Ini khotbah terakhir tema Kebangkitan untuk tahun ini. Alasannya kita perlu membicarakan ini berkali-kali dan bertahun-tahun, yaitu karena kebangkitan Yesus bukan hal yang sepele, tapi bahkan mungkin merupakan hal yang sangat sentral dalam Kekristenan. Ironisnya, selama ini cenderung dikesampingkan atau bahkan dicuekin. Kelahiran Kristus dirayakan seluruh dunia dan bukan cuma orang Kristen, Kristus mati dirayakan dan diingat oleh orang Kristen saja, tapi Kristus bangkit, bahkan orang Kristen pun banyak yang tidak mengerti apa artinya.
Untuk membuka khotbah Kebangkitan hari ini, ada satu hal menarik yang saya temukan berkaitan dengan Gereja Katolik yang baru saja memilih Paus baru, Paus Leo XIV, tanggal 8 Mei yang lalu. Pada masa dilaksanakannya konklaf untuk memilih Paus yang baru di Vatikan tanggal 7-8 Mei itu, di luar Basilika Santo Petrus itu banyak media berkumpul, banyak interview diadakan mengenai siapa yang akan jadi Paus yang baru, dst. Topik dalam interview-interview tersebut kira-kira sama, seputar ke arah mana kira-kira ideologi Paus yang baru ini, calon yang ini lebih konservatif, calon yang itu lebih progresif, dst.; Paus Francis yang telah meninggal itu terkenal sangat sayap kiri, lalu apakah Paus berikutnya bakal meneruskan arah ini atau banting setir ke sayap kanan, dst. Juga mengenai seberapa Paus yang baru nanti mendukung agenda climate change, bagaimana dengan topik imigrasi, di mana posisinya dalam urusan LGBT, dsb. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul dalam hari-hari Konklaf dijalankan. Lalu ada seorang uskup Katolik bernama Robert Barron, yang memberi pandangan sangat segar di antara semua interview ini. Barron juga ditanya mengenai hal tersebut, dan responsnya menarik. Barron mengatakan, di satu sisi dia sadar Gereja tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan-pertanyaan politik dan ideologi seperti itu, Gereja memang punya tanggung jawab untuk mengejawantahkan Injil sampai mendarat ke ranah-ranah tersebut, Gereja memang perlu punya strategi dan arah tertentu dalam menjalankan mandatnya. Namun ada satu hal yang mengganggu –demikian Barron katakan– kenapa pertanyaan-pertanyaan ini jadi prioritas utama dalam pemilihan Paus, setiap kali ada pemilihan Paus baru, selalu diskusinya terutama urusan semua itu. Selanjutnya Barron mengatakan, itu bukan tugas utama seorang Paus; yang jadi tugas atau hal utama mengenai seorang Paus, adalah urusan deklarasi Yesus yang bangkit dari kematian. Segar ya, pandangan kayak begini.
Barron actually mengutip teolog Katolik yang lain, Gerald O. Collins, yang dia katakan tahun 2005 ketika Paus Yohanes Paulus II meninggal dan mereka mengadakan konklaf untuk memilih Paus baru. Waktu itu semua orang juga menanyakan hal yang sama, mengenai apa yang kita cari dari Paus yang baru; dan jawaban-jawaban yang keluar pun mirip dengan yang hari ini, mengenai urusan posisi ideologi politik seperti apa, dst. Gerald O. Collins ketika itu mengatakan, “Kalau saya, saya ingin Paus yang bisa mempersaksikan kebangkitan Kristus kepada dunia ini, dengan cara yang compelling, yang persuasif, yang bisa membuat dunia berhenti dan berpikir”. Kenapa? Collins mengatakan: “Karena ini tugasnya Petrus; dan Paus ‘kan katanya penerusnya Petrus”. Menarik, ya.
Barron tadi melanjutkan, “Jadi urusan imigrasi, LGBT, dan lain-lainnya itu bisa belakangan kita bicarakan, tapi yang sebenarnya paling inti adalah urusan kebangkitan Yesus dari orang mati. Itulah yang terutama; maka yang saya cari dari Paus yang baru, terutama bahwa Paus yang baru adalah seorang murid Kristus, seseorang yang bisa mendeklarasikan, menyatakan, mempersaksikan kebangkitan Kristus dengan cara yang compelling kepada dunia. Itu tugas utama Paus; dan itulah yang membuat Paus bisa jadi figur yang mempersatukan Gereja, dan bukan jadi sumber perpecahan”.
Saudara lihat, ini menarik karena ironisnya sisi Injil ini sering kali dikesampingkan ketika orang membicarakan seperti apa harusnya kualifikasi seorang Paus. Segar, ya. Ini orang Katolik yang ngomong –makanya jangan setan-setanin orang Katolik; bahkan Luther dan Calvin pada zaman Reformasi memang dicap sesat oleh Katolik, tapi mereka tidak serta-merta balik mencap Katolik sesat. Namun poin kita hari ini bukan itu, poin kita adalah: urusan kebangkitan Yesus ini sangat penting tapi cenderung dikesampingkan demi hal-hal picisan lainnya, yang kita sering kali anggap lebih penting. Dan, ketika itu terjadi, salah satu akibatnya –yang Barron tadi highlight–adalah perpecahan. Memang benar ‘kan, kalau Saudara fokus pada urusan ideologi politik, ‘ini sayap kiri, itu sayap kanan’, begitu hasilnya sayap kiri maka yang sayap kanan pergi, begitu hasilnya sayap kanan maka yang sayap kiri pergi –perpecahan. Justru fokus yang tepat, yaitu pada kebangkitan Yesus, itulah yang mempersatukan Gereja. Ini paling tidak salah satu alasan kita perlu mengembalikan fokus yang tepat. Bagaimana caranya? Ada liturginya, yaitu dengan setiap tahun kita ambil waktu tidak cuma satu minggu tapi dobel 40 hari; 40 hari sebelum Paskah kita ambil waktu Lent untuk menerima Paskah, dan 40 hari setelah Paskah kita ambil waktu untuk membicarakan apa yang terjadi dalam Paskah. Demikian introduksinya.
Dalam pertemuan pertama, melalui Lukas kita melihat bagaimana Paskah begitu besar, kita perlu menerimanya dengan kerendahan hati yang rela dikejutkan, bukan dengan hati yang kolot. Dalam pertemuan kedua, melalui Petrus kita melihat dampak utama Paskah bagi kehidupan Kristiani, yaitu memberikan pengharapan yang baru, yang beda. Dalam pertemuan ketiga, melalui Paulus kita menajamkan hal ini lagi mengenai apa persisnya yang diharapkan dalam pengharapan Paskah, yaitu pengharapan yang bukan cuma penghakiman tapi juga pemulihan, pengharapan yang bukan cuma urusan jiwa tapi juga tubuh, pengharapan yang bukan cuma diberikan bagi manusia tapi bahkan sampai ke seluruh alam ciptaan ini. Dan Paulus mengatakan, ini sebabnya pengharapan seperti demikian adalah satu-satunya pengharapan yang membuat kita merasa penderitaan zaman sekarang bisa worth it.
Hari ini, kita mau menutup seri pembahasan kita ini dengan apa? Karena pengharapan yang baru ini sangat baru dan surprising, tentunya pengharapan ini tidak sebegitu cepatnya kita bisa terima. Inilah asumsi di balik bagaimana Gereja memakai waktu yang lama untuk membicarakan topik kebangkitan. Penghiburannya, bahwa Gereja sepanjang zaman memakai liturgi dengan waktu yang panjang untuk tema kebangkitan, ini membuktikan bukan cuma kita yang kesulitan tapi juga mereka sepanjang sejarah –maka mereka pakai waktu yang lama untuk hal ini.
Salah satu kesulitannya, karena pengharapan ini saking besarnya, saking agungnya, dan saking mulianya, maka pengharapan ini tidak menghilangkan penderitaan dan kematian, pengharapan ini bukan meniadakan duka. Paulus di Surat Tesalonika, mengatakan: “Silakan berduka, orang Kristen bukan tidak ada duka, tapi jangan berduka seperti orang yang tidak ada pengharapan”. Ini berarti dalam pengharapan Kristiani ada tempat untuk berduka, untuk meratap. Tapi lucunya, bukan karena ini pengharapan yang ‘ya, realistislah di dunia ini, pesimis sedikitlah, ekspektasi rendahlah, jadi sediakan ruang untuk meratap karena tidak expect tinggi-tinggi’ —bukan kayak begitu. Justru Paulus mengatakan, berhubung ini pengharapan yang saking besarnya dan saking mulianya akan suatu masa depan yang sebegitu agungnya, maka punya ruang untuk penderitaan hari ini. Susah ya, untuk menangkap ini. Ini terlalu baru, terlalu surprising, terlalu beda. Kita lebih mudah menerima versi Kristen yang tidak ada duka sama sekali, atau versi yang harapan rendah, atau bahkan tidak ada pengharapan sama sekali. Kita sulit menerima dua-duanya bersamaan.
Kesulitan yang lain, kita masih bermasalah dengan bahasa-bahasa semacam “api” dalam Alkitab, yang sepertinya dipakai untuk menandakan kehancuran bumi dan alam semesata ini, kita bingung mana yang benar dalam pengharapan kita, apakah versi langit dan bumi yang baru atau versi langit dan bumi yang hangus?? Hal ini perlu kita bereskan juga. Kita akan coba merespons kesulitan-kesulitan kita atas pengharapan biblikal yang kita sudah bahas. Khotbah hari ini jadi seperti FAQ (frequently asked questions) dalam sebuah presentasi, yang membahas mengenai apa yang jadi kebingungan/kesulitan orang-orang dalam menerima bahan presentasi tersebut. Dalam bagian seperti ini, biasanya bahan yang sama akan digaungkan lagi dari sudut yang berbeda, sehingga hopefully pengertiannya jadi lebih limpah, lebih utuh, lebih dalam. Jadi hari ini kita akan membahas dari 1 Korintus 15 (dan mungkin bagian-bagian lain) untuk merespons kesulitan-kesulitan yang mungkin kita rasa masih mentok dalam tema ini.
Kesulitan yang pertama: kenapa pengharapan yang agung malah ada ruang bagi penderitaan, dan bahkan maut? 1 Kor. 15: 35-37, Tetapi mungkin ada orang yang bertanya: “Bagaimanakah orang mati dibangkitkan? Dan dengan tubuh apakah mereka akan datang kembali?” Hai orang bodoh! Apa yang engkau sendiri taburkan, tidak akan tumbuh dan hidup, kalau ia tidak mati dahulu. Dan yang engkau taburkan bukanlah tubuh tanaman yang akan tumbuh, tetapi biji yang tidak berkulit, umpamanya biji gandum atau biji lain. Dalam 1 Kor. 15 ini Paulus sedang membahas panjang lebar dengan fokus pada kebangkitan saja. Kenapa? Kalau Saudara baca bagian awal-awalnya, Paulus mengatakan, “Bagaimana bisa di antara kamu ada orang-orang yang mengatakan kebangkitan orang mati tidak ada?” maka berarti di Korintus ada orang-orang semacam itu. Jadi pada dasarnya presentasi yang utama sudah lewat, dan orang-orang Korintus merespons dengan ‘tidak ada-lah kebangkitan orang mati’, lalu Paulus sekarang melakukan FAQ dengan mereka.
Di sini kita mendapatkan satu ilustrasi dari Paulus, yaitu gambaran kebangkitan kita dari antara orang mati sebagai gambaran biji/benih. Saya rasa ini bisa membantu kita melihat, kenapa pengharapan yang sebegitu agungnya, malah ada ruang bagi penderitaan dan maut. Ada dua poin yang Paulus berikan dari gambaran ini. Yang pertama, ayat 36, dan bagi kita semua yang waktu SD pernah ada aktifitas menanam taoge dari kacang hijau, konsep ini harusnya cukup familiar, yaitu Paulus mengatakan: “Kamu tahu ‘kan, bahwa apa yang kamu taburkan itu harus mati dulu untuk bisa hidup, harus decay (busuk) dulu, untuk bisa hidup”. Saudara lihat, ini pengharapan yang mulia, yang bukan tanpa duka dan kematian. Itu yang pertama. Selanjutnya ayat 37: “Dan, biji benih yang kita tanam itu beda dengan apa yang belakangan tumbuh”; beda tapi sama, biji itu menghasilkan pohon yang sama spesiesnya, namun apa yang ditanam itu beda dengan apa yang keluar. Ini dua hal yang kita akan lihat.
Demikian sama halnya dengan tubuh manusia dan kebangkitan –Paulus mengatakan– bahwa tubuh kita adalah seperti biji yang ditanam. Dan, apa yang terjadi ketika biji ditaman? Salah satu contoh yang mungkin kita hari ini lebih gampang bayangkan, misalnya biji kenari. Kita mungkin pikir kenari itu seperti kacang karena bisa dimakan, tapi kalau Saudara pegang kenari beneran, itu keras sekali, perlu gigi seperti gigi tupai untuk bisa makan langsung, Saudara perlu pakai tang untuk memecahkan kenari. Yang menarik, ketika satu kenari lepas dari pohonnya, jatuh ke tanah, bergulir ke sana kemari, diinjak binatang, dst., maka kenari itu mulai masuk ke dalam tanah –dikuburkan; lalu apa yang terjadi? Kulit luar kenari ini mulai membusuk, decay, rontok, runtuh –mulai mati. Namun justru karena mulai mati inilah, maka ketika hujan datang, air bisa meresap ke dalam biji tersebut, dan ini men-trigger sesuatu dalam kenari itu, mulai ada proses transisi dari kematian kepada kehidupan. Mulailah ada sulur yang keluar, ada carang-carang, ada yang naik ke atas jadi batang, ada yang turun ke bawah jadi akar. Dan, 10-20 tahun kemudian, di titik yang sama Saudara akan menemukan kenari itu sudah tumbuh jadi pohon yang luar biasa gede, bisa lebih besar daripada rumahmu.
Sekarang kita tanya: pohon yang gede ini, sama atau beda dengan kenari yang tadinya terkubur? Di satu sisi jelas beda, pohon itu pohon, kenari itu kenari. Tapi, pohonnya ‘kan dari kenari. Bahkan kalau diselidiki DNA si pohon, akan sama persis dengan yang Saudara temukan dalam si kenari. Dan, kalau Saudara gali akar pohon tersebut, akar yang paling tua, yang paling bawah dari pohon itu, akar tersebut punya sel-sel yang pada dasarnya sama dengan sel-sel yang pertama kali muncul di sulur-sulur si kenari yang terkubur tadi, yang sekarang tentu saja sudah jauh lebih gede. Jadi, apakah kenari itu sama dengan pohonnya? Jawabannya adalah, ya, dan juga tidak (ini sebabnya menjadi orang Kristen harus bisa berpikir kompleks, berpikir secara paradoks). Jadi, alasannya Paulus pakai gambaran benih/biji, karena kita melihat prinsip yang universal dalam semua jenis kehidupan di bumi ini, yaitu secara umum, bentuk awal mula kehidupan suatu spesies begitu lain dari bentuk dewasanya –dari spesies yang sama. Saudara lihat ini dalam hal benih dan pohon, telur dan ayam, embrio manusia dan manusia dewasa. Sangat beda, tapi sama.
Kenapa Paulus bisa memunculkan ilustrasi ini? Ini bukan orisinal dari dia, tapi karena Yesus telah bangkit dan pertemuan-pertemuan antara Yesus dengan rasul-rasul menyajikan gambaran seperti kenari ini. Waktu mereka bertemu dengan Yesus yang telah bangkit, Yesus ini sama atau tidak dengan Yesus yang dulu makan bersama mereka dalam perjamuan terakhir? Sama. Mukanya sama, mereka bisa mengenali Dia. Namun pada saat yang sama mereka pangling juga, ada sesuatu yang berbeda. Ini beneran Yesus yang sama, bahkan ada bekas pakunya, tapi Dia berbeda. Dia eksis dalam tubuh yang lain sekarang; tubuh yang sama, ada bekas pakunya, tapi beda. Tubuh ini somehow fisik –Dia makan ikan– tapi Dia tidak lagi bisa mati, paku di tangan dan lubang di lambung-Nya itu tidak lagi mematikan-Nya, yang normalnya kalau kita kayak begitu maka kita mati. Tubuh kebangkitan Yesus ini juga sepertinya tidak diikat dengan keterbatasan ruang sebagaimana tubuhmu dan tubuhku hari ini, atau seperti tubuh Yesus sebelum Dia mati. Sekarang setelah bangkit, Dia bisa menembus pintu yang terkunci, Dia bisa muncul dan tidak muncul sekehendak hati-Nya, dsb. Inilah sebabnya Paulus pakai gambaran kenari, ada yang sama, ada yang beda. Dan, waktu Paulus menggunakan gambaran ini, dia bukan mengklaim bahwa dia mengerti secara utuh eksistensi Yesus yang telah bangkit; justru saya pikir salah satu aspeknya adalah untuk menyadarkan kita bahwa tubuh kebangkitan adalah sesuatu yang to certain extent melampui kita.
Coba Saudara bayangkan seandainya kenari bisa ngobrol denganmu. Kita jelaskan kepada si kenari, “Ri, kamu nanti akan jadi seperti apa eksistensinya, aku mau ceritain supaya kamu tahu. Nanti suatu hari kamu akan jadi pohon yang begitu besar, membubung tinggi, dan yang di dahan-dahannya bersarang burung-burung serta anak-anaknya.” Mendengar ini semua, kira-kira si kenari akan ngomong apa? Dia akan geleng-geleng kepala, bingung, karena apa yang si kenari tahu tidak lain dari tanah, debu, dan kematian. Dunia dia seputar itu saja. Dia tidak bisa membayangkan seperti apa yang akan terjadi nanti, kemuliaan yang begitu besar, yang terlalu agung. Dan, basically kita berada dalam situasi yang sama –“… demikian juga dengan tubuh kebangkitan”, kata Paulus.
Itu sebabnya kebangkitan bukan bertabrakan dengan kematian, bukan bertabrakan dengan penguburan kita. Kebangkitan Kristiani bukanlah sesuatu yang terjadi ketika maut dilenyapkan. Kebangkitan kita justru adalah hasil dari maut yang telah dikalahkan, atau lebih tepatnya dimenangkan. Kerusakan tubuh kita hari ini –sakit, mati, dikuburkan, jasad kita busuk– itu bukan akhir dari seorang manusia, kata Paulus. Tentu saja kita percaya itu, namun di sini Paulus meneruskan bahwa kelanjutannya bukan kita lalu melayang-layang, arwah dari si kenari lepas lalu terbang ke tempat yang entah nun jauh di sana; kelanjutannya adalah sebagaimana si kenari tadi, kematian kita justru jadi proses transisi, pintu, di mana kita akan bertumbuh dan hidup. Paulus yakin dengan gambaran ini karena dia telah berjumpa dengan buah sulung dari kebangkitan ini, yaitu Yesus Kristus. Para rasul dan orang-orang dalam Perjanjian Baru percaya bahwa hal yang telah terjadi pada Yesus dengan kebangkitan-Nya, juga akan terjadi pada kita.
Sekali lagi, kenari yang terkubur di tanah, beda dengan apa yang kemudian keluar dari tanah. Kenari itu mati dan terkubur, yang keluar adalah pohon. Jelas beda ‘kan. Namun pohon ini sama dengan kenarinya –iya, dan juga tidak. Sesungguhnya sejak awal mula Kekristenan, inilah pengharapan yang didapatkan oleh karena kebangkitan Kristus. Ini adalah hal yang Bapa lakukan bukan cuma kepada Yesus Kristus, tapi juga kepada kita semua adan seluruh alam ciptaan ini. Demikian ilustrasi Paulus mengenai kenari.
Selanjutnya, ayat 42-43 Paulus kembali menekankan gambaran ini: Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Gambaran ini harusnya cukup membantu kita untuk menyadari kenapa pengharapan Kristiani itu ada ruang bagi maut dan kematian; bukan karena pengharapan kita itu ecek-ecek dan “realistis”, melainkan justru karena ini pengharapan yang terlalu agung, pengharapan yang terlalu besar, yang bahkan melampaui eksistensi kita hari ini. Ini gambaran yang pertama.
Kesulitan yang kedua: bagaimana dengan bagian-bagian Alkitab yang gambarannya seperti bukan transformasi tadi, melainkan bahwa pada akhir zaman bumi ini akan habis dimakan api, makanya kita akan pindah ke tempat lain –arwah si kenari akan keluar dan kenarinya akan dibakar habis? Memang ada bagian-bagian Alkitab yang seakan-akan bisa dibaca seperti itu, namun hari ini kita akan melihat dari 1 Kor. 15 saja. Pembahasannya akan lebih panjang, kita musti susun panggung dulu.
Kita melihat ayat 50: Saudara-saudara, inilah yang hendak kukatakan kepadamu, yaitu bahwa daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah dan bahwa yang binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa. Jadi dalam pasal ini Paulus punya beberapa gambaran; gambaran yang pertama tentang kenari tadi, dan ini actually harus diambil bersama-sama dengan gambaran yang kedua, gambaran mengenai warisan (atau ‘mendapat bagian’, dalam terjemahan TB1); terjemahan dalam TB 2: daging dan darah tidak bisa mewarisi Kerajaan Allah; yang dapat binasa –daging dan darah– tidak dapat mewarisi yang tidak binasa.
Gambaran kenari tadi, mengatakan bahwa manusia ada dua fase dalam hidupnya: fase yang sekarang yang binasa ini, dan yang masa depan yang kekal. Yang sekarang ini, Paulus mengatakan eksistensi kita adalah daging dan darah, yang bisa binasa. Kita bisa mengamini ini semua, bahwa tubuh kita mengarah pada kebinasaan, tubuh kita ini makin lama makin rusak dan hancur. Satu hal menarik, semua orang bilang kepada saya, “Jeth, nanti umur 40, lu bakal langsung merasa badan mulai menurun.” Maksudnya, waktu kita umur 40-an, kita mulai merasa badan yang tadinya naik dan naik, sekarang mulai turun. Dan faktanya, kita merasa badan kita mulai turun bukan cuma karena waktu mengerjakan sesuatu jadi gampang capek, tapi bahkan waktu beristirahat pun kita bisa lebih capek dan tambah sakit. Misalnya urusan tidur, itu jadi salah satu yang bahaya waktu kita sudah 40, karena kalau posisi tidurnya salah, bisa sakit punggung berminggu-minggu. Saya, waktu plafond rumah bocor dan kami jadi harus pindah ke kamar lain, ranjang yang lain, begitu saya tidur di ranjang itu, sakit punggung habis-habisan. Tidur, bisa menghasilkan sakit. Momen dalam hidup manusia yang paling kita identikkan dengan istirahat dan pemulihan, malah menimbulkan kesakitan. Ini realitas hidup kita sebagai manusia. Sepuluh tahun yang lalu saya rasanya tidak kayak begitu. Inilah daging dan darah, perishable, makin lama makin dekat pada kematian, makin lama makin membusuk; dan, ini tidak bisa mendapat bagian dalam hidup kita yang future, yang dalam Kerajaan Allah tidak dapat binasa, karena di sana kita kekal, kita akan selalu dekat dengan Sumber Kehidupan itu sendiri. Hidup kekal itu bukan dapat batere yang tidak habis-habis, tapi sebagaimana Yohanes katakan, hidup kekal adalah mengenal Allah, berarti kita tersambung terus dengan Allah yang adalah sumber kehidupan.
Dalam gambaran ini, Paulus sedang mau mengatakan bahwa wujud/eksistensi kita hari ini tidak sanggup untuk mewarisi –tidak sanggup untuk eksis– dalam Kerajaan Allah yang akan datang itu. Sama seperti kenari tadi, pada saat masih jadi kenari, dia tidak akan sanggup menanggung beban dari berat burung-burung yang bersarang beserta anak-anaknya, burung-burung tidak bisa bersarang di atas kenari. Suatu hari nanti apakah bisa? Bisa; tapi sekarang jelas tidak bisa.
Atau ilustrasi yang lain tentang internet. Dulu kita pernah mengalami yang namanya the dark age of internet, masa di mana untuk menyambung ke internet tidak bisa sekadar buka Wi-Fi, tapi harus pakai benda “kuno” yang bernama modem. Modem itu tidak pakai jalur khusus untuk internet, tapi mengambil infrastruktur eksisting bernama saluran telepon. Jadi dulu ada kabel telepon yang masuk ke rumah-rumah, lalu terhubung dengan pesawat telepon; dan kabel ini bisa kita cabut lalu kita masukkan ke komputer atau modem, lalu kita dial up nomor provider internet kita, lalu keluar suara yang kayak burung tercekik mau mati. Anak zaman sekarang mungkin tidak mengerti ini semua, tapi itulah yang terjadi. Dengan demikian kita bisa katakan analogi yang kira-kira sama: dulu internet memakai kabel telepon yang sebenarnya bukan didesain untuk internet, maka kabel telepon ini tidak bisa mewarisi internet berkecepatan tinggi, maka yang harus dilakukan adalah kabel telepon ini dibuang, diganti dengan saluran yang lebih baru, lebih canggih, misalnya cable, wireless, atau jaringan fiber optic zaman sekarang. Inilah saluran yang bisa mewarisi kerajaan internet berkecepatan tinggi. Kira-kira seperti itu.
Seperti itulah ilustrasi yang Paulus katakan kepada kita. Ada sesuatu dalam eksistensi kita hari ini yang harus diganti. Lalu apakah yang lama itu, yang tidak mampu mewarisi Kerajaan yang baru? Paulus menyebutnya dengan daging dan darah. Nah, di sinilah biasanya kita lalu percaya bahwa pengharapan orang Kristen adalah daging dan darah kita, tubuh kita, akan ditanggalkan, dibuang seperti kabel telepon yang hari ini kita tidak pakai lagi, kemudian kita eksis dalam mode yang baru total, misalnya mode rohani tok yang melayang-layang. Ini salah. Ini bukan poin Paulus. Dalam hal ini memang ilustrasi dial up internet tadi kurang sempurna, tapi saya sengaja pakai ilustrasi itu karena tidak bisa disangkal bahwa Paulus sepertinya melihat antara stase hidup kita hari ini dengan eksistensi yang nanti akan datang, ada sesuatu yang memang tidak akan lanjut, ada sesuatu yang harus dibuang dulu. Itu jelas.
Orang Kristen lalu membaca hal tersebut seperti ini: yang dibuang adalah sisi fisik dari eksistensi kita hari ini, (makanya pakai istilah daging dan darah), dan yang akan bertahan nanti, yang mewarisi Kerajaan Allah, adalah sisi roh dan jiwanya; jadi yang sekarang pokoknya akan dibakar, dibuang, hilang selama-lamanya, lalu masa depan kita adalah non-fisik sama sekali, atau kalaupun ada aspek fisiknya, itu eksistensi fisik yang baru sama sekali, bling-bling, tidak ada hubungan sama sekali dengan eksistensi fisik kita hari ini. Inilah sering kali yang orang Kristen percaya; kalau pun Saudara tidak percaya ini, orang-orang di luar Kekristenan melihatnya engkau percaya ini, bahwa bumi ini rusak, akan habis dimakan api kiamat. Dan, kenapa bumi ini rusak, kenapa ada kutukannya, yaitu karena ada sifat ke-fisik-an itu; bahwa apa yang fisik dan material memang jelek dari sononya, maka penghaarapan kita di masa depan adalah Allah akan menciptakan sesuatu yang rohaniah, atau kalaupun ada langit dan bumi yang baru, itu benar-benar baru dalam sense belum pernah ada sebelumnya, beda dengan yang sekarang, yang sekarang ini tidak akan tersisa sama sekali. Itulah yang sering kali orang pikir waktu membaca ayat-ayat seperti ini. Tapi, dari metafor pertama soal benih tadi, sepertinya maksud Paulus tidak sesimpel itu.
Yesus yang bangkit yang ditemui para rasul, apakah Yesus yang sama sekali beda? Tubuh lama-Nya membusuk di kubur Yusuf, orang Arimatea, lalu Allah menciptakan tubuh yang sama sekali baru? Apakah itu yang kita baca? Tidak. Atau mungkin kita mengatakan, ketubuhan Yesus yang bangkit itu cuma ilusi, sebenarnya cuma arwah yang tidak bisa dipegang. Ini tidak juga; yang kita lihat, tubuh yang lama itulah yang dibangkitkan, tubuh yang lama itu ada bekas lukanya, bisa makan ikan, bisa dikenali. Jadi ini Yesus yang sama. Namun demikian, apakah ini Yesus yang beda juga? Iya; karena apa yang ditanam, itu beda dengan yang keluar dari tanah. Poinnya: ada kontinuitasnya, ada hal yang berlanjut. Dalam konsep Paulus, Tuhan bukan simply membuang semua yang ada sebelumnya lalu bikin baru sama sekali. Seandainya seperti itu yang Paulus pikir, dia tidak pakai gambaran benih dan kenari. Tapi di sisi lain, Paulus juga tahu ada aspek di mana hal-hal dalam eksistensi kita hari ini yang tidak akan berlanjut ke eksistensi kita nanti, ada aspek dari eksistensi kita hari ini yang tidak bisa mewarisi Kerajaan allah yang tidak bisa binasa. Pertanyaannya: apakah itu persisnya? Orang umumnya mengatakan: aspek fisiknya. Tapi tidak, Saudara; bukan aspek fisiknya melainkan aspek kedagingannya. Bedanya apa?
Dalam Alkitab, itu adalah dua hal yang berbeda. Waktu Paulus mengatakan daging dan darah akan binasa, dia bukan pakai kata soma (artinya tubuh), dia pakai kata sarx (artinya daging/kedagingan). Kalau Saudara menyelidiki bagaimana Paulus menggunakan kata sarx, sarx tidak identik dengan sifat fisikmu, misalnya soal bagaimana molekul-molekul tubuhmu hari ini sedang menempati ruang dan waktu tertentu. Paulus sesungguhnya memaksudkan sesuatu yang melampaui ketubuhan ini, dengan bahasa tubuh. Mungkin cara paling baik untuk mengungkapkan ini, yaitu bahwa sarx adalah semacam mode hidup manusia, jalan hidup manusia, cara hidup tertentu, tindakan, habit, arah, motivasi, dsb., yang berujung pada kematian, sama seperti daging dan darah ujungnya kerusakan, kematian, kebusukan. Itu sebabnya pakai istilah kedagingan, bukan karena sarx bersifat fisik, tapi karena sarx bersifat fana. Semua daging mengarah pada kebusukan; dengan demikian kehidupan manusia yang juga mengarah pada kebusukan, adalah kehidupan manusia yang bersifat kedagingan. Ini yang Paulus bahas sebagai eksistensi manusia yang sarx (sarkikos).
Aspek kedagingan ini yang memang tidak ada tempatnya dalam Kerajaan Allah, karena Kerajaan Allah yang akan datang itu tidak dapat binasa, bukan tidak dapat disentuh. Yang harus dibuang adalah kedagingannya, bukan ketubuhannya. Tuhan actually punya cara lain menciptakan tubuh –seperti tubuh Yesus yang telah bangkit– yang tidak lagi mengarah pada kematian. Bisa makan ikan, bisa segala macam, namun tidak lagi diikat oleh maut, yang lubang paku dan lubang di perut itu tidak menghasilkan kematian. Saudara lihat, ternyata bagi Allah, ketubuhan tidak harus menuju pada kebusukan. Jadi yang dimaksud Paulus di sini bukan ketubuhannya, bukan kefisikannya; yang mau dibuang dan perlu dibuang, yang tidak bisa mewarisi Kerajaan Allah yang kekal dan tidak dapat binasa, adalah unsur yang dapat binasa, yaitu unsur kefanaan tubuh kita hari ini, bukan tubuh semuanya satu paket. Ingat, jangan buang air mandi bayi, beserta bayinya ikut terbuang sekalian. Sama juga, jangan anggap istilah ‘kedagingan’ yang Paulus pakai, mengacu pada segala sesuatu yang bersifat fisik; Paulus sedang memakai istilah ini untuk yang bersifat membusuk ujungnya.
Untuk lebih jelas, kita melihat ke 1 Korintus pasal yang lebih awal, yang di sini keluar istilah api, yaitu pasal 3:11-15, Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.
Di pasal 3 ini Paulus bicara mengenai kayak apa hidup Kristiani. Yang pertama, hidup Kristiani di atas fondasi yang sama, fondasi yang tidak boleh lain kecuali yang diletakkan oleh Yesus Kristus. Selanjutnya, orang yang hidup Kristen itu tidak cuma nongkrong di atas fondasi tok, dia punya peran untuk membangun di atas fondasi ini. Setiap kita harus membangun di atas fondasi yang Yesus letakkan. Kita bisa membangun menggunakan hal-hal yang baik, yaitu 3 hal pertama, emas, perak, dan batu permata. Kita juga bisa membangun menggunakan hal-hal yang tidak baik, yaitu 3 hal yang terakhir, kayu, rumput kering, jerami. Lalu Paulus mengatakan, ada satu hari di mana bangunan-bangunan ini, hasil karya kita ini, akan ketahuan apa bahan dasarnya, karena pada hari itu akan ada api. Api itulah yang akan menguji kualitas pekerjaan tiap orang.
Saya rasa kita sudah cukup familier dengan gambaran api seperti ini, kita tahu ini cukup jelas menggemakan apa yang tadi kita lihat, bahwa kedagingan kita tidak bisa mewarisi Kerajaan Allah, yang dapat binasa tidak sanggup mewarisi apa yang tidak dapat binasa. Di bagian ini Paulus basically mengatakan, inilah bagaimana manusia hidup; kita membangun hidup kita di atas Kristus dengan hal-hal yang kadang tidak bertahan. Ini metafora membangun rumah. Di satu sisi, kita bisa membangun rumah yang setia kepada Yesus, di mana kita mengasihi Dia dan orang-orang lain; di mana lewat Roh Kristus, lewat firman-Nya, dan lewat Tubuh-Nya, membentuk kita untuk melakukan hal-hal yang setia kepada Kristus. Inilah hidup yang dibangun dari emas, perak, dan batu permata. Namun kita –lewat bagaimana kita merespons orang lain dan bagaimana kita menjalani hidup ini—bisa juga membangun hidup yang tidak setia kepada Yesus, misalnya yang menghancurkan orang lain. Inilah hidup yang dibangun dari kayu, rumput kering, jerami. Selanjutnya, Paulus –dan juga rasul-rasul yang lain– percaya bahwa suatu hari akan datang, hari di mana bangunan hidup manusia ini akan dinilai, ditimbang, diukur. Lalu metafora yang digunakan adalah seperti rumah yang terbakar, ada api. Tapi lihat, apa tujuannya api di sini? Api ini bukan untuk menghancurkan, api di sini tujuannya untuk menguji, bahkan memurnikan.
Saudara pernah lihat rumah yang habis kebakaran? Kalau Saudara lihat rumah-rumah tua di Eropa yang terbakar, misalnya di gambar-gambar atau di TV, rumahnya kelihatan hancur, hitam semuanya, terbakar hangus, tapi biasanya ada satu hal yang tetap tegak berdiri, yaitu perapian dan cerobong asapnya. Kenapa? Karena ini barang yang memang didesain untuk tahan panas, kalau tidak, waktu kita nyalakan perapiannya tentu meleleh, roboh semuanya ‘kan. Ilustrasi lain, cerita anak-anak, Tiga Babi dan Serigala, yang intinya, jangan bangun rumahmu dari jerami, dari kayu, karena begitu ditiup oleh si serigala, hancur; harus bangun dari bata. Saudara, inilah gambaran api yang Paulus punya, bukan gambaran api yang menghancurkan; ini gambaran api yang memurnikan, bahkan mempersiapkan kita bagi kehidupan yang kekal. Dengan cara apa? Dengan membinasakan yang dapat binasa, supaya apa yang tersisa adalah tidak dapat binasa, bisa dibawa ke dalam Kerajaan Allah yang tidak dapat binasa. Di satu sisi, memang benar ada gambaran penghakiman terakhir dalam Alkitab, ada gambaran api, tapi ini api yang datang bukan untuk menghanguskan –menghanguskan juga sih, tapi tidak semuanya– hanya menghanguskan yang fana, sifat kedagingan tubuh kita, yaitu sifat kebusukan, sifat kefanaan, sehingga yang tersisa adalah yang bersifat kekal.
Yang lebih menarik, ketika Saudara menyadari bahwa gambaran api seperti ini juga bukan orisinal dari Paulus, bahkan bukan orisinal Perjanjian Baru, tapi dari Perjanjian Lama. Dalam Zefanya 3:1-4 Allah basically sedang cari ribut dengan dunia ini, dengan manusia dan kebejatannya. Allah mengatakan: Celakalah si pemberontak dan si cemar, hai kota yang penuh penindasan!” –ini pengadilan. Allah di sini mendaftarkan bukti-bukti bahwa manusia itu hancur: “Ia tidak mau mendengarkan teguran siapa pun dan tidak mempedulikan kecaman; kepada TUHAN ia tidak percaya dan kepada Allahnya ia tidak menghadap. Pemukanya adalah singa yang mengaum; para hakimnya adalah serigala … Para nabinya adalah orang-orang ceroboh dan pengkhianat; para imamnya menajiskan apa yang kudus, memperkosa hukum Taurat. Semua level manusia ini hancur. Lalu kita lompat ke ayat 8: Oleh karena itu tunggulah Aku — demikianlah firman TUHAN — pada hari Aku bangkit sebagai saksi. Sebab keputusan-Ku ialah mengumpulkan bangsa-bangsa dan menghimpunkan kerajaan-kerajaan untuk menumpahkan ke atas mereka geram-Ku, yakni segenap murka-Ku yang bernyala-nyala, sebab seluruh bumi akan dimakan habis oleh api cemburu-Ku.”
Ini gambarannya seperti ketika saya kecil dan bertanya-tanya ‘kenapa kita tidak kumpulkan semua orang bejat dan brengsek di satu pulau lalu kita bom nuklir mereka semua, habis’. Itulah yang kira-kira terjadi di bagian ini; Allah mengatakan ‘Aku mau kumpulkan semuanaya di satu tempat, lalu Aku tumpahkan api-Ku kepada mereka, sehingga menghabiskan seluruh bumi’. Kalau Saudara membacanya berhenti di sini, jadinya setelah ini masih ada bumi atau tidak? Tidak ada, dong, ‘kan habis. Ada orang atau tidak? Tidak ada, dong, ‘kan habis, karena semua orang jahat. Dalam hal ini, kunci dari penafsiran Alkitab adalah: tidak boleh berhenti bacanya, harus baca menyeluruh, utuh. Dan, di ayat 9 apa yang terjadi? “Tetapi sesudah itu Aku akan memberikan bibir lain kepada bangsa-bangsa, yakni bibir yang bersih, supaya sekaliannya mereka memanggil nama TUHAN, beribadah kepada-Nya dengan bahu-membahu.” Jadi ternyata masih ada orang. Ayat 10: “Dari seberang sungai-sungai negeri Etiopia … “ –berarti masih adabumi— ” … orang-orang yang memuja Aku, yang terserak-serak, akan membawa persembahan kepada-Ku”. Koq, bisa? Ayat 11-13: Pada hari itu engkau tidak akan mendapat malu karena segala perbuatan durhaka yang kaulakukan terhadap Aku, sebab pada waktu itu Aku akan menyingkirkan dari padamu orang-orangmu yang ria congkak, dan engkau tidak akan lagi meninggikan dirimu di gunung-Ku yang kudus. Di antaramu akan Kubiarkan hidup suatu umat yang rendah hati dan lemah, dan mereka akan mencari perlindungan pada nama TUHAN, yakni sisa Israel “. Ini kata kuncinya, sisa, remnant. “Mereka tidak akan melakukan kelaliman atau berbicara bohong; dalam mulut mereka tidak akan terdapat lidah penipu; ya, mereka akan seperti domba yang makan rumput dan berbaring dengan tidak ada yang mengganggunya.” Saudara lihat, ini bahasa ‘api’ dalam Perjanjian Lama –dan juga Perjanjian Baru. Ini puisi, maka Saudara jangan ambil plek-plek, Saudara harus mengerti maknanya. Waktu dibilang ‘seluruh bumi habis termakan’ ternyata yang namanya habis termakan api itu tidak berarti sisanya hilang semua. Ternyata bahasa ‘api’ yang dipakai bahkan dalam Perjanjian Lama, bukan bahasa penghancuran, melainkan pemurnian.
Benar bahwa Allah dan api-Nya akan datang, melahap, memakan, dan menghabiskan, namun ternyata menghabiskan kedagingan, dan bukan tubuh; menghabiskan kefanaan, dan bukan materi alam semesta ini. Sifat kedagingan, kefanaan, kebusukan, dari segala cara hidup kita yang rusak, yang saling menghancurkan, yang menyerah pada kejahatan dan melipatgandakannya –sadar atau tidak sadar–itulah yang akan dihancurkan/dihabiskan oleh api Tuhan. Itu sebabnya perlu hari seperti ini, hari di mana Tuhan menghakimi kita, baik secara individual maupun secara kolektif. Gambaran penghakimannya bukan seperti Saudara diperlihatkan sebuah layar mengenai hidupmu dari depan sampai belakang; gambaran yang berulangkali dipakai para nabi dalam Perjanjian Lama dan para rasul dalam Perjanjian Baru, adalah api. Ini make sense, karena memang ada hal-hal dalam dunia hari ini dan juga dalam diri kita hari ini, yang kita inginnya dibuang saja, yang harus dibakar habis. Hal-hal dari sifat dasar kita, dari habit-habit kita, yang kalau kita bawa terus sampai ke kekekalan, itu akan membuat kekekalan jadi neraka yang kekal. Jadi memang benar, hal-hal ini harus dibuang, dibakar.
Tuhan tidak mau mewariskan kepada kita dunia yang seperti itu. Tuhan ingin mewariskan kepada kita eksistensi dan alam semesta yang persis seperti gambaran Yesus yang telah bangkit, yang tidak lagi diikat oleh kematian tapi masih ada kesamaannya. Oleh sebab itu, yang Tuhan perlu lakukan terhadap kita adalah banyak hal dalam hidup kita dan dunia ini yang perlu dibakar habis oleh api. Dan, kalau seperti ini, api dari Tuhan ini adalah good news ‘kan, karena penghakiman api Tuhan adalah penghakiman yang justru memulihkan. Gambaran api dalam Alkitab itu paradoks. Api dalam Alkitab, bukanlah sesuatu untuk kita hindari, ini api yang kita perlu terima. Kita membutuhkan api tersebut karena kita perlu dibersihkan. Ada hal-hal dalam hidup kita yang mengarah ke kebinasaan –kayu, rumput kering, jerami– yang tidak boleh lewat, yang harus disetop, supaya yang tersisa hanyalah emas, perak, dan batu permata, supaya eksistensi kita nanti eksistensi yang sungguh-sungguh hidup kekal, yang tidak lagi terikat oleh kematian. Kita butuh api ini. Ini good news-nya Alkitab, ketika api tersebut datang dalam hidup kita.
Kenapa kita bisa berani menerima api ini, bukankah api itu sakit, api itu penderitaan? Karena itulah yang terjadi di atas kayu salib. Itulah sebabnya Saudara tidak bisa mengambil salib tanpa kubur kosong, dan Saudara tidak bisa mengambil kubur kosong tanpa salib. Salib adalah momen Yesus –Allah sendiri—menerima api keadilan Tuhan itu. Yesus telah menjadi daging dan darah. Yesus telah mengambil tubuh yang menuju pada kematian. Ia menyerahkan diri-Nya, membuka diri-Nya untuk menerima kejahatan dunia ini memakan Dia habis, justru supaya Dia bisa menyelamatkan kita dari semua itu. Dan, inilah yang benar-benar menghasilkan hidup kebangkitan yang tidak dapat biasa itu.
Sekali lagi, ini terlalu besar. Menjelaskan hal ini, rasanya kayak menjelaskan kepada kenari, seperti apa rasanya nanti punya burung-burung yang akan bersarang dan memberi makan anak-anaknya di atas dahan-dahanmu. Sungguh tidak bisa, Saudara; paling tidak, tidak bisa secara penuh.
Yang terakhir, bahwa ini bukan sesuatu yang baru kita terima di masa depan. Sebagaimana Saudara lihat, sejak hari ini pun tetapada hal-hal yang bisa kita bangun, yang bisa bertahan pada hidupmu, yang emas-perak-batu permata. Cara hidup yang mengarahnya kepada kehidupan, dan bukan pada kematian, itu bisa kita bangun mulai hari ini. Kalau Saudara masih belum yakin, dalam 2 Kor. 5:17 Paulus mengatakan: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” Ini gambaran untuk melengkapi gambaran tadi. Di sini Paulus mengajak jemaatnya untuk membayangkan diri mereka sekarang ini, sebagai ciptaan yang sudah baru itu, yang sudah bangkit itu, yang sudah datang ke-baru-annya. Dan, karena pengharapan kita akan kebangkitan bukanlah dari kita sendiri melainkan dari kebangkitan Yesus, maka berhubung Kristus sudah dibangkitkan, ada sesuatu dalam dirimu dan diriku hari ini yang juga memang sudah ikut masuk ke dalam zaman yang baru ini. Ada overlap dalam hidup kita hari ini, antara stase kita sebagai kenari dengan stase kita sebagai pohon.
Somehow hari ini kita bisa saja tidak mau hidup seperti itu, kita hidup seperti orang yang tidak berpengharapan, yaitu dengan kita membangun kayu-jerami-rumput kering di atas fondasi ini, misalnya dengan cara menghidupi hidup yang memaksimalkan pleasure, meminimalkan penderitaan –seringkali dengan cara menuntut orang lain membayarnya dengan penderitaan mereka. Kalau kita tidak berpengharapan, tidak heran kita hidup seperti itu; karena Paulus mengatakan, “Kalau Kristus tidak dibangkitkan, memang benar silakan makan dan minum saja karena besok kita akan mati”. Saudara, kalau masa depanmu adalah kematian, maka benar kita akan hidup seperti itu, maksimalkan pleasure minimalkan penderitaan, karena toh besok kita akan mati, jadi apa poinnya?? Nikmati saja apa yang bisa dinikmati selagi kita masih hidup!
Tapi, kenapa kebangkitan Kristus bisa berdampak begitu besar bukan cuma di masa depan tapi juga di masa sekarang? Karena masa depanmu bukan kematian; masa depanmu adalah engkau mewarisi apa yang tidak dapat binasa. Ini akan mengubah sama sekali hidupmu, tidak bisa sekarang cuma simply makan dan minum seakan-akan besok saya mati. Saya tidak akan mati, besok saya hidup. Kematianku tidak akan menjadi akhir. Penguburanku tidak akan menjadi akhir. Itu cuma transisi ke stase hidup yang jauh lebih mulia dan indah, yang Tuhan janjikan; and therefor cara hidupnya juga akan lain. Cara hidup yang lama: maksimalkan pleasure minimalkan penderitaan. Jadi berarti apakah cara hidup yang baru, cara hidup yang kita bisa bawa sampai kekekalan, yang kita bisa bangun mulai sekarang, emas-perak-batu permata itu? Saudara baca itu berkali kali dalam Alkitab: kasihilah Tuhanmu, kasihilah sesamamu manusia. Relalah mengalah supaya orang lain bisa menang; bukan kalahkan orang lain supaya engkau menang –karena ketika orang lain menang, engkau juga menang. Itulah emas-perak-batu permata yang akan lulus ujian api yang akan datang itu.
Kalau kita tahu masa depan kita adalah kehidupan yang tidak dapat binasa ini, kita akan hidup dengan cara yang sangat lain sekarang. Satu contoh aplikasi, KKR Regional. Dalam KKR Regional, Saudara senantiasa mengorbankan dirimu demi orang lain bisa benefit; sementara cara hidup yang biasa adalah sebisa mungkin kita mengorbankan orang lain supaya kita bisa dapat benefit. Dalam KKR Regional, Saudara harus bayar tiket sendiri, mandiri, berkorban. Bukan cuma berkorban uang, tapi juga waktu, seminggu itu. Belum lagi urusan NREC dsb., yang pakai waktu juga, bisa habis cuti kita setahun, tidak liburan. Ini berkorban; tapi supaya orang lain bisa benefit. Kalau tidak bisa khotbah, belajar berkhotbah mati-matian sampai bisa. Kengerian berkhotbah itu tidak cuma menjangkitimu, saya juga. Semua orang yang mengerti apa taruhan dari pemberitaan Firman, akan gemetar, kita tidak merasa nyaman berada di atas sini. Basically itulah yang sedang dipanggil untuk kita lakukan dalam hidup ini. Paulus mengatakan, manusia luar kita ini sedang lama-lama rontok, wasting away, namun kalau Saudara menjalankan kehidupan masa datang yang sudah mulai masuk ke kehidupan hari ini, Saudara akan merasakan ‘meskipun tubuhku semakin lama semakin rontok, ada sesuatu yang baru, yang mulai hidup di dalam, ada cikal bakal Kerajaan Allah yang tidak dapat binasa itu; dan kita sudah bisa mengalaminya hari ini’. Itulah pengharapan kita. Tidak kurang dari itu.
Satu pertanyaan yang Saudara coba pikirkan, apakah ada orang dalam hidupmu yang engkau berelasi terhadapnya dengan cara yang dulu itu, cara yang rusak itu, cara kedagingan yang menuju pada kebinasaan itu? Dan, bagaimana gambarannya ketika relasi yang seperti itu dialihkan arahnya kepada kehidupan, diperbarui sebagaimana Allah akan memperbarui tubuh kita, eksistensi kita, sebagaimana kenari diperbarui menjadi pohon yang kuat yang di atasnya bersarang burung-burung serta anak anak mereka?
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading