Kita melanjutkan eksposisi kitab Hakim-hakim, ini khotbah yang ketiga.
Dalam khotbah sebelumnya, kita mulai belajar untuk membaca secara sastrawi –membaca secara lebih nyeni— mencoba mengenali bukan cuma detail-detail di dalamnya tapi juga struktur besarnya. Ketika melakukan hal tersebut, kita menemukan bahwa ternyata apa yang terjadi di pasal pertama itu mirip dengan suatu acara TV, National Geographic, yaitu serial Air Crash Investigation, satu serial yang membahas kecelakaan-kecelakaan dalam penerbangan. Menariknya, hampir setiap episode mengikuti satu pola yang sama. Pertama-tama diperlihatkan pesawat siap terbang, situasi masih aman, pilot melakukan preflight check, mungkin diskusi sedikit mengenai flight plan-nya –dan mereka terlihat begitu profesional, in control. Kemudian para penumpang mulai duduk di pesawat, mamasukkan bagasi, dsb.; raut mereka kelihatan normal, rileks, ada satu dua mulai mengobrol. Setelah itu, pengumuman dari pramugari mengenai prosedur-prosedur keselamatan seperti biasanya, rutin. Memasuki penerbangan, kita mulai diperlihatkan tanda-tanda yang tidak biasa, ada bunyi-bunyian aneh, atau penumpang yang seperti mencium bau-bauan tertentu, di dalam kokpit ada lampu-lampu di instrument panel yang mulai berkedi-kedip. Di situ kita mulai melihat raut wajah pilot yang bingung, berkerenyit, tampak struggle, tidak bisa mengontrol pesawatnya, sementara penumpang mulai berteriak, dan pramugari tampak cemas. Berikutnya kita diperlihatkan keadaan pesawat yang mulai miring ke satu sisi, sampai kemudian terbalik, dan di layar TV kita cuma terlihat gelap disertai suara panik, teriakan, ledakan, lalu keheningan. Perlahan-lahan gambar di layar TV kembali muncul, dan kita diperlihatkan bangkai pesawat dengan api di mana-mana. Kemudian sisa acaranya mulai mendeskripsikan bagaimana kepingan-kepingan pesawat itu dikumpulkan, disusun, dan ada seorang agen pemerintah dengan baju khasnya, yang datang, mulai menyelidiki kenapa semua ini terjadi. Klimaksnya adalah ketika penyebabnya ditemukan, sang agen menyusun laporannya dan memaparkan kepada pemerintah, lalu pihak yang bersalah didenda atau dihukum, mungkin karena salah bikin parts mesin, dsb., kemudian ada peraturan yang diubah untuk memastikan kecelakaan tersebut tidak terjadi lagi di masa depan. Kira-kira seperti inilah pola episode-episode Air Crash Investigation. Dan, setelah sampai pada klimaks seperti itu, kita puas, kita jadi tahu kenapa semua ini terjadi, dan ada yang diubah untuk ke depannya.
Saudara, dalam arti tertentu, pasal pertama Hakim-hakim pun seperti itu. Ketika kita melihat struktur besarnya, ternyata ada gaya bahasa tertentu yang menunjukkan pola demikian: awalnya oke, normal, lalu mulai ada bau-bau busuk, dan akhirnya kegagalan total. Kita melihat ada semacam 4 tahap penurunan rohani Israel. Pertama dimulai dengan Yehuda yang mostly OK, tapi mulai ada bau yang tercium, yang disuruh pergi/berperang adalah Yehuda tapi entah kenapa Yehuda harus ajak-ajak Simeon?? Namun okelah, mereka tetap bisa menang perang, Tuhan tetap bersama dengan mereka. Tapi kemudian disebutkan ada satu tempat yang gagal mereka halau karena penduduknya punya kereta besi. Sampai di sini masih okelah, karena alasannya militer; lagipula tidak disebutkan Yehuda melanggar perintah Allah dalam arti tinggal bersama-sama orang Kanaan. Jadi ini masih fase conquest; mereka umumnya berhasil menghalau orang Kanaan, cuma ada satu tempat yang mereka gagal menghalau.
Selanjutnya ada fase kedua yang kita baca di bagian ini, ketika dikatakan ada orang-orang Kanaan yang tidak dihalau. Sebelumnya, kita melihat dulu suku Yusuf yang maju berperang dan berhasil; tapi pertanyaannya, bagaimana caranya mereka menyerang? Yaitu dengan menangkap satu orang Kanaan dan menyuruh dia jadi mata-mata. Perhatikan kalimat yang dikatakan suku Yusuf kepada orang ini: “Tunjukkan bagaimana caranya kami dapat memasuki kota ini, maka kami akan memperlakukanmu sebagai sahabat.” Ini menarik, karena ‘memperlakukan sebagai sahabat’, dalam bahasa Ibraninya adalah ‘membuat chesed dengan kamu’; dan chesed adalah sebuah kovenan, yang jelas-jelas dilarang oleh Tuhan. Jadi mereka membuat perjanjian dengan orang Kanaan, ‘tunjukkan bagaimana kami bisa masuk ke kota itu, nanti kami baik-baik sama kamu’. Jadi, mereka berhasil menghalau orang Kanaan, tapi caranya adalah bikin perjanjian dengan orang Kanaan. Tambahan lagi, orang Kanaan tersebut setelah dilepas pergi, dia membangun sebuah kota yang namanya persis sama dengan kota yang mereka taklukkan, yaitu Lus, sehingga seperti buang satu, tambah satu –untuk apa??
Berikutnya kita melihat orang-orang Kanaan yang bukan cuma gagal dihalau, tapi tidak dihalau, yaitu oleh suku-suku Benyamin, Manasye, Efraim; dan mulai dikatakan bahwa orang-orang Kanaan ini tinggal di tengah-tengah orang Israel. Fase berikutnya, suku Zebulon, Asyer, dan Naftali, bukan hanya tidak menghalau, tapi mereka mulai menjadikan orang-orang Kanaan ini sebagai budak, sehingga di sini mulai ada frasa yang terbalik; dalam cerita tentang suku Asyer dan suku Naftali, dikatakan bahwa merekalah yang tinggal di tengah-tengah orang Kanaan. Terbalik. Yang tadi, orang Kanaan tinggal di tengah-tengah orang Israel; sekarang, orang Israel tinggal di tengah-tengah orang Kanaan. Makin parah.
Fase keempat, yaitu suku Dan yang paling parah. Suku Dan ini bukan cuma gagal menghalau, atau tidak menghalau, tapi sekarang justru merekalah yang dihalau oleh penduduk Kanaan. Sampai-sampai kita melihat kalau tadinya kitab Yosua berisi daftar daerah orang Israel dan batas-batasnya sampai mana, sekarang kitab Hakim-hakim pasal 1 malah terbalik, ditutup dengan daftar daerah orang Amori/Kanaan dan batas-batasnya sampai mana. Jadi sebenarnya ini tanahnya siapa?? Kenapa kisahnya jadi kayak begini?? Inilah momen ketika pesawat terbalik dan jatuh pecah berantakan.
Pembacaan struktural seperti ini menarik, karena kita bukan cuma melihat isi teksnya, tapi kita jadi menangkap alur ceritanya, dramanya. Penceritaan ini sedang memberikan kita satu gambaran bagaimana Israel makin lama makin parah dalam ketidaktaatannya pada perintah Tuhan. Itu sebabnya kita mulai bertanya, ‘apa yang salah di sini?’; lalu masuklah kita ke pasal 2 awal. Sementara pasal 1 adalah cerita kecelakaan pesawatnya, maka di pasal 2 awal kita bertemu dengan sang agen penyelidik utama, dan kita akan mendengar laporannya.
Pasal 2:1, ‘Lalu Malaikat TUHAN pergi dari Gilgal ke Bokhim dan berfirman … “. Kalimat seperti ini membingungkan kalau kita cuma membaca kalimat ini tok lalu coba menganalisa maksudnya, apakah maksudnya Malaikat TUHAN pergi dari Gilgal ke Bokhim ini terbang, atau jalan kaki, atau naik permadani terbang, atau kuda, dsb. Tapi bukan itu; Saudara perlu membacanya dengan kacamata sastrawi, membacanya secara struktural. Saudara perlu menangkap apa yang mungkin sudah muncul dalam cerita-cerita sebelumnya, yang sedang digaungkan di sini, apa unsur dramanya –Saudara perlu membacanya dengan kacamata seorang seniman/sastrawan. Sekali lagi, perspektif membaca Alkitab jangan cuma perspektif teologi sistematika doang, tapi perlu juga perspektif yang lain –seperti dalam khotbah Pak Billy, kita sudah diperkenalkan bagaimana waktu membaca kitab Kidung Agung, kita jangan pakai perspektif teologi sistematika saja, tapi juga bisa pakai perspektif puitis, dan seterusnya. Dan, Alkitab memang seperti ini, Alkitab itu kaya; waktu membaca ceritanya, kita juga boleh pakai perspektif naratif, misalnya.
Apa maksudnya ‘Malaikat TUHAN pergi dari Gilgal ke Bokhim dan berfirman’ ? Sayangnya, di bagian ini terjemahan LAI tidak terlalu menolong, karena kalau melihat bahasa Ibraninya, Saudara akan langsung menemukan di dalam kalimat ini ada satu istilah yang telah berulang kali muncul di pasal 1 dan sekarang muncul di pasal 2, jadi semacam refrein, yaitu istilah ‘naik’ yang dalam bahasa Ibraninya ala. Waktu dikatakan ‘Malaikat TUHAN pergi dari Gilgal ke Bokhim’, sebenarnya adalah Malaikat Tuhan ala dari Gilgal ke Bokhim; dan ala bisa berarti maju atau pergi, tapi secara harfiah artinya naik. Yang menarik, istilah yang sama ini muncul berulang kali di pasal 1. Di ayat 1: “Siapakah dari pada kami yang harus lebih dahulu ala … “; lalu ayat 2: “Suku Yehudalah yang harus ala …”. Ayat 3: Lalu berkatalah Yehuda kepada Simeon, saudaranya itu: “Ala -lah bersama-sama dengan aku …”’. Ayat 4: ‘Maka ala -lah suku Yehuda …’. Ayat 16: ‘… orang Keni itu, ala bersama-sama dengan bani Yehuda …’. Ayat 22: ‘Keturunan Yusuf juga ala menyerang Betel … ‘. Demikianlah istilah ini terus-menerus muncul di pasal 1, dalam arti naik, maju, menyerang. Tapi kemudian di pasal 2 istilah yang sama juga muncul, dan sekarang Malaikat TUHAN-lah yang ala dari Gilgal ke Bokhim dan berfirman: “Telah Kutuntun kamu ala dari Mesir …”. Jadi, Saudara bisa melihat efek sastrawinya di sini, ada melodi yang sama, yang keluar lagi. Waktu dikatakan ‘Malaikat TUHAN pergi dari Gilgal ke Bokhim’, ini bukan sekedar mau memberitahukan ada perpindahan secara geografis, tapi ada bobot makna yang lain. Yang pertama, ternyata istilah ala yang muncul berulang kali ini, sampai pada klimaksnya ketika dikatakan Malaikat TUHAN juga ala; dengan demikian di sini ada nuansa bahwa Malaikat Tuhan sedang naik menghadapi bangsa Israel sebagaimana Israel disuruh naik menghadapi Kanaan. Bangsa Israel disuruh mengkonfrontasi Kanaan; dan sekarang Malaikat TUHAN mengkonfrontasi Israel. Pernyataan ini nuansanya tegas sekali, dan kita menyadarinya kalau kita melihat struktur besarnya.
Mengapa pergi dari Gilgal ke Bokhim? Kita ingat, Gilgal adalah tempat di dekat Yerikho, tempat conquest-nya Israel diluncurkan untuk pertama kalinya. Itu adalah juga tempat Yosua pernah bertemu dengan Panglima Bala Tentara Allah yang sangat menakutkan itu, yang pada dasarnya mengatakan ‘Aku bukan di pihakmu, ya; kamulah yang harus masuk ke pihakku’. Ketika itu Yosua mengatakan, “Kamu lawan atau kawan?” lalu dijawab, “Bukan. Aku Panglima Bala Tentara Allah. Aku tidak datang untuk mendukung agendamu ataupun menyerang agendamu; kamulah yang harus ikut agendaku”. Dan, Malaikat TUHAN ini sekarang naik dari Gilgal ke Bokhim, menghadapi Israel. Ini nuansa konfrontasi, sebagaimana tampak jelas dalam kalimat berikutnya; alasannya Israel disuruh Tuhan untuk naik menghadapi Kanaan, adalah karena Tuhan telah naik dari Mesir.
Kita melihat lanjutannya di ayat 2. Malaikat TUHAN mengatakan: “Aku telah berfirman: Aku tidak akan membatalkan perjanjian-Ku dengan kamu untuk selama-lamanya, tetapi janganlah kamu mengikat perjanjian dengan penduduk negeri ini; mezbah mereka haruslah kamu robohkan. Tetapi kamu tidak mendengarkan firman-Ku. Mengapa kamu perbuat demikian?” Inilah satu hal yang jadi inti masalahnya: ‘kamu membuat perjanjian dengan mereka’. Saudara perhatikan, problem yang terutama bukanlah soal orang Israel berhasil menghalau berapa persen dari orang Kanaan, melainkan kenapa mereka membuat perjanjian dengan orang Kanaan itu. Sekali lagi, konsep perjanjian/hased/kovenan ini bukanlah cuma kontrak; perjanjian ini adalah satu janji/kovenan yang diberikan dalam suatu upacara seperti pernikahan, dua pihak berjanji secara serius satu dengan yang lain. Tuhan berjanji memberikan tanah Kanaan kepada keturunan Abraham, dan ini terjadi melalui Tuhan membawa mereka naik dari Mesir, dari padang belantara, menuju tanah yang berlimpah susu dan madu. Janji Tuhan itu sudah dipenuhi; di kitab Yosua, Tuhan sudah mengatakan bahwa dari semua yang dijanjikan Tuhan, semua telah dipenuhi. Tetapi sekarang bagiannya janji Israel untuk setia kepada Tuhan, menjaga hukum-hukum Tuhan; dan salah satu perintah-Nya ‘jangan bikin perjanjian dengan Kanaan, runtuhkan mezbah-mezbah mereka’. Lalu apa yang Israel lakukan? Mereka melanggar hal ini, yang berarti mereka pada dasarnya secara tidak langsung sedang mengikat perjanjian bukan hanya dengan Kanaan tapi juga dengan dewa-dewinya, karena tidak mungkin berada dalam 2 kovenan sekaligus, yang satu dengan Tuhan dan satunya lagi dengan dewa-dewi lain. Inilah yang Tuhan tuduhkan kepada mereka. Mengikat perjanjian dengan orang Kanaan, berarti mereka melanggar kovenan yang telah membawa mereka keluar dari Mesir.
Permainan kata berikutnya kita lihat dari kalimat terakhir Malaikat TUHAN, “Mengapa kamu perbuat demikian?” Sekali lagi, kalimat ini pun punya satu gaungan yang sangat kuat, karena kalau Saudara peka dengan kisah-kisah sebelumnya, Saudara akan menangkap satu motif melodi yang terulang kembali di sini. Saudara ingat, ketika Adam dan Hawa berdosa, Tuhan memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya. Apa yang difirmankan Tuhan? “Di mana engkau?” firman-Nya kepada Adam; sementara kepada Hawa: “Apa yang telah engkau perbuat ini?” Di pasal 4 kitab Kejadian, ketika Kain berdosa, Tuhan meresponi dengan pertanyaan kepada Kain, “Di mana Habel, adikmu itu?” lalu ayat 10, firman-Nya: “Apakah yang telah kauperbuat ini?” Ketika Harun membuat patung anak lembu emas, Musa merespons mewakili Tuhan dengan bertanya kepada Harun: “Apa yang dilakukan orang-orang ini kepadamu sehingga kamu mendatangkan dosa yang sebesar ini?” Dan sekarang, ketika orang Israel gagal menghalau orang Kanaan, Malaikat TUHAN datang dari Gilgal ke Bokhim dan bertanya, “Mengapa kamu perbuat demikian?” –ada satu motif melodi yang kembali muncul.
Ketika Saudara peka dengan pembacaan struktural seperti ini, Saudara akan menangkap bobot makna yang lain. Ini seperti kalau Saudara nonton sinetron yang panjang sekali, bermusim-musim, ceritanya sambung-menyambung. Misalnya musim pertama dan kedua menceritakan tentang sepasang suami istri; musim ke-3 dan ke-4, anak-anaknya sudah dewasa, dan jadi tokoh utama. Lalu di musim ke-5, 6, 7, cucu-cucunya yang jadi tokoh utama; musim ke-8, 9, 10, cicit-cicitnya jadi tokoh utama. Lalu sutradaranya sengaja memasukkan dalam cerita setiap generasi ini satu adegan atau tema yang mirip. Di musim 1 dan 2, katakanlah si suami sempat masuk penjara; di musim 3 dan 4, anaknya pernah terkurung di ruangan. Musim ke-5, 6, 7, si cucu pernah terkunci di WC; musim ke-8, 9, 10, si cicit pernah tanpa sadar duduk di atas semen basah selama 30 menit sampai pantatnya nempel. Kalau Saudara sudah mengikuti ceritanya lama sekali, tentu akan beda sekali dampak melihat adegan ini dibandingkan seorang permirsa baru yang mulai nonton di musim ke-10. Orang yang baru nonton di musim ke-10 akan mengatakan, “Aduhh… bodoh banget sih, duduk di semen basah”; sedangkan Saudara yang sudah mengikuti ceritanya sejak musim pertama akan mengatakan, “Yaelah… lagi-lagi persis bapaknya, persis engkongnya, persis moyangnya, memang satu keluarga ini gila terus-terusan kayak begini”. Saudara, inilah yang Alkitab lakukan; “Mengapa kamu perbuat demikian?” adalah motif melodi yang sudah muncul berkali-kali.
Saudara, kalau kita kehilangan aspek sastrawi ini, mungkin itulah sebabnya kita tidak merasa Alkitab menarik. Ini karena kita jarang peka akan aspek seni di dalam Alkitab, yang sebenarnya tidak cuma muncul di kitab-kitab puisi tapi bahkan dalam kitab-kitab narasi seperti Hakim-hakim. Membaca seperti ini, jadi lebih seru. Atau Saudara mau bolak-balik ujungnya perspektif teologi sistematika lagi?? “Mengapa kamu perbuat demikian?”; lalu responsnya, ‘Hmmm…, kenapa Allah yang mahatahu harus tanya-tanya lagi, memangnya Dia ‘gak tahu jawabannya?’ –tidak heran kalau baca Alkitab kayak begini terus, kita bakal ambil remote TV dan mematikan sinetronnya. Tidak menarik sama sekali, terus-terusan itu-itu saja yang dibicarakan. Sekali lagi, disclaimer, perspektif teologi sistematika tentu ada tempatnya, dan tempatnya pun bukan di tempat sampah; tapi saya sedang berusaha untuk membukakan Saudara satu cara lain, satu cara yang berbeda, yang lebih limpah, yang mungkin kita lacking selama ini, bahwa kita perlu pelan-pelan sama-sama belajar peka akan elemen-elemen naratif ini, elemen-elemen dramatis ini, elemen-elemen “sinetron”-nya. Dan, ketika Saudara mengerti dramanya seperti ini, ketika Saudara membaca Alkitab seperti ini, saya cukup yakin meskipun belakangan nanti kita tetap akan coba ambil prinsip-prinsip yang bisa kita pelajari, efeknya akan lebih berdampak dan mempengaruhi hidup kita.
Selanjutnya ayat 3 pasal 2 ini: “Lagi Aku telah berfirman: Aku tidak akan menghalau orang-orang itu dari depanmu, tetapi mereka akan menjadi musuhmu dan segala allah mereka akan menjadi jerat bagimu.” Sekali lagi, Saudara perlu melihat bagian ini sebagai satu gaungan, koneksi, dari kisah-kisah sebelumnya. Ini bukan Tuhan ngambek lalu tiba-tiba bikin aturan baru. Allah hanya mengulang kembali –mengulang dan mengulang–apa yang sudah Dia pernah peringatkan di zaman Musa. Keluaran 23:32-33 Tuhan mengatakan: “Janganlah mengadakan perjanjian dengan mereka ataupun dengan allah mereka. Mereka tidak akan tetap diam di negerimu, supaya mereka jangan membuat engkau berdosa kepada-Ku, dengan beribadah kepada allah mereka, sebab tentulah hal itu menjadi jerat bagimu.” Saudara perhatikan, di Keluaran dikatakan ‘menjadi jerat bagimu’, dan di Hakim-hakim, ‘mereka akan menjadi jerat bagimu’; kalau Saudara menangkap kaitan ini, nuansanya akan berbeda daripada Saudara cuma baca ayat 3 Hakim-hakim. Kalau Saudara baca ayat 3 tok, Saudara akan pikir ‘ini Tuhan koq jahat banget; okelah orang-orang Israel berdosa, tapi setelah itu koq Tuhan bilang “oke, ya, kamu tidak mau menghalau mereka, sekarang mereka akan jadi musuhmu, allah mereka jadi jerat bagimu, rasain!”’ Tapi sekarang Saudara tidak menangkap nuansa seperti itu, karena Saudara tahu hal ini sudah diperingatkan sejak musim yang pertama, sejak awal memang itu konsekuensinya, Tuhan tidak bikin aturan baru, Tuhan cuma mengingatkan kepada mereka yang Dia sudah pernah katakan dulu, soal ‘jerat’. Dan sekali lagi, kalau Saudara nonton sejak musim pertama, Saudara akan berespons, ‘aduhhh… ini orang-orang geblek, sudah dikasih tahu dari dulu, kenapa ‘gak ingat?!’
Ayat 4-5: Setelah Malaikat TUHAN mengucapkan firman itu kepada seluruh Israel, menangislah bangsa itu dengan keras. Maka tempat itu dinamai Bokhim (Bokhim artinya menangis/weeping). Lalu mereka mempersembah–kan korban di sana kepada TUHAN. Saudara, elemen terakhir dari dramanya adalah: orang Israel meresponi vonis ini dengan tangisan, dan itu sebabnya tempat tersebut dinamakan Bokhim. Sekali lagi, kalau Saudara hanya membaca bagian ini begitu saja, Saudara akan membacanya sebagai satu kejadian yang terisolir dan mengira ini tanda pertobatan yang sejati, ‘Oh, ya sudahlah, Tuhan marah tapi bangsa Israel meresponi dengan tangisan, jadi setelah ini keadaan akan menjadi lebih baik’. Sayangnya, ketika kita membaca kembali bagian ini secara sastrawi, secara naratif, kita menemukan di sepanjang kitab Hakim-hakim, ini hanyalah tangisan yang pertama dari banyak tangisan-tangisan berikutnya. Istilah ‘Bokhim’, setidaknya kata dasarnya yaitu BKH dalam huruf Ibrani, akan kembali muncul 4 kali sepanjang kitab ini, yaitu di pasal 11 ketika putri Yefta bokhim (menangisi) nasibnya, di pasal 14 ketika istri Simson menangis, di pasal 20 ada tangisan ketika terjadi perang saudara di Gibea, di pasal 21 ketika suku Benyamin hampir saja dimusnahkan oleh sesama suku Israel yang lain kembali ada tangisan. Tangisan, tangisan, tangisan, dan tangisan. Jadi Saudara bisa lihat, tangisan di bagian ini bukan tanda pertobatan, ini hanya satu antisipasi akan sesuatu yang bakal terus-menerus terjadi dan makin lama makin parah.
Itulah ceritanya; dan ini masih bagian yang awal, bagian menyusun panggung. Saudara lihat, hati orang Israel memang belum sepenuhnya berbalik dari Tuhan, mereka masih menangis; tapi di sisi lain Saudara juga lihat hati mereka tidak sepenuhnya diberikan kepada Tuhan. Ada pemuridan yang setengah-setengah di sini. Mereka mau maju menyerang Kanaan, tapi ujungnya mereka tidak menyelesaikan dengan sempurna. Ada kejadian-kejadian yang makin lama makin parah. Kita akan melanjutkan ceritanya di khotbah-khotbah yang akan datang, tapi sekarang kita akan coba diskusi mengenai apa yang bisa kita pelajari dari cerita ini, dari insiden ini, khususnya dari perkataan Tuhan kepada bangsa Israel. Sekali lagi, kalau kita menangkap alur ceritanya seperti tadi, maka hal pertama yang kita ingin tanya adalah: kenapa ini semua terjadi? –kenapa bangsa Israel geblek banget, koq terus-menerus kayak begini modelnya, padahal sudah dibawa keluar dari Mesir, dan Tuhan sudah memenuhi semua janji-Nya di kitab Yosua, tapi sekarang di kitab Hakim-hakim malah mengikat perjanjian dengan bangsa Kanaan, dst., dst., lagipula makin lama makin parah??
Kita ingin tahu ‘kenapa’; dan saya ingin mengeksplorasi hal ini. Kita merasa ada sesuatu penjelasannya, lalu kita ingin cari penyebabnya, supaya kita bisa mengambil pelajaran dari hal itu, ‘Oh, ini parts mesin yang salah bikin itu maka mengakibatkan mesinnya hancur; Oh, ini barang yang membuat mereka terjegal, jadi sesudah tahu, kita jangan sampai salah, kita musti bikin peraturan yang baru supaya di kemudian hari ini tidak terulang kembali’. Lalu kalau kita bisa tahu hal ini, berarti perikop ini sukses mengajar kita –itulah ekspektasi kita. Jadi, apa alasannya? Mungkin alasannya urusan militer; seperti di ayat 19 waktu Yehuda tidak berhasil menghalau orang-orang di lembah, itu karena alasan militer, mereka punya persenjataan lebih, jadi maklumlah, ya, wajarlah, ya, ‘kan tidak ada yang bakal menyalahkan Ukraina seandainya Ukraina kalah perang terhadap Rusia, karena memang kalah militernya; atau mungkin alasannya dalam hal will power; seperti kita sudah lihat, orang Kanaan berkeras tinggal di tempat itu sementara orang Israel kurang semangat juang. Sadar atau tidak sadar, ketika kita mencari-cari penjelasan di balik dosa, sesungguhnya intinya kita ingin bersimpati kepada Israel, ‘ya, sudahlah ya, mereka memang ‘gak bisa, ini lho penyebabnya; they did their best, tapi ada ini itu’. Tapi Saudara, mungkin di sinilah twist-nya Alkitab.Saudara, plot twist-nya adalah: ketika sang agen penyelidik datang dan memberikan vonisnya/laporannya, kita melihat akar sesungguhnya dari kegagalan tersebut, yaitu Malaikat Tuhan mengatakan: “Kamu tidak mendengarkan firman-Ku. Mengapa kamu perbuat demikian?” Lucu, ya. Orang Israel mengatakan, ‘yah, kami ‘gak bisa, mereka punya kereta besi; kami ‘gak mampu, mereka punya semangat juang lebih tinggi’; Tuhan mengatakan, ‘Tidak; alasannya bukan kamu tidak mampu, alasannya kamu tidak mau –kamu tidak mau, kamu tidak mendengarkan firman-Ku’. Itulah alasannya. Sesederhana itu. Kecewakah kita??
Dalam budaya masyarakat kita hari ini, ada satu anggapan mengenai dosa yang cukup luas dan dipegang banyak orang, yang kita perlu bereskan –hanya saja kita sering kali tidak sadar telah memegang hal ini. Ada semacam stereotip mengenai dosa dan evil yang seringkali kita pegang secara tersembunyi, yaitu mengenai apa dampak dosa pada seseorang. Ketika dosa dan kejahatan (evil) benar-benar mengikat hati seseorang, apa efeknya? Stereotip yang biasa kita lihat dari Hollywood adalah: orang yang benar-benar evil, evil-nya adalah evil yang jenius; orang yang benar-benar hatinya diikat oleh kejahatan, entah bagaimana dia jadi luar biasa menarik dan pintar. Film-film yang populer pada hari ini sering kali ceritanya tidak bisa cuma didorong oleh adanya tokoh protagonis yang menarik, tapi juga harus punya tokoh antagonis –tokoh penjahatnya atau tokoh bad guy-nya– yang menarik, baru filmnya bisa laku. Film The Dark Knight, itu laku karena ada tokoh Joker yang begitu menarik, dia jahat luar biasa tapi jahatnya keren. Film-film gangster seperti The Godfather, itu menarik karena orang-orang jahat ini luar biasa sophisticated, cara mengancamnya canggih, misalnya meninggalkan kepala babi di ranjang orang sehingga waktu bangun dia kaget ketakutan dst., pintar sekali cara intimidasinya. Di film Breaking Bed ada Gus Fring yang begitu hebat, di Starwars ada Darth Vader, di Marvel ada Thanos. Thanos ini menarik, karena dia bukan cuma jahat tok, tapi kejahatannya ada semacam logikanya. Thanos mengatakan, sumber daya alam terbatas maka waktu terjadi over populasi, ini mengakibatkan perang –karena memperebutkan sumber daya alam– itu sebabnya jalan keluarnya adalah hilangkan separuh makhluk hidup, random saja, tidak pandang bulu, tidak sakit, fair, cuma ‘klik’ dan urusan selesai. Jahat sekali –tapi ada semacam evil genius-nya.
Saudara lihat, dalam pop culture kita ada penggambaran seperti ini. Orang jahat digambarkan sebagai orang yang menarik, canggih, dalam, sophisticated, punya siasat, dsb. Ini adalah penggambaran evil yang sama sekali terbalik dengan yang ada di Alkitab. Waktu Saudara membaca mengenai kejahatan dan dosa Israel lalu geleng-geleng kepala, ‘aduuhh… mereka ini kenapa sih! ada apa di balik semua ini??’, lalu apakah Malaikat Tuhan datang dan mengatakan, ‘begini lho, jadi ternyata ada siasatnya, ada logikanya, seperti Thanos ..’? Tidak. Saudara tidak menemukan itu. Penjelasannya sangat simpel, dan saking simpelnya sampai terasa seperti tidak menjelaskan, bikin kita tidak puas, ‘masa cuma begitu saja sih??’ Penjelasannya adalah: ‘kamu bukan tidak mampu, kamu tidak mau; itu saja’. Saudara, pandangan Alkitab seperti inilah yang sebenarnya lebih dekat dengan realitas –bukan pandangan Hollywood dan Marvel itu.
Saudara mungkin pernah mendengar nama Hannah Arendt, seorang filsuf wanita di abad 20 yang cukup terkenal. Momen Hannah Arendt menggemparkan dunia di abad 20 adalah ketika tulisannya yang berjudul “The Banality of Evil” diterbitkan. Ini satu esai yang mengundang banyak kontroversi karena orang sulit menerimanya, namun juga mau tidak mau harus mengakui bahwa Hannah Arendt ada benarnya. Istilah ‘banal’ artinya ‘biasa-biasa’; jadi evil menurut Hannah Arendt adalah satu hal yang biasa saja, dalam arti tidak menarik, membosankan, evil itu membosankan. Apa maksudnya? Saudara tahu, pada abad 20 terjadi Holocaust; dan setelah sekutu menang Perang Dunia II, petinggi-petinggi Nazi diadili di Nuremberg atas kejahatan perang mereka. Waktu itu Hitler sudah mati sehingga dia tidak ikut diadili, tetapi pengadilan ini sempat mengadili banyak petinggi Nazi yang masih hidup, salah satunya Adolf Eichmann. Pengadilannya ini sangat menarik perhatian publik, banyak orang datang ingin melihat monster macam apa yang bisa menghasilkan begitu banyak penyiksaan dan kematian –mereka datang untuk melihat “Thanos”. Hannah Arendt adalah salah seorang yang datang dalam pengadilan tersebut. Dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri bedebah Nazi ini, orang macam apa dia ini yang bisa menghasilkan begitu banyak kejahatan, monster macam apakah dia, kulitnya ungukah seperti Thanos?? Ketika Hannah Arendt melihat dia, Hannah Arendt menyadari orang ini sama sekali bukan monster, ini hanya manusia; dan lebih lagi Hannah Arendt merasa ini manusia yang membosankan. Waktu Hannah Arendt mendengarkan pembelaan Eichmann, pembelaannya terdengar begitu klise, cuma kalimat-kalimat klise, tidak ada insight, tidak ada logika evil genius seperti Thanos, bahkan tidak ada humor! Tidak ada apapun yang kita bisa ambil dari pembelaan dia. Ini pembelaan yang sangat membosankan sekali. Lalu apa yang memotivasi Eichmann untuk menjalankan semua kekejian itu? Inilah yang paling mengerikan. Hannah Arendt melihat dalam kesaksiannya, bahwa Eichmann melakukan semua kekejian dalam Holocaust itu, hanya karena dia ingin naik pangkat, ingin disukai orang, ingin dianggap penting, ingin mendapat pengakuan dari Hitler. Semua inilah yang memotivasinya untuk melakukan kekejian pembunuhan begitu banyak orang. Itu semua hal-hal biasa, penyakit orang biasa –demikian Hannah Arendt mengatakan– yang ada padamu dan padaku. Itu sebabnya dalam esai tersebut Hannah Arendt menyimpulkan: Eichmann bukan monster; Eichmann sangat jahat, itu jelas, tapi Eichmann bukan monster, Eichman hanyalah seperti kamu dan saya, membosankan, superfisial, dangkal, tidak menarik, membosankan —banality-of-evil. Saudara lihat, bagaimana tesisnya ini mengundang banyak kontroversi. Bahkan kalau Saudara melihat Hitler ditampilkan di film-film, biasanya ia diperlihatkan sebagai seorang yang super berkarisma, super monster, super jahat; tapi kalau Saudara baca buku-buku mengenai Hitler, Saudara akan melihat bukan gambaran monster melainkan hanya gambaran seorang manusia biasa, yang dimotivasi oleh hal-hal yang sangat membosankan itu, sebagaimana yang juga memotivasi Saudara dan saya. Dan, Saudara bisa melihat mengapa banyak orang mengkritik Hannah Arendt, yaitu karena orang tidak ingin menghadapi realitas ini. Kita inginnya bisa mengatakan, “Oh, orang itu hancur banget, jahat banget, pasti mereka ada sesuatu, –pasti ada penjelasannya, pasti ada parts mesin yang salah di otaknya, dsb., yang membedakan mereka dari manusia-manusia normal seperti Saudara dan saya.” Tapi sebagaimana Hannah Arendt tunjukkan, yang namanya evil ternyata membosankan –dan ini logis; mengapa? Karena apa sih evil, apa sih esensi dosa? Luther menyebutnya dengan ‘incurvatus in se’; artinya yaitu ketika hidup manusia curved upon itself, berfokus hanya kepada dirinya sendiri –itulah esensi dosa.
Dari pengalaman hidup, Saudara tentu tahu bahwa tidak ada yang lebih membosankan daripada manusia yang berfokus pada dirinya sendiri. Orang yang bicara apapun ujungnya selalu tentang dirinya sendiri, itu membosankan. Lihatlah relasi-relasi yang paling indah seperti relasi orang yang sedang pacaran atau relasi suami istri, relasi tersebut fokusnya adalah satu dengan yang lain, fokusnya kepada orang yang dikasihi. Inilah relasi yang menarik; karena bukan mengenai diri sendiri. Demikian juga persahabatan itu menarik, karena fokusnya pada sesuatu yang sama-sama mereka share. Di dalam relasi pacaran, mereka saling melihat; sementara dalam persahabatan, mereka sama-sama melihat sesuatu yang sama, misalnya hobi yang sama. Tidak ada orang bersahabat karena masing-masing melihat dirinya sendiri, lalu waktu bertemu ‘gua ngomongin gua, lu ngomongin lu’. Orang bersahabat adalah karena mereka sama-sama melihat sesuatu yang bukan diri mereka, dan sama-sama senang. Orang yang pacaran, saling membicarakan satu dengan yang lan; ‘kamu hari ini bagaimana?’, ‘aku baik, kamu bagaimana?’, dan mereka senang, karena pembicaraan yang bukan tentang diri sendiri itu sangat menyenangkan.
Kalau kita kembali ke Hakim-hakim 2, inilah gambaran Alkitab mengenai evil yang riil; bahwa evil dan dosa itu simply membosankan, banal. Apa dampak dosa bagi diri manusia? Dosa tidak membuatmu jadi ganteng; dosa membuatmu jadi membosankan. Ini hal pertama yang kita lihat. Hal kedua, yang masih berhubungan dengan itu, berarti bahaya dari dosa ternyata bukan tindakan dosanya, melainkan penipuan diri (self deception) yang terjadi lewat dosa itu. Kecanduan alkohol tidak membunuhmu; tapi yang membunuhmu adalah ketika Saudara tidak mengakui bahwa dirimu kecanduan alkohol, ketika Saudara menyangkal bahwa punya problem alkohol. Hal yang berbahaya dari dosa adalah self deception-nya.
Self deception adalah kemampuan untuk tahu apa yang benar tetapi di sisi lain tidak mengakui hal yang kita tahu benar, kemampuan untuk merasionalisasi dan membenarkan diri terhadap hal-hal yang kita sudah tahu itu salah. Inilah problemnya. Inilah satu hal yang kalau mau jujur, kita bahkan tidak mau mengakuinya; kita tidak mau mengakui bahwa diri kita seperti itu. Inilah yang muncul ketika kita melihat dosa dan kita selalu mencari-cari, ‘apa ya, penyebabnya? apa ya, penjelasannya? ada apa ya, di balik semua ini?’ Tetapi Malaikat TUHAN mengatakan, “Tidak usah lihat semua itu, ujungnya cuma satu: lu ‘gak niat. Itu saja” –dan kita tidak mau mengakuinya. Itu sebabnya problem dari dosa bukanlah terutama tindakan dosanya, melainkan self deception di balik itu, yang kita pun susah mengakuinya. Berapa banyak ketika kita berdosa dan dikonfrontasi, lalu kita cari-cari alasan, cari-cari penjelasan? Sebaliknya, berapa sering ketika kita berdosa, kita cuma diam, lalu mengaku ‘ya, memang saya sih yang ‘gak niat’? Hampir tidak pernah bukan? Biasanya itu kalimat yang datang dari orang lain.
Saya pernah pergi bersama teman, mau cari restoran babi; ada dua opsi restorannya, satu yang lebih dekat, satunya lebih jauh. Sementara di perjalanan kita mengobrol, mau pilih restoran yang mana; dan teman saya mengatakan ‘restoran A saja, gua mau yang itu’. Waktu itu saya yang menyetir mobil, dan saya salah jalan, arahnya ke restoran B, jadi saya bilang, “Eh, sori-sori, salah jalan, kita balik ke A, ya”, tapi teman saya mengatakan, “Ah, sudahlah, hati lu ‘gak di situ, lu memang maunya yang B, ngaku aja”. Saudara, bukankah itu yang seringkali terjadi? Kalau kita salah dan dikonfrontasi, kita pakai 1001 macam alasan, kita hampir tidak pernah mengaku ‘iya, emang gua ‘gak niat’, kita bilang ‘kelupaan’, ‘salah jalan’, dsb. Memang mungkin betul-betul salah jalan, betul-betul tidak disengaja, tapi lihat, yang terutama adalah memang hati kita tidak niat. Itu saja.
Waktu melihat hidup kita hari ini, ketika kita dikonfrontasi akan dosa lalu kita senantiasa mencari pembenaran atau penjelasan, apa problemnya? Problemnya bukan dosa itu sendiri, problemnya adalah self deception di balik itu. Di pasal 1 Hakim-hakim, alasannya ‘Oh, mereka punya kereta besi’, ‘Oh, mereka berkeras untuk tinggal di sana’; dan Malaikat TUHAN mengatakan, “Tidak! memang lu ‘gak niat aja!” Saudara ingat, ketika Saul dikonfrontasi oleh Samuel karena menyisakan lembu dan kambing domba musuh, 1001 alasan muncul. ‘Oh, ini tentara-tentaraku yang menyisakan’ –menyalahkan orang lain. Ini jurus pertama. Lebih celaka lagi, alasan agamawi, ‘Oh, ini aku mau persembahkan kepada Tuhan’ –alasan kedua. Tekniknya banyak. Seorang suami yang sedang menyetir, lalu ada sesuatu bunyi di mobilnya, dan istrinya mengatakan, “Itu ada bunyi apa? Musti di-bengkelin mobilnya”; tapi suaminya malas –bukan tidak bisa, hanya tidak niat saja– maka teknik pertama, dia bilang, “Ah, itu ‘gak apa-apa.” Tapi si istri lanjut, “Kemarin bunyinya ‘gak kayak begitu, jadi musti dicek”, maka keluarlah jurus kedua, putar radio keras-keras –masalah bunyi diatasi dengan bunyi. Jadi memang banyak tekniknya. Itu sebabnya bagian ini adalah satu hal yang kita bisa belajar. Kalau Saudara mau mengambil bagian ini sebagai sesuatu yang mau diaplikasikan dalam hidup kita, salah satu aplikasinya adalah: kita perlu belajar senantiasa tanya kepada diri sendiri, kasus-kasus apa yang kita mengatakan ‘saya tidak bisa, saya tidak mampu, Tuhan’, tapi Tuhan mengatakan ‘tidak; kamu hanya tidak mau’. Memang susah. Waktu memikirkan untuk mengampuni orang yang pernah menjahati Saudara, dan Saudara menganggap tidak mampu mengampuni karena itu orang benar-benar kurang ajar, Tuhan mengatakan ‘kamu hanya tidak mau saja’.
Beberapa waktu lalu di satu tempat pelayanan, kami bicara mengenai ‘habit’ (tentang ini, kita sudah pernah bicara panjang lebar di sini). Lalu ada orang tanya, “Pak, kita ‘kan disuruh mengasihi, tapi setiap kali saya mau mengasihi seseorang itu, perasaan saya dan pikiran saya langsung melihat kekurangannya, langsung melihat apa yang pernah dia lakukan menjahati saya; bagaimana saya bisa mengasihi orang kayak begini, Pak?” Saudara, inilah penipuan zaman modern yang mementingkan perasaan –musti ada perasaan dulu, baru bisa ada tindakan. Di satu sisi hal ini memang benar; kalau kita mau menikah, tentu lebih baik ada perasaan dulu, bukan ‘aku benci banget sama kamu, tapi aku mau menikahi kamu’ –kacau. Tapi ‘punya perasaan lalu bisa mengasihi’, bukanlah satu-satunya jalan untuk bisa mengasihi orang; ada cara lain untuk bisa mengasihi orang yaitu dengan bertindak kasih –bukan cuma merasa mengasihi. ‘Perasaan’ tidak bisa di matikan atau dinyalakan semau kita, tapi ‘tindakan’ bisa. Ketika kita punya habit bertindak secara kasih, lama-kelamaan perasaan kasih itu muncul. Kalau kita menunggu perasaan kasih itu muncul, bisa jadi tidak muncul-muncul, tapi kalau kita bertindak mengasihi –melakukan habit ‘mengasihi’–maka perasaan kasih itu bisa muncul. Jadi memang benar waktu kita rasa ‘gua ‘gak mampu mengasihi orang ini’ ujungnya Tuhan mengatakan, “Bukan ‘gak mampu, tapi ‘gak mau!” Mengapa demikian?
Saya coba pakai ilustrasi dari film “Fiddler on the Roof”. Film ini menceritakan tentang keluarga Yahudi tradisional, yang anak-anaknya sudah waktunya untuk mendapatkan tunangan, menikah, dsb. Di zaman itu semua pernikahan masih pakai makcomblang. Anak yang pertama sudah mulai bergeser lebih modern, tidak mau dengan laki-laki yang dijodohkan, maunya laki-laki yang dicintai –mau ada perasaan dulu, baru bisa menikah. Awalnya papanya tidak setuju, tapi akhirnya demi kebahagiaan si anak, dia mengizinkan; dan anaknya menikah. Anak yang kedua lebih parah, dia mengatakan, “Kami tidak perlu permission papa, tapi kami perlu blessing papa”. Kurang ajar. Tapi setelah pikir-pikir, melihat anaknya saling cinta, akhirnya direstui. Anak yang ketiga pun demikian, bahkan sampai kawin lari dsb. karena mengejar perasaan. Menariknya, love story yang paling indah dalam film ini bukanlah kisah cinta anak-anak tersebut yang menemukan cintanya masing-masing, melainkan kisah cinta antara si papa dan mama. Setelah melihat ketiga anaknya itu, sang papa bilang, “Anak zaman sekarang ngomongin cinta”, lalu katanya kepada istrinya, “Golde, kamu cinta saya ‘gak?” Istrinya mengatakan, “Apa sih ikut-ikutan ngomongin cinta?? Kita ini sudah 25 tahun menikah, kita dulu pertama kali ketemu baru di acara pertunangan, bagaimana bisa ngomongin cinta?? Kita ‘kan pakai makcomblang, kita masih ikut tradisi zaman Siti Nurbaya, jadi ‘gak usah ngomongin cinta, udah telat!!” Lalu suaminya bilang, “Ya, aku tahu, tapi bagaimana sekarang, Golde, do you love me?” Lalu istrinya mulai berpikir sembari bicara, “Dua puluh lima tahun aku berantem sama dia, 25 tahun aku kerja bersama dia, 25 tahun ranjangku adalah ranjangnya, 25 tahun aku menyediakan makanan dia, … “ –Saudara lihat, ini semua bukan perasaan; ini adalah tindakan, tindakan, dan tindakan. Lanjutnya, “Dua puluh lima tahun aku berkorban baginya, 25 tahun dia berkorban bagiku, 25 tahun kami tertawa bersama-sama, 25 tahun kami menangis bersama-sama; kalau ini bukan cinta, apa itu cinta??” Mendengar itu, si suami kegirangan dan langsung bilang, “Jadi kamu cinta saya!”, lalu istrinya mengatakan, “Iya kayaknya”. Lucu adegannya, tapi ini indah. Mengapa indah? Karena inilah cinta yang hadir bukan dari perasaan ke tindakan, tapi dari tindakan ke perasaan. Ini satu habit, cinta yang datang melalui habit –dan ini bisa dilakukan oleh semua orang. Itu sebabnya ketika kita disuruh mengampuni seseorang, kita bukan cuma disuruh mengampuni dia, tapi disuruh bertindak –berdoa bagi dia, mengerjakan kebaikan bagi dia.
Kalau Saudara susah mengampuni orang, lalu waktu Saudara bertemu dia selalu ada perasaan negatif dsb., maka Saudara harus ada tindakan aktif —habit— setiap kali melihat dia, mulai pikirkan hal yang baik tentang dia. Ini susah sekali. Tapi bisa. Tidak ada yang dapat mengatakan ini tidak possible. Sekali lagi, kalau kita yang berdosa dan orang datang mengkonfrontasi, maka kita keluarkan 1001 macam rasionalisasi dan penjelasan. ‘Oh, tidak begitu, aku waktu itu kepepet, ada ini, ada itu’ –ada banyak alasan. Tapi kalau orang lain yang bersalah kepada kita, kita langsung bilang, “Penipu!” –seakan-akan dia seluruhnya penipu. Kalau orang lain yang salah, simpel sekali, “Dia itu penipu orangnya, dia memang kayak begitu orangnya”; tapi kalau kita yang menipu, kita bilang, “Saya kepepet” –ada alasan lain, jadi complicated. Jadi, sebenarnya tidak susah untuk melakukan hal yang sama bagi orang lain; dia menyakiti kita, lalu kita bilang, “Mungkin situasi yang dia alami, kalau saya yang mengalami pun saya juga akan menipu”. Saudara bisa mulai berpikir seperti itu. Waktu ada pikiran-pikiran negatif tentang orang itu, Saudara bisa mulai bertindak, membiasakan habit memikirkan yang positif. Waktu Saudara ingin memaki dia, justru cobalah berkata sopan kepada dia. Habit ini awalnya susah sekali dijalankan, tapi kalau terus dijalankan, maka percayalah, makin lama perasaan sayang itu muncul.
Sekali lagi, apa problem dari evil dan dosa? Self deception. Penipuan yang mengatakan ‘ini ada penjelasannya, ini dan itu’ dsb., namun Tuhan mengatakan, “Tidak; simpel saja, kamu bukan tidak mampu, kamu tidak mau.” Tapi lihat, jawaban yang terkesan keras dan sadis ini adalah justru jawaban yang membebaskan.
Terakhir, kita memang belum akan menyimpulkan ceritanya dari sekarang karena panggung baru saja disusun; tapi kita tentu penasaran, dalam arti ‘apa yang kira-kira bisa kita pelajari mengenai evil, dosa’, bahwa evil itu membosankan dan tidak menarik –sama seperti 99% konten media sosial yang semuanya ngomongin diri sendiri, sangat membosankan. Dan mungkin Saudara ingin tahu bagaimana kelanjutannya, bagaimana solusi atas dosa-dosa Israel, bagaimana Tuhan deal dengan Israel? Sekali lagi, khotbah ini masih akan berlanjut, belum semuanya disimpulkan dari sekarang; tapi saya ingin mengingatkan Saudara akan satu hal yang ada dalam teks ini, yaitu meskipun teguran dan konfrontasi Tuhan sangat keras, poinnya adalah: teguran ini datang.
Ketika bangsa Israel melanggar kovenan Tuhan, yang terjadi adalah: Tuhan menegur mereka; dan ini berarti Tuhan bukan meninggalkan mereka. Tuhan menegur mereka, dan belakangan bahkan Tuhan membangkitkan para hakim, para nabi, dst., untuk terus-menerus hadir di tengah-tengah umat-Nya. Inilah anugerah Tuhan. ketika Tuhan mengkonfrontasi Isarel, itu adalah bayangan anugerah. Waktu Adam dan Hawa dikonfrontasi Tuhan oleh sebab dosa mereka, memang benar mereka ditanya ‘di mana kamu?’, ‘apa yang kamu perbuat?’, dsb.; tetapi perhatikan, ini bukan cuma kalimat yang tegas, yang hostile, ini adalah kalimat anugerah. Mengapa? Karena Adam dan Hawa ditanya, sedangkan ular tidak. Ular tidak mendapat kesempatan itu. Hanya Adam dan Hawa yang ditanya. Dengan demikian, anugerah Tuhan adalah anugerah yang tidak cuma datang dalam bentuk yang menghibur, yang comforting, yang selalu menjawab; anugerah Tuhan juga datang dalam bentuk interogatif, “Apa yang kamu lakukan ini?”, “Di mana kamu?” Mengapa demikian? Bukan karena Tuhan tidak tahu, tapi karena anugerah Tuhan akan bersikeras membongkar self deception yang kita lakukan —dan ini anugerah. Pertanyaannya, apakah kita bisa melihat ini sebagai anugerah?
Tadi kita mengatakan, evil dan dosa membuat seseorang jadi banal, membosankan; kelihatannya ‘wah’, menarik, pasti ada penjelasannya, pasti ada logikanya, tapi ternyata cuma ‘gak niat aja –dan penonton kecewa. Itulah evil. Kalau begitu, maka kita mengharapkan anugerah Tuhan berbeda –dan memang benar lain. Lainnya di mana? Lainnya bukan seperti ini: ‘kalau evil itu banal, membosankan, maka anugerah Tuhan itu exciting, jelas kelihatan, penonton puas’. Dalam arti tertentu memang benar juga grace itu amazing —amazing grace— tapi perhatikan bagaimana amazing grace itu amazing, lewat apa amazing-nya hadir? Justru lewat hal yang ordinary, yaitu teguran, pertanyaan.
Saudara ingat konsep sakramental dari Eugene Peterson; dia mengatakan, ada satu hal yang ‘lucu’ dari sakramen. Sakramen adalah lambang dari hal yang luar biasa (extraordinary); Baptisan adalah lambang dari keselamatan, keanggotaan seseorang masuk ke dalam kerajaan terang; Perjamuan Kudus adalah lambang dari tubuh Kristus yang dipecah-pecahkan, darah Kristus yang dicurahkan. Namun demikian, sakramen melambangkan hal-hal yang luar biasa ini malah dengan menggunakan hal-hal yang paling biasa dalam hidup ini. Baptisan pakai air, air biasa, bukan air suci, bukan tiga tetes air dari mata air yang diambil di puncak Gunung Halimun pada saat fajar menyingsing, dsb., dsb. –tidak ada yang begitu-begituan. Perjamuan Kudus memakai roti dan anggur, yang bagi orang Israel pada waktu itu adalah makanan dan minuman yang biasa, yang rutin dilakukan pada hari Sabat. Biasa sekali. Jadi Saudara lihat, bagaimana anugerah Tuhan itu berlawanan dengan evil, tapi berlawanannya bukan cuma ‘evil itu boring, anugerah itu amazing’; sebaliknya begini: evil sesungguhnya boring tapi memakai kedok seakan-akan interesting, jenius, bikin penasaran, lalu ujungnya boring, sedangkan anugerah sesungguhnya extraordinary, amazing, tapi datang dalam bentuk yang sangat ordinary. Inilah anugerah.
Di bagian ini Saudara melihat dengan jelas, dalam bentuk apa anugerah itu datang; yaitu simply melalui Tuhan yang bertahan dengan umat-Nya. Lewat teguran, lewat pertanyaan. Dari ini semua kita diingatkan, waktu kita mencari anugerah Tuhan di gereja, janganlah pakai kacamata dunia yang self deceiving itu. Saudara akan sulit sekali menemukan di gereja anugerah yang amazing itu, jika mengira yang amazing berarti harus ‘wah’; karena amazingness anugerah Tuhan bukan hadir melalui apa yang dunia anggap ‘wah’, tetapi melalui apa yang dunia anggap biasa saja. Tidak heran, yang dunia anggap ‘wah’ justru sebenarnya banal, membosankan, bling-bling tapi tidak bertahan.
Banyak orang datang ke gereja lalu komplain bahwa gereja tidak ada persekutuan, tidak ada kehangatan –dan tentu kita mengakui ada kekurangan dalam hal itu– tapi sebenarnya yang Saudara anggap ‘persekutuan’ itu apa? Banyak orang ingin disambut secara luar biasa. Banyak yang mau datang kongkow-kongkow. Banyak yang mau anugerah yang bersifat ‘wah’ —outing gereja, hiking, khotbah di bukit, dsb. Tapi pertanyaannya, setelah itu selesai, apa sih amazing-nya? Sedangkan persekutuan yang long term, yang intim, kelompok kecil yang bertahan satu sama lain, inilah persekutuan yang riil, karena persekutuan yang riil tidak bisa dilakukan dengan banyak orang. Persekutuan di mana Saudara bisa membuka diri sedemikian rupa, yang saking orang mengenal Saudara hingga dia bisa mengatakan, “Ah, lu emang ‘gak niat aja”, itu hanya bisa muncul dalam kelompok kecil, yang ketemu rutin minggu demi minggu, membangun trust dan pengenalan satu sama lain berbulan-bulan. Momen-momen yang memorable dalam perjalanan rohani saya bukanlah outing gereja tahun sekian sekian, tapi momen-momen persekutuan kecil itu, yang Tuhan hadir meskipun cuma 2-3 orang saja. Momen-momen yang bukan dipenuhi bling-bling, tapi momen-momen ketika ada transparansi. Bukankah ini yang jarang? Bukankah ini yang amazing? Kalau Saudara memulai dengan bling-bling, apakah itu bisa berlanjut dengan transparansi? Yang awalnya bling-bling, ujungnya boring, itulah evil. Sedangkan anugerah awalnya seperti ordinary, tapi kemudian malah mendatangkan yang extraordinary. Saudara melihat ini sebagai anugerah atau tidak?
Kacamata apa yang Saudara pakai dalam melihat ‘apa itu evil’, kacamata apa yang Saudara pakai dalam melihat ‘apa itu anugerah’? Mari kita meminta Tuhan untuk menjaga kita, supaya kita tidak melihat dengan kacamata yang self deceiving, tapi melihat dengan kacamata yang sakramental.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading