Ada sebuah perkataan yang ditulis oleh Oscar Wilde di dalam karyanya, Lady Windermere’s Fan, mengenai definisi orang sinis. Dia mengatakan lewat perkataan seorang tokohnya yang bernama Lord Darlington, bahwa seorang sinis adalah seorang yang tahu harga dari sesuatu, tetapi tidak tahu nilai dari apapun juga. Orang yang sinis adalah orang yang tahu harga-nya, dia seorang yang suka bilang wani piro, “Berani bayar berapa Lu?” Dia tahu tiap-tiap orang ada price tag-nya. Contohnya mungkin om saya (beliau sudah meninggal), dia mengatakan: “Semua orang bisa dibelilah, semua orang ada price tag-nya, hanya saja beda-beda price tag-nya. Ada yang bisa dibeli dengan harga 10 juta, ada yang bisa dibeli dengan harga 10 milyar. Ada yang kamu berikan 10 ribu pun sudah bisa kamu beli, kamu bisa suruh-suruh dan manfaatkan. Semua orang itu ada price tag-nya”. Waktu itu saya masih kecil, perkataan om saya itu saya dengarkan dengan separuh kuping, mungkin ada benarnya, barangkali juga ada salahnya, tapi kita dengarkan dulu. Dan, saya mendapati bahwa dalam tulisan Oscar Wilde, ini disebut sebagai definisi orang sinis. Orang sinis itu seperti orang yang makan asam garam lebih banyak daripada kamu/saya makan nasi, sudah lewat jembatan lebih banyak daripada kita lewat jalanan, banyak pengalamannya. Dia sudah melihat manusia yang bagus-bagus dan juga yang jelek-jelek, lalu jadi sinis, jadi dia menyimpulkan ‘UUD-lah, ujung-ujungnya duit, semua itu bisa dibeli, bisa dibayar’.
Oscar Wilde melanjutkan, ada jenis orang yang lain, orang yang sentimental. Orang yang sentimental adalah orang yang tahu nilai –yang kadang-kadang absurd– dari apa pun juga, tapi tidak tahu harga pasar dari apa pun juga. Belakangan ini cukup terkenal sebuah karya seni dari Song Dong, seorang seniman asal China. Song Dong mengumpulkan dan meng-kurasi koleksi mamanya, seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Dulunya mereka keluarga kaya raya di China, namun pada masa revolusi Mao Tse-tung mereka jatuh miskin –cerita klasik. Mama Song Dong kemudian mulai suka mengoleksi barang. Barang-barang yang dikoleksi adalah barang apa saja, dia punya prinsip hidup ‘jangan buang-buang’ –jangan buang apapun. Awalnya yang tidak dibuang mungkin buku sekolah Song Dong, baju dia yang sudah agak kekecilan karena mungkin nanti bisa diwariskan kepada adiknya, dan kalau kemudian bagi adiknya sudah kekecilan nanti bisa diwariskan kepada anaknya suatu hari kelak, atau bisa di-reuse jadi kain pel atau apa pun. Pokoknya apa pun tidak dibuang. Lalu suatu hari papa Song Dong meninggal, maka setelah itu hoarding attitude si mama semakin bertambah, dia menyimpan semua hal.
Jadi, kita tahu dalam dunia ini ada dua macam orang. Macam yang pertama, kita sebut sebagai orang yang pragmatis; macam yang kedua kita sebut sebagai orang yang romantis, sentimentalis, hidup di masa lampau, nostalgic, dst. Pengkhotbah di dalam Alkitab ini orang jenis yang mana?
Kitab Pengkhotbah adalah kitab yang dihasilkan setelah masa pembuangan. Beberapa orang mengatakan kitab ini ditulis oleh Salomo, namun posisi tersebut sepertinya sulit dipertahankan karena ada banyak istilah-istilah dan konsep-konsep di dalam kitab Pengkhotbah yang diserap dari kebudayaan Persia dan kebudayaan Media. Ada serapan dari kebudayaan asing yang belum ada pada era Salomo. Dengan demikian kelihatannya paling masuk akal kalau kita katakan kitab Pengkhotbah ini bukan ditulis oleh Salomo, melainkan oleh sekelompok orang, atau mungkin beberapa orang, setelah masa pembuangan. Kita sebut saja kitab Pengkhotbah ini ditulis oleh penulis Pengkhotbah.
Penulis Pengkhotbah sudah melihat banyak hal pada era pembuangan. Mereka melihat bagaimana Kerajaan Israel dan Yehuda dihancurkan oleh bangsa-bangsa lain. Mereka melihat bagaimana agama yang mereka junjung tinggi, ritual-ritual yang mereka lakukan tiap tahun, yang membentuk jati diri mereka sebagai bangsa Israel, tidak bisa menyelamatkan mereka dari serbuan bangsa asing yang menyembah ilah-ilah asing.
Pengkhotbah ini mungkin sempat tinggal di negeri asing, sempat melihat bahwa masyarakat yang dibikin oleh orang-orang penyembah berhala itu ternyata 11/12-lah, tidak lebih buruk banyak daripada masayarakat yang dibikin oleh orang-orang yang katanya agamanya benar, orang Israel. Orang Israel tinggal di Babilonia, namun tidak sampai dibunuhi juga, tidak dilenyapkan, mereka diberikan semacam keleuasaan untuk memeluk agamanya. Demikian juga pada masa Romawi, mereka sepertinya diberikan toleransi, walaupun mungkin tidak seluas yang mereka dapatkan pada masa Daud tentunya. Tetapi keindahan masa Daud itu ‘kan romantisis, masa lampau yang mungkin juga waktu beneran terjadi dulu tidak sebagus itu, hanya biasanya mereka cuma ingat yang bagus-bagusnya; juga pada masa Ahab, pastinya bukan tidak ada penganiayaan terhadap agama yang benar. Jadi maksudnya di dalam negara sendiri, bangsa sendiri, tidak tentu lebih bagus juga.
Pengkhotbah adalah orang yang sudah hidup dalam masa seperti itu, dalam masyarakat Babilonia; dan dia sudah mencicipi pemerintahan yang bukan Israel, yang ternyata ‘gak jelek-jelek banget, sementara pemerintahan Israel pun ternyata juga tidak bagus-bagus banget. Jadi Pengkhotbah sudah melek matanya. Tapi apakah dia kemudian jadi orang sinis, yang sama sekali meninggalkan pengharapan, sama sekali merengkuh keduniawian dan kekuatan-kekuatan sekuler, menjadi sejenis orang yang mengatakan ‘yah, agama itu satu hal, tapi kenyataan hidup dalam dunia ini adalah hal yang lain’ ? Apakah dia seperti itu, seorang sinis dalam pengertian Oscar Wilde, yang melihat the price of everything tapi tidak mengerti apa-apa mengenai value of everything? Sepertinya tidak. Nanti kita akan lihat.
Di sisi lain, apakah Pengkhotbah ini seorang yang polos, seorang yang sentimentalis, seorang yang seperti bersikukuh sebagaimana mamanya Song Dong yang menganggap tube bekas odol itu sangat berharga karena itu odol terakhir yang dipakai papamu, padahal jelas-jelas seluruh dunia tidak melihat itu ada nilainya, cuma sampah saja; apakah Pengkhotbah seperti itu? Kita akan melihat nantinya, ternyata tidak juga.
Kita mulai saja pembahasan kita. Pengkhotbah ini membahas mengenai apa? Dia membuka pembahasannya dengan komentar hasil observasinya mengenai uang dan kekuasaan. Dia mengatakan dalam ayat 7: “Kalau engkau melihat penindasan terhadap orang miskin di suatu daerah dan pemerkosaan hukum serta keadilan, … “. Ini sesuatu yang mungkin sering kita lihat pada masa kita, bahwa hukum ‘kan memihak kepada yang bayar, aparat negara ‘kan sering kali bukan melindungi rakyat. Tentu tidak semua, tentu sering juga mereka berfungsi normal, namun tidak jarang juga kita mendengar aparat-aparat hukum itu tidak melindungi yang lemah, mereka melindungi yang kuat. Mereka memakai hukum bukan untuk menghasilkan kebaikan, melainkan menghasilkan keputusasaan dalam hati orang-orang yang tidak punya kekuatan. Jadi ini adalah suatu observasi yang riil, saya kira. Lalu Pengkhotbah menganjurkan apa? Pengkhotbah menganjurkan ini: “ … janganlah heran akan hal itu.”Lalu dia menyambung dengan satu ungkapan yang dipakai juga oleh Tuhan Yesus waktu menengahi murid-murid-Nya yang memperebutkan posisi nomor satu. Muris-murid Tuhan Yesus pada suatu ketika berebutan posisi sebagai yang paling besar, kemudian Yesus menengahi dengan perkataan yang Dia kutip dari sini saya kira, yaitu: “Dalam dunia ini pejabat tinggi yang satu mengawasi yang lain –berkuasa atas yang lain– tapi tidak demikian dalam Kerajaan Allah”.
Ungkapan ‘pejabat tinggi yang satu mengawasi yang lain dan pejabat-pejabat yang lebih tinggi mengawasi mereka’, adalah kenyataan hierarki kekuasaan. Ini kenyataan yang salah seorang bekas pejabat publik kita –yang hasil kerjanya kita dapati di sekeliling kita dan bagus– pernah mengatakan: “Papa saya bilang kepada saya, kalau kamu miskin, jangan lawan orang kaya, kalau kamu kaya, jangan lawan pejabat”, karena kalau orang kaya lawan pejabat, nanti bisa jadi miskin; kalau orang miskin lawan orang kaya, nanti bisa masuk penjara –kira-kira begitu. Dalam hal ini Pengkhotbah mengatakan apa? Pengkhotbah mengatakan itu adalah bagian dari kehidupan yang dia saksikan memang terjadi, bahwa kekuasaan itu riil.
Barangkali ini kita bisa kaitkan dengan yang Hegel juga katakan, bahwa negara tidak perlu justifikasi, states needs no justification. Kekuasaan, batas teritori, itu tidak perlu justifikasi apa-apa. Tentu saja diajukan juga justifikasinya, misalnya ‘kita dari zaman dahulu kala batasnya sungai itu, seberang sungai sana sudah wilayahnya orang lain, tapi seberang sungai sini wilayahnya kita’, dst., dst., tapi pada zaman dulu tersebut ‘kan ada sebelumnya lagi, dan apakah sebelumnya memang begitu, sementara dikesankan ‘sejak zaman dulu’ itu seolah-olah sejak dari awal penciptaan, tapi apa benar sejak awal penciptaan?? Tentu tidaklah; pasti batas-batas teritori negara ada awal mulanya. Mulanya batas teritori negara itu apa? Misalnya Kalimantan, ada garis batas, sebelah sana Malaysia, sebelah sini Indonesia, itu sejak kapan? Memang sejak dulu, tapi dulu-nya itu kapan, ‘kan tidak sejak misalnya zamannya Tyrannosaurus rex?? Tentu tidak, pasti ada sejak mulanya; dan apa titik mulanya? Pada mulanya dunia ini ‘kan tidak ada batas-batasnya, kecuali batas laut, lalu apa awalnya, apa justifikasi berdirinya suatu negara? Negara yang menurut Hegel adalah langkah gerak dari Tuhan sendiri dalam sejarah; apa garis batasnya? Jawabannya sederhana saja: kekuasaan; ada yang menang perang. Menang perang berarti bikin batasnya jadi. Ukraina dan Rusia ‘kan lagi perang, lalu ujungnya nanti settle-nya apa? Settle-nya adalah garis teritorinya berubah/bergeser; itu saja. Israel dan Palestina perang, dari tahun 1948 sampai tahun 60-an, 70-an, lalu setelah perang selesai, berjabat tangan, apa yang terjadi, garisnya balik semula? Tidak. Garisnya bergeser. Jadi perang itu ujungnya adalah garisnya bergeser. That’s it.
Jadi, ada kenyataan dalam hidup ini yang namanya kenyataan kekuasaan. Kita punya banyak ungkapan untuk itu. Misalnya: ‘money talks’. Duit itu ngomong, Lu tahu ‘gak? Kuasa itu nyata, Lu tahu ‘gak? Pemenang perang itu menulis sejarah, Lu tahu ‘gak? Kira-kira begitu. Dan, kita langsung bisa membelah orang seolah-olah jadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang-orang yang polos, lugu, belum melihat kehidupan –“Aku gadis remaja yang baru kenal dunia,” kata Nicky Astria– dengan orang-orang yang makan garam sudah lebih banyak daripada kamu makan nasi. Orang yang sudah makan garam lebih banyak daripada kamu makan nasi, sudah mafhum bahwa kuasa, kekayaan, adalah realitas juga. Pengkhotbah –yang sepertinya sudah banyak makan asam garam ini– kenapa menulis demikian? Dia melanjutkan begini (ayat 8): Suatu keuntungan bagi negeri dalam keadaan demikian ialah: kalau raja mengawasi tanah yang dikerjakan. Lho, ngapain raja mengawasi tanah? Mengawasi tanah bukan urusan raja ‘kan, tetapi satu benefit bagi common good terjadi jika rajanya berfungsi; dan fungsi raja dalam hal mengawasi tanah yang dikerjakan, itu fungsi apa? Pertanyaan ini kita simpan dulu.
Kita lanjutkan dulu ayat 9, di sini Pengkhotbah mengangkat tema yang agak berbeda dari ayat 7 dan 8, yaitu uang. Kuasa dan uang memang ada hubungan, karena uang bisa membeli kekuasaan. Kita tahu, kalau kita punya sejumlah uang, kita bisa mengantongi pejabat. Tanyakan hal tersebut kepada para businessman di Meksiko, katakan itu kepada kartel-kartel narkotika di Columbia, katakan itu kepada mafia-mafia di Chicago pada era Al Capone, duit bisa beli kekuasaan politis, duit bisa beli kekuasaan sosial. Kamu yang anak SMA pun tahu itu. Kalau kamu mentraktir 80% dari teman-teman sekelasmu, kamu lakukan itu kira-kira 5-7 kali, you can afford being ashole karena yang belain kamu cukup banyak, walaupun ada harga yang harus kamu bayar nanti, namun setidaknya dalam jangka pendek itu suatu realitas juga, kita perlu perhitungkan itu. Tetapi, ayat 9 mengatakan apa?
Ayat 9 mengatakan: Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kelimpahan tidak akan puas dengan penghasilannya. Lalu kata kunci dari Pengkhotbah: Ini pun sia-sia. Artinya bukan ‘ini pun tidak ada maknanya’, karena Pengkhotbah bukan seorang eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre; Pengkhotbah mau mengatakan: inipun sesuatu yang tidak menentu maknanya, ini pun sesuatu yang misterius, ini pun sesuatu yang tidak permanen, ini pun sesuatu yang jauh dari kemuliaan yang menetap. Sia-sia, gambarannya bukan tidak ada makna melainkan kopong, kosong, ringan. Ringan adalah lawan kata dari berat, dan berat bagi orang Ibrani mewakili kualitas, permanensi, kemuliaan; dalam bahasa kita: berbobot. Ringan itu seperti sekam, gambaran dari Mazmur 1, sekam yang ditiup angin, pada hari penghakiman dia itu ringan, terbang. Ringan itu ditimbang dan didapati tidak berbobot, sebagaimana kata-kata yang dituliskan sosok misterius di sebuah tembok di hadapan raja yang sudah akan berakhir kekuasannya itu. Jadi, di sini dikatakan bahwa uang pun adalah sesuatu yang tidak menentu nilainya, sesuatu yang banyak orang cintai, banyak orang harapkan bisa memperoleh kepuasan, tetapi sesuatu yang tidak tentu begitu.
Walaupun di atas tadi Pengkhotbah sudah mengafirmasi bahwa uang itu something juga, sebab kuasa adalah something juga, dan uang bisa membeli kuasa, dan itu bagian dari realitas, tetapi hal yang menerbitkan gairah kita itu pun –yang seolah-olah set up agenda/trajektori kita dalam hidup, sesuatu yang bikin hidup ini ada agenda penentunya, ada suatu sasaran yang sudah pasti– merupakan sesuatu yang perlu kita ragukan lagi, perlu kita relatifkan. Seperti juga tidak perlu buru-buru dengan polos jadi seorang sentimentalis, tapi juga tidak perlu buru-buru jadi orang yang dengan polos yakin ‘pokoknya saya join rat race ini, hidup saya akan ada maknanya’. Pengkhotbah mengatakan tidak tentu juga, karena salah satu fakta hidup selain ‘duit bisa beli kekuasaan’ adalah bahwa orang yang cinta duit (bukan orang berduit tapi orang yang cinta duit, karena orang berduit tidak tentu cinta duit, demikian juga orang tidak berduit banyak yang cinta duit) tidak akan puas dengan duit, dan siapa mencintai kelimpahan, tidak akan puas dengan penghasilan. Dan ini pun kemudian disimpulkan sebagai: ‘ini pun sia-sia’, kita tidak tentu tahu pasti, kita tidak bisa menyandarkan diri kepadanya, fana, temporer, flux, sesuatu yang berlalu.
Kemudian di ayat 10-11 Pengkhotbah elaborate hal tsb.: Semakin banyak harta, semakin banyak pula orang-orang yang menghabiskannya. Lalu apakah keuntungan bagi pemiliknya selain melihatnya? Nyenyaklah tidurnya orang yang bekerja, baik ia makan sedikit maupun banyak. Tetapi, kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak membuat dia bisa tidur. Tentu saja bukan berarti orang yang kaya tidak bisa tidur; pasti orang yang kaya juga bisa tidur, dan orang miskin bisa juga tidak bisa tidur. Maksudnya di sini, kalau kita meletakkan pengharapan kita akan ketenangan hidup (rest) dan makna keseluruhan eksistensi kita kepada harta serta pemakaian harta –seperti orang-orang cynic yang dikatakan oleh Oscar Wilde, tahu harga dari apapun tapi tidak tahu nilai dari apapun— dengan menganggap semakin banyak harta semakin baik, kita melupakan bahwa semakin banyak harta tidak menjamin kepuasan hidup juga semakin bertambah. Tentu tidak berlaku sebaliknya, bahwa semakin sedikit harta semakin terjamin kenikmatan/kepuasan hidup –mungkin malah lebih tidak terjamin– namun yang pasti kita sering kali menaruh pengharapan kita pada sesuatu yang mungkin keliru.
Selanjutnya ayat 12, Pengkhotbah melihat ada kemalangan/ironi kehidupan di bawah matahari, yaitu ada orang yang menyimpan hartanya, menyimpan kekayaannya, tapi justru itu menjadi kemalangan bagi dirinya sendiri, kekayaan itu lenyap karena ketidakberuntungan, sehingga ketika ia punya anak, tidak ada apapun bagi anaknya. Barangkali maksudnya ketika sudah waktunya anak itu mewarisi sesuatu, segala kejayaan ayahnya sudah jadi sekadar cerita masa lampau, mungkin seperti papanya Song Dong. Mama Song Dong mungkin cerita, “Dulu keluarga kita begini, dulu keluarga kita begitu …”, tapi itu dulu, sekarang zaman Mao Tse-tung sudah tidak seperti dulu. Kira-kira begitu. Jadi di sini ketika anak itu sudah waktunya menerima warisan, hartanya simply sudah tidak ada, lenyap, karena ketidakberuntungan.
Tentu masih segar dalam ingatan kita, lima tahun yang lalu, tahun 2020, seseorang bernama Bill Hwang pemilik Archegos Capital, kehilangan 20 milyar dolar dalam sepuluh hari. Saya hitung-hitung 20 milyar dolar itu bisa bikin proyek Woosh 2½ kali, yang belakangan sering dibicarakan sebagai utang kita yang entah kapan bisa lunas terbayar, sampai mati pun kita tidak bisa lunasi –dan Bill Hwang kehilangan sebanyak 2½ kali nilai itu dalam 10 hari. Ini sesuatu yang mengingatkan kita bahwa apa yang kita miliki, yang kita kejar, bisa lenyap begitu saja. Kita mencintai uang, mencintai kesuksesan, mencintai hal-hal yang kita harap bisa memberikan substansi dalam kehidupan, namun kita perlu bertanya satu hal yang lain, yaitu: apakah uang mencintai kita?
Kita mencintai uang, tapi apakah uang mencintai kita? Kita menghargai uang, tapi apakah uang menghargai kita? Mengenai Bill Hwang, uang doesn’t give a shit, uang tidak peduli apa-apa pada pemiliknya. Uang itu seperti pelacur, dia tidak peduli apa-apa pada yang mencintainya, yang terikat kepadanya, yang dipikat olehnya. Jadi adalah bodoh kalau kita mencintainya, mengharapkannya, dan bersandar kepadanya. Bukan berarti tidak boleh punya uang, tidak boleh memperjuangkan untuk memilikinya, tetapi kalau kita kenyandarkan diri kepadanya, kalau kita berharap kepadanya, kalau kita mencintainya, itu sesuatu yang bodoh.
Ayat 14: Sebagaimana ia keluar dari kandungan ibunya, demikian juga ia akan pergi, telanjang seperti ketika ia datang. Artinya, orang lahir tidak membawa apa-apa, lalu sepanjang hidupnya orang ingin hoarding –mungkin seperti mama Song Dong– namun ketika dia sungguh-sungguh pergi, mati, tidak satu dolar pun dia bawa, telanjang seperti ketika ia datang, ia tidak memperoleh dari jerih payahnya apa pun yang dapat dibawa dalam tangannya. Dan Pengkhotbah katakan: Ini pun kemalangan yang menyedihkan. Sebagaimana ia datang, demikian pun ia akan pergi. Lalu apakah keuntungan bagi orang itu yang telah berjerih payah menjaring angin? Bahkan ia menghabiskan seluruh hari-harinya dalam kegelapan, serta banyak kekesalan, penderitaan, kemarahan. Itulah segala drama yang kita lalui ketika memperjuangkan pendakian kita dalam hierarki perkelahian antar lobster, yang satu mengalahkan yang lain.
Jordan Peterson mengatakan, manusia dan lobster –yang sudah ada sejak 300 juta tahun lalu– tidak beda jauh, perilakunya mirip-mirip, ingin saling mengalahkan, dan the winner takes it all, yang menang mengambil semuanya, semua resources, semua kemudahan, keadilan, pasangan, masa depan, dan apa pun lainnya. Jadi tidak heran kita berjuang dalam perlombaan mendaki herarki kekuasaan/kesuksesan –hirarki lobster ini– dan pemenangnya duduk di atas, menikmati segala kemudahan. Kurang lebih begitu. Tukang becak dan seorang CEO perusahaan besar, kerjanya bisa dibilang tukang becak itu nyantai, menunggu orderan, merokok, ngegaplek, mungkin kalau sekarang main TikTok, dsb., sedangkan CEO sibuk. Tetapi, kalau kita tanya kerja kerasnya, mana yang lebih keras? Mungkin CEO lebih keras. Tetapi apakah skalanya sampai 1:1000? Tidaklah. Mengenai penghasilannya, apakah 1:1000? Mungkin lebih. Jadi artinya apa? Artinya, kalau kamu punya privilege dalam hal koneksi, kuasa, uang, tentu saja dalam perlombaan lobster ini kamu akan lebih punya privilege juga, lebih gampang untuk mendaki ke atas piramida bully itu (orang-orang seperti John Rose bicara banyak mengenai hal itu). Dan, itu pun bagian dari kenyataan hidup. Bagian yang Hegel mungkin sebut sebagai derap langkah Tuhan dalam sejarah, karena Tuhan juga yang menentukan siapa menang dan siapa kalah dalam peperangan, dalam bisnis, dalam peradaban, ada peradaban yang muncul dan ada peradaban yang pergi.
Amerika Serikat berdiri di atas tanah yang dimiliki orang-orang Indian dulunya. Orang-orang Eropa sebelum menjejakkan kaki di benua itu, yang lebih dulu ada ‘kan bukan mereka, melainkan orang-orang situ dengan peradaban yang berbeda. Tetapi sekarang, berapa banyak wilayah yang diduduki Amerika Serikat dan Kanada itu punya nilai-nilai dari orang Indian? Sangat sedikit, minoritas banget keturunan mereka itu, yang sakit hati dengan para pendatang/imigran dari Eropa yang menjajah wilayah mereka dan mendirikan di atasnya Amerika Serikat, the city of the hill, kota di atas bukit (meminjam gambaran dari Alkitab) –di atas tanah yang dulunya diduduki orang-orang Indian. Tetapi, orang-orang Indian ini juga bukan satu suku, ada banyak suku; dan sebelumnya lagi entah mereka menduduki tanahnya siapa –kira-kira begitu. Ini menjadi pertanyaan buat kita, bahwa pada akhirnya yang terjadi di atas muka bumi di bawah matahari yang sama ini –yang menyaksikan dinosaurus punah– itu karena apa? Kalau dari sisi Pengkhotbah, tentu saja sebagian karena Tuhan menghendakinya. Jadi kita bisa katakan bahwa Tuhan menghendaki pada saat ini Amerika Serikat dengan peradabannya, yang menghasilkan dan menata kehidupan di tanah itu, sementara pada masa yang mungkin lebih panjang, 500-an tahun yang lalu orang-orang Inca atau mungkin Iroquois, atau apa pun, yang menata kehidupan di sana. Kehidupan yang kita bilang tidak Kristenlah, kehidupan yang pagan, gelap, yang mereka berteriak-teriak menunggu kapan dibebaskan seperti dalam lagu From Greenland’s icy mountains, from India’s coral strands, yang kita sering nyanyikan itu –dibebaskan melalui kita, umat Tuhan yang memberitakan Injil ke tanah yang tidak mengenal Tuhan itu. Barangkali begitu, tapi barangkali juga tidak. Poinnya apa? Poinnya adalah: sejarah bergerak maju, di antaranya mem-positivisasi-kan apa yang yang Tuhan inginkan terjadi dalam alam ciptaan, dalam sejarah –bisa jadi demikian– tapi juga bukankah sejarah akan dihakimi oleh Tuhan.
Di satu sisi, betul juga kalau Tuhan tidak mengizinkan maka tidak akan terjadi pergeseran-pergeseran teritori yang selalu terjadi sepanjang sejarah; tetapi di sisi lain, pergeseran-pergeseran itu juga akan menjadi objek penghakiman Tuhan, dan akan didapati yang satu salah, yang lain benar. Memang lengkungan sejarah itu panjang dan kita sering kali tidak bisa melihat ujungnya, namun di dalam iman kita bisa mengatakan seperti Theodore Parker katakan, dan sering dikutip Martin Luther King Jr., ujungnya menuju kepada keadilan, karena yang menyelenggarakan sejarah ini adalah Tuhan yang adil. Jadi, walaupun kita melihat ada kemalangan yang menyedihkan dalam orang-orang miskin yang ditindas di suatu daerah, ada pemerkosaan hukum serta keadilan oleh mereka yang berkuasa –kadang-kadang– namun ada keadilan pada akhirnya.
Keadilannya adalah: baik orang yang menang maupun orang yang kalah, orang yang sekarang menikmati maupun orang yang sekarang meratap, pada akhirnya mereka semua mati, pada akhirnya mereka semua menuju satu tempat, yaitu sheol, dunia orang mati. Dikatakan di pasal 6 ayat 6: Seandainya ia hidup dua kali seribu tahun, kalau ia tidak menikmati kesenangan, bukankah akhirnya segala sesuatu menuju satu tempat? Yaitu sheol, ujung dari semua orang, demokratisasi dari kehidupan. Pada akhir kehidupan, kita tidak melihat ada orang yang lebih tinggi dan ada orang yang lebih rendah. Pada akhir kehidupan, kita tidak melihat ada yang lebih mulia dan ada yang kurang mulia. Di permukaan kuburan, tentu saja ada orang-orang yang dikubur dengan kuburan yang plotnya lebih lebar atau yang lebih sempit, yang di atasnya dari emas atau yang diatasnya dari kayu, tetapi itu di atasnya/luarnya, sedangkan di bawahnya/ dalamnya, semua sama, membusuk, terurai. Di hadapan cacing-cacing yang memakan tubuhmu, dia tidak melihat pencapaianmu, dia tidak melihat saldo kamu berapa, dia tidak melihat kamu itu dihormati berapa banyak (kalau di kalangan saya, akademisi, dia tidak melihat kamu scopus-nya berapa, google index-nya berapa, kamu pernah mengelola seperti Bill Hwang dengan Archegos Capital-nya berapa miliar dolar), yang cacing lihat cuma protein untuk diurai, makanan. Di hadapan cacing, semua kita sama. Saints and sinners, rich and poor, orang yang sukses dan orang yang gagal, orang yang dianggap sangat berpotensi/pintar dan orang yang dianggap ‘gak perliu dianggap, yang bodoh, yang terpinggirkan, ujungnya sama. Ujung dari semua kita, sama, the great equalizer death.
Di hadapan itu semua, bagaimana kita sebaiknya bersikap? Sebagian orang tentu bersikap ‘marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati’ –sikap cynic. Atau sikap yang kedua, meratap-ratap sampai mati, dan akhirnya gagal hidup juga; saya kira ini juga sikap yang tidak baik, Pengkhotbah tidak menganjurkan sikap itu, sikap yang merata-ratap sampai mati, nyinyir, dan semacam menyiram air dingin kepada orang yang bersukacita. Misalnya, ada orang mengatakan, “Coba cicipi kopi ini, enak banget nih, ini bijinya dari Jamaican Blue Mountain, dsb., diseduh pakai air dari Siberia, dsb.”, lalu dia jawab, “Ah, nanti juga jadi air kencing”; “Coba nih wagyu beeef dari Kobe”, lalu dia jawab, “Ah, makan begituan ujungnya juga sama, jadi yang coklat-coklat” –selalu menyiram air dingin. Tidak perlu jugalah menyiram aur dingin seperti itu. Kenapa? Pengkhotbah katakan: “Sebab itu semua adalah dari Tuhan”, dan kita perlu menerimanya sebagai pemberian dari Tuhan, yang menghendaki kehidupan, yang mencintai kehidupan, yang ingin kita hidup walaupun bukan untuk selamanya.
Tuhan yang bikin kembang-kembang di depan mimbar ini, dan bikin dari bahan yang sama untuk bikin kamu. Tuhan yang bikin kembang-kembang yang hidupnya cuma sebentar ini, pakai bahan yang sama, tanah, untuk bikin kamu. Karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, adalah bahan-bahan pembentuk tubuh kamu, sama seperti bunga ini. Bedanya kamu dengan bunga-bunga ini kurang lebih beda durasilah, bunga-bunga ini indah 1-2 hari, kamu hidup 70-80 tahun. Tetapi, hidupmu yang tidak selamanya itu, dipanggil untuk jadi indah seperti bunga-bunga ini. Indah dalam bentuknya masing-masing, yang tidak perlu indah dalam bentuk yang sama. Tidak perlu indah dalam arti semuanya jadi misalnya Billy Graham, atau Bill Gates, atau siapapun. Tidak perlu, karena bunga di depan saya ini juga indah dalam bentuk yang berbeda-beda. Setelah itu, jadi makanan cacing, namun sebelum itu, kamu bisa hidup.
Sebelum kamu jadi makanan cacing dan kembali menjadi tanah, kamu bisa menjadi indah. Kamu bisa menghadirkan pemerintahan Tuhan di sini. Kamu bisa menjadi seseorang bagi seseorang yang lain yang dikenang sebagai seseorang yang mendengarkan, membuat orang lain feel heard, dan bukan feel hurt. Banyak membaca dan jadi nerdy seperti orang Reformed, bisa menghasilkan orang-orang yang ketemu sama kamu jadi feel hurt, sakit hati, dankitamenjadi diminishers. Tetapi tidak harus. Kita bisa berubah menjadi orang-orang yang banyak membaca lebih banyak lagi, dan menjadi orang yang bikin orang lain merasa dipahami, bahkan bukan cuma merasa tapi benar-benar dipahami. Dan, kalau kamu jadi orang seperti itu, kamu akan hidup 70-80 tahun, samalah seperti orang-orang lain, sesudah itu kamu mati. Namun kamu tidak mati, karena kamu hidup terus dalam ingatan orang-orang yang mengenang kamu, orang-orang yang hidupnya di-enhance oleh kamu. Dan yang pasti, Tuhan mengingat kamu, sampai suatu hari kelak kalau kamu mati di dalam Kristus, kamu akan dibangkitkan.
Demikianlah, saya kira kita punya kesempatan, walaupun tidak selamanya, untuk hidup di bawah matahari ini. Menghidupi hidup yang fana, menghidupi hidup yang tidak selamanya, namun menghidupi hidup yang bisa jadi kesempatan untuk kita juga menjadi derap langkah Tuhan dalam sejarah. Tetapi bukan derap langkap Tuhan seperti derap langkah pasukannya Julius Caesar yang melenyapkan jutaan orang Galia, melainkan derap kaki-kaki yang indah yang membawa Injil, yang membawa kabar datangnya pemerintahan Tuhan. Mungkin bukan dengan mulut kita yang jualan keanggotaan gereja, seolah-olah kita happy kalau lebih banyak orang yang mengaku Kristen, happy dengan angka-angka itu, melainkan kaki dan tangan yang membawa serta menghadirkan pengampunan, menghadirkan cinta, menghadirkan pemanusiaan, menghadirkan segala yang baik yang Yesus kerjakan di tengah Gereja-Nya di dalam dunia ini. Dengan demikian, seperti yang Hegel katakan soal state, kita bisa mengatakan mengenai kumpulan kita, kumpulan kecil ini, yang maybe need no justification juga karena Tuhan sudah justify kita.
Kita tidak perlu bikin-bikin justification kita, soal mengapa saya pantas hidup, mengapa saya masih belum mati, mengapa saya perlu makan, dsb., karena Tuhan sudah menyediakan justification itu. Dan kita bisa menghidupi kemerdekaan Kristen kita, untuk kita menghidupi panggilan Tuhan menjadi manusia, panggilan Tuhan untuk mengasihi, panggilan Tuhan untuk mengampuni, panggilan Tuhan untuk menghidupi Kerajaan Allah di sini dan sekarang, sampai untuk sementara waktu kita jadi makanan cacing, untuk sementara waktu kita beristirahat di dalam Tuhan, dan kita menantikan hari kebangkitan. Dalam waktu yang pendek kita bisa menjadi seperti bunga yang diciptakan Tuhan. Kita bisa menjadi indah walaupun pendek umur kita, dan kita bisa menghiasi dunia ini dengan bukan ketidakadilan yang membuat orang menggerutu terhadap kekuasaan, melainkan menghadirkan kekuasaan yang baik yang membuat orang bersyukur atas tatanan yang Tuhan izinkan ada dalam sejarah.
Terakhir, saya mengambil contoh dari kehadiran orang-orang Kristen di benua Amerika. Saya tidak tahu sejauh mana kita bisa katakan, tetapi kehadiran orang-orang Kristen di benua Amerika obviously menggantikan populasi yang lama yang memeluk agama yang lain, agama yang dalam gambaran para sejarawan Barat –yang tentu saja tidak netral– merupakan cara hidup yang mengerikan karena mengurbankan manusia sampai ratusan ribu, dsb., di piramida-piramida pengurbanan agama Inca, Aztec, dst. Itu sesuatu yang kita tentu bersyukur bahwa orang-orang Kristen menggantikan populasi mereka di dunia itu. Tetapi, really kita menghadirkan tatanan Kerajaan Allah di sana?
Demikian juga dengan kita di sini. Dalam waktu yang lama di Nusantara ini tidak ada orang Kristen, dan sekarang ada, jumlahnya tidak banyak, kira-kira 10% Protestan dan Katolik dalam 200 tahun ini. Lalu apa yang kita hadirkan di sini? Tatanan pemerintahan yang macam apa? Apakah itu jadi seperti derap langkah pasukannya Julius Caesar atau pasukan pemerintahannya Hitler ke Polandia? Pasukan yang dipimpin oleh Hernando Cortes di Amerika Latin? Ataukah menjadi seperti langkah-langkah kakinya Paulus, Petrus, Yohanes, dan murid-murid Tuhan yang lain di tanah-tanah berdebu di Palestina, di tanah-tanah berlapis batu di kota Roma, di pusat-pusat perdagangan Korintus dan Efesus dan Galatia, di tempat-tempat di mana mereka menjadi significant minority? Minority, tapi significant. Bukan signifikan karena mereka berbahaya, bukan signifikan karena mereka itu dominan, bukan signifikan karena mereka itu punya kuasa dan bisa membeli hukum, melainkan signifikan karena mereka itu orang-orang yang punya pengharapan, signifikan karena mereka itu orang-orang yang mengasihi, signifikan karena mereka itu orang-orang yang berbelaskasihan, orang-orang yang adil juga. Mereka itu orang-orang yang tahu apa makna hidup dan menghargai kehidupan.
Saya kira kita punya kesempatan untuk itu, yang semakin hari semakin sedikit, karena umur kita juga semakin habis. Mari kita tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dalam hidup kita yang pendek di bawah matahari. Kesempatan yang kita bisa pakai lewat apa? Lewat uang kita. Lewat kuasa kita. Asalkan kita menyadari bahwa kuasa dan uang itu bukan cuma satu sisi, ‘saya bayar segini, apa manfaatnya bagi saya’, melainkan kita pakai paradigma yang lain, ‘saya bayar segini, apa manfaatnya bagi dunia’, karena lewat dompet kita, kita punya dua sisi yang terpengaruh. Sisi yang satu, kita akan menerima sesuatu lewat dompet kita, kita belanja sesuatu dan ada sesuatu benefit kita dapatkan untuk kita; di sisi lain, kita menggerakkan ekonomi, kita bikin orang bekerja, kita bikin orang menghasilkan. Tetapi, dompet kita itu memilih beli yang mana, dompet kita itu menggerakkan orang kerja apa?
Saya bayangkan kalau dompet kita itu kita pakai seperti salah seorang yang namanya masuk Majalah Forbes –dan dia protes karena masuk ranking sekian padahal dia yakin harusnya ranking lebih tinggi lagi– dengan membeli pesawat 747 lalu bikin kolam renang di dalamnya, dan bikin garasi yang bisa menampung Rolls-Royce-nya yang berlapis emas. Tentu saja itu membuka lapangan kerja, mulai dari engineer Boeing yang jadi tukang modif pesawat, dsb.; tapi kerja untuk apa? Ya, boleh-boleh saja sih, duit juga duit Lu, Lu mau bikin kolam renag di pesawat silakan saja. Tapi, sedangkal pengamatan saya, itu sering kali hanya untuk ego saja. Mungkin juga dia tidak pernah berenang di pesawat. Dan, orang-orang yang bekerja menghasilkan kolam renang dalam pesawat itu mungkin bekerja puluhan ribu jam; tapi kerja untuk apa? Memuaskan ego satu orang. Jadi, saya pikir itu spending money yang kurang baik. Namun kalau kamu menghasilkan orang bekerja untuk misalnya bikin sanitasi bagi banyak orang yang tidak punya sanitasi yang bagus di negara-negara yang jelek, atau misalnya membiayai kepolisian yang bagus sehingga bisa muncul hal yang baik dalam sebuah masyarakat yang tenaga kepolisiannya sangat terbatas, atau mendanai sesuatu yang baik, mungkin itu akan lebih sulit.
Beli Rolls-Royce itu menyulitkan hidup, karena bukan saja musti keluar banyak uang, tapi juga musti memilih-milih dari begitu banyak opsi, warna joknya apa, kulitnya apa, dsb., tapi itu tidak sesulit spending uang untuk kebaikan, spending uang untuk misalnya bikin sekolah di bagian-bagian negara yang kurang berkembang di Indonesia timur dan semacamnya. Ini lebih sulit daripada memilih warna jok Rolls-Royce kamu pastinya. Tetapi, kalau kita tinjau manfaatnya bagi orang lain, saya kira dua hal itu bisa dengan gampang kita bisa compare, bahwa yang satu tadi hampir-hampir tidak ada manfaatnya buat orang lain selain kroni-kroni sendiri yang bisa meminjam 747 milikmu yang ada kolam renangnya itu, lalu selain itu tidak terlalu ada manfaatnya. Sedangkan kalau kamu spend 1 milyar dolar untuk mebangun infrastruktur di Afrika, atau mungkin di Indonesia Timur, atau yang lain, mungkin efeknya bisa lebih banyak.
Itu salah satu contoh yang kita bisa pikir dari dua sisi. Spending kita itu, untuk kita apa nilainya, di sini kita bicara mengenai price, the price of everything; dankita juga bisa pikir mengenai the value of everything. Saya kira segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan, maka segala sesuatu valuable. Tetapi kalau kita cuma tempelkan price tag di situ, tujuannya apa, ya? Mungkin tujuannya adalah ‘apa nilainya buat saya, saya, dan saya’; namun kita juga bisa pikir yang lain.
Kesuksesanmu, uangmu, kuasamu, apa dampaknya selain buat kamu, kiranya itu bisa menjadi refleksi kita juga.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading