Bagian ini adalah puji-pujian yang kedua dari mempelai laki-laki. Di sini ada bagian-bagian atau motif-motif yang diangkat lagi, tapi ada juga yang baru atau dikembangkan. Di satu sisi, ini berarti ada semacam konsistensi, mempelai laki-laki ini tidak lupa apa yang dia pernah katakan kepada mempelai wanita, jadi dia bukan sedang ngegombal; di sisi lain, ini berarti puji-pujian tersebut tidak pernah menjadi klise, bukan kata-kata yang sekedar ulang-ulang karena kehabisan ide, bicara yang itu-itu lagi sampai pasangannya bosan, melainkan ada perkembangan. Jadi ini ‘both-and’, both consistency, and development. Demikian juga kehidupan cinta kita, tidak semuanya berubah, ada konsistensi, tapi juga ada perkembangan, tidak menjadi klise. Perkembangan ini penting, karena tanpa perkembangan, akan cenderung tidak ada kesegaran dalam cinta kasih kita, perspektifnya itu lagi, itu lagi, membosankan. Kita bisa belajar prinsip yang sederhana ini dari Kidung Agung pasal 6.
Ayat 4, mempelai laki-laki mengumpamakan kecantikan mempelai wanita dengan ‘kota-kota’, “Cantik engkau, manisku, seperti kota Tirza, juita seperti Yerusalem”. Memang menggambarkan kota sebagai perumpamaan kecantikan seorang perempuan, itu cukup umum; dan ini bisa dua arah, kota dikatakan cantik seperti perempuan, atau pun perempuan dikatakan cantik seperti kota. Dalam bagian ini ada 2 kota yang disebut, yaitu Tirza dan Yerusalem; Tirza adalah ibukota lama kerajaan Utara, Yerusalem ibukota kerajaan Selatan. Ini menarik kalau kita membayangkan para pembaca dari kedua kerajaan yang terkoyak setelah Salomo ini, bahwa hubungan cinta ada keluasan, bukan hanya bagi pembaca kerajaan Selatan tapi juga bisa dipahami dan memberkati orang-orang di kerajaan Utara. Secara politik orang bisa terpisah, secara kerajaan bisa terkoyak, tapi cinta tidak terpolarisasi –tidak seperti dua kerajaan yang terpecah ini. Cinta itu mempersatukan. Cinta tidak tertarik dengan pandangan yang sangat terpolarisasi. Dunia kita cenderung gampang termakan hal-hal yang membuat orang terpolarisasi, apapun itu –soal vaksin atau tidak vaksin, pemimpin negara yang ini atau yang itu, gubernur yang ini atau yang itu, sampai soal-soal sederhana seperti pilih warna kain putih-emas atau coklat-biru, dsb.– tapi kalau kita memiliki cinta, cinta tidak peduli dan tidak ikut-ikutan hal-hal yang demikian. Cinta tidak memosisikan diri di posisi kerajaan Selatan dan berpihak kepada Yerusalem, ataupun di posisi kerajaan utara dan berpihak pada Tirza.
“Cantik engkau, manisku, seperti kota Tirza, juita seperti Yerusalem, dahsyat seperti bala tentara dengan panji-panjinya” (ayat 4). Di bagian akhir ada tambahan ‘dahsyat’ (terrible); cinta bukan cuma membuat orang melihat kecantikan, tapi juga melihat kedahsyatan. Istilah ‘terrible’ ini di Perjanjian Lama muncul dalam kitab Habakuk pasal 1:7, “Bangsa itu dahsyat dan menakutkan; keadilannya dan keluhurannya berasal dari padanya sendiri” —bicara tentang pasukan musuh, tentara Kasdim, yang digambarkan ‘dahsyat dan menakutkan’. Kita musti menafsir bagian ini dengan hati-hati, jangan sampai kita pikir mempelai wanita ini bakal jadi musuh, berantem terus dalam pernikahan, atau misalnya bakal menjajah suaminya, dsb. Tentu tidak demikian. Di ayat ini, kita cukup menafsir bahwa cinta berurusan bukan hanya dengan kecantikan (beauty) tapi juga kekuatan (power).Ini penting, khususnya waktu kita melihat dari perpspektif mempelai laki-laki terhadap mempelai wanita; dan sekali lagi, kalau kita salah tafsir, kita akan terjun bebas kepada kesimpulan yang tidak keruan. Ini bukan tentang laki-laki yang takut istri –jangan ditafsir ke sana– lagipula kalau kita kaitkan dengan ‘pernikahan Kristus dengan jemaat-Nya’, tafsiran seperti itu jadi tidak masuk sama sekali, bagaimana mungkin Kristus takut dengan jemaat-Nya. Jadi pasti bukan itu pengertiannya, melainkan bahwa ada dignitas di dalam perempuan, ada power yang perlu dihargai. Dengan demikian –mengutip Richard Hess– di sini ada baik desire maupun fear, desire akan kecantikannya, tapi juga fear dalam pengertian positif, maksudnya menghargai dignitas pasangan. Cukup sampai di sini menafsirnya; bahwa ini bukan laki-laki yang akan menindas istrinya, ini bukan laki-laki yang akan melakukan KDRT, karena dia tahu ada dignitas pasangannya, ada beauty dan juga power.
Kalau boleh membandingkan dengan Amsal 31, tentang gambaran wanita yang ideal, yang digambarkan di situ bukan wanita yang lemah tapi yang kuat, bahkan kalau dalam bahasa modern semacam super woman. Di Amsal 31, Saudara tidak mendapatkan gambaran wanita yang lemah, cengeng, yang tidak bisa kerja, tidak bisa apa-apa, sepenuhnya bergantung pada suaminya sehingga di-abuse pun diam saja, dsb.; bukan itu pastinya, melainkan wanita yang ada semacam kekuatan. Ini gambaran yang cukup dekat dengan mempelai wanita sebagaimana digambarkan Kidung Agung pasal 6.
Ayat 5, “Palingkanlah matamu dari padaku, sebab aku menjadi bingung karenanya.” Dalam bahasa Indonesia di sini dipakai istilah ‘bingung’; bahasa Inggrisnya sbb.: “Turn away your eyes from me, for they overwhelm me”. Inilah gambaran terrible atau kedahsyatan tadi, gambaran strength and power, sampai-sampai ketika melihat matanya, mempelai laki-laki mengatakan, “Palingkanlah matamu dari padaku, saya tidak kuat memandangnya” (terjemahan bebas) –karena dalam ‘matamu’ ada atraksi yang demikian kuat keluar dari sana, sampai-sampai mempelai laki-laki ini tidak bisa menolak (irresistible). Jadi maksudnya ada power yang irresistible, namun kita juga tahu ini bukan irresistible dalam pengertian military power. Ini bukan laki-laki yang takut pada pasangannya karena misalnya perempuan ini anaknya orang kaya, dia tidak bisa macam-macam karena nanti jadi harus berurusan dengan mertuanya –bukan seperti itu. Ini adalah tentang mempelai laki-laki menyegani mempelai wanitanya, yang memiliki kekuatan dan atraksi demikian rupa, sampai dia tidak tahan memandang matanya, karena waktu memandang matanya, dia seperti overwhelm, ada tarikan yang begitu kuat, baik oleh kecantikannya maupun kedahsyatannya.
Sedikit catatan, di bagian ini juga muncul satu motif yang sebenarnya sudah pernah disebut tapi di sini disebut lagi dengan ada sedikit perbedaan, yaitu motif ‘Gilead’. Dikatakan ayat 5b, “Rambutmu bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari Gilead.” Di pasal sebelumnya, 4:1, dikatakan “Rambutmu bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead.” Jadi sebelumnya bicara tentang bukit/gunung Gilead, dan di sini tentang Gilead. Tentu yang ditunjuk masih Gilead yang sama, tapi ada perluasan; tadinya ‘gunung Gilead’, sekarang ‘tanah Gilead’, jadi lebih luas. Ini berkaitan dengan motif ‘keluasan hati’ yang kita baca dari ayat 1 tadi, bukan cuma Tirza atau Yerusalem tapi Tirza dan Yerusalem, bukan cuma kerajaan Utara atau kerajaan Selatan tapi kerajaan Utara dan kerajaan Selatan. Cinta membuat kita memandang dengan luas; ada perluasan, bukan penyempitan. Dalam konseling pranikah, saya seringkali mengingatkan kepada pasangan yang akan menikah, supaya setelah menikah jangan jadi eksklusif sekali hubungannya sampai-sampai orang lain tidak bisa masuk sama sekali; dulu sebelum menikah, hidup seperti luas, banyak teman, tapi setelah menikah jadi hidup seperti di daun kelor yang sempit. Janganlah demikian. Pernikahan adalah life enrichment, bukan life reduction. Pernikahan adalah tentang kehidupan yang diperluas, bukan penyempitan; dengan menikah maka hati kita lebih luas, dan bukan malah lebih sempit, bukan malah jadi tidak bisa diakses oleh siapapun selain istri atau suamimu, meski itu kelihatan seperti akrab sekali.
Ayat 6, “Gigimu bagaikan kawanan domba, yang keluar dari tempat pembasuhan, yang beranak kembar semuanya, yang tak beranak tak ada.” Gigi yang digambarkan dengan kawanan domba –maksudnya putih– sudah pernah ada di pasal 4; bukan cuma putih, di pasal 6 ini juga gambaran domba yang keluar dari tempat pembasuhan, maksudnya bersih. Sekali lagi, ada konsistensi, tapi ada juga yang baru, yang memberikan kesegaran, namun bukan sama sekali tidak berhubungan dengan pujian sebelumnya. Selanjutnya waktu dikatakan ‘yang beranak kembar semuanya, yang tak beranak tak ada’, di sini ada sedikit ilusi tentang fertilitas/kesuburan –meski kalau dikaitkan dengan ‘gigi’ sepertinya kurang cocok.
Ayat 7, “Bagaikan belahan buah delima pelipismu di balik telekungmu.” Kalau bagian ini dibandingkan dengan pujian sebelumnya, pujian sebelumnya lebih sensual, lebih ada nuansa erotik, sementara bagian ini seperti menghindari aspek sensualitas. Ini menarik, kalau ditafsir bahwa cinta –cinta yang bukan platonis– pasti di dalamnya ada aspek sensual, karena kita manusia bertubuh, bukan malaikat –dan Kidung Agung merayakannya, tapi di bagian ini seperti menghindari aspek sensualitas tersebut. Saudara jangan tafsir secara salah, ‘inilah cinta, dimulai dengan sensualitas lalu berakhir dengan platonis atau new platonis, itulah tanda kematangan cinta’. Tentu saja bukan ke sana tafsirannya. Di bagian ini disebut tentang pelipis, yang sebenarnya sudah dekat dengan bibir –yang sangat sensual– tapi bibir tidak disebut-sebut di sini, mengapa? Ya, karena cinta itu bukan urusan sensual saja. Cinta ada aspek sensual, dan memang merayakannya, tapi cinta tidak semata-mata urusan sensualisme; cinta yang sejati tidak bisa direduksi jadi cuma sensualisme. Cinta yang sejati ada aspek yang lain. Bahkan kalau kita bicara tentang ‘tubuh’ pun tidak selalu urusannya tentang sensualisme; di bagian ini sudah bicara rambut, gigi, pelipis, tapi tidak menyentuh soal bibir, karena memang tidak harus setiap kali bicara tentang itu. Di bagian sebelumnya ada pembicaraan tentang buah dada, di bagian ini tidak ada, karena memang cinta bukan atau tidak boleh direduksi jadi sekedar urusan sensualisme. Kalau cinta cuma urusan sensualisme, ada bahaya, karena istri makin tua sedikit lalu jadi tidak menarik lagi dan langsung cari istri yang lebih muda, dsb. Akan jadi seperti binatang, kalau cinta cuma urusan sensualisme/ seks saja –meskipun seks juga termasuk.
Ayat 8, “Permaisuri ada enam puluh, selir delapan puluh, dan dara-dara tak terbilang banyaknya.” Membaca bagian ini, orang mungkin langsung pikir mempelai laki-laki ini membayangkan kejayaannya Salomo, tapi sebetulnya motif angka 60 dan 80 ini lebih cocok dengan haremnya Rehabeam, sementara Salomo di pasal 3 dikaitkan dengan 60 pahlawan. Mengikuti tafsiran Richard Hess, mungkin di bagian ini ada imajinasi ‘kerajaan’ (royal); angka 60, menurut Richard Hess adalah angka yang diasosiasikan dengan kerajaan, entah dengan Rehabeam ataupun Salomo. Cinta tidak mengenal batas imajinasi; meskipun katakanlah dia seorang laki-laki sederhana, bukan seperti Salomo yang adalah raja, tapi dia boleh saja membayangkan istrinya seperti ratu yang terpilih di antara pilihan-pilihan yang lain, di antara 60 permaisuri, 80 selir-selir, dan tak terbilang dara-dara. Dia membayangkan dirinya seperti raja yang tidak kekurangan pilihan, tetapi dia memlilih yang satu ini, di antara semua yang lain –demikianlah gambarannya, menyatakan betapa mempelai wanita ini sangat unik di hadapan mempelai laki-laki. Inilah juga yang dikatakan di ayat 9, “Tetapi dialah satu-satunya merpatiku, idam-idamanku”; dalam bahasa Inggrisnya: “She is unique, my dove, my perfect one.” Mempelai wanita ini tidak terbandingkan, meskipun ada 60 permaisuri, 80 selir-selir, serta dara-dara banyak sekali; mempelai wanita ini melampaui semuanya –demikianlah yang mau digambarkan.
Selanjutnya dari ayat 9: “…satu-satunya anak ibunya, anak kesayangan bagi yang melahirkannya”. Mempelai laki-laki ini begitu tertarik dan menganggap mempelai wanita sangat unik, sebagaimana ibu mempelai wanita melihat anaknya itu unik. Tentu saja setiap ibu membanggakan anaknya –dan hal ini dimengerti secara positif; dalam kebanggaan itu jugalah mempelai laki-laki membanggakan mempelai wanita. Di pasal pertama, ada perkataan mempelai wanita yang menyebut “putra-putra ibuku”; jadi di antara anak-anak laki-lakinya, anak perempuan ini –sang mempelai wanita– adalah kesayangan ibunya. Dan, sebagaimana mempelai wanita ini adalah kesayangan ibunya, demikian juga mempelai laki-laki sayang kepada mempelai wanita. Kalau kita boleh belajar sedikit saja bijaksana dari bagian ini, waktu menikah, jangan kita kurang mencintai mempelai wanita (istri) dibandingkan orangtuanya mencintai dia. Wanita ini adalah seorang wanita yang dikasihi orangtuanya, jangan kemudian ketika dia masuk ke pernikahan, dia malah jadi menderita di tangan laki-laki yang adalah suaminya. Kacau kalau seperti ini. Mempelai laki-laki harusnya memperlakukan dia setidaknya sama –atau bahkan lebih– dari orangtuanya, di dalam cintanya, di dalam melihat keunikan mempelai wanita ini.
Bagian berikutnya, “… puteri-puteri melihatnya dan menyebutnya bahagia, permaisuri-permaisuri dan selir-selir memujinya”. Di dalam Perjanjian Lama, gambaran seperti ini muncul di Amsal 31 yang diberi judul oleh LAI, “Istri yang Cakap”. Amsal 31:28: “Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia, pula suaminya memuji dia”; ini adalah istilah yang sama dengan yang kita baca dalam Kidung Agung 6:9 tadi. Apa yang bisa kita pelajari di sini? Ini adalah satu pujian yang spontan, yang bukan dipaksakan. Pujian yang diberikan bukan karena utang budi, sungkan, atau apapun, tapi betul-betul keluar dari dalam hati, karena melihat perempuan ini memang ada keunikan, ada kecantikan tapi juga kedahsyatan/kekuatan –seperti juga gambaran wanita di dalam Amsal 31. Dan, kalau mau kita kaitkan dengan Perjanjian Baru, Maria, ibu Yesus, di dalam Injil juga disebut ‘berbahagia’.
Ayat 10, “Siapakah dia yang muncul laksana fajar merekah, indah bagaikan bulan purnama, bercahaya bagaikan surya, dahsyat seperti bala tentara dengan panji-panjinya?” Kita lihat di sini mulai ada gambaran militer. Di bagian awal tadi bicara tentang ‘menakutkan’, juga ada ilusi ‘tentara Kasdim’, tapi belum bicara tentang military power, sedangkan di bagian ini hal tersebut muncul.
Sebelumnya, kita mau melihat istilah ‘fajar merekah’ di bagian ini. Di dalam kepercayaan Timur Dekat Kuno, ada mitos di tanah Kanaan, bahwa fajar (dawn) yang merekah adalah dewa; jadi bagian ini mulai masuk ke semacam divinisasi. Dalam hal ini Saudara jangan salah mengerti, kita tidak boleh salah tafsir bahasa puisi. Di ayat 10 ini mempelai laki-laki dalam pujiannya mulai masuk ke ‘fajar merekah’ –yang dalam kepercayaan Kanaan dianggap sebagai dewa (deity)– juga bicara tentang bulan purnama, tentang surya, yang adalah benda-benda langit –dan dalam kepercayaan Timur Dekat Kuno, itu bicara tentang dewa-dewi (god and godess). Sekali lagi, cinta itu memabukkan, sampai-sampai mempelai laki-laki melihat mempelai perempuan sebagai dewi. Saudara jangan tafsir salah, “Lho, jadi penyembahan berhala, dong, jadi memberhalakan istrinya, ‘gak bener ini laki-laki”. Tidak demikian, karena ini kitab puisi, bukan kitab doktrin, bukan risalah teologis; bukan ke sana tafsirannya, melainkan bahwa di dalam cinta yang sejati ada “divinisasi” ini, ada adoration, admiration. Istilah-istilah yang dipakai untuk Tuhan, di sini dipakai untuk pasangan, menunjukkan betapa pujiannya sampai ke klimaks. Sebelumnya, mempelai laki-laki memuji mempelai wanita dengan melihat tubuhnya dari atas ke bawah, dan imajinasinya pakai gambaran Gilead, kerajaan, Salomo, dsb., namun itu ternyata tidak cukup, pujiannya lalu sampai ke langit dengan mengambil benda-benda di langit . Memang cinta itu memabukkan, sampai tidak cukup lagi kata-kata yang bisa dipakai untuk menggambarkannya, bahkan kemewahan dan kemegahan Salomo pun tidak cukup, sampai akhirnya pakai bulan purnama, surya, fajar merekah, dsb. Bagaimanapun, di sini ada gambaran dialektis. Ini bukan berarti mempelai perempuan kehilangan aspek kemanusiaannya; jangan lupa, di ayat 9 tetap dikatakan bahwa dia ini seorang perempuan yang dikasihi ibunya. Jadi meskipun digambarkan seperti dewi, namun tetap saja dia ini manusia. Cinta itu bisa membuat melayang, tapi tidak pernah sedemikian melayangnya sampai kehilangan aspek kemanusiaan atau ke-bumi-an; di sisi lain, kalau cinta tidak ada ‘melayang’-nya, tidak ada ‘naik sampai ke langit’, cuma bicara aspek yang membumi/sehari-hari saja, ada yang kurang.
Cinta itu ada aspek “divinisasi”, seakan-akan saya ini berhadapan dengan seorang dewi, ini bukan wanita sembarangan yang bisa dipermainkan. Di dalam kekuatan ini, juga mulai ada bahaya atau resiko. Seorang wanita yang dipuji sampai setinggi ini, kalau dia jahat, dia bisa berpikir, ‘O, begini; jadi saya akan memanipulasi dia, saya akan pakai kekuatan ini untuk memperbudak dia’. Janganlah demikian. Pujian memang bukan tanpa resiko; dan dalam kehidupan sehari-hari pun sama. Orang waktu dipuji, kalau dia baik, dia bisa rasa di-encourage, dan dia memuji Tuhan bersyukur hidupnya bisa jadi berkat, dia menerima pujian itu sebagai encouragement; sebaliknya, di puji juga bisa bikin orang sombong, jadi tidak tahu diri. Demikian juga wanita ini ketika dipuji, bisa ada dua pilihan di dalam konteks kitab bijaksana, yaitu dia menerimanya sebagai pujian yang tulus, sebagai encouragement, dan dia tahu dirinya dicintai calon suaminya; atau dia melihat laki-laki ini ‘dia sudah terperangkap oleh kecantikan saya, sekarang saya akan ikat dia, saya akan jadikan dia budak, saya akan memanipulasi dia karena dia sangat tertarik, karena dia tidak tahan memandang mata saya, saya akan menjerat dia dengan apa yang ada pada saya’, Yang seperti ini adalah wanita jahat, bukan wanita yang digambarkan Kidung Agung 6.
Memang di dalam pujian bisa ada resiko seperti itu, tetapi bagaimanapun, mempelai laki-laki tetap memuji, dia tidak menahan pujian karena takut nanti dimanipulasi misalnya. Kadang orang bilang, “Saya ‘gak suka puji orang, karena nanti dia sombong; kita tidak boleh memuji manusia, kita hanya boleh memuji Tuhan” –kelihatan seperrti memastikan supaya orang tetap rendah hati, padahal mungkin dia sendiri yang sempit hatinya. Mempelai laki-laki ini bisa saja mengatakan, “Saya tidak usah memuji mempelai wanita, nanti kalau dipuji jadi ge-er, lalu malah saya dijerat, dimanipulasi; saya tidak mau! saya harus tetap menyatakan my power sebagai laki-laki, maskulinitas saya, bagaimana pun sayalah yang laki-laki bukan yang perempuan, dia tidak boleh menjerat saya!” –lalu tidak ada pujian sama sekali. Bukan demikian; di dalam Kidung Agung 6 ini tetap ada pujian. Pujian memang ada resiko, tapi ini sudah bukan bagian mempelai laki-laki lagi; ini bagian mempelai perempuan, dengan cara bagaimana dirinya menanggapi pujian, apakah dengan jadi sombong, licik, menggunakan kekuatan untuk memanipulasi pasangannya, atau dia bersyukur kepada Tuhan. Itulah pilihannya, silakan menempuh jalan bijaksana. Ini kitab puisi, kitab bijaksana; dan perempuan yang bijaksana, tahu bahwa jalan manipulatif, jelas adalah jalan tidak bijaksana, jalan kebinasaan.
Ayat 11, “Ke kebun kenari aku turun melihat kuntum-kuntum di lembah, melihat apakah pohon anggur berkuncup dan pohon-pohon delima berbunga.” Bagian ini masuk ke gambaran yang sangat sensual. Kita sudah pernah membahas, ketika dalam Kidung Agung bicara tentang ‘kebun’, sebetulnya adalah tentang tubuh wanita. Jadi yang dimaksud ‘berjalan-jalan di kebun’ adalah strolling around the body of the lover –entah maksudnya imajinasi atau pun riil di dalam pernikahan. Di bagian ini ada motif kenari (walnut); Richard Hess menafsir bagian ini sebagai simbol dari alat kelamin wanita. Jadi di dalam Kidung Agung ada waktunya tidak menggunakan gambaran sensual, ada waktunya menggunakan gambaran yang sangat sensual, tapi bicaranya tidak langsung –pakai simbol kenari di bagian ini. Betapa indah.
Saudara baca juga di bagian ini ‘pohon-pohon delima’, dalam bentuk plural; sementara sebelumnya juga sudah disebut ‘pohon delima’ dalam bentuk singular. Artinya, gambaran tentang fertilitas atau kesuburan sedemikian kuat di sini, sehingga tidak cukup digambarkan hanya dengan ‘pohon delima’ tapi dengan ‘pohon-pohon delima’. Buah delima itu bijinya banyak; dan biji yang banyak, dalam budaya Timur Dekat Kuno seringkali dipakai sebagai simbol kesuburan/fertilitas/ fruitfulness. Dalam lukisan-lukisan zaman Barok khususnya, kadang ada ‘buah delima’, dan itu ada artinya. Di dalam kitab puisi ini dipakai ‘buah delima’ untuk menyatakan fertilitas/fruitfulness, dalam arti ‘keturunan’ tapi juga ‘sukacita cinta’ yang didapat dalam sexual intercourse pernikahan.
Terakhir, ayat 12, “Tak sadar diri aku (I did not realize); kerinduanku menempatkan aku di atas kereta orang bangsawan (my desire set me, in chariotry with a prince)”. Di sini nuansanya militer; chariot di sini adalah kereta untuk perang, bukan kereta rekreasi atau pesiar. Apa yang mau dikatakan dalam gambaran ini? Yaitu bahwa cinta ada aspek adventure, sangat menarik, tapi juga ada bahaya. Di dalam hubungan cinta –cinta apapun– ada adventure, ada yang sangat menarik, tapi jangan tidak memperhitungkan adanya resiko/bahaya. Ada fantasi atau imajinasi bahwa hubungan cinta ini akan jadi pengalaman yang menarik, yang baru –seperti diletakkan di kereta bangsawan– tapi juga ada ancaman.
Gambaran ‘kereta’ (chariot) dan gambaran ‘kebun’ (garden) ini lumayan kontras. ‘Kebun’ yang menggambarkan tubuh wanita, gambarannya damai, tidak ada perang, baik-baik saja, sesuatu yang membuat bisa rileks; sedangkan ‘kereta’ berbeda. Di dalam cinta, urusannya bukan cuma dengan ‘kebun’, peaceful garden, honeymoon, tapi juga akan ada kesulitan-kesulitan, ada bahaya, ada peperangan yang harus dihadapi. Demikian juga kalau kita boleh menafsir secara Kristologis, bahwa cinta Kristus kepada jemaat-Nya adalah hubungan yang sangat menarik, dan betul-betul adventure karena Sang Logos menjadi manusia; sebelumnya tidak pernah ada cerita itu, sekarang ada inkarnasi Pribadi Kedua, Allah yang berkemah di tengah-tengah umat-Nya. Tapi Saudara juga lihat bahayanya, Dia mati di atas kayu salib, Dia mengalami peperangan itu, Dia hancur. Karena apa? Karena cinta.
Cinta bukan cuma bicara tentang ‘garden’, makan sama-sama, table fellowship, pesta, dsb.; tentu saja itu termasuk, tapi cinta juga bicara tentang pengorbanan, bahkan sampai mati seperti Kristus yang tersalib. Itulah cinta. Saudara dan saya dipanggil mengikuti kisah cinta ini. Bukan cinta dalam batasan romantisisme, sensualisme; memang benar ini cinta yang ada aspek romantisnya, ada aspek daya tariknya, ada keasyikannya, tapi jangan lupa ada kedahsyatannya juga, ada terrible, ada aspek yang menakutkan di dalam cinta. Itu sebabnya ketika kita menikah, kita perlu ada iman. Sebagus-bagusnya kita menghitung, sebagus-bagusnya kalkulasi kita, tetap akan ada hal-hal yang kita tidak bisa pastikan, ada aspek yang menakutkan, ada bahaya. Di dalam adventure selalu ada danger, jangan kita tidak mau itu sama sekali. Hidup yang semuanya ketebak, yang tidak ada bahayanya sama sekali, itu tidak layak disebut adventure, membosankan. Justru yang menarik bahwa di dalam adventure juga ada danger. Dalam hal ini bukan maksudnya kita memuliakan ‘bahaya’, adalah sakit jiwa kalau kita mencintai bahaya; maksudnya di sini adalah memberanikan diri waktu masuk di dalam hubungan cinta, bahwa di dalamnya juga ada kebahayaan-kebahayaan, ada peperangan, ada chariot.
Kita baca kembali, “Tak sadar diri aku (I did not realize)… ” ini juga penting, maksudnya dia tidak menyadarinya, ‘bahaya’ tersebut dibawa oleh desire-nya. Indah sekali puisi seperti ini. Ini bukan perempuan yang nekad, “Ayo, bawa saya ke kereta perang! Ayo, kita perang! Mana Goliat-nya, saya hadapi, lu di belakang saja, saya tempeleng Goliat itu!”. Bukan gambaran ultra-machismo seperti ini, apalagi di dalam diri perempuan, melainkan bahwa “I did not realize, my desire set me, in chariotry with a prince”. Maksudnya bukan sengaja mau menantang atau pada dasarnya memang suka konflik, suka perang, melainkan “saya tidak sadar, tapi hasrat cinta itu membawa ke sana”. Jangan juga ini dibaca secara negatif, ‘berarti dia tidak kalkulatif, dong, saking memabukkannya sampai dia ‘gak sadar terbawa dalam bahaya’; tidak demikian. Di sini gambarannya tetap positif, maksudnya paling tidak kita tahu dari gambaran ini, bahwa bukan dengan sengaja menantang bahaya, bukan cari-cari masalah, tapi hasrat cinta mau tidak mau akan membawa Saudara dan saya ke ‘kereta perang’ ini; bahwa ada aspek perang, ada aspek bahaya di dalamnya.
Kiranya Tuhan memberikan kita kekuatan, memberikan kita bijaksana, memberikan kita juga cinta-Nya, sehingga dalam kehidupan ini kita bisa terus memperdalam kisah cinta kita kepada Tuhan, juga kepada sesama.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading