Kita sedang dalam pembahasan seri khotbah mengenai “calling”, dan hari ini masuk dalam seri yang ke-5. Sejauh ini kita sudah 3 kali membahas dekonstruksi-nya, dan dalam khotbah terakhir kita sudah mulai masuk ke fase konstruksi. Dalam khotbah terakhir itu kita sudah melihat, jika selama ini konsep kita tentang ‘panggilan’ itu error, penyebabnya mungkin karena cara kita membaca Alkitablah yang juga error. Dengan demikian, rekonstruksinya dimulai dengan membahas bagaimana cara kita membaca Alkitab secara lebih tepat, yang akan menolong kita untuk dapat mengerti panggilan kita juga dengan lebih tepat.
Dalam khotbah ke-4 yang lalu, kita melihat suatu sifat Alkitab, bahwa ternyata di dalam Alkitab, Roh Allah bekerja bukan hanya secara supernatural melampaui manusia, tapi dengan melalui manusia. Dan, ketika manusia dipakai Tuhan di dalam Alkitab, dipakainya bukan dengan cara jadi robot yang digerakkan oleh remote control, melainkan dipakai melalui segala kemanusiaannya, segala pikirannya, perasaannya, pengalamannya, dsb. Kita juga sudah mengaplikasikan, bagaimana hal ini mempengaruhi cara kita melihat panggilan kita, yaitu dengan menyadari bahwa kehendak Allah bukan melulu muncul dengan cara ada tulisan yang tiba-tiba muncul di tembok, atau lewat bisikan malaikat di tengah malam, melainkan melalui apa yang biasa-biasa (ordinary), bahkan manusiawi –pakai otak Saudara, melalui baca Alkitab Saudara, melalui cari pengalaman, makan asam garam, dengan bertanya pada orang-orang yang lebih dewasa dari Saudara, dengan meng-eksplorasi dunia Saudara, talenta Saudara, dst. Kita hari ini cenderung menganggap hal-hal seperti ini bukan berasal dari Allah, karena kita tahu manusia hari ini sudah tercemar akan dosa –dan itu memang benar. Tapi ketika pengudusan oleh Roh Kudus mulai masuk dalam hidup kita, ketika dosa kita dihapus, apakah itu berarti otak kita juga dihapus? Yang ada adalah bahwa pikiran dan hasrat kita diperbaharui, sebagaimana tujuan final dunia ini bukan untuk dihancurkan melainkan diperbaharui beserta segala isinya. Sama seperti itu, pikiran kita, yang juga adalah bagian dari dunia yang diperbaharui ini, seiring dengan kita menjadi ciptaan baru maka kita juga mulai belajar memikirkan hal-hal yang Allah pikirkan, merasakan apa yang Allah rasakan, menghasrati apa yang Allah hasrati. Demikianlah Saudara menjadi orang yang godly –dan ini justru berarti menjadi orang yang sangat manusiawi.
Hari ini kita masuk ke dalam khotbah ke-5, melanjutkan fase rekonstruksi ini; dan kita mau pakai pola yang sama, yaitu merenungkan bahwa cara membaca Alkitab dengan tepat, akan menolong kita melihat panggilan kita dalam hidup ini dengan tepat. Kita akan membahas mengenai bagaimana melihat Alkitab sebagai kitab bijaksana dan bukan sebagai kitab daftar aturan, dan bagaimana hal ini akan mempengaruhi kita dalam hal panggilan kita.
Kita akan melalukan semacam survey, mencoba melihat beberapa bagian di mana istilah ‘hikmat’ (hokmah) muncul di dalam Alkitab, dan bagaimana Alkitab menggunakannya. Pertama, dari Keluaran 31:2-3, “Lihat, telah Kutunjuk Bezaleel bin Uri bin Hur, dari suku Yehuda, dan telah Kupenuhi dia dengan Roh Allah, dengan keahlian dan pengertian dan pengetahuan, dalam segala macam pekerjaan”. Saudara lihat di sini ada istilah ‘keahlian’, ‘pengertian’, ‘pengetahuan’, ‘dalam segala macam pekerjaan’; di antar 4 istilah tersebut, ada istilah Ibrani hokmah; Saudara coba tebak, yang mana? Mungkin Saudara langsung menebak ‘pengertian’, atau ‘pengetahuan’.Tidak, Saudara. Kata hokmah dalam kalimat itu justru adalah istilah yang sangat tepat diterjemahkan LAI di bagian ini dengan ‘keahlian’.
Keahlian adalah hokmah (skill, ability). Ini lucu, karena di sini kita melihat, ternyata pengertian ‘bijaksana’ di dalam Alkitab agak bentur dengan pengertian kita mengenai bijaksana. Kita terutama berpikir bahwa orang yang bijaksana adalah orang yang tahu harus melakukan apa; dan ini urusannya cenderung berhubungan dengan data, informasi, teknik. Tetapi di dalam Alkitab, seorang seniman yang tahu caranya membuat sesuatu dengan baik, disebut sebagai seorang yang punya hokmah. Di dalam Alkitab, keahlian, ketrampilan, kecakapan (skill, craftmanship, know how) adalah kebijaksanaan (wisdom). Hokmah adalah mengenal, seperti seorang seniman mengenal media yang sedang dia kerjakan itu –mengenal kapasitasnya, potensinya, batasannya– dan mampu mengolahnya sehingga bisa mendatangkan kehidupan. Dia bisa membentuknya dari satu bentuk yang mentah menjadi bentuk yang teratur, fungsional; from chaos to order, itulah hokmah.
Di sini kita jadi menyadari mengapa Alkitab menyebut ‘keahlian’ itu hokmah, karena memang seperti itulah orang yang berhikmat, orang yang bisa berinteraksi dengan kehidupan, seperti seorang seniman yang berinteraksi dengan medianya. Bijaksana adalah keahlian; orang yang bijaksana adalah orang yang ahli kehidupan. Sangat menarik, bahwa orang yang jadi tukang ukir, yang berurusan dengan besi, emas dan perak, mereka itu mengenali adanya potensi, dan juga limitasinya. Misalnya orang yang bekerja dengan emas, dia tahu ada banyak potensi emas, tapi dia tidak akan bikin pedang dari emas. Dia tahu kalau mau bikin perisai harus pakai bahan yang mana, ada bahan yang cocok, dan ada bahan yang tidak cocok, suatu bahan yang tidak cocok untuk ini, bisa cocok untuk itu, dst. Ini tentunya bukan cuma pengetahuan (knowledge).
Berikutnya, kita melihat dari Ulangan 34:9, “Dan Yosua bin Nun penuh dengan roh kebijaksanaan, sebab Musa telah meletakkan tangannya ke atasnya. Sebab itu orang Israel mendengarkan dia dan melakukan seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa.” Di bagian ini kita melihat, orang yang bijaksana –seperti Yosua– dia itu seperti apa? Yaitu ahli dalam memimpin. Itulah bijaksana (wisdom). Wisdom bukan cuma knowledge, wisdom adalah semacam praktika know how, tentang bagaimana kita memutuskan keputusan-keputusan tertentu, bagaimana kita tahu batasan-batasan tertentu, juga kapasitas, potensi. Intinya, ini adalah hokmah; hokmah berbeda dari knowledge, karena dalam hokmah selalu ada konteksnya. Dalam hal keahlian, selalu ada barangnya, selalu ada situasi tertentunya.
Sampai di sini, mendengar bahwa wisdom adalah keahlian dan bukan cuma pengetahuan, wisdom selalu kontekstual, bayangan kita tentang wisdom jadi mulai berbeda. Bayangan kita, “kalau begitu, benar dong, wisdom bentuknya harusnya kayak jawaban instan, teknik; ‘kan seperti seorang tukang besi atau tukang emas dihadapkan dengan satu masalah, dia tahu harus ngapain, ini keahlian yang kontekstual ‘kan, jadi berarti ujungnya wisdom adalah yang instan itu, tahu harus ngapain, dan itu yang saya mau, lalu kenapa Pak Jethro dan pendeta-pendeta lain selalu bilang tidak boleh instan??” Jawabannya, karena praktika itulah justru jalan menuju ke sananya. Memang benar bahwa wisdom membuat kita tahu, ketika berada dalam momen persimpangan harus melakukan apa, sama seperti seorang tukang besi yang ahli (wise) ketika diperhadapkan dengan satu kesulitan, dia tahu harus ngapain dalam momen tersebut; jadi ini kontekstual, praktikal. Tapi bagaimana caranya, berapa lama prosesnya, sampai si tukang besi sampai pada level wisdom yang demikian? Seorang pemain bola yang ahli, menghadapi 3 back dan 1 keeper, dia tahu harus gojek ke mana, harus oper bola ke mana, dia bisa mengeluarkan split-second decision, dan itu perlu latihan yang justru bertahun-tahun. Pada dasarnya wisdom bisa praktis, adalah karena wisdom bukan aturan instan; wisdom bisa terkesan instan dan langsung kena, justru karena wisdom dipahat melalui waktu yang amat sangat lama.
Jadi, apa itu bijaksana? Seringkali kita mengontraskan ‘bijaksana’ dari sekedar ‘knowledge’; bijaksana bukanlah cuma data di otak, melainkan sesuatu yang ada tindakan konkretnya, ada situasi konkretnya; dan lagi, yang namanya ‘bijaksana’ itu tidak bisa Saudara dapatkan dalam bentuk acuan, aturan, langkah-langkah ini dan itu. Yang namanya ‘bijaksana’, itu selalu dinamis. Bagaimana Saudara berlaku bijak terhadap istri Saudara, tentu berbeda dari bagaimana Saudara berlaku bijak terhadap atasan Saudara; bagaimana Saudara berlaku bijak terhadap istri Saudara hari ini, juga berbeda dari bagaimana Saudara berlaku bijak terhadap istrimu besok.
Pernah di dalam kebaktian, seorang pianis main lagu terlalu lambat, lalu saya koreksi dari mimbar, bahwa lagu ini harus dimainkan lebih cepat, dsb. Selesai kebaktian dan setelah doa penatalayan, dia mengatakan kepada saya, “Dulu Pak Jethro lho, yang bilang lagu itu harus dimainkan lambat.” Saya ketawa –ini contoh yang cocok banget memperlihatkan wisdom versus aturan– karena seperti sudah beberapa kali kita bicarakan, tempo lagu tidak pernah baku; memang benar ada tempo yang salah, terlalu lambat atau terlalu cepat, tapi menyanyikan lagu “Besar Setia-Mu” di pemakaman, dan menyanyikan lagu yang sama itu di pernikahan, temponya sama atau tidak? Kalau Saudara pikir tempo adalah tempo, yang selalu sama di setiap situasi, itu berarti Saudara tidak berbijaksana dalam musik –tidak ahli musik. Sama seperti ketika orangtua menghadapi anak yang bersalah, kadang-kadang dia harus menegur, kadang-kadang dia harus menghibur. Ini bukan orangtua yang kontradiksi, tapi orangtua yang bijaksana. Itu sebabnya, orang yang bijaksana tidak bisa ditiru; ketika Saudara berusaha menjiplak orang yang bijaksana, Saudara jadi bodoh.
Wisdom itu tidak bisa di-abal-abal-in, wisdom musti melalui proses waktu yang lama. Ayat yang ketiga memperlihatkan hal ini, yaitu Amsal 6:6, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak”. Ini ayat yang terkenal sekali. Bagaimana caranya menjadi bijak? Dengan memperhatikan/mempelajari semut. Penulis Amsal tidak memberitahu kita, semut itu sifatnya A, B, C, D, E, tapi mengajak kita memperhatikan/ observasi; dan yang namanya observasi, itu sangat lama. Sama juga waktu membaca Alkitab, kita bisa memakai kacamata seperti ini. Yang kita dapati dalam Alkitab adalah berbagai macam studi kasus yang perlu kita observasi. Misalnya cerita tentang persaingan antar saudara kandung (sibling rivalry), dalam kitab Kejadian, Saudara mendapatkan kasus pertama sibling rivalry, yaitu Kain dan Habel, yang membawa pada kematian. Di kisah yang terakhir kitab Kejadian, ada sibling rivalry juga, yaitu kisah Yusuf dan saudara-saudaranya; namun ini perseteruan yang malah membawa kepada kehidupan. Dengan demikian Saudara bisa melihat Alkitab sebagai semacam kumpulan kasus-kasus untuk di-observasi, yang kita tidak bisa dapatkan kalau cuma mengandalkan observasi pengalaman hidup kita.
Alkitab memang hadir untuk membuat kita tumbuh berbijaksana, tapi bukan dengan cara kita membaca buku aturan. Kalau Saudara mendengar paper ilmiah dibacakan, dengar 2 kali saja, Saudara sudah rasa bosan; sedangkan kalau Saudara membaca kisah, atau puisi, ataupun mendengarkan musik, sejak awal Saudara sudah dapat menangkap sedikit keindahannya, tapi begitu Saudara kembali lagi, kembali lagi, dan kembali lagi, Saudara mendapat lebih dalam, lebih dalam, dan lebih dalam lagi. Itulah wisdom; dan seperti itulah wisdom datang, menurut Alkitab.
Satu bagian lagi dalam Alkitab yang memperlihatkan bagaimana wisdom datang, kita temukan dalam kisah Salomo meminta hikmat. Kita mungkin berpikir, dalam kisah ini Salomo minta hikmat lalu langsung secara instan dia mendapatkannya. Tapi tidak demikian, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Saudara bisa mambaca 1 Raja-raja 3, pertama-tama ayat 7-9 yang adalah permintaannya Salomo: “Maka sekarang, ya TUHAN, Allahku, Engkaulah yang mengangkat hamba-Mu ini menjadi raja menggantikan Daud, ayahku, sekalipun aku masih sangat muda dan belum berpengalaman. Demikianlah hamba-Mu ini berada di tengah-tengah umat-Mu yang Kaupilih, suatu umat yang besar, yang tidak terhitung dan tidak terkira banyaknya. Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?” Saudara perhatikan, apa yang Salomo minta? Kemudian kita membaca jawaban Tuhan di ayat 11-12, “Oleh karena engkau telah meminta hal yang demikian dan tidak meminta umur panjang atau kekayaan atau nyawa musuhmu, melainkan pengertian untuk memutuskan hukum, maka sesungguhnya Aku melakukan sesuai dengan permintaanmu itu, sesungguhnya Aku memberikan kepadamu hati yang penuh hikmat dan pengertian, sehingga sebelum engkau tidak ada seorang pun seperti engkau, dan sesudah engkau takkan bangkit seorang pun seperti engkau.”
Dalam bagian ini, Saudara mungkin pikir, “Nah, memang benar instan ‘kan, pokoknya minta lalu langsung wisdom”, tapi bukan itu poin bagian ini. Kalau Saudara membacanya dengan mata seorang Yahudi, yang mengenal Firman Tuhan, Saudara akan melihat hal yang lain. Pertama, perhatikan jawaban Tuhan: Tuhan mengatakan, Salomo minta hikmat, maka Dia memberikan hikmat. Tapi sebenarnya dalam kalimat Salomo, dia tidak pernah menggunakan istilah ‘hikmat’ itu sendiri; yang dia minta adalah kemampuan bisa membedakan antara yang baik dan yang jahat. Mendengar frasa ‘membedakan antara yang baik dan yang jahat’ di sini, Saudara tentunya langsung ting… ting… ting…ting… . Di sini Salomo minta pengetahuan yang baik dan jahat, dan ini positif, Tuhan berkenan; sedangkan Adam dan Hawa minta pengetahuan yang baik dan jahat, tapi itu negatif. Mengapa, ya? Saudara perhatikan, Salomo meminta pengetahuan itu dari Tuhan, sementara Adam dan Hawa mengambil pengetahuan tersebut tanpa Tuhan.
Saudara, kisah ini bukan bicara tentang wisdom itu didapatnya secara instan; kisah ini justru memperlihatkan proses yang perlu ada sebelum ada wisdom. Apakah itu? Yaitu takut akan Tuhan. Saudara perhatikan, dalam kisah Adam dan Hawa, mereka itu menjadi ketakutan setelah mengambil dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat itu, sedangkan dalam kisah Salomo, dia terlebih dulu takut akan Tuhan sebelum dia minta wisdom. Tidak heran, Amsal 1:7 mengatakan, “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan” –yang dalam bahasa aslinya sebenarnya bukan ‘pengetahuan’ tapi ‘wisdom’. Dan menarik juga di Amsal 3:18 dikatakan bahwa wisdom menjadi pohon kehidupan –jelas sekali ini referensi terhadap Kejadian 3.
Hal ini jadi berkaitan dengan the dark side of wisdom, yaitu ketika seseorang menjadi bijak di dalam pandangannya sendiri. Orang bisa jadi mengejar wisdom demi wisdom itu sendiri. Ketika ini terjadi, maka mereka bijak menurut padangannya sendiri –dengan kata lain, mereka menjadi bodoh. Ini poin penting dalam wisdom menurut Alkitab.
Wisdom menurut Alkitab bukanlah terutama soal memiliki hasil akhirnya, jawaban-jawaban hidup yang Saudara inginkan itu; memiliki wisdom tidak bisa dan tidak boleh dilepaskan dari caranya Saudara memperoleh wisdom tersebut. Kisah Salomo tadi membuat kita bisa melihat dengan terang yang baru dalam membaca cerita Kejadian 3. Kalau kita cuma membaca Kejadian 3, kita mungkin mengambil kesimpulan bahwa Tuhan kayaknya tidak mau manusia jadi bijak, Tuhan tidak mau manusia tahu yang baik dan jahat. Tapi lewat kisah Salomo, kita menyadari sebenarnya bukan demikian; Tuhan sebenarnya mau, tapi adalah hal yang sangat penting, bagaimana Saudara mendapatkan pengetahuan tersebut. Sikap meminta, sikap menerima, ternyata sangat penting dalam hal hokmah; sedangkan mengambilnya begitu saja, ternayata dalah tindakan bodoh yang menghasilkan kejatuhan manusia.
Saudara, wisdom itu praktis atau tidak? Tentu benar wisdom itu praktis, tapi wisdom tidak pernah hadir secara instan. Itu sebabnya, kalau hari ini kita bertanya ‘apa panggilan kita’, dan kita ingin tahu kebijaksanaan Tuhan bagi momen hidup saya hari ini, sebenarnya bagi Alkitab yang lebih penting adalah bertanya ‘bagaimana saya mencari akan hal ini’. Saudara mencari panggilan Saudara dengan cara apa? Cara instan? Cara supranatural? Minta Tuhan memberi tanda, ‘siapa yang harus aku nikahi, karena aku ingin tahu secara pasti’? ‘Aku tidak mau belajar trust, aku mau yang pasti, jelas, dan nyata’? ‘Aku tidak mau pakai harus cara men-sinkron-kan hasrat, dan emosiku, dan otakku, kepada Tuhan’? Jika demikian, Saudara sedang mengambil bijaksana dengan cara seperti Hawa mengambil buah pohon pengetahuan.
Demikianlah wisdom dalam Perjanjian Lama; lalu bagaimana wisdom dalam Perjanjian Baru? Dalam tradisi kita, mungkin kita lebih memprioritaskan Perjanjian Baru, kita lebih senang membaca Perjanjian Baru karena perjanjian Baru ada bagian-bagian yang lebih mirip dengan buku aturan. Misalnya, membaca Perjanjian Lama itu, seperti dikatakan tadi memang perlu proses dan waktu, ada narasi, puisi, dsb., sedangkan Paulus ‘kan bicaranya ‘jangan lakukan ini, jangan lakukan itu’. Tapi apakah ini berarti kita sekarang melihat Alkitab Perjanjian Baru dengan cara yang lain, bukan sebagai wisdom literature, melainkan buku aturan? Tentu saja tidak. Sebenarnya, hari ini kita tetap harus membaca surat-surat Paulus dengan kacamata ‘wisdom’. Apa maksudnya? Kita akan coba melihatnya.
Contohnya, Paulus di dalam surat Korintus punya segudang perintah mengenai apa yang harus dilakukan, nilai-nilai apa yang harus dijaga dalam komunitas mereka, ada perintah mengenai integritas seksual “jangan tidur dengan pelacur”, perintah atau aturan mengenai kalau seorang Kristen menuntut hukum atas orang Kristen yang lain, perintah mengenai pernikahan dan pertunangan, dsb. Di sini Saudara mungkin mengatakan, “Nah, jelas ‘kan, semuanya aturan instan, baku.” Tapi tidak demikian, coba saja Saudara pelajari bagaimana perintah-perintah ini dibaca dalam berbagai gereja dan denominasi. Setiap denominasi akan hanya mengambil sebagian dari perintah-perintah ini sebagai perintah yang universal dan baku, sementara sisa perintah-perintah yang lain sebagai perintah yang bersifat kontekstual. “Sambutlah satu dengan yang lain dengan cium yang kudus”; ini perintah universal atau kontekstual? Ternyata tidak segampang itu untuk semua perintah jadi universal. Kita tidak mungkin melakukan semua yang Paulus suruh lakukan sebagai perintah yang universal. Orang-orang yang memperlakukan sebagian perintah-perintah ini secara kontekstual, bukan melakukannya karena mereka kurang percaya dengan perintah-perintah ini ataupun otoritas dari perintah-perintah ini. Misalnya, perintah Paulus agar jemaat Korintus mengumpulkan uang untuk jemaat yang miskin di Yerusalem, apakah Saudara akan membacanya sebagai perintah baku? Tentu tidak. Secara natural kita tahu, bagian ini perlu dibaca secara wisdom dan bukan secara buku aturan. Ini kontekstual; dan itu berarti kita harus menggali apa maknanya bagi jemaat Korintus tersebut, dan apa maknanya bagi kita pada saat ini. Dengan demikian kita dapat menjalankan spirit dari perintahnya, tanpa harus menjalani perintah ini secara persis seperti jemaat Korintus. Bukankah ini wisdom? Setia, tidak berarti harus sama persis.
Misalnya waktu pulang dari kebaktian, Saudara ditanya oleh istri, “Tadi Pak Jethro khotbah apa, ya?” Saudara mungkin akan mengutip kalimat-kalimat saya secara persis. Tapi waktu anak Saudara yang tanya, Saudara mungkin akan mengubah kalimat saya, supaya bisa dicerna oleh anak tersebut. Setia, tidak berarti harus sama persis; inilah wisdom. Jadi, waktu Paulus menyuruh komunitas-nya melakukan itu, mari kita merenungkan lalu melakukan ini untuk komunitas kita; dalam hal ini, yang dilakukan lain lagi. Dan, inilah wisdom, karena kita memang tidak hidup di abad pertama seperti jemaat Korintus pada waktu itu. Jadi, dalam kacamata seperti ini, waktu Saudara membaca seluruh Perjanjian Baru (bukan cuma surat Paulus kepada jemaan Korintus), Saudara tetap harus membacanya dengan pembacaan yang kontekstual, pembacaan yang bijaksana, karena memang semua ini tidak ditulis kapada Saudara, Saudara tidak hidup di abad pertama. Omong-omong, jangan salah mengerti kalimat ‘ini tidak ditulis kepada Saudara’; kalimat bagusnya adalah: ‘Alkitab memang ditulis bagi Saudara, tapi bukan kepada Saudara’. Kita tetap perlu membacanya lewat wisdom. Sekali lagi, bijaksana itu kontekstual; maka membaca Alkitab sebagai kitab bijaksana, dan dengan bijaksana, berarti Saudara tidak bisa asal ambil cerita ini dan itu lalu menjalankannya. Termasuk juga Perjanjian Baru, Saudara perlu merenungkannya. Saudara perlu membacanya dalam konteks aslinya lalu mencari cara untuk menerapkannya dalam konteks zaman sekarang. Saudara perlu waktu, Saudara perlu proses, Saudara perlu mengasah keahlian Saudara, dan bukan cuma sekedar diberitahu aturan. Inilah bijaksana. Bijaksana itu kontekstual, dan ini tidak terkunci hanya dalam kitab-kitab bijaksana di Alkitab, melainkan satu paradigma yang kita perlu pakai dalam membaca keseluruhan Alkitab.
Mungkin Saudara bilang, “Waduh, kalau kayak begini, jadinya bagaimana ya, Pak, karena Alkitab koq, jadi seperti ada nuansa elitis, bahkan gnostik, kayaknya perlu wisdom untuk bisa membaca Alkitab secara wisdom, kebenaran Alkitab tidak langsung keluar, perlu pembacaan ulang, perlu memperhatikan konteksnya, perlu kontekstualisasi, dst.” Kalau demikian pendapat Saudara, coba lihat semua pengetahuan/studi yang lain; misalnya Saudara belajar Matematika sejak kelas 1 SD, sekarang Saudara tetap bisa mempelajarinya, sampai mati pun tidak habis, selalu ada lebih dan lebih. Itulah fakta semua bidang pengetahuan manusia; lalu kenapa kita mengharapkan Alkitab berbeda? Ada semacam penyakit dalam Protestanisme gaya kita, yang dalam budaya ini kita jadi mengharapkan jika Alkitab itu firman Tuhan, maka datangnya lewat cara-cara yang paling simpel, harus langsung ketemu artinya/maksudnya, harus langsung keluar jawabannya. Tapi bukankah Saudara sudah tahu lewat bertahun-tahun pengalaman Saudara dengan Alkitab, bahwa Alkitab tidak bisa diperlakukan demikian? Kita mengatakan, “Tuhan itu ‘kan Komunikator teragung, maka Dia bisa memberikan poinnya secara langsung”; tapi Saudara tidak harus lihat komunikator yang agung cuma seperti itu, karena seorang komunikator yang agung juga bisa dilihat dari bagaimana dia bisa bicara lapisan-lapisan makna yang dalam hanya dalam satu kalimat singkat. Seperti seorang pelukis, dia bisa membuat suatu lukisan yang indah, yang kalau Saudara lihat kembali, Saudara bisa mengupas lapisan demi lapisan di bawahnya seakan tidak pernah habis. Kalau demikian, mengapa kita tidak melihat keagungan Tuhan sebagai komunikator dalam mode seperti ini??
Sekali lagi, problemnya bukan pada Alkitabnya, tapi entah bagaimana, ada pada kacamata kita. Kalau Saudara melihat tulisan bapa-bapa Gereja mengenai Alkitab, kita tidak pernah akan menemukan paradigma kita di situ. Mereka melihat Alkitab sebagai sesuatu yang dalam, yang harus dibaca lagi dan lagi, tidak bisa mendapat kesimpulan-kesimpulan langsung dalam pembacaan yang pertama. Ekspektasi untuk mendapatkan jawaban instan, baru muncul di zaman kita. Kita senang dengan kristalisasi, tapi kita selalu lupa bahwa kristalisasi itu selalu keluar setelah tahunan baca Alkitab. Kalau Saudara mendengar suatu kristalisasi, Saudara merasa “Wah, luar biasa”, tapi coba tanya pada orang yang mengeluarkan kristalisasi itu, biasanya mereka akan merasa itu masih tidak cukup mewakili Alkitab, tidak cukup limpah dan tidak cukup dalam –sama seperti kalau Saudara menceritakan suatu musik atau sebuah film lewat satu dua kalimat singkat, itu tidak pernah cukup. Saudara, ini kabar baik atau kabar buruk? Ini kabar buruk, kalau Saudara datang kepada Alkitab dan kepada Kekristenan, untuk cari buku aturan. Tapi jika Saudara datang kepada Tuhan dengan takut akan Tuhan sebelum Saudara mengejar wisdom itu, dan itu berarti Saudara tidak bersandarkan pada idemu sendiri mengenai bagaimana proses wisdom itu harusnya datang, dan berarti Saudara menyadari bahwa wisdom datang melalui observasi, melalui membaca dan membaca lagi, maka ini jadi kabar baik, ini semua masuk akal.
Kembali lagi, jika kita butuh wisdom untuk mendapatkan wisdom dari Alkitab, bagaimana caranya? Kita bisa melihat di 2 Timotius 3, yang biasanya kita cuma ingat ayat 16-nya: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Ayat ini termasuk ayat-ayat Perjanjian Baru yang bisa muncul di t-shirt, sehingga kita seringkali jadi lupa membaca ayat-ayat sebelumnya. Kita mundur 2 ayat, ayat 14-15: “Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.” Saudara lihat penekanan dalam kalimat itu: ‘yang telah engkau terima’, ‘mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu’, ‘dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci’. Apakah ini berarti Timotius sendirian? Tentu tidak. Kita tahu ada Eunike dan Lois, neneknya. Dia bergantung pada orang lain untuk bisa mengenal Kitab Suci. Dia bergantung pada bijaksana umat Tuhan yang lain, untuk bisa mendapat bijaksana dari Kitab Suci.
Kita mungkin pikir, susah banget karena butuh wisdom untuk bisa melihat wisdom dari Kitab Suci; tapi ini cuma jadi problem, kalau Saudara pakai model ‘saat teduh 20 menit tiap pagi sendirian’. Sebaliknya, jika Saudara membaca Alkitab dalam komunitas, maka jelas sekali dari mana wisdom yang kita perlukan itu datang sebelum kita bisa mendapatkan wisdom, yaitu dari orang lain, dari umat Tuhan. Kita tidak suka dengan keterikatan-keterikatan dan keterbatasan-keterbatasan ini. Kita tidak mau kalau Tuhan kerjanya lewat otak yang diperbaharui, lewat emosi yang diperbaharui, kita maunya langsung. Tuhan mau bekerja lewat waktu, lewat proses yang lama; kita tidak mau, kita maunya langsung. Tuhan mau bekerja lewat wisdom umat Tuhan yang lain; kita tidak mau, kita maunya sendirian. Saudara, kita ini makhluk ciptaan, jadi kalau Tuhan mau bekerja lewat cara ini, siapakah kita yang bisa bilang ‘tidak mau’?
Sekali lagi, problem dengan Kekristenan adalah: kita seringkali maunya melampaui kemanusiaan, dan bukan kembali menjadi manusia seutuhnya. Kita tidak bisa hidup tanpa orang lain, demikianlah Tuhan menciptakan kita, demikianlah keterbatasan yang ada sebelum jatuhnya manusia ke dalam dosa. Perkataan “tidak baik kalau manusia itu seorang diri”, adalah sebelum Kejadian 3. Kita ini ingin tahu kebenaran dengan belajar sendiri, yakin sendiri, 20 menit tiap pagi, tapi itu bukanlah cara Alkitab bekerja, dan bahkan bukan cara kerja pelajaran apapun di dunia ini. Saudara belajar apa, sih, yang sendirian?? Saya takut kalau kita mengagung-agungkan atau bahkan memberhalakan yang disebut ‘otodidak’, lagipula orang yang otodidak itu apakah maksudnya dia belajar/menemukan ilmu sendiri? Otodidak itu biasanya maksudnya adalah melalui dia baca buku ini dan buku itu; dan itu artinya komunitas. Orang yang independen, yang datang kepada iman sendirian, itu mimpi. Siapakah di antara kita yang masuk ke dalam iman Kristen karena diri kita sendiri? Bukankah ada yang pernah menginjili Saudara, berkhotbah kepada Saudara, mengasihi Saudara, mendoakan Saudara, menerjemahkan Alkitab bagi Saudara? Paling sedikit, ada yang pernah melahirkan Saudara. Tanpa itu, Saudara tidak bisa mengenal Tuhan. Itu sebabnya kita perlu Gereja, Saudara perlu ikut OSG, KTB. Saudara tidak bisa beriman kepada Kristus di luar Gereja. Saudara tidak bisa menjadi bijak menurut pandanganmu sendiri. Jika Saudara ingin bijaksana, itu Saudara dapatkan bukan dengan lepas dari keterbatasan, tapi justru dengan merangkul keterbatasan-keterbatasan yang Tuhan berikan; keterbatasan waktu, keterbatasan manusiawi, keterbatasan sosial, ketergantungan kita akan umat Tuhan. Wisdom datang melalui semua ini.
Terakhir, yang paling menakjubkan adalah Allah sendiri tidak anti dengan keterbatasan-keterbatasan ini. Sang Pencipta tidak anti dengan ke-tercipta-an ini, sementara kita anti. Ini bukan hal yang cuma kita bicarakan pada saat Natal, tentang Pencipta yang jadi ciptaan, tunduk pada semua batasan, tapi kita bahkan melihat wisdom Yesus Kristus datang bukanlah saat Dia menanggalkan keterbatasan, melainkan justru melalui semua keterbatasan itu. Contohnya, dalam Injil Yohanes, kita tahu ada 7 kalimat “I am”, misalnya “Akulah roti hidup”, “Akulah terang dunia”, dst. Menariknya, waktu Saudara mempelajari kalimat-kalimat itu, bukan saja kalimat-kalimat tersebut benar, tapi setiap kalimat itu ada konteksnya. Ini bukan Tuhan Yesus punya segudang kalimat di dalam otak-Nya, lalu sekali-sekali Dia iseng dan mengeluarkan kalimat-kalimat tersebut satu demi satu. Tidak demikian. Setiap kalimat yang Tuhan Yesus keluarkan, itu berhubungan dengan konteks waktu tertentu, bukan acak. Kapan Tuhan Yesus mengatakan “Akulah roti hidup”? Waktu Dia memberi makan 5000 orang. Kapan Tuhan Yesus mengatakan “Akulah terang dunia”? Waktu Dia menyembuhkan orang yang buta sejak lahir. Kapan Tuhan Yesus mengatakan “Akulah kebangkitan dan hidup”? Waktu Dia membangkitkan Lazarus. Kalimat-kalimat ini bukan sekedar suatu prinsip kekal universal, tapi sesuatu yang diberikan dalam relasi dengan suatu momen/situasi tertentu. Pertanyaannya, Tuhan Yesus ‘kan tidak terbatas, Dia ‘kan tidak harus peduli situasi dan kondisi, ini ‘kan pengajaran yang benar, jadi harusnya Dia ya, ngajar aja, dong, tidak peduli sedang memberi makan orang atau pagi-pagi buta bisa saja Dia langsung mengajarkannya? Yesus bisa saja dong, bicara “Akulah roti hidup” waktu Dia menyembuhkan orang buta, kalimat itu tetap benar ‘kan? Tetapi, Dia mengatakan kalimat itu pada saat yang tepat, karena Dia peka konteks.
Kadang kita mendapatkan gambaran di film mengenai orang jenius, orang yang pikirannya aktif terus —tidak seperti orang lain; tidak perlu tidur–tidak seperti orang lain; tidak dibatasi batasan-batasan seperti manusia normal —tidak seperti orang lain. Tapi Saudara lihat, orang-orang seperti ini pada akhirnya mengganggu juga bagi orang lain, mengganggu orang tidur, mengganggu karena sulit untuk komunikasi, dsb. –karena terlalu jenius. Penggambaran Allah kita di dalam Alkitab tidaklah seperti itu. Allah kita malah memakai keterbatasan. Waktu Allah bicara, itu selalu terikat dengan situasi tertentu. Dia tidak langsung mengeluarkan semua pengetahuan-Nya begitu saja, Dia memakai waktu tertentu, situasi tertentu, konteks tertentu –Dia memakai cara wisdom; dan itu adalah keterbatasan. Di sini Saudara melihat, bahwa justru keterbatasan ini –permainan dalam keterbatasan ini– malah memperlihatkan diri Allah yang luar biasa. Ini sifat paradoks yang kita sudah lihat berkali-kali, dan sekarang kembali diperlihatkan, yaitu ilahi melalui yang manusiawi. Kita seringkali pikir lebih keren pengetahuan yang tidak terikat konteks, yang universal, yang kapan pun bisa diaplikasikan, tapi benarkah demikian? Justru bagi Alkitab, yang lebih keren adalah bijaksana yang mengikat dirinya pada konteks. Keilahian justru dinyatakan melalui kemanusiaan.
Lagipula, sebenarnya siapa sih, yang tidak menginginkan daftar aturan? Saudaralah, yang sebenarnya tidak mau daftar aturan. Waktu mendengar “Sepuluh Hukum”, apa perasaan Saudara? Waktu mendengar daftar-daftar aturan di Alkitab, sebenarnya perasaan Saudara apa, sih? Saudara minta “yang gampang, berikan saya daftar sajalah”, tapi apa reaksi Saudara waktu mendengar “kasihilah musuhmu seperti dirimu sendiri”? Bagaimana dengan kalimat tentang bayar perpuluhan? Mungkin ada yang jawab, “Saya bukan tidak mau bayar perpuluhan, hanya saja lihat situasi saya hari ini, kompleks” –jadi sebenarnya siapa yang tidak mau daftar yang simpel? Atau contoh yang lebih fair: “Saya bukan tidak mau mengasihi musuh, tapi apa maksudnya mengasihi; apakah artinya kita terus-menerus baik sama dia, apa kita terus-menerus beri dia uang?”, dst., dst. Saudara lihat di sini, siapa sebenarnya yang tidak mau daftar yang simpel? Kita sendiri. Kita sendiri yang tidak mau daftar simpel karena semakin kita tumbuh dewasa, kita mengenali bahwa hidup itu kompleks! Kita sendiri sadar koq, bahwa yang kita perlukan bukanlah sekedar daftar yang membelenggu kita dari luar; yang kita butuhkan adalah diri kita dibentuk dari dalam, sehingga kita menjadi orang-orang yang mengenal apa yang baik dan benar. Dan, daftar tidak akan menolong kita dalam hal ini; kita perlu hokmah.
Waktu Saudara kecil dan semua bagian hidupmu ditentukan oleh orang lain, coba Saudara ingat-ingat, memangnya Saudara menikmati yang seperti itu? Yang terjadi, kita waktu itu ingin cepat-cepat dewasa; supaya apa? Supaya kita bisa mengambil keputusan sendiri. Kita mau responsibility tersebut, kita mau jadi orang yang bertumbuh dewasa; dan caranya ke sana bukanlah melalui daftar tapi melalui hokmah. Itulah sebabnya Alkitab bukan buku jawaban.
Seperti Saudara lihat, Allah Alkitab ternyata juga menginginkan ini bagi kita. Tentu saja Allah tidak mau kehidupan kita jadi liar, tapi cara Tuhan memimpin kehidupan Saudara bukanlah lewat belenggu dari luar, melainkan melalui pembentukan dari dalam. Pimpinan Tuhan itu tidak menindas. Panggilan Tuhan itu bukan rantai yang menarik Saudara ke sana ke mari. Panggilan Tuhan adalah sebuah peta, kompas, dan ajakan untuk bertualang bersama dengan-Nya dan dengan umat-Nya.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading