Paskah didahului oleh 40 hari periode Lent, waktu untuk kita mempersiapkan diri menerimanya. Paskah juga dilanjutkan dengan 40 hari periode yang dalam Kalender Gereja dinamakan Minggu-minggu Paskah, waktunya Gereja merenungkan arti kebangkitan Yesus bagi hidup mereka. Ini satu tradisi yang wonderful, kita sudah memulainya sejak tahun lalu, kita akan lanjutkan terus dalam tahun-tahun mendatang, karena ini bukan cuma tradisi yang indah tapi juga tradisi yang perlu. Kenapa? Karena kalau hari ini ditanya ‘apa arti kebangkitan Yesus’, banyak orang Injili tidak bisa menjawabnya; dan ini bukan karena malas belajar, tidak cinta Tuhan, dsb., melainkan simply karena tradisi Injili sering kali membahas peristiwa sepenting kebangkitan Yesus, cuma satu kali setahun. Tidak heran, kita jadi tidak mengerti mengenai kebangkitan Yesus. Ini jelas bukan cara para Bapa Gereja melihat signifikansi dan bobot dari kebangkitan Yesus; itu sebabnya mereka mendedikasikan 40 hari untuk mengantisipasinya, dan 40 hari lagi untuk membicarakannya –porsi yang sangat signifikan dalam satu tahun Kalender Gereja. Jadi, itulah yang akan kita lakukan, mulai dari tahun lalu sampai tahun-tahun mendatang, selama saya masih jadi Gembala sidang di sini. Segala sesuatu dalam hidup ini yang agung, signifikan, berbobot, selalu butuh waktu –butuh waktu untuk mengertinya, untuk menghidupinya, untuk benar-benar menangkap skalanya–demikian juga Paskah. Saudara pergi ke Dufan saja, satu hari kayaknya tidak selesai. Segala sesuatu perlu waktu, apalagi yang besar, yang berdampak seberdampak Paskah, yang indah seindah Paskah.
Dalam Minggu Paskah pertama, yaitu hari Paskah, kita membahas bagaimana Paskah menuntut kita untuk melihat dengan mata yang baru dan menanggalkan mata yang lama. Hari ini kita mau membahas bagaimana Paskah memberikan kita pengharapan yang baru, dari 1 Petrus 1:1-9.
Petrus adalah salah satu saksi pertama kubur kosong, juga seorang yang paling pertama melihat Yesus setelah bangkit. Kira-kira sekitar 20 tahun setelah melihat kebangkitan Yesus, Petrus menulis surat yang kita namakan Surat 1 Petrus, yang dialamatkan bukan cuma ke satu jemaat tapi kepada sekumpulan jemaat, di daerah-daerah yang hari ini kita namakan Turki (ayat 1). Kenapa dia menulis kepada mereka? Sepertinya karena jemaat-jemaat ini sedang mengalami penderitaan, kemungkinan besar penganiayaan (ayat 6: “… sekalipun kamu harus berdukacita sekarang ini oleh karena berbagai macam pencobaan”). Ini masuk akal, karena waktu itu Kekristenan memang sangat dicurigai di mata umum, bahkan mereka sering kali dianggap sebagai orang-orang ateis. Perhaps ironi besar zaman ini Kekristenan malah dikontraskan dengan ateisme, sedangkan pada abad-abad pertama dalam Kekaisaran Romawi, orang Kristen yang malah dicap ateis. Kita tahu ini dari dokumen-dokumen pengadilan. Misalnya, seorang pemimpin Kristen bernama Polikarpus di abad pertama, murid Yohanes, diadili oleh Pengadilan Romawi dengan tuduhan dia ateis. Kenapa? Karena dia menolak mengakui keilahian Kaisar Romawi. Dia dan orang-orang Kristen menolak mengakui eksistensi dewa-dewi Romawi, dan dengan demikian mereka dianggap ateis, berhubung masyarakat zaman itu merasa mereka ini tidak masuk akal sama sekali. Dan, karena mereka menolak dewa-dewi Romawi, mereka jadi tidak ikut-ikutan dalam banyak hal dari budaya Romawi yang menyembah dewa-dewi. Hal ini menyebabkan masyarakat jadi gampang memandang orang Kristen sebagai sekte yang harus dicurigai –dan di sisi lain, dengan kekaguman juga. Jadi orang-orang Kristen ini menghadapi mulai dari skala harassment, diganggu, diledek, dihina, sampai ada yang ditangkap, dimasukkan penjara, bahkan ada yang dibunuh, dilempar ke binatang buas –karena mereka mengikut Yesus.
Petrus mengetahui semua itu, maka dia menulis surat pastoral kepada jemaat-jemaat yang sedang mengalami penderitaan dan kesusahan besar ini. Poin khotbah hari ini, adalah untuk kita note satu hal: ketika Petrus menulis kepada orang-orang ini, ketika Petrus mau menguatkan mereka dan memberikan mereka pengharapan, apa hal yang pertama-tama yang Petrus katakan kepada mereka? Ayat 3: “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan”.
Perhatikan, ketika Petrus berhadapan dengan orang-orang Kristen yang dianiaya –dari yang sekadar dicurigai dan diolok-olok tetangga, sampai kepada mereka yang dipukul di jalan-jalan, mereka yang mengalami pengalaman-pengalaman horor karena tiba-tiba anggota keluarganya tidak pulang, dijebloskan ke penjara, untuk kemudian dilemparkan ke binatang buas– apa yang Petrus katakan? Petrus tidak cuma mengatakan urusan kasih Tuhan; yang Petrus terpikir dan tuliskan, pertama-tama adalah mengenai Paskah dan kubur kosong. Waktu Petrus berhadapan dengan fakta kebangkitan Yesus, dia tidak simply mengatakan bahwa dunia ternyata ajaib, bisa ada yang aneh-aneh kayak begini, orang mati bisa hidup lagi; bagi Petrus, kebangkitan Yesus itu punya dampak yang besar, memberikan hidup yang penuh pengharapan. Bagi Petrus, kubur kosong dan Yesus yang telah bangkit ini sesuatu yang berdampak terhadap masa depan dunia ini, masa depan umat manusia, masa depan murid-murid Yesus. Itulah yang namanya pengharapan. Demikian hal yang pertama.
Hal yang kedua yang lebih mengagetkan kita adalah: bukan cuma Paskah ini sesuatu yang menimbulkan hidup yang penuh pengharapan, tapi juga bahwa kebangkitan Yesus itulah yang melahirbarukan kita. Saudara pernah mendengar ini? Ini ada di Alkitab.
Istilah ‘melahirbarukan’ bukan istilah yang orisinal dari Petrus, ini istilah yang keluar dari mulut Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes. Ketika Dia bertemu Nikodemus, seorang guru bagi banyak orang di Yetrusalem, seorang yang sangat terpelajar, Yesus mengatakan kepadanya, “Engkau perlu dilahirbarukan”. Maksudnya mau mengatakan ‘ada sesuatu yang berefek begitu besar pada dirimu, Nikodemus, yang engkau butuhkan, yang harusnya mengubah caramu memandang hidup ini, mengubah caramu menghidupi hidup ini, mengubah semua tindakan, perilaku, dan habit-habit dalam hidup ini, sampai-sampai satu-satunya bahasa manusia yang cukup proper untuk mengungkapkan ini adalah bahwa engkau seakan-akan dilahirkan lagi’. Lalu di bagian ini Petrus mengungkap kepada kita, apakah yang dalam Kekristenan punya efek sedemikian besar itu, yaitu bukan sekadar salib dan kematian Yesus yang mungkin selama ini kita pikir itu kuncinya, bukan sekadar kuburan, tapi kuburan kosong. Sebegitu penting kebangkitan Yesus bagi kehdupan Kristiani kita. Paskah memberikan kita pengharapan baru, cara pandang masa depan yang baru, karena Paskah sesungguhnya memberikan kepada kita “masa lalu” yang baru, kelahiran yang baru.
Pertanyaannya: kenapa kita tidak merasa demikian, kenapa bagi kita kebangkitan Yesus seperti satu hal yang sambil lalu saja? Jawaban paling sederhana: karena kita cuma bahas kebangkitan Yesus satu kali setahun. Dan, itu sebabnya kita bukan cuma akan, tapi perlu membahas ini 40 hari setiap tahunya. It’s a big thing, perlu waktu.
Hari ini kita mulai dengan membahas mengenai pengharapan. Kita akan lebih mengerti bagaimana kebangkitan Yesus sedemikian besar efeknya bagi pengharapan manusia, kalau kita lebih dulu mengerti seberapa besar efek pengharapan bagi hidup manusia. Inilah hal pertama yang akan kita bicarakan dulu, pengharapan dan hidup manusia.
Secara permukaan, kita tahu manusia butuh pengharapan untuk bisa hidup. Saya pernah nonton satu adegan film yang menarik, ada seseorang mengatakan kepada yang lain, “Tapi… masih ada harapan ‘kan??” Lalu tokoh satunya menimpali secara sarkastis: “Ya, pastilah ada pengharapan; pengharapan selalu ada karena pengharapan matinya terakhir”. Ini kalimat yang menarik. Pengharapan matinya terakhir, maksudnya begitu pengharapan habis, biasanya karena nyawa juga habis. Orang tidak bisa hidup tanpa pengharapan. Mungkin itu sebabnya dalam culture kita hari ini ada istilah pehape, tidak boleh Saudara memberikan harapan palsu kepada seseorang, itu kejam. Diberikan jam palsu, orang masih bisa senang, tapi diberi harapan palsu, orang bisa kecewa dan sakit hati luar biasa.
Tokoh yang arguably paling cocok untuk mengajak kita mengerti hubungan pengharapan dan hidup manusia, adalah dari tulisan Viktor Frankl. Viktor Frankl adalah seorang Yahudi, pernah masuk ke kamp konsentrasi Nazi waktu holocaust Perang Dunia II, dan akhirnya survive dari kamp tersebut meskipun seluruh keluarganya mati di sana –kecuali dia bersama satu kakak perempuannya. Yang menarik dari tulisan Frankl, dia bukan cuma menuliskan pengalamannya sendiri di kamp tersebut, tapi berhubung dia seorang psikolog/psikoterapis maka dia juga menuliskan hasil analisa kejiwaan dari berbagai macam orang lain yang ada bersamanya di kamp tersebut. Judul bukunya: Man’s Search for Meaning. Dalam buku tersebut, Frankl basically menganalisa orang-orang di kamp konsentrasi itu. Dia melakukan ini bukan karena dia ilmuwan sinting yang tidak berperasaan yang bikin eksperimen di tengah-tengah kamp konsentrasi, melainkan karena dia menemukan bahwa satu-satunya cara untuk dirinya bisa bertahan hidup di tengah-tengah menyaksikan segala kengerian dan kekejaman manusia di situ, adalah dengan coba menganalisanya secara psikologis. Dia tidak cuma mengerjakan tugas rutinnya di kamp tersebut (kerja paksa, dll.), tapi juga “terima pasien” dalam waktu senggangnya. Ini bukan cuma terapi bagi orang-orang yang datang kepadanya, tapi juga terapi bagi dririnya sendiri.
Pertanyaan utama yang Frankl bahas adalah: bagaimana manusia memproses/merespons horor/kengerian yang terjadi dalam kamp tersebut; kenapa ada sebagian orang yang sepertinya bisa tahan, dan ada orang-orang yang hancur berantakan? Berhubung hari ini kita khotbah tentang pengharapan, bisa jadi Saudara pikir jawabannya pasti karena ada orang-orang yang punya pengharapan dan ada orang-orang yang tidak punya pengharapan. Namun ternyata gambarannya tidak sesimpel itu.
Sebelum kita lanjutkan, satu hal yang menarik dari Viktor Frankl –meskipun kita mengakui yang dilakukan Nazi dalam holocaust itu sangat keji, sangat kejam, extra ordinary, skalanya melampaui segala yang pernah terjadi dalam sejarah manusia– adalah bahwa Frankl punya satu poin bagus, dia mengatakan bahwa pengalaman penderitaan di kamp konstrasi sebenarnya pengalaman yang cukup universal dialami oleh semua umat manusia. Bagaimana bisa? Coba Saudara pikirkan, apa yang terjadi ketika Saudara masuk kamp konsetrasi? Pertama, Saudara kehilangan rumahmu karena diciduk dari rumahmu; Saudara kehilangan kampungmu, kehilangan akarmu (sense of your home). Lalu Saudara kehilangan orang-orang yang kau kasihi, teman-temanmu, keluargamu. Lalu Saudara kehilangan arah hidup, karena tidak lagi punya karier, tidak lagi punya pencapaian, status masyarakat pun hilang. Saudara tidak lagi punya kepemilikan; harta, properti, semuanya diambil. Saudara kehilangan kebebasanmu. Saudara kehilangan kesehatanmu. Dan yang terakhir, Saudara kehilangan nyawamu. Inilah pengalaman orang-orang di kamp konsentrasi. Tapi, sebenarnya semua manusia juga mengalami ini, cepat atau lambat, hanya saja secara normal hal-hal ini dialami manusia dalam periode waktu yang cukup panjang. Keunikan pengalaman kamp konsentrasi adalah: mereka mendapatkan pengalaman-pengalaman tersebut secara lebih padat, dalam periode waktu yang sangat pendek; dalam satu dua tahun, semua ini bisa terjadi. Jadi Saudara bisa bayangkan bobot dari semua pengalaman ini yang datang bertubi-tubi dalam waktu sangat singkat, itulah yang menyebabkan pengalaman kamp konsentrasi jadi sangat mengerikan. Namun di sisi lain poin dari Frankl adalah bahwa in some sense pengalaman hidup orang di kamp konsentrasi tidak beda secara kualitatif dengan pengalaman hidup Saudara dan saya; bedanya lebih secara kuantitatif, secara kronologis. Hal ini penting untuk kita bahas di awal, karena kita jadinya bisa, dan perlu, belajar dari pengalaman-pengalaman orang-orang ini.
Kembali ke pertanyaan Frankl, kenapa ada yang tahan dan ada yang hancur? Kita lalu mengatakan, itu karena ada yang berpengharapan, dan ada yang tidak berpengharapan. Membagi jadi dua kelompok seperti itu, memang ada benarnya. Ada orang-orang dari grup pertama, masuk kamp konsentrasi dengan tidak lagi punya hope maka mereka berespons dengan menjadi orang-orang yang brutal, mereka tidak merasa keadaan akan jadi baik maka mereka berespons dengan pada dasarnya jadi binatang, mementingkan insting dan survival masing-masing, tidak lagi ada rasa ingin memberi kepada orang lain, semuanya simply untuk bertahan hidup. Ini kemungkinan pertama dari orang-orang yang tidak punya pengharapan. Namun ada tipe kedua dari orang-orang yang tidak punya pengharapan, yang simply tidak peduli lagi, apatis, kehilangan semangat juang, bahkan tidak lagi bisa merasakan apa-apa, hidup seperti zombi. Dua tipe ini, meskipun berbeda, sebenarnya dihasilkan dari satu akar yang sama: tidak lagi punya pengharapan.
Kalau demikian, jadinya yang survive adalah orang-orang yang punya pengharapan, dong? Tidak juga. Tidak semua orang yang berpengharapan otomatis jadi lebih baik, tergantung apa pengharapannya. Ada kelompok yang ketiga –orang-orang yang berpengharapan– dan mereka ini yakin sekali akan pengharapannya, tapi ternyata tidak survive. Yang pertama, orang-orang yang yakin banget perang akan segera berakhir. Ada satu orang yang ikut terapinya Frankl, yang yakin banget perang akan berakhir anggaplah tanggal 30 Maret, karena dia mendapatkan mimpi, dsb., dan Frankl mencatat bahwa orang ini, semakin mendekati tanggal tersebut semakin nervous, lalu ketika dia curi-curi dengar dari radio selundupan bahwa perang tidak kunjung selesai, maka satu hari sebelum tanggal tersebut dia demam tinggi, dan hari H-nya, 30 Maret yang dia tunggu-tunggu itu, dia kehilangan kesadaran, dan pada hari H+1 dia meninggal.
Ada lagi tipe pemimpi yang lain, yang tidak langsung mati sedramatis itu, tapi ada poin-poin dalam hidupnya yang mereka kehilangan harapan –karena mereka punya pengharapan yang besar, pengharapan yang terlalu muluk– maka mereka menolak bangun dari tempat tidurnya, menolak untuk baris-berbaris sebagaimana setiap pagi. Mereka diancam tentara Nazi, tapi tidak peduli. Mereka dipukuli, namun tetap tidak ada efeknya. Mereka simply berbaring teronggok di tempatnya, mereka menyerah, harapan mereka sudah mati –karena harapan mereka tadinya terlalu besar–maka tubuh mereka pun tinggal tunggu waktu.
Ada beberapa jenis orang lagi yang juga berpengharapan tinggi, dan orang-orang ini survive. Setelah perang selesai, mereka keluar, bebas dari kamp tersebut. Mereka adalah orang-orang yang berpengharapan kira-kira sebagaimana mereka katakan ini: saya harus bertahan hidup mati-matian, karena nanti setelah perang selesai, saya akan mendapatkan hidup saya seperti sediakala, saya akan bertemu kembali dengan anggota-anggota keluarga saya yang sekarang terpisah-pisah, saya akan mendapatkan kembali rumah, harta, dan status sosial saya. Itulah pengharapan mereka; dan itu sebabnya beberapa dari mereka survive setelah Jerman kalah dan mereka bebas. Namun ketika mereka pulang dan menemukan kehidupan setelah perang ternyata tidak sesuai sama sekali dengan pengharapannya, maka banyak dari mereka yang akhirnya jatuh ke dalam depresi, tidak sedikit yang sakit, bahkan ada yang bunuh diri.
Jadi, ada tiga grup yang tidak survive. Ada yang jadi binatang, ada yang jadi zombi, dan ada yang mimpi indah. Semuanya tidak survive, semuanya hancur berantakan. Namun Frankl mengatakan, ada grup yang terakhir, grup keempat, tapi grup yang paling kecil jumlahnya. Somehow tipe orang keempat inilah yang bisa survive, tidak cuma secara tubuh tapi juga secara jiwa. Somehow di kamp konsentrasi orang-orang ini masih bisa mempertahankan kemanusiaan mereka, masih ada ruang untuk memberi kepada orang lain, dan to certain degree mereka masih bisa mangap di atas segala penderitaan yang ada. Tidak berarti mereka happy, tidak berarti mereka tidak menderita, tapi mereka simply tidak tenggelam. Somehow meskipun tangan dan kaki mereka terbelenggu, jiwa mereka bisa ada semacam kebebasan melampuai belenggu-belenggu tersebut. Pertanyaannya: apa yang unik pada orang-orang ini? Memang mereka punya pengharapan, tapi bukankah grup yang ketiga tadi juga punya pengharapan? Kalau demikian, pengharapan grup keempat ini beda. Frankl mengatakan, mereka adalah orang-orang yang punya pengharapan yang Frankle sebut sebagai ‘pengharapan yang simpel’, pengharapan yang sederhana, bukan dalam arti pengharapan yang bodoh atau ecek-ecek, melainkan pengharapan-pengharapan yang tidak terikat oleh situasi hidup, pengharapan yang bisa tetap bertahan di dalam situasi hidup apapun. Inilah simple hope. Misalnya, seorang baker pengharapannya cuma bahwa suatu hari bisa panggang roti lagi, karena yang menggerakkan dia simply adalah sukacita dalam memanggang roti, itu saja. Ada lagi seorang musikus, yang pengharapannya cuma bahwa suatu hari bisa mengambil sebuah instrumen dan memainkannya kembali. Demikian juga orang-orang seperti Frankl, yang harapannya untuk suatu hari bisa menolong orang-orang lagi lewat psikoterapi, dsb. Orang-orang seperti inilah yang somehow bisa survive luar dalam; tentu saja bukan survive tanpa luka, bukan happy go lucky yang tidak merasa sakit atau tidak peka dengan penderitaan, melainkan survive saja –paling tidak, survive secara semi healthy.
Saudara lihat, pengharapan itu penting, namun ternyata yang lebih penting adalah bukan sembarang pengharapan. Pengharapan yang bisa bikin orang survive dari kamp konsentrasi adalah pengharapan yang tidak bisa direnggut orang lain atau diambil oleh situasi kehidupan apapun. Inginkah Saudara punya pengharapan seperti ini, pengharapan yang olehnya kita benar-benar bisa hidup –hidup baru, lahir baru– karena ini pengharapan yang tidak bisa direnggut/diambil/diruntuhkan oleh apapun dan siapapun? Jika ya, itulah yang Petrus sedang tuliskan di bagian suratnya ini.
Sebelum kita lanjut, momen ini bisa Saudara pakai untuk refleksi: pengharapan apa yang selama ini kita punya, pengharapan apa yang selama ini kita pegang, pengharapan apa yang selama ini kita pikir bisa membawa kita melewati segala situasi hidup? Semua orang –tidak cuma mereka yang di kamp konsentrasi– akan mengalami hal-hal tadi, hanya saja tidak segabret langsung, atau mungkin juga masih ada kesempatan karena siapa yang tahu hidup manusia ke depannya. Namun intinya, suatu hari ketika Saudara dan saya mengalami kehilangan, kedukaan, penderitaan, dan kematian, maka pengharapan apa yang kita punya yang bisa membuat kita survive dari semua itu? Pengharapan apa yang kita punya sekarang? Apakah pengharapan kita hari ini cukup kuat atau tidak, cukup simpel atau tidak –dalam arti tidak terikat oleh hal-hal dalam dunia ini yang bisa rusak, yang bisa direnggut dan diambil orang, yang bisa dirusak ngengat dan karat? Apakah pengharapan kita sungguh tidak didasarkan pada hal-hal itu?
Fakta Petrus menuliskan semua hal ini, membuat kita menyadari bahwa menjadi pengikut-pengikut Kristus, bagi Petrus tidaklah imun dari semua penderitaan; bahkan menjadi pengikut-pengkut Kristus malah menaikkan resiko penderitaan, bukan mengurangi. “Barangsiapa mau mengikut Kristus, harus memikul salibnya”, ini tidak ditulis dengan font kecil. Namun demikian Petrus juga melihat bahwa kita punya pengharapan yang hidup, a living hope, pengharapan yang tidak mati, “… yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar, yang tidak dapat layu, yang tersimpan di surga bagi kamu” (ayat 4).
Waktu dikatakan ‘yang disimpan di surga’, bukan berarti kita mendapatkannnya nanti ketika kita ke sana, melainkan kebalikannya, karena dalam teologi Alkitab justru yang dari sana itulah yang akan datang kemari; ‘disimpan di surga’, ini berarti aman, karena yang disimpan di surga ini tidak terikat dengan situasi-situasi dunia di bawah sini. Saudara lihat ayat 5: “…kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir –pada waktu Yesus datang kembali, untuk membawa kemuliaan yang total bagi langit dan bumi yang baru ini”, artinya justru hal itulah yang akan datang ke sini. Dengan demikian, kita punya sesuatu –kata Petrus– di surga, yang tidak akan berubah, yang jadi jaminan masa depan, yang tidak bisa dirampok, yang tidak bisa direnggut manusia, yang tidak bisa dirusak oleh waktu atau ulat atau inflasi atau tarif-tarif; dan hal ini di-unlock bagi kita melalui Paskah, melalui kubur kosong Yesus, Orang Nazaret. Itu sebabnya tidak heran bahwa kebangkitan harusnya mempengaruhi hidup kita hari ini secara sangat signifikan, karena pengharapan Saudara di masa depan itulah yang menentukan bagaimana Saudara handle kehidupan hari ini.
Imagine Saudara punya dua karyawan, dua-duanya diberi tugas sama berat, kerja 100 jam seminggu, tidak ada cuti, tidak ada asuransi; dan Saudara bayar yang seorang 500 ribu/bulan, yang seorang lagi 500 M/bulan –dengan pekerjaan yang sama. Yang satu akan mengatakan, “Gua ‘gak tahan, mendingan bunuh diri daripada kerja kayak begini”, sementara yang satu lagi mengatakan, “Best job ever”; dan ini belum dibayar, baru bulan pertama. Kenapa bisa beda seperti ini? Karena pengharapan, karena urusan masa depan –karena pengharapannya beda. Inilah yang Petrus mau berikan kepada kita, dengan mengatakan bahwa kita ini punya pengharapan yang seperti itu. Kita lalu mengatakan, “Wow! Oke, saya mau pengharapan yang kayak begitu dong, karena pengharapannya beda”. Ini hal pertama yang kita lihat, bahwa pengharapan kita dalam kebangkitan Yesus Kristus itu something yang totally different dengan apa yang selama ini kita punya.
Sekarang kita masuk ke dalam hal kedua, kita musti sadar juga dalam bagian ini, bahwa bukan cuma pengharapannya beda kualitas, tapi juga cara kerja pengharapannya pun beda. Kita perlu menyadari dan expect hal ini. Kalau Saudara mengikuti berita balap mobil Formula 1 tahun 2025, ada seorang juara yang sangat hebat, namanya Lewis Hamilton, yang jumlah kemenangannya melampaui Michael Schumacher, jadi kalau secara statistik arguably Lewis Hamilton merupakan the greatest driver dalam sejarah F1. Lewis Hamilton ini, setelah selama 12 tahun berada dalam Tim Mercedes, tahun 2025 pindah ke tim yang baru, Tim Ferrari. Dan, Saudara tahu satu hal yang terjadi ketika juara besar ini lompat ke mobil yang baru, dia tidak bisa simply lompat lalu langsung melarikan mobilnya kencang, dia harus adaptasi dengan mobil yang baru, karena cara kerja mesinnya lain/baru, cara komunikasi dalam timnya juga baru. Bahkan sebelum pindah pun, waktu orang-orang mewawancarainya, dia sudah expect akan hal ini, dan memang realitasnya dia struggle, mobilnya tidak jalan sekencang yang dia mau. Jadi sudah expect pun masih susah, apalagi kalau petantang-petenteng berasumsi semua sama saja dan bakal lancar, pasti kecewa berat. Sama halnya dengan itu, demikian juga pengharapan yang baru. Kita perlu datang kepada pengharapan yang baru itu dengan kerendahan hati. Kita harus rela menerima bahwa ada hal-hal yang mungkin kita rasa seperti berlawanan, tidak masuk akal, tidak seperti kebiasaan kita, namun itu harusnya something yang kita to be expected –kalau kita sadar ini pengharapan yang benar-benar baru, bahkan beda kualitas, melampaui semua pengharapan yang lain.
Omong-omong, itu sebabnya dalam Kalender Gereja, rangkaian khotbah minggu-minggu Paskah selalu dimulai dengan khotbah Easter Humility. Apapun yang dikhotbahkan mengenai Paskah, hal pertama yang harus dibahas adalah perlunya kerendahan hati, kerelaan, untuk meletakkan gambar-gambar lukisan yang kita anggap otentik selama ini, demi apa yang Alkitab berikan. Meskipun gambar yang Alkitab berikan itu Yesus-nya hidungnya seperti terlalu gede, rambutnya terlalu kasar, basically kelihatan jelek di mata kita, tapi kita perlu kerendahan hati untuk menerimanya.
Benar bahwa pengharapannya baru, tapi cara kerjanya juga baru. Di ayat 6, Petrus mengatakan: “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan”. Inilah cara kerjanya. Cara kerja pengharapan yang baru dalam kehidupan Kristen yang sejati ini, punya paradoks. Pertama, ada sukacitanya; dikatakan di sini ‘bergembiralah’ (Saudara jangan baca ‘bergembira’ ini sebagai sesuatu yang lebih rendah daripada sukacita; kata bergembira di sini dipilih oleh LAI untuk mengungkapkan great joy, sukacita yang besar). Sukacita besar ini terjadi hari ini, bergembiralah akan hal itu —present tense–namun perhatikan kalimat berikutnya, ‘sekalipun kamu sekarang juga harus berdukacita karena pencobaan’ –present tense juga. Kata ‘dukacita’ yang dipakai di sini pun tidak sembarangan, yaitu lypeo, kata yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan Tuhan Yesus waktu Dia di Taman Getsemani; ini implikasi keringat darah. Jadi, ada sukacita besar sekarang, dan juga dukacita keringat darah sekarang –inilah cara kerjanya.
Itu sebabnya menjadi orang Kristen harus berani terima kompleksitas, harus bisa pegang ketegangan-ketegangan seperti ini bersamaan, take it or leave it, jangan cuma mau pilih salah satu. Ini bukan yang satu setelah yang lain, tapi barengan; dan cara kerja seperti ini ‘gak nyambung bagi banyak orang secara umum. Kenapa? Karena bagaimana mungkin saya bisa ada sukacita, kalau hal-hal dalam hidup saya ini diambil/direnggut orang?? Saya berdukacita karena ada pengalaman-pengalaman kesehatan hilang, keluarga hilang, relasi kasih hilang, segala sesuatu yang lain diambil/direnggut, lalu bagaimana bisa sukacita kalau hal-hal yang jadi dasar pengharapan kita itu diambil?? Bagi orang-orang secara umum, pengharapan erat kaitannya dengan situasi, tidak mungkin ada sukacita terlepas dari situasi. Bahkan kalau Saudara kembali ke Viktor Frankl tadi, orang-orang dalam grup keempat tersebut sebenarnya sukacita pengharapan mereka tidak sebegitu terlepasnya dari situasi hidup. Si Baker ingin memanggang roti lagi; lalu bagaimana kalau tidak bisa? Si Musikus ingin main musik lagi, tapi bagaimana kalau tangannya putus atau cedera? Memang mereka ini pengharapannya simpel, namun tetap saja bagi banyak orang yang namanya pengharapan adalah didasarkan pada situasi hidup, sedangkan sukacita dan dukacita bersamaan itu tidak make sense.
Yang menarik, ini juga tidak make sense bagi banyak orang Kristen secara umum, karena kita tidak percaya ayat 6. Kita pikir, ‘Okelah, Tuhan, kita akan melalui pencobaan –that’s fine– tapi saya mau melalui pencobaan dengan sukacita tok; saya akan mengarungi pencobaan dengan puji-pujian tok’. Itu yang kita pikir. Waktu melihat Ayub, kita cuma membaca kalimatnya yang keren banget itu, membayangkan dia dengan wajah stoik mengatakan, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah Tuhan”, itulah orang Kristen. Tapi coba Saudara baca lagi kitab Ayub; ketika dia mendengar hartanya habis, anak-anaknya mati, apa yang dialakukan? Dia robek jubahnya! Dia berteriak, dia taruh abu di atas kepalanya, dia jatuh ke tanah, dia menjerit! Jangankan Ayub, Saudara lihat Yesus di Taman Getsemani, apa yang Dia katakan kepada murid-murid-Nya? “Hai! Besok aku mau naik ke atas kayu salib, kalian siapkan ya, KRI nomor sekian itu, nanti Aku mau nyanyi dari atas kayu salib, dan kalian nyanyi sama-sama Aku, ya” ? Tidak ada yang kayak begitu. Tuhan Yesus berkeringat darah sebelum darah-Nya ditumpahkan. Di atas kayu salib Dia berteriak, Dia menjerit, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Tapi kalau Saudara melihat orang Kristen melakukan seperti ini, kita akan mengatakan, “Cup, cup, cup … ‘gak boleh begitu, kita harus beriman, kita harus kuat; beriman berarti tidak mengeluh dalam penderitaan”, dst. Kebanyakan orang Kristen berpikirnya kayak begini. Itu sebabnya apa yang Petrus katakan ini bukan cuma ‘gak nyambung bagi banyak orang secara umum, tapi juga bagi orang Kristen secara umum.
Sekali lagi, Saudara perlu humility di sini. Ini adalah pengharapan yang baru, dalam kehidupan yang baru, hasil dari kelahiran baru; what do you expect? Tentunya dalam hidup yang baru, relasi antara sukacita dan dukacita juga baru, tidak bisa ikut pola relasi kehidupan yang lama. Dalam kehidupan yang lama, sukacita dan dukacita saling memakan satu dengan yang lain, sehingga either bersukacita atau berdukacita, karena sumbernya adalah situasi. Kalau situasi hidupmu kacau, ya, Saudara tidak mungkin bersukacita; kalau situasi hidupmu nyaman, enak, di atas, ya, Saudara tidak berdukacita. Namun dalam hidup yang baru, Saudara perlu tahu dua-duanya ada at the same time, bersamaan; bahkan dalam hidup yang baru ini, dukacita akan meningkatkan sukacita.
What?? Di mana yang bicara kayak begitu?? Saudara baca ayat berikutnya, ayat 7: “Maksud semuanya itu –maksudnya penderitaan, pengujian, pencobaan– ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api, sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya”. Petrus memakai gambaran emas, yang kalau ditaruh di api akan jadi lebih murni, lebih terang, lebih berkilauan. Emas sebelum kena api, memantulkan cahaya; setelah kena api, jadi menghasilkan cahaya, berpijar. Apakah api di sini? Dukacita, penderitaan. Kita pasti bukan baru pertama kali dengar analogi ini, tentang penderitaan hidup sebagai api pemurnian laksana memurnikan emas, namun kita tetap perlu membahasnya, karena meskipun sudah sering mendengar, ini sesuatu yang sering kali kita tidak benar-benar percaya. Sekarang coba kita pikirkan, pengharapan yang sejati ini tidak didasarkan pada situasi. Jadi ketika situasimu buruk, ketika ada hal-hal dalam hidupmu diambil darimu, namun engkau memiliki pengharapan yang sejati tadi, maka penderitaan dan kekosongan ini malah akan mendorongmu ke sukacita yang sejati itu. Karena yang palsu itu diambil, dilenyapkan, dimurnikan, dibuang, dihilangkan, maka logisnya Saudara akan semakin didorong untuk mengakarkan pengharapanmu kepada dasar yang sejati yang kau punya itu, yaitu Kristus. Dan dengan demikian berarti sukacitamu bukan berkurang tapi malah akan semakin terang. Tadinya engkau hanya memantulkan sukacita orang lain, sekarang engkau bisa menimbulkan sukacita bagi orang lain. Itulah yang terjadi.
Saudara perhatikan, orang takut pada penderitaan akan mengatakan seperti ini: “Pak, kalau saya diuji imannya, saya tidak yakin akan bisa bertahan, saya takut bahwa saya akan lari dari Tuhan, kalau saya menderita”. Maksudnya, Saudara takut pada penderitaan karena engkau menganggap penderitaan adalah penyebab utama banyak orang kehilangan iman; sekarang saya mau tanya: berapa banyak buku kesaksian Kristen yang berdampak, yang jadi kekuatan bagi orang banyak, yang lahir dari hidup yang tidak menderita? Ada atau tidak, buku kesaksian Kristen yang menjadi berkat bagi banyak orang, yang lahir dari hidup yang tidak menderita? Tidak ada ‘kan. Saudara mendapatkan tulisan kesaksian orang yang tidak menderita, itu tidak jadi kekuatan, itu jadi kutukan, khususnya pada saat engkau menderita, karena waktu engkau menderita, engkau baca buku tulisan orang yang hidupnya tidak menderita seperti itu, engkau akan tanya: “What’s wrong with me? Kenapa saya menderita, kenapa hidupku tidak lancar seperti dia?!” –jadi kutukan. Itu sebabnya kesaksian seperti itu tidak menjadi kekuatan. Kesaksian yang jadi kekuatan, selalu datang dari kehidupan-kehidupan orang yang menderita. Kalau begitu, penderitaan menyebabkan orang jauh dari Tuhan, atau malah mendekat kepada Tuhan? Saudara baca kitab Mazmur, berapa banyak doa-doa dalam Mazmur yang Saudara perkirakan datang dari hidup pemazmur yang nyaman, yang di atas, yang makmur dan sentosa? Bahkan, ada atau tidak mazmur yang seperti itu?
Situasi hidup apa yang mendorong orang untuk berdoa, untuk memanggil nama Tuhan, untuk malah mendekat kepada Tuhan? Saudara masih berpikir bahwa penderitaan adalah penyebab orang kehilangan iman? Bahkan bagi Saudara-saudara yang hari ini telah, pernah, dan sudah mengalami sukacita yang benar-benar murni di hadapan Tuhan, sukacita yang sungguh-sungguh terang bercahaya, sukacita yang didasarkan pengharapan yang sejati itu, bagaimana caranya mengalami sukacita seperti itu kalau bukan melalui penderitaan? Apa ada caranya? Inilah hidup Kristiani, hidup yang baru. Hidup yang ketika penderitaan datang, somehow dukacita tidak membuang sukacita, tidak memakan sukacita, kecuali sukacita-sukacita palsu; dan malah meningkatkan sukacita yang sejati, memperdalam sukacita tersebut, dan memperkuatnya. Sekali lagi, itu sebabnya dua-duanya ada bersama-sama. Ketegangan ini tolong dijaga, Saudara, jangan coba-coba engkau meleburnya.
Omong-omong, penderitaannya tetap sakit, sangat sakit kena bakar api itu. Namun anehnya, kesakitan ini menjadi suatu hadiah, penderitaan ini menjadi suatu pemberian –pemberian yang baik yang aneh. Ini hadiah yang tidak diminta dan tidak dicari. Ini seperti mendapat hadiah yang bikin Saudara bingung, ‘memberikan koq kayak beginian, aneh banget’, namun ini hadiah yang pada akhirnya jadi hadiah yang ternyata Saudara membutuhkannya dan sangat berdampak dalam hidupmu. Gambaran yang Saudara lihat di sini, Saudara dilebur/dilumerkan, dan dengan demikian segala sesuatu yang tidak esensial terhadap dirimu, dibuang. Penderitaan membuat pengharapan-pengharapan palsu dalam hidupmu dibuang, ini bagus ‘kan, jadi ‘gak kena pehape. Penderitaan adalah sesuatu yang Tuhan pakai untuk memfokuskan kita kepada apa yang sungguh-sungguh penting dan esensial.
Tidak usah jauh-jauh, Saudara bisa belajar dari orang-orang yang lebih tua, yang lebih berumur. Dalam hal ini, saya tidak senang dengan arahan-arahan dalam Gereja yang memisah-misahkan generasi yang lebih muda dengan yang lebih tua; yang muda tidak mau bersekutu dengan yang tua, yang tua malas beradaptasi dengan yang muda. Ini Gereja, ini bukan lomba lari berdasarkan golongan usia. Saudara yang muda, perlu lebih banyak mengelilingi dirimu dengan orang-orang yang lebih tua. Anak-anak kecil yang mainnya bersama anak-anak yang lebih gede, mereka lebih cepat dewasa; why not? Satu hal yang pasti, kalau Saudara mengelilingi hidupmu dengan orang-orang yang lebih tua, maka Saudara melihat bagaimana orang-orang ini jauh lebih tenang dibandingkan engkau. Mereka tidak kepincut untuk ganti iPhone generasi paling baru, mereka tidak kepincut untuk download the lattest app. Kenapa? Karena mereka sudah tua, mereka sudah tahu seberapa sementara hal-hal ini, dengan demikian hal-hal ini sudah dimurnikan keluar dari hidup mereka. Gampangnya, lihat analogi berikut ini. Anggaplah Saudara melihat iklan iPhone16, kepingin beli. Lalu ada orang mengatakan, “Tunggu, lu ‘kan tahu iPhone sempat dilarang di Indonesia, dsb. Jadi iPhone16 di Indonesia baru keluar, tapi sebenarnya sudah keluar beberapa lama sebelumnya, maka siklus iPhone16 akan lebih pendek, mungkin tahun depan iPhone17 sudah keluar, ngapain lu beli yang iPhone16 sekarang? Kalau pun lu kepingin yang 17, tunggu sampai yang 17 keluar, nanti 16 akan diskon gede. Tunggu saja.” Begitu mendengar ini, kita akan less terikat terhadap tarikan iPhone16, karena kita menyadari kesementaraan hal ini.
Menyadari kesementaraan sesuatu, akan langsung mengurangi keterikatan kita terhadap hal tersebut. Itu sebabnya orang-orang yang lebih tua jauh lebih santai terhadap perubahan zaman; dan itu bukan karena mereka ketinggalan zaman. Kamu yang lebih muda, tersetret arus zaman, sementara mereka yang lebih tua tenang bertahan sekuat batu karang. Itu sebabnya bagi yang muda, kelilingilah dirimu lebih banyak dengan orang-orang yang tua. Gereja adalah salah satu tempat di mana hal ini mungkin terjadi, tapi sayangnya Gereja sering kali sengaja dipisah-pisah berdasarkan golongan usia –mungkin supaya yang muda bisa menikmati kebodohan masa muda mereka, dan yang tua tidak perlu berjuang untuk mengerti dan menyentuh generasi muda yang sebenarnya sangat butuh mereka. Mari kita bertobat dari hal ini.
Itu baru bicara umur, sekarang bayangkan kalau orang sudah melihat dan melewati begitu banya kesulitan dan penderitaan selama umur mereka. Tidak heran, orang-orang secara umum yang mengalami ini di dalam Kristus, mereka mendapatkan bijaksana yang tidak bisa didapatkan dari tempat lain. Penderitaan itu guru yang aneh, yang tidak dicari dan tidak diminta. Ini guru yang pelajarannya tidak bisa kita dapatkan dari tempat lain; dan yang pelajarannya sangat berharga serta berdampak dibandingkan semua guru yang lain. Namun Saudara lihat mekanismenya, sebagaimana dikatakan Frankl tadi, bahwa hidup di kamp konsentrasi adalah hidup yang secara sangat cepat segala hal dalam hidup kita –yang biasanya kita taruh sebagai sumber pengharapan dan sukacita kita– diambil, direnggut, dan dicabut. Pengalaman manusia kehilangan statusnya, hartanya, relasinya, keluarganya, kebebasannya, kesehatannya, semua itu dipadatkan dalam momen 1-2 tahun. Efeknya apa? Penderitaan seperti ini akan memaksa kita untuk bertanya: saya ini siapa, tanpa semua itu; apa makna hidupku, tanpa semua itu; apa sesungguhnya yang bisa aku harapkan, tanpa semua itu.
Saudara lihat, ini yang namanya penderitaan, ini memurnikan kita ‘kan. Hal-hal yang selama ini kita sudah terlalu attach –yang nilai hidup kita, makna hidup kita, identitas kita, kita taruh pada hal tersebut– adalah hal-hal yang persis kita akan kehilangan ketika kita menderita, dan kita merasa tidak bisa hidup tanpa hal-hal tersebut. Namun demikian, ada sesuatu waktu kita menjadi murid Kristus di mana kehilangan hal-hal seperti ini malah memurnikan kita, malah jadi pemberian yang aneh, karena memaksa kita untuk menyadari apa yang benar-benar penting, apa yang benar-benar bisa jadi dasar pengharapan yang sejati, apa yang benar-benar bisa jadi dasar makna hidup yang sejati, apa yang tidak akan pernah bisa diambil dari kita, apa yang tidak bisa layu dan cemar, apa yang disimpan di surga –bukan karena saya tapi oleh kekuatan di sana. Penderitaan akan melakukan ini bagimu.
Dalam dunia sepeda yang high end, ada obsesi terhadap berat sepeda. Kalau Saudara beli sepeda yang range harga anggaplah 2-3 juta sampai 50 juta, perbedaan beratnya jauh sekali. Sepeda yang 2-3 juta beratnya mungkin 13 kg, sedangkan sepeda yang 50 juta beratnya mungkin cuma 7 kg. Jadi rasanya beda banget, mengendarai yang 13 kg terasa berat, sedangkan yang 7 kg begitu tendang sedikit langsung terbang. Namun lucunya begitu naik dari 50 juta ke atas (anggaplah Saudara beli yang 100 juta), Saudara akan mendapatkan sepeda yang beratnya 6,8 kg, cuma 200 gram bedanya tapi harganya dua kali lipat. Ini benar-benar riil dalam dunia sepeda. Waktu melihat kayak begini, Saudara mungkin mengatakan, “Gila tuh, orang-orang yang mau beli sepeda dua kali lipat, jadi 100 juta, hanya demi selisih 200 gram; 7 kg dan 6,8 kg kalau lu angkat pun, lu ‘gak bisa bedain mana yang lebih ringan, apalagi waktu lu jalanin, ‘gak berasalah”, sampai saatnya Saudara mulai menderita di atas sepeda, misalnya Saudara naik sepeda jarak jauh habis-habisan, rute bentang Jawa, dari Jakarta sampai Bali lalu balik lagi, yang bukan cuma jauh tapi juga banyak naik turunnya. Kalau Saudara pernah mengalami naik sepeda yang sampai menderita kayak begitu, Saudara bukan hanya akan peka dengan 200 gram tapi juga 15 gram! Semua gram ekstra yang kau bawa, yang harusnya engkau tidak perlu bawa, itu akan terasa. Kenapa? Karena penderitaan. Waktu pertama kali mempersiapkan diri ikut yang kayak begini, Saudara merasa perlu bawa ban serep 5 buah, pompa 3 buah supaya kalau yang 2 rusak tetap masih ada 1, pompanya pun beda-beda tipenya, lalu bawa ini dan itu dan ini dan itu lagi, semuanya dibawa karena ingin mempersiapkan diri sebaik mungkin. Lalu waktu sepeda kita menanjak salah satu gunung, baru kita sadar, tahu setengah mati begini, gua ‘gak bawa semua gram yang ‘gak perlu itu –baru langsung berasa. Mungkin next time waktu melakukan trip kayak begitu lagi, kita sudah langsung tahu dan fokus, apa yang penting, apa yang esensial, apa yang perlu, dan apa yang tidak. Penderitaan bikin kita kayak begini. Penderitaan akan bikin kita jadi orang yang lebih minimalis, tapi minimalis yang realistis, karena memang ternyata ada banyak hal dalam hidup ini yang kita sebenarnya tidak perlu. Kalau kehidupan bersepeda saja bisa membuat kita menyadari hal ini, tidak heran yang Petrus maupun Frankl katakan adalah hal yang seperti itu.
Ketika kita dilebur dalam penderitaan, apa yang terjadi? Kita jadi melihat ada hal-hal yang baik koq dalam hidup kita. Keluarga itu hal baik, tapi ternyata celaka kalau saya menaruh makna hidupku, pengharapanku, dalam keluargaku, karena begitu mereka diambil/direnggut, apa yang tersisa?? Ini bukan hanya menghancurkan kita, ini juga menghancurkan mereka, karena waktu kita menaruh pengharapan dan makna hidup kita dalam keluarga kita, mereka tidak akan sanggup menanggung beban yang sedemikian berat, mereka akan merasa under pressure dan mungkin marah pada kita, benci dan memberontak terhadap kita, lalu kita pun akhirnya benci dan memberontak terhadap mereka. Kita akhirnya kehilangan sesuatu, karena kita terlalu mencintainya. Jadi, benar juga ketika kita menderita –ketika hal-hal ini diambil dari hidup kita– kita mulai menyadari ‘siapa saya tanpa hal-hal itu’. Kita baru sadar akan apa yang esensial, identitas kita harusnya ditaruh di mana, karena kalau kita tidak melakukan ini, kita akan berubah seperti orang-orang yang Frankl katakan tadi. Tinggal selangkah untuk jadi orang-orang yang brutal atau jadi seperti para zombi, kecuali kita punya pengharapan yang ditaruh di atas, pada sesuatu yang lebih substansial, lebih riil. Itulah yang Viktor Frankl, dan juga Petrus, mengundang kita untuk coba bersama-sama melihat, apakah ada hal-hal seperti ini. Dan, ini akan membuat kita kembali ke bagian paling awal tadi, bahwa seorang murid Kristus, percaya oleh karena kebangkitan Yesus dari kematian, maka ada pengharapan yang sejati.
Yang terakhir, kenapa Petrus katakan pengharapan kita dasarnya adalah oleh karena kebangkitan Yesus dari antara orang mati? Kenapa Petrus bukan mengatakan ‘pengharapanmu adalah kebangkitanmu dari antara orang mati’ ? Tentu saja hal ini terkandung di dalamnya, tapi tidak mulai dari situ; Petrus mengatakan ‘pengharapanmu, kelahiran barumu, itu datang oleh karena kebangkitan Yesus dari antara orang mati. Jadi, kenapa hidupku ini maknanya/artinya, engselnya ada pada kebangkitan orang lain dari kematian? Kalau saya mengharapkan sesuatu yang melampaui bahkan kematianku sendiri, bukankah harusnya saya mengharapkan mengenai kebangkitanku, tapi kenapa kubur kosong Yesus dan kebangkitan Yesus itu yang menjadi harapanku? Jawabannya adalah sesuatu yang akan kita lakukan bersama-sama, waktu kita mengambil Roti dan Anggur.
Malam di mana Yesus dikhianati oleh Petrus, Yesus ditinggalkan oleh semua sahabat-sahabat-Nya, Yesus menangis dan berkeringat darah di Taman Getsemani, adalah malam di mana sebelumnya Yesus mengadakan suatu perjamuan yang hari ini kita ulang kembali ketika kita mengambil Perjamuan Kudus. Apa yang Yesus katakan dalam perjamuan tersebut? Yesus mengatakan, bahwa Dia sebentar lagi akan mengalami apa yang umat manusia alami dalam jangka waktu berdekade-dekade, apa yang Viktor Frankl alami dalam jangka waktu 1-2 tahun, yang Yesus akan alami dalam waktu 24 jam berikutnya. Dia akan kehilangan semua orang yang Dia kasihi. Dia akan ditinggalkan oleh sahabat-sahabat-Nya. Dia akan kehilangan kebebasannya, semua properti harta-Nya diambil dan dibagi-bagi. Dia akan kehilangan kesehatan-Nya. Dan tentu saja, Dia akan kehilangan nyawa-Nya. Yang paling parah, Dia juga kehilangan Bapa-Nya. Itu terjadi dalam 24 jam.
Pertanyaannya: kenapa Yesus melakukan hal ini? Jawabannya: pada malam perjamuan tersebut, Ia mengambil lambang-lambang Paskah ini –roti dan anggur ini– dan mengatakan, “Inilah tubuh-Ku yang dipecah-pecahkan bagimu. Inilah darah-Ku yang dicurahkan untuk menjadi perjanjian baru bagimu.” Kenapa Yesus mengambil semua pengalaman kita, semua penderitaan kita, semua kejahatan manusia, dipadatkan dalam satu momen 24 jam itu? Kenapa Ia membiarkan hal ini menghancurkan diri-Nya? Karena malam itu Ia mengatakan ‘hidup-Ku sedang dipersembahkan di tempat orang lain’, Ia menjadi apa yang kita alami, supaya kita boleh menjadi apa yang Dia alami. Dan oleh karena itu, pengharapan kita bukan cuma karena Dia telah mengambil semua ini di atas kayu salib –dan dengan demikian kita dilepaskan dari semua itu–tapi juga karena Dia telah mengalahkan semua maut dalam kubur yang kosong. Ini berarti, sama seperti salib dan kematian Yesus mengambil salib dan kematian kita, demikian juga kubur kosong Yesus juga menjadi kubur kosong kita, kebangkitan Yesus menjadi kebangkitan kita. Petrus mengatakan, “Lihat, inilah buktinya kenapa engkau dilahirbarukan; inilah sebabnya engkau bisa punya pengharapan yang tidak diganggu oleh situasi apapun dalam hidup ini –karena Yesus telah keluar dari kubur yang kosong itu.”
Hari ini mungkin kita tidak mengerti semuanya sampai habis, namun paling tidak kita bersama-sama melihat sebesar apa harusnya dampak kebangkitan Yesus bagi pengharapan kita. Inilah sebabnya Petrus dan Paulus mengatakan, “Jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah imanmu”.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading