Kita sedang dalam satu seri kotbah “Bagaimana Membaca Alkitab”; Saudara bisa mendapatkan pendekatan yang mirip dengan yang kita lakukan ini dalam video-video The Bible Project di internet. Tentunya ada tempatnya juga untuk menonton video orang-orang seperti Christian Prince, yang melihat keluar, soal ‘ini salahnya di sini di situ’ dsb., tapi di sisi lain ada ketimpangan kalau Kekristenan kita selalu mengenai cari tahu apa masalah dalam sistem kepercayaan orang lain, dan bukannya membangun diri dalam mengerti kepercayaan kita sendiri, mengerti Alkitab. Dalam Gerakan Reformed ada kecenderungan seperti ini juga, kadang-kadang jadinya main teologi identitas, ‘kita begini karena kita bukan mereka’; kita mengatakan “kita ini Reformed karena percaya predestinasi, orang lain tidak”, “kita ini Reformed karena kita pakai hymn, orang lain pakai drum”, dsb. Memang itu ada tempatnya, tapi jadinya identitas yang bersumber dari orang lain, ‘saya begini karena bukan begitu’. Pertanyaannya, kalau orang-orang lain itu hilang, Saudara jadinya siapa?? Seorang hamba Tuhan Reformed mengatakan, kalau mood kita dalam berelasi selalu seperti itu, ‘saya Reformed karena saya bukan Liberal dan bukan Kharismatik’, berarti eksistensi kita tergantung pada orang lain itu. Saudara, hari ketika tidak ada lagi Liberal, tidak ada lagi Kharismatik, maka Reformed pun boleh tidak ada. Itu logikanya. Kita perlu membangun diri dengan lebih positif –saya siapa, saya apa, identitas saya apa—sifatnya lebih konstruktif; dan bukan cuma tertarik menyerang keluar. Itu sebabnya seri kotbah ini (sekarang pertemuan ke-5) bertujuan untuk lebih membangun ke arah yang positif itu. Kita mempelajari bagaimana membaca Alkitab, apa itu Alkitab, bagaimana kita menggunakannya, bagaimana kita melihatnya, apa makna yang kita dapatkan dari situ –bukan cuma terus-menerus bicara ‘posisi saya begini, posisi orang lain begitu, saya bukan mereka’.
Dalam seri ini saya berusaha memperlihatkan, bahwa Alkitab bukan cuma sebuah DVD untuk ditonton, melainkan sebuah DVD yang hadir bersama dengan kacamata 3D-nya. Tentu saja Saudara bisa nonton film 3D tanpa kacamatanya, tapi gambarnya jadi berbayang, dan Saudara bisa kehilangan banyak hal. Gambar yang berbayang itu baru terfokus dan Saudara bisa menangkap lebih dalam lagi maknanya, ketika Saudara melihatnya sebagaimana film tersebut harusnya ditonton, yaitu dengan kacamata 3D. Ada banyak istilah dalam Alkitab yang kita lihat berbayang, kita tidak mengerti sebagaimana bagian itu harusnya dimengerti. Contohnya, istilah yang berkenaan dengan lokasi; banyak sekali Alkitab menyebutkan “di timur”, dan kita biasa mengertinya bukan dengan kacamata Alkitab melainkan dengan kacamata kita sekarang, yaitu ‘timur’ itu mengacu pada suatu arah secara geografis. Tapi tidak seperti itu yang dimaksud Alkitab, ada sesuatu yang lebih dalam. Kita akan lihat beberapa ayat.
Kejadian 2: 8, Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; di situlah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu. Ini pertama kalinya muncul kata ‘timur’; di bagian ini masih normal, memang cuma menunjukkan arah/lokasi. Tapi coba lihat beberapa ayat berikutnya ketika kata ‘timur’ muncul dan muncul lagi, dan lama-lama artinya bukan sekedar lokasi lagi. Kejadian 3: 24, Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkan-Nyalah beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan. Kata ‘timur’ digunakan lagi, nuansanya mulai sedikit lebih mendalam, karena ternyata ‘timur’ adalah tempat manusia pertama itu diusir dari Taman Eden. Kejadian 4: 16, Lalu Kain pergi dari hadapan TUHAN dan ia menetap di tanah Nod, di sebelah timur Eden. Kejadian 11: 2, cerita Menara Babel: Maka berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana. Kejadian 13: 11, cerita tentang Abraham dan Lot berpisah: Sebab itu Lot memilih baginya seluruh Lembah Yordan itu, lalu ia berangkat ke sebelah timur dan mereka berpisah.
Lewat pengulangan-pengulangan istilah ‘timur’, Saudara akan mulai menangkap bahwa istilah ‘timur’ ini sepertinya digunakan dengan satu makna simbolis yang menempel pada istilah tersebut, yang maknanya bukan cuma lokasi geografis. Ada sesuatu yang negatif. Timur sepertinya suatu lokasi, yang orang pergi ke situ akibat dosa mereka, atau untuk melakukan dosa, atau karena pilihan-pilihan mereka yang bodoh. Adam dan Hawa diusirnya ke sebelah timur. Kain, setelah membunuh Habel lalu dikonfrontasi Allah, perginya ke sebelah timur. Orang-orang mendirikan Menara Babel di sebelah timur. Lot, waktu berpisah dari Abraham, perginya ke arah Sodom Gomora di timur. Ada nuansa yang bukan cuma lokasi geografis.
Kejadian 16: 12, “Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya.” Kata-kata ‘di tempat kediamannya’ dalam ayat ini, bahasa aslinya adalah: “dia akan berdiam di sebelah timur dari semua saudara-saudaranya” (“and he will live to the east af all his brothers” –terjemahan NASB). Di sini LAI sangat peka menerjemahkan kalimat tersebut dengan tepat, bahwa yang namanya ‘timur’ bukanlah sekedar lokasi geografis, tapi ada satu nuansa makna simbolis yang lebih dalam.
Itu semua dalam Kitab Kejadian, tapi masih banyak lagi yang lain di luar Kitab Kejadian. Daerah teritori Israel sebelah timur dari Sungai Yordan, memang diberikan kepada mereka, tapi hampir tidak pernah ditaklukan secara tuntas. Lembah Kidron di sebelah timur Bait Allah di Yerusalem, merupakan tempat sampah, dan sampai hari ini tetap tempat sampah. Dalam Kitab Mazmur, dikatakan “dengan angin timur Engkau memecahkan kapal-kapal Tarsis” –ada nuansa negatif, destruktif. Waktu bangsa Israel dibuang, mereka dibuang ke Asyur; waktu bangsa Yehuda dibuang, mereka dibuang ke Babilonia. Di mana Asyur dan Babilonia itu? Di sebelah timur.
Jadi, waktu kita melihat istilah-istilah di Alkitab, ada kacamata yang lain yang harus kita pakai untuk membacanya. Ini bukan sekedar rekaman CCTV atau titik di peta untuk kita ketahui sebagai arah/lokasi geografis. Ada sesuatu yang lebih dalam. Ada sesuatu yang mungkin selama ini kita lihatnya berbayang.
Contoh lain, mengenai waktu. Istilah ’40 hari’ berkali-kali muncul di Alkitab, dan itu ada maknanya. Itu bukan sekedar penanda waktu. Kalau Saudara perhatikan, setiap waktu ’40 hari’ diberlakukan, biasanya mengacu pada satu periode waktu yang orang masuk ke periode tersebut karena kegagalan, atau satu periode waktu yang orang diuji lalu gagal. Musa harus berkelana 40 tahun di padang gurun, karena dia terlalu cepat bertindak tanpa pikir dulu, dia membunuh orang. Israel akhirnya masuk ke padang belantara juga selama 40 tahun, karena mereka tidak percaya pada Tuhan untuk masuk ke Tanah Kanan, terhasut oleh 10 pengintai yang jahat. Menariknya, setelah itu semua, hal ini dikontraskan dengan Yesus yang berpuasa 40 hari dalam Perjanjian Baru. Sekarang Saudara bisa melihat makna yang lebih dalam, karena Yesus masuk ke dalam 40 hari itu bukan akibat kegagalan, melainkan Roh Kudus yang membawa Dia masuk ke situ; dan periode 40 hari itu berakhir dengan kesuksesan, bukan kegagalan. Ada satu makna simbolis –yang bukan sekedar apa, di mana, berapa lama– di balik itu semua.
Kita melihat di sini, Alkitab bukan sekedar rekaman CCTV melainkan sebuah lukisan. Penggunaan bahasa dan istilah-istilah di dalamnya bukan sekedar rekaman belaka, melainkan kuas dari seorang seniman yang menggoreskan makna-makna lebih dalam. Alkitab menuntut kita untuk membacanya lewat kacamata tertentu. Kita sudah membicarakan ini dalam kisah “Anak Muda yang Kaya”. Anak muda ini punya konsep Kerajaan Allah sebagai sesuatu yang harus dia peroleh, yang dia bawa masuk ke dalam hidupnya. Tetapi Yesus mengatakan bukan seperti itu; justru dialah yang harus masuk ke dalam Kerajaan Allah. Demikian juga dengan Alkitab. Kalau Saudara mau mengerti Alkitab, mau kembali ke Alkitab, itu berarti Saudara harus rela masuk ke dalamnya. Masuk mengerti istilah-istilah ini, masuk mengerti nuansa-nuansa yang sarat simbol seperti ini, bukan hanya berdiri di luar dan berharap ada sesuatu yang Saudara bisa bawa masuk ke dalam hidupmu. Tapi masalahnya, inilah cara banyak orang Kristen memandang Alkitab. O, saya perlu penghiburan dari Alkitab –untuk masuk ke dalam hidup saya. O, saya perlu pengetahuan dan prinsip-prinsip dari Alkitab –untuk masuk ke dalam hidup saya. O, saya perlu aplikasi yang relevan dan mendarat –bagi hidup saya. Akhirnya Saudara tidak memberi waktu untuk mempelajari secara dalam cara Alkitab menggunakan istilah-istilahnya, gaya bahasanya. Karena Saudara ingin cepat-cepat mendapatkan maknanya, Saudara malah kehilangan lapisan makna yang lebih dalam.
Mungkin ada yang mengatakan, “Tapi semua urusan gaya bahasa itu ‘kan cuma bumbunya? Yang utama ‘kan bagaimana kita mendapatkan prinsip, doktrin, dari semua itu? Jadi ‘gak masalah dong kalau kita sedikit kehilangan bumbu-bumbunya?” Dalam gerakan Reformed kadang-kadang ada kecenderungan seperti ini. Waktu belajar teologi, belajar Alkitab, kita mengikis semua bumbu-bumbu itu –unsur-unsur sastrawi tulisannya—untuk mendapatkan prinsip-prinsip. Tapi yang saya mau katakan lewat seri kotbah ini, jangan-jangan itu pendekatan yang justru terbalik. Bagaimana jika Alkitab justru membentuk kita lewat bumbu-bumbu tersebut? Bagaimana jika unsur-unsur sastrawi tersebut bukan bumbu-bumbunya, melainkan justru dagingnya? Bagaimana jika Alkitab justru membentuk kita terutama lewat nuansa-nuansa makna lapisan-lapisan yang lebih dalam itu? Hari ini kita akan coba lihat hal ini, bahwa inti dari kisah-kisah Alkitab sampai kepada kita lewat sastranya, dan bukan lewat doktrinnya saja. Doktrin penting, tapi bukan satu-satunya yang penting. Unsur sastrawi Alkitab –cara penulisannya, gaya bahasanya, istilah-istilah simboliknya—bukanlah bumbu tapi justru dagingnya.
Kita sudah melihat ini dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kalau kita datang kepada Alkitab untuk mendapatkan prinsip-prinsip, kita jadi nabrak, mentok, karena kita melihat Alkitab malah sengaja membuang detail-detail yang paling penting. Kita mau tahu alasannya Tuhan taruh pohon itu di Taman Eden, tapi bagian itu malah sengaja dibuang. Kita mau tahu prinsipnya, alasannya, yang membuat persembahan Kain salah, tapi Alkitab seperti malah sengaja melewatkan detail itu. Dan kita sudah membahas, jika kita mengganti kacamata kita, melihat itu bukan sebagai sesuatu yang negatif, sebaliknya merupakan satu cara pendidikan yang tepat dari Alkitab, maka kita mulai melihat satu tujuan dan makna yang lebih dalam.
Hari ini kita akan melihat satu cara yang lain dalam membaca Alkitab, yaitu bagaimana Alkitab membentuk lapisan makna yang lebih dalam melalui strategi sastra yang sangat sederhana, yaitu pengulangan/repetisi. Kita akan melihat satu contoh yang lebih pendek dengan pengulangannya di dalam kitab yang sama, dan satu contoh yang lebih besar dengan pengulangannya yang bukan cuma di dalam kitab tersebut tapi juga di antara kitab-kitab yang berbeda.
YANG PERTAMA, contoh pengulangan intra kitab (dalam satu kitab yang sama). Kalau Saudara membuka Injil Lukas, ada cerita baptisan Tuhan Yesus di pasal 3; beberapa bagian setelahnya, kita akan mendapati Lukas mengulang suatu istilah, dan kita akan melihat bagaimana Lukas memberikan makna di balik istilahyang diulang itu.
Lukas 3: 22, Dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengarlah suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” Setelah itu, berikutnya adalah bagian mengenai toledot (silsilah); di bagian terakhirnya, ayat 38 dikatakan: ‘anak Enos, anak Set, anak Adam, anak Allah.’ Kita lanjut ke narasi tentang pencobaan di Lukas 4: 3, Lalu berkatalah Iblis kepada-Nya: “Jika Engkau Anak Allah, suruhlah batu ini menjadi roti.” Setelah pencobaan itu, Yesus mulai pelayanan-Nya, dan Dia sampai di kampung halaman-Nya, Nazaret. Di situ orang-orang mengatakan seperti yang dicatat Lukas 4: 22, Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” Setelah itu, ada bagian yang menceritakan Yesus melayani, dan Yesus bertemu dengan roh-roh jahat. Apa yang roh jahat ini katakan? Lukas 4: 41, Dari banyak orang keluar juga setan-setan sambil berteriak: “Engkau adalah Anak Allah.” Lalu Ia dengan keras melarang mereka dan tidak memperbolehkan mereka berbicara, karena mereka tahu bahwa Ia adalah Mesias.
Apakah Saudara mulai lihat sesuatu di sini? Pengulangan. Apa yang diulang? Ini 5 kisah yang berurutan. Kita bisa jadi sudah mempelajari bagian-bagian ini, tapi mungkin kita mepelajarinya satu demi satu, terpisah-pisah. Tapi sekarang kita melihat ada pola sastrawi yang disengaja; inilah yang saya maksud dengan bagaimana struktur sastranya membuka lapisan makna yang lebih dalam.
Waktu melihat kisah yang pertama, istilah ‘Anak Allah’ mungkin sesuatu yang wajar, lumrah, sekedar data saja, itu nama-Nya, Yesus memang disebut sebagai Anak Allah. Tapi berikutnya Lukas tiba-tiba memasukkan silsilah. Ini aneh karena silsilah biasanya di awal, seperti Matius. Mengapa Lukas seakan-akan ingin sekali memunculkannya di bagian yang ini? Lagipula Lukas memakai urutan yang lain; kalau Matius memulai silsilahnya dari yang awal terus ke belakang, Lukas sebaliknya, dia memakai urutan dari belakang ke awal. Matius mulai dari Abraham sampai kepada Yesus; Lukas mulai dari Yesus sampai kepada Adam. Mengapa harus seperti ini? Yaitu supaya yang paling klimaks yang disebutkan dalam silsilah ini, adalah istilah ‘Anak Allah’. Jadi ada sesuatu di sini. Mulanya ada perkataan “Engkau adalah Anak-Ku yang Kukasihi” (peristiwa baptisan), lalu tiba-tiba ada silsilah yang berakhir dengan ‘Anak Allah’. Kisah berikutnya mengenai pencobaan. Di situ identitas Yesus sebagai Anak Allah dipertanyakan, diragukan, “Jika Engkau Anak Allah… ” –ada makna yang lebih dalam di sini. Kisah berikutnya ketika Yesus masuk ke kampung halaman-Nya, orang-orang melihat Dia mengajar, mereka mengatakan “Lah, ini bukannya anak Yusuf?” Ada makna yang lebih dalam di sini, ada sesuatu yang muncul yang Saudara tidak lihat sebelumnya. Di kisah berikutnya ketika Yesus mengusir setan, dan malah dari setan yang terusir itulah keluar kalimat pengakuan “Engkau Anak Allah”!
Sekarang coba Saudara pikir, kita baru saja melihat semua kisah ini secara bersamaan, beda atau tidak, dengan waktu kita mempelajarinya secara satu-satu, terpisah-pisah, seperti selama ini? Ada lapisan makna yang lain atau tidak, yang sekarang muncul bagi Saudara? Setiap kali istilah yang diulang itu muncul, seperti ada ‘tiiinggg’ di kepala Saudara; dan yang paling menarik di kisah ke-4, ‘tiiinggg’ itu muncul keras sekali, justru karena istilahnya tidak sama dengan yang sebelumnya. Anak Allah, Anak Allah, Anak Allah, anak Yusuf … –nah, ada sesuatu yang nendang di sini. Tetapi, kalau Saudara baca kisah-kisah tersebut secara sendiri-sendiri, apakah ‘tiiinggg’ itu akan keluar? Kalau Saudara menggalinya cuma satu kisah itu doang, apakah akan nendang? Apakah perasaan ‘O, ada sesuatu yang …’ itu akan keluar? Tidak. Inilah yang saya maksud dengan lapisan makna yang lebih dalam, yang hanya bisa kita dapatkan kalau kita peka akan bagaimana Alkitab ditulis sebagai sastra, dengan ada pola-pola sastranya, ada goresan-goresan kuas yang sengaja di balik lukisan ini. Bukankah ini juga caranya kalau kita mau bikin orang terhenyak?
Kalau saya mau mengejutkan orang, memberinya bakso yang dalamnya ada kecoa, caranya bagaimana? Saya pertama-tamanya harus kasih dia bakso yang asli, yang enak, yang bersih dulu. Orang itu makan dengan enaknya. Lalu waktu-waktu berikutnya, saya kasih bakso lagi, yang sama, tidak ada kecoanya. Ketiga kalinya juga begitu. Orang itu makin percaya. Keempat kalinya, dia kaget setengah mati karena dia tidak sangka kali ini baksonya ada kecoa. Seperti ini juga kisah-kisah tadi; Anak Allah, Anak Allah, Anak Allah, anak Yusuf. Hal ini baru berasa ketika ada pengulangan itu. Seperti juga sebuah lelucon baru nendang ketika sudah ada dasarnya. Misalnya, saya mengatakan begini: “Suatu hari, di depan rumah sakit bedah plastik, berdirilah seorang wanita, bernama Ratna Sarumpaet” –Saudara langsung bisa menangkap ada maknanya. Mengapa? Karena sudah ada bagian sebelumnya. Seperti inilah sastra. Sastra membentuk maknanya tidak langsung dengan menyajikan satu blok, melainkan dikasih dulu, sedikit demi sedikit, diubah di sini sana, diulangi lagi atau digemakan dengan cara yang lain; dan itu memberikan makna yang nendang, yang kita tidak dapatkan kalau kita ambil satu-satu. Inilah dampak dari pengulangan/repetisi. Kita seringkali menganggap pengulangan itu membosankan, tapi pengulangan justru punya kuasa membangun ekspektasi orang, lalu tiba-tiba ‘baanggg..!’, Saudara dibelokkan dan malah jadi exciting.
Dalam pembacaan Lukas tadi, kita melihat lapisan makna yang lebih dalam; ternyata itu bukan bagian-bagian yang terlepas sendiri-sendiri tapi semua bagian tersebut berfokus pada urusan identitas Yesus sebagai Anak Allah, dilihat dari 5 perspektif yang berbeda-beda. Di kisah pertama, mulai di-establish, dari Allah sendiri. Kisah kedua, Yesus disambungkan ke manusia yang pertama. Dalam kisah ketiga, Dia mulai diragukan. Kisah keempat, orang Nazaret bahkan hanya bisa melihat Dia sebagai anak Yusuf. Di kisah kelima, muncul lagi pengakuan itu, tapi datangnya dari sumber yang tidak terduga yaitu dari setan sendiri. Inilah lapisan-lapisan maknanya. Semua ini menunjukkan bagaimana Alkitab perlu dibaca dalam satu kacamata tertentu, kacamata sastrawi seperti ini, dan hasilnya malah lebih jelas, lebih nendang, akan apa sebenarnya tujuan dan makna yang mau dibawa lewat kisah-kisah ini. Kisah-kisah ini jadinya datang dengan satu warna yang kita selama ini tidak peka, karena kita pikir Akitab adalah rekaman kamera CCTV yang hitam putih. Itu disebabkan karena kita maksa melihat Alkitab lewat kacamata kita sendiri, padahal Alkitab itu sebenarnya satu lukisan yang begitu indah, dengan warna-warna yang begitu limpah dan kaya, dilukis dengan seni yang begitu tinggi. Lewat cara pengulangan, hal itu malah lebih membekas, lebih memorable. Kalau selama ini Alkitab terasa membosankan, mungkin bukan masalah Alkitabnya, tapi kita yang membaca inilah orang-orang yang membosankan.
YANG KEDUA, contoh pengulangan antar kitab (dalam kitab yang berbeda-beda). Kita kembali ke Kitab Kejadian lebih dahulu; salah satu istilah yang selalu muncul di Kitab Kejadian, di pasal 1, yang diulang terus adalah: baik, baik, baik, baik, baik, baik, sangat baik. Ini contoh dampak pengulangan; yang terakhir, ‘sangat baik’, tidak bakal bermakna kecuali sudah ada ‘baik, baik, baik, baik, baik, baik’. Kita juga bisa main piano ‘jreeennggg…’, ada maknanya, tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan ‘teng, teng, teng, teng, jreeennggg…’. Contoh-contoh ini saja sudah membuat kita sadar akan dampak dari pengulangan.
Tetapi ternyata yang diulang di sini bukan cuma kata ‘baik’, yang diulang adalah pola kalimat ‘Allah melihat bahwa itu baik’. Dan istilah ‘melihat’ ini juga berlanjut waktu dikatakan Allah melihat bahwa tidak baik jikalau manusia seorang diri. Jadi ada satu makna di balik ini. Di sini kita melihat gambaran Tuhan, bukanlah cuma sebagai Pemberi apa yang baik, tapi juga Pelihat apa yang baik. Dia yang melihat, Dia yang menentukan, apa yang baik dan apa yang tidak.
Dalam kisah ini, berikutnya Tuhan memberikan pohon-pohon. Kejadian 2: 9, Lalu TUHAN Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Sekarang ada pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, dan Tuhan melarang manusia makan buahnya. Mengapa? Karena mengambil dan makan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, itu bukan cuma soal ‘mengetahui’ tapi ‘menentukan’, seperti ‘kamu tahu mengenai arsitektur, maka silakan kamu yang menentukan mengenai arsitektur’. Ada hubungan antara tahu dengan otoritas. Tapi mengapa manusia dilarang mengambil buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat? Lalu Saudara lihat soal istilah ‘melihat’ dan ‘baik’; dan kita jadi mengerti sekarang, manusia dilarang karena itu perannya Tuhan. Tuhanlah yang berhak untuk melihat, menentukan, apa yang baik dan yang jahat; akan ada sesuatu yang negatif jika manusia mengambil peran ini. Dan itulah godaan setan, kalau mereka makan buah pohon itu, mereka akan jadi seperti Allah –Sang Pelihat apa yang baik dan yang tidak baik. Mereka gambar Allah, harusnya mereka merefleksikan/memantulkan apa yang Allah lihat sebagai baik dan jahat. Mereka tidak mau. Mereka mau naik ke levelnya Allah; tidak puas dengan leven pemantul, mereka mau jadi pelihat.
Sekarang kita buka Kejadian 3: 6, ‘Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, … .’ (‘ting..ting..ting..ting’) Persis sebelum sampai bagian ini, tokoh yang berurusan dengan ‘melihat’ dan ‘baik’ adalah Allah; dan di ayat ini, ada manusia yang mau mengambil peran itu. Di sini Saudara diberikan gambaran manusia yang bukan cuma rekaman CCTV; tujuan bagian ini bukan memberitahu Saudara bahwa cahaya yang dipantulkan dari buah itu masuk ke mata manusia yang melihat, tapi ada satu makna simbolis tertentu di balik penggunaan istilah-istilah ini. Kita mungkin sudah tahu ceritanya, tapi ada makna yang lebih dalam, yang mungkin kita tidak lihat sebelumnya. Penulis bisa saja menggunakan istilah-istilah lain, tidak harus pakai istilah yang sama itu terus-menerus. Tetapi, jika dia memakai istilah tersebut terus-menerus, berarti ini disengaja. Dia melakukan ini untuk membawa kita bukan cuma mengetahui apa yang terjadi, melainkan makna dari yang terjadi. Inilah Alkitab. Sedihnya, selama ini mungkin kita tidak melihat sampai level ini.
Sekarang kita lompat ke Kitab 1 Samuel, kita akan melihat ke dalam kisah Nabi Samuel dan Saul. Kita sudah pernah membahas, Alkitab itu jarang memberikan detail, khususnya mengenai penampakan/penampilan perawakan tokoh-tokohnya. Jadi, setiap kali ada detail mengenai penampakan seseorang dalam Alkitab, Saudara harus langsung tangkap itu sebagai sesuatu yang disengaja, satu hal yang penting, ada makna simboliknya, ada satu nuansa makna di baliknya. Saul dikisahkan sebagai seorang yang tinggi, begitu besar, orang lain cuma sebahunya. Apakah deskripsi ini cuma iseng-iseng, supaya kita tahu rekaman CCTV tentang seperti apa Saul, ataukah ada makna tertentu di sini? Kita lanjutkan ceritanya.
Dalam Kitab 1 Samuel, cerita Saul dimulai ketika ayah Saul kehilangan beberapa keledai, lalu Saul ditugaskan mencarinya. Ketika mereka sampai ke tanah Zuf, berkatalah Saul kepada bujangnya yang bersama-sama dengan dia: “Mari, kita pulang. Nanti ayahku tidak lagi memikirkan keledai-keledai itu, tetapi kuatir mengenai kita.” Tetapi orang ini berkata kepadanya: “Tunggu, di kota ini ada seorang abdi Allah, seorang yang terhormat; segala yang dikatakannya pasti terjadi. Marilah kita pergi ke sana sekarang juga, mungkin ia dapat memberitahukan kepada kita tentang perjalanan yang kita tempuh ini” (1 Samuel 9: 5-6). Jadi Saul dan bujangnya mencari abdi Allah, Tapi anehnya, di ayat 9 tiba-tiba kisahnya diinterupsi oleh sang narator untuk menjelaskan satu hal (1 Samuel 9: 9): — Dahulu di antara orang Israel, apabila seseorang pergi menanyakan petunjuk Allah, ia berkata begini: “Mari kita pergi kepada pelihat,” (‘ting..ting..ting..ting’) sebab nabi yang sekarang ini disebutkan dahulu pelihat –(‘ting..ting..ting..ting’). Mengapa si narator harus menjelaskan seperti ini? Berarti ini istilah penting. Hmmm, di mana ya, pernah dengar istilah ini sebelumnya?
Akhirnya mereka bertemu dengan pelihat itu, yang adalah Samuel. Jadi inilah Samuel, sang pelihat, maka dia harusnya bisa melihat. Apa yang dia lihat? Dalam lanjutan ceritanya, dia melihat ‘apa’ pada Saul, yaitu perawakannya. Dia kagum dengan perawakannya. Saul begitu tinggi dan mengesankan, itulah yang dia lihat. Belakangan, ketika Saul dinobatkan jadi raja, hal ini jelas sekali muncul. 1 Samuel 10: 23-24, Berlarilah orang ke sana dan mengambilnya dari sana, dan ketika ia berdiri di tengah-tengah orang-orang sebangsanya, ternyata ia dari bahu ke atas lebih tinggi dari pada setiap orang sebangsanya. Dan Samuel berkata kepada seluruh bangsa itu: “Kamu lihatkah (‘ting..ting..ting..ting’) orang yang dipilih TUHAN itu? Sebab tidak ada seorang pun yang sama seperti dia di antara seluruh bangsa itu.” Lalu bersoraklah seluruh bangsa itu, demikian: “Hidup raja!” Saudara lihat di sini si nabi, pelihat itu, dan inilah yang dia lihat, berarti yang dia lihat itu adalah yang baik. Ini makna yang Saudara dapatkan kalu mengingat yang terjadi di Kitab Kejadian. Tapi kita tahu, sesudah itu semua, yang terjadi dalam kisah Saul adalah mengenai kegagalan demi kegagalan Saul, sampai akhirnya Allah menolak dia sebagai raja, lalu muncullah kisah bagaimana Daud diperkenalkan. 1 Samuel 16: 1, Berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Berapa lama lagi engkau berdukacita karena Saul? Bukankah ia telah Kutolak sebagai raja atas Israel? Isilah tabung tandukmu dengan minyak dan pergilah. Aku mengutus engkau kepada Isai, orang Betlehem itu, sebab di antara anak-anaknya telah Kupilih seorang raja bagi-Ku.” Kata ‘Kupilih’ di ayat ini dalam bahasa aslinya ‘Kulihat’ – “di antara anak-anaknya telah Kulihat seorang raja bagi-Ku.” Sekarang Saudara mulai dapat makna yang lebih dalam, “Oo.. itu… “; dan itu karena pengulangan.
Kita diberikan satu tokoh pelihat, Samuel, yang harusnya bisa kita andalkan dalam apa yang dia lihat sebagai baik dan tidak baik. Dia pemimpin bangsa Israel, dia harusnya melihat mewakili Allah. Dia melihat bagi orang Israel, dia yang akan menentukan bagi orang Israel apa yang baik dan apa yang tidak baik. Lalu apa yang Samuel lihat dari Saul? Tinggi badannya tok. Keperkasaannya tok. Dan, orang yang dilihat baik ini akhirnya gagal total. Muncullah cerita berikutnya, kisah Daud. Tuhan Allah masuk ke dalam adegan dan mengatakan, “Yah, Samuel, kamu tidak berhasil melihat dengan benar, sekarang Aku kasih tahu apa yang Aku lihat”. Berikutnya Isai membawa 7 anaknya satu demi satu, dan Samuel melihat mereka.
1 Samuel 16: 6, Ketika mereka itu masuk dan Samuel melihat Eliab, lalu pikirnya: “Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya.” Di sini, kalau Saudara mengerti bagaimana membaca Alkitab, ini adalah momen yang membuat kita menghela nafas, ‘Hadeehhh…, Samuel, Samuel, masih saja… “; dan Tuhan langsung menampik di ayat 7: Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya.” Dalam bahasa aslinya permainan katanya lebih jelas, dikatakan “jangan melihat kelihatannya”. Lalu Tuhan melanjutkan: “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
Sekarang, apakah Alkitab membosankan? Saudara sudah tahu cerita ini, tapi mungkin baru sekarang kita melihat nuansa, signifikansi, dan bobot dari istilah-istilah ini, dan ceritanya sekarang punya makna yang lebih dalam. Ini ternyata bukan cuma urusan mengenai Saul dan Samuel. Saudara juga sudah tahu urusan Tuhan melihat berbeda dengan Samuel melihat, tapi Saudara sekarang dikasih lihat, bahwa kisah ini ada hubungannya dengan kisah yang di awal. Ini cerita Alkitab yang terus-menerus diulang. Kisah mengenai ketegangan antara Allah yang berhak melihat, dengan manusia yang senantiasa berusaha mengambil alih peran itu; dan kisahnya selalu berakhir dengan kerusakan, kegagalan, dan kehancuran, yang datang ketika manusia sok-sok’an mengambil peran pelihat itu. Ada lapisan makna yang lebih dalam sekarang, dan lebih nendang, bahkan lebih memorable. Saudara tentunya tidak akan gampang lupa kisah-kisah dan makna-makna seperti ini kalau sudah menyelami sampai sedalam ini. Seperti waktu Saudara tadi melihat soal ‘Anak Allah’ dalam Lukas, Saudara merasa ‘Oo… ternyata begitu’. Ironis.
Banyak orang hari ini begitu ‘wow’ dengan Avengers Endgame karena bisa menarik benang merah dari film yang pertama sampai ke-23. Bagi orang-orang yang mengikuti film tersebut dari ke-1 sampai ke-23, ketika kalimat yang paling klimaks itu keluar, kita akan ‘ya, ampun, jadi ini nyambung ke sana…’; tapi waktu melihat gambaran Alkitab, kita bilang, “O, Alkitab ‘gak kayak gitu”, kita sudah berasumsi Alkitab itu buku yang membosankan, isinya cuma prinsip-prinsip. Saudara, kita akan eksplor ini terus dalam kotbah-kotbah berikutnya, Saudara akan melihat lebih dalam lagi istilah-istilah yang lain, bahwa Alkitab sebenarnya sudah lebih dulu ribuan tahun sebelum Avengers Endgame, memakai cara itu untuk mengungkapkan kedalaman maknanya, dengan intrikasi yang luar biasa kompleks yang film tersebut tidak mungkin bisa menyaingi. Hanya pertanyaannya, mengapa selama ini Saudara dan saya tidak pernah lihat hal ini? Karena selama ini kita memperlakukan Alkitab secara begitu rendah. Buat kita, Alkitab hanyalah satu kitab yang kita mau memperoleh sesuatu darinya masuk ke dalam hidup kita, tapi kita tidak rela untuk masuk, hidup, di dalamnya. Kita memperlakukan Alkitab sebagai rekaman CCTV, sebagai kitab KUHAP, sebagai musik pop, padahal ini karya sastra yang begitu tinggi sehingga perlu waktu, perlu keringat, perlu ketekunan, untuk kita bisa benar-benar mengerti dan menikmati.
Waktu Saudara mendengar musik Mozart atau Bach, Saudara juga bisa langsung menangkap keindahannya. Tapi problemnya, seringkali kita berhenti sampai di situ. Padahal Mozart, apalagi Bach, tidak seperti musik pop; waktu Saudara mendengarkannya lagi dan lagi, Saudara akan mendapat lagi dan lagi sesuatu yang lebih dalam, misalnya ‘eh, ternyata melodi yang ini sudah keluar di 4 movement sebelumnya, lalu mengapa muncul lagi, ya, dengan cara yang berlainan, tadinya mayor sekarang minor, dsb., wow! keren banget!’ Dan, Saudara bisa mengerti pengulangan-pengulangan itu ketika Saudara memperlakukan Akitab sebagaimana Mazmur 1 menyuruh kita memperlakukannya, dengan merenungkannya siang dan malam. Kata ‘merenung’ di sini adalah ‘meditasi’, dan kata ini tidak tepat untuk mengungkapkan semua yang terjadi karena ‘meditasi’ (hagah dalam bahasa Ibrani) dipakai dalam berbagai tempat lain, misalnya suara beruang yang sedang mengunyah mangsanya, atau suara merpati-merpati yang sedang nongkrong di atap. Jadi meditasi/ merenungkan di sini bukan cuma aktifitas mental, tapi maksudnya membaca dan membaca ulang, menggumamkan Alkitab, terus-menerus, menikmatinya, mengunyah dan mengunyahnya siang dan malam –masuk ke dalam Alkitab, bukan cuma mau sesuatu dari Alkitab yang bisa masuk ke dalam hisup kita.
Di internet, ada orang-orang yang bisa memberikan koneksi-koneksi/benang merah antara film Star Wars yang pertama dengan yang ke-6, bahwa ternyata ada kemiripan di sini sana, sementara kita tidak pernah melihat itu. Kita malah biasa menganggap orang seperti itu orang-orang nerd, yang nonton Avengers 3 kali di bioskop dan 4 kali di DVD. Tapi itulah sebabnya dia bisa mengerti benang merahnya. Lalu bagaimana jika panggilan Saudara dan saya adalah menjadi nerd-nya Alkitab? Mazmur 1 jelas ditujukan bukan pada golongan orang tertentu, seperti imam-imam, nabi-nabi; Mazmur 1 itu ideal bagi seluruh umat Tuhan. Tapi kita inginnya Alkitab itu Firman Allah yang berarti Alkitab itu jelas, tokcer, cepat; dan tidak heran kita berakhir dengan kesimpulan bahwa Alkitab adalah kitab yang kita tidak mengerti, dan super membosankan. Siapa yang perlu bertobat di sini? Alkitab-kah?
Mari kita bertobat. Kembali ke Alkitab. Bukan memperlakukan Alkitab sebagai rekaman CCTV. Bukan memperlakukan Alkitab sebagai kitab KUHAP atau ensiklopedi, tapi memperlakukan Alkitab sebagai kitab yang kudus. Kitab yang lain daripada yang lain. Kitab di mana kita rela memasukkan diri ke dalamnya, bukan cuma untuk memperoleh sesuatu keluar darinya masuk ke dalam hidup kita. Lalu mulai dari mana? Hanya dengan membacanya terus. Tinggalkanlah model saat teduh yang setiap kali menuntut bagian yang kita baca harus ada poinnya, harus ada aplikasinya; dan akhirnya Saudara jadi orang yang nonton film yang panjangnya 2 jam tapi cuma Saudara tonton klip singkatnya yang 5 menit. Lalu setiap kali nonton, Saudara merasa ini harus relevan bagi hidup saya, harus ada poin-nya bagi hidup saya, lalu setelah menemukan, Saudara akhirnya malas menonton selama 2 jam sampai filmnya selesai. Ironis. Ketika ada orang bilang, “Nonton dulu keseluruhannya, baru deh, lu bicara soal poin, aplikasi, atau apapun”, Saudara lalu menertawakan dia, “Ha.. ha.. ha.. ‘gak bisalah, ya, siapa yang punya waktu untuk itu?? Cara yang bener, ya, kayak gini, saya harus dapet sesuatu dalam 5 menit pertama, atau berarti film itu jelek, yang saya ‘gak perlu tonton.”
Sampai di sini, mungkin Saudara bilang, “Aduh, Pak, jadinya untuk kita mengerti Alkitab itu ada bau-bau elitis, tidak boleh sembarangan, harus paham kode rahasia yang tidak semua orang tahu.” Kalau seperti ini, Saudara melihatnya terbalik. Justru ini cara pendidikan yang anti elitisme, sangat merakyat, karena kalau pakai pendekatan seperti ini Saudara tidak perlu bahan lain selain Alkitab, Saudara tidak perlu jadi Ph. D. Bagaimana semua makna-makna yang tadi itu keluar? Bagaimana kita bisa menangkap makna-makna yang tadi itu? Bagaimana tadi Saudara akhirnya bisa ‘ngeh bahwa ada nuansa tertentu di balik istilah ‘timur’? Bagaimana caranya tadi Saudara menangkap ada nuansa tertentu di balik penggunaan istilah ‘Anak Allah’ dalam Lukas? Bagaimana caranya tadi Saudara bisa menangkap ada nuansa yang begitu dalam di balik kata ‘melihat’ dan’ baik’? PENGULANGAN.
Pengulangan/repetisi bukan cara yang elit. Inilah cara yang paling mendasar dalam komunikasi. Saudara tidak perlu jadi Ph. D. untuk mengerti makna yang dibawa lewat pengulangan. Selama ini kita tidak melihatnya, bukan karena Alkitab terlalu elit, mungkin justru kita yang menaruh diri terlalu elit bagi Alkitab. Saya maunya mendapatkan hal-hal yang canggih! Prinsip, doktrin, yang mutakhir, yang melampaui semua pikiran manusia, itu yang saya mau! Itu baru Alkitab! Tapi ternyata Alkitab, Firman Tuhan, justru mau bekerja lewat jalan kelemahan, jalan yang paling sederhana, pengulangan. Dan mungkin justru itulah kita tidak bisa melihatnya. Bukan karena Alkitab elitis, tapi karena kita tidak rela belajar Alkitab dengan cara “bodoh”, mengulang, baca ulang, siang dan malam. Bukankah ini cara yang Tuhan selelu pakai bagi umat-Nya?
Kita menutup kotbah ini dengan satu ayat: “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, upaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah” (1 Kor.1: 25-27).
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading