Dalam khotbah ini saya akan menunjukkan dua gambar. Yang pertama, lukisan “Head of Jesus” yang dilukis oleh Warner Sallman tahun 1941, belum sebegitu lamanya, belum 100 tahun. Ini image/gambar Yesus yang paling banyak direproduksi sepanjang sejarah, paling sedikit ada 500 juta copy-an lukisan ini (berbentuk lukisan) yang beredar di seluruh dunia, belum termasuk versi yang muncul di mug, kartu-kartu, kalender, magnet kulkas, dsb. Bisa dimengerti kenapa lukisan ini populer, karena lukisan ini menggambarkan Yesus yang sangat tenang, agung, dan ganteng juga. Satu hal yang Saudara bisa lihat, Yesus dalam lukisan ini sangat bule, Yesus dengan fitur wajah yang sangat Kaukasian/European. Sallman sendiri seorang keturunan Swedia, maka tidak heran dia melukiskan Yesus dengan fitur wajah orang Skandinavian, bule ganteng dengan rambut yang menjuntai sangat sempurna.

Yang menarik, pada tahun 2002 Richard Neave, seorang ahli rekonstruksi forensik di Inggris, bersama dengan tim-nya mencoba memakai beberapa tengkorak peninggalan dari kuburan-kuburan di daerah Yerusalem, yang menurut perhitungan mereka kira-kira berasal dari sekitar zamannya Tuhan Yesus di abad pertama, lalu coba membuat suatu rekonstruksi wajah seorang Yahudi pada abad pertama kira-kira kayak apa. Sebelum kita melihat hasilnya, perhatikan disclaimer saya, bahwa wajah tersebut jelas bukan wajah Yesus, tapi pastinya jauh lebih akurat dan lebih mendekati wajah Yesus dibandingkan wajah Yesus versi bule ganteng hasil karya Sallman, karena ini adalah hasil rekonstruksi dari tengkorak-tengkorak orang-orang Yahudi beneran, yang tinggal di sekitar Yerusalem beneran, pada abad pertama, sehingga apapun hasil yang keluar pasti jauh lebih akurat dibandingkan lukisan Sallman tadi –meskipun jelas bukan wajah Yesus. Kalau kita lihat gambar yang kedua ini, rambutnya hitam, kasar, tidak menjuntai sempurna, dan juga hidungnya lebih besar.

Dari dua lukisan ini, yang mana yang Saudara ingin gantung di rumahmu? Kalau kita punya lukisan atau gelas di rumah yang ada wajah Yesus, kita mungkin pakai versinya Sallman tadi ‘kan, namun pertanyaannya: kenapa kita pilih versi Sallman dan tidak terlalu kepingin pilih yang belakangan, meskipun ini pada dasarnya versi yang hampir pasti lebih akurat dibandingkan versi bule ganteng tadi? Ini satu hal yang menarik, karena ini membongkar sesuatu mengenai bagaimana manusia memandang orang lain, bahwa ternyata bagaimanapun juga –meski kita mau menyangkalnya– penampilan sangat mempengaruhi penilaian kita terhadap seseorang, bahwa asumsi-asumsi kita terhadap seseorang ternyata sedikit banyak muncul dari penampilannya yang kita lihat. Kita adalah orang-orang yang dengan sangat cepat bisa memunculkan bahkan naras-narasi mengenai orang-orang yang kita lihat, hanya berdasarkan seperti apa penampilan mereka.
Ini sebabnya dalam ilmu psikologi, first impression sangat penting. Dalam budaya Chinese hal ini diformalisasikan jadi satu “ilmu”, yaitu ilmu membaca wajah; bahkan di Singapura, yang bisa dibilang Asian country paling modern, ilmu-ilmu baca wajah kayak begini sangat marak. Saya pernah dikirimi posting-an IG seorang influencer di Singapura tentang bagaimana memilih ART –dengan ilmu baca wajah. Dia bilang, kalau pilih ART, pilih yang matanya tidak terlalu dekat, paling sedikit ada jarak 3 jari di antara kedua matanya, karena kalau terlalu dekat berarti orangnya keras kepala, begini dan begitu, sedangkan kalau jaraknya lebih lebar maka orangnya begini dan begitu. Yang kayak beginian, laku! Sayangnya, yang jarang keluar adalah cerita-cerita sisi lainnya, dalam arti berapa kali sih dalam hidupmu, yang waktu Saudara bertemu seseorang, first impression-mu mengatakan orang ini kayaknya A, hanya untuk di kemudian hari setelah Saudara lebih kenal dia, Saudara baru sadar ternyata orang ini sama sekali tidak seperti dugaanmu? Saudara sangka dia jahat, tapi ternyata baik; atau Saudara sangka dia baik, tapi ternyata jahat. Sebenarnya berapa kali dalam hidup ini kita mengalami hal ini? Tapi yang kayak beginian tidak laku untuk masuk IG (ini bukti lain bahwa sosmed cenderung membawamu kepada pandangan atas realitas yang sangat berat sebelah.)
Saudara lihat, persepsi manusia terhadap manusia lain bisa sangat misleading. Namun sesungguhnya ada obatnya yang amat sangat simpel, yaitu: Saudara hanya perlu mengenal orang tersebut sebenarnya kayak apa, Saudara perlu coba spend time bersama orang mereka, Saudara perlu belajar mengetahui cerita hidup mereka yang asli sebenarnya kayak apa, dan bukan terus saja memegang cerita bikinan kita mengenai dia yang ada di kepala kita. Ini namanya relasi. Itu sebabnya relasi perlu kerendahan hati, perlu sikap untuk berani meragukan dan melepas naras-narasi preconception kita terhadap orang lain. Perlu humility, untuk mengizinkan orang itu mengubah –bahkan menantang– narasi kita mengenai dia. Humility perlu, untuk kita mengakui bahwa kita memang banyak salah dalam membuat asumsi mengenai orang lain, mengenai relasi manusia in general.
Gambar-gambar diri Yesus seperti tadi ini, meng-highlight hal lain yang ingin saya bicarakan, bahwa kita juga datang kepada Yesus sering kali dengan mode yang sama. Kita datang kepada Yesus dengan asumsi-asumsi kita, dengan preconception–preconception kita mengenai Dia. Kita juga datang dengan narasi-narasi mengenai Dia yang kita bikin sendiri, yang tidak tentu akurat. Lukisan Warner Sallman tadi membongkar hal ini. Saya tidak tahu Saudara berpikir apa waktu melihat gambar versi kedua tadi, versi yang lebih akurat, tapi satu hal: untuk kita mau menerima bahwa gambar kedua tadi lebih akurat, itu perlu kerendahan hati. Kita perlu merendahkan diri –dan ini tidak gampang. Merendahkan diri, tidak pernah rasanya pas. Merendahkan diri tidak pernah seperti merasa ‘O, saya mau merendahkan hati dengan ikhlas dan rela’ —tidak pernah seperti itu. Merendahkan diri selalu justru rasanya melawan apa yang kita rasa pas; kita rasa harusnya kayak begini, tapi sekarang disuruh ganti, disuruh merendah. Tidak gampang sama sekali. Itu sebabnya humility merupakan sesuatu yang sulit.
Kisah Yesus menampakkan diri di jalan ke Emaus ini menarik, karena gambaran yang diperlihatkan lewat cerita ini sebenarnya bahwa kita bisa-bisa mengalami hal yang sama dengan yang kedua murid Yesus ini sedang alami, kita buta akan Yesus yang sesungguhnya, kita tidak mampu mengenali Yesus, meskipun Dia ada di depan mata kita. Kenapa? Karena kita terjebak dalam preconception–preconception kita, dalam asumsi-asumsi kita mengenai Dia. Bisa saja kita datang ke gereja terus, kita baca Alkitab terus –bertahun-tahun kita melakukan itu– dan kita tetap totally buta mengenai siapa sesungguhnya Yesus yang sejati. Jadi kisah ini tujuannya mengundang kita merendahkan diri untuk menyadari apa yang harus terjadi, sehingga kebutaan ini bisa disembuhkan, sehingga asumsi-asumsi kita mengenai Dia dibongkar dan ditaruh di bawah spotlight supaya kita menyadari sebenarnya semua ini cuma asumsi saja, bukan kebenaran. Inilah cerita resurrection di sini, sesuatu yang kalau kita benar-benar mengerti, sebenarnya akan meruntuhkan segala asumsi-asumsi kita mengenai Yesus selama ini. Demikian introduksinya.
Sekarang kita masuk ke dalam kisahnya. Lukas 24 ini tidak dimulai dari ayat 13 yang kita baca, tapi mulai dari ayat 1, kisah mengenai kubur kosong (yang sudah terjadi sebelum kisah perjalanan ke Emaus ini). Singkatnya, Yesus sudah disalibkan, insiden kubur kosong sudah terjadi. Beberapa murid Yesus yang wanita pergi ke kubur tersebut, dan tidak menemukan mayat-Nya. Petrus juga pergi, dan dia juga tidak menemukan Yesus. Lalu ada figur-figur misterius yang mengatakan kepada mereka bahwa Yesus sudah bangkit. Setelah itu, baru masuk ke perikop ini, kita diperkenalkan dengan dua murid Yesus (ini bukan dua murid dari kelompok dua belas, melainkan dari grup yang lebih besar, yang ratusan), mereka sedang dalam perjalanan ke kota bernama Emaus (nama kota ini penting). Emaus itu seperti Bogor-nya Yerusalem, perjalanan ke sana kira-kira sehari. Selagi berjalan ke sana, mereka berbincang-bincang. Apa yang mereka perbincangkan?
Coba Saudara bayangkan kalau Saudara adalah mereka. Saudara mungkin telah mengikut Rabi ini, Yesus orang Nazaret ini, satu atau dua tahun terakhir. Mungkin engkau sebegitu yakinnya dengan Rabi ini sehingga engkau sudah menjual setengah hartamu untuk pindah ke Yerusalem, untuk bisa mengikut Dia, karena engkau merasa Dia ini benar-benar Mesais Israel. Saudara mengikut Dia dari Galilea ke Yudea sampai akhirnya Dia pergi ke Yerusalem pada momen Paskah, momen perayaan paling sentral bagi orang Yahudi baik secara religius maupun politik; dan kemudian mengira inilah saatnya segala sesuatu akan selesai dan akan berubah setelah ini. Yesus sendiri berkali-kali mengatakan Kerajaan Allah sudah di depan mata, sudah di depan pintu, dan bahwa Dialah yang akan membawa Kerajan ini –itu sebabnya kita mengikut Dia ke Yerusalem. Lalu apa yang terjadi pada Yesus di Yerusalem? Dia ditangkap, Dia dibunuh secara begitu brutal, disalibkan oleh orang-orang Romawi. Ini jelas tidak masuk akal sama sekali dalam laci otak kita, karena harusnya bukan ini dong ceritanya?? Lebih aneh lagi, setelah semua ini terjadi, ada beberapa murid mengatakan kuburan-Nya kosong! Jadi, what is happening?? Dan, basically mungkin Saudara seperti dua murid ini, yang sudah capek dengan semua ini lalu mengatakan, “Sudahlah, sudah cukup, sudah ‘gak kuat … kita mulai mengepak barang-barang kita dan bergerak pulang dari Yerusalem ke rumah kita di Emaus. Kita sudah ‘gak mau tahu dengan semua ini, kita mau meninggalkan semua ini, buat apa kita bertahan di Yerusalem, apa yang tersisa bagi kita di sana??”
Saudara lihat, gambaran kematian Yesus di sini suatu tragedi yang sangat memukul murid-murid ini. Meskipun Yesus sudah berkai-kali mengatakan bahwa ini akan terjadi, mereka simply tidak bisa melihatnya; karena apa? Karena –sekali lagi– asumsi di kepala mereka, narasi di kepala mereka, adalah sangat lain. Asumsi/persepsi mereka mengenai Yesus, mengenai siapa Dia dan apa yang Dia lakukan di Yerusalem, begitu lain, sehingga ketika Yesus benar-benar berakhir di atas kayu salib, dunia mereka runtuh berantakan. Lukas melukiskan ini sangat jelas bagi kita, yaitu selagi mereka bicara mengenai semua ini, mengenai mimpi mereka yang runtuh berkeping-keping itu, lalu siapa yang sesungguhnya muncul dan berjalan di sebelah mereka? Yesus Kristus. Inilah poin sentral kisah ini; Yesus yang telah bangkit itu muncul dan berjalan di samping mereka. Namun apa yang mereka gagal? Mereka tidak gagal melihat Yesus, mereka melihat Dia dan setelah ini mereka pun berbicara dengan Dia, tapi mereka gagal mengenali Dia. Saudara lihat apa poinnya Lukas? Ini kisah yang sangat powerful, kisah mengenai orang-orang yang bisa melihat namun sesungguhnya buta, mengenai orang-orang yang berjalan bersama dengan Yesus tapi somehow tidak bisa mengenali Dia. Ini sebabnya Lukas sampai menulis ‘ada sesuatu yang menghalangi mata mereka’. Ironis.
Ironinya tidak berhenti di situ. Setelah itu Yesus bertanya kepada mereka, “Eh, kalian lagi ngobrolin apa?” Mendengar ini mereka terhenyak, sampai berhenti dengan muka yang begitu murung. Lalu salah satu dari mereka, Kleopas, mengatakan, “Gile, Man, Lu ‘gak update banget! Cuma Lu doang kali yang ‘gak tahu apa yang terjadi di Yerusalem seminggu inikah??” Sekali lagi, Saudara bisa melihat ironi yang sangat tebal di sini, karena bukan saja Yesus tidak tahu apa yang terjadi di Yerusalem, tapi Dia itulah yang actually terjadi di Yerusalem. Kalimat mereka: ‘Lu ‘gak tahu’, tapi jelas banget justru merekalah yang terekspos sebagai pihak yang sebenarnya tidak tahu, mereka cuma rasa mereka tahu.
Kita lanjutkan. Yesus kemudian bertanya, “Apa tuh?” Mereka lalu menjawab, “Yesus, orang Nazaret …”, dan perhatikan bagaimana mereka mendeskripsikan Yesus di ayat 19-21: “Dia seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami. Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel.” Sekali lagi, ironinya bertambah-tambah tebal, karena di sini mereka terekspos, kartu mereka terbuka, dalam hal apa yang menghalangi mata mereka, yaitu bahwa bagi mereka, penyaliban Yesus bukanlah suatu kemenangan. Bagi mereka, Yesus yang tersalib itu meruntuhkan segala pengharapan mereka. Hal yang sesungguhnya adalah kemenangan Yesus, mereka lihat sebagai kekalahan. Hal yang kita hari ini tahu sebagai inti kisah Injil, hal yang menjadikan Yesus sebagai Mesias yang menang, itu mereka lihat justru sebagai hal yang menggagalkan seluruh proyek mesianik Yesus untuk membebaskan Israel.
Dalam hal ini tentu gampang kita berhenti dan cekikikan melihat ironi-ironi ini, tapi coba kita melihat hal ini dengan lebih simpatik, coba kita taruh diri kita di tempat mereka, coba kita kerjakan pe-er sedikit mengenai istilah-istilah yang tadi mereka sebutkan.
Ayat 21, mereka mengatakan bahwa harapan mereka adalah Yesus membebaskan bangsa Israel (to redeem the people of Israel). Apa makna kata ‘redemption’ buat kita hari ini? Menebus, membebaskan. Ini kata yang juga banyak dipakai dalam judul-judul film. Apa yang muncul di kepala kita kalau membaca istilah ini, seperti misalnya ‘tebus tiket’, ‘tebus hadiah’? Waktu kita menggunakan kata ‘menebus’, kita basically menggunakannya sebagai pengganti kata ‘membeli’, dalam arti mengubah sesuatu. Tebus tiket berarti kita mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain, biasanya yang lebih bagus, lebih kita inginkan, lebih terpakai. Misalnya kita menang sesuatu dan dapat kupon yang kita bisa tebus, artinya kita bisa menukar barang ini dengan sesuatu yang lain, mungkin boneka, atau produk lain yang kita inginkan. Dalam judul-judul film, penggunaan kata ini juga mirip seperti itu, ‘redemption’ berarti ada sesuatu yang tadinya tragis atau jelek tapi lalu diubahkan jadi sesuatu yang baik dan indah. Begitulah kira-kira cara kita menggunakan istilah ‘redemption’ —mengubah. Pertanyaannya, bagaimana istilah ini digunakan dalam Alkitab?
Istilah ini pertama kali muncul di Alkitab yaitu di kitab Keluaran, ketika Musa pergi menghadap Firaun, bahkan sebalum Musa menghadap Firaun, yaitu ketika Tuhan berfirman kepada Musa: “Musa, Aku mau menebus bangsa Israel, Aku mau me-redeem mereka dengan tangan yang teracung dan perbuatan-perbuatan yang ajaib. Aku akan mengambil mereka menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka.” Pertama kali kata ‘penebusan’ muncul di Alkitab, adalah dalam kisah mengenai pembebasan budak-budak dari penindasan ke kebebasan, dari Firaun dengan tangannya yang keji ke tangan Allah yang suci. Inilah penebusan. Allah melakukan sesuatu untuk membeli, mengubah yang tadinya budak-budak menjadi umat-Nya, yang tadinya orang-orang terpenjara menjadi orang-orang yang bebas. Redemption. Dan dalam ceritanya, bagaimana hal ini dilakukan? Allah mengirim nabi-Nya –perwakilan-Nya– yaitu melalui Musa pergi kepada Firaun, untuk kemudian menghantam Mesir dengan sepuluh tulah bertubi-tubi, dan akhirnya Firaun ditenggelamkan beserta seluruh tentara dan kereta kudanya dalam peristiwa terbelahnya Laut Teberau.
Kembali ke ayat 21 tadi, dua murid Yesus itu mengatakan mereka berharap Yesuslah yang akan menebus Israel. Jadi apa kira-kira arti istilah ini bagi mereka? Apa arti yang kita bisa argue, arti secara biblikalnya? Kenapa bagi mereka kematian Yesus, penyaliban Yesus adalah tragedi? Kenapa kematian Yesus bagi mereka membuktikan penebusan tidak akan terjadi, setidaknya tidak terjadi melalui Yesus yang tersalib ini? Mereka ini sedang menghadapi minggu Paskah, dan Paskah dalam perayaan Yahudi adalah saatnya setiap tahun mereka menceritakan ulang kisah Keluaran, kisah Exodus, kisah Paskah! Coba lihat lagi, kisah Keluaran adalah mengenai apa? Kisah Allah menginjak-injak Firaun dan Mesir; sekarang coba lihat siapa yang memerankan peran Mesir di abad pertama, siapa yang menindas Israel pada zaman Yesus itu? Orang Romawi ‘kan. Siapa Firaunnya? Ya, tentu kaisarnya, yang namanya Agustus itu. Tapi selanjutnya apa yang terjadi, malah Firaun itu yang punya nabi/perwakilan bernama Pontius Pilatus, dan Pilatus ini lalu menghantam Yesus dengan “tulah-tulah” dan akhirnya menenggelamkan Yesus dengan cara menyalibkannya di kayu salib. Dengan melihat seperti ini, kita bisa lebih bersimpati pada dua orang murid ini. Bayangkan kalau kita seorang Yahudi yang hidup dalam penjajahan Romawi, yang mendengar dan merayakan Paskah seperti itu setiap tahun, lalu muncul Yesus yang mengatakan bahwa Kerajaan Allah sudah tiba, maka kita akan berpikir apa? Lukisan yang mana yang akan muncul di kepala kita?
Itu sebabnya bagi dua murid ini, kisah Yesus orang Nazaret jadi seperti film yang sangat jelek penulisannya. Itu seperti orang bikin film yang babak pertamanya menceritakan seorang yang tadinya miskin, hidup sangat susah, lalu orangtuanya sakit, dia butuh uang; dia minta ke bosnya tapi bos malah memecat dan mengusir dia. Itu babak pertamanya. Lalu babak kedua, dia melihat ada lomba lari maraton dengan hadiah lumayan besar, maka dia mulai berlatih untuk bisa mengikuti lomba itu. Dalam film itu kita kemudian disajikan montage (beberapa adegan yang diperlihatkan jadi satu secara cepat) yang memperlihatkan orang ini angkat besi, lari, push-up, dengan iringan musik yang seru dan semangat. Inilah cara sang sutradara menggoreng kisahnya, membuat ekspektasi penonton terarah ke arah tertentu. Demikian babak kedua. Babak ketiga, babak final, dia mengikuti lomba itu. Dan somehow cerita mengenai dirinya sudah viral sebelum dia mengikuti lombanya, maka begitu dia datang di garis start, penonton meneriakkan namanya padahal tidak tahu dia ini siapa; peserta-peserta lomba yang lain yang adalah atlet-atlet profesional juga kaget, bingung, siapa orang ini?? Lomba pun dimulai, pistol ditembakkan, dan … belum sampai sepuluh meter, dia terpeleset, nyemplung got, dan mati; filmnya selesai. Menonton film kayak begitu, penontonnya bisa protes, ramai-ramai minta uang mereka dikembalikan. Tapi itulah kira-kira perasaan orang Yahudi ketika mereka melihat kisah hidup Yesus, orang Nazaret. Dan sekali lagi, mereka bisa argue bahwa lensa yang mereka pakai untuk melihat kisah hidup Orang ini adalah lensa yang biblikal.
Tidak berhenti di situ, Lukas kemudian mencatat dengan sangat cermat tujuan kedua murid ini berjalan, yaitu ke kota bernama Emaus. Saudara ingat, setiap kali penulis Alkitab menuliskan cerita, mereka selalu sangat pelit detail, tidak seperti penulis zaman sekarang. Misalnya dalam kitab Injil, sebenarnya tidak pernah ada detail mengenai seperti apa penampilan wajah Yesus –itu sebabnya lukisan Sallman yang sangat ngaco itu bisa populer dan laku keras. Jadi, kalau kita sadar bahwa penulis Alkitab tidak pernah memberikan kita detail, maka ketika muncul satu detail, seperti nama kota tertentu –di bagian ini Emaus– yang biasanya kita lewati begitu saja, kita harusnya menyadari ada sesuatu di sini, pasti ada maksudnya Lukas memberitahu kita hal ini, dan selidik punya selidik, ternyata Emaus adalah kota bersejarah. Perbandingannya adalah seperti misalnya Saudara menonton video mengenai sejarah keterlibatan Amerika dalam Perang Dunia II, dan dalam video itu dikatakan: “Untuk kita bisa mengerti keterlibatan Amerika dalam Perang Dunia II itu, kita akan mengunjungi sebuah kota bernama Pearl Harbour.” Nah, seperti itulah Emaus. Saudara akan langsung mengerti apa signifikansinya. Atau, anggaplah Saudara belajar sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lalu gurumu mengatakan, “Untuk mengerti momen 17 Agustus, kita akan mengunjungi sebuah kota bernama Rengasdengklok”. Saudara jadi langsung mengerti. Inilah kota Emaus; ketika Lukas mengatakan ada dua murid Yesus berjalan ke Emaus, para pembaca pertamanya akan langsung mengatakan, “Ya, ampun, Emaus, make sense! Kita tahulah cerita itu, cerita The Battle of Emaus!”
Kalau Saudara orang Yahudi yang hidup di zaman itu, Saudara akan tahu kisah tersebut. Ini kisah 150 tahun sebelum zaman Yesus, zaman inter-testamental, yang tidak dicatat dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Inilah kisah orang Israel yang kembali menghadapi bahaya dari luar, tapi kali ini bad guys-nya bukan orang Romawi, melainkan dinasti Seleucid, orang-orang Siria (Suriah). Merekalah tentara asing yang menduduki daerah orang Israel pada waktu itu, lalu orang Yahudi memberontak di bawah kepemimpinan satu keluarga Yahudi bernama Keluarga Makabi. Tentara Siria dipimpin seorang jendral bernama Gorgias, sementara orang Yahudi dipimpin seorang jendral bernama Yudas Makabi. Mereka bertempur dalam pertempuran Emaus. Tentara Yahudi kalah jauh jumlahnya. Yudas Makabi berhasil membawa 3000 orang, tapi tentara musuh 6000 orang dan termasuk pasukan berkuda. Namun ketika mereka maju melihat perkemahan musuh, Yudas kemudian menggerakkan orang-orang Yahudi itu dengan kata-kata ini: “Jangan takut dengan jumlah mereka, jangan takut ketika mereka menyerbumu, ingat nenek moyangmu, ketika mereka terpojok di Laut Teberau, dipojokkan oleh Firaun dengan pasukan berkudanya yang kian mendekat, apa yang terjadi? Sudah ingat? Maka mari kita sekarang berseru kepada Allah untuk Dia mengingat perjanjian-Nya dengan leluhur kita, maka Ia akan menghancurkan tentara kafir, bangsa kotor yang di hadapan kita hari ini, sehingga semua bangsa-bangsa kafir akan tahu bahwa dialah Allah yang menebus, me-redeem, Israel!” Dan, apa yang terjadi? Mereka menang. Meskipun kalah jumlah, mereka menang, mereka menghancurkan perkemahan tentara Suriah, dengan sebelumnya merebut senjata mereka. Para sejarawan mencatat, ini benar-benar turning point dalam perang Yahudi-Siria zaman itu, karena sebelumnya selain kalah jumlah, mereka juga kalah kualitas senjata.
Sekarang Saudara bayangkan kalau Saudara adalah dua murid tadi, sebagai orang Yahudi yang dibesarkan dengan dua kisah penebusan seperti ini, yaitu kisah Exodus dan kisah perjuangan keluarga Makabi, bahkan mereka sendiri berasal dari kota Emaus tempat semua itu baru terjadi 150 tahun silam, maka bagi Saudara inilah yang namanya redemption, penebusan Allah Yahweh, penebusan dengan brand-nya Allah Alkitab. Kemudian Saudara menemukan Yesus orang Nazaret, yang mendeklarasikan ke mana-mana tentang Kerajaan Allah, dan bahwa Allah Yahweh-lah Raja seluruh dunia, bukan Agustus. Saudara juga menyaksikan Yesus mulai bulit-up momentum –ada montage di sini– dengan menunjuk 12 pemimpin inti gerakan-Nya (jumlah dua belas yang mengingatkan pada Israel baru), Dia menyembuhkan orang, mengusir setan, lalu mulai bergerak ke Yerusalem, ibukota Yahudi pada saat Paskah! Tidak heran para peziarah yang masuk ke Yerusalem, melihat dan mengelu-elukan Dia sebagai Raja. Ini kisah apa, Saudara? Kalau Saudara orang Yahudi di abad pertama melihat semua ini, narasi apa, preconception apa yang akan muncul dalam pikiranmu? Jangankan preconception, kita mungkin sudah akan ikut bikin plan dan strategi tentang apa yang harus kita ambil berikutnya, hal apa yang harus kita lakukan ketika Yesus memasuki Yerusalem, yaitu membunuh pasukan Romawi sebanyak-banyaknya. Bagaimana caranya? Kita tidak punya senjata, maka kita akan merebut tempat penyimpanan senjata mereka, seperti orang-orang Makabi! Kita ambil kekuatan mereka menjadi kekuatan kita, senjata menjadi senjata kita. Setelah itu, kita menghajar mereka di jantung inti kekuatan mereka. Di mana? Di Yerusalem pada waktu itu, Romawi mendirikan benteng bernama Antonia Fortress yang sengaja letaknya mengawasi Bait Suci, sehingga kalau ada bau-bau pemberontakan di sana, tentara Romawi bisa langsung memanahi orang-orang di Bait Suci itu. Jadi, setelah kita merampok senjata Romawi dari pergudangan, first plan of action-nya adalah kita langsung pakai senjata itu dan serbu Benteng Antonia. Saudara mungkin sudah ikutan merencanakan ini semua kalau kita hidup pada zaman itu, karena inilah caranya dong, penebusan itu terjadi –inilah redemption Yahweh style.
Yesus adalah Orang yang sangat percaya kisah Exodus. Dia berkali-kali menghadirkan diri-Nya sebagai figur Musa yang baru. In some sense, Yesus juga “main pencitraan”. Desas-desusnya, sebelum masuk Yerusalem, Dia bahkan sempat terubahkan di atas gunung, transfigurasi. Dan, apa yang terjadi di atas gunung itu? Dia bercakap-cakap dengan Musa dan Elia. Membicarakan apa? Dalam LAI ditulis, mereka membicarakan kepergian-Nya, namun sesungguhnya istilah yang dipakai di situ adalah mereka mebicarakan exodus-Nya.
Ia memang masuk ke Yerusalem untuk menjalankan a new exodus. Tapi ternyata visi Yesus akan exodus yang baru ini tidak dengan cara Yesus membunuh siapapun, melainkan dengan cara Dia yang terbunuh. Yesus sudah berkali-kali mengatakan ini, tapi sama seperti sekarang, mereka melihat Yesus tanpa mengenali Dia, seperti juga selama ini mereka mendengar Yesus tanpa benar-benar mengerti kata-kata-Nya. Mereka tidak menyadari ini, meskipun Yesus sudah pernah khotbah berkali-kali. Lukas mencatat, Dia berkhotbah di dataran (Sermon on the Plain), waktu Dia mengatakan hal-hal seperti: berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu; siapa yang menampar sisi kirimu, berikanlah sisi kanan; siapa yang mengambil jubahmu, berikanlah kaosmu sekalian; perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu mau mereka memperlakukanmu; kalau kamu cuma mengasihi orang yang mengasihimu, apa gunanya, semua orang melakukan itu, pendosa pun melakukan itu; kasihilah musuhmu. Mereka sudah mendengar kata-kata itu, namun somehow mereka gagal menangkap bahwa inilah yang Yesus maksudkan sebagai Kerajaan Allah, inilah yang Yesus maksudkan bagaimana hidupmu harus dihidupi jika kamu hidup di bawah Kerajaan Allah –di bawah manajemen Allah. Sangat berbeda dengan yang hampir semua manusia sepanjang sejarah melihat kehidupan. Dalam aturan main Kerajaan Allah menurut Yesus, kejahatan tidak dikalahkan dengan kekerasan; kejahatan (evil) dikalahkan dengan cara pengorbanan. Itu sebabnya ketika Yesus pergi ke Yerusalem, Dia pergi ke sana bukan untuk ngomong tok, Dia mau menjalankan apa yang Dia khotbahkan selama ini; dan oleh sebab itu, Dia tidak pergi ke Yerusalem untuk kalah.
Dia pergi ke Yerusalem untuk menang. Dia percaya, Dia akan benar-benar segera menebus Israel. Dia sungguh percaya bahwa Dia akan mengalahkan evil, dengan membiarkan evil mengalahkan-Nya. Dia percaya bahwa Dia akan menebus Israel, bahkan menebus umat manusia, dengan cara disalibkan oleh Romawi. Dia masuk ke Yerusalem karena Dia bukan pengkhotbah yang ngomong tok, Dia sedang menjalani apa yang Dia sendiri khotbahkan. Kalau itu semua belum cukup, inilah yang Yesus katakan kepada murid-murid-Nya pada malam sebelu Ia ditangkap, dalam Perjamuan Terakhir: “Ayo, kita berkumpul merayakan Paskah”, lalu Ia mengambil roti, memecah-mecahkannya, mengambil anggur. Ini semua simbol Paskah, kisah Exodus; dan Dia mengatakan, “Lambang-lambang ini menunjuk kepada tubuh-Ku yang akan dipecah-pecahkan dan darah-Ku yang segera akan dicurahkan”. Yesus benar-benar percaya bahwa exodus ini akan terjadi; dan Dia akan mencapainya bukan dengan menjadi seorang Musa yang menginjak-injak Firaun, melainkan justru dengan menjadi Domba Paskah yang disembelih dan dimakan itu.
Saudara di sini sudah berapa kali mendengar kisah ini? Meski demikian, setiap kali kita mendengarnya lagi dan lagi, waktu kita melihat apa yang Yesus benar-benar maksudkan dengan kata-kata-Nya, dengan simbolismenya, kalau kita jujur, kita akan mengatakan apa? Kita akan mengatakan: memang tidak masuk akal.
Selama ini mungkin Saudara mengatakan Injil itu masuk akal buat dirimu; kenapa? Karena mungkin untukmu Injil cuma ‘Yesus mati karena Dia mengasihimu’. Kalau itulah Injil bagimu selama ini, memang benar masuk akal. Kenapa saya mengatakan seperti inilah Injil bagi banyak dari kita? Karena selama sebelas tahun saya melayani di sini, hampir semua orang yang ditugaskan berdoa dalam Perjamuan Kudus atau Persembahan mendoakan itu –“Inilah lambang kasih-Mu bagi kami”. Tentu saja itu masuk akal, bahwa Yesus mati karena Dia mengasihiku; dan kalau Injil hanya sebatas itu, memang masuk akal, tidak ada pergumulan untuk kita mengertinya. Sama seperti seorang ibu yang mengorbankan nyawanya untuk anak yang dia kasihi, itu tentu masuk akal. Namun Saudara lihat di sini, Injil bukan cuma itu! Injil adalah Yesus yang mengatakan ‘kalau kamu mau menyelamatkan nyawamu, caranya adalah dengan kehilangan nyawamu; kalau kamu mau jadi orang yang paling influential –influencer– caranya adalah dengan turun ke bawah, dengan menjadi pelayan bagi semua orang’ –itulah Injil.
Dalam khotbah Kamis Kudus, apa ukuran kesuksesanmu di dunia? Apakah dari seberapa banyak orang yang melayanimu? Yesus mengatakan: tidak; ukuran kesuksesanmu di dunia ini adalah seberapa banyak orang yang kau layani. Itulah Injil. Yesus benar-benar punya gambaran realitas yang sangat trerbalik –terlalu terbalik. Itu sebabnya tidak heran banyak dari kita tidak pernah menangkap ini, boro-boro bisa meng-kalimat-kannya dalam doa. Berapa banyak dari kita yang waktu doa menyambut Perjamuan Kudus mengatakan, “Tuhan, terima kasih karena apa yang Kau kerjakan itu tidak masuk akal buat saya”? Namun inilah Injil Kristus.
Para murid Yesus –dan kita juga– sedang berjalan masuk ke Yerusalem; dan basically kita masuk mengiringi Yesus masuk, namun di kepala kita Yesus versi lukisan Sallman, Yesus yang sangat damai, baik hati, ganteng, yang memanggil kita untuk saling mengasihi, tapi ini Yesus yang tidak akan pernah melanggarmu, yang tidak akan membongkar serta menjungkirbalikkan apa yang selama ini engkau percaya mengenai dirimu atau mengenai dunia. Ini Yesus versi lukisan Sallman, Yesus yang terlalu baik, Yesus yang tidak akan melakukan semua itu terhadapmu. Namun Saudara lihat, Yesus yang sejati itu lain cerita. Dia akan melanggarmu, seperti Dia melanggar murid-murid-Nya sendiri. Apa yang Dia katakan, harusnya senantiasa meruntuhkan apa yang kita asumsikan mengenai Dia. Jadi, di sini Lukas bukan sedang mengajak kita menertawakan dua murid tadi karena mereka begitu konyol dan ironis; Lukas sedang mengajak kita tertawa sesaat, untuk kemudian menyadari bahwa kita sebenarnya sedang menertawakan diri kita sendiri.
Apakah itu, asumsi-asumsi, preconception-preconception, yang kita bawa selama ini selagi kita berjalan bersama Yesus, yang malah menghalangi mata kita? Mungkinkah selama ini kita sedang berjalan bersama Dia, namun gagal mengenali Dia yang di depan mata kita? Mungkinkah selama ini kita mendengar-Nya namun gagal untuk mengerti-Nya? Kisah ini pada dasarnya mengatakan: “Ya, itu sangat mungkin; bahkan ini adalah pengalaman semua murid Yesus, bahkan sejak awal”. Jadi di sini problemnya apa? Yesus mengatakan kepada dua murid itu, “Betapa lambannya hatimu”. Problemnya ternyata bukan bahwa mereka tidak punya cukup informasi atau data mengenai Yesus; problemnya adalah hati mereka. Omong-omong ini bukan hati dalam urusan emosi, melainkan urusan arah dasar dari hati mengenai apa yang dinilai baik atau tidak baik, komitmen dasar dan hasrat dasar dari hati seseorang yang ternyata begitu seret dengan segudang asumsi mengenai Yesus, sampai-sampai menyebabkan kita tidak bisa melihat Yesus meskipun Dia ada depan mata kita.
Itu sebabnya Yesus lalu membawa masuk mereka ke dalam Alkitab; bagian Alkitab yang mana? Semuanya. Dia menjelaskan bahwa semua isi Alkitab menuju kepada diri-Nya –dan bagian ini adalah mimpi semua teolog serta penafsir, ‘coba gua bisa dengar semua penjelasan itu; tapi kenapa, oh kenapa, Lukas, lu tidak catat penjelasannya, lu cuma beritahu kita bahwa Tuhan menjelaskan itu.. ‘. Kenapa, Lukas tidak mencatat? Karena memang tidak perlu, sebab kita bukan kurang bahan, bahannya kita sudah punya, Alkitab adalah barang yang kita hari ini sudah pegang. Jadi, sekali lagi, problemnya memang bukan karena kita kurang bahan.
Apa yang Alkitab ceritakan kepada kita? Alkitab dimulai dengan kisah yang mengatakan bahwa semua manusia –tidak cuma orang kafir, melainkan semua manusia– tidak berpengharapan. Semua orang terjebak dalam lingkaran setan, di mana kita senantiasa mengejar apa yang kita rasa baik bagi kalangan kita meskipun itu berarti ‘engkau dan kalanganmu harus bayar harga’. Kita semua kontributor atas problem ini. Bukan cuma Romawi, tapi juga Israel. Bukan cuma Gorgias, tapi juga keluarga Makabi. Bukan cuma Firaun, Pilatus, ataupun Agustus, tapi juga Petrus dan kawan-kawannya. Siapa peran musuh dalam Alkitab? Ya, kita. Semua dari kita adalah bad guys-nya. Itulah pandangan Alkitab mengenai manusia.
Namun manusia punya pandangan yang lain; pandangan kita adalah bahwa Tuhan pro kita, Tuhan pro kalangan kita, dan anti mereka yang adalah musuh-musuh kita (bagi orang Yahudi, ini berarti Tuhan anti orang Romawi). Tetapi kisah-kisah Alkitab simply meruntuhkan garis-haris yang manusia tarik untuk mengatakan bahwa Tuhan itu ada di sisi sebelah sini atau sebelah sana. Salah satu contoh, nabi Amos pernah mengatakan kepada orang-orang di Yerusalem begini: “Hai! Orang-orang di Yerusalem, kamu pikir Tuhan memihakmu? Sementara engkau cuek terhadap orang-orang miskin di sekelilingmu? Hari Tuhan –hari ketika Tuhan datang– akan jadi seperti hari yang engkau kabur dari singa untuk kemudian bertemu beruang, dan ketika engkau lari dari beruang masuk ke dalam rumahmu dan mengunci diri karena engkau pikir di situ aman, seekor ular keluar dari tembok rumahmu dam memagutmu”. Itulah yang Amos katakan; bahwa hari Tuhan bukanlah hari yang Tuhan ada di pihakmu, melainkan engkau berada di sisi yang sama dengan orang-orang yang kau pikir adalah musuhmu –semua dari kalian sama saja rusaknya di hadapan Tuhan.
Oleh karena itu dalam seluruh Alkitab juga sama, tujuan akhir Tuhan itu apa, rencana Tuhan melalui Mesias-Nya itu apa, cara Tuhan memerangi dosa dan maut dan evil adalah melalui apa, kalau kita semua ini musuh-Nya? Caranya lewat apa untuk mengalahkan semua hal ini? Caranya bukan dengan menghancurkan musuh-musuh-Nya, tapi untuk mati bagi mereka. Yesus sedang menunjukkan hal ini kepada dua murid itu, bahwa cara Alkitab memang bergeraknya ke arah situ, dan dengan demikian semua ini terjadi sebagaimana mestinya, melalui kematian dan penyaliban Mesias. Salib Kristus bukan tragedi. Salib adalah jalan di mana manusia ditebus. Yesus mengambil semua dosa kita, konsekuensi atas keegoisan kita dan kerusakan sejarah manusia, dan Ia membiarkan hal ini semua mengalahkan-Nya, justru supaya lewat itu maut dan dosa dikalahkan, melalui kebangkitan-Nya.
Omong-omong, kalau Yesus tidak dibangkitkan, maka memang benar mengasihi musuh adalah nasehat ngaco, karena musuhmu akan membunuhmu. Dan, kalau Yesus tidak dibangkitkan, maka ketika musuhmu membunuhmu, engkau simply akan mati, kalah. Itu saja. Tapi, kebangkitan Yesus menunjukkan bahwa tidak demikian gambarannya. Mengasihi musuhmu, actually membiarkan dia membunuhmu, adalah justru satu-satunya cara untuk sungguh menang, karena pengharapannya adalah kepada Allah yang mengalahkan maut dan evil dengan kasih, pengorbanan, kebangkitan dari kematian. Jika Yesus tidak bangkit, memang benar ini semua cuma hoax, scam, cuma phishing. Jika Yesus tidak bangkit, maka memang benar Saudara better pergi kulineran dan saya gowes puas setiap Minggu pagi. Tapi, jika Yesus benar-benar bangkit, maka inilah bukti bahwa segala asumsi yang kita punya mengenai dunia ini, mengenai how the world works, harus kita letakkan dan kita pikirkan ulang. Segala sesuatu yang kita pikir kita tahu mengenai Tuhan, dan Yesus, dan manusia, dan dunia ini, kita harus izinkan untuk dibentuk ulang, jikalau Yesus benar-benar bangkit.
Kembali ke kisahnya. Mereka berjalan terus, mereka sampai ke Emaus, lalu Yesus bertindak seolah-olah Dia akan meneruskan perjalanan-Nya. Mereka meminta Dia menginap dulu, sudah malam, dan makan dulu. Mereka pun makan. Dan, meskipun Yesus tamunya, dalam acara makan malam ini Yesus bertindak sebagai Tuan rumah, Dia yang mengambil roti, Dia yang mengucap syukur atasnya, Dia yang memecah-mecahkannya, dan Dia lalu memberikan kepada mereka. Kapan terakhir kali Dia melakukan hal ini? Pada perjamuan terakhir dengan murid-murid-Nya –Perjamuan Paskah. Ketika dua murid melihat hal ini, barulah mereka akhirnya melihat Dia, barulah mereka akhirnya mengenali Dia, barulah mata mereka terbuka. Mereka mengenali simbol-simbol ini, mereka mengenali Siapa yang ditunjuk oleh simbol-simbol ini, mereka mengenali tubuh siapa yang terpecah dan darah siapa yang tercurah, serta kenapa semua itu harus terjadi. Lalu Yesus lenyap dari hadapan mereka. Dan tentu saja selanjutnya mereka buru-buru kembali ke Yerusalem, memberitahu semua murid di sana, dan Yesus kembali menunjukkan diri-Nya kepada mereka semua.
Poinnya, hanya ketika kita berani membiarkan Firman Tuhan menantang apa yang kita pikir kita tahu, menantang asumsi dan anggapan kita selama ini mengenai Yesus dan dunia ini dan diri kita sendiri, ketika skandal Allah yang tersalib itu menjadi Injil/kabar baik, barulah kita bisa melihat sebagai murid Yesus. Itu sebabnya Injil tidak sesimpel yang engkau pikir selama ini. Injil bukanlah cuma ketika engkau besyukur, “O, Yesus, Engkau mengasihiku maka Engkau berkorban bagiku”; yang seperti itu, tidak ada pergumulannya, basically tidak membutuhkan kerendahan hati. Sekadar itu saja, bukanlah kabar baik Kerajaan Allah. Kalau begitu, berarti Injil Yesus Kristus ini apa? Coba Saudara pikirkan seperti ini, dalam hidupmu hari ini, siapa musuhmu? Waktu pulang nanti, coba tanya tetanggamu, siapa musuh-musuh kita hari ini? Trump, dengan tarif-tarifnya? Prabowo, dengan makan siang gratisnya? TNI, dengan RUU-nya? AI, dengan ancaman-ancamannya? Kharismatik, dengan Injil kemakmurannya? Siapa, Saudara, musuh-musuh dalam hidup kita ini? Dan, kalau kita menyadari bahwa itulah yang kita lihat sebagai musuh selama ini, Paulus akan mengatakan kepada kita sama seperti dia katakan dalam Alkitab: “Hai, orang-orang Kelapa Gading yang bodoh! Mereka bukan musuhmu!” Mereka bukan musuhmu; musuh yang sesungguhnya jauh lebih misterius, lebih halus, lebih dalam, yang tipuannya membuat kita semua berpikir bahwa kita menang ketika pihak yang sana mati.
Skandal kematian Yesus memberitahu kita sesuatu di sini, bahwa kita berasumsi Tuhan itu ada di pihak kita dan anti pada musuh-musuh kita. Iya, ‘gak sih?? Akuilah ini. Tuhan paling tidak berada di pihak teologi yang benar ‘kan, dan anti teologi yang ngaco ‘kan; paling tidak kita percaya itu selama ini, bukan? Tetapi Alkitab –dan puncaknya pada salib Kristus–sebenarnya membongkar betapa rapuhnya fondasi dari asumsi-asumsi seperti ini. Alkitab membongkar bahwa asumsi kita ngawur, karena kita berasumsi as if kita ini bukanlah musuh-musuh-Nya juga.
Kisah-kisah di Alkitab telah menunjukkan kepada kita, siapa musuh-Nya; dan itu adalah kita. Kita semua adalah kontributor terhadap sebabnya dunia ini rusak dan jahat seperti ini. Itu sebabnya kabar baik dari Injil Kristus yang diberitakan, diberitakannya bukan cuma lewat kata-kata tapi lewat roti dan anggur. Kabar baiknya adalah bahwa Allah somehow mengasihi musuh-musuh-Nya ini; dan itu sebabnya Ia mau menang atas mereka justru dengan cara menderita dan mati bagi mereka. Bagaimana hal ini terejawatahkan dalam hidup kita, mulai dari sakal kecil perorangan sampai skala global, politik, ekonomi, merupakan sesuatu yang tidak akan habis kita bahas, pelan-pelan, lewat bimbingan Roh Kudus dalam hidup kita sepanjang hidup ini. Namun poin hari ini adalah: waktu kita merayakan kebangkitan Yesus, kita jangan sampai salah kaprah siapa sesungguhnya yang Yesus anggap sebagai musuh; bukan orang ini atau orang itu, tapi suatu kuasa spiritual yang bersarang jauh lebih dalam dan lebih gelap, dan yang ada pada setiap engkau dan saya. Itu sebabnya kita merayakan kabar baik yang sungguh baik ini, bahwa Yesus bukanlah penebus yang menebus dengan cara membabat dan menginjak musuh-musuh-Nya, melainkan Penebus yang menebus dengan cara menderita dan mati bagi mereka. Bukan cuma itu, Ia lalu bangkit, dan dengan demikian Ia membuktikan cara ini bukanlah cara yang bodoh, bukan film yang penulisannya jelek, bukan sebuah tragic ending yang mengecewakan; ini sebuah plot twist yang membuat penontonnya bengong, terpukau, speechless, lalu bertepuk tangan riuh ketika mreka akhirnya menyadari apa yang sesungguhnya terjadi.
Dalam Kalender Gereja, musim Paskah tidak dirayakan hanya sehari ini, kita akan terus mebicarakannya sampai Pentakosta, mengenai apa artinya kebangkitan Yesus bagi kita. Namun, baiklah hari ini kita simply memulai perayaannya dengan sikap yang paling tepat bagi orang Kristen, yaitu dengan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Kebangkitan Yesus, itu berarti apa yang engkau lihat sebagai kemenangan, mungkin bukan kemenangan; dan apa yang engkau lihat sebagai musuh, mungkin bukan musuh. Menjadi murid Yesus yang bangkit, berarti kita semakin bertumbuh bersama Tuhan; dan itu bukan berarti kita makin lama semakin berani karena kita semakin yakin. Menjadi murid Yesus berarti justru semakin lama kita semakin berani untuk meragukan, mempertanyakan, asumsi yang selama ini kita yakini. Kita hidup dalam dunia di mana setiap hari kita mebaca tragedi demi tragedi; dan tentu kita perlu mengakui evil/kejahatan yang ada di balik semua itu. Tapi kebangkitan Yesus menunjukkan, bahkan di tengah-tengah evil dan maut dan dosa yang ada dalam dunia ini, seorang murid Yesus tetap ada dasar untuk percaya, ada kabar baik yang Tuhan bisa bawa. Maybe sikap hati seperti itulah, merupakan salah satu makna menjadi murid Yesus yang telah bangkit.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading