coba aplikasikan dalam hal doa tadi. Kelemahan dalam doa atau doa-doa yang kering, bukanlah langkah yang membuat Saudara menjauhi kehidupan doa yang sehat, melainkan adalah langkah menuju kehidupan doa yang sehat –karena Paulus mengatakan demikian. Maksudnya bagaimana? Kita coba pakai ilustrasi yang lain. Dalam bulan Desember lalu ada kelas pembinaan doktrin dasar bagi penatua awam selama 2 hari. Hari pertama yang mereka temui bukan pembinaan, tapi ujian; dan yang terjadi, tentu saja skor-nya anjlok semua. Tetapi akibatnya di hari kedua mereka banyak yang membawa laptop, mencatat, mendengarkan dengan seksama, dsb. Mengapa demikian? Karena sudah gagal, ada perasaan kelemahan, ada perasaan tidak berdaya. Kalau kita berada dalam posisi seperti itu, sebagai orang yang sudah lama, sudah berpengaruh, sudah kerja banyak, kadang-kadang kita cenderung jatuh. Itu sebabnya mungkin perlu ada pengalaman kelemahan, yang justru bukan menjauhkan dari pengetahuan yang sejati, bukan menjauhkan dari kerohanian yang sejati, melainkan malah menjadi langkah menuju kerohanian yang sejati. Jika demikian, bagaimana kalau dalam hal doa, kita juga melihatnya seperti ini: bahwa doa-doa kita yang kering, yang lemah itu, adalah langkah krusial yang Tuhan pakai untuk membuat kita bertumbuh menuju kehidupan rohani yang sehat.
Kita sudah terlalu terbiasa dengan kekosongan rohani; kita tidak sadar dan mungkin kita juga tidak mau mengakui hal itu. Waktu orang bilang “kerohanianmu tidak terlalu bagus”, mungkin kita mengangguk-angguk, tapi sebenarnya kita tidak menyadari seberapa dalamnya kita kosong, seberapa besarnya kita perlu diisi, sampai kita berlutut berdoa dan mendapati ‘koq doa saya kering banget, koq doa saya tidak sama dengan yang di Alkitab, jauh dari contoh-contoh di Alkitab yang doanya kelihatan begitu dekat dan powerful??’, lalu kita merasa doanya pasti salah dan cari cara doa yang lain. Tetapi itu salah.
Para penulis buku mengenai doa selalu mengatakan, ketika Saudara menghadapi doa yang kering, itu justru tanda untuk Saudara terus berdoa. Dari mana lagi Saudara mendapatkan pengalaman kelemahan seperti ini, kecuali lewat doa? Lewat doa –hal yang sederhana, rutin– mungkin setiap hari, bahkan setiap saat, Saudara bisa mengalami pengalaman kelemahan di hadapan Tuhan. Dan kalau Saudara mengalami itu secara konstan, Saudara akan lebih menyimak ketika mendengar Firman Tuhan, lebih mau baca buku, lebih mau mengerti Firman Tuhan. Itu langkah menuju kehidupan rohani yang sehat, bukan menjauhinya. Tentu saja bukan berarti doa membuat kita terus-menerus seperti ini; kelemahan tok juga tidak benar, harusnya kelemahan-kekuatan, kelemahan-kekuatan. Dan Tuhan sendiri akan memberi hal itu juga. Tetapi hampir pasti, waktu kita memulai kehidupan doa, mulainya lewat kelemahan. Hal ini bukan cuma dalam pertumbuhan rohani, tapi juga pertumbuhan fisik. Kalau seorang bayi tidak mau berjuang dalam perasaan kelemahan dan ketidakberdayaan ketika dia mengambil langkah pertamanya –yang lemah itu—dia tidak akan pernah melangkah dengan kuat.
Bukan cuma soal ujian penatua, soal doa, dan soal langkah seorang bayi; ada satu contoh lagi, yaitu paduan suara, yang prinsipnya relevan sekali bagi kita mengenai melayani. Dalam paduan suara, kita menerima semua orang dengan kapasitas seberapa pun. Tetapi, menerima semua orang dari nol, tidak berarti mereka boleh bertahan di level nol; kita mau mengangkat mereka bersama-sama, salah satu caranya dengan menuntut semua orang untuk belajar not balok –yang memang sulit. Lalu mulailah ada satu dua orang yang pindah ke not angka karena matanya kesulitan melihat garis-garis pada not balok; dan ini masih ditoleransi. Masalahnya ketika makin banyak orang yang pakai not angka, bahkan di kalangan orang muda yang tidak ada kendala mata. Di situ saya mengajak mereka berpikir, bahwa alasannya orang mau not angka, tentu karena not angka lebih gampang, sementara dengan not balok kita mengalami perasaan kelemahan, dan kita tidak suka itu, karena menurut kita, kalau Tuhan berkuasa/ berkarya pasti lewat kekuatan tok. Di sini kita bisa refleksi, alasannya kita memilih pelayanan ini dan bukan itu, adalah karena kita merasa ‘saya kuat’; saya melayani ketika saya kuat, Tuhan itu berkuasa/ berkarya dalam hidup saya ketika saya kuat. Tapi Paulus tidak seperti itu.
Memang bukan kelemahan tok, tetapi pelayanan Kekristenan bukanlah tanpa kelemahan, yaitu kelemahan yang dilihat sebagai pemberian Tuhan, sama seperti pengalaman surgawi. Bahkan Paulus mengatakan lebih suka dengan pemberian yang ini, lebih bermegah dengan kelemahan ini, karena dalam kelemahan inilah kuasa Kristus dinyatakan dengan lebih sempurna. Bagaimana dengan Saudara dan saya?
Ambil contoh dari diri saya sendiri. Saya belajar musik di tempat yang orang-orangnya memang bisa menyanyi, tapi sekarang harus mendidik orang dari nol –karena Injil tidak pilih orang karena dia ada apa-apanya, melainkan menerima dia apa adanya. Tapi di situ saya juga ada pengalaman kelemahan, saya bingung paduan suara ini harus diapain. Lalu bagaimana? Suruh orang lain saja yang mengajar? Di situ Saudara bisa mengatakan: “Kalau bukan kamu yang mengajar, mereka tidak akan bertumbuh –ditarik ke levelmu; dan kalau kamu membuang ini –karena tidak kuat, karena mengalami perasaan kelemahan– kamu sendiri tidak bertumbuh.” Kita gampang mengamini selama hal itu menyangkut orang lain, tapi kalau menyangkut diri kita sendiri, kita tidak bisa lihat. Ini satu hal yang kita benar-benar harus pikirkan sungguh-sungguh, kita perlu benar-benar melihat hal ini.
Kita benci sekali perasaan kelemahan, kita benci sekali perasaan tidak berdaya. Tetapi ternyata di dalam Alkitab, dalam konsep Paulus, kelemahan bukanlah suatu problem yang harus dicari solusinya, kelemahan justru adalah solusinya. Ini berita Injil. Kalau Tuhan bekerjanya lewat kekuatan, maka kita tidak ada harapan, karena siapa di antara Saudara dan saya yang kuat?? Kita semua lemah. Tetapi bahwa Allah bekerja dengan kuasa-Nya lewat kelemahan, itu kabar baik, karena berarti Saudara dan saya tetap bisa dididik dan dibentuk oleh-Nya, tetap bisa disempurnakan oleh Dia. Kalau Tuhan hanya mau menyempurnakan kuasa-Nya lewat kekuatan, berarti hanya segelintir dari kita yang bisa mendapatkan kuasa Tuhan.
Hanya orang-orang seperti Mozart yang bisa menulis partitur dari depan sampai belakang tanpa coretan sama sekali; sementara Beethoven partiturnya penuh dengan coretan, revisi, dsb. Tetapi ternyata dengan cara seperti ini, ada aspek-aspek musik Beethoven yang boleh dibilang lebih mulia daripada Mozart. Kita bisa melihat hal itu dalam diri orang lain, lalu mengapa kita tidak bisa melihatnya dalam diri kita sendiri?? Bukankah justru menakjubkan memiliki Allah yang tidak menaruh doa yang kering sebagai langkah yang membawa kita menjauhi kehidupan doa yang sehat, sebaliknya justru memakai doa yang kering sebagai langkah menuju doa yang sehat?? Bukankah menakjubkan bahwa Allah kita menaruh kelemahan dan perasaan tidak berdaya menghadapi sebuah paduan suara, sebagai langkah untuk menuju kepada kepemimpinan paduan suara yang sehat?? Allah mana lagi yang bekerja seperti ini??
Tetapi yang paling menakjubkan, Allah ini bukan cuma menerapkan hal ini bagi Saudara dan saya, Dia menerapkan untuk diri-Nya juga. Ini bukan cuma bicara soal pelayanan kita, ini bicara soal “pelayanan” Allah sendiri, yaitu kuat kuasa Allah yang datang lewat kelemahan Allah. Paulus berdoa tiga kali minta duri itu dicabut; Saudara ingat, siapa Orang lain itu, yang berdoa tiga kali minta cawan itu lalu? Paulus, doanya ditolak; Orang itu, doa-Nya juga ditolak. Tapi sama seperti Orang itu, Paulus juga menemukan, bahwa pada akhirnya, kelemahannya tidak berujung pada kelemahan, melainkan berujung pada kuasa Tuhan yang sempurna; sama seperti Yesus Kristus, yang lewat kelemahan-Nya muncul kuasa kebangkitan, lewat kehinaan-Nya muncul kemuliaan-Nya, lewat kematian-Nya muncul kehidupan, demi Saudara dan saya.
Inilah sebabnya Paulus bukan memilih pengalaman surga melainkan pengalaman duri sebagai kemegahannya yang puncak. Dan inilah bukti yang Paulus berikan kepada jemaat Korintus; alasannya bahwa dia rasul yang sejati, orang Kristen yang sejati, adalah karena dia membawa pola salib itu dalam hidupnya. Kalau Saudara membaca Surat 2 Korintus, Saudara akan menemukan pola ini berulang kali muncul; ini adalah tema utamanya.
“Sebab kami mau, Saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami. Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati” (2 Kor. 1: 8-9) –kelemahan-kekuatan.
“Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami. Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu” (2 Kor. 4: 7-12) – kelemahan-kekuatan, mati-hidup.
“Sebaliknya, dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu: dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran, dalam menanggung dera, dalam penjara dan kerusuhan, dalam berjerih payah, dalam berjaga-jaga dan berpuasa; dalam kemurnian hati, pengetahuan, kesabaran, dan kemurahan hati; dalam Roh Kudus dan kasih yang tidak munafik; dalam pemberitaan kebenaran dan kekuasaan Allah; dengan menggunakan senjata-senjata keadilan untuk menyerang ataupun untuk membela ketika dihormati dan ketika dihina; ketika diumpat atau ketika dipuji; ketika dianggap sebagai penipu, namun dipercayai, sebagai orang yang tidak dikenal, namun terkenal; sebagai orang yang nyaris mati, dan sungguh kami hidup; sebagai orang yang dihajar, namun tidak mati; sebagai orang berdukacita, namun senantiasa bersukacita; sebagai orang miskin, namun memperkaya banyak orang; sebagai orang tak bermilik, sekalipun kami memiliki segala sesuatu” (2 Kor. 6: 4-10).
Dan itu berklimaks di 2 Kor. 12: 9; Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu , sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Kata ‘menaungi’ di sini dari istilah episkénoó yang berarti bukan sekedar melayang-layang di atas, melainkan mendirikan kemah-Nya di sini. Ini istilah yang sama dengan yang dipakai dalam Yoh. 1: 14, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam – episkénoó, mendirikan kemah-Nya– di antara kita."
Dengan siapa Dia mendirikan tenda-Nya? Bukan dengan mereka yang senantiasa kuat, bukan dengan mereka yang pelayanannya minimal kelemahan. Dia mendirikan tenda-Nya dengan mereka yang lemah. Mengapa? Karena di sanalah Saudara menemukan Dia. Dia yang kuat telah rela melemahkan diri-Nya, supaya lewat kelemahan-Nya kuasa Allah dinyatakan dengan sempurna bagi Saudara dan saya.
Saudara mau menemui Dia? Saudara menemui Dia di dalam kelemahan Saudara. Tapi pertanyaannya, di mana Dia akan menemui Saudara?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading