Kita melanjutkan seri khotbah “Calling”, hari ini khotbah yang ke-7.
Tiga khotbah yang pertama adalah fase dekonstruksi; kita membereskan lebih dulu kacamata yang salah dalam melihat ‘panggilan’, kita menyadari bahwa urusan panggilan manusia bukanlah urusan jawaban singkat mengenai pekerjaan apa yang harus Saudara ambil atau siapa yang harus Saudara nikahi, karena memang Alkitab ternyata bukan terutama buku jawaban atau ensiklopedi teologis.
Dua khotbah berikutnya, kita mulai menyusun panggung; kalau Alkitab bukan ensiklopedi teologis, kita melihat bahwa Alkitab ternyata adalah buku wisdom (hokmah). Wisdom terutama adalah urusan keahlian/skill, bukan urusan pengetahuan; dan keahlian membutuhkan waktu/proses. Ini tidak heran, karena jelas sekali di dalam Alkitab dari depan sampai belakang bahwa pekerjaan Allah hampir selalu melibatkan faktor manusiawi. Di dalam Alkitab, cara Roh Allah bekerja hampir selalu melalui apa yang manusiawi, melalui manusia. Itu sebabnya panggilan Kristen bukan sesuatu yang bersifat instan, baku, jelas, langsung, karena mungkin memang desainnya Tuhan adalah untuk kita belajar mengenali panggilan kita melalui waktu yang manusiawi, melalui proses yang manusiawi, dan bukan dengan cara kita dilepaskan dari kemanusiaan kita. Hari ini ada satu gambaran mimpi manusia modern yang namanya trans-humanisme, mimpi manusia untuk melepaskan diri dari segala keterbatasan manusiawi. Kalau mau travel, Saudara tidak perlu dengan tubuh ini tapi cukup dengan upload pikiran Saudara ke semacam tubuh lain di tempat sana. Kalau mau belajar sesuatu, Saudara tidak perlu pakai proses pembelajaran manusia, yang lama, yang trial and error itu, Saudara cukup download, lalu urusan selesai. Itulah manusia –manusia yang berdosa. Hanya manusia berdosa yang mimpinya suatu hari melampaui manusia. Allah, di dalam pekerjaan-Nya, ternyata punya mimpi bahwa suatu hari kita dimanusiakan sepenuhnya; maka tidak heran Allah kita sendiri menjadi manusia yang seutuhnya.
Panggung telah kita susun, lalu dalam khotbah keenam kita mulai mengisi panggung tersebut. Kita mulai bertanya: jadi apakah ‘panggilan’ manusia itu? Dari teks-teks tentang penciptaan manusia, kita melihat hal yang ditekankan lagi dan lagi dalam urusan penciptaan manusia ternyata bukan urusan kerohanian, bahkan bukan urusan menyembah Tuhan, tapi bahwa manusia diciptakan untuk berinteraksi dengan bumi ini. Itulah yang unik pada manusia. Tentu saja manusia dipanggil untuk menyembah Tuhan, tapi semua ciptaan yang lain juga dipanggil untuk menyembah Tuhan, maka apa yang unik yang ada pada manusia dan tidak ada pada ciptaan yang lain? Atau, jika kita mau mengatakan ‘manusia dipanggil untuk menyembah Tuhan’, bagaimana penyembahan yang manusiawi, penyembahan yang unik secara manusia, yang ciptaan-ciptaan lain tidak bisa lakukan? Yaitu lewat interaksinya dengan bumi ini, melalui bekerja mengolah bumi dan membangun budaya (culture) di atas bumi ini —budi daya dan budaya.
Di dalam agama-agama sekitar Israel Kuno, hanya raja atau kelompok elit tertentu yang disebut sebagai image of god; dan pekerjaan raja pada zaman itu gambarannya adalah sebagai seorang tukang kebun, seorang gembala, seorang petani yang mengairi sawahnya –sebagai seorang budi-dayawan dan seorang budayawan. Itu sebabnya ketika kita melihat di dalam Alkitab bahwa yang disebut ‘image of God’ bukan cuma satu dua orang, bukan cuma raja melainkan seluruh umat manusia, maka berarti pekerjaan budi daya serta tanggung jawab budaya ini hadir bagi setiap manusia. Dalam arti tertentu, setiap dari kita dipanggil untuk mengambil pekerjaan para raja dunia kuno, yaitu bekerja dengan bumi ini. Itulah yang terus-menerus hadir dan mendapat penekanan dalam teks-teks penciptaan manusia.
Konsep manusia sebagai ‘gambar dan rupa Allah’ bukanlah sebagai ‘cermin’, tapi sebagai ‘kaca spion’. Cermin hanya melibatkan 2 pihak, Saudara yang bercermin dan si cermin; dan tugas si cermin hanyalah untuk memantulkan wajah/diri Saudara sedekat/semirip mungkin dengan aslinya. Sedangkan kaca spion, Saudara bukan menggunakannya untuk melihat wajah Saudara tapi untuk melihat truk yang ada di belakang; jadi ada 3 pihak di sini, yaitu Saudara, si kaca spion, dan truk di belakang. Inilah gambaran Alkitab: waktu Saudara menjadi ‘gambar dan rupa Allah’, Saudara menjadi kaca spion, bukan cermin; Saudara hadir bukan cuma demi diri Saudara saja, tapi Saudara hadir demi Allah dipantulkan/disalurkan kepada bumi ini, lewat interaksi Saudara di dalam bumi ini. Tapi, seberapa krusialnya bumi ini dalam panggilan Saudara? Seberapa besar Saudara melihat interaksi Saudara dengan bumi ini sebagai sesuatu yang begitu krusial dalam hal identitas kita sebagai manusia? Inilah pertanyaannya. Jadi sekali lagi, tidak ada gunanya membicarakan soal mau pilih karier apa, kalau hal tersebut tidak dibereskan sejak awal.
Pekerjaan Saudara hari ini dalam mengembangkan budi daya dan budaya, bukanlah sampingan, bukan sesuatu yang dikerjakan sebagai sampingan sambil menunggu Tuhan datang memusnahkan bumi dan membawamu ke surga. Yang seperti itu, sama sekali bukan gambaran Alkitab. Saudara ternyata diciptakan untuk berbudaya dan berbudi-daya. Tentu saja jangan benturkan ini dengan kalimat ‘Saudara diciptakan untuk Tuhan’ –itu sudah pasti– karena kaca spion juga tidak pernah diciptakan cuma untuk 1 pihak, kaca spion tidak pernah diciptakan hanya bagi si pengemudi, kaca spion tidak pernah diciptakan hanya bagi si truk di belakang, kaca spion diciptakan bagi keduanya. Itulah fungsi kaca spion yang esensial –melayani kedua arah dan bukan cuma salah satu. Tidak heran, jadi kaca spion itu mengerikan, karena tugas kita menjadi titik pertemuan antara surga dan bumi.
Sekarang kita coba melanjutkan, me-rekonstruksi gambaran ini, melukiskan ulang gambaran seperti apa sebenarnya yang ada di dalam Alkitab mengenai manusia, dan bagaimana gambaran tersebut berbeda dari gambaran yang ada di kepala kita. Inilah tujuan kita membahas seri ‘Calling’ –itu sebabnya Saudara akan kecewa kalau terus menunggu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan soal harus kerja apa dsb. Tujuan kita adalah mencoba melihat, sebenarnya gambaran Alkitab mengenai panggilan manusia itu seperti apa. Hari ini saya masih akan mengeksplorasi lebih lanjut, betapa gambaran budaya dan budi daya manusia adalah panggilan yang sentral di dalam Alkitab. Dalam pembahasan yang sebelumnya, kita melihat ini dari teks-teks Alkitab yang secara eksplisit/langsung menceritakan hubungan antara imago Dei dengan budaya dan budi daya manusia; sedangkan hari ini kita akan melihat hal tersebut melalui teks-teks yang lebih tersirat, yang tanpa kita sadari mengandung ide ini. Setelah itu kita akan tarik beberapa pelajaran dari pembahasan tersebut.
Contoh yang pertama, kita akan melihat dua bagian Amsal, di depan dan di belakang, serta membandingkannya. Amsal 3:19-20 mengatakan: “Dengan hikmat TUHAN telah meletakkan dasar bumi, dengan pengertian ditetapkan-Nya langit, dengan pengetahuan-Nya air samudera raya berpencaran dan awan menitikkan embun.” Kalau kita membacanya sekilas, mungkin kita berpikir ini kalimat puitis, banyak bunga-bunganya, ‘dengan ini Tuhan begini-begini, dengan itu Tuhan begitu-begitu, dengan ini Tuhan begini begitu, dst.’ Sekarang kita membuka Amsal 24:3-4, “Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik.“ Saudara perhatikan, bukankah ada kemiripan di sini? Memang ini puisi, tapi puisi yang tidak sembarangan; ada pola ‘dengan ini begini-begini, dengan itu begitu-begitu, dengan ini begini begitu, dst.’ Lalu apa 3 hal yang muncul terus di bagian ini? Dalam hal ini terjemahan LAI tidak terlalu membantu karena LAI menggunakan istilah yang berbeda-beda, yaitu hikmat, pengertian, pengetahuan, kepandaian. Namun sebenarnya dalam bahasa Ibrani, 3 hal yang diulang tersebut memakai istilah yang sama persis: wisdom (hokmah), understanding (tebuna), dan knowledge (da’at). “Dengan hokmah TUHAN telah meletakkan dasar bumi“ (Ams. 2), “Dengan hokmah rumah didirikan” (Ams. 24); “dengan tebuna ditetapkan-Nya langit” (Ams. 3), “dengan tebuna rumah ditegakkan” (Ams. 24); “dengan da’at air samudera raya berpencaran dan awan menitikkan embun” (Ams. 3), “dengan da’at kamar-kamar rumah diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik“ (Ams. 24). Jadi jelas sekali puisinya sengaja ada kemiripan seperti ini. Yang menarik, Amsal 3 membicarakan ketika Allah menciptakan bumi, sementara pasal 24 adalah gambaran manusia mendirikan rumah, dengan demikian ini paralel yang disengaja antara tindakan creational -nya Allah, dengan proyek creational-nya manusia (tindakan manusia sebagai kontraktor bikin rumah). Keduanya sama-sama memakai 3 hal yang sama: wisdom, understanding, knowledge.
Sebagaimana sudah pernah kita bahas dalam seri ‘kisah penciptaan’, gambaran yang kita temukan dalam Alkitab adalah gambaran alam semesta ini sebagai sebuah bangunan. Ayub 38:4-7, “Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian! Siapakah yang telah menetapkan ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya? –Atau siapakah yang telah merentangkan tali pengukur padanya? Atas apakah sendi-sendinya dilantak, dan siapakah yang memasang batu penjurunya pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-sorai?” Perhatikan, ketika Allah menceritakan bagaimana Dia menciptakan dunia, Dia seringkali memakai gambaran pembangunan sebuah rumah. Kita bisa melihatnya juga dalam penggambaran penciptaan alam semesta di Kejadian 1, yang digambarkan seperti bangunan dengan beberapa lantai; ada binatang-binatang yang tinggal di basement, ada binatang-binatang yang tinggal di ground level (tanah), ada binatang-binatang yang tinggal di atap yang pada dasarnya adalah langit. Jadi ini seperti rumah dengan lantai-lantainya. Ini adalah pandangan yang sebenarnya umum dalam budaya Israel kuno dan bangsa-bangsa sekitarnya, dalam melihat bahwa ketika dewa menciptakan alam semesta, dia menciptakannya seperti sebuah bangunan. Kita juga melihatnya jelas sekali dalam Amsal tadi karena dalam pembangunan alam semesta dan pembangunan sebuah rumah/bangunan, dipakai 3 istilah yang sama, wisdom, understanding, knowledge. Implikasinya adalah: ketika kita menggunakan wisdom, understanding, dan knowledge dalam proyek-proyak manusiawi kita, yang sebenarnya sedang terjadi adalah Saudara sedang mengulang, meniru, men-spion-kan, apa yang Tuhan lakukan dalam menciptakan alam semesta. Itu sebabnya jangan anti proses, jangan maunya segala sesuatu instan. Saudara lihat, bahkan ketika Allah menciptakan alam semesta pun, ada gambaran proses seperti layaknya proses pembangunan sebuah bangunan. Penciptaan yang 6 hari itu, jelas merupakan indikator adanya tahapan, proses, development; dari fondasi menuju ke konstruksi, dari yang kosong menuju kepada yang kompleks (kompleks bukan dalam arti rumit, tapi seperti dalam arti ‘kompleks perumahan’).
Kita akan kembali melihat 3 kapasitas ini muncul dalam kitab yang lain, supaya Saudara jelas bahwa ini bukan suatu kebetulan. Keluaran 31:2-5, “Lihat, telah Kutunjuk Bezaleel bin Uri bin Hur, dari suku Yehuda, dan telah Kupenuhi dia dengan Roh Allah, dengan keahlian (wisdom/hokmah) dan pengertian (tebuna) dan pengetahuan (da’at), dalam segala macam pekerjaan, untuk membuat berbagai rancangan supaya dikerjakan dari emas, perak dan tembaga; untuk mengasah batu permata supaya ditatah; untuk mengukir kayu dan untuk bekerja dalam segala macam pekerjaan.” Sekali lagi, kita melihat 3 istilah itu —hokmah, tebuna, da’at— kembali muncul; namun yang lebih menarik, dikatakan bahwa Bezaleel dipenuh Roh Allah sebelumnya. Ini membawa kita berpikir ke kisah penciptaan, bahwa sebelum penciptaan, yang pertama-tama terjadi adalah adanya Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air, lalu mulailah tercipta. Di kitab Keluaran tadi, sebelum Bezaleel mendirikan suatu bangunan, dia dipenuhi Roh Allah, lalu ada wisdom, understanding, dan knowledge; untuk apa?Untuk nyanyi solo di KKR? Bukan. Untuk membuat berbagai rancangan menggunakan metal, emas, perak, tembaga, hiasan kayu; apakah ini semua? Budaya dan budi daya.
Saudara sudah melihat dengan jelas, bahwa Tuhan menciptakan dunia, itu ada paralelnya dengan manusia mendirikan bangunan; ini gambaran yang bisa 2 arah. Tetapi gambaran Bezaleel tadi lebih menarik lagi, karena paralelnya bukan cuma antara Tuhan menciptakan dunia dengan pembangunan sembarang bangunan; ini adalah paralel antara Allah menciptakan alam semesta dengan Bezaleel mendirikan tabernakel (kemah suci) yang adalah cikal bakal bait Allah. Kita melihatnya melalui kacamata yang lebih sastrawi dalam melihat Alkitab, dengan melihat saling keterkaitan istilah-istilah tadi; namun pada dasarnya bahwa seluruh penciptaan alam semesta ini, dalam kacamata Alkitab tidak pernah dicipta sebagai sembarang bangunan doang, melainkan sebagai sebuah cosmic temple, sebuah bait Allah dalam skala kosmis. Ini bukan ide baru dalam Alkitab. Misalnya dalam Mazmur 148 (mazmur pujian) dikatakan, “Pujilah Allah hai …, pujilah Allah hai …, pujilah Tuhan” –gambaran seperti kebaktian sedang memuji Allah– tapi menariknya panggilan dalam mazmur tersebut adalah bagi setiap jenis makhluk yang ada di langit dan di bumi, semua binatang, manusia, malaikat, yang dipanggil untuk memuji Tuhan. Ini seakan-akan seorang liturgos sedang memimpin nyanyi di kebaktian dalam satu ruang kebaktian besar, dan mengajak jemaat yang sebelah kiri menyanyi bait pertama, lalu sebelah kanan menyanyi bait kedua, lalu yang wanita, yang pria, anak-anak, dan seterusnya. Ini seperti gambaran sebuah ruang kebaktian, tapi isinya segala makhluk dalam alam ciptaan, dengan langit dan bumi sebagai sebuah cosmic temple. Di Yesaya 66, Allah sendiri mendeklarasikan bahwa langit adalah takhta-Nya dan bumi tumpuan kaki-Nya –alam semesta sebagai temple.
Ada satu hal yang menarik, di bagian ini kita menemukan seperti ada suatu ketegangan; Oke, langit dan bumi diciptakan sebagai cosmic temple, lalu kenapa perlu ada bangunan temple buatan manusia? Bahkan Salomo pun bingung akan hal ini; setelah dia membuat bait Allah, yang begitu megah, dia sendiri bertanya ‘Ngapain sebenarnya bikin kayak begini, ya? Engkau ‘kan Allah, seluruh langit dan bumi adalah bait-Mu, dipenuhi dengan kemuliaan-Mu, dan yang aku bangun ini tidak bisa menampung kehadiran-Mu, tidak bisa menampung kemuliaan-Mu. Engkau jauh lebih besar dari semua itu, jadi ngapain bikin bait Allah ini??’ Ini pertanyaan bagus; ‘ngapain?’
Penjelasan yang umum biasanya dengan memperhitungkan kehadiran dosa, misalnya seperti ini: ada dosa, maka ciptaan rusak, jadi mulai dari yang kecil lagi, tidak bisa langsung sekaligus semua, karena manusia mengusir Allah dari kehidupan mereka, maka mulai dari satu bangsa dulu, dst. Tetapi mungkin ada penjelasan lain yang lebih baik, yang membuat kita makin bisa melihat apa gambaran panggilan dan pekerjaan manusia menurut Alkitab. Penjelasannya begini: mungkin sebabnya Allah tidak mengisi langsung seluruh bumi dengan kemuliaan-Nya sekaligus dari awal, adalah karena Dia memang tidak berniat melakukannya seperti itu. Mengapa? Di awal, Saudara melihat dalam gambaran penciptaan, Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air, artinya hadir, tapi seperti ada jarak juga, seperti siap untuk masuk tapi seperti menunggu juga. Selanjutnya, setelah seluruh penciptaan selesai pun –belum ada dosa– Roh Allah tidak pernah dikatakan ‘masuk memenuhi seluruh bumi’, jadi tunggu apa sebenarnya?
Kita membaca bahwa pertama kali Roh Allah dicurahkan adalah ketika menciptakan manusia –lagi-lagi manusia. Mulanya manuisa diciptakan dari debu tanah, lalu Allah meniupkan nafas-Nya (nafas, roh, ruah, adalah kata yang sama dalam bahasa Ibrani), sehingga manusia menjadi makhluk yang hidup. Kalau Saudara membaca bagian ini dengan kacamata budaya Israel kuno, ini sebenarnya suatu ritual yang mirip sekali dengan ritual yang ada pada bangsa-bangsa sekitar Israel pada waktu itu. Menurut penyelidikan para pakar, pada waktu itu ada suatu ritual di Mesopotamia kuno yang bernama Mis Pi atau Pit Pi, untuk meresmikan sebuah patung berhala yang baru, yaitu dengan cara meniupkan nafas ke dalam mulut patung tersebut, lalu mendeklarasikan bahwa patung ini hidup –allah/dewa mereka telah diam di dalam patung tersbut, dan dengan demikian patung tersebut menjadi patung hidup. Saudara perhatikan, betapa di satu sisi Alkitab seperti mengambil gambaran yang sama, tapi di sisi lain langsung menjungkirbalikkan gambarannya. Dalam agama bangsa-bangsa sekitar tersebut, patungnya adalah patung yang dibikin dari tanah –satu kemiripan lagi dengan Alkitab– lalu ditiupkan nafas, dan dideklarasikan sebagai patung hidup. Tetapi Alkitab mengatakan, ‘tidak demikian, ini lho “patung berhala” yang ditiupkan nafas oleh Tuhan, dan benar-benar menjadi makhluk yang hidup’; siapakah itu? Saudara dan saya. Jadi Saudara lihat, ada suatu kemiripan tapi juga ada penjungkirbalikan yang dilakukan Alkitab pada saat yang sama. Sekali lagi, Saudara lihat bahwa Allah memang mau memberikan gambaran bahwa kita diciptakan sebagai patung yang hidup, kita dipanggil untuk men-spion-kan Allah ke dalam ciptaan ini melalui budaya dan budi daya manusia, melalui wisdom-understanding-knowledge manusia, melalui proyek-proyek kreasi manusia.
Lalu mengapa Allah Alkitab tidak langsung memenuhi seluruh ciptaan dengan kemuliaan-Nya, jikalau ciptaan ini memang sebuah cosmic temple? Jawabannya sepertinya adalah karena lagi-lagi Allah Alkitab mau bekerja melalui manusia, melibatkan manusia. Roh-Nya tidak diberikan begitu saja langsung sekaligus ke semuanya, tapi mulai dari manusia, dan menggunakan manusia sebagai patung berhalanya, untuk kemudian men-spion-kan Roh ini ke seluruh dunia. Jadi mungkin memang desain awalnya demikian; dan ini bukan karena dosa. Yang Ilahi ternyata justru paling sayang dengan yang manusiawi; hanya manusia berdosa, yang entah bagaimana, mau melampaui kemanusiaannya; sedangkan Allah maunya melalui manusia. Apakah salah satu hal yang paling unik dalam bekerja melalui manusia? Yaitu lewat proses yang manusiawi, lewat tahapan yang manusiawi, tidak langsung sekaligus dari awal. Tujuannya memang supaya suatu hari kemuliaan Allah memenuhi seluruh bumi, seperti air yang memenuhi lautan –sebagaimana bahasa para nabi– tetapi ini terjadinya lewat manusia, dan ini berarti lewat proses manusia. Perlu waktu, untuk suatu hari ciptaan mengalami puncaknya, utuh, komplit, ketika kemuliaan Tuhan memenuhi seluruh bumi; tetapi itu semua melalui manusia, melalui budayamu dan budi-dayamu –melalui hal yang manusiawi ini. Inilah seberapa sentralnya budaya dan budi daya dalam Kekristenan.
Apa yang krusial dalam Kekristenan? Bukan terutama urusan seberapa banyak Saudara berdoa tok, seberapa sering Saudara ke gereja tok, seberapa jago Saudara nyanyi lagu-lagu hymn, seberapa banyak pasal-pasal Alkitab yang Saudara hafal, dst. Saudara lihat, ternyata satu hal yang amat sangat sentral dalam Alkitab, dalam Kekristenan –tapi entah bagaimana banyak orang Kristen missed— yaitu seberapa capable Saudara dalam menjadi seorang budayawan dan seorang budi-dayawan. Saudara melihat betapa sentralnya hal ini bukan saja dari teks-teks yang eksplisit, tapi dari gambaran-gambaran yang tersirat pun ide ini terlihat dengan jelas.
Saudara, itulah gambaran hal yang jadi fokus kita hari ini; lalu apa yang kita bisa tarik dari semua gambaran tersebut bagi panggilan kita, bagi pekerjaan kita, bagi budaya dan budi daya kita hari ini? Sebelum kita lanjut, saya rangkumkan sekali lagi supaya benar-benar jelas hal apa yang mau kita bicarakan. Pertama, kita melihat bahwa yyang unik pada manusia, dan caranya manusia menyembah secara manusiawi adalah melalui budaya dan budi daya. Sekali lagi, hal tersebut tidak usah terlalu dibenturkan dengan ibadah kita hari ini, karena Saudara perhatikan bahwa kita beribadah bukan cuma dengan meditasi transenden di atas kayu yang dingin serta mengosongkan pikiran; ibadah kita tidak seperti itu. Ibadah kita selalu melibatkan budaya dan budi daya. Ibadah kita melibatkan musik bikinan manusia, ibadah kita melibatkan kata-kata manusia (human speech), ibadah kita melibatkan bangunan, ibadah kita melibatkan bahkan rangkaian bunga yang adalah budaya dan budi daya. Mengapa ibadah kita seperti ini? Mengapa ibadah kita bahkan melibatkan jemaat satu dengan yang lain (Saudara tidak dipanggil untuk beribadah sendirian tapi paling sedikit dua atau tiga orang)? Saudara lihat, memang desain awalnya adalah: ibadah yang di sini (di gereja), simply adalah gambaran ibadah manusia yang riil yang di luar sana, yaitu budayamu dan budi dayamu. Itulah esensinya menjadi penyembah-penyembah yang manusiawi.
Kita juga sudah melihat bahwa Tuhan memang mengandalkan kita untuk menjadi kaca-kaca spion-Nya di dunia ini; Dia tidak mau jadi superhero-nya sementara kita side-kick-nya, Dia naik kuda sementara kita naik keledai, Dia superhero berotot yang selalu masuk dengan gagah sementara kita selalu waktu masuk terpeleset jatuh dan penonton jadi tertawa –tidak demikian. Dia mau bekerja melalui kita. Tentu saja dalam hal ini kita gagal; dan kita sudah gagal berkali-kali. Kita bukan mau bilang bahwa manusia tidak butuh anugerah, tapi perhatikan, ketika akhirnya pun Tuhan mendatangkan proyek keselamatan-Nya atas manusia, Dia melakukannya dalam wujud Seorang Manusia —lagi-lagi manusia. Saking Dia mau bekerjanya melalui kita, sampai-sampai bahkan dalam memenuhi bumi dengan kemuliaan pun, itu tidak dilakukan-Nya serta-merta begitu saja tapi seakan-akan menunggu manusia. Menunggu manusia dengan segala proses yang manusiawi, dengan waktunya yang manusiawi –yang Saudara dan saya hari ini gemas dan mengatakan ‘Tuhan lambat!’
Apa yang bisa kita tarik dari gambaran-gambaran ini? Prinsip utamanya saya rasa kita semua sudah tahu; yaitu bahwa dalam kita melihat, menentukan, dan mengerjakan pekerjaan kita –budaya dan budi daya kita– kita perlu arah tertentu; dan arah tertentu budaya serta budi daya kita itu harus mengikuti budaya dan budi daya Tuhan. Itu prinsip umumnya. Sekarang kita akan melihat lebih detail; waktu kita membaca panggilan manusia, misalnya untuk berkuasa atas binatang-binatang dan menaklukkan bumi, kita perlu membacanya dengan bertanya ‘bagaimana sih caranya Allah berkuasa dan menaklukkan bumi?’ Kalau Saudara cuma membaca istilahnya saja, ‘berkuasa dan menaklukkan’, bayangan Saudara akan langsung kepada Putin dan Ukraina. Tetapi, kalau kita melihatnya bahwa apa yang kita lakukan dalam budaya dan budi daya kita ini simply adalah apa yang Tuhan telah lakukan terlebih dahulu, maka istilah ‘berkuasa dan menaklukkan’ tidak boleh dibaca dalam kacamata manusia berdosa, sebaliknya Saudara harus tanya bagaimana caranya Allah berkuasa dan menaklukkan.
Ada dua hal; yang pertama, ketika Allah menggunakan kuasa-Nya untuk melakukan sesuatu, Allah menggunakan kuasa-Nya tanpa membunuh atau melenyapkan pihak pengacau. Ini sesuatu yang amat sangat kontras, waktu kita membandingkan kisah penciptaan dalam Alkitab dengan kisah penciptaan dalam mitologi bangsa-bangsa kuno; misalnya yang paling terkenal yaitu Enuma Elish, mitologi penciptaan Mesopotamia Kuno. Dalam mitologi seperti ini –dengan dewa Marduk dalam mitologi versi Babel atau dewa Asyur dalam versi Asyur– dewa Marduk menciptakan dunia dengan cara membunuh Tiamat, seekor monster besar yang merupakan figur pengacau, figur yang melambangkan chaos dalam mitologi Babel; yang Marduk lakukan adalah membunuh Tiamat, membagi dua bangkainya, lalu bagian yang atas menjadi langit dan bagian yang bawah menjadi bumi. Jadi pada dasarnya, dalam mitologi Babel dewa Marduk menciptakan cosmos dari bangkai figur chaos —menciptakan keteraturan dari bangkai tokoh pengacau. Ini satu pola yang menarik yang bukan cuma muncul dalam Enuma Elish tapi sangat umum dalam banyak budaya, sampai-sampai para pakar punya satu istilah untuk pola seperti ini yaitu: ‘creation by combat’.
Apa efek ‘creation by combat’ ini bagi budaya dan budi daya sebuah bangsa? Para pakar mengatakan, kalau Saudara punya narasi penciptaan seperti begini, yaitu menciptakan keteraturan (cosmos) dari bangkai chaos, maka narasi seperti ini bisa –dan memang– dipakai untuk membenarkan tindakan raja-raja Mesopotamia Kuno dalam cara mereka menaklukkan secara militer bangsa-bangsa dan negara lain. Saudara jangan lupa, dalam budaya sekitar Israel pada waktu itu yang disebut sebagai ‘gambar rupa allah’ adalah para raja; dan para raja ini sedang menjalankan budaya serta budi daya dewa-dewi mereka. Jadi paralelnya jelas; sebagaimana dewa mereka menciptakan kosmos lewat membunuh dan melenyapkan figur chaos, maka demikianlah raja-raja mereka membunuh dan melenyapkan bangsa-bangsa lain yang barbar, biadab, dan pengacau itu, demi membangun kedamaian dan kemakmuran, di atas bangkai musuh-musuhnya. Saudara lihat narasinya politiknya; Babel menghadirkan dirinya:‘inilah kerajaan kosmos, kerajaan keteraturan, keamanan, kemakmuran, menghancur-kan serta melenyapkan bangsa-bangsa lain yang barbar dan chaos, demi menciptakan di atas bangkai mereka dunia yang teratur dan aman’. Saudara lihat, itu sebabnya tidak ada yang namanya ‘cuma mitos’. Kalimat seperti itu sama sekali tidak benar; betapa mitos punya kuasa dan dampak yang sangat besar. Kita hari ini tertipu dengan kalimat ‘cuma mitos’, bahwa istilah ‘cuma mitos’ itu maksudnya sesuatu yang tidak benar; kita bilang, “Ya, siapa juga yang percaya Marduk, lalu Tiamat dibelah jadi langit dan bumi, apaan yang kayak begitu, cuma mitos”. Tetapi yang seperti itu bukanlah cara pandang masyarakat zaman tersebut. Mereka tidak mencari kebenaran atau data ilmiah dan historis dari mitologi-mitologi seperti ini. Mereka bukan mempedulikan entah hal tersebut terjadi atau tidak. Mereka sedang melihat lewat mitologi ini, ‘apa prinsip utama cara kerja dunia ini, yang dilakukan oleh para dewa, yang berarti kita sekarang mengikutinya –karena raja-raja kita adalah gambar dan rupa dewa tersebut’. Jadi Saudara lihat, di dalam kisah penciptaan Babel, kekerasan itu bukan cuma oke, kekerasan itu bukan cuma normal, kekerasan itu diagungkan sebagai sesuatu yang bukan hanya perlu tapi sudah ada pada awalnya, yang adalah bahan dasar dari keteraturan, bahan dasar dari terciptanya keamanan. Itulah mitologi Babel, creation by combat.
Sekarang Saudara bisa menyadari betapa Kejadian 1 mengubah haluan habis-habisan dalam kisah penciptaannya, karena kisah penciptaan dalam Kejadian 1 menolak habis-habisan hal tersebut tadi. Kejadian 1 dan 2 memperlihatkan Allah yang tidak pakai jalan pintas kekerasan; Allah yang memakai waktu, dan proses, dan tahapan, untuk membangun pelan-pelan apa yang tadinya tidak berbentuk dan kosong, menjadi sebuah dunia yang kompleks, berfungsi, lengkap, dan damai. Tapi ini damai yang bukan hadir lewat kekerasan, ini damai yang hadir lewat proses. Dalam Kejadian 1 tidak ada kekerasan. Omong-omong, satu hal yang perlu saya ingatkan, dalam setiap tahapan/proses Kejadian 1 tersebut, Allah mendeklarasikan ‘baik’, ‘baik’, ‘baik’, ‘baik’, … dan terakhir ‘amat sangat baik’. Maksudnya apa? Itu berarti waktu Allah menciptakan lewat proses ini, yang Allah sebut dengan ‘baik’ bukanlah cuma hasil produk yang terakhir, tapi juga metode yang Dia pakai untuk menghasilkan produk tersebut, karena setiap tahapannya dinilai ‘baik’, ‘baik’, ‘baik’, ‘baik’, baik, dan ‘baik’. Betapa berbedanya gambaran kisah penciptaan di Kejadian 1 dengan mitologi-mitologi ‘creation by combat’.
Ketika kita melihat seperti apa budaya dan budi daya Allah Alkitab, maka harusnya itu mempengaruhi bagaimana kita hari ini berbudaya dan berbudi-daya. Kalau Saudara mau berbudaya dan berbudi-daya mengikuti Allah tersebut, kalau Saudara mau benar-benar men-spion-kan cara kerja Allah tersebut kepada dunia –karena Saudara adalah gambar dan rupa Allah tersebut– maka Saudara akan punya cara kerja, cara berbudaya dan berbudi-daya sbb.: yang pertama, nonviolence –itu sudah pasti– tapi ada juga yang kedua, yaitu developmental, pakai proses. Kalau Saudara melihat dunia hari ini, tentu saja dunia hari ini mencekal kekerasan (violence); bukan hal yang aneh menemukan orang-orang yang nonviolence/anti kekerasan di dalam dunia, sehingga Saudara mungkin jadi bertanya-tanya, ‘kalau begitu apa uniknya? dunia zaman dulu creation by combat, lalu dunia zaman sekarang semuanya bicara love, love, love, dan tidak mau kekerasan’. Saudara, bedanya adalah: kalau bukan violence, jadi apa? –itu pertanyaannya.
Dunia berkali-kali bicara ‘nonviolence, nonviolence’, tapi nonviolence itu artinya apa, inilah yang dunia seringkali tidak bisa jawab. Dalam kehidupan kita, apa sih artinya nonviolence? Diam-diam saja? Digampar diam, ditusuk juga diam, dibakar tetap diam, itukah nonviolence? Di dalam Alkitab, yang namanya nonviolence itu mengandung suatu karakter yang konstruktif; nonviolence itu berarti developmental, pakai proses, menghargai dan melibatkan proses, membangun dan bukan main gabret. Itulah nonviolence dalam Alkitab. Dan itu berarti kebalikannya, yang violence adalah yang instan; yang instan adalah yang violence. Tidak heran kalau makan Indomi kebanyakan maka badanmu rusak, karena Saudara sedang melakukan violence terhadap tubuhmu sendiri. Saudara lihat, ‘instan’ itu violence, jalan pintas (shortcut) itu kekerasan. Allah kita itu nonviolence, maka Dia pakai proses, development, menghargai waktu, pelan-pelan tidak langsung main gabret. Sekarang Saudara masih mau tanya ‘jadi saya musti kerja apa, saya musti nikah sama siapa’? Mungkin, itulah yang menyebabkan kariermu rusak, dan pernikahanmu hancur, yaitu karena Saudara tidak mau pakai wisdom, understanding, dan knowledge; Saudara maunya jawaban instan –artinya Saudara sedang melakukan violence. Inilah hal yang pertama.
Hal yang kedua, yang kita lihat dari pola Allah Alkitab dalam berkuasa dan menaklukkan –yang betapa berbedanya kalau melihatnya dari kacamata Alkitab– kuasa ini bukan cuma kuasa yang nonviolence, bukan cuma kuasa yang untuk membangun dan bukan merubuhkan, kuasa untuk membawa berkat bagi orang lain dan bukan mengutuk, kuasa yang developmental (pakai proses) dan bukan yang instan (mau langsung jadi), tapi juga Allah kita tidak pernah pakai kuasa yang monopolitis. Sebaliknya, seperti yang sejak tadi kita sudah lihat, Allah ini justru dengan berbahagia mengundang manusia berbagian (take part/share) kuasa di atas dunia ini sebagai perwakilan-Nya.
Allah kita bukanlah bos model micromanager, sebaliknya Dia adalah Allah yang mengharapkan manusia yang diciptakan dalam gambar rupa Allah itu ikut serta dalam proses development serta keindahan dan kompleksitas di dalam dunia ini. Itu sebabnya gerakan Kekristenan bukanlah gerakan ‘back to nature’. Kekristenan memang dengan tegas melawan penggunaan teknologi yang eksploitatif. Kita tidak mau yang seperti itu, yang menghancurkan dunia, karena bumi memang tangggung jawab kita, tapi jalan keluarnya bukan dengan back to nature, lalu buang semua teknologi. Dalam gambaran Alkitab, Tuhan memulai dengan ‘taman’, tapi pada akhirnya berakhir dengan ‘kota’; ada progress, ada development. Omong-omong, siapa yang bikin kota pertama kali? Jawabannya ada di Kejadian 4, yaitu Kain, seorang manusia, bukan raja, malahan bisa dibilang bukan seorang manusia yang ‘beres-beres banget’, tapi itulah fungsi manusia. Manusia dipanggil untuk ikut serta dalam proses development di atas dunia ini. Saudara tidak melihat pada akhirnya di kitab Wahyu Tuhan berfirman ‘karena yang bikin kota dulu adalah Kain, maka Aku buang kota, dan tinggal di gua-gua saja’; yang Saudara lihat, Tuhan memakai, menghargai, menggunakan, dan memang menyerahkan dalam arti tertentu, membagi kekuasan untuk mengembangkan dan memproses ciptaan ini, lewat manusia. Ciptaan ini memang sudah diciptakan dengan amat sangat baik, tapi juga belum memenuhi segala keutuhannya di mana Allah akan memenuhi segala sesuatu; dan Dia mau mengisi itu lewat manusia. Dia bukan bos yang micromanage.
Analogi yang bagus untuk hal ini adalah: kita ini bukan batu, kita berbeda dari batu. Kalau Allah mau menggerakkan batu, Dia cuma perlu memberikan gaya (force) dalam kekuatan tertentu untuk menggulirkan si batu, maka si batu akan bergulir ke mana pun force tersebut menggulirkannya. Itulah batu; sedangkan penggambaran kita diperintah oleh Tuhan, itu berbeda. Waktu Tuhan memerintah kita, Dia tidak pakai paksaan, Dia tidak menggulirkan kita lalu kita bergulir ke manapun force itu menggulirkannya. Dia pakai perintah; “jangan membunuh” lalu setelah itu kita harus pikir apa artinya ‘jangan membunuh’, apakah itu termasuk self-defense atau tidak, apakah pembunuhan berencana atau juga yang tidak direncanakan, atau apa. Jadi bisa dibilang manusia harus mengembangkan dari perintah itu. Kalau Saudara melihat ‘Sepuluh Perintah’, perintah-perintah itu tidak pernah berupa perintah yang seperti menggulirkan batu lalu selesai, tapi semua harus dipikirkan, dikembangkan, di-elaborasi, di-ejawantah-kan. Ini karena gambaran kita sebagai makhluk-makhluk ciptaan Tuhan bukanlah sebagai batu, tapi lebih mirip seperti seorang raja yang sedang mengumpulkan jendral-jendralnya lalu mengatakan, “Aku mau perang terhadap raja itu, tolong pikirkan caranya bagaimana supaya menang”; lalu jendral-jendral itu berkumpul dan mengatur, “Jendral A lewat kiri, Jendral B lewat kanan, saya lewat tengah, lalu nanti prakteknya begini-begitu”. Itulah panggilan kita; bukan di-micromanage, melainkan untuk ikut serta dalam proses development ini.
Omong-omong, pembagian kekuasaan ini bisa Saudara lihat jelas sekali dalam penciptaan. Perhatikan, ketika Allah menamakan ciptaan-Nya, Dia hanya menamakan benda-benda yang Dia ciptakan dalam 3 hari pertama, sedangkan yang 3 hari berikutnya tidak. Mengapa? Kita melihat di Kejadian 1:5, ‘Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.’; Kejadian 1:8, ‘Lalu Allah menamai cakrawala itu langit. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari kedua.’; Kejadian 1:10, ‘Lalu Allah menamai yang kering itu darat, dan kumpulan air itu dinamai-Nya laut. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.’ Lihat, dikatakan Allah menamai, menamai, menamai; tapi di hari ke-4 sampai ke-6 Saudara akan menemukan bahwa Allah tidak menamai apapun. Ini lucu, karena kita tahu di hari ke-4 Allah menciptakan benda-benda penerang di langit, namun juga teks-nya seperti menahan diri, tidak menamai benda penerang A sebagai ‘matahari’ dan benda penerang B sebagai ‘bulan’, sementara bukankah ini satu hal yang jelas sekali? Sementara siang dan malam dinamai, mengapa matahari dan bulan tidak, lalu hanya disebut bahwa ada benda penerang yang besar dan ada benda penerang yang kecil, ada benda penerang yang untuk siang dan ada benda penerang yang untuk malam? Ini seperti ada kesengajaan, menahan diri tidak menyebut matahari dan bulan. Mengapa? Mungkin ada hubungannya dengan hari ke-5 dan ke-6, karena di hari ke-5 dan ke-6 binatang-binatang diciptakan tapi juga tidak dinamai, hanya dideskripsikan sebagai binatang yang tinggal di basement, yang tinggal di ground floor, dan yang tinggal di atap. Itu saja. Dan kita tahu belakangan, bahwa hak/kuasa untuk menamai para binatang, Tuhan berikan lagi-lagi kepada manusia.
Di dalam Alkitab –khususnya Perjanjian Lama– menamai sesuatu berarti diberikan otoritas atas yang dinamai tersebut. Dengan demikian, waktu Allah tidak menamai apapun di hari ke-4 sampai ke-6, ini seperti memberi ruang untuk membagi kuasa-Nya dengan manusia. Undangan untuk berbagian dalam kuasa-Nya seperti ini, sangat kontras dengan worldview bangsa-bangsa sekitar Israel Kuno, karena hanya sebagian kecil –raja dan kelompok elit tertentu—yang disebut sebagai gambar dan rupa allah, sehingga hanya merekalah yang diundang untuk berbagian dalam kuasa allahnya. Di sini Saudara melihat mengapa mitologi seperti ini penting, yaitu karena dalam mitologi seperti ini, di mana hanya raja yang adalah gambar dan rupa allah, berarti hanya raja yang share kekuasan dari allah, dan itu juga berarti bahwa semua yang lain harus menurut padanya. Dengan demikian ini satu narasi politik yang sangat useful, ini model mitologi yang sangat penting, untuk men-justify alasannya dalam periode Israel Kuno bisa ada tata masyarakat di mana kuasa dipusatkan hanya pada beberapa orang saja, sementara mayoritas manusia lainnya dilihat sebagai kelas bawahan yang harus bersedia menerima perintah, yang dependent. Mungkin Saudara pernah bertanya-tanya, ‘koq bisa ada orang-orang yang mau model politik kayak begini?’; dan ternyata alasannya adalah karena mitologinya memang mendukung hal ini. Tidak ada ruang untuk demokrasi di dalam model mitologi seperti Enuma Elish, karena yang jadi image of god hanya satu orang, yaitu raja. Itu sebabnya sungguh menakjubkan, dalam zaman Isarel Kuno seperti itu, bisa muncul “mitologi” alternatif, ketika kisah penciptaannya mengatakan bahwa yang jadi image of God bukanlah cuma raja, tapi semua manusia —pria dan wanita diciptakan dalam gambar dan rupa Allah.
Adalah satu hal yang menarik, bahwa kita melihat ada gambaran yang amat sangat berbeda antara narasi-narasi penciptaan dalam mitologi-mitologi dan narasi penciptaan Alkitab, bahwa Allah adalah Allah yang men-share kuasa-Nya kepada manusia-manusia-Nya. Memikirkan hal seperti ini, saya jadi terpikir akan satu hal; hari ini tentunya semua orang mengatakan tidak mau model narasi politik ala mitologi seperti itu –narasi kaum elit yang mau mempertahankan kuasanya– karena kita maunya demokrasi, lalu apa relevansinya buat kita hari ini. Tentu saja relevan, dalam arti Saudara sekarang jadi sadar dari mana munculnya demokrasi. Itu hal yang pertama. Tapi hal yang kedua, yang lebih penting bagi saya, plot twist-nya adalah bahwa memang benar orang-orang hari ini menginginkan demokrasi, namun anehnya narasi politik seperti ini seringkali munculnya juga dari orang-orang yang di bawah tersebut. Ini berarti orang-orang yang di bawah itu jugalah yang kepingin jadi mayoritas kelas bawahan yang cuma terima perintah, cuma dependent. Mungkin Saudara pikir, ‘mana ada sih orang yang kayak begitu’, tapi Saudara, banyak orang di gereja yang maunya model kayak begitu. Tidak mau berdoa sendiri, maunya didoakan. Tidak mau belajar Alkitab sendiri, maunya dicekokin. Tidak mau berpikir sendiri, maunya diberitahu. Tidak mau khotbah-khotbah yang mengajak masuk dapur, maunya disodori piring yang sudah jadi. Tidak mau digembalakan lewat KTB, maunya ada satu gembala seperti daddy berjubah pendeta yang kepadanya kamu bisa curhat 3 jam dan dia mendengarkan semua kisahmu, lalu setelah itu memberi jawaban singkat dan tokcer. Kita seringkali mengatakan maunya demokrasi, maunya kesamarataan, tapi lihat, inilah satu refleksi yang riil di dalam gereja.
Gereja, yang narasinya adalah ‘semua orang diciptakan menjadi gambar rupa Allah’, dan semua orang di Perjanjian Baru diberikan Roh Kudus, maka berarti sudah pasti bukan dependent kepada satu orang, meski tentu saja bukan berarti semuanya independent dan lepas satu dengan yang lain. Kalau semua adalah image of God, dan semua diberikan Roh Kudus, maka model yang kita terima bukanlah ‘dependent’ atau ‘independent’, melainkan ‘interdependent’; dan inilah yang Saudara temukan berkali-kali dalam gambaran mengenai Gereja. Di dalam Perjanjian Lama, orang Israel mungkin satu-satunya bangsa yang berdiri bukan oleh karena adanya seorang raja (monarki Israel munculnya belakangan). Di dalam Perjanjian Baru, ketika para rasul tidak sanggup melakukan tugas mereka dan orang-orang mulai merasa tidak diperhatikan, para rasul tidak mengatakan, ‘sudah tunggu saja, pokoknya kami yang akan kerjain, kalau lu yang kerjain, ‘gak beres semuanya; jemaat awam ‘gak usah sok tahu, pokoknya nurut!’ –sama sekali tidak ada yang seperti itu. Para rasul mengatakan, “Biarlah kamu memilih dari antaramu orang-orang yang bijak (wise), yang punya pengertian (understanding), yang penuh dengan Roh Allah, untuk mengerjakan hal ini” –demokrasi. Tapi kita hari ini tidak mau kayak begitu; kita bilang ‘ini pendeta malas, kasih-kasih kerjaan ke kita’. Saudara, gambaran ‘Gereja’ tidaklah seperti itu, karena kita telah melihatnya tadi di dalam model bagaimana Allah berkuasa, seperti inilah budaya dan budi daya manusia.
Satu hal yang menarik, Alkitab/firman Tuhan adalah berbicara mengenai diri Tuhan –seperti apa Tuhan itu, karakter-Nya, cara kerja-Nya, bedanya dari allah-allah lain– tapi satu poin yang saya ingin kita renungkan, demi siapa sih Tuhan memperkenalkan diri-Nya? Ada yang menjawab ‘demi kita’ –supaya kita tahu siapa diri kita, supaya kita tahu betapa kita dicintai. Ada yang menjawab ‘bukan demi kita, nanti jadi egois; jawaban yang lebih teosentris adalah Tuhan mewahyukan diri-nya demi Dia, karena Dia harus dikenal sebagai Allah yang kayak begini, yang kuasa-Nya dan penaklukan-Nya seperti begini, yang share power-Nya dengan manusia, demokratis, supaya kita mengenal Dia dan menyembah Dia’. Benar juga jawaban itu. Tapi mendengar itu, Saudara jadi bertanya-tanya, ‘oke, kalau demi kita, berarti kita egois; lalu kalau demi Tuhan, bukankah Tuhan jadinya yang egois?? —kenali Aku dong, puji Aku dong, sembah Aku dong’. Saudara, kedua jawaban ini sama-sama tidak cukup, karena di dalam Alkitab skemanya tidak pernah hanya dua pihak, melainkan selalu tiga. Allah mengatakan kepada Abraham, “Olehmu, semua kaum di bumi akan mendapat berkat”. Tujuan Abraham diberkati, tidak pernah demi Abraham seorang, tapi tujuan Abraham diberkati, ternyata juga bukan demi Tuhan seorang; tujuan Abraham diberkati adalah supaya lewat Abraham, truk di belakang boleh diberkati. Sejak awal di mimbar ini sudah pernah keluar kalimat bahwa dari awal Tuhan membuka relasi dengan umat-Nya, adalah demi mereka yang bukan umat-Nya –selalu arahnya keluar.
Saudara jadi lihat, alasannya kita perlu belajar tentang karakter Allah dan bagaimana Dia berkuasa dan menaklukkan, tentu supaya kita mengenal Dia, tentu supaya kita menyembah Dia; tapi tidak cuma itu. Tentu juga supaya kita tahu siapa diri kita, dan bagaimana kita merefleksikan diri-Nya dalam pekerjaan kita; tapi juga tidak cuma itu. Jangan lupa, alasannya Allah mewahyukan diri-Nya kepada kita, adalah demi truk yang di belakang, demi ciptaan-Nya yang amat sangat baik ini, demi kita bisa mengusahakan dan membudayakan bumi ini –arahnya selalu keluar. Pertanyaannya, seberapa esensialnya tempat bagi bumi ini dalam kerohanianmu? Karena ternyata bumi ini, ciptaan ini, menempati tempat yang amat sangat penting dalam tujuan Tuhan. Memang Tuhan menciptakan dunia ini bagi Saudara dan saya, itu benar; tapi ternyata Tuhan juga menciptakan Saudara dan saya demi bumi ini. Itulah seberapa pentingnya pekerjaanmu, seberapa pentingnya budayamu dan budi-dayamu dalam Kekristenan. Sungguh menakjubkan Allah kita yang seperti ini, Allah yang sungguh berbeda dari dewa-dewi serta ilah-ilah lain.
Khotbah ke-7 ini berakhir sampai di sini. Sebelumnya kita telah melihat penciptaan; lewat penciptaan kita belajar apa artinya menjadi manusia, apa panggilan manusia pada awalnya. Berikutnya kita akan melihat apa yang salah, apa yang went wrong dalam kejatuhan yang kita kembali coba melihatnya dari kacamata manusia sebagai budayawan dan budi-dayawan. Kemudian kita akan melihat apa solusi yang Tuhan bawa, yang mungkin mengagetkan buat Saudara, karena solusinya akan kita lihat bukan cuma dari kacamata dua pihak, tapi kacamata yang tiga pihak. Terakhir kita akan mendiskusikan apa ending-nya, lalu seri ini selesai.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading