Hari ini melanjutkan pembahasan kehidupan Daud dari 3 pasal sekaligus, dan pembahasan ini dibagi 3 tema. Pasal 27 kita akan melihat problematika yang dialami Daud (27:1 – 28:2), pasal 28 problematika yang dialami Saul, dan pasal 29 penyelamatan oleh Allah.
Di pasal 27 kita melihat satu gambaran tentang Daud, yang mungkin kita tidak suka. Yang pertama, diperlihatkan Daud yang menghalalkan segala cara untuk survive; dia berkali-kali menipu Akhis. Juga dicatat Daud membantai para wanita, dan kemungkinan besar juga anak-anak, karena ketika dia menyerbu orang Gesur, orang Girzi, dan orang Amalek, dikatakan bahwa tak seorang pun dibiarkannya hidup. Dan gambaran yang paling mengecewakan dari Daud di bagian ini, Daud undur imannya, dia meninggalkan Tuhan. Saudara tidak melihat ini dengan terlalu jelas, tapi kalau memperhatikan pembahasan kita secara keseluruhan, lalu membaca ayat pertama, Saudara akan melihat satu hal yang benar-benar menohok. Ayat 1: Tetapi Daud berpikir dalam hatinya: "Bagaimanapun juga pada suatu hari aku akan binasa oleh tangan Saul.”
Di pasal-pasal sebelumnya, setiap kali mau bergerak, Daud tanya Tuhan lebih dulu. Di pasal 23 dan 24, waktu mau pergi menyerang, dia tanya Tuhan dulu; waktu mau kabur, dia tanya Tuhan dulu. Dia seorang man of prayer, bukan man of action, semua gerak-geriknya ditentukan oleh yang Tuhan mau. Tapi di bagian ini kita melihat, bukan hanya di mulut Daud tapi juga dalam pemikiran Daud tidak ada faktor Allah sama sekali. Di sini dengan sengaja narator membuat bagian ini sebagai satu bagian yang dalam pembacaan Alkitab biasa dinamakan “Godless text” (satu teks/ perikop yang tidak menyebut nama Tuhan sama sekali). Narator seperti memberikan indikasi bahwa Daud pergi ke tanah Filistin bukan karena mengikuti kehendak Tuhan, melainkan mengikuti kata hatinya sendiri.
Yang kedua, lihat kalimat yang ada di hati Daud; dia menggunakan istilah ‘binasa’ –dirinya akan dibinasakan oleh Saul. Kata ‘binasa’ di sini memakai istilah caphah, yang sudah pernah muncul dari mulut Daud di pasal sebelumnya: "Demi TUHAN yang hidup, niscaya TUHAN akan membunuh dia: entah karena sampai ajalnya dan ia mati, entah karena ia pergi berperang dan hilang lenyap (caphah) di sana” (26:10). Jadi di pasal sebelumnya Daud mengatakan ‘demi Tuhan yang hidup, Saul akan di-caphah oleh Allah’, tapi sekarang Daud tiba-tiba berpikir bahwa Saul yang akan caphah dirinya. Ironis. Di pasal 26 Daud sangat yakin Tuhan yang akan membunuh Saul sehingga dia merasa tidak perlu membunuhnya, tapi baru lewat 1 halaman, pasal 27, Daud sendiri yang ketakutan Saul akan membunuh dia.
Yang ketiga, Daud sudah tahu bahwa meninggalkan tanah Israel dan pergi ke Filistin, itu punya konsekuensi yang cukup berat; ini bukan seperti kita pindah rumah. Di pasal 26 dia sempat mengatakan “kamu mengusir saya, itu berarti saya tidak mendapat bagian dari Allah, itu berarti kamu menyuruh saya pergi beribadah kepada allah lain” (26:19), berarti dia tahu bahwa menyembah Allah Yahweh hanya bisa dilakukan di tanah Israel, karena dalam konsep Perjanjian Lama, orang menyembah Yahweh harus secara bersama-sama dengan umat Allah. Itu sebabnya kalau dikeluarkan dari tanah Israel, itu berarti diusir dari komunitas umat Allah, dan itu berarti berhenti menyembah Allah yang itu. Daud tahu hal ini, tapi di pasal 27 dengan entengnya dia sendiri kabur ke tanah Filistin, mengikuti kata hatinya.
Jadi, di pasal 27 meski tidak secara eksplisit, narator memberikan sinyal tentang Daud yang digambarkan secara sangat negatif. Di sini kita perlu berhenti sebentar, karena yang dilakukan Daud itu bisa terjadi dalam hidup kita sendiri. Apa yang membuat Daud bisa begitu menyeleweng? Yaitu seperti yang dikatakan kalimat pertama, ‘Daud mengatakan dalam hatinya’. Apa yang kita katakan kepada hati kita? Apa yang hati kita katakan kepada diri kita? D. A. Carson, seorang teolog, memberikan satu ilustrasi; dia mengatakan: “Apakah kamu pernah kalah debat dengan orang?” Lalu dia jawab: “Tentu saya pernah, bahkan sering sekali kalah debat dengan orang, tapi saya kalah debat hanya ronde pertama, saya tidak pernah kalah debat ronde kedua.” Apa maksudnya? Debat ronde kedua maksudnya bukan debat dengan orang sungguhan. Waktu kita dongkol karena kalah debat dengan orang, lalu kita sedang berjalan pulang, kita pikir-pikir, ‘sial gua kalah, tapi coba tadi gua ingat harusnya ngomong begini begitu, pasti dia mati kutu’ –artinya ‘sebenarnya gua yang menang’– itulah debat ronde kedua, debat dengan hati kita sendiri. Itulah kita.
Kita seringkali melakukan debat imajiner dengan diri kita sendiri, dan kita selalu menang! Itulah yang membuat kita banyak melakukan kejahatan-kejahatan yang mungkin kita tidak sadar. Banyak orang Kristen tidak mau KTB, karena ikut KTB berarti punya hubungan yang cukup intim dengan orang-orang lain, sehingga ada ruang bagi mereka untuk mendebat Saudara, untuk menyerang Saudara, dan ada ruang yang Saudara harus mempertanggungjawabkan posisi dan kehidupan Saudara di hadapan mereka. Kita tidak suka itu. Atau, kalau pun ikut KTB, seringkali kita tidak mau berdebat (debat dalam arti positif), tidak mau membiarkan diri diserang orang lain, juga tidak sudi menyerang orang lain karena takut diserang balik. Saudara, ini bukan kehidupan orang Kristen, karena lihatlah apa yang terjadi ketika dalam hidupmu tidak ada suara dari luar, yang tersisa hanya kata hatimu sendiri; selanjutnya, yang terjadi dalam hidup Daud adalah dia menyeleweng.
Dalam kasus Daud, sangat jelas bahwa dia melakukan semua ini karena kata hatinya sendiri. Siapa orang-orang di sekelilingnya yang pernah mengeluarkan kalimat yang sama dengan yang hati Daud katakan?? Kita sudah melihat berkali-kali di pasal 21, 22, 23, 24, dst., orang-orang mengakui Daud, orang-orang berkumpul pada Daud, Yonatan mengakui “engkau akan jadi raja”, Abigail mengatakan “engkau akan jadi raja”, bahkan Saul pun pada akhirnya mengatakan “engkau akan jadi raja”. Tapi Daud menutup diri terhadap semua itu dan mengikuti kata hatinya sendiri, “aku pasti mati, aku pasti mati”. Inilah yang menyebabkan dia menyeleweng. Dan yang paling celaka, suara hatinya ini seperti terbukti benar, meskipun hanya untuk sementara waktu.
Daud berpikir, dengan dirinya kabur ke daerah Filistin, maka dia aman dari Saul. Dan ternyata benar, Saul tidak akan mengejar dia sampai ke Filistin –meskipun dalam hal ini tanda tanya juga, sejak peristiwa di Gua Adulam itu apa pernah dikatakan ‘Saul memburu Daud’ lagi?? Jadi yang Daud pikir, itu benar terjadi, sepertinya dia sukses dalam hal ini. Tambahan lagi, Daud bisa minta satu kota kepada Akhis, raja Filistin, dan dia dikasih Ziklag. Ziklag ini lalu menjadi basis Daud bersama 600 orang pengikutnya untuk menyerang musuh-musuh Israel tanpa ketahuan Akhis. Daud bilang kepada Alkhis bahwa dia menyerang Israel, tapi sebenarnya dia menyerang musuh-musuh Israel; dan hal itu tidak ketahuan karena tidak ada supervisi langsung dari Akhis.
Jadi tampaknya Daud berhasil, sukses; dan kesuksesan ini berjalan sampai 16 bulan. Tapi kita tahu, Amsal 14:12 mengatakan: “Ada jalan yang disangka orang lurus, tapi ujungnya menuju maut”. Ketika kita refleksikan pada diri kita, inilah juga yang seringkali terjadi. Kalau kita mau membuat satu keputusan dalam hidup ini, entah itu untuk hidup pribadi, atau satu keputusan tentang arah Gereja, atau hal yang lainnya, seringkali kriteria yang kita pakai sama seperti Daud, yaitu kesuksesan. Coba pakai cara ini, nanti yang datang lebih banyak, nanti orang akan lebih berasa, nanti kotbahnya lebih mendarat. Atau sisi yang lain, coba pakai cara ini, lebih Reformed! Intinya, kita seringkali memperjuangkan sesuatu sebagai yang benar atau salah berdasarkan sukses atau tidaknya. Tapi di sini Saudara melihat, kesuksesan adalah kriteria palsu di mata Alkitab, karena Tuhan bagaimanapun juga mengizinkan Daud sukses di dalam kengawuran dan kesalahannya.
Mungkin Saudara bertanya, bukankah di Alkitab juga sepertinya ada kriteria seperti itu, karena dikatakan kalau mau membedakan nabi palsu dengan nabi asli, caranya dengan melihat terjadi atau tidak perkataannya, sukses atau tidak nubuatnya, nabi palsu itu bicara dan tidak terjadi tapi nabi asli yang dari Tuhan bicara dan terjadi; jadi berarti melihat dari hasilnya dong?? Memang benar ada ayat seperti itu, tapi jangan lupa ada ayat lain juga di Alkitab yang mengkualifikasikan hal ini. Ulangan 13: 1-3 “Apabila di tengah-tengahmu muncul seorang nabi atau seorang pemimpi, dan ia memberitahukan kepadamu suatu tanda atau mujizat dan apabila tanda atau mujizat yang dikatakannya kepadamu itu terjadi, dan ia membujuk: Mari kita mengikuti allah lain, yang tidak kaukenal, dan mari kita berbakti kepadanya, maka janganlah engkau mendengarkan perkataan nabi atau pemimpi itu; sebab TUHAN, Allahmu, mencoba kamu untuk mengetahui, apakah kamu sungguh-sungguh mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu.” Dan di ayat 5 dikatakan bahwa hukuman bagi nabi tersebut adalah hukuman mati.
Mengapa Tuhan kadang-kadang membiarkan kita sukses, meski dalam kesalahan? Ulangan mengatakan bahwa itu sebenarnya suatu ujian untuk mengetahui apa sebenarnya yang benar-benar kita cintai dalam hidup kita, kita mencintai Allah atau kita mencintai sukses lalu menggunakan Allah untuk mendapatkan kesuksesan tersebut. Waktu ayat tadi mengatakan tentang adanya tanda yang terjadi dan membawa kita berbakti kepada allah lain, itu tidak harus berarti membawa kepada agama lain, tapi bisa berarti suatu berhala kesuksesan, apapun kriterianya. Kesuksesan Daud 16 bulan lamanya, tapi itulah kesuksesan sebagaimana yang Amsal katakan “seperti lurus tapi ujungnya maut”. Ini kemudian memang benar-benar terjadi secara literal. Kesuksesan Daud benar-benar membawa kepada kematian; di ayat 9 Daud harus membantai orang-orang Girzi dsb., yang bukan cuma tentaranya, tapi semua pria, wanita, dan kemungkinan besar juga anak-anak. Saul hanya membantai satu kota yaitu Nob; tapi Daud membantai entah berapa kota –kita tidak tahu– demi supaya tidak ketahuan. Ini keterlaluan! Bukan cuma itu, semua ini akhirnya akan membawa kematian bagi Daud sendiri, cepat atau lambat; kegagalan Daud terjadi bukanlah karena dia gagal, melainkan justru karena dia terlalu sukses. Akhis sangat senang pada Daud, luar biasa Daud ini, dia mau membunuh bangsanya sendiri demi saya, ini pasti hamba yang luar biasa, lalu dia berkata, “Daud, aku mau berperang melawan Saul dan Israel, yuk, kamu ikut, jadi pengawalku” –supervisi langsung. Mampuslah Daud; bukan karena dia gagal tapi karena terlalu sukses.
Lalu bagaimana jalan keluarnya? Daud mau jadi raja Israel, tapi bagaimana caranya jadi raja Israel kalau dia sendiri melawan Israel?? Lebih gila lagi, kalau memperhatikan respons Daud kepada Akhis, ada kemungkinan Daud masih begitu percaya diri, masih tidak menyadari bolong yang dia hadapi. Buktinya, Daud menjawab, “Oke, nanti kamu akan lihat apa yang aku bisa lakukan” –jawaban yang sangat pintar. Itu sebenarnya jawaban yang ambigu. Di mata Akhis, itu berarti hambanya itu –Daud—mau membuktikan dirinya di medan perang; tapi mungkin di mata Daud artinya ‘celaka ini’ lalu dia mengatakan kalimat tadi yang maksudnya mau membunuh Akhis, menyandera mereka, atau apapun, tapi ujungnya akan berakhir dengan kematian lagi. Bukan cuma kematian orang Filistin, tapi mungkin juga kematian dirinya sendiri, dan sudah pasti kematian orang-orangnya. Inilah jalan yang Daud tempuh, dan Daud mungkin masih tidak menyadari bahwa dirinya butuh ditolong.
Sampai di sini narator berhenti, lalu pindah ke cerita yang lain. Sebelum melanjutkan ke bagian tersebut, apa kesimpulan yang bisa kita tarik dari semua hal tadi? Kita bisa belajar humility (kerendahan hati), karena kalau Daud yang hidupnya penuh dengan karya Tuhan yang luar biasa itu tiba-tiba bisa jadi seperti ini, apalagi Saudara dan saya. Kita tidak bisa bilang iman kita kuat, kita mungkin merasa iman kuat pada satu hari, lalu besoknya kita depresi. Sama saja seperti Daud. Maka bagian ini mengajarkan kita kerendahan hati.
Sekarang masuk ke cerita berikutnya, yaitu problematika yang dialami Saul (1 Sam. 28: 3-25). Secara kronologis, pasal 28 sebenarnya berada sesudah pasal 29, karena pasal 28 menceritakan waktu sudah mulai perang, sementara pasal 29 menceritakan orang-orang Filistin masih mengumpulkan menyusun tentaranya. Penulis Alkitab membalikkan urutannya, karena dengan demikian kita bisa melihat dengan jelas perbandingan antara problem yang dihadapi Daud dengan problem yang dihadapi Saul. Narator seakan-akan mengatakan, “kamu pikir problem Daud begitu besar, saya kasih lihat problem Saul, ini lebih besar lagi, lebih mengerikan”. Problem Daud adalah dia meninggalkan Tuhan, problem Saul adalah dia ditinggalkan oleh Tuhan.
Sebelum melihat problemnya Saul, kita akan membahas satu hal dalam perikop ini yang setiap kali orang menanyakan: itu yang muncul Samuel asli atau bukan? Alkitab sendiri tidak terlalu tertarik membahas apakah ini Samuel atau bukan, buktinya penulis Alkitab tidak memberi ruang untuk menjelaskan hal tersebut, karena tujuan utama yang mau diberikan adalah gambaran tentang keadaan Saul yang ditinggalkan Tuhan. Meski begitu, memang dalam Ulangan 18 ada larangan dari Allah tentang praktek pertenungan dan pemanggilan arwah di antara orang Israel, hal itu adalah kekejian bagi Tuhan. Namun itu tidak berarti bahwa praktek ini tidak mungkin dan tidak ada efeknya. Itu hal pertama yang perlu kita ingat. Yang kedua, kita tahu narator mengindikasikan ini Samuel yang asli, karena narator sendiri menamakan dia sebagai Samuel. Waktu Saudara membaca Alkitab lalu ada kata-kata yang diucapkan salah seorang karakternya, Saudara boleh mempertanyakan hal itu karena yang diucapkan karater dalam cerita Alkitab tersebut belum tentu benar. Misalnya, di Mazmur ada kalimat: ‘banyak orang mengatakan “tidak ada Allah” ‘; ini adaah karakter dalam Alkitab yang mengatakan “tidak ada Allah”, maka tidak harus dianggap sebagai kebenaran. Sedangkan perkataan narator di dalam Alkitab, itu mewakili sudut pandang Allah; dalam teologi Reformed, suara narator tidak boleh dipertanyakan. Di perikop ini berkali-kali narator memberitakan bahwa itu Samuel dan tidak mempertanyakan sama sekali, sehingga kita bisa mengerti bahwa maksudnya yang muncul itu Samuel asli.
Berikutnya, ada orang yang keberatan bahwa dia itu Samuel, dengan alasan kemunculannya dari bawah bumi, sedangkan Samuel itu orang benar sehingga harusnya turun dari atas. Dalam hal ini kita perlu mengerti pada zaman itu, konsep Perjanjian Lama adalah orang mati bukan naik ke surga melainkan menempati satu tempat yang namanya syeol, baik dia orang benar maupun orang jahat. Syeol adalah the underworld, atau semacam ruang tunggu bagi orang meninggal sebelum di akhir zaman nanti ada penghakiman, lalu surga dan neraka. Hizkia juga punya konsep seperti ini, dia mengatakan, “kalau aku mati, aku harus menjalani gerbang syeol”. Dalam Perjanjian Baru konsep ini juga ada. Ketika Tuhan Yesus menjelaskan tentang Lazarus dan orang kaya yang jahat, mereka dikatakan berada dalam ‘hades’ (bukan neraka), yang merupakan terjemahan bahasa Yunani dari ‘syeol’/the underworld/ dunia orang mati. Itu sebabnya meski antara Lazarus dan Bapa Abraham dengan si orang kaya ada jurang yang tak terseberangi, tapi mereka menempati lokasi yang sama, yaitu di syeol. Dan syeol/ dunia orang mati itu dalam kepercayaan orang Yahudi ada di bawah bumi (underworld). Maka waktu di pasal 28 ini dikatakan Samuel muncul dari bawah bumi, itu dikarenakan mereka memiliki konsep baik orang benar maupun orang jahat ada di syeol. Kita juga bisa melihat hal ini dalam Pengakuan Iman Rasuli yang mengatakan bahwa Kristus itu “turun ke dalam kerajaan maut”, maksudnya hades/ syeol, bukan neraka.
Hal terakhir yang membuat kita cukup yakin bahwa itu adalah Samuel, yaitu karena si perempuan pemanggil arwah terkejut. Dalam hal ini, ada yang menafsirkan bahwa perempuan ini biasanya menipu, dia tidak betul-betul bisa memanggil arwah, dia cuma pura-pura, tapi kali ini Tuhan mengizinkan muncul Samuel yang asli, sehingga perempuan ini kaget. Alkitab tidak memberi tahu dengan jelas soal Samuel ini, –dan memang itu bukan tujuannya– tapi saya membahas hal ini supaya Saudara tidak bertanya-tanya terus.
Sekarang kita masuk ke dalam penggambaran yang diberikan tentang Saul. Ada 7 ironi yang ditunjukkan pasal ini mengenai Saul. Ironi yang pertama: Saul mencari pemanggil arwah dan roh peramal, padahal dia sendiri yang telah menyingkirkan semua pemanggil arwah dan roh peramal dari negeri itu (ayat 3). Ironi yang kedua, mengapa Saul sampai harus mencari perempuan tukang tenung? Jawabannya di ayat 4, Saul ketakutan terhadap tentara Filistin, dia mau cari petunjuk dari Tuhan tapi semua akses sudah tertutup. Dari mimpi tidak ada. Dari nabi juga tidak ada, karena Samuel sudah mati. Dari urim dan tumim tidak bisa juga, karena yang memakai urim dan tumim sudah dibantai semua oleh dia, yaitu para imam –Ahimelekh dan 85 orang imam yang lain– hanya Abyatar yang luput tapi Abyatar ada bersama Daud. Jadi akhirnya Saul harus mencari perempuan tukang tenung karena ulahnya sendiri.
Ironi yang ketiga, Saul minta pegawainya mencari perempuan tukang tenung, lalu pegawainya langsung tahu perempuan seperti itu ada di mana. Ini berarti pegawainya tidak sungguh-sungguh respek kepada Saul; kalau mereka benar-benar hormat kepada Saul, begitu mereka tahu ada tukang tenung, mereka akan menghabisinya atau mengusir dari Israel. Jadi ironisnya, Saul mendapatkan yang dia minta, justru karena pegawainya tidak taat kepada dia.
Ironi yang keempat, ketika Saul datang dengan menyamar kepada petenung ini, si petenung langsung curiga dan takut. Tapi Saul berusaha meyakinkan dia. Dan Saudara lihat, betapa di tengah-tengah teks yang godless ini, yang tidak muncul nama Tuhan, sekarang muncul nama Tuhan; Saul menggunakan nama Tuhan untuk berjanji dan menguatkan seorang perempuan tukang tenung “jangan kuatir, lakukanlah hal yang Tuhan anggap sebagai kekejian ini, aku bersumpah demi Tuhan yang sama, bahwa aku tidak akan membunuh engkau”. Entah bagaimana perasaan si perempuan, tapi ujungnya dia melakukan hal itu dan Samuel muncul. Samuel mengatakan: “Ngapain lu ganggu gua?” lalu Saul menjawab, “aku terjepit, Tuhan tidak lagi berbicara kepadaku”. Lalu, perhatikan jawab Samuel: “lu tahu mengapa Tuhan tidak lagi berbicara kepada lu, yaitu karena lu ‘gak mau dengerin” –kamu tidak mau mendengarkan perkataan Tuhan, sekarang kamu bingung mengapa Tuhan tidak bicara kepada kamu. Inilah ironi yang kelima.
Ironi yang keenam, yaitu yang paling besar, kita melihat semua usaha Saul yang begitu mati-matian mencari Allah ini, hanya membuktikan bahwa Saul tidak sungguh-sungguh mencari Allah; dia mencari sesuatu yang lain. Inilah gambarannya seseorang yang seperti mencari Allah tapi sebenarnya bukan mencari Allah. Saul bukan mencari Allah, dia mencari kehendak Allah, mencari petunjuk dari Allah. Dia bukan mau Allah-nya, dia mau suatu hasil yang bisa didapatkan lewat Allah; hal itu yang lebih penting di mata Saul. Seandainya yang lebih penting adalah Allah itu sendiri, maka Saul tidak akan mencari Allah waktu sudah kepepet, waktu di persimpangan, waktu sudah ketakutan dan seperti di ujung tanduk melihat orang Filistin; lagipula dengan cara yang sudah jelas dilarang.
Alkitab memberitahukan, tanda seorang yang mendapatkan Allah adalah dia senantasa merasa kehilangan Allah, senantiasa mencari Allah. Kapan Saudara mencari Allah? Hanya dalam situasi kepepet, situasi persimpangan? Dari situ kita bisa langsung tahu, sebenarnya yang kita cari bukan Allah. Kita seringkali seperti Saul. Mazmur 13 mengatakan seperti ini: “Berapa lama lagi, Tuhan, Engkau melupakan aku terus-menerus; berapa lama lagi Kau sembunyikan wajah-Mu terhadap aku?”, nuansanya adalah sudah berkali-kali aku memohon kepada Tuhan, sudah berkali-kali aku mencari Tuhan –nuansa senantiasa. Itulah orang yang mencari Tuhan demi Tuhan. Itu sebabnya Alkitab punya konsep bahwa orang yang benar-benar dekat dengan Tuhan, senantiasa merasa Tuhan jauh darinya. Saul tidak merasa kehilangan Tuhan, dia merasa kehilangan petunjuk dari Tuhan, berkat dari Tuhan, kehendak Tuhan. Waktu Saudara ingin mencari kehendak Tuhan, jangan pikir itu otomatis berarti mencari Tuhan. Kapan Saudara mencari Tuhan, apakah ketika tema PA menarik, atau ketika PD ada hamba Tuhan, atau kapan?
Ironi yang ketujuh/ terakhir ada dalam kalimat yang Samuel katakan kepada Saul –mungkin merupakan kalimat pengakuan yang terakhir, yang mengokohkan Daud—dia mengatakan: “Kerajaanmu akan dikoyak dan diberikan kepada Daud”. Sebelumnya, Samuel sudah pernah mengatakan “kerajaanmu akan dikoyak dan diberikan kepada orang yang lebih baik daripada engkau”, tapi sekarang dari mulut Samuel sendiri jelas dikatakan bahwa orang yang lebih baik itu adalah Daud. Yang ironis, nama Daud muncul tapi Samuel juga memberikan kepada Saul yang dia kehendaki, yaitu petunjuk dari Tuhan mengenai hal yang akan terjadi. Dia mengatakan, “Besok engkau dan anak-anakmu akan bersama-sama dengan aku” –maksudnya di syeol/ dunia orang mati– berarti Saul dan anak-anaknya akan mati, dan juga Israel akan diserahkan ke tangan orang Filistin. Saul mendapatkan benar-benar hal yang dia cari, yaitu petunjuk dari Tuhan, kehendak dari Tuhan, tanpa Tuhannya. Betapa mengerikan.
Saul lalu rebah ke tanah karena ketakutan, tidak ada lagi kekuatannya, sehari semalam dia tidak makan apa-apa, sampai-sampai akhirnya harus perempuan tukang tenung itu yang memberi dia makan. Sangat menyedihkan. Tetapi akhir yang paling menyedihkan adalah di ayat 25 kalimat terakhir: ‘Kemudian bangkitlah mereka dan pergi pada malam itu juga.’ Kalimat aslinya mengatakan: mereka berangkat pergi, dan itu adalah waktu malam. Saudara, pergi waktu malam berarti pergi masuk ke dalam kegelapan, masuk ke dalam ketidak-pastian, masuk ke dalam kehancuran dan kerusakan. Penjelasan semua komentator yang saya baca mengenai bagian ini, mengatakan bahwa hal ini bukan cuma muncul pada Saul tapi juga muncul di Perjanjian Baru ketika dalam Yoh. 13: 30 Yudas menerima roti itu lalu segera pergi, dan dikatakan ‘pada waktu itu hari sudah malam’. Jadi di sini ada nuansa yang lebih berat daripada sekedar menyatakan itu malam hari.
Di awal kta sudah mengatakan bahwa tujuan bagian ini ditempatkan setelah cerita Daud, adalah supaya kita bisa membandingkan problemnya Saul dengan problemnya Daud. Seakan narator di sini mengatakan, ‘memang problemnya Daud betul-betul problematik karena Daud meninggalkan Tuhan, tapi ada yang lebih parah daripada meninggalkan Tuhan, yaitu problemnya Saul, ditinggalkan oleh Tuhan’. Maka, kalau bagian yang pertama tadi mengajar kita untuk lebih rendah hati, bagian yang kedua ini mengajar kita untuk punya rasa takut yang suci (holy fear) di hadapan Tuhan.
Dalam Perjanjian Baru, Yoh. 5, ada cerita tentang orang yang sudah 38 tahun lumpuh. Dia berada di pinggir kolam yang katanya ketika airnya beriak lalu seseorang lompat ke situ, orang itu bisa sembuh. Tapi orang ini tidak bisa karena dia lumpuh tidak bisa bergerak, dan tidak ada orang yang membawa dia masuk ke kolam. Bisa dibayangkan, 38 tahun lumpuh dan sehari-hari melihat orang-orang sembuh karena bisa lompat ke kolam sementara dirinya diam terpaku di situ! Itu nasib yang lumayan mengerikan. Tapi perkataan Tuhan Yesus setelah Dia menyembuhkannya adalah: “Engkau telah sembuh, jangan berbuat dosa lagi supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk”. Saudara, ada yang lebih buruk dibandingkan lumpuh 38 tahun dan sehari-hari menyaksikan orang lain sembuh; apa yang lebih celaka itu? Hal yang lebih celaka daripada meninggalkan Tuhan adalah ditinggalkan oleh Tuhan.
Ini suatu hal yang positif untuk direnungkan. Dalam cerita Ananias dan Safira, biasanya kita memandangnya sebagai cerita negatif. Cerita-cerita yang sebelumnya begitu positif, jemaat mula-mula itu berkumpul membahas firman Tuhan, saling berbagi, saling mengasihi, lalu tiba-tiba muncul cerita Ananias dan Safira ini yang membuat semuanya seakan hancur berantakan. Tapi bukan seperti itu tujuan Alkitab menaruh cerita tersebut, buktinya persis setelah cerita Ananias dan Safira, yang dikatakan Alkitab adalah: ‘karena mereka takut melihat kejadian ini, Gereja bertumbuh’. Jadi tujuan Lukas menuliskan cerita Ananias dan Safira bukan untuk menarik suatu grafik yang makin naik ke atas lalu tiba-tiba jatuh, melainkan untuk menunjukkan kriteria Gereja yang sejati. Gereja yang bertumbuh, datangnya bukan cuma dari firman Tuhan diberitakan dan ada persekutuan yang erat, tapi juga ketika suatu Gereja punya rasa takut akan Tuhan. Dan itulah yang kita jarang mau membicarakannya, jarang mau melihatnya sebagai hal yang sangat penting dalam kehidupan bergereja. Kita bukan cuma perlu belajar kerendahan hati, tapi juga belajar untuk punya rasa takut yang suci di hadapan Tuhan. Meninggalkan Tuhan itu problematik, tapi ditinggalkan Tuhan jauh lebih problematik.
Sekarang bagian yang ketiga, 1 Samuel 29, kembali ke jalan ceritanya Daud. Sebelumnya kita sudah melihat kontras antara problem Daud dengan problem Saul, dan di bagian ini kita melihat kontras berikutnya, yaitu Daud diselamatkan dan Saul dihancurkan (bagian tentang Saul dihancurkan baru akan dibahas dalam kotbah berikutnya). Tapi bukan saja kontrasnya, di sini kita juga bisa melihat kemiripannya; yaitu Saul dihancurkan Tuhan lewat tangan orang Filistin, Daud diselamatkan Tuhan juga melalui tangan orang Filistin.
Kisah Daud di pasal 27 tadi adalah sebuah godless text, dan pasal 29 ini melanjutkan dengan pola yang sama. Tapi yang menarik adalah ketika kita memperhatikan bagaimana caranya kekosongan akan nama Tuhan itu diisi, yaitu bukan dengan cara Tuhan menampakkkan diri-Nya tiba-tiba secara supranatural, tapi justru dengan cara yang amat sangat natural, melalui orang Filistin. Perlu kita tahu, Filistin bukan cuma ada 1 raja melainkan 5 raja (yang disebut sebagai ‘panglima’ sebenarnya adalah raja, setara dengan Akhis). Kelima raja ini beserta tentaranya berkumpul di Afek, dan salah satunya adalah Akhis dengan pasukannya, termasuk Daud. Melihat Daud dan orang-orang Ibrani ini, keempat raja yang lain mengatakan: “Lu mau ngapain bawa orang Israel sedangkan kita lagi mau perang lawan orang Israel??” Selanjutnya, kita bisa mendeteksi ada sedikit nada menyombong dari kalimat Akhis: “O, ini hambanya Saul, tapi lihat sekarang dia sudah jadi hambaku.” Maka empat raja lain itu mengatakan: “Lu sudah gila? Apa lu tidak dengar di radio, bukankah top ten yang terus-menerus muncul itu lagu yang mengatakan ‘Saul mengalahkan beribu-ribu, Daud mengalahkan berlaksa-laksa’?? Lagipula, kamu bilang ini hambanya Saul, apa lu ‘gak tahu di film Mission Impossible ada yang namanya double agent, jadi mungkin dia ini masih hambanya Saul dan caranya dia memenangkan kembali pengakuan dari tuannya adalah dengan potong kepala kita lalu kasih ke tuannya??” Akhis akhirnya minta maaf kepada Daud karena Daud tidak bisa ikut. Dan, ketegangan karena Daud ini mau jadi rajanya Israel tapi sekarang harus melawan Israel, buyar begitu saja. Kita tidak tahu apakah Daud sudah keringat dingin, atau masih begitu percaya diri, atau bahkan mungkin keluar pikiran jahat; tapi tiba-tiba solusinya datang; dan datangnya dari orang Filistin, bahkan dari rajanya.
Di sini kita bisa mengatakan solusi itu datangnya dari Tuhan meskipun alasannya sangat masuk akal, sangat natural, yaitu mereka kuatir soal keamanan; lagipula, segala urusan ini muncul karena Akhis yang menyombongkan dirinya membawa hambanya Saul. Seandainya Akhis tidak mengatakannya, kemungkinan itu tidak jadi masalah bagi raja-raja yang lain. Lewat semua ini, penulis Alkitab memperlihatkan bahwa di balik semua alasan yang sepertinya natural, justru ada tangan Allah yang supranatural. Bagaimana kita bisa yakin akan hal ini?
Yang pertama, ini adalah suatu bagian godless text, hampir tidak ada penyebutan nama Tuhan, baik dari mulut narator maupun Daud. Tapi kemudian dari mulut orang Filistin, Akhis, muncul nama TUHAN. Yang kedua, kita ingat ini bukan pertama kalinya Tuhan menyelamatkan Daud lewat tangan orang Filistin. Waktu di pasal 23-24 Saul sudah berada di sisi gunung yang satu dan Daud di sisi lainnya, lalu sebentar lagi akan ketemu dan Daud akan tertangkap, tiba-tiba datang kabar bahwa Filistin menyerang negeri Israel sehingga Saul mau tidak mau harus berhenti mengejar Daud. Di situ orang-orang Daud sampai mengatakan: “Ini gunung batu keselamatan kita”, dan mereka membuat monumen. Jadi pasal 29 ini adalah kedua kalinya Tuhan menyelamatkan Daud lewat tangan orang Filistin. Inilah caranya Alkitab memperlihatkan cara kerja Tuhan kita. Alkitab memperlihatkan kepada kita hal yang tidak kelihatan itu. Cara kerja Allah seringkali seperti ini, sangat quiet, sangat hening, sangat natural, namun ketika kita menyadarinya, itu justru membuat kita lebih kagum dibandingkan jika Tuhan langsung turun gebrak meja.
Ada satu analogi dari ibu Inawaty Teddy. Ceritanya, ada seorang janda, Kristen, yang miskin, sudah tidak punya apa-apa, tidak punya uang, tidak punya roti, tidak bisa makan. Dia berdoa, “Tuhan, tolong, kasihani saya, berikan saya makan, cukup untuk hari ini saja.” Tetangganya yang ateis mendengar, lalu timbul niat iseng. Dia taruh roti di depan rumah si janda, dia ketuk pintu lalu langsung kabur sambil berkata dalam hati ‘pasti si janda kira roti dari Tuhan’. Benar saja, begitu si janda buka pintu dan lihat roti itu, dia langsung bersyukur, “Oh, ini roti dari Tuhan, terima kasih Tuhan.” Lalu si ateis muncul dan mengatakan, “Hei! Tahu ‘gak, itu bukan dari Tuhan, itu aku yang taruh roti di situ, aku ateis, aku tidak percaya Tuhan. Itu bukan Tuhan yang kasih, tapi aku; kalau bukan karena aku, engkau mati hari ini.” Janda tadi menjawab, “Tidak, ini dari Tuhan. Bapaku yang di surga memberikannya kepadaku roti ini, hanya saja kadang-kadang Dia pakai setan.”
Keindahan dari caranya Tuhan diperlihatkan di dalam Alkitab, adalah justru ketika penulis Alkitab seperti sengaja menutup-nutupi, tapi dia mengharapkan kita bisa melihat hal yang tidak kelihatan ini. Itulah sebabnya memakai cara-cara yang sepertinya natural, begitu hening, karena dengan cara-cara seperti ini Allah seringkali lebih diperlihatkan. Allah kita Allah yang luar biasa. Dia bukan Allah yang cuma bisa main putih atau hitam dalam catur, Dia adalah Allah yang punya semuanya, semua ada dalam kontrol-Nya.
Satu contoh, katakanlah Saudara seorang pria, dan baru pertama kali pacaran dengan orang yang rasanya cocok. Saudara ingin sekali memeluk, mencium, memegang tangannya, tapi takut terlalu agresif lalu perempuan itu malah kabur. Saudara harus tahan diri, tunggu sampai nanti perempuan itu sendiri mau dipegang tangannya, tunggu sampai nanti terjadi secara natural. Dalam situasi seperti ini, adalah satu kebodohan jikalau si cowok mengatakan kepada si cewek, “Ayo duduk, kita bicara serius. Saya mau tanya satu hal, kita bakal pegangan tangan atau enggak? Kalau iya, kapan? Kasih tahu saya, kasih saya kepastian.” Kalau Saudara melakukan direct seperti itu, jadi ada yang hilang. Itu sebabnya Saudara harus tunggu, sengsara, galau, tapi nikmat juga, sampai akhirnya suatu hari ketika berjalan bersama dia, tangan Saudara dan dia bergesekan, lalu dengan natural Saudara memgang tangannya dan dia balas memegang tangan Saudara. Itulah indahnya.
Cara Allah untuk diri-Nya dikenal oleh kita, seringkali juga demikian. Kalau Saudara model orang yang inginnya Tuhan langsung datang gebrak meja dan jelas, mungkin Saudara yang lebih ingin memegang tangan Tuhan dibandingkan Tuhan sendiri. Allah seringkali pakai cara seperti ini karena Dia mau diri-Nya tidak cuma diketahui sebagai Allah yang baik, Allah mau diri-Nya di-discover sebagai Allah yang baik, Allah ingin kebaikan-Nya ditemukan. Dia ingin kita belajar dan makin lama makin ahli untuk melihat hal yang tidak terlihat, karena justru lewat cara seperti ini kita meihat keindahan Tuhan.
Iklan-iklan di TV Amerika itu kira-kira begini: ‘Hai! Sekarang ini juga ada 250 mobil yang kami siapkan untuk kalian! Dengan hanya 120 dolar sebulan kamu bisa dapatkan Toyota… hanya 3 hari saja! Kamu harus datang! Sekarang juga!’ Seakan-akan Saudara bisa diyakinkan dengan modal ngotot dan suara keras. Tapi cara kerja Allah kita, tidak begitu. Jangan-jangan selama ini kita kurang bersyukur, kurang berdoa, kurang memuji Dia dalam hidup kita, karena kita belum menyesuaikan diri dengan cara kerja Allah yang seperti ini. Ini mengingatkan pada kalimat Yakub di Betel, ketika terbangun dari tidur, dia mengatakan: “Sesungguhnya Tuhan ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya.”
Tidak berhenti di sini, cara kerja Tuhan bukan cuma hening, natural, tidak disangka-sangka, tapi juga tidak berhenti mengejar dengan ngotot. Tadi Akhis sudah bilang kepada Daud, “Sudahlah, lu tidak usah pergi”, tapi Daud sendiri cari gara-gara. Karena tadinya Daud sudah berbohong begitu banyak, maka dia harus mempertahankan kebohongannya, dia tidak bisa mengatakan “Horeee..tidak usah pergi”, melainkan, “Ah, jangan gitu dong, masa aku ditinggal? Aku mau ikut juga.” Kita sebagai pembaca mungkin mengatakan, “Daud, lu sudah menang lotre, sudahlah, jangan bikin judi lagi, bagaimana kalau nanti Akhis bicara lagi dengan 4 raja itu lalu berhasil, jadi harus perang. Mampus lu, Daud!” Tetapi di bagian ini kita melihat Tuhan tetap menjaga keputusan awal; meskipun Daud cari ribut, dia tetap dijaga dalam keselamatan ini. Ini adalah karunia Tuhan yang bukan cuma datang seketika, tapi Tuhan yang ngotot, bertahan, persevere, dalam memberikan karunia-Nya.
Kalau Saudara melihat ujung pangkalnya sehingga semua ini terjadi, Daud itu perlu diselamatkan bukan karena dia taat pada Tuhan lalu masuk ke dalam penderitaan, tapi justru karena dia tidak bergantung pada Tuhan, dia undur iman, dia berhenti mengikuti kata Tuhan dan hanya mau ikut kata hatinya sendiri. Pasal 1 ayat 27 dia ketakutan dibunuh Saul meskipun dia sudah melalui kisah berhadapan dengan Goliat, kisah di padang gurun, diakui di sana-sini, sukses di mana-mana, selamat meski di ujung tanduk, pengakuan dari Yonatan, pengakuan dari Abigail, bahkan pengakuan dari mulut Saul sendiri! Maka sekali lagi kita melihat, cerita Alkitab bukanlah mengenai diri kita, bukan juga Daud atau Saul, tapi mengenai Allah yang terus-menerus ngotot memberikan anugerah-Nya kepada orang-orang yang tidak pantas, yang tidak mengerti, yang tidak bersyukur, orang-orang yang tidak berubah meskipun sudah diberikan anugerah lagi, lagi, dan lagi. Atau juga dalam bagian ini kita bisa mengatakan bahwa ini adalah kisah Allah yang tidak memberikan anugerahnya kepada Saul, dan Saul memang tidak pantas menerima anugerah itu, tetapi Allah memilih memberikan anugerah-Nya kepada Daud, yang juga tidak pantas menerima anugerah itu. Ini adalah cerita mengenai Allah.
Di Mazmur 23, Daud mengatakan satu kalimat yang aneh: “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku seumur hidupku”. Dalam bahasa aslinya, dipakai kata radaf, yang bukan cuma berarti ‘mengikuti’ tapi ‘mengejar’ seperti mengejar tentara yang kalah (kata yang sama dipakai dalam Keluaran 15 ketika tentara Mesir mengejar bangsa Israel sampai ke Laut Merah). Karunia Tuhan akan mengejar aku sampai selama-lamanya –Daud sampai berpikir seperti ini, salah satunya karena kehidupannya memang seperti ini.
Daud dan Saul tidak sungguh-sungguh berbeda; yang membedakan bukan faktor manusianya melainkan faktor Allah. Kalau begitu, bagaimana saya bisa tahu bahwa saya diselamatkan? Ada alasan apa Daud dipilih oleh Tuhan? Memang tidak ada alasannya; keselamatan bukanlah oleh pekerjaan manusia. Lalu mengapa kita kaget? Karena kita baru sadar, ternyata selama ini kita berpikir diri kita diselamatkan karena kita baik; kalaupun kita tidak mengatakannya dalam otak, kita mempercayai itu di dalam hati, maka kita ketakutan ketika diperhadapkan dengan Allah yang demikian. Jadi apa penghiburan/ kekuatannya? Yaitu kita tahu satu hal yang Daud tidak tahu, bahwa bukan hanya Saul yang masuk ke dalam malam yang gelap, juga bukan hanya Yudas, tetapi bagi Anak Allah tengah hari pun berubah jadi kegelapan. Mat. 27: 45-46 Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga. Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Ketika Kristus lahir, Dia lahir di malam yang gelap, ketika Dia mati, Dia mati dalam kegelapan, supaya Saudara dan saya boleh menjadi anak-anak terang.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading