Kita sedang berada dalam satu seri kotbah, “Bodily Worship”, untuk menjawab pertanyaan mengenai apa signifikansi kehadiran kita dalam sebuah kebaktian yang bersifat badani.
Kehadiran fisik esensial dalam sebuah kebaktian, karena ternyata pembentukan yang Tuhan lakukan bagi Gereja-Nya bukanlah cuma lewat dihadirkannya cara berpikir yang baru, tapi juga lewat kebiasaan-kebiasaan (habits) yang baru. Pembentukan yang datang lewat habit inilah sebenarnya yang lebih berdampak. Antara otak dan kelakuan biasanya ada gap, karena ternyata pusat dalam kehidupan manusia memang bukan otaknya melainkan hatinya, bukan apa yang seseorang pikir melainkan apa yang dia hasrati. Menariknya, waktu kita bertanya bagaimana caranya membentuk hasrat seseorang, jawabannya ternyata adalah: lewat habit. Sementara otak tidak selalu bisa mempengaruhi kelakuan, lain halnya hubungan antara habit dan hasrat; hal yang kita lakukan sebagai suatu habit, selalu turun sampai ke hasrat. Dan, habit yang paling mempengaruhi kita bukanlah habit yang kita lakukan secara sendirian, melainkan habit yang kita lakukan bersama-sama dengan orang-orang lain; inilah yang kita namakan “liturgi”.
Kita sudah melihat contoh riil, misalnya bagaimana hasrat kita akan kotbah yang ideal itu sangat ditentukan oleh habit kita mendengar kotbah macam apa setiap minggunya. Kita juga sudah melihat contoh negatif mengenai bagaimana kita hari ini dibentuk menjadi konsumer-konsumer duniawi secara tidak sadar, bukan dengan cara otak kita diisi paham-paham konsumeristik, melainkan karena tubuh kita menjalani habit-habit dan liturgi-liturgi konsumeristik tersebut. Contohnya, kalau sejak kecil Saudara tinggal di suatu kompleks perumahan, dan setiap hari naik sepeda keliling kompleks tersebut, lama-kelamaan Saudara akan mengenal kompleks itu, mengenal jalan-jalannya, mengenal seluk-beluknya. Ini menjadi satu knowledge yang berbeda dari knowledge yang Saudara dapatkan dengan cara melihat peta. Kalau melihat peta, ini jenis knowledge seorang penonton, yang dari luar melihat ke dalam; sedangkan knowledge yang didapat dengan bertahun-tahun naik sepeda di kompleks, itu memberikan suatu knowledge yang bukan bersifat penonton, melainkan knowledge seorang penduduk, knowledge seorang yang di dalam. Mungkin Saudara tidak bisa jawab kalau ditanya “di mana Jalan Aries Utama 4”; Saudara tahu jalan menuju rumah si Anto, atau ke warung si Bejo, sedangkan nama jalannya mungkin Saudara tidak tahu. Ini jenis knowledge yang Saudara dapatkan bukan dengan menganalisa, melainkan dengan melakukan. Waktu mendapatkan pengetahuan seperti ini, bahkan seringkali kita tidak sadar sedang belajar. Itulah sebabnya aspek fisik adalah esensial dalam sebuah kebaktian; pembentukan hasrat yang Tuhan lakukan bagi Gereja-Nya didatangkan melalui apa yang kita lakukan minggu demi minggu –yang boleh dibilang seperti main sepeda tadi– di Gereja. Itulah liturgi Gereja, yang kita lakukan minggu demi minggu bersama orang-orang lain, yang ternyata adalah cara Tuhan –secara kita tidak sadar—membentuk Saudara dan saya.
Kita sudah membahas hal itu beberapa minggu dan sudah melampaui tujuan awal ini. Dalam kotbah terakhir, kita sudah masuk ke pembicaraan tentang apa esensi ibadah. Pada dasarnya, kalau Tuhan membentuk kita bukan cuma dari kotbah, bukan cuma dari data di kepala atau dari rasio, tetapi melalui liturgi –dengan kata lain pembentukan yang Tuhan lakukan bukan cuma lewat apa yang kita terima tapi melalui apa yang kita lakukan– maka pujian kita, yang kita pikir datangnya dari kita, ternyata itu datang dari dari Tuhan untuk membentuk kita. Doa-doa yang kita disuruh lakukan, yang kita pikir datang dari kita, ternyata adalah cara Tuhan membentuk kita; demikian juga pengakuan dosa, persembahan, dst. Dan itu berarti esensi ibadah kita bukanlah ekspresi diri melainkan penyerahan diri.
Dalam hal initentu saja Saudara setuju, jelas kotbah bukan ekspresi diri, kotbah itu pasti penyerahan diri. Tetapi jangan cuma lihat apa yang otak Saudara katakan mengenai apa itu ibadah, lihatlah lagi hasrat hati Saudara dalam beribadah, dan apa yang kita temukan? Yang kita temukan, ternyata kita menghidupi satu paradigma “ibadah sebagai ekspresi”, sehingga yang terpenting adalah kesungguhan dan kejujuran, karena kita tidak boleh mengeluarkan ekspresi secara munafik. Dan karena kesungguhan itu penting, maka berikutnya kita melihat itu berarti pengulangan, ritual, liturgi, kebiasaan, habit, menjadi musuh dari kesungguhan. Kita kepingin hal-hal yang baru, yang segar, karena ternyata dibalik hasrat hati itu adalah paradigma ini: kita mengira ibadah kita adalah ekspresi diri kita –human centered jadinya.
Coba kita pikir, mengapa menyanyi bersama-sama di gereja dilakukan? Steven Guthrie, seorang musikus dan teolog, mengatakan bahwa menyanyi bersama-sama di gereja sebenarnya adalah belajar saling menundukkan diri. Itu bukan mengenai ekspresi diri kita keluar, melainkan mengenai bagaimana kita belajar saling menundukkan diri (mutual submission). Menyanyi bersama-sama berbeda dari menyanyi sendiri; menyanyi bersama berarti harus menjaga sinkronisasi, menjaga tempo satu dengan yang lain, tidak boleh saling mendahului dan juga tidak boleh telat, perlu mengikuti ritme yang sama, mengikuti struktur yang sama. Menyanyi bersama-sama –yang selama ini kita pikir ekspresi yang keluar dari kita– ternyata adalah cara Tuhan membentuk kita, melatih kita untuk belajar saling menundukkan diri, saling menanggung beban satu sama lain. Tetapi kalau kita jujur akan hasrat hati kita, hari ini ada kecenderungan menggunakan momen ini justru sebagai outlet ekspresi diri. Kita ingin bisa mengekspresikan diri kita dalam ibadah. Kita ingin lagu-lagu yang sesuai suasana hati kita; kita tidak terlalu tertarik menyesuaikan suasana hati kita dengan lagunya. Kita ingin lagu-lagu yang sesuai dengan selera kita; kita susah untuk menyesuaikan selera kita pada lagu-lagunya. Jadi, penyerahan diri dari mana? Belum lagi orang-orang yang baru merasa afdol kalau bisa mengeluarkan suara dua atau suara tiga dan mereka bisa mendengar suara mereka sendiri, padahal ketika kita menyanyi bersama-sama, poinnya adalah untuk saling mendengar orang lain.
Sekali lagi, poin dari ibadah bukanlah mengenai ekspresi melainkan mengenai submisi. Tuhan membentuk kita bukan cuma dari apa yang masuk, melainkan juga dari apa yang kita keluarkan bersama-sama dengan umat-Nya, minggu demi minggu –dan itu tetap pekerjaan dan karya Tuhan. Jika demikian, pengulangan bukanlah musuh dari kesungguhan; pengulangan justru adalah bukti dari kesungguhan. Ini sama seperti seorang olahragawan di gym setiap hari berolah raga mengulang rutinitas yang itu-itu lagi bukanlah gambaran kemunafikan, melainkan gambaran kesungguhan dan komitmen. Mengapa demikian? Karena gym bukanlah ekspresi, gym adalah pembentukan –sama juga dengan ibadah.
Semua yang kita bicarakan tadi adalah rekap dari apa yang telah kita bicarakan selama ini; dan hari ini kotbah terakhir dalam seri ini. Hari ini saya akan membicarakan hubungan antara liturgi Rumah Tuhan dengan liturgi rumah kita, antara liturgi keluarga Tuhan –di tempat ini—dengan liturgi keluarga kita. Kita melihat Hakim-hakim 3:5-7. Dalam ayat-ayat ini kita melihat 2 hal, yang satu adalah coexistence, saling tinggal bersama-sama, bahkan saling kawin-mengawin (intermarriage); dan satunya lagi adalah penyembahan berhala, yang dilakukan bersama-sama juga. Pertanyaan saya: yang mana menyebabkan yang mana?
Sebelum kitab Hakim-hakim, Allah berjanji kepada Abraham untuk memberikan keturunan yang besar, dan kepada keturunannya akan diberikan negeri tempat Abraham menetap, yaitu Tanah Kanaan. Kemudian Abraham mendapatkan Ishak, Ishak mendapatkan Yakub, Yakub mendapatkan Yusuf. Tetapi pada zaman Yusuf terjadi kelaparan hebat, maka keturunan Yakub dibawa oleh Yusuf ke Mesir, meninggalkan negeri tersebut. Di Mesir mereka diperbudak beratus-ratus tahun sehingga negeri yang tadinya dimiliki Abraham itu mulai ditempat berbagai pendatang, yang dinamakan bangsa-bangsa Kanaan. Setelah Allah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan Mesir, Dia membawa mereka untuk menaklukkan Kanaan, untuk menepati janji-Nya kepada Abraham. Penaklukan ini terjadi pada zaman Yosua. Waktu itu Allah secara spesifik mengatakan ‘engkau harus menghalau bangsa-bangsa itu dari tanah Kanaan, tidak boleh tinggal dengan mereka, tidak boleh coexist dengan mereka, karena jika tinggal bareng dengan mereka, kamu juga akan ketularan ilah-ilah mereka’. Setelah penaklukan yang begitu banyak semasa hidup Yosua, ternyata masih belum selesai, masih ada bangsa-bangsa lain yang tersisa di Kanaan. Dan inilah titik di mana kita menemukan kitab Hakim-hakim berawal.
Poin dari cerita Hakim-hakim adalah kegagalan Israel dalam menaklukan Kanaan, dan akhirnya berakibat mereka tinggal bersama-sama dengan orang-orang Kanaan; dan ini berakibat–sesuai dengan yang Tuhan katakan— mereka itu ujung-ujungnya menyembah dewa-dewi orang Kanaan. Kegagalan untuk melakukan conquest, berakibat pada coexistence, dan coexistence berujung pada apostasy (penyembahan berhala). Ini jelas terlihat dalam pasal-pasal pertama kitab Hakim-hakim.
Hakim-hakim pasal 1 dalam bahasa Ibraninya ada pengulangan istilah yang terus-menerus muncul, yaitu istilah “maju”, dalam bahasa Ibraninya “alah”. Hakim-hakim 1: 1-2 dikatakan: ‘Sesudah Yosua mati, orang Israel bertanya kepada TUHAN: “Siapakah dari pada kami yang harus lebih dahulu maju (alah) menghadapi orang Kanaan untuk berperang melawan mereka?” Firman TUHAN: “Suku Yehudalah yang harus maju (alah); sesungguhnya telah Kuserahkan negeri itu ke dalam tangannya.” ‘
Kita menemukan lagi istilah alah ini di ayat berikutnya, dan ini adalah bagian yang pertama, Yehuda maju (alah). Ayat 3: ‘Lalu berkatalah Yehuda kepada Simeon, saudaranya itu: “Majulah (alah) bersama-sama dengan aku … “. Lalu Simeon maju bersama-sama dengan dia.’Mereka berperang memerangi sisa bangsa Kanaan di tanah tersebut. Di bagian pertama ini, dalam 17 ayat berikutnya kita menemukan laporan kesuksesan Yehuda dan Simeon menghalau bangsa-bangsa Kanaan, tetapi ada satu ayat kecil yang jadi noda dalam catatan ini, di ayat 21 suku Benyamin gagal menghalau orang Yebus; dan dikatakan akhirnya orang-orang Yebus itu diam bersama-sama dengan suku Benyamin – coexistence. Jadi 17 ayat kesuksesan, 1 ayat noda.
Berikutnya, kita menemukan istilah ‘maju’ (alah) lagi di ayat 22; ini bagian yang kedua. Ayat 22: ‘Keturunan Yusuf juga maju (alah) menyerang Betel, dan TUHAN menyertai mereka.’Di bagian ini kemudian kita menemukan pola yang sama, kembali ada catatan kesuksesan perang, tapi juga ada catatan kegagalan, hanya saja sekarang catatan kesuksesannya cuma 4 ayat, sementara catatan kegagalan 9 ayat. Bagian ini mulai penuh dengan catatan tentang orang Kanaan A dan B gagal dihalau oleh orang Israel lalu akhirnya orang Kanaan itu tinggal bersama-sama dengan orang Israel; atau bahkan dikatakan orang Israel tinggal di tengah-tengah orang Kanaan. Bagian kedua ini conquest-nya berkurang, coexistence-nya naik.
Akhirnya di pasal 2 Malaikat TUHAN juga dikatakan alah (dalam Alkitab LAI kata yang dipakai bukan ‘maju’ melainkan ‘pergi’, tapi sebenarnya ini kata ‘alah’ yang sama). Ini adalah konklusi dari bagian yang pertama; dikatakan di ayat 1: ‘Malaikat TUHAN pergi (alah)dari Gilgal ke Bokhim dan berfirman: “Telah Kutuntun kamu keluar dari Mesir dan Kubawa ke negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyangmu, dan Aku telah berfirman: Aku tidak akan membatalkan perjanjian-Ku dengan kamu untuk selama-lamanya, tetapi janganlah kamu mengikat perjanjian dengan penduduk negeri ini; mezbah mereka haruslah kamu robohkan. Tetapi kamu tidak mendengarkan firman-Ku. Mengapa kamu perbuat demikian? Lagi Aku telah berfirman: Aku tidak akan menghalau orang-orang itu dari depanmu, tetapi mereka akan menjadi musuhmu dan segala allah mereka akan menjadi jerat bagimu.” Setelah Malaikat TUHAN mengucapkan firman itu kepada seluruh Israel, menangislah bangsa itu dengan keras.’ Intinya, vonis dari Malaikat Tuhan: ‘kamu gagal melakukan conquest, maka akhirnya kamu coexist dengan mereka’.
Bagian berikutnya pasal 2 ini, kita melihat keadaan semakin parah. Pertama, ada catatan di ayat 6-10 mengenai generasi Yosua yang meninggal sehingga bangsa Israel semakin merosot. Di pasal 3 muncullah ayat yang kita baca di awal tadi sebagai rangkuman pasal-pasal pertama ini (ayat 5-7); ada 2 hal di sini, yaitu coexistence dan apostasy. Di ayat 5-6a kita melihat coexistence: ‘Demikianlah orang Israel itu diam di tengah-tengah orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus. Mereka mengambil anak-anak perempuan, orang-orang itu menjadi isteri mereka dan memberikan anak-anak perempuan mereka kepada anak-anak lelaki orang-orang itu … ‘. Berikutnya, ayat 6b-7 kita melihat penyembahan berhala (apostasy): ‘ … serta beribadah kepada allah orang-orang itu. Orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, mereka melupakan TUHAN, Allah mereka, dan beribadah kepada para Baal dan para Asyera.’Gagal conquest, maka jadi coexistence; dan coexistence (dalam hal ini intermarriage, saling kawin-mengawin) berujung kepada apostasy.
Tidak cuma di bagian ini, di bagian tengah kitab Hakim-hakim, pola yang sama terjadi; dalam cerita hakim-hakim yang begitu banyak, mulainya penuh harapan tapi kemudian berakhir begitu tragis. Hakim yang pertama dicatat yaitu Otniel, dan Otniel adalah hakim ideal; hakim yang terakhir dicatat yaitu Simson, dan Simson adalah hakim yang paling kacau. Menarik bagaimana penulis Alkitab memperlihatkan hal ini; Otniel dicatat menikah dengan seorang wanita Israel bernama Akhsa, anak Kaleb (Hakim-hakim 1:12-13). Mengapa detail seperti ini dicatat? Waktu kita membaca Alkitab yang gaya tulisannya padat dan singkat, biasanya detail-detail seperti ini jarang dicatat, itu sebabnya setiap kali muncul detail seperti ini, menandakan ada sesuatu yang penting. Otniel harus dicatat menikah dengan wanita Israel, karena Simson (hakim yang terakhir) setiap kali mengejar wanita asing, bukan cuma satu kali tapi tiga kali. Pertama kali Simson diperkenalkan, dia sedang kepincut gadis Filistin. Berikutnya di pasal 16 dia menghampiri seorang pelacur di daerah Gaza, daerahnya Filistin juga. Ketiga kalinya, dikatakan Simson jatuh cinta dengan Delila, yang juga seorang wanita Filistin.
Saudara ingat, apa problem yang muncul terus sejak awal, yang mengakibatkan orang Israel jatuh ke penyembahan berhala? Yaitu coexistence dengan bangsa-bangsa Kanaan; dan coexistence ini terutama terjadi dalam urusan kawin-mengawin. Hakim yang pertama, Otniel, adalah hakim yang ideal; dia solusi bagi problem Israel karena dia mengambil istri seorang wanita Israel. Sedangkan hakim yang terakhir, Simson, dia bukan solusi tapi justru problemnya, dia mengejar wanita asing. Dialah persisnya hakim yang mengungkapkan problemnya orang Israel, yaitu coexistence menuju kepada apostasy.
Apa poin dari semua ini? Sekali lagi kita melihat, bahwa dalam Alkitab, iman sangat dekat hubungannya dengan apa yang badan Saudara lakukan. Dalam Alkitab, iman bukanlah sesuatu yang privat ataupun hanya terutama soal otak. Kita seringkali masih terbawa dengan warna great awakening yang terjadi di Eropa dan Amerika abad 19 yang selalu menekankan pertobatan pribadi, tantangan pribadi, untuk menerima Yesus sebagai juruselamat pribadi, sehingga kita akhirnya seringkali berpikir urusan iman itu yang menentukan hanyalah saya dengan Tuhan, that’s it! Tentu saja faktor personal sangat penting dalam iman; saya tidak mau Saudara mempunyai iman yang Saudara tidak imani secara pribadi. Tapi sekali lagi, di Alkitab, gambaran besar mengenai iman tidak hanya melibatkan faktor personal diri Saudara. Iman, seperti kita lihat dalam cerita ini ditekankan berkali-kali lewat berbagai cara, adalah urusan komunitas! Saudara lihat hal ini dalam cerita Hakim-hakim jelas sekali, bahwa apa yang membuat bangsa Israel bisa bertahan dalam iman yang tepat, dan apa yang membuat bangsa Israel jatuh ke dalam iman yang ngawur? Komunitas, coexistence, orang-orang yang tinggal bersama-sama dengan Saudara.
Poin dari cerita Hakim-hakim ini bukan berarti kita tidak boleh tetanggaan dengan orang-orang agama lain; coexistence yang terjadi dalam kitab Hakim-hakim bukan sekedar ketemu orang di pasar lalu ngobrol-ngobrol. Bentuk coexistence di sini dalam arti masuk sampai ke intermarriage; dan dalam konteks budaya waktu itu pernikahan bukan cuma urusan privat antara suami dan istri, tetapi peleburan dua keluarga besar dan dua budaya. Itu sebabnya bagian ini juga bukan sedang mengomentari pasangan suami istri yang beda agama, satu Kristen dan satunya bukan Kristen, lalu apakah musti cerai dsb.; kalau bingkainya dalam level personal seperti ini, Paulus jelas mengatakan cerai bukanlah jalan keluar. Jadi di sini kita tidak sedang mengomentari hal itu. Gambaran yang mau ditekankan di sini adalah bahwa iman bukan sesuatu yang bersifat privat, iman bukan sesuatu yang bersifat individual, iman Saudara akan sangat dipengaruhi oleh komunitasmu; dan komunitas mempengaruhi Saudara bukan terutama lewat jalan ‘data’, bukan terutama lewat informasi rasional, melainkan dari apa yang dilakukan bersama-sama lewat habit komunal.
Kalau Saudara masih sulit menerima hal ini, mari kita coba menguak lagi tabir ini; bagaimana hari ini kita melihat acara pernikahan? Tadi kita mengatakan tentang habit naik sepeda di kompleks perumahan yang memberikan suatu knowledge sebagai penduduk, demikian juga di sini kita perlu tanya, apa visi yang kita dapatkan mengenai keluarga, yang kita serap lewat kita datang dalam acara pernikahan, lewat liturgi pernikahan yang Saudara lihat berkali-kali, berkali-kali, dan berkali-kali?
Hari ini acara pernikahan tidak dimulai di acaranya, melainkan dimulai dengan Facebook atau Instagram sang pasangan yang di situ mulai muncul foto-foto mereka, lengkap dengan filter sephia di mana-mana. Lalu berlanjut dengan post di instagram yang berisi ‘akhirnya dia melamar’, lengkap dengan foto di restoran, atau juga videonya, ketika sang wanita dikejutkan oleh munculnya 3 orang musikus pakai topi Meksiko dan main banjo, mendahului sang pria yang berlutut mengucapkan “pertanyaan” itu. Dan video ini kemudian viral ke teman-teman mereka, sehingga tentunya ada ekspektasi pernikahannya harus naik level dong. Selanjutnya, undangan pernikahan datang kepada kita dengan kotak cerutu yang wow! bekas tahun 1950-an berbahan aluminium. Dituliskan juga di situ dalam acara pernikahan akan ada sushi ‘all you can eat’. Tak lupa, sang pasangan bikin hashtag khusus buat acara ini. Lalu waktu kita datang ke acaranya, kita mendapat suvenir harmonika yang dipahatkan nama pasangan tersebut! Jangan lupa, semua ini didokumentasikan begitu rupa, dan diunggah ke berbagai platform media sosial.
Memang ini gambaran hiperbola, tapi gambaran hiperbola ini perlu supaya kita bisa mengenali bahwa inilah yang terjadi pada hari ini. Trend pernikahan pada hari ini membuat kita hampir-hampir berpikir bahwa masyarakat hari ini lebih menghargai pernikahan dibandingkan generasi sebelumnya, yang mungkin merasa menikah itu cukup di gereja hari Sabtu pagi, that’s it. Tentu saja realitanya tidak demikian, karena interes orang hari ini terhadap pernikahan bukanlah pada pernikahannya. Kita tahu itu. Lewat liturgi tadi, kita dengan jelas melihat bahwa yang menjadi interes orang terhadap pernikahan bukanlah pada the marriage itself, melainkan the spectacle of the wedding, penampakan wedding-nya, hype-nya, aspek tontonannya. Dan ini membuat kita dengan sadar atau tidak sadar –lebih sering tidak sadar—waktu kita sendiri menikah, kita juga merasa berhak untuk jadi pusat perhatian —ini satu hari dalam hidup saya di mana saya berhak untuk jadi pusat perhatian tanpa rasa bersalah dong.
Saudara lihat apa yang terjadi? Liturgi-liturgi seperti ini (liturgi dalam pengertian bukan cuma poin-poin acara ibadahnya melainkan seluruh habit komunalnya), mendidik kita melihat acara pernikahan sama seperti hari ini kita melihat ibadah, yaitu menjadi tempat ekspresi diri –saya menikah, itu berarti saya memperlihatkan cinta saya, saya mengekspresikan cinta saya.Charles Taylor mengatakan, dalam zaman ini yang mengutamakan ke-otentik-an, ke-sungguh-sungguh-an, maka yang penting adalah terlihat –karena kesungguh-sungguhan bisa diketahui kalau terlihat. Itu sebabnya perhatian kita waktu melihat orang menikah lebih banyak tertuju pada kilauan wedding-nya sendiri dibandingkan marriage-nya.
Ironisnya, wedding macam ini justru seringkali yang jadi alasan banyak pernikahan runtuh dan akhirnya hancur berkeping-keping. Mengapa? Kita seringkali pikir problem pernikahan hari ini karena orang tidak lagi mengormati pernikahan, tidak lagi menghargai pernikahan, tidak lagi merasa perlu menikah. Tentu saja itu problem. Tapi ada problem yang lain di mana pernikahan bukannya terlalu direndahkan, sebaliknya terlalu ditinggikan. Sekarang, dalam pernikahan yang menjadi pusat adalah romansa antara sepasang sejoli yang jatuh cinta. Mengapa ingin menikah? Karena dia melengkapiku. Itu sebabnya gambaran ideal hari ini mengenai pernikahan adalah sesuatu yang terjadinya cuma sekali-sekali, yaitu honeymoon. Tahukah Saudara gambaran apa yang implisit dselipkan lewat gambaran honeymoon? Yaitu gambaran bahwa kalau kita mau pernikahan yang langgeng, mau ada romansa yang tetap berjalan, maka kita perlu kabur dari keseharian kita di dunia nyata. Hari ini kita merasa pernikahan yang langgeng itu harus banyak kabur jalan-jalan, nge-date berdua, supaya apinya tetap hidup. Juga jangan punya anak terlalu cepat, karena anak-anak pada hari ini dianggap pembunuh romansa; dan marriage adalah romance, berduaan. Gambaran itulah yang kita lihat di TV pada hari ini, lagi, dan lagi, dan lagi.
Gambaran pernikahan sebagai dunia milik berdua ini sudah masuk, meresap, bahkan melekat dalam narasi budaya kita hari ini. Saudara sudah melihat ritualnya dijalankan dan dihidupi berkali-kali dan berkali-kali dalam berbagai acara pernikahan yang Saudara datangi. Saking meresapnya, kita tidak bisa membayangkan alternatif dari gambaran itu. Kita bahkan mengatakan, “Yah… bukannya memang kayak gitu, ya; pernikahan ideal ‘kan memang gambarannya kayak honeymoon yang ‘gak pernah berakhir”. Kalau Saudara dites secara teorinya, mungkin Saudara tidak bakal bicara seperti itu, tapi dalam hasrat hati yang terdalam mungkin kita kepingin pernikahan yang seperti itu, yang honeymoon sepanjang waktu.
Untuk dapat melihat dengan jelas bahwa ini bukan gambaran yang dari Alkitab, kita bisa langsung mengontraskannya. Kita mengontraskan bukan dengan seperangkat doktrin mengenai pernikahan, melainkan dengan gambaran sebuah liturgi Gereja Ortodoks yang sangat counter cultural. Dalam liturgi pernikahan Ortodoks, pasangan yang dinikahkan itu dibawa masuk ke dalam Gereja, lalu ditanya oleh pendetanya, “Apakah kamu, Nicholas, mengambil wanita ini … bla, bla, bla, … “, dan jawabannya: “Ya, saya bersedia.” Lalu yang wanita ditanya, “Apakah kamu, Elisabeth, bersedia mengambil pria ini … bla, bla, bla, … “, dan jawabannya: “Ya, saya bersedia.” Itu adalah satu-satunya momen dalam pernikahan Ortodoks di mana pasangan yang menikah ada kesempatan untuk bicara; tidak ada tempat atau momen lain di mana mereka berbicara. Tidak ada lagi momen untuk mereka mengekspresikan cinta. Tidak ada dalam liturgi ini urusan bikin janji pernikahan yang custom-made supaya terasanya lebih personal dan ekspresif! Dalam liturgi ini, Aktor utama dalam pernikahan adalah Tuhan, Sang Pengantin Pria Gereja; dan acara pernikahan dua manusia ini adalah terutama mengenai pernikahan Tuhan dan jemaat-Nya, bukan terutama mengenai si suami dan si istri. Dalam Alkitab Saudara dikatakan seperti itu, pernikahan kita di dunia ini adalah mengenai pernikahan Kristus dan jemaat-Nya.
Selanjutnya, dalam pernikahan Ortodoks ketika mereka dinikahkan, itu dengan cara mereka dipakaikan mahkota –baik si suami maupun si istri—tapi bukan mahkota kerajaan melainkan mahkota duri, mahkota martir. Ini mahkota yang menandakan mereka dinobatkan menjadi saksi Kristus di atas dunia ini. Mengapa demikian? Karena mereka mempersaksikan Kristus dengan pernikahan ini. Dengan cara apa? Dengan cara saling menuntut? Dengan cara mengatakan ‘engkau melengkapi aku’? Tidak. Dengan cara saling berkorban. Itulah namanya mempersaksikan Kristus dalam pernikahan.
Yang menarik juga, liturgi pernikahan Ortodoks ini diakhiri dengan suatu perjamuan, tapi bukan seperti perjamuan dalam resepsi pernikahan kita hari ini, melainkan Perjamuan Kudus. Sekali lagi, ini satu pengingat bahwa acara ini bukanlah mengenai mereka yang menikah, melainkan mengenai pernikahan Kristus dan jemaat-Nya. Bahkan, dalam liturgi Ortodoks ini, setelah sang pendeta memberkati pasangan yang menikah, dia lalu memutar badannya dan memberkati jemaat. Apa yang sedang dikomunikasikan secara implisit lewat semua liturgi ini? Yaitu bahwa keluarga yang sedang dibentuk ini hanyalah bagian dari sebuah keluarga yang lebih besar.
Di antara kita ada pasangan-pasangan muda yang sedang merencanakan pernikahan. Dalam tradisi kita memang ada liturgi yang jelas, tapi ada juga semacam fleksibilitas untuk Saudara bisa memasukkan apa yang Saudara mau di situ; dan Saudara perlu pakai waktu untuk mengevaluasi bersama-sama dalam perencanaan pernikahan Saudara. Waktu Saudara akan memakai ini atau itu, menambahkan yang ini atau mengurangi yang itu, mengisi kesempatan ini dan itu, Saudara perlu evaluasi bersama-sama sebenarnya narasi apa yang mau dibawa oleh apa yang Saudara lakukan tersebut, pernikahan Saudara itu sedang mengabarkan pernikahan Kristus dengan jemaat-Nya, atau sedang mengabarkan pernikahanmu dengan istrimu atau suamimu?
Sekali lagi, Saudara bisa melihat dengan jelas, bahwa iman kita tidak disetir oleh diri kita sendiri. Kita bisa jadi berpikir bahwa kita sedang membuat satu pernikahan yang mengutamakan Kristus, tetapi, kita tidaklah menyembah apa yang kita pikir, kita ini menyembah apa yang kita hasrati. Dan yang kita hasrati itu dibentuk lewat komunitas! Sekali lagi, inilah sebabnya liturgi di Gereja bukan cuma sesuatu yang terjadi di dalam gedung ini, tapi meluas sampai pada apa yang dilakukan dan menjadi habit di rumah masing-masing keluarga Kristen.
Supaya lebih jelas bagaimana liturgi mengenai keluarga Allah akan mempengaruhi liturgi keluarga kita, bagaimana liturgi mengenai Rumah Tuhan mempengaruhi liturgi rumah kita, sekarang kita ambil contoh dari liturgi baptisan. Apa itu baptisan? Sama seperti ibadah keseluruhan, seringkali kita juga salah melihat baptisan. Kita pikir baptisan adalah mengenai ekspresi diri saya, baptisan itu urusan individualistik iman seseorang yang percaya kepada Tuhan. Jikalau demikian, pertanyaannya: pertama, mengapa Gereja membaptiskan bayi kalau memang baptisan terutama mengenai iman individualistik seseorang? Kedua, jikalau baptisan adalah urusan individualistik seseorang percaya kepada Tuhan saja, mengapa dilakukannya di Gereja, dalam kebaktian? Bahkan ketika kita melakukan baptisan di ranjang kematian seseorang pun, kita tidak melakukannya hanya dengan orang itu sendirian, tapi sebisa mungkin ada umat Tuhan yang menyertai di situ. Dua hal ini harusnya membuat kita berpikir ulang, apa sebetulnya yang sedang terjadi dalam liturgi ini.
Baptisan itu, liturginya mengajak kita untuk melihat pada sesuatu yang lain. Pertama, itu bukan urusan iman individualistik seseorang –setidaknya bukan itu yang terutama– baptisan adalah sama sekali terbalik penekanannya; baptisan adalah mengenai Allah yang setia kepada kita, meskipun saat kita tidak setia kepada Dia. Itulah poinnya baptisan. Itu sebabnya dalam Perjanjian Baru, tradisi awalnya baptisan dilakukan atas sebuah keluarga, orang-orang satu rumah, dan bukan cuma satu orang (Kisah Para Rasul 16, 1 Korintus 1), karena baptisan bukan terutama mengenai ekspresi iman dari bawah ke atas, melainkan simbol dari atas ke bawah, di mana anugerah Allah itu menemui kita. Kedua, baptisan dilakukan dalam kebaktian, alasannya karena jemaat yang melihat bukanlah sekedar menonton tetapi ikut berpartisipasi dalam sakramen ini; baptisan bukan cuma urusan seseorang sendirian melainkan mengindikasikan inisiasi seseorang dimasukkan ke dalam umat Tuhan, ke dalam keluarga Tuhan. Ini keluarga Tuhan yang counter culture, tandanya adalah tidak ada lagi strata-strata sosial sebagaimana yang ada dalam dunia. Paulus mengatakan di 1 Kor. 1:26 ‘di antara kamu tidak banyak yang bijak, terpandang, elit, dsb.’, mengapa? Karena hal-hal seperti itu bukanlah kriteria untuk masuk keluarga Tuhan. Bahkan lebih sadis lagi, ayat berikutnya Paulus mengatakan: ‘apa yang bodoh dipakai oleh Tuhan untuk mempermalukan yang dunia anggap bijak; yang lemah dipakai untuk mempermalukan dunia yang menganggap diri kuat’. Artinya, dalam keluarga Allah, kita bukan saja tidak punya apa-apa tapi kita juga bukan siapa-siapa. Inilah yang dinyatakan dalam Sakramen Baptisan.
Sakramen Baptisan, karena melibatkan jemaat dan terjadi dalam kebaktian, itu bukan sekedar realita personal yang baru tapi sebuah realita sosial yang baru –itu sebabnya dilakukan di kebaktian. Saudara tidak pernah diundang dalam liturgi baptisan sebagai penonton, tapi selalu sebagai peserta. Waktu Saudara meihat baptisan jemaat, minimal Saudara diingatkan akan baptisan Saudara sendiri. Ketika para peserta baptis berdiri dan berjanji di hadapan Tuhan, kita juga mengingat akan janji kita; sama seperti Saudara datang ke pernikahan, mendengar janji nikah, Saudara juga diingatkan akan janji nikah Saudara, dan dengan demikian Saudara diingatkan siapa diri Saudara dan milik siapa diri Saudara.
Dari liturgi keluarga Tuhan ini, apa yang kita pelajari dan kita bawa dalam melihat keluarga Kristen? Apa yang kita dapatkan dari rumah Tuhan ini, yang harusnya masuk ke rumah kita? Saudara, signifikansi yang terutama adalah: ini menjungkirbalikkan ‘apa’ –atau lebih tepatnya ‘siapa’—yang kita anggap sebagai keluarga. Ini counter cultural, karena Saudara melihat bahwa dalam Gereja, dalam Kekristenan, yang terhitung sebagai keluarga tidak lagi hanya mereka yang diikat hubungan darah, tapi juga mereka yang diikat oleh darah Kristus. Inilah yang melampaui hubungan darah manusia.
Saya pernah berantem dengan seorang Kristen ketika saya masih di Melbourne dan bergereja di sana. Kami waktu itu betul-betul berantem habis-habisan. Lalu ada seseorang yang menengahi dan berhasil menyelesaikan semua dendam yang sudah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun; ada turning point pada hari itu lewat apa yang dia katakan. Dia mengatakan kepada kami: “Kalau dalam keluarga yang diikat darah manusia, orang tidak perlu minta maaf untuk bisa diampuni; yang mengikat kalian berdua bukanlah darah manusia, tapi darah Kristus.” Itulah turning point-nya, dan setelah itu semua dendam sirna.
Saudara, inilah signifikansi yang kita terima lewat baptisan, yaitu bahwa keluarga Tuhan, ikatan darahnya melampaui ikatan darah manusia, karena di sini mengikat dengan darah Allah sendiri. Liturgi ini mendobrak dan merobohkan tembok keluarga Kristen; tidak bisa keluarga Kristen mengatakan “keluarga saya hanya mencari kepentingan bagi keluarga saya sendiri”. Tidak ada kemungkinan untuk itu di dalam keluarga Kristen.
Sama seperti urusan pernikahan tadi, problem di dalam keluarga-keluarga hari ini bukanlah seperti yang mungkin kita kira. Alexander Schmemann, seorang teolog ortodoks, mengatakan: dosa dalam pernikahan dan keluarga pada hari ini bukan terutama urusan perzinahan, bukan terutama urusan abuse; dosa yang sesungguhnya dalam keluarga hari ini adalah pemberhalaan keluarga (idolatery of the family). Bagaimana caranya kita bisa memberhalakan keluarga? Sederhana saja, karena keluarga menjadi sesuatu yang paling mendasar dalam masyarakat. Bagi orang sekuler, keluarga inti (ayah, ibu, anak) dilihat sebagai yang paling mendasar dalam masyarakat, sebagai inkubator dari warganegara yang bertanggung jawab; problem manusia dalam masyarakat bisa dirunut sebagai problem yang berasal dari keluarga. Sama juga, seringkali kita melihat dalam Gereja keluarga biologis menjadi sumber/dasar dari keluarga Tuhan, anak-anak dididik menjadi warga Gereja yang baik sejak dari keluarganya, dan kalau anak ini rusak berarti salah orangtuanya. Saudara, ini pemberhalaan; karena di sini keluarga biologis, keluarga inti, menjadi yang paling utama di bawah keluarga Tuhan, menjadi dasar keluarga Tuhan. Di sini ada pemberhalaan yang terjadi, menukar keluarga Tuhan dengan keluarga manusia. Ini pemberhalaan yang akhirnya menghancurkan keluarga, karena beban yang harusnya ditanggung sebuah komunitas bersama-sama, yang harusnya ditanggung oleh keluarga Tuhan, akhirnya dibebankan dan dipikulkan hanya pada sebuah keluarga, sepasang ayah-ibu. Itulah yang terjadi hari ini. Saudara bayangkan alternatifnya, seandainya keluarga Tuhan yang di bawah, itu akan berarti apa? Itu berarti satu kelegaan yang besar bagi para orangtua, karena mereka bisa mengatakan, ‘kita tidak dipanggil untuk membesarkan anak-anak ini sendirian, beban ini bisa di-share.’
Ada satu liturgi yang bagus sekali dalam baptisan anak di sebuah Gereja, yang ketika sang pendeta membaptiskan anak, dia bukan cuma bertanya dan memberikan tanggung jawab kepada ayah dan ibu. Selain dia bertanya kepada ayah dan ibu, “Apakah kalian berjanji mendidik anak ini di dalamTuhan”, dia juga bertanya kepada jemaat, “Apakah Saudara-saudara berjanji untuk mendidik anak ini dalam Tuhan”, dan jemaat harus mengatakan “Ya, kami bersedia”. Di satu sisi, ini kelegaan yang besar di sisi lain; di sisi lain, ini satu hal yang sangat menantang kultur kita hari ini, yaitu soal privasi sebuah keluarga –‘ini anak gua, lu ‘gak usah kepo’.
Saudara, liturgi baptisan di Gereja mengajak kita untuk melihat model yang terbalik ini. Sama seperti Kerajaan Allah adalah kerajaan yang jungkir-balik di mata dunia, demikian juga model keluarga dalam Gereja juga jungkir-balik; keluarga inti/keluarga biologis bukanlah unit yang paling dasar, sebuah keluarga biologis baru bisa berdiri di atas pondasi keluarga yang lebih besar dan lebih mendasar, yaitu keluarga Tuhan, Gereja. Dan ini cuma bisa terjadi ketika sebuah keluarga disadarkan bahwa yang namanya ‘keluarga’, itu lebih besar dari atap rumah mereka. Itu sebabnya baptisan harusnya adalah sesuatu yang menyusun ulang relasi-relasi yang paling mendasar dalam hidup kita.
Apakah Saudara pikir bahaya sekali, ketika membuat Gereja menjadi keluarga yang pertama lalu keluarga biologis jadi yang kedua? Coba Saudara pikirkan alternatifnya. Banyak orang waktu diberitahu ‘menerima Yesus sebagai Juruselamat’ itu berarti ‘menerima Dia sebagai Raja’, berarti harus menurut pada Dia, harus berkorban seperti Dia, lalu merasa ‘wah, susah juga, ya; kalau cuma terima keselamatan sih, urusan selesai, tapi kalau harus hidup seperti Dia?? sulit lho rasanya menyerahkan kontrol hidup kepada Tuhan’ . Saudara tahu, keboohongan apa yang sedang terjadi di sini? Kebohongannya adalah: kita sebenarnya tidak pernah mengontrol hidup kita, koq. Waktu Saudara tidak menyerahkan hidupmu kepada Tuhan, apa Saudara pikir sedang mengontrol hidupmu sendiri? Saudara sebenarnya sedang dikontrol, hanya saja Saudara tidak sadar. Demikian juga urusan keluarga; kalau Saudara tidak mendasarkan rumahmu di atas rumah Tuhan, Saudara pikir Saudara yang sedang mengontrol rumahmu? Saudara pikir kalau menolak model rumah seperti ini, maunya ‘rumah saya yang paling dasar dan saya berkuasa penuh atas rumah saya’, lalu itu yang terjadi? Rumah Saudara pada hari ini, jika tidak didasarkan di atas keluarga Tuhan yang besar, itu berarti sedang didasarkan pada keluarga yang lain.
James Smith memberikan satu contoh mengenai sosmed. Dia tidak mengizinkan anaknya buka HP selama di rumah, setidaknya sampaiusia kuliah; dan dia sendiri juga tidak. Apa alasannya? Smith mengatakan, bagi seorang anak remaja, dunia rumah dan dunia sekolah mewakili dua jenis “injil”. Dunia sekolah mengabarkan “injil keselamatan melalui perbuatan”; di dalam dunia sekolah, kamu harus melakukan ini itu maka kamu akan selamat, kamu harus perform maka kamu akan diterima. Dan ini bukan cuma urusan ujian dan kurikulim sekolah, tapi juga urusan kompetisi di antara para murid. Relasi sosial di sekolah didominasi oleh urusan ini: Saudara mau populer maka harus bisa olah raga, Saudara mau diterima berarti harus berani merokok dan nonton bokep, Saudara mau dengar gosip atau jadi gosip. Di rumah, harusnya rumah mengabarkan “injil” yang lain, “injil keselamatan melalui anugerah”; kamu bukan diterima karena kamu perform, kamu sudah diterima lebih dulu apa adanya, sebelum kamu lahir saya sudah menerima kamu apa adanya. Selanjutnya, yang sosmed lakukan ketika kita memperbolehkan anak-anak membuka HP di rumah, menurut Smith adalah: sosmed berhasil membawa kompetisi dunia sekolah, membawa injil dunia sekolah menginvasi dunia rumah. Ini bukan cuma urusan anak remaja tapi juga orangtuanya, ketika yang diladeni sang orangtua di rumah adalah kompetisi dunia kerja, injil dunia kerja –saya diselamatkan karena saya mampu, karena saya bisa perform. Ketika HP dibuka terus-menerus di rumah, yang terjadi adalah: rumah, benteng terakhir dari injil ini, yang bukan cuma kita dengar tapi juga kita hidupi, kita terima habit-nya, akhirnya runtuh temboknya dan di-invasi oleh injil dunia.
Kembali lagi, kalau Saudara merasa yang dituntut Alah, yaitu menjadikan Gereja sebagai keluarga yang utama/mendasar dan keluarga biologis jadi yang sekunder, ini berbahaya, pertanyaannya: kalau Saudara tidak melakukan ini, memangnya rumah Saudara sekarang menempati posisi di mana? Apakah rumah Saudara menempati tempat yang paling mendasar? Sekali lagi, imanmu dan iman rumahmu tidak disetir oleh dirimu sendiri, itu tidak pernah. Hanya ada salah satu, antara rumahmu membawa warna rumah duniawi, atau rumahmu didirikan di atas rumah Tuhan; tidak ada jalan netral di tengah-tengah. Saudara-saudara adalah sebuah eklesia, orang-orang yang dipanggil keluar.
Demikian kita mengakhiri seri kotbah ini. Berharap Saudara mendapat berkat, sebagaimana saya mendapat berkat ketika menggali bahan ini. Satu hal yang pasti, saya jadi jauh lebih bisa bersyukur akan keberadaan Gereja Tuhan, Gereja yang fisik, Gereja yang penuh dengan orang, Gereja yang seringkali membosankan, kadang menyebalkan,dan selalu melelahkan. Tapi ternyata di balik itu semua, Gereja adalah anugerah yang Saudara dan saya sungguh-sungguh butuhkan. Terpujilah Tuhan yang telah memanggil kita keluar ke dalam umat-Nya yang baru.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading