Kita sedang dalam musim Minggu-minggu Paskah, periode 40 hari setelah Paskah dan sebelum Kenaikan. Poin dalam Minggu-minggu Paskah adalah membicarakan kebangkitan Yesus serta signifikansinya; tidak cuma satu kali tapi beberapa minggu dalam setahun, dan terus-menerus diulang. Kenapa ini dibutuhkan? Karena kita sebagai orang Kristen sering kali sudah terlalu berat sebelah; kita lebih paham makna kelahiran atau kematian Yesus, tapi kurang paham makna kebangkitan Yesus.
Dalam analogi seorang teolog, ini seperti kalau Saudara punya speaker untuk TV atau komputermu, dan misalnya setup-nya 5.1 Dolby Surround System, maksudnya ada 5 speaker dan 1 subwoofer, namun karena kita gaptek, tidak terlalu mengerti cara setup-nya, akhirnya yang keluar suara cuma speaker kiri dan tengah, sementara yang kanan dan sistem surround-nya terlalu kecil suaranya, atau bahkan hilang. Kalau Saudara nonton film di TV dengan cara seperti ini, bukannya tidak bisa, tapi pengalaman Saudara jadi sangat miskin, sangat timpang, bahkan mungkin bisa bikin Saudara kurang mengerti apa yang terjadi dalam filmnya. Begitu juga terhadap Alkitab. Kita semua aware bahwa Alkitab bukan untuk dicomot-comot, namun praktisnya kita sering kali lebih mengeraskan suara dari bagian-bagian tertentu dibandingkan bagian yang lain, yang sebenarnya sama pentingnya, sama bobotnya, atau bahkan jangan-jangan lebih penting. Ironisnya, bagian yang selama ini speaker-nya kecil, suaranya hampir tidak terdengar, adalah bagian yang Paulus sebut sebaagai pilar iman kita, yang tanpanya, iman kita sia-sia, yaitu kebangkitan Yesus.
Dalam khotbah Minggu Paskah yang lalu, kita melihat bahwa Paskah itu ‘gak ecek-ecek, Paskah itu bukan sesuatu yang gampang dimengerti. Lewat Lukas, kita melihat bahwa Paskah sesungguhnya begitu besar, dan saking besarnya bahkan meruntuhkan kategori-kategori, laci-laci, asumsi-asumsi manusia selama ini. Bahkan murid-murid Yesus sendiri, yang melihat Yesus bangkit dengan mata kepala mereka, tidak bisa mengenali Dia, sebegitu terikatnya mereka oleh laci-laci hati mereka. Jadi, berhadapan dengan kebangkitan Yesus, hal yang pertama adalah kita perlu datang dengan kerendahan hati.
Dalam khotbah yang kedua, dari tulisan Petrus, kita membahas bahwa signifikansi kebangkitan Yesus yang terutama, yang mungkin jadi dampak terutama dari kebangkitan Yesus, adalah bahwa kebangkitan Yesus menjadi dasar pengharapan orang Kristen. Kita sudah membahas kenapa pengharapan itu penting, seberapa bedanya pengharapan yang didasarkan pada kebangkitan Yesus, dan seberapa bedanya cara kerja pengharapan tersebut, yaitu bukan tanpa penderitaan tapi malah melalui penderitaan. Ini sama kayak kebangkitan, bukan tanpa kematian tapi malah melalui kematian. Hal ini sudah kita persiapkan 40 hari sebelum Paskah, dalam masa Lent.
Hari ini kita melanjutkan pembahasan mengenai pengharapan; bukan cuma mengenai betapa pentingnya, karakternya, cara kerjanya, tapi masuk lebih dalam, yaitu apa sih yang kita harapkan itu, apa persisnya isi/konten dari pengharapan Kristiani. Untuk itu kita beralih kepada Paulus, Surat Roma pasal 8.
Tadinya saya mau baca Roma 8 ini sekaligus, namun terkadang malah bikin kita terbingung-bingung, bahkan Rasul Petrus sendiri dalam 2 Petrus 3:16 sampai mengatakan ‘kalian tahu tulisan Paulus yang kita kasihi, tulisannya banyak yang sulit dipahami’. Namun bukan berarti Petrus lalu bilang ‘ya sudah, kita tidak usah baca Paulus, tidak usah perhatikan dia, dia ini pembicara yang tidak terlalu bagus, kurang mendarat khotbahnya, dengarkan saya saja, saya lebih bagus’. Petrus tidak mengatakan itu; Petrus mengajak untuk sama-sama belajar memahaminya. Jadi, better kita jangan membacanya sekaligus tapi coba membaca satu per satu ayat-ayat perwakilan dan membahas sedikit-sedikit, supaya kita tidak terbingung-bingung.
Kita mulai dengan dasarnya, Roma 8:11, “Jika Roh Dia yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati tinggal di dalam kamu, maka Ia yang telah membangkitkan Kristus dari antara orang mati akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya yang tinggal di dalam kamu”.
Ini bagian yang bisa dibilang introduksinya. Kita note dulu, bahwa yang dipikirkan Paulus ini sejalan dengan yang kita baca di Petrus dan Lukas, yaitu bahwa somehow pengharapan kita, nasib kita di masa depan, terikat erat dengan nasib Yesus di masa lalu. Paulus mengatakan, jika Roh Kudus yang sama yang membangkitkan Yesus itu, juga di dalam kamu, maka kamu juga akan dibangkitkan seperti Yesus –terikat. Ini adalah dasar dari pengharapan Kristiani. Sama seperti kita diselamatkan bukan karena kebaikan kita melainkan atas dasar kebaikan Kristus, maka kita juga punya pengharapan akan dibangkitkan, bukan karena kita sendiri melainkan karena Kristus telah bangkit. Inilah yang mau ditekankan.
Dalam urusan salib, kita sudah percaya bahwa Yesus di atas kayu salib bukan untuk diri-Nya sendiri, Dia naik ke atas sana demi memperhitungkan diri-Nya di tengah-tengah pemberontak, yaitu kita. Ada something dalam misi Yesus, di mana Dia sengaja menaruh diri-Nya dalam posisi yang tidak seharusnya. Dia Allah, namun Dia menjadi manusia. Dia Allah yang memberi hukum bagi manusia, namun Dia menaruh diri-Nya ikut hukum tersebut sebagai manusia. Dia Allah yang kekal, namun Dia menyerahkan nyawa-Nya sebagai manusia. Ini semua terjadi, jelas karena Dia datang untuk menaruh diri-Nya pada posisi kita, Dia datang untuk menjalankan apa yang kita tidak sanggup jalankan, untuk menjadi siapa yang kita sendiri tidak sanggup menjadi. Dan, Paulus di dalam bagian ini simply mengatakan yuk,kita lanjutkan logikanya, jangan melihat hal ini sebatas Natal sampai Jumat Agung, lahir sampai mati; ini juga berlaku untuk hal berikutnya, yaitu kubur kosong, jadi jangan dipisahkan, Yesus juga mengalami kubur kosong bukan untuk diri-Nya sendiri. Saking Ia mengidentikkan diri-Nya sedemikian rupa dengan kita, lahir sebagaimana kita lahir, mati di tempat kita harusnya mati –sampai-sampai di mata Bapa kita actually telah mati dalam kematian Kristus, kita telah dikuburkan dalam penguburan Yesus—maka berarti kebangkitan Yesus juga merupakan kebangkitan kita, orang-orang yang percaya kepada-Nya, orang-orang yang hari ini digerakkan oleh Roh yang sama, yang menggerakkan Yesus juga, yang membangkitkan Yesus dari kematian. It’s just logical, common sense. Itu sebabnya kita mengatakan Yesus lahir bagi kita, mati bagi kita, dan actually juga bangkit bagi kita. Itulah maksudnya. Ini dasar dari pengharapannya.
Paulus simply menggemakan kembali apa yang sudah kita lihat dalam surat Petrus, dalam khotbah sebelumnya, bahwa ‘pengharapanku bukan pada kebangkitanku; pengharapanku adalah dalam kebangkitan-Nya, karena apa Dia alami, aku akan alami, jika aku mempercayakan diriku kepada-Nya’. Itulah sebabnya pengharapan Kristiani pengharapan yang beda, karena objek/dasar pengharapan-ku bukan lagi terikat situasi hidup-ku, jumlah nol di rekening bank-ku, atau asuransi-ku, atau anak-anak-ku, tapi terikat pada kelahiran-Nya, kehidupan-Nya, kematian-Nya, dan juga kebangkitan-Nya. Tidak heran, unsur yang harus kita temukan dalam kisah-kisah kebangkitan selalu unsur surprise –karena ini pengharapan yang beda dari yang selama ini kita punya, beda dari yang selama ini kita dengar. Jadi, berhadapan dengan cerita kebangkitan Yesus, kita perlu kerendahan hati. Kalau Saudara mau mengalami surprise, itu butuh kerendahan hati, karena mengalami surprise berarti menerima ada sesuatu yang Saudara tidak sanggup duga sebelumnya –maka surprise. Ini artinya Saudara memposisikan diri sebagai orang yang tidak tentu tahu segala sesuatu. Orang yang mengatakan, “Saya tidak pernah kaget”, itu tidak tentu positif, itu bisa jadi tanda narsisisme berat; dia pikir dia sudah tahu semua, kalau ada yang aneh/baru di matanya, dia tidak mau kaget, dia hanya sudi menerjemahkan semua itu di dalam kacamata yang itu-itu lagi ‘ah, ini bukan baru, bukan aneh, cuma kayak begini doang’ –tapi sebenarnya salah. Jadi, mari kita sia-siap untuk dikagetkan lagi dengan Paskah.
Kita lanjutkan. Apa yang berubah, apa konten aktualnya jika sekarang kita punya pengharapan yang seperti itu, yang dasarnya bukan lagi pada hidupku melainkan hidup-Nya? Mari kita lihat apa yang Paulus katakan. Ayat 18-19: “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini, tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu seluruh ciptaan menantikan saat anak-anak Allah akan dinyatakan.”
Kalimat ini memang susah dimengerti, maka kita akan bahas pelan-pelan. Di sini Paulus mengatakan pengharapan yang dibawa oleh kebangkitan Yesus ini, akan membuat apa? Apakah waktu Paulus mengatakan kita punya pengharapan sebagai anak-anak Allah, maka ini membuat kita lepas dari penderitaan zaman sekarang? Tidak. Itu sebabnya pengharapannya beda. Banyak orang pikir pengharapannya adalah karena Yesus bangkit, karena Yesus melakukan ini dan itu, maka saya bisa lepas, atau kurang sedikitlah penderitaannya dari penderitaan zaman sekarang. Namun sama sekali tidak seperti itu, ada yang beda di sini, Paulus justru sedang mengatakan hal yang sebaliknya. Pada dasarnya Paulus mengatakan ‘hai pembaca-pembacaku, aku yakin penderitaan zaman sekarang ini …’; dan di sini dia tidak bilang penderitaan siapa, berarti penderitaan bagi semua pembaca suratnya, bahwa kehidupan zaman sekarang ini adalah kehidupan yang penuh penderitaan. Paulus mengasumsikan ini bagi semua orang yang membaca suratnya, ini universal, bukan cuma murid Kristus doang yang seperti ini, karena kita tahu keadaan hidup manusia di planet bumi ini, sejauh kita bisa memandang ke belakang, memang isinya penderitaan. Sejarah manusia adalah sejarah dari kesulitan-kesulitan hidup, sejarah relasi-relasi kompleks yang menyulitkan dan cenderung rusak, sejarah tubuh-tubuh yang semakin rentan dan semakin keropos. Satu hal yang paling universal dari sejarah manusia adalah bahwa setiap manusia, cepat atau lambat, menuju pada kematian. Jadi, waktu Paulus mengatakan, “Aku yakin penderitaan zaman sekarang ini … “, berarti bagi Paulus, menjadi murid Kristus tidaklah dilepaskan dari semua ini. Paulus jelas dalam hal tersebut. Kalau begitu, apa yang beda sebagai murid Kristus? Inilah lanjutannya. Bagi murid Kristus –demikian Paulus mengatakan–penderitaan universal zaman sekarang ini, oleh karena apa yang Allah lakukan melalui Anak-Nya, tidak bisa banding dengan kemuliaan yang akan datang. Itulah pengharapannya, konten dari hope seorang Kristen.
Ilustrasi Minggu lalu: Saudara memberikan pekerjaan yang sangat berat kepada dua orang, yang satu dibayar UMR, yang satu lagi 50 M/bulan. Orang yang pertama akan kerja sambil menangis, dan setelah seminggu dia resign; lalu juga posting di sosmed bahwa kantor tempat Saudara jadi bos adalah kantor yang toxid workplace, dan bahwa Saudara bos yang kurang ajar dan brengsek. Sedangkan orang yang kedua, akan mengerjakan pekerjaan yang persis sama, sambil bersiul-siul. Kenapa bisa mereka mengerjakan pekerjaan yang persis sama namun mengalaminya secara totally beda? Karena pengharapan akan kemuliaan yang beda, yang membuat penderitaan zaman sekarang ini tidak bisa banding dengan kemuliaan yang akan datang. Itulah yang Paulus katakan.
Pertanyaan berikutnya: apakah kemuliaan yang datang itu? Tergantung bagaimana Saudara pikir tentang kemuliaan yang akan datang itu, yang akan membuat Saudara bisa mengamini perkataan Paulus ini atau tidak. Bayangkan beberapa alternatifnya. Ada orang-orang Kristen tipe yes-man, yang mendengar kalimat-kalimat seperti ini, mereka tidak betul-betul mengerti apa artinya, tapi merasa hal yang proper yang harus dilakukan orang Kristen baik-baik adalah mengangguk-angguk, “Ya, saya percaya itu” –meskipun kalau ditanya arti konkretnya, mereka bilang, “Aduh.. kepalaku sakit, Pak, kalau disuruh pikir terlalu dalam, saya cuma ibu rumah tangga” atau “ … saya cuma karyawan kantor biasa”, dst. Jika iman Saudara iman model yes-man kayak begini, maka kemuliaan abstrak model kemuliaan ‘gak jelas kayak begini tidak akan bisa membuatmu mengamini perkataan Paulus, karena mana bisa kemuliaan ‘gak jelas kayak begitu bisa bikin worth it penderitaan univeral manusia hari ini, peperangan, penindasan, pembantaian yang dialami manusia hari ini. Yang kayak begitu adalah iman buta, mana bisa mangamini; dan kayaknya Paulus bukan model iman buta kayak begini.
Kayaknya Paulus punya ide yang konkret mengenai kemuliaan yang akan datang itu, sampai-sampai Paulus mengatakan, “Eh, aku sudah lihat sedikit, aku sudah icip sedikit kayak apa … dan ‘gak bisa banding, man, dengan penderitaan zaman sekarang!” Jadi, kita perlu tanya lebih lanjut, apa yang Paulus lihat? Dalam hal ini, beberapa orang Kristen yang lain mengatakan, “Yang selama ini setahu gua diajarkan, bahwa kemuliaan yang akan datang itu konkretnya adalah semacam sekoci ke surga. Kita nanti akan kabur dari dunia ini –karena dunia ini akan dihancurkan– lalu kita akan main harpa di surga, melayang-layang selama-lamanya, menyanyi-nyanyi pujian kepada Tuhan.” Lalu orang Kristen yang lain, yang jelas bukan tipe yes-man, menimpali: “Oke, ide konret kemuliaan yang akan datang kayak begitu, ya; tapi terus terang saja, saya sih menikmati lho, hidup di bumi ini. Saya menikmati makan makanan enak, di pinggir pantai pada waktu matahari terbenam, dengan diterpa angin sore, yang mengandung bau air laut khas itu, sambil mendengar suara burung-burung camar terbang; dan, itu baru satu aspek kecil dari keindahan yang Tuhan berikan buat kita di bumi ini. Sebenarnya kalau kamu tanya saya, saya lebih prefer itu, dibandingkan melayang-layang nyanyi sambil main harpa sampai selama-lamanya, lihat putih-putih terus. Jadi, kalau cuma itu pengharapannya, susah deh rasanya mengamini bersama Paulus, bahwa pengharapan yang somehow kayak begitu, adalah sebegitu besarnya sampai bisa membuat aku bersiul-siul dalam penderitaan zaman sekarang?? Kayaknya enggak deh, terus terang saja.” Jadi kesimpulannya: kalau Saudara setuju dengan orang-orang seperti ini, atau mungkin itu juga perasaanmu selama ini, maka mungkin bukan itu juga kayaknya pengharapan yang Paulus pegang dalam hatinya, dia kayaknya punya ide yang lain, kisah yang beda.
Pengharapan yang dia pegang, sepertinya ada kaitan yang erat dengan bumi ini, bukan terlepas dari bumi ini. Dia sepertinya percaya bahwa bumi ini sedang menjalani suatu proses, transisi, kepada suatu ending tertentu, yang terkait erat dengan apa yang jadi pengharapan murid-murid Yesus, yang Paulus sebut ‘kemuliaan yang akan datang itu’. Apakah itu? Kita baca ayat 19: “Sebab dengan sangat rindu seluruh ciptaan menantikan saat anak-anak Allah akan dinyatakan.” Saudara lihat, dikatakan di sini ‘seluruh ciptaan’; seluruh ciptaan ini sedang menantikan sesuatu. Menantikan apa? Menantikan kemuliaan yang akan datang itu. Yaitu apa? Yaitu saat anak-anak Allah akan dinyatakan.
Aduuuhh… come on, Paulus! Ngomong langsung sajalah! Ini sebabnya Petrus juga bilang kamu itu susah banget dimengerti tulisannya, ya karena begini, teasing-teasing terus. Apa maksudnya sih ‘anak-anak Allah akan dinyatakan’?? Saudara, mari kita kerjakan pe-er terlebih dulu; setiap kali kita menemukan ada sesuatu yang membingungkan di Perjanjian Baru, kemungkinan pertamanya karena kita tidak paham Perjanjian Lama. Ini bisa jadi satu pertanyaan trouble shooting pertama kalau Saudara mengalami mentok dalam studi Alkitab; kalau Saudara tidak mengerti satu hal di Perjanjian Baru, itu kemungkinan karena Saudara tidak mengerti Perjanjian Lama, maka kita perlu cari penjelasan dari Perjanjian Lama. Omong-omong, Paulus sendiri ahli Taurat –ahli Perjanjian Lama– jadi mungkin cara berpikirnya seperti itu. Kita akan kembali ke Perjanjian Lama untuk mengerti hal ini, namun sebelumnya kita nyontek dulu ke ayat berikutnya, ayat 20: “Sebab seluruh ciptaan telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya”. Tambah pusing, ya, tapi okelah.
Sekarang kita coba balik ke Perjanjian Lama. Dikatakan tadi, ‘ciptaan telah ditundukkan kepada kesia-siaan’, bahasa Inggrsinya: creation has been subjected to frustration (ciptaan di sini yang dimaksud Paulus adalah seluruh alam ciptaan, bukan manusia); dan Paulus basically sedang mengulang kisah halaman-halaman pertama Alkitab. Waktu Tuhan mencipta alam semesta ini, apa penilaian yang Tuhan berikan? Dia mengatakan, “Baik”. Dia mengatakan itu 7 kali, dan yang ketujuh adalah ‘amat sangat baik’. Tuhan actually senang dengan dunia ini, alam ciptaan ini. Lalu yang Dia lakukan berikutnya adalah menunjuk perwakilan-perwakilan –yaitu gambar dan rupa-Nya– untuk berkuasa atas dunia ini (‘berkuasa’, baca: me-manage). Gambar-gambar ini disebut manusia. Jadi poinnya manusia diciptakan, sejak awal adalah Allah ingin bekerja sama dengan manusia sebagai partner, Allah ingin manusia melanjutkan apa yang telah lebih dulu Allah lakukan lewat pola kerja-Nya. Cara kerja Allah bagaimana? Lihat Kejadian 1, Allah membuat yang kacau itu jadi rapi, yang sia-sia jadi berfungsi. Dengan demikian, para manajer tersebut ditunjuk untuk melanjutkan pola kerja ini. Jadi, kalau Saudara manata rambut sebagai seorang hairstylist di salon, Saudara sedang mengambil apa yang kacau menjadi rapi, yang tadinya tidak berfungsi/sia-sia, Saudara atur sehingga menambah keindahan, ada fungsinya. Itulah pekerjaan Tuhan, yang sedang mau dikerjakan lewat manusia, gambar rupa-Nya.
Namun kita tahu, berikutnya yang terjadi adalah para manajer ini menolak peran tersebut, mereka tidak puas jadi manajer –penggarap– mereka ingin jadi pemegang saham, mereka ingin jadi owner, maka mereka memberontak. Apa yang terjadi berikutnya? Allah ngamuk dan membom atom seluruh ciptaan-Nya sampai hancur? Tidak. Ceritanya tidak begitu. Allah tidak menghancurkan ciptaan ini, Allah actually menyerahkan, membiarkan ciptaan ini jatuh ke tangan manajer-manajer brengsek ini –“Sebab seluruh ciptaan telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia (Allah), yang telah menaklukkannya”.Kenapa Allah melakukan ini? Allah jahat banget? Tidak juga. Allah membiarkan ciptaan jatuh ke tangan manusia, manajer-manajer brengsek ini, ke dalam bad management ini, karena Allah konsisten, dari awal Allah memang menaruh manusia dalam posisi yang taruhannya gede, yang ada konsekwensi yang riil –sebagai partner/manajer. Ini seperti main gunting beneran, bukan gunting bayi; kalau Saudara menyalahgunakan gunting beneran, maka ada konsekwensi beneran.
Ilustrasinya kira-kira seperti ini: Saudara mungkin sering pergi ke satu restoran favoritmu, lalu suatu hari waktu Saudara datang ke situ, Saudara merasa ‘koq, hari ini makanannya rasanya beda, jadi ‘gak enak; dulu ikannya selalu segar dan enak banget, tapi hari ini bau tanah’. Lalu kita mengambil kesimpulan: kokinya ganti nih –ganti manajemen. Dan ternyata memang benar, belakangan Saudara tahu ternyata ada pecah kongsi, sengketa, dsb., sehingga memang ada perubahan manajemen di restoran tersebut. Akhirnya bukan cuma makanannya tidak enak, WC-nya juga jadi jorok, kursinya selalu kotor, gelas-gelasnya ada bekas lipstik, lalu karyawan-karyawannya berhenti, mereka komplain, dsb. Apa solusinya? Kita tidak akan mengatakan sebagai solusi pertama “bakar saja restoran itu!” –atau kita mengatakan seperti itu juga karena sudah terlalu sakit hati, karena kita ini orang Kristen yang pengharapannya cuma sebegitu saja. Bagi kita, bumi ini rusak, jadi bakar saja, tutup saja, bikin baru lagi saja; karena bagi kita, yang sudah rusak itu hopeless, tidak bisa dibikin beres lagi. Mana pernah kita dengar ada restoran yang tadinya makanannya enak, lalu jadi tidak enak, lalu someday jadi enak lagi?? Itu ‘gak pernah terjadilah, jadi kalau restoran memang sudah ‘gak enak, bakar saja, tutup saja, bikin yang baru saja sekalian! Untung kita bukan Tuhan. Tuhan tahu solusi yang tepat bukan itu. Problemnya adalah bad management, jadi solusinya new management. Restoran itu perlu manajemen yang baru, jangan dibakar. Restoran itu perlu manajer-manajer yang baru, yang bisa mengembalikan fungsi awal restorannya, yang bisa membuat restoran tersebut kembali membuat makanan yang enak. Itulah yang Paulus katakan di sini.
Ciptaan ditundukkan pada kesia-siaan, maksudnya adalah bad management. Dan, Paulus tidak bilang ciptaannya ngamuk, Paulus bilang ciptaannya merasa frustrated, sia-sia, harusnya aku bisa menghasilan ini, bisa berfungsi itu, tapi sekarang ‘gak bisa … . Ini perasaan frustrasi, sia-sia, seperti seorang seniman yang struggle menerjemahkan apa yang di kepalanya dia lihat begitu indah, untuk turun sampai ke kanvas. Frustrasi. Sia-sia.
Contoh yang lain, organ di ruang kebaktian kita itu. Organ itu diserahkan Pendeta Billy Kristanto kepada saya, tapi organ itu sekarang frustrasi, ditundukkan pada kesia-siaan, subjected to frustration, karena meski saya bisa saja pencet-pencet tutsnya — saya ‘kan belajar piano– saya tidak mengerti cara main organ yang benar. Keberadaan organ tersebut tragis, organ itu tidak bisa lagi memenuhi panggilannya, menjalankan fungsinya.
Alam ciptaan ini mengalami kefrustrasian, kesia-siaan, ketika ciptaan ini jatuh ke dalam bad management dari tangan manusia-manusia yang jatuh dalam dosa. Itu berarti, Paulus tidak pernah merasa bumi dan alam semesta ini perlu dihancurkan. Sama sekali tidak. Paulus mengatakan ‘ciptaan ini menantikan/rindu saatnya anak-anak Allah dinyatakan dalam kemuliaan’. Lalu kalau kemuliaan berarti bumi dihancurkan, ngapain bumi menatikan kehancurannya sendiri?? Tidak masuk akal. Jadi Paulus memang merasa bumi ini bukan butuh dihancurkan, melainkan perlu manajer-manajer yang baru. Perlu manusia-manusia baru yang actually akan membawa ciptaan ini kembali menjadi apa yang Tuhan desain pada awalnya. And guess what, Paulus percaya manusia seperti itu ada, eksis; siapa dia? Yaitu Yesus Orang Nazaret, Mesias, Anak Allah. Kenapa Anak Allah harus jadi manusia? Adalah karena hal ini. Sebagaimana Saudara lihat di awal, ketika manajer-manajernya jatuh, Allah membiarkan, menyerahkan ciptaan ini, menaklukkan ciptaan ini jatuh bersama mereka. Kenapa? Karena Allah berkomitmen terhadap manusia. Allah berkomitmen terhadap fungsi manusia sebagaimana Dia menciptakannya, yaitu jadi partner, maka ketika belakangan Allah bekerja untuk memulihkan ciptaan ini, dengan cara memulihkan manajemennya, Dia melakukannya juga melalui Seorang Manusia –karena Dia berkomitmen terhadap manusia –yaitu Yesus Kristus.
Allah berkomitmen terhadap sistem partnership yang Dia sudah establish sejak awal. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang mengatakan, “Ya sudahlah, ini ‘gak works, ganti saja, reset”. Seandainya Tuhan kita seperti itu, apa bedanya Tuhan dengan manusia?? Siapa yang mengatakan sistemnya ‘gak works lalu harus ganti??Manusia. Manusialah yang pada awal mengatakan, “Sistemnya ‘gak works, masa’ orang kayak aku jadi manajer tok, ‘gak works nih, cost-benefit analysis-nya tidak menguntungkan, tidak positif!” Itulah kejatuhan manusia dalam dosa, melanggar desain awalnya. Lalu Saudara pikir Allah merespons manusia –yang berdosa–dengan ikut-ikutan jatuh dalam dosa, melanggar sistem penciptaan-Nya sendiri?? Ya, jelas tidak, dong. Allah melakukan apa yang manusia tidak mau lakukan. Allah stick to the plan. Allah melanjutkan komitmen-Nya terhadap manusia, dalam partnership ini, meskipun ini merugikan-Nya, dan harus bayar harga yang sangat mahal untuk memulihkan hal ini, yaitu tidak kurang dari nyawa Anak-Nya sendiri.
Poin dari hal ini, komitmen Allah terhadap manusia-manusia ini bukan cuma demi manusianya, komitmen Allah bagi manusia-manusia ini actually adalah komitmen-Nya bagi alam ciptaan. Kita tidak pernah diselamatkan untuk diangkat dari dunia ini; kita diselamatkan untuk bisa masuk ke dalam dunia ini, supaya kita bisa menjalankan fungsi kita bagi dunia ini sebagaimana mestinya. Itu sebabnya Paulus sendiri mengatakan (ayat 21): “… tetapi dalam pengharapan –ciptaannya berpengharapan– karena ciptaan itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan dan kemuliaan anak-anak Allah”. Bagian ini lebih jelas lagi, karena ada bahasa Perjanjian Lama yang Paulus ambil, bukan dari kitab Kejadian tapi dari Keluaran. Saudara perhatikan kata-katanya: dimerdekakan dari perbudakan, masuk dalam kemerdekaan anak-anak Allah. Ini bahasa cerita penebusan Israel, pembebasan bangsa Israel dari Mesir. Jadi bagi Paulus, yang mengalami pembebasan dari kuasa perbudakan dosa, itu tidak cuma Saudara dan saya, tapi seluruh alam ciptaan ini. Anak-anak Allah ditebus dari perbudakan dosa, itu benar, dan kita sudah tahu; namun itu adalah supaya alam ciptaan ini juga ikut dimerdekakan, dan dengan demikian masuk juga ke dalam kemerdekaan anak-anak Allah itu.
Kita lanjutkan ke ayat 22: “Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala ciptaan sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.”Di sini Saudara menangkap istilah kitab Keluaran yang lain, yaitu ‘mengeluh’. Dalam hal ini terjemahan bahasa Indonesia agak susah menemukan istilah tersebut dalam bagian kitab Keluaran yang lain karena kata yang dipakai tidak persis sama, tapi dalam bahasa Inggris jelas banget, yaitu groaning; dan istilah groaning ini Saudara baca di bagian kitab Keluaran ketika Israel diperbudak lalu mereka mengeluh (pakai istilah yang sama: groaning), dan keluhan mereka sampai kepada Tuhan. Apa yang Paulus maksudkan? Yaitu bahwa bukan cuma manusia yang ditindas oleh dosa-dosa dan berhala-berhala kita, alam ciptaan pun selama ini juga ditindas sebagaimana Firaun menindas Israel. Pertanyaannya: siapakah firaun yang menindas dan memperbudak ciptaan ini, selama ini? Kita. Saudara dan saya.
Kita telah menjadi firaun-firaun terhadap ciptaan ini, kitalah manajer-manajer yang brengsek itu. Saudara tidak percaya? Coba Saudara minta alam ciptaan memberi rating atas kita, seperti kita memberi rating Gojek. Menurutmu, kita diberi rating berapa bintang? Bagaimana rekam jejak kita selama ini mengerjakan manajemen bumi ini? Kita melakukannya secara egois, sangat selfish. Ini bukan cuma urusan soal orang-orang yang buang limbah ke sungai-sungai, tapi termasuk Saudara dan saya. Kita ini hidup memperjuangkan apa yang kita pandang baik buat kita dan buat kelompok/kalangan kita doang, dengan cara mengorbankan kepentingan orang lain serta kelompok orang lain –dan tentu saja dengan mengorbankan/mengeksploitasi alam ciptaan. Bahkan bukan saja hal-hal yang kita lakukan dengan sengaja, hal-hal yang tidak dengan sengaja pun kita tidak bisa keluar dari itu. Kalau Saudara telusuri produk-produk yang hari ini kita pakai, mulai dari sumpit sampai baju, mobil, dsb., ada berapa banyak ekspolitasi yang terjadi di belakang itu semua, eskploitasi alam maupun eksploitasi manusia? Dan, kalau Saudara mengatakan tidak mau lagi pakai produk-produk tersebut, kenyataannya tidak bisa juga ‘kan?? Sebegitu terikatnya kita dengan manajemen hancur manusia terhadap dunia ini. Jadi, firaunnya Saudara dan saya!
Itu sebabnya ciptaan sedang mengeluh dan menunggu, rindu, menantikan apa yang Allah akan lakukan, yaitu menyelamatkan umat manusia, memulihkan manusia, sehingga organ bisa dimainkan dengan baik, restoran bisa kembali menghasilkan makanan yang enak serta WC yang bersih. Itulah yang ciptaan ini nantikan. Mereka menantikan anak-anak Allah dimuliakan, karena momen hal itu terjadi, adalah momen yang pada akhirnya kita akan membawa dunia ini, bumi ini, alam semesta ini, masuk ke dalam keadaan yang Tuhan mau baginya, keadaan shalom, damai sejahtera. Paulus menceritakan hal ini menggunakan bahasa Kejadian dan Keluaran (bahasa Perjanjian Lama), untuk mengungkapkan inilah pengharapan Kristiani.
Kalau Saudara melihat ini, maka Saudara akan mengerti betapa ini kisah yang begitu powerful, begitu surprising. Selama ini Saudara mendengar ceritanya apa? Jangan-jangan ceritanya lain. Jangan-jangan kita jarang melihat dunia dan alam ciptaan seperti ini; cerita yang kita dengar dan kita percaya selama ini lain. Kita lebih familier dengan kisah yang mengatakan ‘pokoknya segala sesuatu hancur, rusak berantakan, maka solusi yang Tuhan berikan dan juga kita harapkan, adalah suatu hari kita bisa kabur dari tempat ini sebelum Tuhan menghancurkan semuanya jadi abu.’ Dan, kita mengatakan, “Ada buktinya lho, di Alkitab; ada bagian-bagian di Alkitab yang menggunakan gambaran-gambaran api, kehancuran, jadi ‘kan maksudnya Tuhan menghancurkan dunia”. Saudara, nanti dalam minggu-minggu yang akan datang, kita akan cek, apa benar bagian-bagian tersebut mengungkapkan demikian. Tapi poin hari ini, kalau Saudara mengerti tulisan Paulus dalam Roma 8 ini, pengharapan bagi manusia, bagi orang Kristen, bagi alam semesta ini, bukanlah kehancuran dan kabur dari kehancuran tersebut; pengharapannya adalah pembebasan, penebusan, pemulihan. Allah bukan cuma menghakimi dunia ini, Allah actually akan memulihkan dunia ini. Itu pengharapannya.
Saudara, kita ini kurang peka dengan aspek pemulihan itu dalam diri Tuhan, karena kita lebih sering melihat Tuhan sebatas Hakim yang agung, yang membawa keadilan dan penghakiman, tapi bukan sebagai seorang Bapa yang baik, yang memulihkan. Menghakimi dan memulihkan, itu dua-duanya ada. Memang masih banyak yang merasa punya problem dengan Allah yang menghakimi, “Koq, Allah menghakimi sih, kalau Allah yang baik, ‘kan Allah yang memulihkan doang; yang seperti itu justru saya bisa terima, Pak, tapi kalau dua-duanya digabung jadi satu, justru susah.” Pertama Saudara harus sadar, fakta bahwa kita punya Tuhan yang menilai, Tuhan yang punya standar, ini justru datang dari kebaikan Tuhan, bukan soal keadilan-Nya atau ketegasan-Nya. Kita tahu Allah itu baik, justru ketika kita menyadari Allah ini punya standar. Koq, bisa? Tentu saja.
Kalau Saudara seorang orangtua yang baik, maka Saudara perlu punya standar bagi anak-anakmu. Anakmu salah, engkau harus hukum. Kalau anak-anak saya berantem dan saya cuek saja, saya bilang, “Oke, Niko dan Erik berantem, Papa nonton, ya. Ronde 1, mulai!” dan mereka gebuk-gebukan, tentu saya bukan papa yang baik. Saya seorang papa yang baik jika saya menghentikan kesalahan mereka dan menghukum kesalahan-kesalahan ini. Contoh ini masuk dalam hal hakim. Kalau Saudara seorang korban, membawa kasusmu kepada seorang hakim, lalu hakim memutuskan, “Tersangka itu dibuktikan bersalah, maka saya melepaskan”, Saudara akan ngamuk. Kalau kamu hakim yang baik, kamu akan menghukum orang yang bersalah ini, kamu akan membawa keadilan; hal itu datang dari kebaikan. Jadi, kalau Tuhan kita menilai dan menghakimi, kalau Tuhan kita ada standar, dan Dia akan menghukum kesalahan kita, maka Dia itu Tuhan yang baik. Kita justru harusnya bersyukur punya Tuhan yang seperti itu. Kalau Tuhan membiarkanmu mengekspresikan apapun dalam hatimu sesuai kenyamananmu, itu bukan Tuhan yang baik. Kalau saya sebagai seorang papa, masa bodoh anak-anak mau pakai bajunya terbalik, pakai baju di celana dan celana di baju, pakai sepatu di tangan, dan apapun lainnya asal mereka merasa nyaman, itu bukan seorang papa yang baik. Ini lensa pertama yang kita bisa pakai untuk melihat soal penghakiman.
Namun poinnya bukan di situ. Poinnya, penghiburan kita adalah bahwa Tuhan kita bukan cuma Tuhan yang baik karena Dia punya standar; Tuhan kita baik maka Dia bukan cuma menghukum. Dalam hal ini, gambaran ‘orangtua’ sangat pas, karena orangtua yang baik punya peran yang tidak berhenti pada penghukuman. Orangtua yang baik juga punya peran lanjutan, tanggungjawab untuk setelah anaknya salah maka dia lalu menunjukkan langkah berikutnya. Seorang papa yang baik, selain ada hukuman, akan mengusahakan adanya rekonsiliasi, ada pemulihan anak tersebut, memperlihatkan anak ini seperti apa jalan ke depan yang lebih baik, bagaimana bisa ada restorasi/healing dari apa yang rusak. Itu tugas seorang papa yang baik, yang adil. Dan, gambaran ini tidak muncul dalam gambaran ‘hakim’, ini cuma muncul dalam gambaran ‘bapa’. Saudara lihat, itu sebabnya seorang papa yang baik tidak bisa cuma salah satu, harus ada dua-duanya. Bahkan seorang papa yang baik, menghakimi demi memulihkan.
Dalam studi saya, ada beberapa bagian Alkitab yang lucu, amazing, dan surprising, salah satunya kitab Yesaya. Kitab Yesaya secara umum terbagi dua. Pasal 1-39 bicara nubuat-nubuat penghakiman. Di bagian ini ada mengenai Yehuda akan dihancurkan Babel karena dosa-dosanya, dibuang ke Babel, dst. Lalu pasal 40-66 tiba-tiba ganti nada; saking drastisnya berganti nada, sampai ada orang yang menuduh, jangan-jangan ini bukan Yesaya lagi (kita tidak akan membicarakan itu sekarang). Bagian ini bicara mengenai nubuat-nubuat pemulihan. Ayat 1, dimulai dengan: “Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku”; bahwa Yehuda yang dibuang ke Babel ini nanti akan dipulangkan, dipulihkan kembali tembok-tembok kotanya, dst. Kitab Yesaya jadi seperti skizofren, dari nubuat penghakiman, tiba-tiba ganti jadi nubuat pemulihan. Dalam hal ini, kalau kita seorang Kristen yang naif melihat seperti ini, dan berhubung ini kitab nubuat, maka kita berasumsi kitab ini turun cetak sebelum semuanya terjadi, sebelum penghakimannya datang dan sebelum pemulihannya datang juga. Namun yang menarik, selidik punya selidik, indikasinya kuat sekali bahwa kitab ini ternyata turun cetak di tengah-tengah, pada poin transisi ketika Yehuda telah dihakimi, sedang dihakimi dengan dibawa ke pembuangan, di antara pasal 1-39 dan pasal 40-66 (mengenai kenapa bisa demikian, saya tidak ada waktu untuk bahas di sini, kapan-kapan kita bahas dalam PA). Jika demikian, bayangkan kalau Saudara sebagai penerima kitab ini, apa tujuannya bagian nubuat-nubuat pasal 1-39 itu, karena itu sudah lewat, sudah terjadi? Waktu orang-orang Yahudi menerima kitab ini, mereka basically sedang baca prediksi koran kemarin, atau bahkan koran tahun lalu, yang sudah kejadian; jadi apa poinnya, apa fungsinya?
Amazing-nya, di sini Saudara jadi sadar satu hal, alasannya nubuat-nubuat penghakiman yang sudah terjadi ini dicatat dan diberikan kepada orang Yehuda adalah untuk menunjukkan: Lihat tuh, Yesaya sudah menubuatkan ini dari dulu-dulu, kita baru kompilasi dan terbitkan sekarang supaya kamu lihat bahwa dulu kamu cuek, dulu kamu tidak percaya pada Yesaya. Sekarang kamu bisa bandingkan dengan apa yang sudah terjadi, ternyata Yesaya benar ‘kan, firman Tuhan melalui Yesaya tentang penghakiman itu terbukti terjadi ‘kan. Seperti itu dampaknya kalau Saudara baca koran kemarin, Saudara bisa membuktikan beneran terjadi atau tidak. Misalnya Saudara menemukan bahwa ternyata 40 tahun lalu Menteri Luar Negeri Amerika sudah memprediksi Rusia akan menyerang Ukraina, dan Saudara baru tahu sekarang, tentu efeknya Saudara merasa ‘hebat banget orang itu, yuk kita baca tulisannya yang lain, siapa tahu ada hal yang lain, masa depan yang kita belum tahu’. Seperti itulah kitab Yesaya. Jadi, tujuan adanya bagian penghakiman ini, justru untuk meyakinkan pembacanya terhadap berita nubuat pemulihan yang belum terjadi, bahwa hal ini juga akan terjadi. Saudara bisa menangkap logikanya? Seserius Tuhan terhadap dosa-dosamu, sepasti Ia mengizinkan penghakiman atas semua itu, seserius itu jugalah Allah akan membawa pemulihanmu dan restorasimu. Dengan demikian Saudara menyadari bahwa bagian penghakiman-penghakiman ini message-nya tidak cuma untuk menghakimi, ada sesuatu yang lebih dalam. Penghakiman yang sudah berlalu ini, malah menjadi dasar bagi pengharapan pemulihan yang akan datang. Inilah Alkitab. Amazing.
Pada dasarnya, itulah yang sedang diumumkan oleh Paulus, bahwa benar Allah menghakimi, namun Allah menghakimi justru demi memulihkan. Itulah tujuan akhirnya. Itu pengharapanmu dan pengharapanku. Bukan untuk kabur lalu main harpa nyanyi-nyanyi sepanjang kekekalan selagi dunia ini dihakimi. Sama sekali bukan. Omong-omong, kasihan kalau kita main harpa, karena harpanya nanti frustrasi berhubung kita tidak tahu cara mainnya. Pengharapanmu dan pengharapanku adalah suatu hari kita digerakkan oleh Roh yang sama dengan Roh yang membangkitkan Kristus, Roh yang oleh-Nya kita mengatakan, “Ya Abba, ya Bapa” sebagaimana Yesus memanggil Allah sendiri, kita akan dibangkitkan sebagaimana Dia dibangkitkan.
Waktu Yesus menampakkan diri-Nya dengan tubuh kebangkitan-Nya, tubuh kemuliaan-Nya, para murid memang benar tidak langsung mengenali-Nya. Ada something yang beda. Namun tidak sedikit juga yang akhirnya menyadari bahwa inilah Yesus, Jadi ada kesamaannya, tapi juga ada something yang baru, yang melampaui yang lama. Yesus juga minta ikan, dan Dia makan, maka berarti ini memang tubuh manusia –dan kalau demikian, asumsi saya Dia belakangan juga perlu pup ikannya keluar. Jadi, Yesus masih adalah Yesus, namun pada saat yang sama Yesus juga bisa tiba-tiba menembus pintu yang tertutup, bisa muncul lalu tidak muncul –ada something more. Bukan berkurang, tidak ada yang berkurang, yang ada adalah sesuatu yang tambah.
Yang sedang mau diberitakan dalam bagian ini adalah sebagaimana Yesus ini bangkit, kebangkitan-Nya itu adalah sebuah model (dikatakan ‘buah sulung’) dari kebangkitanmu dan kebangkitanku. Kita juga akan mendapatkan tubuh-tubuh kebangkitan ini, yang mungkin nanti waktu pertama kali bertemu, kita akan pangling-pangling dulu, “Ini siapa ya??” tapi lalu kita bisa mengenali, “Ah… itu Jethro! Ya ampun, Pak Jethro! Sudah lama banget, ratusan tahun…” , dst. Namun Saudara juga melihat ada sesuatu yang lebih; dalam hal apa? Kita tidak tahu secara persis, dan mungkin tidak perlu tahu juga. Tapi poinnya, kalau sebagaimana Kristus seperti itulah juga kita, maka ciptaan ini pun sama, ciptaan ini akan masuk ke dalam kemerdekaan anak-anak Allah ini. Mereka juga akan sama seperti kita. Mereka bukan akan dibakar mereka akan dipulihkan.
Pengharapan kita, di langit dan bumi yang baru nanti, kita akan menikmati makan makanan enak, di pinggir pantai, ketika matahari terbenam, dan angin semilir menerpa wajah kita, sambil mendengarkan deru ombak dan suara canda tawa anak-anak yang bermain di pinggir pantai. Dan tidak cuma itu, karena tidak ada yang berkurang melainkan it’s gonna be better, it’s gonna be something more karena yang kita punya hari ini masih diikat oleh perbudakan, terumbu-terumbu karangnya terikat oleh perbudakan manusia, bleaching putih di mana-mana. Imagine apa yang terjadi ketika bukan cuma semua ini dikembalikan ke awal tapi melampaui yang di awal, apa yang terjadi ketika pada akhirnya anak-anak Allah dimuliakan. Imagine, Saudara; meski tidak bisa imagine juga karena ini melampui semua imajinasi kita. Itu sebabnya Paulus mengatakan, kalau kamu punya pengharapan seperti ini, maka penderitaan zaman sekarang tidak bisa banding. Apakah Saudara bisa mulai mengaminkan perkataan Paulus?
Terakhir, di ayat 22 tadi Paulus mengatakan: “Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala ciptaan sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.” Saudara lihat satu lagi bahasa yang Paulus berikan, bukan cuma ‘keluhan/groaning’, juga bukan cuma alam ciptaan yang groaning, di ayat berikutnya Paulus mengatakan kita pun ikut groaning bersama mereka. Ayat 23: “Bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita”. Lanjut lagi ke ayat 26 bahkan dikatakan Roh pun ikut berdoa bersama kita dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Jadi semuanya kena. Kenapa? Karena ciptaan ada di bawah perbudakan, kita masih menantikan pembebasan tubuh kita, demikian kata Paulus. Omong-omong, ini bukan pembebasan dari tubuh (yang seperti itu cerita Platonisme, bukan Alkitab); ini pembebasan tubuh. Tubuh kita hari ini masih terikat dalam kesia-siaan, kefrustrasian, kita tidak bisa mencapai apa yang harusnya kita bisa capai; dan penderitaan/kefrustrasian seperti ini tidak hilang dengan kita menjadi orang Kristen. Bahkan menjadi orang Kristen, bagi Paulus tandanya adalah juga mendapatkan Roh yang mengeluh bersama dengan kita. Kalau Roh yang ada dalam hatimu tidak ikut mengeluh bersama denganmu, saya tidak tahu itu apa, tapi itu bukan Kekristenan –kata Paulus–karena kehidupan di zaman ini memang kehidupan dengan warna penderitaan. Namun, kalau kita punya pengharapan yang sejati, pengharapan akan langit dan bumi yang baru, pengharapan akan pemulihan –dan tidak cuma penghakiman– maka Paulus menambahkan satu bahasa di sini, yaitu bahwa keluhan-keluhan tersebut akan jadi seperti erangan-erangan sakit bersalin. Pada poin ini harusnya saya berhenti berkhotbah, dan salah seorang dari Saudari yang pernah mengalami sakit bersalin melanjutkan, menggantikan saya, karena ibu-ibu jauh lebih tahu perasaan itu daripada saya.
Kehamilan itu ada unsur nuansa perbudakannya. Tubuhmu ketika hamil, itu seperti diperbudak, diambil alih oleh manusia yang lain. Tubuhmu menjalani berbagai proses perubahan, yang semuanya terjadi bukan untuk melayanimu, melainkan melayani seorang bayi kecil yang bertumbuh makin lama makin besar. Badanmu di-take-over. Ini mirip film alien, di mana alien itu menusukmu dengan embrionya, memakai tubuhmu jadi sarang tempat anaknya bertumbuh lalu suatu hari akan keluar, menimbulkan pendarahan besar. In some sense seperti itulah kehamilan manusia. Ini sebabnya kehamilan menakutkan bagi banyak orang; semua wanita tahu ini lebih jelas dibandingkan saya. Namun demikian, ketika keluhan-keluhan ini diganti bahasanya jadi erangan-erangan persalinan, maka perbudakan ini jadi lain, perbudakan ini jadi worth it, karena lewat erangan-erangan yang tidak terucapkan itu, suatu kehidupan yang baru akan datang ke dalam hidup kita. Bundle of joy, demikian biasa orang katakan. Ada new life, yang datang bagi kita.
Saya mau tanya satu hal: mengetahui ending-nya seperti ini, apakah akan mengurangi kesakitan dan teriakan-teriakanmu? Tidak ‘kan, malah somehow lebih sakit, lebih ngeri, karena Saudara jadi menyadari bahwa dalam proses ini, yang sakit dan yang ada resiko bukan cuma dirimu tapi juga diri anakmu, jadi menambah kesakitannya dan taruhannya. Tapi, dalam gambaran groaning yang baru ini, ketika hasil akhirnya itu datang, maka benar-benar itu tidak bisa banding dengan semua penderitaan sebelumnya. Itu sebabnya Paulus pakai gambaran ini. Seperti itulah pengharapan Kristiani yang Paulus ceritakan kepada kita. Saudara lihat ironinya, kenapa wanita bisa sakit bersalin, adalah karena dosa, kutukan terhadap manusia; tapi kutukan ini Paulus ambil menjadi bahasa yang melambangkan pengharapan yang baru, pengharapan yang melahirkan new life! Betapa luar biasanya cara Tuhan kita bekerja. Dan, bukan cuma new life manusia-manusia baru saja, tapi juga new life dalam arti new heaven and new earth, langit dan bumi yang baru, karena untuk itulah manusia-manusia seperti Saudara dan saya diperbarui.
Betapa bedanya pengharapan Kristiani, karena selama ini mungkin yang kita dengar dan yakini adalah ‘kalau kita orang Kristen, maka hidup kita akan lebih baik, lebih painless; atau okelah kita mengalami penderitaan, tapi kalau kita beriman maka kita bisa mengalaminya dengan nyanyi-nyanyi pujian, dengan canda tawa, atau paling tidak dengan sikap stoik-lah, tidak pernah mengeluh’. Namun coba Saudara lihat, berapa kali kata ‘mengeluh’ dikatakan di sini? Ciptaan mengeluh, kita mengeluh, bahkan Roh Kudus pun mengeluh bersama dengan kita. Sekarang Saudara masih pikir iman Kristen tidak punya ruang bagi keluhan? Saya tidak tahu itu cerita apa, itu bukan cerita Kekristenan.
Realitasnya bahkan sebaliknya, Saudara menjadi murid Kristus, Saudara akan mengerang lebih banyak dibandingkan kalau Saudara bukan orang Kristen. Koq, bisa? Karena salah satu karya Tuhan bagi orang-orang yang diselamatkan, pembaruan yang Tuhan berikan bagi manusia, pakai bahasa “hati yang tadinya keras seperti batu, akan dilunakkan”; kita akan diberikan hati yang adalah daging dan darah, bukan lagi batu. Bayangkan kalau orang hatinya lunak seperti ini, dia akan lebih apa? Lebih stoik? Atau, justru lebih sering meratap, menangis, karena dia bukan cuma menangis urusan penderitaannya, tapi juga lebih mudah tersentuh penderitaan orang-orang lain di sekitarnya. Menjadi orang Kristen, Saudara akan lebih sering meratap, bukan berkurang, karena Saudara akan meratap bersama orang-orang sekitarmu yang meratap. Itu realitasnya menjadi murid Kristus. Dan sekali lagi, ini tidak ditulis dengan font kecil.
Pengharapan yang datang oleh kebangkitan Kristus tidak menghilangkan penderitaan sama sekali. Semua murid Kristus akan tetap ikut dalam penderitaan universal yang semua manusia alami, bahkan kita akan lebih banyak meratap dibandingkan orang lain. Tapi bedanya adalah: oleh karena apa yang Kristus lakukan, oleh karena pengharapan kemuliaan yang akan datang itu, penderitaan zaman sekarang ini tidak akan bisa dibandingkan dengan kemuliaan yang akan datang itu. It’s gonna be worth it. Itu pengharapannya. Itu efek kebangkitan Yesus Kristus bagi Saudara dan saya. Tidak heran Paulus mengatakan, “Sia-sia imanmu jikalau Yesus tidak dibangkitkan”.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading