Hari ini kita membaca satu bagian yang cukup panjang, dari pasal 2 sampai 3, dan di sini ada beberapa kisah. Kisah pertama mengenai Hofni dan Pinehas, anak-anak Eli (11-18); ‘Adapun Samuel menjadi pelayan di hadapan TUHAN; ia masih anak-anak, yang tubuhnya berlilitkan baju efod dari kain lenan’ (ayat 18). Kisah kedua mengenai kegagalan Eli dalam mendidik anak-anaknya (ayat 19-26); ‘Tetapi Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia’ (ayat 26). Kisah yang ketiga adalah ucapan kutuk terhadap keluarga Eli (ayat 27-36); “Sesungguhnya akan datang waktunya, bahwa Aku akan mematahkan tangan kekuatanmu dan tangan kekuatan kaummu, sehingga tidak ada seorang kakek dalam keluargamu” (ayat 31).Selanjutnya kita membaca pasal 3: 1-21.
Ini adalah kotbah ke-9 mengenai topik “Bertemu dengan Tuhan”; hari ini kita membahas tentang Samuel. Kita melihat pertemuan Samuel dengan Tuhan ini di pasal 3, sebagaimana dikatakan di ayat 10: Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel! " Dan seperti biasanya, waktu kita mau membahas hal apa yang jadi klimaksnya, kita perlu mempelajari lebih dulu hal-hal yang datang sebelumnya. Ini perlu, karena waktu membahas kisah-kisah di pasal 2 dan 3, seringkali kita membahasnya secara model saat teduh, yaitu kita membahasnya sendiri-sendiri, seakan ceritanya terputus dan tidak terlalu nyambung satu sama lain; pasal 2 mengenai dosanya Hofni dan Pinehas, juga Eli dan kutukan Tuhan terhadapnya, lalu pasal 3 mengenai Samuel mendapat penglihatan dari Tuhan. Jadi pasal 2 sebagai satu renungan tersendiri yang ujung-ujungnya supaya kita sebagai orangtua tidak seperti Eli, dan bagian berikutnya mengenai Samuel bertemu dengan Tuhan lalu ujung-ujungnya kita membicarakan mengenai bagaimana diri kita terhadap Firman Tuhan dsb. Tetapi kalau kita mencermati Alkitab, kita melihat bahwa tujuan penulis adalah agar kedua pasal ini dibaca sebagai satu kisah; dan kalau kita melakukannya, kita akan mendapatkan makna yang jauh lebih dalam, jauh lebih sesuai dengan yang Alkitab maksudkan.
Alasannya saya mengatakan bahwa penulis Alkitab memaparkan 2 kisah ini sebagai satu cerita yang sama, adalah karena adanya benang merah yang terus-menerus muncul menyatukan kedua kisah ini. Benang merah yang pertama, mengenai pertumbuhan Samuel. Di ayat 11 pasal 2, Samuel pertama kali disebut sebagai seorang anak, bahasa Ibraninya na’ar, lalu di pasal 3:20 dia dikatakan sebagai navi; ini permainan bahasa Ibrani yang jelas sekali bagi pembaca aslinya, yaitu dari na’ar sampai menjadi navi (nabi). Bukan cuma bingkai luarnya ini, di tengah-tengahnya (pasal 2: 11, 21, 26 dan 3:19) terus-menerus muncul kalimat-kalimat yang seakan meng-up date pertumbuhan Samuel, mulai sejak dia seorang anak kecil yang menjadi pelayan Tuhan di bawah pengawasan Imam Eli (2:11), lalu dia makin besar (2:21), lalu bukan saja makin besar tapi juga makin disukai di hadapan TUHAN dan manusia (2:26), dan selanjutnya dikatakan sekali lagi di pasal 3:19 ‘Samuel makin besar dan TUHAN menyertai dia dan tidak ada satu pun dari firman-Nya itu yang dibiarkan-Nya gugur’ . Semua itu jelas menunjukkan satu perkembangan seperti garis dari bawah naik ke atas pada diri Samuel.
Bukan cuma garis yang dari bawah naik ke atas, pada cerita ini juga terlihat garis yang dari atas turun ke bawah, yaitu mengenai kerusakan dan kehancuran serta vonis terakhir bagi keluarga Eli. Di pasal yang sebelumnya, kita melihat tanda-tanda bahwa Imam Eli ini bukan seorang imam yang beres-beres amat, karena waktu Hana berdoa minta anak kepada TUHAN, malah dia disangka mabuk oleh Imam Eli ini. Di pasal ini kita melihat yang lebih lanjut lagi, ada keberdosaan anak-anaknya, ada kegagalan dia sebagai orangtua, dan selanjutnya vonis dari nabi Allah mengenai keluarganya, yang bahkan ada ucapan kutuk.
Ketika kita melihat adanya garis ke atas dan garis ke bawah ini, kita menyadari bahwa cerita dalam dua pasal ini memang dimaksudkan untuk kita ambil bersamaan, bukan masing-masing berdiri sendiri. Pembahasan di sini bukan bertujuan membahas dosanya Hofni dan Pinehas serta keluarganya Eli tok, atau juga membahas mengenai Samuel tok, melainkan sebagaimana penulis Alkitab mau menyajikan satu kontras antara keduanya. Kemudian kita akan membicarakan hal apa yang bisa kita pelajari dari cerita ini. Struktur pembahasan kita akan dibagi dalam 3 hal besar: pertama, kontras antara anak-anak Eli dengan Samuel; kedua, kontras antara keluarga Eli dengan keluarganya Samuel; ketiga, kontras antara Eli sendiri dengan Samuel sendiri. Selanjutnya kita akan membahas 3 aplikasi dari bagian ini.
Yang pertama, kontras antara anak-anak Eli dengan Samuel. Kita tidak membahas deskripsi dosa-dosa anak-anak Eli, melainkan kita mau melihat dengan istilah apa Alkitab menyebut mengenai mereka. Di ayat 12 terjemahan LAI menyebut anak-anak Eli sebagai ‘orang-orang dursila’, tetapi bahasa aslinya memakai istilah yang sangat spesifik yaitu ‘putra-putra Belial’. Istilah ‘Belial’ dalam bahasa Ibrani merupakan satu payung besar istilah mengenai kedurjanaan/kedursilaan (wickedness). Dipakainya istilah ini sudah lumayan mencengangkan, tetapi tujuannya bukan sekedar menyatakan dosanya mereka, tapi juga untuk membandingkannya dengan Samuel. Kalau kembali ke cerita sebelumnya, waktu Hana yang sedang berdoa itu disangka mabuk oleh Imam Eli, Hana kemudian berusaha membela diri, dan dalam bahasa aslinya dia mengatakan: “Tuanku, jangan anggap hambamu ini seorang putri Belial”; tapi di bagian pasal 2 ini Alkitab seakan menyatakan bahwa yang sebenarnya anak Belial adalah anak-anak Eli sendiri, bukan Hana. Ini satu hal yang langsung terlihat kontrasnya.
Selanjutnya, Alkitab menafsirkan maksud dari istilah ini, alasannya mereka disebut anak-anak Belial yaitu mereka ‘tidak mengenal Allah’. Ini satu tusukan bagi seorang imam TUHAN; seperti mengatakan ‘pilot yang tidak mengenal kokpit’, di sini ‘imam Allah yang tidak mengenal Allah’. Namun masih ada makna yang lebih dalam lagi, karena kalimat “aku tidak mengenal Allah” itu pernah dikatakan oleh Firaun dalam zaman Musa. Ketika itu Musa mengatakan kepada Firaun, “Biarkanlah bangsaku pergi supaya mereka bisa menyembah Allah Yahweh”, lalu Firaun mengatakan, “Aku tidak kenal dewa yang namanya Yahweh itu”; dan lanjutan ceritanya adalah ketika Allah Yahweh “memperkenalkan” diri-Nya kepada Firaun. Jadi, tema ‘mengenal Allah’ ini luar biasa penting/serius, dan istilah tersebut sekarang di-atributkan kepada anak-anak Hofni dan Pinehas. Selanjutnya, kita sampai pada kalimat kontrasnya di ayat 17-18: Dengan demikian sangat besarlah dosa kedua orang muda itu di hadapan TUHAN, sebab mereka memandang rendah korban untuk TUHAN. Adapun Samuel menjadi pelayan di hadapan TUHAN. Di sini sengaja dipakai istilah ‘pelayan’, karena Samuel inilah yang benar-benar pelayan, sedangkan anak-anak Eli hanya namanya saja pelayan.
Bukan cuma kontras antara anak-anak Eli dengan Samuel, keluarga Eli juga dikontraskan dengan keluarga dari Samuel. Ini kontras yang kedua. Dalam hal ini, di ayat 19 ada catatan mengenai Hana; dikatakan bahwa setelah melahirkan Samuel, Hana tetap menjalankan kebiasaannya setiap tahun, berangkat ke Yerusalem bersama Elkana, suaminya, untuk mempersembahkan korban. Waktu Hana datang, dia mendapat ucapan berkat dari Eli, dan juga benar-benar mendapatkan berkat dari Allah, yaitu setelah mengandung dan melahirkan Samuel, dia mendapat 5 anak lagi, 3 laki-laki dan 2 perempuan. Namun bukan berarti Hana lalu melupakan Samuel; di bagian ini ada catatan yang indah, ketika setiap tahun Hana pergi ke Yerusalem, dia membawa satu jubah kecil yang dijahitnya sendiri untuk Samuel. Penulis kitab Samuel bukan kebetulan mencatat hal ini, karena di pasal-pasal berikutnya Saudara lihat Samuel tidak pernah jauh dari jubahnya. Jubah seakan satu barang yang identik dengan dirinya –Samuel dengan jubahnya. Kita ingat ada satu barang yang identik dengan Saul, yang dibawanya ke mana pun dia pergi, yaitu tombak –senjatanya. Tombak adalah barang yang mengidentifikasi Saul, sedangkan barang yang mengidentifikasi Samuel adalah jubahnya. Begitu identiknya jubah dengan Samuel, sampai-sampai ketika Saul memanggil arwahnya lewat tukang tenung lalu tukang tenung itu mengatakan “ada seorang tua yang berselubungkan jubah”, Saul langsung mengatakan “itu Samuel”. Ini satu gaya bahasa yang menyatakan bagaimana jubah yang setiap tahun Hana jahit bagi Samuel untuk menyatakan cintanya pada anak itu –meski pada waktu ini yang dipakai mungkin bukan lagi jubah yang dijahit Hana karena Hana tentunya sudah lama meninggal—akhirnya menjadi identitas dari Samuel.
Catatan seperti ini diberikan bukan supaya kita mengetahui data-data mengenai keluarganya Samuel semata, melainkan –sama seperti di bagian yang pertama– untuk memperlihatkan kontrasnya dengan keluarga Eli dalam catatan berikutnya. Di bagian berikutnya ini, Eli ternyata tahu mengenai kebejatan anak-anaknya. Eli pernah menegur dan menjelaskan mereka, tetapi anak-anaknya tidak mau mendengarkan dia. Ini gambaran keluarga yang sangat berbeda. Dan ini juga wajar karena dicatat Alkitab bahwa Eli baru melakukan ini ketika ia ‘telah sangat tua’ (2: 22). Terlambat. Berbeda sekali dengan keluarganya Samuel yang bahkan sebelum Samuel lahir, ibunya harus bergumul hebat dengan Tuhan. Ini gambaran yang sangat kontras; tetapi kontras yang paling dahsyat ada di bagian selanjutnya, ketika seorang nabi Allah datang mengumumkan kutukan atas keluarga Eli. Kembali kepada keluarganya Samuel, Hana dan Elkana datang ke Yerusalem, dan mereka mendapatkan berkat demi berkat, dari Eli, dan juga dari Allah. Sedangkan keluarga Eli sendiri mendapatkan kutukan dan pengucilan.
Dosa Eli sangat jelas di-identfikasi dalam ayat 29, yaitu dia lebih menghormati anak-anaknya daripada menghormati Tuhan. Ini tentu saja melanggar hukum pertama. Dan penghukumannya juga sangat mengerikan. Kita tidak akan membahas semuanya, tapi ada satu contoh yang memperlihatkan bagaimana Alkitab menggambarkan bahwa hal ini ada lapisan-lapisannya, bukan cuma yang dipermukaan tapi juga ada nuansa yang lebih di dalam; dikatakan di ayat 31, dalam keluarga Eli tidak akan ada seorang kakek untuk selamanya. Apa maksudnya? Implikasi yang lebih jelas, bahwa semua keluarga Eli akan mati sebelum waktunya. Tapi ada arti yang lebih dalam kalau Saudara mengingat zaman itu masayarakatnya sangat tradisional, dan dalam masyarakat seperti itu, orang yang semakin tua, dia semakin ada power. Dengan demikian, terjemahan yang mungkin lebih tepat tentang hal ini, bahwa dalam keluarga Eli tidak akan ada seorang penatua (elder) untuk selamanya. Jadi kutukannya bukan cuma dalam level jasmani –mati muda—melainkan juga bahwa keluarga mereka tidak lagi mempunyai andil dalam menentukan arah bangsa Israel. Ini satu kutukan yang berlapis-lapis dan mengerikan sekali.
Sebelum melanjutkan ke kontras yang ketiga, saya ingin menyampaikan satu hal di sini yang mungkin Saudara bisa ada sedikit kesulitan, yaitu mengenai catatan di ayat 25. Dicatat bahwa anak-anak Eli tidak mau mendengarkan nasehat Eli dan ada tangan Tuhan di balik hal tersebut: Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka. Di sini ada satu kesulitan yang perlu kita selesaikan supaya Saudara tidak bertanya-tanya ‘mengapa koq Tuhan bisa berperan aktif dalam dosa seseorang; lalu kalau Tuhan ada peran aktif seperti ini, bagaimana mungkin kita bisa menuntut pertanggungjawaban mereka, yang bahkan sampai dihukum sedemikian berat’. Di sini saya mau mengingatkan satu bagian yang mirip, yang pernah kita bahas, yaitu waktu Saul dikirim roh jahat oleh Tuhan, Abimelekh dalam kitab Hakim-hakim yang juga dikirim roh jahat dari Tuhan, dan tentang air bah. Apa yang mirip dari 4 kisah ini? Yaitu setiap kali kisahnya mengatakan Tuhan mengirim roh jahat, Tuhan mengeraskan hati sehingga mereka tidak mau mendengar, itu bukanlah hal yang membuat mereka berdosa pertama kalinya. Tuhan tidak merangsang orang untuk berdosa, tapi Tuhan meresponi dosa orang. Saul sudah jahat, sudah menolak Tuhan sebelum Tuhan mengirimkan roh jahat. Abimelekh sudah busuk di hadapan Tuhan sebelum Dia mengirimkan roh jahat kepadanya. Sama juga halnya dengan Hofni dan Pinehas, mereka sudah jahat sebelum mereka dikeraskan hatinya oleh Tuhan. Jadi apa artinya ketika Tuhan mengirimkan roh jahat kepada para penjahat? Ini adalah keadilan. Dalam cerita air bah, bahasa Ibraninya sangat jelas bahwa Allah mengatakan seperti ini: “Bumi sudah rusak gara-gara manusia yang rusak, dan semua pekerjaan manusia itu merusak; maka Aku akan mendatangkan air bah, Aku akan merusak para perusak” (“I will destroy the destroyers”). Inilah keadilan.
Kita seringkali salah tangkap waktu melihat bagian-bagian Alkitab yang seperti ini. Kalau Saudara datang kepada hakim untuk menuntut seseorang yang menyakiti diri Saudara atau anggota keluarga Saudara, lalu Hakim mengatakan, “Ya, sudahlah, kita harus mengasihi, jadi kita lepaskan saja dia, tidak usah dihukum”, apakah Saudara akan merasa itu bagus dan memang harusnya begitu?? Sebaliknya kalau Hakim mengatakan, “Hukum dia! karena dia merusak, maka dia sekarang akan dirusak”, apakah Saudara akan mengatakan, “Jangan begitu Pak Hakim, itu tidak baik” ?? Tentu tidak, karena itulah keadilan. Kalau Tuhan mau memberikan anugerah bagi para perusak, tentu saja boleh; tetapi Saudara jangan lupa bahwa semua dari kita –semua dari mereka—adalah orang-orang yang sudah rusak duluan lalu Tuhan membalas kerusakan tersebut dengan membawa kerusakan kepada mereka. Saudara jangan pikir orang dikasih roh jahat lalu jadi super power –sama sekali bukan– orang yang dikasih roh jahat, dia betapa rusaknya. Inilah justru suatu keadilan. Kita perlu membereskan cara kita memandang hal ini.
Sekarang kita masuk ke pembahasan kontras yang ketiga, di pasal 3. Ini kontras yang klimaks. Bukan cuma kontras antara anak-anak Eli dengan Samuel, bukan cuma antara keluarga Eli versus keluarga Samuel, ini kontras antara Eli sendiri dengan Samuel sendiri.
Perhatikan gambaran yang membuka bagian ini, yaitu mengenai keadaan zaman itu (ayat 1-2). Dikatakan di ayat 1: Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatanpun tidak sering; setelah itu ayat 2 mengatakan bahwa Imam Eli sendiri matanya sudah kabur. Ini bukan satu kalimat yang memaparkan data faktual mengenai kesehatannya Eli, melainkan seperti mau mengatakan apa sebabnya Firman Tuhan atau penglihatan jarang-jarang, yaitu karena yang seharusnya melihat, dia matanya kabur. Ini bukan sekedar bicara soal kondisi jasmaniah, melainkan mau menyatakan hal yang lebih dalam, yang lebih spiritual, yaitu bahwa kepekaan rohani Eli sudah begitu kabur.
Di ayat 3, Saudara lihat kontrasnya dengan Samuel. Kalimatnya agak aneh; ada catatan mengenai lampu rumah Allah belum padam, lalu Samuel yang tidur di bait suci TUHAN. Maksudnya apa? Sekali lagi, mungkin kita bukan perlu membaca bagian ini sebagai data-data geografis faktual dan semacamnya, melainkan bahwa ada satu makna yang lebih dalam, yaitu lampu rumah Allah yang belum padam dikontraskan dengan keadaan Israel yang gelap gulita, yang tanpa penglihatan, yang matanya kabur. Ini seakan-akan menyatakan bahwa lampu rumah Allah yang belum padam itu bukan cuma melambangkan ada lampu, tapi juga melambangkan kehadiran Samuel di tengah-tengah rumah Allah. Dan kalau Saudara perhatikan tempat Samuel tidur, dikatakan bahwa Samuel tidur di tempat tabut Allah; sebaliknya di mana Eli tidur? Dikatakan di ayat 2, ‘Eli berbaring di tempat tidur-nya’. Eli berbaring ditempatnya sendiri, Samuel tidur di dekat tabut Tuhan. Ini gaya bahasa yang menarik, seakan-akan penulisnya mau mengatakan bahwa di antara semua orang Israel pada waktu itu, tidak ada yang lebih dekat dengan takhta Tuhan dibandingkan Samuel, tidak juga Eli. Ini gambaran kontras.
Berikutnya, panggilan Tuhan datang 3 kali kepada Samuel, dan Samuel mengira Eli-lah yang memanggil. Samuel mendatangi Eli; dan dikatakan di ayat 7, alasannya Samuel tidak tahu bahwa yang memanggil itu Tuhan karena memang Samuel belum mengenal Tuhan, Firman Tuhan belum pernah dinyatakan kepadanya. Tapi yang ironis, Eli pun 3 kali tidak tahu bahwa itu Firman Tuhan. Tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa kaburnya penglihatan Eli bukan cuma menunjukkan soal keadaan mata jasmaninya tapi juga mata rohaninya, karena Eli ternyata tidak beda dengan orang yang belum pernah mengenal Firman Tuhan. Perlu 3 kali untuk Eli menyadari bahwa itu Tuhan yang berfirman. Ini mengkonfirmasi bukan cuma kebutaan Eli tapi juga betapa jarangnya Firman Tuhan benar-benar datang pada waktu itu, sampai-sampai di rumah Tuhan pun imam Tuhan tidak menyangka Tuhan akan berbicara! Ironis. Mengerikan sekali kondisi seperti ini.
Setelah 3 kali, Eli menyadari kemungkinan itu adalah Tuhan, lalu dia mengajari Samuel bagaimana meresponi Tuhan. Di kali yang keempat, Firman Tuhan datang kepada Samuel, dan memberikan dia tugas kenabian yang pertama, yang mungkin juga paling sulit, karena isinya ucapan kutuk. Salah satunya bahwa keluarga Eli, yang tadinya Allah telah bersumpah untuk menjadikan mereka imam untuk selama-lamanya, sekarang dosa mereka tidak akan dihapuskan untuk selama-lamanya. Ini kalimat yang luar biasa mengerikan.
Selanjutnya Samuel pagi-pagi bangun, membuka pintu rumah Tuhan; dan di sini kita melihat klimaks dari kontras antara Eli dengan Samuel. Tadinya Eli yang mengajarkan kepada Samuel bagaimana meresponi Tuhan, tetapi sekarang Eli-lah yang harus bertanya “apa Firman Tuhan” kepada Samuel (ayat 17). Ini gambaran yang menyatakan keadaan telah berbalik, master telah menjadi student, student telah menjadi master.
Waktu dikatakan Samuel pagi-pagi bangun lalu membuka pintu rumah Tuhan, memang bisa jadi ini deskripsi faktual, bahwa tugas Samuel sebagai pelayan rumah Tuhan tentunya pagi-pagi membuka pintu rumah Tuhan, tetapi mungkin ada makna simboliknya, bahwa inilah satu era yang baru, lewat Samuel-lah sekarang orang boleh datang masuk ke hadirat Tuhan. Lewat Samuel, orang bisa mendapatkan akses kepada Tuhan; akses melalui Eli sudah tertutup. Yang tadinya membimbing Samuel cara meresponi Tuhan, sekarang bergantung kepada Samuel untuk mengetahui Firman Tuhan.
Dalam kisah berikutnya, Samuel urung memberitahukan Firman Tuhan tersebut, sampai Eli harus mengancam Samuel supaya dia memberitahukannya. Eli mengatakan kalimat yang mirip perkataan TUHAN kepada Yehezkiel: “Kalau Aku mengatakan kepada seseorang ‘kamu akan mati karena dosa-dosamu’, dan kamu tidak memperingatkan dia, maka dia tetap akan mati karena dosa-dosanya, tapi darahnya akan Kutanggungkan kepadamu”. Kalimat Eli kepada Samuel: “Jangan tutup-tutupi, berikan semua Firman itu kepada saya”. Di bagian ini, ada komentator yang mengatakan mungkin ini gambaran yang sangat ideal dalam hubungan seorang nabi dengan jemaatnya, karena yang menuntut Firman bukan si nabi melainkan jemaatnya; sedangkan si nabi malah agak enggan memberikan Firman itu karena mempertimbangkan perasaan jemaatnya. Mengenai hal ini, saya rasa bahwa dalam pemberitaan Firman Tuhan, ketaatan dituntut dari kedua belah pihak; dan betapa pun keras Firman itu sehingga si nabi agak enggan memberikannya, jemaat menerimanya dalam ketaatan. Eli menerima perkataan Firman tersebut meskipun keras sekali baginya; dia mengatakan (ayat 18): "Dia Allah, biarlah Dia melakukan apa yang Dia mau." Ada ketaatan.
Kisahnya ditutup dengan epilog yang merupakan kalimat final dari pertumbuhan Samuel; ayat 19: Dan Samuel makin besar dan TUHAN menyertai dia. Memang benar Tuhan menyertai dia, sejak sebelum dia lahir, lalu pertumbuhannya, pelayanannya, dan sekarang inaugurasinya sebagai navi; dari na’ar sampai navi, ada tangan Tuhan di balik itu. Di ayat 20 dikatakan bahwa Samuel dikenal sebagai nabi TUHAN dari Dan sampai Bersyeba –ini seperti dari Sabang sampai Merauke kalau dalam konteks negara kita, maksudnya menujukkan keseluruhan negara Israel. Sebelum Samuel, nabi yang berskala nasional seperti ini adalah Musa, dan sesudah Musa tidak ada lagi. Ada banyak hakim-hakim, tapi tidak seorang pun yang punya otoritas spiritual berskala nasional seperti ini. Ini satu deklarasi yang luar biasa.
Ayat 21 –yang mengakhiri pasal ini– kontras dengan ayat pertama; ayat pertama mengatakan bahwa Firman Tuhan jarang-jarang pada waktu itu, tetapi di ayat terakhir Allah secara regular menampakkan diri-Nya di Silo lewat Samuel, lewat Firman-Nya.
Itulah 3 kontras yang ada; apa maknanya buat kita? Yang pertama, membongkar selective perception kita. Persepsi selektif artinya kita tidak menangkap semua hal yang di depan mata kita, kita tidak mendengar semua yang kita dengar; kita memilih untuk melihat apa yang kita rasa penting, dan membuang apa yang kita rasa tidak penting. Semua orang melakukan ini –dan tidak ada masalah. Tapi pertanyaannya, hal apakah yang kita anggap penting, dan hal apa yang kita anggap tidak penting? Apa yang kita anggap sebagai fokus/sentral, dan apa yang kita anggap sebagai pinggiran/background?
Di bagian ini, kisah Hofni dan Pinehas mungkin lebih sering dibahas dibandingkan Surat 1, 2, 3 Yohanes misalnya; tapi pertanyaannya, bagaimana kita membahasnya? Waktu membaca pasal 2, saya pikir ini mengenai Hofni dan Pinehas, mengenai Eli, mengenai dosa-dosa mereka, dan kutukan Tuhan kepada mereka –dan memang itulah yang seringkali diangkat, jadi fokus/sentral, dalam pembahasan bagian ini. Dan ini bukan tanpa alasan juga, karena mereka dibahas paling panjang, lagipula ini hot topic, mengenai dosa orang! Jadi kita pikir itulah fokusnya, lalu selain itu ada updates kecil-kecil dalam kalimat “adapun Samuel … “, “tetapi Samuel … “, seakan cuma mau bilang “Eh, btw, Samuel begini begitu”. Tetapi, setelah kita membahas pasal 2 dan 3 bersamaan, kita lihat bahwa ternyata alasannya ada kisah mengenai Hofni dan Pinehas, mengenai kegagalan Eli, mengenai kutukan yang jatuh atas keluarga mereka, tujuannya bukan untuk menaruh mereka sebagai fokus, melainkan sebagai kontras dari cerita yang lain, yaitu cerita mengenai Samuel.
Ternyata, bagi penulis Alkitab yang jadi fokus bukanlah yang tadinya kita anggap sebagai fokus; yang jadi fokus adalah Allah sedang bekerja di background, jauh dari action-nya. Kita mengira action-nya adalah pada Hofni dan Pinehas, sedangkan Samuel cuma background, tapi ternyata adanya pembicaraan mengenai mereka adalah supaya kisah Samuel bisa berjalan. Dengan kata lain, Samuel bukan background-nya, justru semua yang lainlah background dari kisah Samuel. Ini membongkar kita, karena mungkin ketika kita berjalan di dalam dunia ini, yang selalu mendapat posisi disorot spotlight, yang selalu mendapat porsi sentral dalam hidup kita adalah problem; yang selalu kita bicarakan, yang selalu mendapat perhatian khusus, yang fokus/sentral dalam hidup kita adalah problem. Ini ‘ga benar, itu ngawur, harusnya tidak kayak begini, dan sebagainya. Oleh sebab itu, makna bagian ini adalah untuk menyatakan kepada kita bahwa yang namanya umat Allah, berarti punya kapasitas untuk melihat apa yang di background justru sebagai fokus; dan melihat apa yang dunia anggap sebagai fokus, justru sebagai background.
Bagi orang-orang Kristen yang dalam penderitaan/kesulitan,yang terutama bukan bertanya mengenai bagaimana problem saya ini dsb., melainkan bertanya “Tuhan lagi ngapain?” Bahkan mungkin bukan bertanya, tetapi menyatakan bahwa Tuhan selalu bekerja; dan Tuhan bekerjanya di background, jauh dari action. Kisah di bagian ini adalah krisis spiritual yang mengerikan di Israel, krisis di dalam core (inti) kepemimpinan agama Israel. Dan Tuhan tidak membereskan itu. Tuhan bekerja, tapi bukan di situ. Tuhan bekerja di background, di pinggiran. Ini satu hal yang sudah pernah dibicarakan dalam doa Hana di pasal sebelumnya; doanya bukan cuma untuk Tuhan bekerja tapi juga tentang cara Tuhan bekerja. Tuhan bekerja di background, bukan di tempat yang orang dunia anggap sebagai pusat action. Hana mengatakan bahwa apa yang kuat, ternyata justru kelemahan, dan apa yang lemah, ternyata justru kekuatan. Ini hal yang menakjubkan.
Dalam Kekristenan, kadang-kadang ada orang yang sedikit mempertanyakan keilahian Roh Kudus; tahukah Saudara, mengapa? Karena Allah Roh Kudus bekerjanya di background. Allah Bapa dan Allah Anak jelas Allah, karena Mereka berada di spotlight, Pemeran Utamanya. Dengan kita belajar kisah ini, fakta bahwa Allah Roh Kudus bekerjanya di background ini mungkin justru bukti yang paling kuat akan keilahian-Nya. J. I. Packer pernah menggambarkan Allah Roh Kudus sebagai lampu spotlight. Saudara tidak terlalu peduli dengan lampunya, tidak pernah lampunya yang penting, lampu penting karena ada yang diterangi oleh lampu. Lampu bekerja sebagai background, dia menyoroti sesuatu yang lain, tapi efeknya luar biasa; kalau kita matikan lampu, tidak ada yang bisa dilihat, tapi kita tidak terlalu peduli dengan lampunya –inilah pekerjaan menjadi spotlight. Dan inilah Allah Roh Kudus. Dalam Alkitab, ketika Yesus menyatakan pekerjaan Roh Kudus di Injil Yohanes, Dia mengatakan “Roh ini akan memberitahukan kamu apa yang Kukatakan, meyakinkan kamu apa yang Kukatakan”. Roh Kudus menyoroti Yesus, tidak kerja sendiri; dan itu justru bukti bahwa Dia Ilahi. Sedangkan kita inilah yang tidak ilahi, kita manusia berdosa, buktinya kita bukan saja tidak mau lihat background tapi juga tidak mau menjadi background; kita tidak rela jadi spotlight yang menyoroti orang lain, membawa kemuliaan bagi orang lain dengan cara waktu dia ke kiri kita ke kiri dan dia ke kanan kita ke kanan. Allah Roh Kudus rela bekerja di background, justru karena Dia adalah Allah. Ini bukan cuma sifat yang ada ada dalam Allah Roh Kudus, Allah Anak pun sama, ada aspek ini juga. Allah Anak mengatakan, “Semua yang Aku kerjakan adalah yang Bapa kehendaki Aku kerjakan; semua yang Kukatakan datang dari perkataan Bapa”. Ini seperti mengatakan bahwa ‘Saya bukan barang utamanya, Saya memberitahukan kepadamu siapa Bapa itu’. Demikian juga Bapa; ada dicatat bahwa ‘Bapa memuliakan Anak’.
Ini seharusnya membuat kita berpikir bahwa sifat ‘tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan’, muncul bukan cuma pada Anak Allah melainkan di setiap Pribadi Allah Tritunggal. Itulah yang justru “menjadikan” Mereka, Allah. Mereka Ilahi karena Mereka tidak merasa penting untuk berada di spotlight, Mereka rela untuk menjadi spotlight bagi yang lain.
Aplikasi kedua, bukan cuma untuk kita menyadari Allah bekerjanya di background, tapi juga bahwa Allah bekerja seringkali dengan mendatangkan sesuatu yang baru –dengan memperbaharui– dan ini bukan selalu kabar baik bagi kita. Dalam 2 kisah ini, kita melihat Allah membangkitkan keimaman yang baru dalam diri Samuel, tetapi caranya adalah dengan membuang yang lama. Ini mungkin ofensif bagi kita, karena peribahasa pun mengatakan “habis manis, sepah jangan langsung dibuang dong”, setidaknya ada sedikit terima kasih dong. Tentu saja ini bukan sedang menyerang orang-orang yang lebih berumur –bisa jadi mereka lebih terbuka terhadap perubahan—tapi ini bicara tentang satu hal yang lebih dalam, yaitu mengundang kita untuk melihat bahwa ketika Allah bekerja, ada unsur yang mengancam kita, karena kita harus rela dibawa oleh Allah ini kepada hal-hal dan arah-arah yang baru, yang kita mungkin rasa tidak nyaman.
Semakin satu gereja berumur, semakin ada kekakuannya. Kita tidak suka berubah dari kebiasaan-kebiasaan yang lama, kita merasa bahaya atau curiga dengan hal-hal yang baru. Satu contoh, parachurch Navigator didirikan oleh Dawson Trotman; dan sebagai pendiri, Dawson Trotman punya kharisma tertentu di situ. Setelah meninggal, dia digantikan oleh Lorne Sanny. Saking merasa bahwa Dawson Trotman begitu tinggi, Lorne Sanny menganggap dirinya hanya sebagai caretaker sampai ada orang lain yang cukup layak meneruskan The Great Dawson Trotman. Tapi orang seperti itu tidak pernah muncul, sampai akhirnya Lorne Sanny jelas bahwa ini adalah cara Allah mengatakan “kamulah yang jadi penerusnya”. Lorne Sanny kemudian mengatakan, “Oke, dan sekarang kita akan mengubah beberapa hal”. Orang-orang semula menentangnya karena Dawson Trotman tidak pernah melakukan seperti ini itu, dsb., tapi kemudian dalam kepemimpinannya Navigator tumbuh dari 171 staf menjadi 2.580 staf, dari eksistensi 12 negara menjadi 71 negara. Mungkin itu tidak akan terjadi kalau mereka terus-menerus bercokol pada cara yang lama.
Intinya, saya ingin mengatakan bahwa kita harus menyadari bahwa kita ini tidak suka pembaruan, karena yang baru selalu mengancam. Eli punya banyak kekurangan, tapi satu hal yang mengagumkan dari dirinya, ketika arah yang baru itu datang kepadanya –dan hal itu bayarannya besar sekali, dirinya beserta keluarganya harus dihapus—dia meresponinya dengan ketaatan, meskipun itu berarti malapetaka bagi keluarganya. Kita tidak suka hal yang baru karena itu mebuat kita jadi seperti anak kecil lagi, harus mulai dari nol lagi; seperti main game sudah sampai level 80 lalu saved game-nya hilang dan musti ulang dari awal lagi, maka tidak peduli sebagus apa game-nya, Saudara tidak akan mau main lagi. Tapi itulah tepatnya kriteria orang-orang yang mewarisi Kerajaan Allah –anak-anak kecil.
Ini bukan cuma tuntutan, karena Saudara lihat waktu Kristus datang, Dia tidak datang langsung dewasa, naik ke atas kayu salib, mati, bangkit, lalu naik ke surga, selesai urusan. Tidak seperti itu. Dia mulai dari nol –dari bayi. Banyak komentator mengatakan, waktu kita begitu tegang melihat Samuel bertumbuh dan bertumbuh, ini seperti mengantisipasi Kristus yang satu hari juga mulai dari nol, dan harus bertumbuh sebagaimana manusia pada umumnya. Dalam Injil ada kalimat ‘Yesus bertumbuh’. Yesus ini Allah, dan Dia mulai dari nol sebagai manusia, demi Saudara dan saya.
Aplikasi yang ketiga, apa kabar baik dalam cerita ini? Kalau Saudara membaca pasal 3 ayat 19,20,21, Saudara menangkap nuansa yang positif sekali. Ada satu era baru yang dibuka, ada satu kabar yang luar biasa indah. Apa kabar baiknya? Yang pasti, kabar baiknya bukanlah semua problem mereka selesai. Ini baru pasal 3 kitab 1 Samuel, Hofni dan Pinehas belum mati, Eli masih berkuasa, tapi mengapa penulis menyatakan ini satu era yang baru, yang positif sekali? Apakah karena ada Samuel? Tentu Samuel bagian dari jawabannya, tapi Saudara perhatikan, bahwa Samuel itu penting karena dia adalah corong dari Firman Tuhan. Itulah yang paling utama. Yang paling utama bukanlah Samuel sendiri. Di pasal 3:1, Firman Tuhan jarang-jarang, tetapi sekarang dengan adanya Samuel, Firman Tuhan kembali mengalir, kepada semua orang dari Dan sampai Bersyeba. Itulah kabar baik yang ditawarkan kitab Samuel. Pertanyaannya, apakah itu kabar baik buat Saudara dan saya juga, atau tidak?
Mungkin kita mengatakan bahwa kita suka dengar Firman Tuhan, mau belajar Firman Tuhan, tapi itu semua demi Firman Tuhan-kah? Atau demi janji-janji kebaikan-kebaikan, benefit-benefit, dan pengetahuan-pengetahuan yang kayaknya kita bisa dapatkan lewat Firman Tuhan? Keamanan, kenyamanan, kepastian yang kita bisa dapatkan lewat Firman Tuhan, atau demi Firman Tuhan? Seperti Saudara lihat, problem tidak selesai –Hofni dan Pinehas masih bercokol– tetapi penulis mengatakan, akses kepada Firman Tuhan sekarang dibuka. Itulah yang paling penting.
Saya pernah menonton satu sitcom mengenai sepasang laki-laki dan perempuan yang bergumul untuk menikah. Mereka takut menikah, takut akan semua pergumulan yang akan datang, takut kalau suatu saat mereka bercerai. Mereka hampir-hampir menggagalkan rencana pernikahannya, sampai kemudian si cowok mengatakan: “Saya takut pernikahan kita mengalami masalah –dan sepertinya itu pasti, karena semua orang pun mengalaminya—saya takut suatu hari kita menghadapi masalah begitu besar sehingga akhirnya kita bercerai, tapi satu hal yang saya lebih takut dari semua ini adalah menghadapi hidup ini tanpa engkau. Kalaupun kita harus mengalami masalah, yang saya mau adalah kita menghadapinya bersama-sama.” Saudara, apakah kita seperti itu terhadap Tuhan? Waktu kita mempelajari Firman Tuhan, apakah kita mempelajarinya bukan karena Firman Tuhannya mendarat, menarik, gampang, menjadikan hidup kita beres dan nyaman, tapi karena FIRMAN TUHAN?
Aplikasi pertama tadi tentang Allah Roh Kudus, aplikasi kedua tentang Allah Anak, maka aplikasi ketiga adalah tentang Allah Bapa. Sebelum Dia menciptakan manusia, karena Dia Allah Tritunggal maka berarti Dia punya semuanya, Dia punya kuasa, dan terutama kasih yang sempurna, jadi Dia tidak perlu membuat manusia. Tetapi waktu Dia membuat manusia, membuat dunia ini, dan mau kita benar-benar mencintai Dia –itu sebabnya kita diberi kehendak bebas, diberi kemungkinan untuk melawan Dia—Allah meresikokan diri-Nya untuk mengalami adanya penolakan, kebejatan, kedursilaan yang Dia tidak perlu dapatkan. Dan kita tahu, itulah yang terjadi; lalu akhirnya siapa yang harus bayar harga? Dia. Dia harus memberikan Anak-Nya yang tunggal demi menggantikan kita. Allah Bapa-lah yang lebih dahulu mengatakan kepada kita, “Aku mau lakukan demi apa yang engkau bisa bawa bagi-Ku; Aku mau kamu karena kamu.” Apakah kita demikian kepada Allah kita?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading