Kita melanjutkan perenungan dari kitab Kidung Agung.
Kita membaca sisa satu ayat dari pasal sebelumnya, yaitu pasal 6:13, “Kembalilah, kembalilah, ya gadis Sulam, kembalilah, kembalilah, supaya kami dapat melihat engkau! Mengapa kamu senang melihat gadis Sulam itu seperti melihat tari-tarian perang?” Di sini ada semacam interupsi, yang dalam kitab puisi bisa kita tafsir sebagai bagian koor-nya (chorus), bukan perkataan mempelai laki-laki, juga bukan mempelai perempuan yang mengatakan. Koor ini menginterupsi imajinasi/fantasi mempelai laki-laki dalam pujian yang diberikannya kepada mempelai perempuan.
Bagaimanapun kitab Kidung Agung ini memang sedikit rumit, kita tidak tahu yang menulis kitab ini laki-laki atau perempuan; kalau yang menulis perempuan, berarti bagian ini adalah fantasi si pengarang –yang adalah seorang perempuan– yang menulis kata-kata mewakili mempelai laki-laki, dan mengatakannya kepada mempelai perempuan. Jadi kita tidak bisa membaca Kidung Agung hanya pada level puisinya itu sendiri, tapi juga mundur sampai ke level pengarangnya. Ada sebagian pakar yang percaya bahwa kemungkinan pengarang Kidung Agung ini sebetulnya perempuan; dengan kata lain, ketika dia menulis bagian perkataan-perkataan mempelai laki-laki yang memuji mempelai perempuan, itu sebetulnya dari perspektif perempuan juga. Kalau betul demikian, jadi kaya sekali –meskipun tafsiran ini juga tidak mutlak, bisa saja ditulis oleh laki-laki. Apapun itu, kita membaca bagian akhir pasal 6 ini bukan perkataan mempelai laki-laki, bukan perkataan mempelai perempuan, melainkan koor.
Di sini terjemahan bahasa Indonesia pakai istilah ‘gadis Sulam’, dalam bahasa Inggris ‘Shulammite’; ini memakai konsonan yang sama dengan ‘Salomo’. Dalam hal ini saya cenderung percaya bahwa ini berkaitan dengan kedua mempelai yang adalah orang sederhana, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, tetapi di dalam fantasinya mereka menggunakan royal imagery. Mempelai laki-laki diimajinasikan dalam kemegahannya Salomo, dan pasangannya diimajinasikan gadis Sulam tersebut.
Selanjutnya kita melihat ada tambahan motif baru di sini, yaitu ‘tari-tarian’. Dikatakan: “Mengapa kamu senang melihat gadis Sulam itu seperti melihat tari-tarian perang?” Ada tari-tarian, dan juga ada perang. Ini adalah tari-tarian yang ada kaitan dengan perang. Kalau tari-tarian saja, tafsirannya lebih sederhana, seperti mengekspresikan sukacita melalui tari-tarian; tapi di sini ada tarian dan ada perang. Saudara bisa bayangkan, pada zaman dulu perempuan-perempuan berespons terhadap para pahlawan yang kembali dari perang dengan kemenangan, dan perempuan-perempuan ini menari –inilah maksudnya tari-tarian perang. Di sini juga ada istilah hammahanayim yangsecara bunyinya istilah ini dalam bahasa Ibrani cukup dekat dengan ‘tarian’ (dance) —demikian kata Richard Hess. Intinya, bagian ini hanya melengkapi gambarannya secara puitis; yang kita baca yaitu kaitan tarian dengan perang. Tambahan lagi di sini ada bahasa Ibrani mahaneh, yang artinya kamp. Dengan demikian kalau dikaitkan antara hammahanayim dan mahaneh, secara bunyinya cocok, dan ada nuansa peperangan. Jadi ini bukan suatu hubungan cinta yang gampang/sepele (trivial), melainkan hubungan cinta yang diperoleh bukan tanpa peperangan. Kalau kita boleh tafsir bagian ini, kemungkinan untuk mencintai, itu ada kaitannya dengan kemenangan dalam peperangan. Tentu saja kita bukan mengartikan sebagai peperangan di antara kedua mempelai, melainkan dalam arti kemenangan peperangan sang mempelai laki-laki yang kemudian disambut oleh mempelai perempuan. Sekali lagi, cinta yang sejati bukanlah tanpa kesulitan, bukan tanpa peperangan.
Masih dalam bulan Februari seperti ini, kadang-kadang tanpa sadar konsep cinta kita sangat dipengaruhi oleh gambaran Valentine’s Day yang dangkal, yang semata-mata romantisisme saja. Hubungan cinta tentu ada aspek romantika, tapi kalau cinta hanya dimengerti dalam pengertian ala Valentine’s Day, seperti fine dining dengan suasana remang-remang cahaya lilin, lalu ada orang yang main banjo, dsb., itu tidak cocok dengan gambaran cinta yang bukan cuma di dalam Kidung Agung tapi juga di dalam Kitab Suci. Tanggal 14 Februari yang baru lalu ini, ada orang menulis, “Tahu ‘gak bahwa dalam biografinya St. Valentine, dia mati martir”. Dia mati martir karena kepercayaannya kepada Kristus; jauh sekali dari gambaran Valentine’s Day hari ini yang dirayakan dengan makan-makan di restoran Michelin Star ala fine dining, wine, dsb. Tentu gambaran “cinta” seperti ini tidak sepenuhnya salah, tapi kalau kita mengerti cinta hanya dalam aspek seperti itu, yang tanpa peperangan, tanpa kematian, tanpa berdarah-darah, kita bisa sangat salah mengerti konsep ‘kasih’ di dalam Alkitab, kita pikir cuma gambaran romantisisme yang menyenangkan ala lukisan Thomas Kinkade. Di dalam catatan Kitab Suci, gambarannya tidak trivial seperti ini. Kembali lagi kepada Yesus Kristus, Dia menyatakan cinta-Nya, dan Dia mati di atas kayu salib. Itulah cinta. Cinta itu dengan darah. Cinta itu dengan pengorbanan; bahkan bukan hanya pengorbanan sampai terluka tapi sampai mati di atas kayu salib. Itulah yang kita pelajari di dalam Kitab Suci. Waktu kita merayakan Perjamuan Kudus, memang di sana ada makan-makannya –seperti Valentine’s Day ada makan-makan– tapi kita makan dengan sangat serius, karena kita mengenang Tubuh yang dihancurkan dan Darah yang dicurahkan. Itulah konsep ‘cinta’ yang ada di dalam Alkitab. Cinta berarti jalan salib; yang tidak ada jalan salib, itu pasti cinta murahan.
Demikian waktu kita kembali ke Kidung Agung 6:13, di sini ada tari-tarian perang; kebebasan (freedom) itu ada harga yang harus dibayar, termasuk juga freedom untuk mencintai. Ini bukan sesuatu yang ada begitu saja. Kalau boleh sedikit mengaitkan dengan Reformasi, Reformasi itu dibayar dengan harga yang begitu mahal demi membebaskan dari tirani Gereja pada saat itu. Jalannya bukan jalan yang mudah, bahkan tidak selesai pada Luther dengan 95 tesisnya; sampai Luther meninggal pun masih belum selesai ceritanya. Dalam sejarah Eropa ada “Thirty Years War”; itu adalah perang yang sangat berdarah-darah, banyak sekali kematian (kalau saya tidak salah ingat, 1/3 penduduk Eropa) –dan itu hanya untuk membeli yang namanya “freedom”. Bukan jalan yang mudah; ada pengorbanan yang perlu dilakukan. Saudara bisa membacanya dalam teks lagu, “darah kaum martir menyirami jalan salib”. Untuk ada Reformasi, ada harga yang perlu dibayar. Jan Hus membayarnya, demikian juga orang-orang Reformasi lainnya, bahkan yang sebelum Luther seperti William Tyndale, dsb. Luther dan Calvin, meskipun tidak mati martir, mereka juga membayarnya. Saudara dan saya, waktu kita mencoba mengerti ‘cinta’ di dalam Reformasi, itu ada harga yang harus dibayar, bukan tanpa perang.
Saya tidak boleh overstretch tafsiran ini, cukup dengan mengajak Saudara melihat motif ‘tari-tarian perang’ ini menunjukkan bahwa ada sukacita pastinya, tapi sukacita menyambut orang dari perang –bukan tanpa pergumulan, bukan tanpa harga yang harus dibayar. Ini bukan tari-tarian hedonis, bukan dansa-dansa karena pengangguran; ini adalah tari-tarian menyambut para pejuang itu pulang perang.
Kita lanjutkan pasal 7:1, sekarang ganti ke perspektif mempelai laki-laki kembali; ini adalah bagian puji-pujian mempelai laki-laki yang ketiga.Mempelai laki-laki ini, dalam imajinasinya dia membayangkan pulang perang kemudian disambut dengan tari-tarian dan dia menikmatinya.
Ayat 1: “Betapa indah langkah-langkahmu dengan sandal-sandal itu, puteri yang berwatak luhur!” Mungkin kita heran, kenapa bicara tentang sandal. Memang kadang-kadang ada gap culture; mungkin zaman sekarang yang dilihat tasnya, apa dari Paris atau Tanggulangin misalnya, tapi zaman dulu dilihat sandalnya. Mengapa sandal? Jangan lupa, baru saja bagian ini bicara ‘tari-tarian’; jadi ini adalah gambaran mempelai laki-laki yang menikmati tarian mempelai wanita, tapi dia tidak berhenti di situ. Ini tarian yang jauh dari konsep yang merely erotic; Richard Hess mengatakan ini bukan tarian erotis. Saya pikir ini juga bukan tarian murahan –apalagi kalau tariannya di depan pahlawan-pahlawan dan bukan cuma di hadapan mempelai laki-laki– karena di sini ada istilah ‘puteri yang berwatak luhur’. Jangan salah mengerti dengan menganggap sambutan tarian ini pasti konotasinya negatif, ini perempuan nakal/penggoda yang menari-nari supaya laki-laki jatuh terjerat padanya di dalam tarikan sensualismenya, dsb.; jauh sekali daripada itu, karena ini puteri yang berwatak luhur (noble daughter). Tidak ada sama sekali nuansa yang membuat kita bisa tafsir bahwa ini perempuan yang seperti pelacur, yang dengan tari-tariannya ingin menjerat laki-laki yang lemah misalnya. Jadi tariannya adalah tarian yang tulus, menyambut mempelai laki-laki pulang dari perang; dan mempelai laki-laki menikmati tarian ini.
Selanjutnya, “Lengkung pinggangmu bagaikan perhiasan, karya tangan seniman.” Ada motif yang penting waktu di sini bicara tentang seniman, bahkan dalam Kidung Agung istilah ‘seniman’ cuma muncul di sini. Tidak perlu dikatakan lagi, ini adalah satu rujukan tidak langsung kepada Sang Pencipta, Allah; dan ini penting untuk Kidung Agung.
Kalau Saudara membaca Kidung Agung, mungkin Saudara bertanya, ‘ini kitab koq sekuler banget, tidak ada “Tuhan”-nya, bagaimana sih, kitab begini bisa masuk kanonisasi’, dsb. –seperti juga kitab Ester, kitab Rut. Tapi Saudara salah mengerti kalau menafsir seperti itu. Justru di dalam pemikiran penulisnya, kehidupan cinta, kehidupan pernikahan, bahkan kenikmatan seks, dimengerti sebagai pemberian Tuhan, the gift of creation. Jadi tidak mungkin memikirkannya tanpa konteks ‘penciptaan’ (creation). Kita tidak mungkin bicara tentang kebahagiaan pernikahan tanpa teologi penciptaan. Jadi, kalaupun penulis Kidung Agung tidak menyebut nama ‘Allah’, Saudara jangan melihat fenomenanya lalu menghakimi ‘sekuler’, dan menganggap yang betul adalah orang yang setiap bicara 3 kalimat lalu ada kata ‘Tuhan’, ‘Yesus’, dsb. –jangan-jangan itu justru orang yang mempermainkan nama Tuhan dengan sembarangan. Kita jangan tertarik dengan fenomena-fenomena di dalam pengikutan kepada Tuhan, yang lebih penting adalah sikap hati. Di dalam Kidung Agung, kita tidak mendapati tulisan ‘Allah’ atau ‘Tuhan’, tapi bukan tidak ada kiasannya (allusion); di dalam bagian ini, yang disebut ‘seniman’ itu siapa lagi kalau bukan Sang Pencipta, Tuhan, yang bisa menciptakan keindahan seperti ini.
Ada theological purpose di dalam Kidung Agung; Kidung Agung tidak pernah mengajak Saudara menikmati keindahan ciptaan Tuhan, terlepas dari ibadah kepada Sang Pencipta. Apalagi kita bukan cuma percaya Sang Pencipta, tapi Sang Pencipta dan juga Sang Penebus, sehingga tidak mungkin terlepas dari hal ini. Orang yang berusaha melepaskannya, saya pikir orang itu sendiri yang bermasalah, bukan penulis Kidung Agung, karena di dalam pandangan penulis Kidung Agung, adalah suatu ketidakmungkinan membicarakan kebahagiaan pernikahan dan sukacita dalam ciptaan, tanpa Sang Pencipta –betul-betul tidak mungkin. Tapi Saudara dan saya ini, dalam dunia modern yang seringkali dualis pasca Enlightenment, kita seringkali menghidupi dualisme seperti itu. Kita takut kalau kita terlalu senang. Kita takut kalau kita terlalu banyak makan. Kita takut kalau kita terlalu banyak bicara tentang seks, nanti dianggap kurang pietis, kurang beribadah kepada Tuhan. Sekali lagi, dualisme kayak begitu tidak ada dalam Alkitab. Mereka bisa mengeksplorasi luar biasa dalamnya, sampai ketika membacanya kita merasa ini erotis banget gambarannya dan sangat sensual, tapi mereka tidak pernah lepas dari sikap ibadah kepada Tuhan, tidak pernah jadi berhala. Bahkan waktu di perikop sebelumnya menggambarkan sampai pakai benda-benda di langit –bulan, surya, fajar, dsb.– yang dalam kepercayaan Kanaan dianggap sebagai dewa-dewi, seakan sudah nyerempet-nyerempet pada berhala, tapi tetap itu bukan berhala. Mengapa? Karena beres pengertiannya; itu semua dimengerti di dalam konteks teologi penciptaan, di dalam konteks ciptaan Tuhan yang indah. Tentu saja kalau bicara ‘ciptaan’ itu tidak mungkin tidak membicarakan Pencipta; waktu bicara tentang ‘Pencipta’, tidak mungkin tidak beribadah kepada Pencipta. Inilah yang dimengerti oleh Kidung Agung.
Kita melanjutkan; “Lengkung pinggangmu bagaikan perhiasan, karya tangan seniman.” Yang karya tangan seniman, tentu bukan ayat 1b ini saja, bukan cuma lengkung pinggang ini saja, tapi termasuk juga ayat 2, 3, 4, 5, dan semuanya. Ini adalah karya tangan seniman; dan ini sedang dikagumi oleh mempelai laki-laki. Artinya, ini adalah ekspresi ucapan syukurnya kepada Sang Pencipta; dengan menikmati pemberian Tuhan di dalam ciptaan, ini adalah suatu doksologi.
Ada dua ekstrim yang sama-sama keliru waktu kita membicarakan pemberian dari Tuhan. Ekstrim pertama, kita begitu tertarik dengan pemberiannya, lalu kita tidak peduli dengan Pemberinya. Ini salah. Tapi kita juga salah kalau Tuhan memberi kepada kita, dan pemberian itu langsung kita sampahkan, “Saya tidak perlu pemberian-Mu, Tuhan; saya cukup dengan Engkau sebagai Pemberi.” Respons seperti ini tidak wajar. Misalnya waktu Valentine Saudara dapat bunga dari pacar atau suamimu, yang wajar adalah Saudara menerimanya lalu peluk pasanganmu dan bilang “thank you”. Yang tidak wajar, kalau waktu terima bunga lalu Saudara masuk pada kekaguman akan bunganya dan Saudara usir pacarmu itu, “Lu pergi sana, lu mengganggu pandangan saya ke bunga ini”. Kurang ajar pacar seperti ini. Ini ekstrim pertama yang keliru; kita tertarik pada pemberiannya, kita memberhalakannya, lalu kita buang pemberinya. Tapi ada ekstrim kedua, yaitu waktu Saudara terima bunga, Saudara bilang, “Oh, pacarku, bunga ini ‘gak ada harganya dibandingkan dirimu, apa artinya bunga ini dibandingkan dengan engkau”, dan langsung buang bunganya ke tempat sampah. Ini orang sinting. Ini berarti dia tidak bisa menghargai pemberian.
Dalam bagian ini, sang mempelai laki-laki menikmati mempelai perempuan tanpa jatuh ke dalam pemberhalaan. Di dalam kenikmatannya, sukacitanya, kekagumannya, itu termasuk juga ucapan syukurnya kepada Sang Pemberi, kepada Tuhan yang menciptakan.
Selanjutnya ayat 2, “Pusarmu seperti cawan yang bulat, yang tak kekurangan anggur campur.” Di zaman dulu, dalam konsep Ancient Near East, pusar yang besar adalah keindahan, semakin besar pusar semakin baik (kita memang tidak bisa membayangkannya, karena ada culture gap), sehingga tidak heran di sini pusar digambarkanseperti cawan yang bulat, yang tak kekurangan anggur campur. Anggur campur melambangkan sukacita. Kalimat berikutnya, “Perutmu timbunan gandum, berpagar bunga-bunga bakung.” Bagian ini sudah pernah, dan kita lewati saja.
Ayat 3, “Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang.” Ini menarik; ayat 3 ini sama sekali bukan baru, kita pernah membacanya di pasal 4:5, “Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang yang tengah makan rumput di tengah-tengah bunga bakung.” Jadi ini sebetulnya pengulangan. Minggu lalu kita sudah membicarakan bahwa tidak ada pengulangan-pengulangan yang klise; ada motif-motif yang diambil kembali –tanpa jadi pengulangan yang klise– yang kemudian dikembangkan. Jadi di satu sisi, pujiannya ada konsistensi, tidak berubah-ubah terus; tapi di sisi lain, juga ada perkembangan. Namun ayat 3 ini menarik karena pakai teknik yang lain lagi; di sini bukan ada konsistensi lalu dikembangkan, melainkan tetap ada konsistensi, pujiannya sangat dekat –kalau tidak mau dibilang sama– dengan pasal 4:5, tapi ada bagian yang dihilangkan. Penghilangan (omission), adalah termasuk kesegaran. Kita jangan selalu pikir harus pakai motif yang sama lalu dikembangkan, baru namanya kesegaran; atau yang sama sekali baru, barulah namanya segar. Ayat 3 ini pengulangan, tapi semacam ringkasan, kalau dibandingkan dengan pasal 4:5 ada kalimat-kalimat yang tidak muncul. Kalimatnya singkat sekali, “Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang”, titik. Seolah-olah di sini sudah tahu, jadi tidak perlu mengatakan secara komplit lagi, karena memang sudah pernah. Ini pengulangan, penegasan, dan tidak perlu dijelaskan lagi dengan kata-kata yang persis sama dengan sebelumnya, boleh dihilangkan. Kadang-kadang kalimat yang pendek bisa lebih meaningful. Misalnya dalam bahasa Inggris orang mengatakan, “See, I told you before, but you don’t listen to me; now look what happened!”; lalu bahasa Indonesianya: “‘Kan?!” –cukup satu suku kata, selesai. Ada keindahan tersendiri di dalam short summary yang tidak bisa ditampung dalam kalimat yang panjang lebar. Karena itu, dalam bagian ini tidak perlu lagi bicara gambaran ‘sedang makan rumput’ dsb., tidak usah diulang lagi, sudah tahu, sekarang tinggal bicara yang pendek saja.
Ayat 4, “Lehermu bagaikan menara gading”. Bagian ini juga sudah pernah. Sekali lagi, ada konsistensi tanpa jadi klise, tanpa jadi pengulangan-pengulangan yang tidak ada artinya. Kemudian ada bagian yang mungkin baru, yaitu lanjutannya: “matamu bagaikan telaga di Hesybon”. Hesybon adalah telaga; selain dimengerti sebagai sumber air, tentu juga ada keindahan alamiah. Hesybon di sini sebetulnya mau menyatakan bahwa ini satu sumber yang penting untuk mempertahankan kehidupan di dalam kota tersebut. Jadi di sini mau menggambarkan bahwa mata mempelai perempuan, mata yang penuh dengan cinta kasih, itu memberikan kehidupan. Cinta bukan tanpa pandangan mata juga. Pandangan mata yang sinis, yang congkak, yang penuh dengan ketakutan, yang apatis, itu tidak memberikan kehidupan; tapi pandangan mata yang penuh dengan cinta, pengharapan, desire, itulah yang memberikan kehidupan. Itu sebabnya jangan menganggap rendah pandangan mata, yang di bagian ini dikatakan “bagaikan telaga di Hesybon dekat pintu gerbang Batrabim”.
Selanjutnya, “hidungmu seperti menara di gunung Libanon, yang menghadap ke kota Damsyik.” Waktu di sini dikatakan‘hidungmu seperti menara di gunung Libanon’, Saudara jangan salah mengerti ini hidung yang pasti besar sekali, jangan-jangan dia sedang berbohong sehingga seperti Pinokio, hidungnya panjang seperti menara. Itu pembacaan modern, dan tidak ada dukungannya. Mengapa dipakai istilah tersebut? Bagian ini dalam bahasa Inggrisnya, “Your nose like a tower of Lebanon, espying Damascus”, jadi di sini maksudnya menara pengintai. Yang mau dikatakan di sini adalah: hidungnya bisa mencium dengan tajam. Ini adalah perempuan yang tidak bisa dipermainkan. Ini bukan perempuan yang bisa dicocok hidungnya lalu dijadikan budak cinta. Ini bukan perempuan yang tidak bisa mengendus ketidakberesan, yang tolol, yang naif. Ini adalah perempuan yang hidungnya punya ketajaman, yang bisa mencium dengan jelas, seperti menara. Tentu Saudara tidak boleh tafsir negatif, saking tajamnya sampai jadi paranoia, semua dicurigai. Bukan itu yang dimaksud penulis Kidung Agung, melainkan satu hal yang positif, hidungnya seperti menara pengintai berarti ada kekuatan internal dalam karakter perempuan ini, tidak bisa dipermainkan. Selain internal strength, Richard Hess mengatakan perempuan ini ‘personality at peace with itself’, ada damai dengan dirinya sendiri, ada confidence –di dalam pengertian positif.
Ayat 5, “Kepalamu seperti bukit Karmel, rambut kepalamu merah lembayung” (merah lembayung ini dalam bahasa Inggris ‘purple’). Bagian ini kalau dibaca secara pembacaan modern, mungkin kita pikir ternyata dalam Kidung Agung sudah ada praktek mengecat rambut dengan warna-warna ungu, merah, hijau, oranye, dsb., tapi bukan itu yang dimaksud di sini. Kita musti membacanya dalam konteks pada saat itu.
Pertama, waktu di sini bicara tentang kepala, dalam bahasa Inggris dikatakan, “Your head above you like Carmel” (sementara bahasa Indonesia hanya dibilang ‘kepalamu seperti bukit Karmel’). Apa maksudnya? Ini berarti dia sudah menyelesaikan pujian terhadap semua bagian tubuh mempelai wanita satu per satu, dan terakhir sekarang bicara tentang ‘your head above you’, dalam arti semua yang lain yang di bawah sudah disinggung lalu sekarang balik lagi ke kepala. Saya mengutip Richard Hess dalam hal ini: “The poet will return to marvel at distinctive features, but the sweep of the whole body has now been completed”.
Tadi kita mengatakan, ‘merah lembayung’ (ungu/purple) di sini bukan bicara tentang warna rambut; sebagaimana sudah pernah kita bahas, warna ungu ini ada kaitannya dengan ‘kerajaan’ (royalty). Yang mampu pakai warna ungu cuma orang-orang seperti raja, karena mahal. Dan waktu di sini muncul istilah ‘bukit Karmel’, adalah karena pewarna ungu diproduksi di daerah sebelah utara Karmel; jadi ‘Karmel’ berkaitan dengan ‘warna ungu’, Karmel adalah kota yang menghasilkan pewarna ungu.
Waktu dikatakan ‘rambut kepalamu merah lembayung’, dalam bahasa Inggris bukan cuma dibilang ‘rambut’ melainkan ‘the loose hair’ —“the loose hair of your head like purple”. Rambut yang terurai (loose hair) ini menyimbolkan kehidupan, dan juga pertumbuhan. Loose hair di sini jangan ditafsir negatif, jadi liberalisme atau orang yang tidak ada aturan, tidak rapi, berantakan, dsb.; bukan itu maksudnya, melainkan menyatakan kebebasan, kehidupan, dan pertumbuhan.
Selanjutnya, “seorang raja tertawan dalam kepang-kepangnya.” Ada motif ‘jerat’ di sini. Agaknya, motif ‘jerat’ yang dikaitkan dengan rambut ini bukan orisinal dari Kidung Agung, Saudara bisa menemukannya di dalam puisi-puisi cinta yang ada di Mesir misalnya. Misalnya, saya bacakan satu kutipan dalam salah satu puisi cinta Mesir: “her hair is the bait in the trap to ensnare me”. Agaknya cukup umum gambaran rambut yang bisa menjadi “jerat”, yang memiliki atraksi sedemikian rupa sehingga akhirnya menawan –ini bahasa Indonesia yang bagus sekali, karena ‘menawan’ jauh lebih positif daripada ‘menjerat’. Dia tertawan oleh karena keindahan rambutnya.
Sekarang kita mau gabungkan keseluruhan pengertiannya; “rambut kepalamu merah lembayung, seorang raja tertawan dalam kepang-kepangnya”. Artinya apa? Saya mengutip tafsiran Richard Hess yang sangat indah; dia bilang: “In any case, the purple tint draws into the scene in the appropriate “wearer” of purple, a king; the male has becomes this king, no longer merely clothed, but now securely bound by the running locks of his lover”. Maksudnya begini: tadi dikatakan rambut mempelai perempuan ini merah lembayung, dan yang berhak memakai warna ini adalah raja, karena yang “boleh” menikmati/memakai warna ungu adalah raja; jadi alangkah berharganya perempuan ini hingga dia cuma “boleh” dinikahi oleh raja. Sekali lagi, imajinasi yang sampai ke atas (royal imagery) muncul lagi di sini.
Terakhir, ayat 6, “Betapa cantik, betapa jelita engkau”; judul khotbah kita diambil dari ayat ini. Minggu lalu kita mengkhotbahkan ‘cantik dan dahsyat’, satu pengertian yang agak dialektis; sedangkan dalam bagian ini pengertiannya agak sinonim, ‘cantik dan jelita’, dan juga bukan tanpa nuansa, “Betapa cantik, betapa jelita engkau, hai tercinta di antara segala yang disenangi”. ESV memakai terjemahan seperti ini: “How beautiful and pleasant you are, O loved one, with all your delights!” ; terjemahan lain dari commentary: “How beautiful you are, how desirable”. Istilah ‘pleasant’ dan ‘beautiful’ sebetulnya agak sinonim. Pasangan istilah seperti ini muncul 16 kali, dan ayat 6 ini adalah yang paling klimaks.
Saya tertarik dengan terjemahan yang memakai ‘desirable’; ini bicara tentang desirability sang mempelai wanita. Istilah ini di dalam Perjanjian Lama seringkali digunakan untuk hal-hal yang menyenangkan Allah. Dengan demikian, kita bisa langsung menafsirkan secara Kristologis; kita tahu hubungan mempelai laki-laki dan mempelai perempuan ini tidak bisa lepas dari hubungan Kristus dan jemaat (kalau mengikuti Paulus), atau Allah dan jiwa (kalau mengikuti Bernard de Calirvaux). Jadi, dalam cinta yang sehat, perempuannya —yaitu Gereja; Saudara dan saya— desirable, menyenangkan Tuhan.
Ayat 6 ini bagian akhirnya mengatakan, “O loved one, with all your delights”, atau dalam terjemahan bahasa Inggris yang lain, “O daughter of pleasures”. Sangat indah. Saya bandingkan dengan terjemahan bahasa Indonesia: “hai tercinta di antara segala yang disenangi” —tidak seindah terjemahan literal dari bahasa aslinya yang bisa diterjemahkan “O daughter of pleasures”. Ini memberikan pertanyaan untuk Saudara dan saya, betulkah kita ini di hadapan Tuhan adalah daughter of pleasures?Betulkah waktu Tuhan melihat kita, Tuhan bukan cuma melihat keindahan (beauty), tapi Dia juga treasure relasinya dengan kita, dan bahwa kita ini desirable, bahwa kita ini menyenangkan Tuhan, bahwa kita ini memberikan pleasure bagi Tuhan?
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah(MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading