Kita masuk ke dalam khotbah ketiga mengenai “panggilan” (calling); dan sekali lagi saya mengingatkan, pembahasan ini tidak bersifat to the point, dalam arti seri ini tidak terlalu bicara mengenai bagaimana menentukan jodoh, atau profesi, atau kuliah jurusan apa yang Saudara harus ambil. Alasannya –sebagaimana dalam khotbah pertama sudah kita bicarakan– yaitu bahwa ketika panggilan Tuhan datang, tandanya seringkali bukan kejelasan tapi sebaliknya malah kebingungan.
Saudara mungkin bertanya, bukankah Kekristenan harusnya menawarkan kepastian? Dalam khotbah kedua kita sudah mencoba menjawab hal ini, apa benar ‘kepastian’ itu sesuatu yang sentral dalam iman kita; dan kita telah melihat bahwa keinginan untuk mendapatkan kepastian mungkin sebenarnya datang dari dunia. Sedangkan ketika kita melihat Alkitab, yang paling sentral bukanlah tentang kepastian melainkan trust; dan yang namanya ‘trust’, pasti ada aspek tanda tanya-nya, ada aspek resikonya. Itu sebabnya khotbah mengenai ‘calling’ tidak bisa langsung to the point, karena membicarakan mengenai panggilan tidak bisa hanya dengan mengisi, tapi juga perlu menguras, kita tidak bisa cuma membangun, tapi juga perlu merubuhkan; karena sudah terlalu banyak paham-paham dan ekspektasi-ekspektasi palsu yang menguasai konsep “panggilan” di kepala kita.
Hari ini kita melanjutkan proses dekonstruksi ini, mengenai mengapa kita punya konsep panggilan yang begitu berbeda dari yang dikatakan Alkitab. Dalam hal ini, jawabannya adalah: kita mungkin salah membaca Alkitab, kita mungkin pakai kacamata yang salah dalam melihat Alkitab. Kita akan coba mengekspos hal tersebut dalam khotbah hari ini, bahwa mungkin, dalam membaca Alkitab, baik itu urusan panggilan ataupun urusan-urusan lainnya, kita selama ini memakai paradigma –atau kacamata– yang salah.
Kita akan mulai dari satu kisah di Alkitab yang paling sering dihubung-hubungkan dengan urusan mencari tahu panggilan atau kehendak Tuhan dalam hidup manusia, yaitu kisah tentang Gideon dan guntingan bulu domba (Hakim-hakim 6:36-40). Apa message dari kisah ini?
Entah berapa kali kisah ini dibahas, biasanya kesimpulannya dihubungkan dengan urusan mencari kehendak Tuhan, bahwa Gideon itu ingin tahu kehendak Tuhan dalam hidupnya, maka dia merancang sebuah ‘tes’; dan selanjutnya cara orang Kristen membaca kisah ini pun sangat terpengaruh oleh paradigma ini. Dulu waktu saya masih kecil, saya pernah mendengar seseorang menceritakan bagaimana dia terinspirasi oleh kisah ini; dia juga membuat sebuah tes untuk mencari kehendak Tuhan dalam hidupnya. Ketika itu dia pindah ke luar negeri karena istrinya bekerja di sana, tapi dia sendiri tidak mendapat pekerjaan, sehingga dia bingung apakah harus lanjut di negeri asing atau pulang. Lalu suatu pagi ketika sedang mencuci centong nasi –karena sekarang dia jadi bapak rumah tangga– dia berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, tolong berikan saya tanda; saya taruh sisa nasi di balkon apartemen di lantai 24 ini, yang tidak ada burung sampai di ketinggian ini, jadi jika Engkau menghendaki saya tetap di sini, tolong kirim burung makan sisa nasi ini”. Saya tidak tahu bagaimana perasaan Saudara mendengar cerita ini, mungkin simpati, mungkin antipati.
Apapun perasaan Saudara, intinya adalah: kisah Gideon ini memang ada di Alkitab, kita membacanya di Alkitab. Ada tokoh di Alkitab yang meminta seperti itu dari Tuhan, dan Tuhan memberikan tanda. Itu sebabnya kisah ini seringkali jadi salah satu kisah yang membuat kita beranggapan bahwa kehendak Tuhan memang perlu dicari seperti ini. Tetapi kalau Saudara membaca lebih teliti, Saudara akan menyadari bahwa kisah ini, message-nya sama sekali bukan itu. Saudara tentu pernah mendengar bahwa kita tidak boleh comot-comot ayat; dengan demikian kita juga tidak boleh comot-comot perikop atau pasal tertentu saja, kita perlu memperhitungkan konteksnya, misalnya dengan melihat cerita sebelumnya yang menjadi latar belakang.
Kisah Gideon tidak bermula di ayat 36, dan juga tidak berkahir di ayat 40. Mundur ke awal pasal 6, Saudara akan menemukan latar belakang kisahnya. Ini adalah suatu masa ketika orang Israel berdosa, dan oleh karena itu mereka diserahkan ke dalam tangan orang Midian. Mereka kemudian berseru kepada Tuhan, Tuhan menegur dosa mereka, tapi juga menampakkan diri-Nya kepada Gideon. Perhatikan, ini semua terjadi sebelum urusan guntingan bulu domba tadi.
Di pasal 6:17, perhatikan apa yang Gideon katakan kepada Malaikat Tuhan: “Jika sekiranya aku mendapat kasih karunia di mata-Mu, maka berikanlah kepadaku tanda, bahwa Engkau sendirilah yang berfirman kepadaku.” Jadi, Gideon sudah pernah minta tanda sebelumnya; urusan guntingan bulu domba di ayat 36 -40 bukanlah tanda pertama yang dia minta. Selanjutnya di ayat 21-22: Dan Malaikat TUHAN mengulurkan tongkat yang ada di tangan-Nya; dengan ujungnya disinggung-Nya daging dan roti itu; maka timbullah api dari batu itu dan memakan habis daging dan roti itu. Kemudian hilanglah Malaikat TUHAN dari pandangannya. Maka tahulah Gideon, bahwa itulah Malaikat TUHAN, lalu katanya: “Celakalah aku, Tuhanku ALLAH! sebab memang telah kulihat Malaikat TUHAN dengan berhadapan muka.” Saudara lihat, tanda-nya sudah diberikan, dan dikatakan ‘tahulah Gideon, bahwa itulah Malaikat TUHAN’; dan sebenarnya saking yakinnya, Gideon sampai mengira dirinya bakal celaka karena itu.
Setelah itu, masih sebelum urusan guntingan bulu domba, Gideon diberikan misi untuk meruntuhkan mezbah Baal dan menggantinya dengan mezbah bagi Yahweh. Gideon melakukannya; tapi ada catatan kecil yang menarik di ayat 27: Kemudian Gideon membawa sepuluh orang hambanya dan diperbuatnyalah seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya. Tetapi karena ia takut kepada kaum keluarganya dan kepada orang-orang kota itu untuk melakukan hal itu pada waktu siang, maka dilakukannyalah pada waktu malam. Saudara lihat, Gideon sudah minta tanda, dia sudah yakin, tapi dia masih tetap takut, maka dia sembunyi-sembunyi melakukan misi tersebut. Selanjutnya barulah kisah guntingan bulu domba tadi; karena Tuhan menyuruh Gideon pergi berperang melawan orang Midian, maka Gideon kembali minta tanda, yaitu lewat guntingan bulu domba. Tidak cukup dengan satu kali, dia minta sekali lagi tanda, tapi sekarang tandanya dibalik.
Pertanyaannya, dengan mengetahui latar belakang kisahnya, kira-kira di sini Alkitab meggambarkan karakter Gideon seperti apa? Sepertinya, Gideon bukanlah orang yang selama ini kita pikir, yang jujur, yang mencari kehendak Tuhan, yang beriman, dsb., sebaliknya di sini terlihat ada nuansa dia seorang peragu, bahkan penakut. Saudara, apa jadinya kalau orang seperti ini, dihadirkan dalam kisah ini untuk jadi semacam teladan bagi orang Kristen hari ini?? “Kalau kamu bingung harus nikah sama siapa, ingat teladan Gideon”, itukah message-nya? Atau, justru karena kita sudah mengetahui latar belakang kisahnya, maka message-nya jadi terbalik; jangan-jangan ini bukan cerita tentang seorang pahlawan iman teladan, tapi justru cerita mengenai seorang manusia yang susah banget percaya pada Tuhan, meskipun sudah dikasih tanda demi tanda, dan dia sendiri pun sebenarnya sudah yakin dengan itu semua. Kalau begitu, masihkan Saudara akan mengatakan “jadilah seperti Gideon”?
Saudara, kita tidak bisa lari dari hal ini. Lewat contoh ini, kita melihat bahwa semua dari kita ternyata datang kepada Alkitab dengan paradigma kita masing-masing, dengan kacamata kita masing-masing; dan semua kacamata kita itu tidak tentu sesuai dengan Alkitab. Inilah problemnya dengan kacamata: semakin lama Saudara menggunakan sebuah kacamata, Saudara semakin tidak menyadari keberadaan kacamata tersebut. Celakanya, meskipun kacamata tersebut mungkin sudah kabur, ukurannya sudah tidak terlalu pas, kita masih saja tetap lebih suka mengenakan kacamata itu daripada menggantinya, karena merasa sudah nyaman. Itu sebabnya, seringkali hal satu-satunya yang bisa meruntuhkan paradigma lama –kacamata lama–hanyalah ketika kacamata ini berbenturan dengan realitas dan pecah berantakan. Di situlah mau tidak mau kita harus ganti kacamata itu.
Kita ingat cerita Toy Story yang pertama, yang mungkin juga terbagus. Ceritanya tentang mainan-mainan yang menyadari bahwa mereka adalah mainan, tapi ada satu mainan yang tidak sadar dirinya hanyalah mainan, yaitu mainan Buzz Lightyear, yang melihat dunia dengan cara seakan-akan dirinya bukan mainan tapi space ranger. Mainan-mainan yang lain tahu dia cuma mainan, tapi dia sendiri tidak mau menerimanya. Dan, Buzz Lightyear menafsirkan semua hal dalam hidupnya berdasarkan kacamatanya yang ngawur ini. “Kalau kamu beneran space ranger, kenapa kamu terjebak di kamar seorang anak kecil?” –dan Buzz Lightyear selalu ada penjelasan. “Aku ditangkap alien, aku ini, aku itu”, dsb., berusaha menjelaskan realitas baru dalam paradigma lama. Sampai kemudian suatu malam, dalam perjalanannya bersama Woody dan mainan-mainan lain, Buzz Lightyear tidak sengaja masuk ke sebuah toko mainan, dan dia jatuh ke dalam sebuah laci, dan di situ dia melihat kotak demi kotak yang berderetan –dan itu adalah kotak mainan-mainan Buzz Lightyear baru. Saat itulah paradigmanya pecah berantakan. Dia tidak bisa lagi menjelaskan realitas ini. Mau tidak mau dia harus mengubah paradigmanya. Dia harus menerima bahwa dirinya cuma mainan. Satu hal yang menarik, ini justru momen paling indah dalam film itu. Inilah momen ‘character growth’.
Ketika kita nonton sebuah film, sadar atau tidak sadar, kita sebenarnya mencari momen-momen ‘character growth’ ini. Memang ada film-film yang tokoh utamanya dari awal sampai akhir tidak berubah, tidak bertumbuh sama sekali, tapi film seperti itu tidak bertahan lama dalam diri Saudara dan tidak mempengaruhi hidup Saudara. Sedangkan film-film yang terbaik, tokoh utamanya ada perkembangan, ada character growth; dan kita mencari momen-momen seperti itu –yang seringkali datangnya lewat sebuah krisis paradigma, seperti yang dialami Buzz Lightyear. Ini momen yang menakutkan dan menyakitkan; oleh karena itu, kita secara natural menghindari hal ini.
Saudara, bagaimana jika ternyata selama ini kita membaca Alkitab seperti Buzz Lightyear melihat realitas? Bagaimana jika ternyata selama ini kita menggunakan paradigma yang tidak tepat dalam membaca Alkitab?
Dalam salah satu episode podcast The Bible Project, seorang tokohnya, John, cerita mengenai paradigma lamanya dalam membaca Alkitab; dan Saudara bisa coba refleksi apakah cerita ini ber-resonansi dengan pengalaman diri kita. John lahir dalam keluarga Kristen, maka sejak kecil dia merasa ada ekspektasi bahwa orang Kristen harus nyambung dengan Alkitab. Memang it’s OK untuk harus nyambung, tapi biasanya itu berarti bentuknya harus berupa membaca Alkitab setiap hari, dan langsung mengerti apa yang dibaca, dan langsung menemukan aplikasi-aplikasi praktis untuk kehidupannya. Intinya, ketika menutup Alkitab, dia merasa harusnya dia “dapet” sesuatu dan harusnya hidupnya berubah menurut apa yang dia dapatkan itu; dan idealnya ini semua bisa terjadi hanya dalam waktu 20 menit tersebut, yang dibarengi dengan doa, nyanyi, dan perasaan dekat dengan Tuhan. Itulah paradigmanya. Tapi John menemukan ternyata realitanya lain.
Waktu dia membaca Alkitab, perasaan yang langung muncul adalah “ini apaan, sih??” Perasaan ‘gak mudeng sama sekali, merasa diri gagal, lalu tidak kepingin melakukannya lagi, dan cepat atau lambat akhirnya ‘saat teduh’ seperti ini bubar. Masalahnya, di sisi lain, sebagai orang Kristen tentunya harus mempertahankan citra bahwa dia ber-saat teduh secara rutin, dan dia malu kalau tidak mengerti Alkitab. Akhirnya salah satu cara yang John pakai untuk menghadapi ketegangan ini tanpa harus mengubah paradigmanya adalah –sama seperti Buzz Lightyear di awal-awal film tersebut–dengan mulai membaca Alkitab hanya pada bagian-bagian yang dia rasa nyambung, ayat-ayat emas yang bisa langsung berasa, langsung nendang, langsung mudeng. Mazmur 23 misalnya, yang sangat terkenal itu; atau Filipi 4:13 misalnya, yang mengatakan “segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”. Lalu sisanya, bagian-bagian Alkitab yang masih banyak itu, akhirnya di-cuekin, karena bagian-bagian itu bikin ‘gak mudeng, seperti misalnya hukum-hukum dalam Imamat.
Saudara lihat, akhirnya membaca Alkitab seperti ini tidak menumbuhkan karakter, tidak ada character growth –karena tidak ada krisis paradigma. Baca Alkitab jadinya hanya untuk mempertahankan kacamata lama yang sudah usang, yang sudah tidak fit untuk melihat realitas Akitab. Bagaimana dengan pengalaman Saudara sendiri selama ini? Pengalaman John ini sebenarnya juga pengalaman saya sendiri; dan saya rasa saya tidak sendirian dalam hal ini.
Untungnya cerita John tidak berhenti di sini, karena akhirnya dia maju, dia bertumbuh, dengan cara menerima bahwa paradigma lamanya itu sudah tidak cocok dengan realitas. Hal ini datang ketika ada orang-orang yang mengusulkan paradigma baru: mengapa datang kepada Alkitab harus berarti mengerti secara instan, mengapa asumsinya ‘yang penting dapat sesuatu’; bukankah bisa juga datang kepada Alkitab dengan kacamata yang lain, seperti pergi bareng teman misalnya? Dalam pergi bareng teman, bukankah yang penting relasinya, menghabiskan waktu bersama-sama, bukan mengenai apa yang Saudara bisa dapat dari si teman? Bahkan tanda relasi yang tidak sehat, justru ketika misalkan seorang pria berelasi dengan seorang wanita demi “dapet” sesuatu –dapat seks misalnya– dan bukan demi orangnya sendiri. Kalau misalnya seorang wanita, setiap kali berelasi dengan pria selalu tanya “arah persahabatan kita ini mau ke mana, sih?” karena dia merasa setiap kali harus ada kedalaman yang bertambah, ada kepastian yang lebih pasti, maka Saudara tentu tahu bahwa paradigma seperti ini akan membuat relasinya retak, si pria akan kabur, karena yang dicari wanita ini bukan kebersamaan, tapi dia ingin dapat sesuatu.
Dalam hal ini, Saudara tentu saja jangan pindah ke ekstrim lainnya; saya bukan mengatakan bahwa relasi yang sehat berarti tidak boleh dapat apa-apa sama sekali, yang saya maksud di sini adalah: sebuah persahabatan yang natural, poin utamanya bukanlah soal dapet atau ‘gak dapet, bukan soal berasa atau ‘gak berasa, sebuah persahabatan bisa mempengaruhi kita tanpa kita harus menyadarinya, koq. Sukses tidaknya sebuah persahabatan, hanyalah terlihat dari seberapa banyak dan seberapa ingin Saudara spend time bersama. Di sinilah John mengalami pergeseran paradigma. Awalnya dia melihat Alkitab seperti seorang guru yang nungguin kita sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ‘ayo, ini anak kapan sih, ngertinya’, kepada satu paradigma baru di mana Allah adalah seorang sahabat yang mau menghabiskan waktu bersama kita melalui Firman-Nya. John mengatakan, dia baru sadar alasannya dia datang kepada Alkitab dengan mode yang pertama tadi, ironisnya –sama seperti seseorang datang kepada guru– sebenarnya bukan untuk belajar, tapi karena ingin merasa pegang kontrol, merasa mampu, merasa mengerti, merasa bisa memegang Alkitab. Masalahnya dengan Alkitab, justru cepat atau lambat kita dituntut untuk menyerahkan kontrol –inilah masalahnya. Dalam bahasa Indonesia, istilah ‘mengerti’ juga bisa pakai kata ‘menguasai’; dan kita seringkali ingin menguasai Alkitab di dalam kedua pengertian ini, bahwa ‘kalau saya mengerti, berarti saya menguasai Alkitab, saya in control’, sementara Alkitab malah seringkali menolak untuk dikontrol dan dikuasai.
Saudara, memang mengerikan dan menakutkan kalau kita harus melepaskan paradigma yang sudah kita pakai bertahun-tahun –sama seperti Buzz Lightyear melepaskan paradigmanya– karena mengganti paradigma ini selalu disertai perasaan kehilangan pijakan dan kehilangan kepastian. Tapi di sisi lain, perubahan paradigma itu juga membebaskan, karena ketika Buzz Lightyear menerima fakta bahwa dia memang mainan, itu menyakitkan sekali, tapi pada akhirnya justru memperbaiki hubungannya dengan mainan-mainan yang lain, dan juga memberi dia kelegaan. Itu sebabnya kita perlu coba untuk lebih mengenali, selama ini kita pakai kacamata/paradigma apa dalam datang kepada Alkitab, dan memikirkan kemungkinan ada paradigma lain yang lebih sesuai dengan diri Alkitab.
Hari ini kita lebih banyak melakukan dekonstruksinya, lebih banyak ke arah peruntuhannya, karena rekonstruksi memang lebih lama waktunya. Kita akan coba mengenali, apa paradigma yang salah yang selama ini menguasai diri kita, waktu kita datang kepada Alkitab. Tentu ada banyak jenisnya, tapi satu payung besar paradigma yang kurang tepat dalam membaca Alkitab bisa kita simpulkan dalam satu hal, yaitu: kita seringkali datang kepada Alkitab dengan menganggap Alkitab buku referensi. Ini bukan paradigma yang tepat.
Apakah yang dimaksud buku referensi? Ensiklopedia adalah buku referensi, buku acuan. Wikipedia adalah buku referensi digital. Sekarang perhatikan bagaimana Saudara menggunakan ensiklopedia atau wikipedia; kapan Saudara membuka ensiklopedia atau wikipedia? Tentu ketika Saudara ada keperluan, ketika Saudara ada maunya. Saudara datang, kalau Saudara punya pertanyaan. Saudara datang, karena Saudara punya curiosity. Saudara bingung atau ingin tahu sesuatu, lalu Saudara meng-input istilah tersebut ke buku ini, dan mengharapkan jawaban yang jelas dan komprehensif; itulah tugas dan fungsi buku referensi. Tapi lihat, tidak ada orang yang membaca buku referensi dengan cara membacanya dari depan sampai belakang. Buku referensi memang tidak didesain untuk dibaca seperti itu. Itu sebabnya buku referensi disusun urut menurut abjad, supaya kita gampang menemukan topik yang diperlukan, gampang menemukan bagian yang tepat. Ensiklopedia memang didesain untuk dibaca secara comot-comot, untuk menjawab pertanyaanmu dan kebutuhanmu saat ini. Dan harapannya, setelah selesai membacanya, Saudara mengatakan, “Oh, begitu”, lalu Saudara tutup dan tidak memerlukannya lagi, setidaknya untuk saat itu. Suatu saat, kalau ada yang Saudara bingung, bolehlah Saudara baca lagi. Tapi mana mungkin kita baca buku ini 20 menit tiap pagi, bukan?
Saudara, inilah paradigma yang selama ini cenderung kita pakai waktu membaca Alkitab. Mungkin ini bukan karena kita begitu bejatnya atau anak setan, tapi bisa jadi ada hasrat yang kudus di baliknya, karena kita merasa ‘bukankah Alkitab memang harusnya bisa menjawab kebutuhan dan kebingungan-kebingungan kita?’ Dalam batas tertentu, saya pun percaya demikian. Tapi problemnya, apakah cara Tuhan menjawab kebutuhan Saudara adalah dengan memberikan sebuah buku referensi?
Kita memperlakukan Alkitab sebagai buku acuan ketika kita menganggap Alkitab terutama sebagai ensiklopedi teologi atau bahkan kamus teologi; dan dengan demikian kita datang kepada Alkitab, terutama ketika kita bingung dengan berbagai pertanyaan yang bersifat ensiklopedia. Siapa atau apakah Allah, siapa atau apakah manusia? Apa definisi kebaikan, apa definisi kejahatan? Apa problem dunia ini, dan apa solusinya? Ada berapa banyak malaikat, siapa saja nama-nama mereka? Seperti apa detik-detik pertama terjadinya dunia? Siapakah Yesus; Dia benar-benar Anak Allah atau bukan? Apakah Gereja itu, bagaimana bergereja? Bagaimana kita hidup dalam masyarakat sebagai orang Kristen, apa hubungan orang Kristen dengan masyarakat sekuler? Dan seterusnya.
Saudara lihat, saya sengaja memberi pertanyaan campur-campur, ada pertanyaan yang konyol dan ada pertanyaan-pertanyaan yang memang Saudara rasa Akitab gunanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ketika kita mengambil kelas Teologi Sistematika ataupun kelas Katekisasi, kita memang punya pertanyaan-pertanyaan seperti ini; lalu yang biasanya kita lakukan adalah membuka Alkitab seperti membuka buku referensi ensiklopedi. Kita tidak membacanya dari depan sampai belakang, kita bahkan mungkin tidak mengambil satu pasal dan membacanya dari awal sampai akhir, kita hanya mengambil mungkin 1 ayat di sini dan 3 ayat di sana lalu kita kumpulkan jadi satu. Dan sekali lagi, intuisi atau hasrat di balik pendekatan seperti ini sebenarnya oke; kita kepingin datang kepada Alkitab dan memakainya sebagai buku acuan yang tertinggi, yang membentuk cara kita melihat seluruh realitas. Tentu saja ini tujuan yang agung dan tepat. Tapi pertanyaannya, sementara intuisi dan hasrat di balik pendekatan seperti ini sebenarnya oke, apakah paradigma buku referensi itu tepat untuk melayani hasrat ini, apakah ini cara terbaik untuk membaca Alkitab, apakah Alkitab memang diberikan seperti itu?
Saudara mungkin bertanya, ‘memangnya ada cara lain?’ Kita memang belum masuk ke fase konstruksi, tapi saya bisa memberi satu contoh kecil saja. Saudara tentu tahu, cara pandang kita terhadap dunia tidak dibentuk melalui ensiklopedia, tapi bisa juga melalui cerita, narasi, story telling. Bahkan mungkin pembentukan yang paling membekas dalam diri Saudara adalah pembentukan yang didapat lewat cerita, dan bukan lewat ensiklopedia. Berapa banyak dari kita, yang ketika menghadapi suatu situasi tertentu lalu mengatakan, “Ya, ini memang seperti yang saya baca di Ensiklopedia Britanica bagian sekian-sekian”, dsb.? Tidak adayang seperti itu. Sebaliknya, bukankah ketika menghadapi situasi tertentu kita lebih sering mengatakan, “Nah, ini mirip seperti di film itu, di buku ini dan itu”; seperti mungkin juga kita mengatakan kepada teman, “Lu itu kayak Iron Man banget”, maksudnya narsis. Apa yang terjadi di sini? Ini membentuk kacamata kita, membentuk bagaimana kita menafsir dunia, tapi datangnya bukan dari ensiklopedia melainkan dari cerita, film, kisah-kisah.
Datang kepada Alkitab demi Alkitab itu memperngaruhi bagaimana kita melihat realita, tentunya hasrat yang kudus, tapi pertanyaannya apakah cara terbaiknya dengan datang kepada Alkitab dengan memperlakukan Alkitab sebagai buku acuan atau ensiklopedia? Dalam hal ini, problem yang mungkin langsung terpikirkan oleh Saudara adalah ‘Selama ini ‘kan pendekatan itu berhasil? Bukankah kita beroleh sangat banyak melalui paradigma ensiklopedi ini? Lagipula, ini sudah berjalan ribuan tahun; orang Kristen sudah memperlakukan Alkitab sebagai acuan teologi paling tidak sudah sejak abad ke-2, dan begitu banyak benefit yang kita dapatkan dari situ. Dan, bukannya GRII justru warnanya memang doktrinal? Jadi maksudnya Bapak tidak setuju dengan teologi sistematika??’
Saudara, tolong dengar khotbah ini sampai akhir. Satu hal yang kita perlu tahu, bahkan para teolog Teologi Sistematika sendiri pun menyadari adanya problem dengan pendekatan teologi sistematika, ketika pendekatan ini jadi paradigma utama kita dalam mendatangi Alkitab. Mengapa? Karena pada dasarnya, ketika Saudara datang kepada Alkitab dengan paradigma ensiklopedi, kecenderungannya adalah Saudara tidak membaca secara keseluruhan, tidak mengikuti alur Alkitab itu sendiri, dan cenderung comot-comot dari sini-sana. Dan, salah satu hal yang ditunjukkan oleh para teolog tadi adalah: jikalau memang Allah memberikan Alkitab terutama untuk jadi buku referensi, mengapa Allah tidak menurunkan ensklopedi sekalian? Kenapa Alkitab tidak diturunkan dengan cara isinya yang disusun menurut abjad? Kenapa kalau kita mau menggunakan Alkitab untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ensiklopedi tadi, maka kita pada dasarnya harus menyusun ulang Alkitab? Saudara perlu bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan ini.
Saya tidak mengatakan kita perlu membuang sama sekali paradigma ini, saya hanya ingin mengajak kita menyadari bahwa yang kita sebut dengan teologi sistematika itu, sesungguhnya adalah sebuah transliterasi, atau bisa dibilang sebuah terjemahan. Itu sebabnya, sebagaimana semua terjemahan, setiap lewat beberapa waktu akan muncul edisi baru yang lebih updated.Kita bisa respek dengan terjemahan, kita juga perlu terjemahan, tapi terjemahan tidak pernah bersifat mutlak. Terjemahan selalu perlu kembali ke sumber asalnya; dan itu sebabnya Teologi Sistematika selalu keluar lagi dan lagi edisi yang baru, yang ditulis orang-orang baru, karena memang senantiasa perlu diperbarui. Tidak ada buku teologi sistematika yang klasik sepanjang zaman. Omong-omong, mungkin mengagetkan bagi Saudara, bahwa kita tidak menerima semua pemikiran John Calvin; contoh sederhananya, Calvin percaya bumi ini datar. Pemikiran yang seperti itu, tentu saja perlu di-update, bukan?
Kita bebas menggunakan teologi sistematika dan pendekatan doktrinal dalam mengerti Alkitab, tapi pertanyaannya, jangan-jangan paradigma ini akhirnya jadi paradigma tertinggi dan terutama, atau bahkan mungkin paradigma satu-satunya dalam cara kita membaca Alkitab. Oleh karena kita memperoleh sangat banyak kebaikan dari paradigma ini, maka pencobaannya adalah: cepat atau lambat kita jadi memaksakan setiap bagian dari Alkitab untuk melayani paradigma ini. Dan, mungkin itu sebabnya orang GRII cenderung menghindari bagian-bagian Alkitab yang berbentuk puisi misalnya, karena rasanya kurang cocok dengan paradigma ‘buku acuan’. Ini bahaya. Ironis bahwa orang-orang dari Gereja yang selalu meneriakkan untuk kembali ke Alkitab, ternyata sebenarnya dalam satu dan lain hal juga bersalah terhadap kecenderungan ini, yaitu kecenderungan untuk comot-comot Alkitab. Harap Saudara jangan terlalu sensi dengan kalimat-kalimat seperti ini, karena seperti sudah dikatakan berulang kali oleh banyak pembicara, termasuk Pendeta Billy, bahwa warna Reformed adalah warna self critic.
Problem di sini bukanlah bahwa paradigma teologi sistematika itu salah sama sekali, tetapi apakah kita sudah terlalu memberhalakan paradigma ini di atas segala sesuatu. Jadi, Saudara sekarang bisa melihat inilah salah satu penyebab dari kefrustrasian kita di awal tadi, yaitu mengapa kita merasa 20 menit baca Alkitab harusnya bisa langsung mengerti dan tahu aplikasinya? Salah satunya adalah karena kita memaksa untuk baca Alkitab sebagai buku acuan, buku referensi, ensiklopedi.
Model yang kedua, kita memperlakukan Alkitab sebagai buku referensi adalah dengan melihatnya sebagai ensiklopedi moral atau ensiklopedi etika. Paradigma kedua ini juga sangat populer di kalangan orang Kristen, bahkan mungkin lebih populer daripada yang pertama tadi. Model ini ada miripnya dengan paradigma yang pertama, dalam arti kita tetap datang kepada Alkitab sebagai buku acuan, tapi sekarang kita bukan membawa pertanyaan-pertanyaan teologis ke dalamnya, melainkan mencari jawaban untuk urusan-urusan moral atau etika, atau tentang bagaimana berlaku dan bertindak secara konkret dalam hidup ini. Apa problem dari pendekatan ini –sekali lagi, ketika ini jadi yang terutama?
Problem yang pertama adalah: di antara tradisi-tradisi yang berbeda satu sama lain, bisa ada begitu banyak perbedaan sengit dalam etika dan aturan hidup, meskipun semuanya mengklaim bahwa mereka mengambilnya dari Alkitab. Ada yang bilang hari Minggu bebas beraktiftas, ada yang bilang hari Minggu tidak boleh beraktifitas selain ke gereja. Ini level yang pertama.
Level yang kedua, bahkan dalam tradisi yang sama pun bisa ada ketegangan. Misalnya Saudara membaca bagian di Alkitab, Paulus menyuruh jemaat menyambut satu dengan yang lain dengan ciuman kudus; ini artinya apa, praktikanya bagaimana. Di sini Saudara akan menemukan begitu banyak opini, meski dalam tradisi yang sama.
Lebih celakanya lagi di dalam level yang ketiga, alasannya bisa terjadi perdebatan-perdebatan seperti itu –dan ini suatu makanan keras– yaitu karena di Alkitab sendiri memang ada ketegangan-ketegangan seperti itu. Di satu tempat bisa ada bagian yang mengatakan A, tapi di bagian yang lain seperti melawan A. Contohnya urusan mengenai orang Ibrani yang jadi budak orang Ibrani lainnya. Di dalam Keluaran 21:2, dikatakan bahwa yang dibebaskan setelah 7 tahun hanya budak Ibrani yang pria; tapi di dalam Ulangan 15:12, bukan cuma pria yang dibebaskan pada tahun ketujuh tapi juga yang wanita, dan juga dikatakan: “jangan lepaskan dia dengan tangan hampa”. Bagian terakhir ini tidak ada di kitab Keluaran. Mungkin Saudara bilang, “ya, itu masih okelah, ‘kan tidak bertentangan”. Itu benar,tapi kalau kita lompat ke Imamat 25:39, disitu dikatakan “jangan memperbudak sesamamu orang Ibrani, karena kita semua budak di Mesir”, boleh jadi pekerja upahan tapi jangan jadi budak. Jadi mana yang benar?
Mungkin saya membuat Saudara bingung dan merasa kehilangan pegangan, tapi Saudara perlu hati-hati, jangan sampai demi pegangan, Saudara lalu menghindari bagian-bagian Alkitab yang sulit seperti ini., karena kita jadi bisa berada dalam bahaya “melindungi diri dari Alkitab”. Akhirnya, kita tahu ada ayat-ayat seperti ini justru dari orang-orang ateis di luar sana, lalu kita kaget dan syok, baru tahu ada ayat-ayat seperti ini karena di gereja tidak pernah dibicarakan. Jadi, lebih baik Saudara mendengarnya dari saya dibandingkan dari mereka, karena paling tidak Saudara tahu bahwa kami juga tahu ada ayat-ayat seperti ini, dan kami tetap beriman.
Selanjutnya, masih ada problem di level yang keempat, yaitu bahwa hal ini bukan cuma muncul antar tradisi, atau dalam satu tradisi yang sama, atau di dalam Alkitab sendiri, tetapi paradigma melihat Alkitab sebagai buku moral seperti ini juga problematik ketika kita, orang Kristen, berhadapan dengan masyarakat sekuler. Saudara perhatikan, seringkali ketika orang Kristen dalam menghadapi isu-isu publik, seperti aborsi, hukuman mati, dsb., mereka akan mengatakan di publik, “posisi moral saya seperti ini, karena Alkitab mengatakan demikian”. Dengan demikian, masyarakat sekuler yang tidak mengenal Tuhan atau mengenal Alkitab, setiap kali mendengar kalimat-kalimat seperti ini maka mereka sedang dilatih untuk mempunyai paradigma terhadap Alkitab demikian: ‘O, jadi bagi orang Kristen, Alkitab itu semacam buku acuan aturan moral mereka’. Lalu mereka membuka Alkitab, dan membaca di dalamnya ada hukum mengenai melempari orang dengan batu, ada perintah Tuhan kepada Yosua untuk membasmi suku-suku di Kanaan. Mereka membaca bahwa Paulus tidak menyuruh melepaskan budak tapi malah menyuruh budak menurut kepada majikannya seperti kepada Tuhan. Kacau.
Sekali lagi, Saudara bisa mengenali hasrat yang kudus di balik paradigma ini, karena kita ingin Alkitab mengendalikan tindak-tanduk kita, kita tidak ingin jadi orang-orang yang liar. Kita mengenali bahwa hidup sebagai umat Tuhan adalah hidup dengan cara-cara tertentu. Bahkan kisah pertama dari Alkitab pun seperti itu, yang berhak menentukan apa yang baik dan benar hanyalah Allah, dan bukan manusia. Itu sebabnya, sama seperti dalam hal paradigma yang pertama, kita bisa bersimpati karena ini lahir dari hasrat yang kudus. Tapi sekali lagi, sementara kita percaya Alkitab mempengaruhi bagaimana kita bertindak dan membentuk bagaimana kita hidup, Saudara perlu bertanya, caranya bagaimana? Bagaimana caranya Alkitab mencapai hal ini, apakah hanya dengan membuka halaman sekian lalu menuruti perintah ke-sekian?
Problem di sini juga sama dengan problem dari paradigma yang pertama; memang ada bagian dalam Alkitab yang berbentuk perintah, yang mengatur tindakan-tindakan kita, tapi tidak semua bagian dari Alkitab bisa dipakai secara demikian, atau bertujuan untuk itu. Bahkan bagian yang jelas-jelas berupa perintah pun, Saudara lihat tidak segampang itu menyulapnya jadi seperangkat aturan hidup. Saudara ambil misalnya hukum ke-6 dari Sepuluh Hukum, yaitu “jangan membunuh”. Formulasinya jelas sebagai aturan hidup, tapi setiap kali membahas Sepuluh Hukum di kelas Katekisasi atau kelas Teologi, salah satu pertanyaan yang selalu muncul menunjukan bahwa perintah ini tidak segampang itu untuk dikutip begitu saja, karena apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘membunuh’, apakah murder (pembunuhan yang direnca-nakan), atau juga termasuk manslaughter (pembunuhan yang tidak disengaja)? Lalu bagaimana dengan membunuh karena mempertahankan diri? Bagaimana dengan tugas menjalankan hukuman mati?
Lihatlah ketika Tuhan Yesus mengutip perintah ini, memang Dia mengutipnya sebagai kalimat untuk mengatur tindak-tanduk dan etika moral kita, tapi ada satu hal yang menarik dalam cara Dia melakukannya. Dia tidak main legalistis ‘pokoknya gini, pokoknya gitu’; Tuhan Yesus mengembangkan perintah itu ke dalam area-area yang kita tidak terpikir, seperti bahwa kemarahan pun bisa disandingkan dengan dosa pembunuhan, mempermalukan seseorang di depan publik dengan kata-kata yang tidak pantas juga disandingkan dengan pembunuhan. Dengan demikian Saudara lihat, ini bukan sekedar buku aturan, bukan KUHP.
Saudara mungkin pikir, menakutkan banget kalau Alkitab tidak jadi buku moral, ini slippery slope. Bukan demikian, Saudara; maksudnya bukanlah Alkitab tidak mengatur hidup kita, tapi yang saya ingin katakan adalah: bagaimana jika, Alkitab bukan kitab undang-undang melainkan kitab bijaksana, yang bertujuan bukan cuma mengunci perilaku orang dari luar saja tapi justru membangun karakternya dari dalam.
Satu hal yang pasti mengenai orang-orang yang berbijaksana adalah: orang bijaksana itu buku aturan hidupnya tipis. Ini karena orang yang bijaksana bukan memerlukan belenggu dari luar, mereka punya karakter yang dibentuk dari dalam. Dan, yang Tuhan Yesus lakukan dalam hal perintah ke-6 tadi, adalah mengajak orang-orang ini untuk karakternya dibangun dari dalam. Yesus mengajak mereka berpikir, ‘lu jangan pikir kalau lu tidak membunuh maka berarti sudah lulus perintah ini; ayo, kita pakai waktu untuk merenungkan hal ini lebih dalam’, dan ternyata Yesus mengupas bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di sini. Ini adalah sebuah ajakan untuk berbijaksana. Ini bukan cuma urusan mengambil nyawa orang, tapi bahkan sampai menyentuh soal sikap hati kita terhadap orang lain. Jadi, jika Saudara hanya membuka Alkitab demi mencari aturan, Saudara akan kehilangan banyak sekali kelimpahan yang Alkitab sediakan. Inilah yang Tuhan Yesus tunjukkan kepada kita. Lalu mengapa paradigma bijaksana ini tidak laku? Karena yang namanya bijaksana, itu selalu berhubungan erat dengan waktu dan proses; dan kita ini mental indomi semua.
Saudara, itulah paradigma-paradigma yang selama ini membelenggu kita, yang membuat kita salah membaca Alkitab. Pastinya ada banyak yang lain juga. Tapi saya harap Saudara menangkap alasannya membicarakan “panggilan” harus mulai dari sini, karena jika kita tidak membereskan cara kita datang kepada Alkitab, maka waktu kita membicarakan tentang panggilan, atau apapun, kita mudah sekali akhirnya salah menggunakan Alkitab.
Terakhir, apa penghiburan kita setelah kacamata kita retak dan pecah? Kembali ke Gideon; kisah Gideon jadinya mengenai apa? Kisah Gideon bukanlah referensi teologi mengenai apa itu kehendak Allah. Kisah Gideon bukanlah mengenai aturan moril, tanda apa yang boleh dan tidak boleh diminta dari Allah. Saya rasa, kisah Gideon, sebagaimana banyak kisah-kisah lain di Alkitab bukan terutama bicara mengenai diri orang-orang yang diceritakan di dalamnya, entah itu Gideon, Daud, atau siapa pun lainnya, tapi mengenai Allah yang berinteraksi dengan mereka. Saudara lihat, kisah Gideon ini bukan mengenai orang yang beriman, tapi mengenai orang yang sudah dikasih tanda berkali-kali namun tetap ragu dan takut. Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Yang terjadi adalah: Allah tidak membuang Gideon, Allah bekerja dengan Gideon, Allah menyelamatkan umat-Nya melalui tangan Gideon. Gideon di peragu, Gideon si penakut. Jadi apa message dari kisah ini? Jadilah ragu dan takut? Tentu tidak. Sekali lagi, poinnya bukan mengenai manusia, message-nya adalah mengenai Allah.
Allah Israel adalah Allah yang memakai siapa demi menjalankan rencana-Nya? Seperti yang Paulus katakan di 1 Korintus 1, “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti”. Jadi kalau hari ini Saudara merasa kacamata atau paradigma yang selama ini Saudara pakai pecah berantakan, Saudara tidak perlu putus asa, karena Allah Saudara bukanlah Allah yang hanya sanggup memakai orang-orang dengan kerohanian elit dan inteketual sempurna serta kacamata yang paling jelas, Allah Saudara memakai Gideon, Allah Saudara memakai Saudara dan saya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading