Kita baru membahas dua ayat pertama dari pasal 1 Daniel, dua ayat yang sangat penting, karena justru melalui ayat-ayat pertama itulah kita menemukan hint-hint dari penulisnya, mengenai bagaimana membaca kitab tersebut.
Dari dua ayat itu, lensa yang kita dapati pertama-tama bahwa kitab Daniel bukan kitab yang berdiri sendiri, sebagaimana kitab-kitab lain di Alkitab. Kitab Daniel langsung melempar segudang referensi, hyperlink dengan kitab-kitab lain di Alkitab, yaitu kitab Kejadian, Raja-raja, Samuel, kepada cerita-cerita tentang Yusuf, Abraham, Menara Babel, dst. Dalam keseluruhan eksposisi kitab Daniel, kita akan terus menelusuri hyperlink–hyperlink tersebut, menjelajahi sebanyak mungkin, karena lewat segudang referensi inilah kita melihat lensa/kacamata apa yang penulis ingin kita pakai ketika membaca kitab ini.
Kitab Daniel merupakan kitab exilic, berarti kitab ini ditulis bagi orang-orang dalam pembuangan (exile). Siapa dan seperti apa orang-orang yang berada dalam pembuangan? Ini orang-orang yang kehilangan kuasa, yang hidup di bawah kuasa orang lain, di bawah kuasa kerajaan-kerajaan dunia. Mereka bukan dalam posisi power tapi dalam posisi weakness, minoritas, dikelilingi oleh masyarakat yang hukum-hukumnya serta sistem nilainya berbeda, bahkan bertentangan, dengan yang mereka percaya. Itu sebabnya sangat mudah kita masuk ke kitab ini, karena sangat relevan dengan kehidupan kita di zaman modern hari ini. Ini bukan ge-er, karena kalau kita perhatikan bahasa-bahasa Perjanjian Baru, Gereja diajak untuk melihat dirinya sebagai orang-orang yang masih dalam semacam exile, kita disebut dengan istilah-istilah seperti: musafir, pendatang, imigran, dsb.
Kita adalah warga negara Kerajaan Surga, namun untuk sementara waktu sedang jadi imigran dalam kerajaan-kerajaan dunia. Inilah cara Perjanjian Baru mengatakan, bahwa Saudara dan saya adalah orang-orang yang sedang dalam exile, hidup dalam aturan Kerajaan yang lain, namun tubuh kita masih berada dalam suatu kerajaan dunia. Kita mungkin tidak berada dalam exile secara geografis seperti Israel dan Yehuda di Perjanjian Lama, tapi berada dalam exile secara waktu, di dalam zaman. Paulus mengatakan, seluruh ciptaan sedang menantikan zaman yang akan datang, karena kita masih di zaman yang sakarang ini, masih terbelenggu dan diperbudak. Yesus sudah memenangkan pertempuran kunci melawan dosa dan maut, tapi perangnya sendiri masih jauh dari selesai. Petrus mengakhiri Surat 1 Petrus dengan ucapan salam, “Salam dari kami yang berada di Babilon”. Ini menarik, karena kemungkinan besar Petrus menulis surat itu dari Roma, bukan dari Babilon. Lagipula, kota Babilon dan kekaisaran Babilonia pada zaman Petrus menulis suratnya, sudah lama hancur dan hilang. Jadi, Petrus menggunakan istilah ini sebagai kiasan; Petrus sedang mengajak Gereja Perjanjian Baru untuk menyadari bahwa kita semua saat ini masih sedang hidup dalam pembuangan, selagi kita menanti pemulihan yang masih akan datang dalam kedatangan Kristus yang kedua kali.
Pertanyaannya, apa implikasi yang sering kali kita tarik kalau kita melihat diri sebagai orang-orang buangan? Di satu sisi, mungkin respons kita adalah: ya, memang kita dalam posisi lemah, jadi jangan cari ributlah di dunia ini; kita ini terbatas ruang geraknya, tidak bisa optimal hidup sebagai orang Kristen, jadi buanglah idealisme-mu sebagai orang Kristen, tidak usah sok suci, fokus saja on survival, itu yang penting, tidak usah macam-macam dululah. Atau sebaliknya, respons kita adalah: ini waktunya angkat senjata, perang gerilya; kita mungkin sedikit jumlahnya, tapi kita harus melawan sampai titik darah penghabisan, taktik teror pun halal! Dan seterusnya. Kedua posisi ini seperti berlawanan, namun sebagaimana biasanya kalau kita melihat posisi ekstrim kiri dan ekstrim kanan di dunia ini, justru surprisingly mereka punya dasar yang sama. Ini cuma dua sisi yang berbeda dari satu koin yang sama, yaitu melihat pembuangan sebagai kondisi yang negatif tok. Yang satu berusaha untuk cari aman karena tidak punya kuasa, yang satu lagi berusaha untuk merebut kuasa secara paksa karena tidak berkuasa juga. Dua-duanya sama, merasa tidak berkuasa, merasa insecure.
Saudara, itulah lensa yang sering kali kita pakai waktu membaca hidup kita hari ini sebagai kaum yang terbuang. Dua lensa yang seperti berlawanan namun sebenarnya sama ini, sama sekali bukanlensa kitab Daniel. Lensa kitab Daniel justru sangat terbalik. Lensa kitab Daniel mengatakan, memang secara manusia, kitab Daniel adalah momen Israel paling hancur, paling powerless secara kuasa politik, mereka tidak lagi berdiri sebagai suatu kerajaan tersendiri, Bait Allah dihancurkan, perkakas-perkakasnya dibawa Nebukadnezar ke rumah dewanya. Ini seperti fenomena hari ini, ketika gedung-gedung gereja tua di Eropa banyak yang diambil alih dan dijadikan kafe, restoran, museum, atau paling celakanya jadi mesjid; dan dalam momen seperti itu, kita merasa powerless, weak. Namun demikian, panggung yang disusun oleh penulis kitab Daniel dalam dua ayat pertamanya bicara sangat lain, yaitu memang benar Israel dan Yehuda dikalahkan, tapi umat Allah justru sebenarnya sedang dikerahkan; kuasa politik Kerajaan Israel memang mengalami reduksi, tapi Kerajaan Allah justru sedang mengalami ekspansi.
Hal ini kita lihat dalam khotbah sebelumnya melalui hyperlink dengan kisah-kisah Perjanjian Lama. Lagipula, panggilan atas Abraham bukan sekadar untuk diberkati, tapi untuk jadi saluran berkat bagi bangsa-bangsa lain; itu misi Kerajaan Allah. Jadi, momen-momen kehidupan orang-orang seperti Daniel, Ezra, Nehemia, Ester, Mordekhai, Yehezkiel, dsb. mulai disebar ke berbagai bangsa-bangsa lain itu, adalah momen panggilan Abrahamic ini dijalankan —lebih dijalankan dibandingkan masa ketika Kerajaan Israel dan Yehuda berdiri teguh dengan tembok-temboknya, sehingga tidak perlu pergi ke tempat-tempat lain. Dalam pembuangan, Kerajaan Allah justru go international.
Omong-omong, pola yang mirip Saudara temukan dalam Perjanjian Baru. Ketika Stefanus dibunuh, orang-orang Kristen di Yerusalem dianiaya, oleh karena itu mereka terserak ke mana-mana –exile, kalah. Ke mana mereka terserak? Dari Yerusalem, ke Yudea, ke Samaria, ke ujung bumi. Lho, koq jadi sesuai dengan misi utamanya ya, sesuai dengan Amanat Agungnya. Itu sebabnya yang diberikan penulis kitab Daniel adalah tantangan kepada umat Allah yang sedang dalam pembuangan, bukan cuma untuk bertindak beda, bukan cuma untuk tanya ‘apa yang harus saya lakukan berbeda sebagai orang buangan’, tapi terutama untuk melihat secara beda. Ini panggilannya. Di mata dunia, perkakas Rumah Tuhan dibawa ke rumah dewanya Nebukadnezar, itu memalukan; di mata Alkitab, ini bom waktu. Di mata dunia, kita di kantor, di sekolah, di mana-mana, adalah minoritas yang terancam, yang pijakannya tidak stabil, yang hidup matinya bergantung pada orang-orang yang tidak takut akan Allah –dan itu benar–namun di mata penulis kitab Daniel, itu berarti Saudara dan saya justru berada di tempat yang seharusnya. Bukankah ini logis? Seperti yang Tuhan Yesus katakan, tidak ada orang taruh pelita di bawah gantang. Buat apa Saudara menyalakan lampu di taman terbukan pada siang bolong, tidak ada gunanya; Saudara menyalakan lampu tentu di tempat yang gelap. Lampu yang sedang dikelilingi kegelapan, itu berada di tempat yang tepat. Kalau Saudara mau cari aman, jangan jadi orang Kristen. Saudara cari nyaman? Salah kamar. Inilah tantangan untuk pembaca kitab Daniel, baik yang hidup di masa pembuangan sezaman Daniel, ataupun Saudara dan saya pada masa sekarang. Kita bertanya, “Bagaimana mungkin saya bisa mempertahankan kesetiaan kepada Tuhan di tanah asing ini?!” Alkitab mengatakan, “Kalau bukan di sini, lalu di mana lagi?” Bukankah berada di dunia ini, di tengah-tengah segala kesulitan dan kegelapannya, adalah exactly tempat engkau menyatakan kesetiaanmu, sebagai warga negara Kerajaan Surga, sebagai tentara Ilahi? Lensa apa yang kau mau pakai untuk melihat hidupmu dan panggilanmu dalam masa pembuangan ini? Kepada realitas versi siapa, engkau hendak mempercayakan dirimu? Itulah kitab Daniel.
Hari ini kita melanjutkan membaca keseluruhan pasal 1. Kita akan membagi pembahasannya jadi tiga bagian besar. Pertama, kita akan melihat bagaimana bagian ini mengungkapkan modus operandi kerajaan-kerajaan dunia. Inilah sebabnya kitab Daniel disebut sebagai kitab apokaliptik, kitab yang menyibak tirai. Ini adalah momen kita disibakkan tirainya dan melihat satu textbook example mengenai apa yang sebenarnya para empire lakukan ketika mereka hendak mengasimilasi manusia. Babilonia hanyalah satu contoh klasik dari cara membuat koloni. Babilonia melakukan ini terhadap orang-orang Yahudi, sama seperti Kerajaan Inggris dalam berbagai tempat di dunia, dan sama juga dengan Belanda di Indonesia. Itu sebabnya ini pun sama dengan apa yang kerajaan-kerajaan dunia hari ini sedang lakukan terhadap Saudara dan saya, misalnya kerajaan sekularisme, kerajaan materialisme, kerajaan konsumerisme, dst.
Ada empat hal yang bisa kita lihat dalam bagian pertama ini, mengenai modus operandi kerajaan-kerajaan dunia. Yang pertama, kerajaan dunia berfokus pada golongan elit. Ayat 3 dan 4, Raja bertitah untuk membawa beberapa orang Israel yang berasal dari keturunan raja, kaum bangsawan, orang-orang muda yang tanpa cacat, yang berperawakan bagus, paham berbagai-bagai hikmat, berpengetahuan banyak dan yang mempunyai pengertian tentang ilmu, cakap bekerja, dst. Saudara, ini orang-orang apa? Sebagaimana kita sudah bahas, dalam pembuangan pertama ini, yang diangkut ke Babilonia hanyalah jumlah yang relatif kecil, namun berdampak, karena yang diambil adalah orang-orang dari kalangan elit. Daniel dan kawan-kawannya adalah golongan aristokratis, masih sangat muda –berarti potensi tinggi; intelektual –berarti bisa memimpin, dsb. Ini kalangan orang-orang high capacity. Inilah yang jadi target kerajaan-kerajaan dunia.
Kerajaan dunia tidak pernah tertarik dengan orang yang biasa-biasa saja, mereka mencari orang-orang di lapisan ring satu, entah dari segi kelas sosial, atau kemampuan, dst. Ini masuk akal, karena tujuan kerajaan-kerajaan dunia memang untuk mengubah budaya; dan budaya itu diubahnya dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas. Kalau Saudara mau mengubah suatu bangsa, Saudara harus menargetkan golongan elitnya. Saudara mau mengubah Indonesia, caranya adalah Saudara harus pegang influencer-influencer-nya –demikian istilah zaman sekarang. Kalau Saudara bisa menarik influencer-influencer itu ke pihakmu, maka semua orang sisanya, entah mereka suka atau tidak suka, akan ikut terpengaruh, karena namanya juga influencer, mereka mempengaruhi (influencing) orang lain. Ini modus operandi yang normal. Orang Babel mengatakan, ‘Tidak usah bawa semua orang Israel kemari, ngapain?? Tidak ada tempat juga. Cukup bawa orang-orang kunci; mendapatkan orang-orang ini, bisa mempengaruhi orang-orang ini, maka dapat sisanya’. Itu hal yang pertama; yang kerajaan dunia lakukan adalah berfokus pada orang-orang elit.
Yang kedua, mereka berfokus pada orang-orang elit ini dalam hal edukasi, pendidikan. Ayat 4 dan 5, dikatakan mereka akan diajar sastra dan bahasa orang Kasdim, dididik selama tiga tahun, sesudah itu bekerja pada raja. Demikianlah Daniel dididik 3 tahun mengenai bahasa, sastra, dan berbagai ilmu, lalu pada akhir periode ini mereka bekerja pada raja.
Saudara lihat, kerajaan dunia pada dasarnya melakukan pendidikan, berfokus pada pemuridan –mereka melakukan katekisasi sebenarnya. Mereka membentuk cara berpikir suatu bangsa dengan mendidik golongan elitnya. Inilah cara kerajaan dunia. Ini menarik, karena edukasi tentunya bukan satu hal yang jelek pada dirinya sendiri. Kita sangat bersyukur kalau bisa tinggal di tempat yang anak-anak kita bisa mendapat pendidikan bagus; dan kerajaan-kerajan besar dunia jelas pendidikannya bukan abal-abal. Salah satu faktor penting, bahkan utama, ketika menentukan mau tinggal di mana, adalah tempat-tempat yang biasanya merupakan pusat-pusat kerajaan dunia, karena di tempat-tempat itulah Saudara menemukan edukasi yang berkualitas. Yang menarik, yang kerajaan dunia lakukan selagi mereka mendidik manusia dalam hal-hal yang memang penting dan perlu, adalah dengan sendirinya juga mendidik cara berpikir mereka, cara arah hati mereka, seperti apa arah hati yang harus dimiliki warga-warga kerajaan-kerajaan dunia ini kalau mereka mau belong. Ini terdengar seram, namun dalam praktikanya sama sekali tidak ada nuansa seperti itu, it’s just happens. Sebabnya budaya itu powerful, adalah justru karena kita tidak lagi merasakan di mana pengaruhnya, tidak ada nuansa seram sama sekali. Saudara, inilah tirai yang memang perlu disibak.
Daniel dan kawan-kawannya tidak menolak edukasi tersebut. Kita mungkin kaget akan hal ini, karena kita ingatnya pasal 1 menceritakan kisah Daniel yang tidak sudi kompromi dalam hal sekecil urusan makanan. Tapi ternyata tidak. Daniel yang sama adalah Daniel yang tidak menolak edukasi tersebut, dia menerima pendidikan Kerajaan Babilonia; Daniel yang sama ini juga pasti ikut pakai baju-baju mereka, bahasa mereka, dan segala macam lainnya. Jadi, poin dari hal ini bukanlah untuk kita jatuh ke dalam urusan simplistik, misalnya sebagai orangtua lalu setop mengirim anak-anak kita ke sekolah-sekolah dunia dan menganggap bagi umat Allah hanya model homeschooling yang halal. Namun di sisi lain, kalau Saudara menyadari kita hidup di dunia ini sebagai orang buangan, maka berarti Saudara harus ingat bahwa tanggung jawab mendidik dan memuridkan seorang anak, ujungnya ada pada engkau sebagai orangtua, tidak bisa dilempar ke sekolah ataupun Sekolah Minggu.
Yang ketiga, modus operandi kerajaan dunia adalah mulai dari perkara-perkara kecil. Dalam alur kisah kitab Daniel, kisah Daniel dan kawan-kawannya pada dasarnya adalah kisah-kisah ketika mereka tabrakan dengan berbagai perintah dan hukum dari raja-raja Babilonia, maupun Media-Persia. “Sembah ini! Jangan doa di sini dulu, kalau tidak, kamu masuk ke gua singa!”, dsb. Ketegangan utama dalam kisah-kisah ini, memang mengenai bagaimana Daniel dan kawan-kawannya mempertahankan kesetiaan mereka dalam konflik-konflik tersebut. Tapi perhatikan, tantangan-tantangan ini datangnya tidak langsung ke hal yang bersifat prinsipiil; ini datangnya gradual, ada eskalasi. Di pasal 1, perintah raja baru urusan makanan, ranah gastronomic, ranah yang luar. Berikutnya baru perintah raja yang menyangkut urusan publik, “Ayo, sembah patung patung ini di hadapan semua orang”. Berikutnya lagi, perintah raja yang menyangkut bahkan urusan privat, “Kamu tidak boleh berdoa kepada Allahmu, cuma boleh berdoa kepada allah yang ini”, dsb. Perkaranya makin lama makin besar. Namun yang menarik, kitab Daniel sengaja mencatat perkaranya tidak mulai dari situ, perkaranya dumulai dari perkara-perkara yang kecil; ayat 5, raja menetapkan bagi mereka setiap hari, porsi makanan dan minuman dari meja raja.
Kalau Daniel dan kawan-kawannya tidak masalah dengan edukasi, baju-baju, serta bahasa Babilonia, apa salahnya sih terima makanan? Bukankah ini hal yang remeh? “Ah, enggak dong, ini problem besar, Pak”. Apa problemnya dengan makanan ini? Kalau Saudara cek commentary-commentary para scholars Alkitab yang cukup bertanggung jawab, konsensusnya adalah mereka bingung, sebenarnya apa sih problem makanannya. Saudara mengatakan, “Bukannya sudah jelas ini makanan yang pasti sudah dipersembahkan kepada para dewa dan berhala? Makanya problematik”. Dalam hal ini, belakangan Paulus tidak masalah dengan hal ini. Dan, sikap alkitabiah terhadap penyembahan berhala tidak cuma satu sisi. Tentu saja ada sisi di mana Alkitab mengatakan untuk waspada dan peka akan segala bahaya bentuk pemberhalaan yang mungkin kamu tidak sadari atau kurang sadari, tapi itu tidak berarti kita sebagai orang Kristen begitu ada sedikit bau-bau berhala langsung harus menjauh sjauh-jauhnya. Ada sisi yang kedua dalam hal sikap terhadap penyembahan berhala, yaitu kita juga harus waspada terhadap over reaction.
Salah satu bahaya pemberhalaan adalah kita kelewat serius menanggapi hal-hal yang sebenarnya tidak ada kuasa ilahi riil di belakangnya. Misalnya, ada orang pasang jimat gunung Kawi di pintu tokonya. Memang benar Saudara tidak bisa meremehkan begitu saja, Saudara perlu peka bahaya pemberhalaan, namun fokus yang tepat adalah pada bahaya pemberhalaan di dalam hati si pemilik toko, bukan pada keberadaan jimat itu sendiri. Saudara tidak menjadi orang yang begitu lihat jimat, langsung lari jauh-jauh, kalau tersentuh sedikit saja lalu merasa harus mandi kembang tujuh kali dengan air suci, dsb., karena masalahnya bukan di situ. Mengenai makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala, di satu sisi Paulus mengatakan, “Jangan ikat dirimu dalam persekutuan dengan penyembahan roh-roh seperti itu; tidak boleh”; di sisi lain ia mengatakan, “Tapi makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala, silakan saja, karena allahnya memang tidak ada; cuma ada satu Allah di dunia ini, yaitu Allah yang kita sembah, Allah Alkitab”. Inilah posisi Alkitab. Tidak simpel satu sisi doang.
Kalau tujuan Daniel menolak makanan tersebut karena itu makanan yang dipersembahkan kepada berhala, kenapa dia lalu minta sayuran? Dalam bahasa aslinya ‘sayuran’ di sini sebenarnya biji-bijian (seeds). Perlu diketahui, pada zaman itu daging tidak diakses orang kebanyakan. Dalam sistem keimaman orang Israel sendiri, di kitab Imamat ada peraturan yang memperbolehkan mereka mempersembahkan hal-hal seperti tepung, buah-buahan, biji-bijian, sayur-sayuran, kepada Tuhan. Jadi makanan vegetarian bukanlah solusi kalau Saudara mau menghindari makanan yang dipersembahkan kepada para dewa, karena kira-kira bisa ditebak bahwa persembahan makanan tidak jauh berbeda antara bangsa-bangsa pada waktu itu.
“Jika bukan karena makanan itu dipersembahkan kepada para dewa, mungkin karena makanan itu ‘gak halal, Pak, cara dagingnya dipersiapkan mungkin tidak halal menurut hukum Israel, maka makan sayur saja”. Bisa jadi. Tapi Saudara baca, Daniel juga menolak anggur; dan anggur tentu tidak ada masalah dalam hal itu sama sekali. “Apa mungkin karena daging dan anggur itu kategori makanan pesta, sementara Daniel dan kawan-kawannya sedang dalam pembuangan, sehingga mungkin mereka merasa tidak pas kalau dirinya seperti merayakan pembuangan ini?” Oke; tapi kenapa di ayat 8 Daniel menggunakan istilah bahwa dia tidak mau makan itu karena itu makanan yang menajiskan/mencemari? Aneh ‘kan kalau urusannya karena ini makanan kategori pesta? Inilah sebabnya para scholars Alkitab pun tidak benar-benar yakin apa yang sebenarnya jadi masalah di sini; dan mungkin poinnya memang justru itu. Urusan makanan di sini mungkin memang tidak seserius yang kita pikir selama ini, ini urusan remeh, urusan makanan tok, sesuatu yang secara moral netral. Lalu kenapa jadi masalah? Karena memang cara kerja kerajaan dunia mulainya dari hal-hal seperti ini.
Kerajaan dunia memulainya dari langkah-langkah kecil seperti ini. “Ini makanan kami, ini minuman kami, cobain deh!” Lalu Saudara mencobanya, Saudara mulai menikmati, lama-kelamaan mulai membutuhkan dan mulai bergantung pada makanan minuman tersebut, “Gua lebih suka makanan kayak beginilah, daripada cuma makan biji-bijian dan air tok.” Lalu apa langkah berikutnya? Mereka akan mengatakan, “Cobain yang ini juga deh, cobain yang itu juga”. Lama-kelamaan hal-hal itu menumpuk dan menumpuk, lalu Saudara tanpa sadar simply sudah menjadi salah satu dari mereka, Saudara sudah kehilangan identitasmu. Pada saat itu, ketika Nebukadnezar datang dan mengatakan, “Ayo, sembah dewa kami”, Saudara akan mengatakan, “Ya, sudahlah, pernak-perniknya juga sudah gua pakai semua, tinggal satu langkah terakhir ini, why not??” –apalagi kalau Saudara sekarang sudah bergantung dengan semua itu.
Tantangan pertama ini menggunakan contoh makanan, saya rasa karena poinnya bukan urusan makanan itu sendiri. Jangan fokus di situ, sama seperti soal jimat gunung Kawi tadi bukan urusan benda jimatnya sendiri. Dalam konteks kita hari ini, ada sesuatu yang mungkin mau diungkapkan lewat tantangan makanan tadi, bahwa tantangannya tidak harus soal makanan, tapi simply hal-hal yang dalam kategori moral termasuk netral, seperti tidak ada salahnya, harmless –dan problemnya memang bukan di situ. Problemnya adalah, setelah itu lalu ke mana. Dari sesuatu yang netral, lama-kelamaan jadi kebutuhan, lama-kelamaan jadi ketergantungan, tidak bisa hidup tanpa itu; dan begitu kita tidak bisa hidup tanpa itu, inilah momen hal itu mulai jadi berhala. Ini membuat kita kompromi dalam penyembahan kita kepada Tuhan, demi mendapatkan hal-hal tersebut. Jadi mulainya dengan langkah-langkah kecil, namun lama-kelamaan kita mulai merasa membutuhkan, ketergantungan, dan mulai jadi pemberhalaan. Hal-hal ini apa? Tidak harus makanan; yang tadi itu cuma contoh.
Omong-omong, satu contoh yang paling dekat dengan konteks hidup kita hari ini, adalah layar (layar HP). Saudara taruh layar di kantong baju/celana, apa salahnya sih. Layar itu sangat netral secara moral; tergantung isinya apa, bisa baik, bisa jelek, netral. Banyak parents, dan juga grandparents, memberikan anak cucu mereka layar, karena apa salahnya sih layar?? Tapi kita tahu, betapa cepat sesuatu yang tadinya kita pikir netral lalu mulai jadi kebutuhan, dari kebutuhan menjadi ketergantungan, dari ketergantungan menjadi jalan pemberhalaan masuk ke dalam hidup kita. Contoh yang lain, financial security. Ini satu hal yang baik; adalah baik untuk bisa mandiri, tidak berkekurangan, tidak jadi beban orang lain. Tapi lihat, betapa hal ini dalam kehidupan zaman modern bisa dengan mudah bergerak jadi satu kebutuhan, lalu ketergantungan, “Gua ‘gak bisa hiduplah kalau ‘gak punya aset-aset finansial untuk jadi back up”. Begitu Saudara merasa seperti itu, tidak jauh langkahnya untuk Saudara mulai mengambil kompromi-kompromi spiritual, termasuk misalnya: gua jangan nikah dulu deh sebelum gua mapan; gua ‘gak mau punya anak deh sampai gua yakin bisa membiayai mereka nanti kuliah di 30 negara; dsb.
Kerajaan dunia tahu bahwa Saudara mengambil kompromi spiritual untuk memastikan financial security, itu dimulai dari hal yang kecil, maka yang mereka lakukan adalah mulai dari langkah-langkah yang kecil. Itu sebabnya perintah kedua dalam Sepuluh Hukum adalah: “Jangan jadikan bagimu berhala dari …”; dari apa? Dari pornografi? Dari abusive relationship? Dari narkoba? Tidak. “Jangan mengambil bagimu apapun, baik itu di bumi, di atas bumi, di bawah bumi, di lautan”; itu maksudnya mau mengatakan apa? A sampai Z. Semua. Segala sesuatu bisa jadi berhala. Bahkan seperti yang kita sudah sering katakan, sesuatu lebih ada potensi jadi berhala ketika sesuatu itu baik adanya. Demikian hal yang ketiga, langkah kecil.
Hal yang keempat, hal terakhir yang kerajaan dunia lakukan adalah menamakan ulang; mereka renaming things. Saudara yang sudah berumur panjang akan notice hal ini, dulu namanya rumah sakit, sekarang rumah sehat. Dalam dunia yang politically correct, ini sangat kentara; “O, ini namanya terlalu negatif, sekarang kita ganti jadi positif”; dulu namanya salesman, sekarang diganti jadi sales executive, tapi kerjaannya sih sama saja. Ini modus operandi normal kerajaan-kerajaan dunia.
Di ayat 7, pemimpin pegawai istana memberi nama lain kepada orang-orang ini. Daniel menjadi Beltsazar, nama yang Babel banget; Beltsazar dan Nebukadnezar mirip banget. Misael, yang artinya ‘siapa yang seperti El’ (siapa yang seperti Allah), menjadi Mesakh, yang artinya ‘siapa yang seperti Akhu’, dan Akhu adalah nama salah satu dewa Babilonia. Jadi bagi mereka, ‘nama-nama ini mengindikasikan nama Allah Alkitab, kita mau ubah, kita tidak mau namamu’. Kenapa ini penting? Karena menamakan sesuatu, berarti Saudara punya kuasa atas sesuatu tersebut. Kalau Saudara bisa membuat sesuatu tidak lagi disebut dalam waktu yang lama, maka lama-kelamaan itu akan menjadi sesuatu yang juga tidak lagi terpikir. Itulah yang kerajaan dunia lakukan; dan Babilonia di sini cuma contoh untuk mewakili pola yang semua kerajaan-kerajaan dunia lakukan.
Omong-omong, mendengar ini mungkin Saudara merasa khotbah hari ini jadi ada bau-bau teori konspirasi; namun sesungguhnya ini kebalikan dari teori konspirasi. Semua modus operandi kerajaan dunia yang kita bahas tadi, bukanlah sesuatu yang dipendam dan disembunyikan; ini sesuatu yang sangat jelas. Ini sesuatu yang sudah tertulis dalam buku yang paling banyak di-print sepanjang sejarah manusia, yaitu Alkitab, sudah sejak ratusan bahkan ribuan tahun. Yang paling menarik, kalau Saudara bicara dengan orang-orang insider di pemerintahan, di media, di teknologi, mereka tahu bahwa mereka melakukan ini. Mereka bukan cuma tidak menutupi, mereka juga tidak malu dengan semua cara ini. Ini bukan teori konspirasi, this is just how the world works.
Demikian poin besar yang pertama; inilah yang kerajaan dunia lakukan, yang disingkapkan oleh kitab Daniel kepada kita. Pertanyaan berikutnya, hal besar yang kedua, apa yang umat Allah yang berusaha hidup setia, lakukan, ketika mereka berhadapan dengan tekanan seperti ini?
Apa yang Daniel dan kawan-kawannya lakukan? Ayat 8: Daniel bertekad untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja; ia pun meminta kepada pemimpin pegawai istana agar diizinkan untuk tidak menajiskan dirinya. Kalau kita tidak berfokus pada urusan makanannya — sebagaimana kita lihat tadi urusan makanan bukan penting pada dirinya sendiri– maka Saudara melihat di sini Daniel berketetapan (terj. TB1), Daniel bertekad (terj. TB2). Saya lebih suka terjemahan TB1 karena langsung kontras dengan ‘ketetapan raja’ untuk memberikan porsi makanan raja, yaitu dengan Daniel ‘berketetapan’ untuk tidak makan makanan tersebut.
Tadi kita sudah mengatakan, bahwa belakangan nanti akan ada hal-hal yang benar-benar prinsipiil dan jauh lebih sulit, tantangan-tantangan yang akan dialami Daniel, yang dipaksa untuk dia lakukan; dan makanan jelas bukan dalam level tersebut. Bahkan kata ‘menajiskan’ di sini kurang tepat karena ini sebenarnya bukan kata yang sama dengan ‘najis’ (tame) dalam kitab Imamat, kata ini dalam bahasa aslinya adalah gaal. Kata gaal bisa diterjemahkan sebagai lain, strange, atau bahkan lepas, karena gaal adalah istilah untuk menebus, membebaskan, melepaskan, me-lain-kan, bukan najis. Jadi, ini some sense dalam urusan ini Daniel berketetapan untuk tidak membuat dirinya lain, untuk tidak melepaskan dirinya, lewat urusan makanan tersebut. Apa maksudnya, melepaskan diri dari apa?
Setelah para scholar tadi bingung apa sebenarnya yang jadi problem dengan makanan ini, akhirnya secara umum konsensus mereka adalah: Daniel menolak makanan tersebut bukan karena urusan dewa, bukan urusan hukum moral, dsb.; dia menolak makanan itu simply karena ini makanan Babilonia. Itu saja. Ini menyeimbangkan pembahasan kita tadi, yang mengatakan makanan bukan urusan yang penting –dan memang benar– tapi juga bahwa signifikansi apa yang dibawa oleh sebuah makanan, itu tidak remeh. Makanan sesungguhnya salah satu hal yang paling dekat dengan identitas manusia.
Kalau Saudara pernah tinggal di luar negeri, Saudara akan lebih peka dengan hal ini. Di Indonesia, Saudara tidak cari makanan Indonesia, Saudara cari makanan Jepang, makanan Italia, dsb.. Tapi kalau Saudara cukup lama tinggal di luar negeri, Saudara akan mencari makanan Indonesia. Semua orang yang tinggal di luar negeri, misalnya belajar, bekerja, pasti tahu di mana Asian grocery terdekat, karena itu penting banget. Saya, sebelum ke Melbourne, tidak hobi nyambel; tapi begitu di Melbourne, saya bela-belain pergi ke Asian grocery dan beli sambal botol cap Ibu Jari, lalu makan pakai itu, padahal di Indonesia saya tidak ada kebiasaan makan sambal itu. Kenapa demikian? Because it reminds me of home, karena ini makanan yang mengingatkan kepada saya, siapa diriku ini, saya ini orang Indonesia. Ini sesuatu yang natural.
Makanan sebenarnya salah satu hal yang paling dekat dengan identitas; jadi mungkin inilah yang dimaksud ketika dikatakan Daniel berketetapan untuk tidak me-lain-kan dirinya, melepaskan dirinya, dari identitasnya sebagai umat Tuhan. Inilah tempat di mana Daniel menarik garis batas sebagai orang Yahudi di pembuangan, meskipun makanan ini sama sekali bukan sesuatu yang menajiskan pada dirinya sendiri. Daniel menerima ilmu, nama, baju Babilonia, mungkin karena itu sesuatu yang ditambahkan dari luar ke dalam, sesuatu yang ekstra, jadi tidak masalah; sedangkan urusan makanan adalah sesuatu yang sudah ada di dalam, sudah dari sononya, yang dia tidak mau lepas.
Sekali lagi, yang penting bukan apa bendanya, tapi ketika kita mau melakukan hidup yang setia, kita perlu menarik garis somewhere. Signifikansinya adalah: sama seperti kerajaan dunia bekerja mulai dari langkah-langkah yang kecil, maka kesetiaan kepada Tuhan juga dimulai dari perkara-perkara kecil. Dari urusan makanan pun, Daniel sudah memulai habit untuk berdiri teguh. Dia membuat ketetapan/tekad dalam hatinya untuk menarik garis dan bertahan di situ. Sebagai orang yang berada di pembuangan, mungkin akan berpikir, “Sudahlah, ini ‘gak usah dipermasalahkan, nanti urusan yang lebih prinsipiil baru saya akan tarik garis; kalau disuruh menyembah berhala, baru saya akan setop”. Tapi realitasnya tidak sesimpel itu. Daniel belakangan bisa kukuh dalam hal yang lebih prinsipiil, sedikit banyak karena dia kukuh dalam hal-hal yang kecil. Ingat perkataan Tuhan Yesus, jangan pikir Saudara bisa setia dalam perkara besar, kalau Saudara tidak setia dalam perkara yang kecil.
Hal yang kedua, bukan cuma mengenai apa tindakannya, tapi juga dampak dari tindakan tersebut. Omong-omong, sebagai seorang buangan yang bisa dapat makanan dari meja raja, itu sesuatu yang signifikan, lambang bahwa Saudara diterima sebagi orang dalam, Saudara mendapat a seat at the table. Dalam hal ini, kalau Saudara melihat dari lensa dunia, ini kesempatan yang sangat baik untuk diterima, untuk cari aman; dan sesuatu yang amazing bahwa seseorang dalam posisi Daniel menolak hal ini. Namun di sisi lain, tindakan Daniel ini juga bukan tindakan sisi ekstrim satunya lagi. Daniel menolak sisi kompromi, itu jelas, namun Daniel juga tidak melakukan tindakan sisi ekstrim satunya lagi yaitu cari ribut. Tidak dicatat waktu Daniel melihat makanan itu dihadirkan di depannya lalu langsung histeris, “Haa… ‘gak mau aku! Aku ‘gak pernah makan seperti ini!”, dsb. Tidak dicatat Daniel tiba-tiba berbalik menyerang pegawai istana, “Lu pikir lu bisa ngatur gua makan makanan apa?? Gua racunin lu; makanan ganti makanan!” Tidak dicatat juga dia pergi ke kuil Nebukadnezar lalu menjatuhkan patung-patung dewa di sana di hadapan perkakas-perkakas Rumah Tuhan. Dia juga tidak bikin pasukan gerilya menggulingkan kuasa Kerajaan Babilonia dari dalam. Tidak. Dia simply mengambil ketetapan. Dia bertahan di posisi yang sebelumnya memang dia sudah berada di situ, dan dia tidak melepaskan diri dari posisi tersebut. Ini bukan ektsrim kiri atau kanan. Kita bisa belajar dari sini.
Saudara pasti pernah dengar dalam film-film, “Don’t just stand there, do something! Jangan cuma bengong berdiri di situ, tok, lakukan sesuatu dong; yang penting adalah lakukan!” Namun sebagai orang Kristen, kadang mungkin panggilan kita adalah kebalikannya; Saudara tidak perlu do anything, Saudara cukup berdiri di situ.
Gereja-gereja hari ini bikin app buat jemaatnya. Lalu orang mengatakan, “Pak, gereja-gereja pada bikin app, bikin fitur-fitur online buat jemaat; apa salahnya sih??” Dalam hal ini, kita bisa ambil ketetapan untuk tidak me-lain-kan diri kita. Kita tidak mengambil suatu arah, yang berikutnya bisa membuat kita melepas identitas ‘siapa dan apa Gereja itu’, yaitu komunitas yang berkumpul secara kelihatan, komunitas yang berkumpul secara fisik, komunitas yang dibentuk lewat liturgi tubuh-tubuh dan badan-badan dan tangan dan kaki dan suara dan perut. Namun di sisi lain, mempertahankan berdiri di posisi seperti ini, tidak berarti Saudara perlu menyerang gereja-gereja lain yang berjuang untuk melayani dalam ranah online. Saudara lihat balance-nya? Ini yang Daniel lakukan.
Demikian sama halnya ketika Saudara di dunia sekuler. Saudara diajak dugem, nge-drugs, maka Saudara perlu menarik garis, mempertahankan dirimu di posisi yang memang sudah ada itu. Namun di sisi lain, Saudara juga tidak perlu menyerang, tidak perlu jadi orang yang menghakimi orang-orang itu dan menuding mereka setan. Sometimes Saudara cukup dengan berdiri mempertahankan posisimu dan tidak beranjak dari situ, karena memang itulah identitasmu, itulah yang selama ini engkau rasa perlu dipertahankan; itu saja. Tidak perlu lebih dari itu. Tapi Saudara lihat, kadang-kadang lebih susah untuk mengambil posisi in the middle kayak begini; kita rasa lebih gampang salah satunya: kompromi, ikut-ikutan, atau melawan dengan segenap kekuatan kita.
Tindakan Daniel bukanlah ekstrim kompromi, dan juga bukan ekstrim gerilya, maka dampaknya juga unik. Pertama-tama, dampaknya pada Daniel sendiri, yaitu ini membuat hidup Daniel jadi lebih sulit. Tujuan mereka diberi makanan dari meja raja adalah untuk memastikan mereka sehat, fit, berisi. Lalu sekarang Daniel dan kawan-kawannya harus mencapai kondisi seperti itu, hanya lewat makan biji-bijian dan air; ini jauh lebih susah. Makanan raja ‘kan berlimpah ruah, porsinya banyak, bisa tambah seenaknya, berlemak-lemak, enak, belum lagi dicampur anggur pula, yang tentunya anehlah kalau ‘gak gendut; dan dengan demikian keputusan Daniel ini mempersulit dia untuk mencapai apa yang orang lain capai dengan jauh lebih mudah.
Kita bisa melihat ini sebagai contoh perwakilan bagi semua aspek hidup kita di dunia ini; dan inilah panggilan kita. Misalnya Saudara seorang pelajar; karena Saudara orang Kristen yang tidak akan melepaskan dirimu dari identitas umat Allah, maka ada hal-hal yang tertutup bagimu, yang mungkin terbuka bagi orang lain, sehingga untuk mencapai prestasi yang sama, Saudara harus bekerja lebih keras dibandingkan orang lain. Atau misalnya dalam hal kita tidak setuju LGBT, bagaimana sebagai seorang mahasiswa bisa mempertahankan posisi seperti itu di tengah-tengah komunitas yang pro-LGBT? Susah banget. Orang lain kalau mau menyerang Saudara, gampang sekali, tinggal membeo kalimat-kalimat atau slogan-slogan yang mereka baca di sosmed, yang mereka dengar sekelebat; sedangkan kalau Saudara mau melawan kalimat-kalimat seperti itu, Saudara harus belajar lebih, Saudara harus belajar Firman Tuhan, Saudara harus mengerti duduk permasalahnya, lalu juga belajar cara menyampaikan posisimu dengan kasih, tanpa penghakiman. Saudara harus belajar berapologetika, tapi berapologetika-nya dengan simpati, sementara orang lain tinggal membeo. Untuk mencapai posisi yang sama dalam conversation publik, Saudara harus berjuang lebih keras daripada orang lain. Itu setengah mati. Atau Saudara seorang pengusaha, dan bertekad memberikan kepada Tuhan apa yang milik Tuhan dan memberikan kepada kaisar apa yang milik kaisar, maka Saudara tidak mau pakai cara-cara legal loophole untuk menghindari bayar pajak. Ketika ini terjadi, kompetitor-kompetitormu akan mendapat keunggulan di atasmu; dan akhirnya untuk mencapai level yang sama –omzet yang sama– Saudara harus kerja lebih keras daripada mereka. Ketika ada partner bisnis yang melanggar janji, Saudara tidak bisa pakai cara-cara dunia seperti panggil preman, Saudara harus panggil partner bisnis ini, bicara baik-baik. Ini akan merepotkanmu, menguras kesabaranmu, menghabiskan waktumu.
Saudara harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan efek yang sama. Sadarkah Saudara bahwa ini panggilanmu sebagai umat buangan di dunia ini? Sering kali bukan saja kita tidak sadar ini panggilan kita, kita malah protes, mengeluh, ketika berhadapan dengan realitas seperti ini. Saudara tentu tahu cerita-cerita film perjuangan orang kulit hitam, misalnya dalam konteks Amerika untuk jadi pilot kulit hitam pertama, polisi kulit hitam pertama, ahli bedah kulit hitam pertama, dsb. Apa yang sering kali muncul? Yaitu mereka semua sadar, bahwa realitas menjadi imigran, orang-orang pendatang, orang-orang “buangan”, yaitu sering kali memang harus kerja jauh lebih keras dibandingkan orang-orang lain, hanya untuk mencapai level yang sama. And yet, inilah yang justru memberikan mereka sense of purpose, memberikan mereka sense of calling dalam hidup ini, yang jadi sumber identitas dan kebanggan mereka; sementara kita sebagai orang Kristen, menolak hal ini. Ironis.
Ultimatelly, sebabnya kita memperjuangkan cara seperti ini, adalah karena dampaknya tidak cuma kepada diri kita, tapi juga kepada orang lain. Sebabnya Daniel pakai cara seperti tadi, karena dia memperhitungkan dampaknya bagi orang lain, tidak cuma dirinya sendiri. Waktu dia mengatakan, “Aku tidak mau makan makanan ini, berikan sayur saja”, pegawai istana mengatakan apa? “Aduh, jangan begitu; kalau kamu kurus gara-gara ini, kepalaku hilang. Ini merugikanku.” Lalu apa Daniel mengatakan ‘salah sendiri jadi pegawai raja bengis macam Nebukadnezar; bodo amat, aku ‘gak peduli’ ? Tidak. Daniel cari jalan tengah: “Aku ingin mempertahankan identitasku, kamu ingin dapat pegawai yang sehat-sehat. Coba tes dulu 10 hari; kalau tidak berhasil, silakan pakai caramu, tapi kalau berhasil, ‘kan aman, win-win solution”. Jadi tindakan Daniel didesain bukan cuma untuk dirinya sendiri, tapi –meminjam bahasanya Yeremia– didesain demi kesejahteraan kota tempat ia dibuang. Itu sebabnya inilah misi Kerajaan Allah, menjadi saluran berkat.
Sering kali sebagai orang Kristen, kesalahan kita dalam memperjuangkan kesetiaan kita, iman dan identitas kita, yaitu kita tidak memperhitungkan dampak negatifnya terhadap orang di sekitar kita. Pada akhirnya, kita mempertahankan identitas kita, namun orang lain yang kena batunya. Itu bukan yang Saudara baca di sini. Daniel mempertahankan identitasnya dengan membayar batunya, demi kesejahteraan orang lain. Saudara tentu tahu, ini pola yang mengarah kepada siapa. Itulah identitas umat Allah. Itulah panggilan Abrahamik. Saya tidak bilang ini gampang. Ini butuh bijaksana yang berbeda-beda, untuk situasi yang berbeda-beda, tapi inilah panggilan kita. Saudara siap atau tidak untuk itu? Omong-omong, kami dalam kepengurusan membicarakan bahwa soal parkir, khususnya untuk KU 2, sudah mulai mengganggu. Kita sudah melihat tadi, bahwa waktu mulai ada pengaturannya supaya parkir di depan gereja tidak mengganggu, itu berarti hidup Saudara tambah sulit karena mungkin harus parkir lebih jauh, menyeberang jalan, dsb., dan saya ingin tahu: kita siap untuk menjalani panggilan seperti ini atau tidak.
Hal ketiga, karakteristik orang buangan yang setia adalah mereka stick together, mereka punya solidaritas. Yang berketetapan untuk urusan makanan tadi, Daniel seorang diri, tapi waktu dia mengusulkan ujiannya, dia mengatakan: “Ujilah hamba-hambamu” –plural. Saudara bayangkan kalau jadi Sadrakh, Mesakh, Abednego; Saudara mungkin mengatakan, “Lho, lho, tunggu-tunggu, kenapa lu bawa-bawa gua?? Gua sebenarnya kepingin coba itu babi panggang …”. Mereka tidak bereaksi seperti itu, mereka tidak komplain. Mereka berdiri bersama dengan Daniel; “Kami ikut kamu, kami juga akan makan biji-bijian dan air saja”. Kadangkala Gereja perlu belajar melakukan hal ini. Kalau kita melihat diri sebagai komunitas kaum buangan, kita dengan sendirinya menyadari makna kesatuan tubuh Kristus. Problem dari satu orang, adalah problem semua orang. Solidaritas.
Satu hal yang menyedihkan –namun ini menarik– menurut data tahun lalu, di Gaza penduduknya hanya sekitar 4% yang tidak perlu pindah meninggalkan rumah mereka, yang lain semuanya pergi, entah karena rumahnya hancur, atau akan segera hancur. Dan tahukah Saudara, dari 4% yang masih punya rumah itu, mereka tidak mengatakan, “Puji syukur gua ‘gak usah pindah; orang-orang lain itu kasihan, deh”; mereka justru merasa tidak punya hak untuk tetap tinggal, banyak dari mereka yang ikut pindah, simply karena solidaritas. Saudara tahu yang namanya sindrom survivor’s guilt? Kalau ada orang termasuk pasukan 12 tentara yang kena musibah diserang musuh, dan semua mati, sisa orang itu sendiri yang hidup, lalu orang-orang mengatakan, “Puji syukur, kamu tetap hidup”, maka orang yang satu ini bisa mati bunuh diri, karena survivor’s guilt, kenapa semua squad mati, aku sendiri yang sisa, siapa aku?? Inilah solidaritas.
Sometimes Gereja perlu menyadari, kalau kita hidup sebagai umat buangan, maka hal-hal yang affecting salah satu dari kita, meski tidak kena langsung kepada kita, kita bisa hidup seakan-akan juga kena, in solidarity dengan umat Tuhan yang kena. Salah satu praktika/ritualnya yang kecil: doa syafaat. Doa syafaat itu salah satu halangannya adalah: kita disuruh mendoakan yang bukan beban kita, bukan kebutuhan kita. Itu salah satu tes-nya, kita melihat diri kita sebagai sama-sama umat Allah yang terbuang di dunia ini, atau tidak. Yohanes Calvin memberi satu pedoman dalam berdoa syafaat, dia mengatakan: coba tanya dirimu, apa yang kamu butuh, lalu doakan itu kepada Tuhan, bagi orang lain; karena somewhere out there pasti ada umat Allah yang membutuhkan hal yang kamu butuhkan itu. Itu latihan untuk membangun sense of solidarity.
Demikianlah tiga hal yang kita lihat dilakukan Daniel dan kawan-kawannya, mengenai apa yang perlu dilakukan kalau kita adalah umat Allah di tempat terbuang, dan kita mau mempertahankan kesetiaan kita. Kalau berhenti di sini, Saudara pasti sangat discourage. Pertama, karena Saudara dibukakan seperti apa kerajaan dunia bekerja, hal-hal yang kita rasa netral dan normal ternyata begitu berbahaya. Selanjutnya, respons kita yang seharusnya, itu pun mempersulit hidup kita sendiri. Jadi kalau berhenti sampai di sini, ya sudah, mati saja, kita. Itu sebabnya pasal ini tidak berhenti di situ. Pasal ini tidak berhenti pada apa yang kerajaan dunia lakukan, pada apa yang Daniel dan kawan-kawannya lakukan, tapi apa yang lalu dilakukan Allah, mewakili, dan bagi, orang-orang yang terbuang ini. Saudara lihat ini dalam dua bagian, pertama di ayat 9: Daniel dikaruniai Allah kasih dan sayang dari pemimpin pegawai istana itu.Saudara jangan pikir Daniel survive karena dia setia; karena kalau tidak ada kasih sayang dan perkenanan ini, tamatlah riwayat Daniel. Yang kedua di ayat 17-19: Kepada keempat pemuda itu Allah memberikan pengetahuan dan kepandaian tentang berbagai sastra dan hikmat, … juga mempunyai pengertian tentang berbagai penglihatan dan mimpi. Di penghujung waktu yang ditetapkan raja untuk membawa mereka menghadap, … Raja bercakap-cakap dengan mereka; … tidak ditemukan seorang pun yang setara dengan Daniel, Hananya, Misael dan Azarya. … Dalam tiap-tiap hal yang memerlukan kebijaksanaan dan pengertian, yang ditanyakan raja kepada mereka, didapatinya bahwa mereka sepuluh kali lebih cerdas daripada semua ahli ilmu gaib dan semua tukang jampi…, dst. Saudara lihat, ini dari mana? Dari Tuhan.
Ketika kita, orang-orang Kristen, mengalami berbagai tantangan sebagai musafir, sebagai orang-orang buangan, kita perlu mengingat bahwa kita tidak sendirian. Cerita hidupmu bukanlah cerita mengenai engkau melawan kerajaan-kerajaan dunia. Cerita hidupmu bukanlah cerita mengenai Gereja melawan segala hal yang ada di dunia. Cerita hidupmu bukanlah cerita mengenai engkau melawan bos-bosmu yang membenci Kekristenan, atau apapun. Tidak ada orang yang akan expect engkau bisa menang kalau ceritanya seperti itu. Keberhasilan kita, kemenangan kita, itu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, yang memberikan karunia, yang memberikan belas kasihan kepada orang-orang di sekitar kita, yang memberikan pengertian, bijaksana, ilmu, pelajaran, penglihatan, mimpi, dsb. Dialah Allah yang mempunyai segala sesuatu ini; dan kalau Dia memutuskan memberikannya kepadamu, kerajaan dunia entah suka atau tidak suka, tidak bisa melakukan apa-apa.
Sometimes ini berarti, sebagaimana yang terjadi pada empat orang ini, mereka menjadi orang-orang yang tiada taranya. Kita melihat ini terjadi. Contohnya, ada sekolah-sekolah Kristen yang lulusannya lebih diminati oleh perusahaan-perusahaan dibandingkan sekolah-sekolah elit sekuler yang lain, karena mereka ternyata bukan cuma punya ilmu, tapi juga karakter yang lain, yang sangat dibutuhkan dan sangat berguna bagi dunia bisnis dan dunia kerja. Itu benar terjadi. Namun di sisi lain, kadang-kadang juga berarti sebaliknya, Saudara bisa jadi dilempar ke perapian yang menyala-nyala, ke gua singa. Ini berarti Saudara harus menyadari, yang mengontrol hasil akhirnya, itu bukan engkau; engkau tidak bertanggung jawab untuk itu, dan jangan ambil tanggung jawab itu. Itu tanggung jawab Tuhan. Tanggung jawabmu adalah menjadi orang-orang yang setia, ditengah-tengah tekanan tersebut.
Untuk bisa melakukan hal ini, kita punya satu kekuatan, yang Daniel pun tidak punya, atau setidaknya tidak sadar, yaitu Seorang Pendahulu, yang juga seorang imigran, buangan, yang meninggalkan tanah air-Nya ke dunia yang lain, menjadi musafir, pengembara; dan Dia ada di sana untuk melayani orang-orang sekitarnya. Dia di sana untuk membawa kesejahteraan bagi tempat Dia terbuang. Siapa namanya? Yesus Kristus. Dialah yang teladan-Nya menjadi pelita bagi hidup kita hari ini, yang Roh-Nya memimpin kita. Yesus itu imigran yang melayani orang-orang dan membasuh kaki mereka. Meskipun kerajaan-kerajaan dunia datang dan mencobai-Nya, mengatakan, “Sembahlah kami, nanti hidup-Mu akan nyaman; kenapa Engkau tidak mencari security dengan cara melemparkan diri-Mu dari atas Bait Allah?? Kalau Kamu melakukannya, hidup-Mu akan lebih oke”; Yesus mengatakan: “Tidak. Tugas-Ku di sini adalah untuk menjalankan kehendak Bapa-Ku, untuk itulah Aku diutus”. Di tengah-tengah tekanan dunia seperti itu, Ia setia mempertahankan identitas-Nya sebagai Anak Allah, maka Ia dikaruniai perkenanan oleh Allah. Allah memberikan Dia segala bijaksana, segala pengetahuan, segala kemampuan.
Dia dibuang ke perapian yang menyala-nyala, dilempar ke gua singa, namun Ia keluar lagi pada hari yang ketiga, pada Minggu Paskah; dan dari jubah-Nya engkau tidak bsia mencium bau terbakar sama sekali. Ia diangkat ke tangan kanan Raja yang sesungguhnya. Dari situ Ia memberikan kepada kita Meja Perjamuan, yang diatasnya ada makanan dan minuman, Roti dan Anggur untuk kita makan dan minum, yang melambangkan bukan kuasa asimilasi kolonialisme kerajaan-kerajaan dunia, tapi melambangkan karunia-Nya kepada kita untuk menjadi Tubuh-Nya, komunitas buangan di dunia ini, orang-orang yang kewarganegaraannya ada di surga bersama dengan-Nya. Ia mengatakan kepada kita, “Ambillah roti ini, ambillah anggur ini; inilah tubuh-Ku, inilah darah-Ku, yang telah diberikan kepadamu.” It reminds us home. Inilah identitas kita sesungguhnya, bukan di sini, tapi di dunia yang akan datang. Itu kekuatan yang ada padamu dan padaku.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading