Kita melanjutkan eksposisi kitab Hakim-hakim; kita masih akan membahas pasal 2 sampai pasal 3 bagian awal. Sebelumnya kita sudah melihat signifikansi bagian ini secara struktural, hari ini kita mau bicara mengenai signifikansi spiritual atau signifikansi teologisnya.
Hal yang bisa kita pelajari dari bagian yang kita baca hari ini, adalah bahwa ini merupakan sebuah program. Kita sudah melihat bahwa secara struktural kitab ini ada double introduction dan double ending, dan sekarang kita berada di bagian introduction yang kedua, yang berarti kita diminta membaca bagian ini seperti membaca sebuah program konser. Kalau kita menghadiri sebuah konser, kita ingin mendapatkan ‘program’ konser tersebut, yang memberitahukan kepada kita siapa-siapa pemainnya, apa yang dimainkan, dan mungkin juga sedikit sejarahnya atau karakteristik karya-karya yang dimainkan, urutannya, dst. Kita senang dengan adanya program tersebut, karena membantu kita untuk lebih mengerti isi konsernya. Bukan cuma dalam konser, pertandingan-pertandingan bola di Inggris pun bahkan menyediakan program semacam itu; si pelatih akan bicara beberapa patah kata dalam program tersebut, memberitahu kita konteks pertandingannya, misalnya sebelumnya mereka habis kalah atau habis menang, lalu setelah ini akan menghadapi pertandingan apa lagi, dst. Program ini memberikan suatu konteks yang mebuat kita bisa lebih mengerti pertandingannya, dan apa signifikansinya. Dalam khotbah pun demikian; kalau saudara mendengar khotbah yang pendetanya langsung nyerocos dari depan sampai belakang, bisa agak susah mengertinya, tapi kalau di awal dia sudah memberitahu akan bicara ini dan itu, maka Saudara akan lebih gampang menangkap khotbahnya.
Bagian pasal 2 ini adalah bagian program; bagian ini sedang mewakili apa yang akan diceritakan dalam keseluruhan kitabnya. Kita akan melihat program ini –bagian introduksi ini– dan memperhatikan hal apa yang mau dijadikan nada dasar seluruh kitabnya; dan dalam hal ini program tersebut sedang membicarakan anugerah, yang akan terus-menerus kita lihat di dalam keseluruhan kitabnya. Hanya saja, anugerah ini mungkin bukan seperti yang kita pikir. Ini bukan anugerah yang seperti kita sudah tahu, bahkan ini bukan anugerah yang kita harapkan, tetapi anugerah yang amazing, yang melampaui apa yang kita pikirkan, bayangkan, dan harapkan.
Kita akan membuka kembali Hakim-hakim pasal 2, dan membagi pembahasannya jadi 3 bagian. Yang pertama, pasal 2:6-10. Sebagaimana sudah kita bahas, setiap introduksi di sini dimulai dengan ‘Yosua’, karena Yosua dan kitab Yosua berfungsi sebagai standar/penggaris terhadap hal-hal yang terjadi dalam kitab Hakim-hakim. Kita melihat jelas hal ini jadi penggarisnya, karena dikatakan di sini ‘setelah Yosua melepas bangsa itu pergi’ (ayat 6); ini mengacu pada pasal-pasal terakhir kitab Yosua ketika mereka berkumpul di satu tempat, lalu mereka dilepas setelah mendengarkan perkataan-perkataan Yosua yang terakhir, untuk pergi menempati tanahnya masing-masing. Di ayat 7 dikatakan, bahwa selama Yosua hidup, bangsa itu melayani Tuhan, mereka adalah generasi yang dikatakan ‘telah melihat segenap perbuatan Tuhan’ bagi mereka. Setelah itu, Yosua mati dan dikuburkan (ayat 8-9).
Saudara, satu hal yang bisa kita lihat di sini adalah: sebenarnya, bahkan dalam zaman Yosua masih hidup pun, generasi yang Yosua lihat ini ‘gak bagus-bagus amat, meski demikian di sini dikatakan bahwa ini generasi yang melayani Tuhan. Kembali ke kitab Yosua di pasal-pasal terakhirnya, misalnya pasal 24:18-19, dalam kata-kata terakhir Yosua kepada bangsa tersebut, dia mengatakan, “Ya, kamu sudah lihat Tuhan menghalau semua bangsa, orang Amori dan penduduk negeri ini, dari depan kita, jadi kamu harus beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah kita”, namun selanjutnya dikatakan: ‘Tetapi Yosua berkata kepada bangsa itu: ”Tidaklah kamu sanggup beribadah kepada Tuhan”’ —saya tahu kamu pasti ujung-ujungnya tidak sanggup. Saudara mungkin masih ingat, Musa pun dalam momen-momen terakhir menjelang kematiannya juga mengatakan hal yang mirip kepada mereka, ‘kamu kayaknya ‘gak bakal sanggup melayani Tuhan’; dan generasi inilah yang kemudian di kitab Hakim-hakim dikatakan sebagai bangsa yang melayani Tuhan karena mereka telah melihat perbuatan-Nya yang besar. Ini bangsa yang ‘gak bagus-bagus amat sebenarnya, tapi mereka dikatakan sebagai bangsa yang melayani Tuhan; dengan demikian Saudara langsung membayangkan, kalau begitu, bangsa yang tidak melayani Tuhan itu kayak apa?? lalu ketika bangsa Israel sungguh-sungguh memberontak, itu bakal kayak apa?? Dan kita langsung melihat bahwa inilah yang dikatakan di ayat 10: ‘bangkitlah sesudah mereka itu angkatan yang lain, yang tidak mengenal TUHAN ataupun perbuatan yang dilakukan-Nya’.
Saudara, apa maksudnya ‘tidak mengenal Tuhan ataupun perbuatan-Nya’? Ini bukan berarti generasi yang baru tersebut tidak tahu mengenai peristiwa Exodus, tidak tahu mengenai terbelahnya Laut Merah, dst.; mereka pasti mendengar ceritanya. Mereka bukan tidak tahu mengenai penyeberangan Sungai Yordan, mereka bukan tidak tahu mengenai cerita tembok Yerikho yang runtuh tanpa diserang, tetapi mereka tidak mengenal hal tersebut. Perbuatan-perbuatan yang besar dari Tuhan itu, tidak lagi menjadi sesuatu yang sentral atau berharga dalam hidup mereka. Inilah fenomena yang di dalam Alkitab disebut dengan “melupakan” –melupakan apa yang telah Tuhan lakukan kepada mereka. Dengan demikian, kalau kita teruskan pembacaannya, hasilnya adalah sebagaimana dikatakan di ayat 11-13: Lalu orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN dan mereka beribadah kepada para Baal. Mereka meninggalkan TUHAN, Allah nenek moyang mereka yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir, lalu mengikuti allah lain, dari antara allah bangsa-bangsa di sekeliling mereka, dan sujud menyembah kepadanya, sehingga mereka menyakiti hati TUHAN. Demikianlah mereka meninggalkan TUHAN dan beribadah kepada Baal dan para Asytoret. Jadiapa problemnya? Mereka pada dasarnya melupakan apa yang Tuhan telah kerjakan bagi mereka.
Dalam Alkitab, konsep ‘melupakan’ dan ‘mengingat’ sedikit berbeda dari konsep kita hari ini. Orang Israel suka meminta Allah untuk mengingat, contohnya dalam Mazmur 25:6, “Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala”; orang Israel juga adakalanya meminta Tuhan untuk melupakan, contohnya dalam Yesaya 64:9, “Ya TUHAN, janganlah murka amat sangat dan janganlah mengingat-ingat dosa untuk seterusnya!”. Kalau kita melihat konsep ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ seperti ini, kita mendapat kesan bahwa ini sudah pasti bukan untuk dibaca dalam paradigma ‘informasi’ seakan-akan Tuhan bisa lupa suatu data tertentu mengenai diri-Nya atau karakter-Nya, itu sebabnya disuruh untuk mengingat, “Ingat segala rahmat-Mu, Tuhan”; atau juga bahwa seakan-akan Tuhan bisa lupa mengenai apa yang telah manusia lakukan, waktu dikatakan “jangan ingat-ingat dosa kami, Tuhan”. Jadi, apa maksudnya ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ di dalam Alkitab? Sebenarnya, di dalam Alkitab, istilah ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ adalah bahasa tindakan. Ini bukan bahasa mental, bukan bahasa otak, tapi bahasa tindakan. Waktu kita meminta Allah untuk mengingat kasih setia-Nya, berati kita meminta Dia untuk bertindak sesuai dengan kasih setia tersebut. Waktu kita meminta Allah untuk melupakan dosa kita, berarti kita meminta Dia untuk tidak menindak kita sesuai dengan dosa tersebut.
Hal ini di dalam bahasa Inggrisnya lebih bagus; Bruce Waltke mengatakan satu hal yang menarik dalam hal ini. Kata ‘mengingat’, dalam bahasa Inggris adalah remember, dan lawan kata dari remember (re-member) kalau dilihat dari kata itu sendiri, bukan forget, tapi dismember (dis-member). Dismember adalah memutus sesuatu –ada bahasa tindakannya; dismember adalah seperti kalau tangan Saudara putus, maka dikatakan tangan tersebut dismembered. Jadi, sebenarnya kata remember tidak bisa dimengerti terlepas dari urusan badan. Sama seperti istilah dismember biasanya berurusan dengan anggota tubuh yang hilang atau putus karena kecelakaan, demikian juga istilah remember sebenarnya ada aspek badani seperti itu, ada aspek tindakan, bukan cuma sesuatu yang bersifat kognitif. Istilah ini dalam bahasa Ibraninya adalah zakar, dan istilah ini ada unsur badaninya, ada unsur tindakannya, bukan cuma seperti mengingat suatu data informasi tok. Misalnya ada dua orang suami, katakanlah namanya Tom dan Charlie, yang diceritakan mengingat hari pernikahannya. Tom sebenarnya sama sekali tidak ingat bahwa hari itu adalah hari anniversary-nya; pada malam itu istrinya sebenarnya sudah mengharapkan sesuatu, tapi Tom diam-diam saja. Akhirnya si istri mengatakan, “Hai, Tom! Kamu lupa ya, ingat dong ini hari apa?!” lalu Tom bilang, “O, ya, saya baru ingat hari ini hari anniversary”, dan dia cium istrinya, lalu tidur, selesai urusan. Yang seperti itu, sebenarnya ‘mengingat’ atau bukan?? Saudara tentu langsung bisa lihat, bahwa mengingat bukan cuma urusan kognitif. Bandingkan dengan seorang suami yang lain, Charlie. Charlie mengingat hari itu hari anniversary mereka, maka dia membeli bunga, maka dia membeli coklat, maka dia pagi-pagi mengecup istrinya dan mengatakan ‘aku sayang kepadamu’, dst. Inilah yang namanya mengingat, remember.
Remembering bukanlah cuma urusan mental, remembering ada urusan sesuatu yang tadinya copot lalu dipasangkan kembali, seperti tangan yang tadinya copot lalu dipasangkan kembali sehingga membuat Saudara bisa melakukan sesuatu. Inilah yang kita baca di Alkitab. Misalnya dalam Kejadian 8:1, konsep Ibrani mengenai ‘mengingat’, dikatakan: ‘Maka Allah mengingat Nuh’; lalu apa yang terjadi berikutnya? Allah mengirim angin untuk menyurutkan air bah –tindakan. Jadi, waktu Alkitab bicara mengenai ‘mengingat’, itu bukan cuma supaya kita secara mental mengeluarkan data atau gambar tentang suatu hal atau objek, melainkan untuk berfokus pada objek tersebut sampai menimbulkan perubahan tindakan. Dari sisi Tuhan, ‘mengingat’ biasanya identik dengan tindakan belas kasihan. Kejadian 9:1 misalnya, Allah mengatakan: “Aku menaruh busur-Ku (pelangi), setiap kali Aku melihatnya, Aku mengingat janji-Ku”; maksudnya apa? Saudara jangan membaca ini dengan kacamata rasionalis, ‘koq, Allah bisa lupa sampai musti diingatkan’, dsb., tentu saja bukan itu, tapi bahwa Allah mengingat janji-Nya, Dia secara aktif menghalangi air-air bah berikutnya –ada tindakan. Dalam Kejadian 19:29, dikatakan Allah mengingat Abraham maka tindakan berikutnya adalah dikeluarkannya Lot dari Sodom –ada tindakan. Di Kejadian 22, Allah mengingat Rahel, dan tindakan berikutnya adalah membuka rahimnya Rahel. Dan, kalau kita lompat ke Perjanjian Baru, salah satu tempat kata ‘ingat’ muncul yaitu di dalam nyanyian Maria (magnificat), menceritakan bahwa semua urusan kedatangan Yesus ini terjadi karena “Ia (Allah) menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya” –menolong (tindakan) karena mengingat.
‘Mengingat’ berarti bertindak demi yang diingat. ‘Mengingat’ berarti tindakan kepada seseorang, bukan cuma mengalami kembali hal yang telah dilakukan di masa lalu. ‘Mengingat’ justru hubungannya adalah ke masa depan. ‘Mengingat’ di dalam Alkitab adalah sebuah tindakan jasmani, bukan sekadar urusan kepala. Dengan demikian, ketika Israel melupakan Allah mereka, ekuivalen zaman modernnya adalah ketika orang berlaku seperti Tom tadi, yang cuma ingat datanya tok tapi tidak menimbulkan tindakan –dan itu sebenarnya justru melupakan. Yang hari ini kita, orang modern, anggap sebagai ‘mengingat’, yaitu mengeluarkan data tok dan tidak tentu ada tindakan, bagi Alkitab justru artinya melupakan; dan inilah yang terjadi pada orang Israel. Mereka bukan tidak tahu peristiwa Exodus, mereka bukan tidak tahu apa yang telah Tuhan kerjakan; mereka tahu siapa Tuhan dan apa yang Tuhan kehendaki, tapi entah bagaimana ini tidak menjadi sesuatu yang riil bagi mereka, baik dalam hati maupun tindakan mereka.
Saudara, ini adalah satu hal yang menjadi problem kita juga. Semua dari antara kita tahu, bahwa kita di gereja dimuridkan, bahwa kita di gereja adalah disciple dan bukan subscriber; meski demikian, seringkali kita mengharapkan Gereja berfungsi seperti sebuah Netflix subscription. Kita sudah mempelajari terus-menerus mengenai Kerajaan Allah, dan kita selalu melihat bahwa Kerajaan Allah –Gereja– bukanlah tempat di mana kita mendapatkan konfirmasi, melainkan transformasi. Konfirmasi adalah seperti begini: saya datang ke gereja dan saya ingin mendapatkan sukacita, maka saya mendapatkan sukacita; saya datang ke gereja mau mendapatkan kesembuhan, maka Tuhan memberikan kesembuhan. Itulah konfirmasi. Tapi itu bukan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah bukan tempat Saudara mendapatkan konfirmasi; Kerajaan Allah adalah tempat kita mendapatkan transformasi. Saudara, ini jadi problem, karena kita “diajarin” kayak begini dari kebiasaan kita subscription. Kalau Saudara subscribe sesuatu di internet, maka feed yang masuk ke sosmed Saudara adalah feed yang sudah sesuai dengan selera Saudara, feed yang sudah difilter dan dikurasi sesuai dengan preferensi Saudara, dengan cara algoritma AI, dsb., lewat kebiasaan Saudara browsing, lewat kebiasaan Saudara nge-like hal tertentu, yang semuanya mempengaruhi apa saja yang masuk ke dalam filter tersebut. Itu sebabnya berita yang masuk ke dalam feed Saudara sebenarnya tidak pernah berita yang objektif, karena sudah difilter menurut apa yang Saudara suka dan yang Saudara tidak suka. Itulah subscription, yang terjadi ketika kita subscribe. Lalu bagaimana dengan di Gereja? Lucunya, kita tahu bahwa kita ini disciples, tapi kita mengharapkan Gereja berfungsi seperti sebuah subscription. Ketika ikut KTB, kita mengharapkan sekelompok dengan orang-orang yang sudah difilter sesuai dengan maunya saya. Ketika kita berjemaat, kita mengharapkan dapat jemaat yang sudah difilter sesuai dengan maunya saya. Waktu kita mau melayani, kita juga mengharapkan dapat pelayanan yang sudah difilter menurut feed saya, menurut apa yang saya like dan saya tidak like. Tapi itu bukan Kerajaan Allah, itu subscription Netflix.
Kerajaan Allah bukanlah tempat di mana kita di-konfirmasi, melainkan tempat di mana kita di-transformasi, yaitu lewat kita datang ke Gereja ingin mendapat sukacita tapi ternyata Gereja tidak memberikan kita sukacita, atau mungkin juga memberikan kita sukacita tapi datangnya di tempat-tempat yang kita tidak harapkan dapat sukacita. Dan itulah Gereja. Waktu Saudara mendapat sukacita di tempat-tempat di mana Saudara menderita, itu Gereja; tempat di mana Saudara berdukacita, tapi Saudara justru bersukacita, itu Gereja. Transformasi, bukan konfirmasi. Kita datang kepada Gereja, kita ingin mendapat penyembuhan dari Gereja, tapi yang kita dapat malah penyakit; namun juga penyakit ini adalah penyakit yang menyembuhkan sesuatu di dalam hidup kita. Mungkin menyembuhkan kesombongan –lewat penyakit. Menyembuhkan kebanggaan –lewat penyakit. Menyembuhkan kebergantungan kepada uang serta hal-hal yang lain, dan membuat kita lebih bergantung kepada Tuhan –disembuhkan lewat penyakit. Hal-hal seperti ini terjadi di Gereja karena ini adalah tempat transformasi, bukan tempat konfirmasi. Kita datang kepada Gereja, kita ingin dilayani tapi malah di Gereja tersebut Tuhan membuat kita jadi seorang pelayan. Itulah transformasi, itulah Gereja, itulah Kerajaan Allah.
Saudara, ini adalah satu hal yang benar-benar riil dalam hidup kita; waktu dikatakan Israel melupakan, kita bisa melihat gambaran mengenai diri kita juga. Inilah sebabnya orang Israel –dan kita– senantiasa perlu kebangunan rohani, karena apa yang kita tahu mengenai Tuhan, yang dulunya begitu vibrant, begitu riil, lama-lama bisa jadi tidak riil. Hati manusia itu seperti centong nasi di negara Barat pada musim winter, yang kalau ditaruh begitu saja akan jadi beku. Hati manusia adalah seperti itu. Kita tidak bisa biarkan sebentar kayak begitu, karena akan langsung beku; harus senantiasa dibangunkan dan dibangunkan lagi. Itu sebabnya dalam surat Petrus, kita melihat dia peka akan hal ini; dikatakan dalam 2 Petrus 1:5-9: “Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita. Tetapi barangsiapa tidak memiliki semuanya itu, ia menjadi buta dan picik, karena ia lupa, bahwa dosa-dosanya yang dahulu telah dihapuskan.” Waktu Petrus membahas mengenai orang yang tidak memiliki semuanya itu –tidak memiliki kebajikan, tidak memiliki pengetahuan, tidak memiliki penguasaan diri, tidak memiliki ketekunan, tidak memiliki kasih, dll.– itu karena apa? Saudara perhatikan, dalam diagnosanya, Petrus tidak mengatakan bahwa yang tidak memiliki semuanya itu adalah karena mereka kurang berusaha atau karena mereka malas, tapi karena mereka lupa. Itu sebabnya selanjutnya di ayat 12 Petrus mengatakan demikian: “Karena itu aku senantiasa bermaksud mengingatkan kamu akan semuanya itu, sekalipun kamu telah mengetahuinya dan telah teguh dalam kebenaran yang telah kamu terima.” Dikatakan bahwa mereka itu bukan cuma tahu, tapi juga telah teguh dalam kebenaran yang mereka terima, dan meski demikian Petrus tetap mengatakan “aku mengingatkan kamu akan semuanya itu”. Lewat bagian ini, kita melihat apa sebenarnya problem orang Israel? Problem mereka mungkin bukan cuma melupakan, tapi mirip seperti kita juga, yaitu tidak mengakui bahwa kita senantiasa perlu diingatkan, bahwa kita bergantung pada hal ini. Kita mungkin cuma tertarik akan hal-hal yang baru, yang insightful, yang bikin merasa ‘wah’, tapi kita tidak terlalu kepingin mendengar khotbah yang itu-itu lagi, kita merasa ‘saya sudah tahu’; namun Petrus pun mengatakan ‘kamu sudah tahu, kamu telah teguh dalam hal ini, tapi aku akan terus mengingatkan’. Mengapa? Karena hati manusia seperti nasi yang akan segera beku di musim winter.
Saudara, waktu kita menyadari akan problem orang Israel, kita perlu refleksi diri, kita perlu tanya pada diri sendiri, apakah kita rela mengakui hal ini, bahwa sebagai orang Kristen kita senantiasa perlu hal yang konstan ini, yaitu diingatkan lagi dan diingatkan lagi. Itu sebabnya yang penting dalam Gereja memang bukan informasi atau data baru –meski jelas itu perlu ada– tapi sebagaimana sudah kita katakan tadi bahwa esensi mengingat bukan cuma terutama urusan data, maka di sini kita juga diingatkan bahwa yang penting itu termasuk kehadiran kita yang kontinu/terus-menerus dalam umat Tuhan. Saudara bisa diingatkan akan kebenaran-kebenaran ini, Saudara bisa diingatkan bahwa Saudara bukanlah subscriber di Gereja melainkan disciple, itu lewat apa? Tidak bisa cuma lewat otak, tapi lewat Saudara datang kepada KTB yang orang-orangnya tidak difilter menurut feed Saudara, lewat Saudara melayani dalam pelayanan-pelayanan yang tidak terlalu sesuai dengan kesukaan Saudara –inilah remember. Sebagaimana esensi mengingat bukanlah cuma otak, maka remembering juga bukan cuma urusan otak, yaitu dengan kita mendengar khotbah-khotbah yang topiknya bukan yang kita cari atau pilih. Tapi pertanyaannya, apakah kita melihat hal ini sebagai sesuatu yang kita butuhkan atau tidak, sesuatu yang krusial bagi iman kita atau tidak, bahwa kita datang ke Gereja bukan untuk dipenuhi keinginannya, tapi —kalau kita mau pakai kalimat ini— justru untuk senantiasa dilanggar kehendaknya. Inilah fungsinya Gereja. Inilah sebabnya Gereja berharga, karena di sinilah mungkin satu-satunya tempat di dunia ini di mana Saudara datang untuk dilanggar kehendaknya –karena itulah yang Saudara perlukan kalau Saudara sungguh bergantung kepada Tuhan. Mengerikan. Tapi inilah Gereja. Jadi di bagian pertama ini kita membahas ada problem pada diri orang Israel, yang kita lihat juga problem pada diri kita. Problem mereka adalah: mereka lupa. Mereka lupa akan apa yang Tuhan telah kerjakan, mereka perlu senantiasa diingatkan; maka berikutnya adalah: kita perlu diingatkan mengenai apa yang telah Tuhan kerjakan, dan akan kerjakan, dan terus kerjakan.
Sekarang kita masuk ke bagian berikutnya, bagian yang kedua, Hakim-hakim 2:14-19. Seperti sudah dikatakan di awal, bagian ini merupakan sebuah program; dan di sini kita melihat suatu siklus yang terus-menerus berulang, suatu siklus dasar yang akan kita lihat terus-menerus dalam cerita-cerita para hakim berikutnya. Jadi ini semacam rangkuman di awal untuk kita bisa tahu pola dasarnya, yaitu: orang Isarel meninggalkan Tuhan, mereka ditindas, Tuhan memberikan penyelamatan lewat hakim karena Tuhan mendengar rintihan mereka –hakim bertakhta, Tuhan menyelamatkan, penindasan selesai— hakim tersebut mati, kembali orang Israel mengikuti siklus yang lama, menyembah allah-allah palsu, dst.
Lewat bagian ini, saya ingin Saudara melihat dan mengingat bahwa memang ini siklus dosa Israel, tapi sebagaimana kita sudah bicarakan sejak awal, setiap kali kita melihat kitab yang penuh dengan kerusakan kayak begini, ini adalah juga kitab yang menunjukkan Injil, berita baik, anugerah Tuhan. Ini adalah program yang bicara mengenai dosa Israel, tapi juga program yang bicara mengenai anugerah Allah. Kita akan melihat hal ini bersama-sama. Sesungguhnya, kita akan melihat bahwa dalam pola ini, warna yang harusnya keluar lebih besar adalah warna anugerah Allah. Hal pertama yang bisa mengingatkan kita bahwa ada warna anugerah di sini, yaitu dari ayat 16 awal, bahwa Tuhan bukan cuma membangkitkan satu hakim saja; dikatakan Tuhan membangkitkan ‘hakim-hakim’ —plural, banyak. Tuhan bukan membangkitkan hakim satu kali ini saja, tapi terus-menerus. Ini anugerah. Kita akan coba melihat dan mengingat anugerah ini anugerah yang macam apa.
Yang pertama, ini anugerah yang datang dalam pengkhianatan yang sangat keji. Kita sudah berkali-kali melihat bahwa hubungan Israel dengan Allah mereka memakai satu hal yang namanya kovenan; setelah Allah menyelamatkan bangsa Israel dari Mesir, Allah lalu mengikat perjanjian (kovenan) dengan mereka di Sinai. Waktu mendengar kata ‘mengikat’ dan kata ‘janji’, kita biasanya langsung berpkir ini suatu beban berat, ini sesuatu yang seperti ada udang di balik batu, ‘gua udah selamatin lu, sekarang lu musti bayar gua’, semacam itu. Tapi sebenarnya di Alkitab gambarannya tidak pernah seperti itu; perjanjian antara orang Israel dengan Allah mereka tidak pernah merupakan suatu perjanjian yang dipaksakan. Diikat dengan “dewa” yang menyelamatkan, itu bukan beban berat, tapi sebuah anugerah, yang diterima dengan sukarela. Itu sebabnya gambaran yang paling jelas dalam kovenan adalah sebuah pernikahan antara Israel dengan Tuhan, yang masing-masing pihak datang dengan sukarela, bersumpah untuk memasuki satu kehidupan di mana mereka diikat untuk saling setia satu dengan yang lain.
Saudara lihat gambarannya di dalam Alkitab, kovenan selalu terjadi secara sukarela. Misalnya kovenan antara bangsa Israel dengan Tuhan dalam zaman Musa. Keluaran 24:3, ‘Lalu datanglah Musa dan memberitahukan kepada bangsa itu segala firman TUHAN dan segala peraturan itu, maka seluruh bangsa itu menjawab serentak: “Segala firman yang telah diucapkan TUHAN itu, akan kami lakukan”’–sukarela. Ayat 7: ‘Diambilnyalah kitab perjanjian itu —kitab kovenan itu– lalu dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu dan mereka berkata: “Segala firman TUHAN akan kami lakukan dan akan kami dengarkan.”’ Ini mereka katakan sendiri, mereka menerimanya dengan begitu oke, karena mereka memang diselamatkan, mereka tahu ini sesuatu yang baik.
Ketika generasi Musa berpindah ke Yosua, Tuhan memenuhi bagian-Nya dalam kovenan ini, memberikan kepada mereka tanah Kanaan lewat Yosua; kita ingat salah satu tema sentral kitab Yosua adalah “dari seseluruh yang dijanjikan Tuhan, tidak ada satupun yang gagal”. Kitab Yosua ditutup dengan kovenan antara Tuhan dengan Israel diperbarui, tapi sekarang ini Israel generasi Yosua. Di bagian ini kembali kita melihat bahwa mereka pun bersumpah untuk jadi umat yang setia. Yosua 24:22-24, ‘Kemudian berkatalah Yosua kepada bangsa itu: ”Kamulah saksi terhadap kamu sendiri, bahwa kamu telah memilih TUHAN untuk beribadah kepada-Nya.” Jawab mereka: “Kamilah saksi!” Ia berkata: “Maka sekarang, jauhkanlah allah asing yang ada di tengah-tengah kamu dan condongkanlah hatimu kepada TUHAN, Allah Israel.” Lalu jawab bangsa itu kepada Yosua: “Kepada TUHAN, Allah kita, kami akan beribadah, dan firman-Nya akan kami dengarkan.”
Saudara lihat sekali lagi, kovenan yang diperbarui dalam zaman Yosua pun diterima sebagai anugerah, diterima secara sukarela. Tetapi sekarang, sebagaimana telah kita lihat, bangkit satu generasi yang melakukan apa yang telah dijanjikan untuk tidak dilakukan. Ini orang-orang yang telah menerima Kanaan sebagai anugerah, tapi sekarang mereka melupakan Allah yang telah memberikannya kepada mereka, sehingga akhirnya mereka jatuh ke dalam penindasan dan perbudakan. Namun di sinilah poinnya, Saudara perhatikan apa yang Allah lakukan dalam momen seperti ini. Di zaman Musa, orang berjanji sukarela. Di zaman Yosua orang berjanji sukarela dan bukan paksaan. Di zaman setelah Yosua –zaman hakim-hakim– mereka undur iman, melupakan Tuhan, jatuh dalam penindasan dan perbudakan gara-gara mereka sendiri, dan yang Allah lakukan dalam momen-momen seperti ini: ‘maka TUHAN membangkitkan para hakim —bukan cuma satu— untuk menyelamatkan mereka’. Itulah anugerah. Inilah gambaran yang pertama, anugerah yang lahir lewat pengkhianatan yang keji.
Yang kedua, ini anugerah yang datang dari belas kasihan saja, dan bukan dari hal-hal yang lain. Waktu ayat 16 bicara mengenai Allah membangkitkan para hakim, apa yang menyebabkam Allah melakukan hal itu? Yang kita baca di ayat 15: ‘Setiap kali mereka maju, tangan TUHAN melawan mereka dan mendatangkan malapetaka kepada mereka, sesuai dengan apa yang telah diperingatkan kepada mereka oleh TUHAN dengan sumpah, sehingga mereka sangat terdesak’; mereka sangat terdesak, lalu setelah itu Tuhan membangkitkan para hakim, dan tidak ada keterangan apapun lainnya di tengah-tengah antara kalimat ‘mereka sangat terdesak’ dan ‘Tuhan membangkitkan hakim-hakim’. Tidak ada pengakuan dosa, tidak ada pertobatan, tidak disebutkan mereka membakar berhala-berhala mereka, bahkan tidak disebutkan adanya teriakan mereka minta tolong –tapi Tuhan lalu membangkitkan para hakim. Saudara jangan salah tangkap, dalam kisah-kisah berikutnya waktu kita masuk ke dalam pola-pola setiap hakim, memang ada bagian-bagian ketika orang Israel ditindas lalu mereka berteriak kepada Tuhan, dan hal itu terus-menerus berulang dalam cerita Otniel, Ehud, Debora, dll., hanya satu kali tidak muncul yaitu pada cerita Simson, hakim yang terakhir. Jadi setiap kali orang Israel dicatat ‘berteriak kepada Tuhan’, Tuhan membangkitkan hakim; tetapi justru di bagian program, bagian daftar isinya, kita tidak melihat disebutkannya orang Israel berteriak kepada Tuhan sehingga Allah kemudian membangkitkan hakim bagi mereka. Di dalam cerita-ceritanya, ada disebutkan hal itu, tapi dalam programnya malah tidak ada; mengapa demikian? Saya rasa, ini karena sang penulis ingin mengatakan bahwa teriakan minta tolong manusia, tidak pernah jadi penyebab utama yang menggerakkan Tuhan menjalankan misi keselamatan-Nya, karena seperti yang kita lihat –dan kita sudah familier juga– bahwa pertobatan Israel, kalaupun itu terjadi, selalu dangkal dan temporer, tidak pernah benar-benar merupakan tanda perubahan arah hati yang sejati, dan tidak pernah membawa mereka kembali kepada kesetiaan yang sejati. Allah tidak pernah tertipu dengan pertobatan-pertobatan seperti itu. Inilah sebabnya, di bagian program ini yang dicatat menggerakkan diri Allah bertindak hanyalah bahwa Israel terdesak. Itu saja. Saudara ingat dalam cerita Simson, mereka bahkan tidak berteriak, namun juga Tuhan tetap mengirimkan pertolongan.
Saudara, Allah mengirimkan anugerahnya lewat apa? Yaitu hanyalah lewat Ia melihat umat-Nya terdesak, Ia tergerak. Ia mengingat –bukan mengingat di otak tapi tindakan– bahwa mereka adalah milik kepunyaan-Nya, dan Ia membangkitkan para hakim untuk menyelamatkan mereka. Saudara bisa lihat hal ini lebih jelas di ayat 18: ‘Setiap kali apabila TUHAN membangkitkan seorang hakim bagi mereka, maka TUHAN menyertai hakim itu dan menyelamatkan mereka dari tangan musuh mereka selama hakim itu hidup; sebab TUHAN berbelas kasihan mendengar rintihan mereka karena orang-orang yang mendesak dan menindas mereka’ —bukan mendengar pertobatan, bukan mendengar teriakan minta tolong, tapi mendengar rintihan. Inilah anugerah yang datang dalam belas kasihan.
Yang ketiga, ini adalah anugerah yang bertahan (lasting). Kita sudah melihat hal ini di ayat 16 tadi, ketika dikatakan ‘Allah membangkitkan para hakim’, yang artinya bukan cuma membangkitkan satu hakim, tapi berkali-kali, dan banyak. Di ayat 18 hal ini kembali muncul: ‘Setiap kali apabila TUHAN membangkitkan seorang hakim bagi mereka, maka TUHAN menyertai hakim itu dan menyelamatkan mereka’. Seluruh periode ini di dalam kitab Hakim-hakim ini kira-kira selama 200 tahunan; dan ada banyak hakim-hakim yang dibangkitkan untuk tujuan ini, yaitu ada dua belas. Ini pun hanyalah satu periode dari sekian banyak episode yang bicara mengenai karunia Tuhan bagi Israel. Sejak awal kisah mereka dengan Tuhan, warna yang selalu muncul adalah warna anugerah. Anugerah yang bertahan lewat kegagalan para patriakh; Abraham, Ishak, dan Yakub, semuanya berkali-kali gagal dan berdosa, tapi anugerah Tuhan bertahan melalui semua itu. Anugerah Tuhan yang bertahan melewati cerita lembu emas, anugerah Tuhan yang bertahan melewati tegar tengkuk dan sungut-sungut Israel di padang gurun, anugerah yang sampai kepada zaman para hakim serta generasi baru yang melupakan Allah, dan masih berlanjut terus sampai ke belakang. Ini anugerah yang sabar, yang bertahan, yang terus menerus ada lagi dan lagi. Ini anugerah yang sampai ke tujuan. Ini anugerah yang tidak hilang sinyal di tengah-tengah perjalanan, anugerah yang tidak habis kuota di tengah-tengah percakapan telepon. Ini anugerah yang lebih panjang, lebih besar, dan lebih bertahan dari segala kekecewaan dan pengkhianatan. Ini anugerah yang ngotot.
Itulah tiga hal mengenai anugerah yang kita lihat melalui bagian ini; tapi sekarang ada hal yang keempat. Ada sisi gelap juga dalam anugerah; kita melihat di bagian ini, bahwa ini juga anugerah yang di dalamnya mengandung murka. Dalam hal ini pun kita perlu diingatikan. Kita tidak bisa cuma diingatkan betapa anugerah Tuhan itu melampaui semua bayangan kita yang positif –lebih panjang daripada yang kita kira, lebih berbelaskasihan daripada yang kita sangka, lebih berulang kali daripada yang pernah kita hitung, dsb.—karena yang keempat ini pun warna anugerah, yaitu bahwa anugerah Tuhan pun mengandung murka, bahwa murka Tuhan pun termasuk anugerah. Anugerah yang seperti ini, membongkar bahwa Israel bukan sekadar bodoh atau tidak sengaja, tetapi mereka memang ngeyel dan intensional. Karena anugerah Tuhan itu berkali-kali muncul, maka kita melihat juga berkali-kali problemnya Israel, yang tidak kapok-kapok, yang terus-terusan dan intensional (ada unsur kesengajaan). Kalau Saudara membaca ayat 16-19, setiap kata yang dipakai untuk mendeskripsikan Israel ada unsur kesengajaannya; dikatakan: tidak menghiraukan, menyimpang, melakukan yang tidak patut, mengikuti allah lain, beribadah kepadanya, sujud menyembahnya, dan yang terakhir ‘dalam hal apa pun mereka tidak berhenti dengan perbuatan dan kelakuan mereka yang tegar itu’. Kesengajaan dosa Israel bukan sesuatu yang sekali-sekali saja muncul dalam siklus ini, melainkan merupakan esensi dalam pemberontakan mereka.
Kita juga membaca dalam program ini, bahwa siklus yang terus-menerus berulang ini bukan sekadar berulang, tapi sesungguhnya bertambah parah dalam setiap siklusnya. Ini terlihat jelas di ayat 19: ‘Tetapi apabila hakim itu mati, kembalilah mereka berlaku jahat, lebih jahat dari nenek moyang mereka’. Hal ini juga sudah kita lihat dalam pembahasan struktur di khotbah sebelumnya, bahwa makin ke bawah makin hancur, bukan siklus yang mengulang seperti lingkaran doang tapi spiral yang turun ke bawah (downward spiral). Maka tidak heran, gambaran yang diberikan Alkitab adalah bahwa mereka telah melacurkan diri. Ayat 17, ‘Tetapi juga para hakim itu tidak mereka hiraukan, karena mereka berzinah dengan mengikuti allah lain dan sujud menyembah kepadanya.’ Saudara, ini gambaran yang sering kali waktu lewat di kuping kita rasanya sudah biasa, tapi ini penting untuk kita sekali lagi remember, karena sesungguhnya ini gambaran yang sangat provokatif. Pelacur adalah orang yang hidupnya sudah tidak terkontrol; orang jadi pelacur karena hidupnya sudah desperate, sudah tidak ada tempat lain maka jadi pelacur, menyerahkan diri demi kenikmatan orang lain tapi tidak pernah mendapatkan balik kenikmatan yang sejati ataupun kasih yang sejati. Itulah pelacur. Dan, Alkitab berkali-kali mengatakan, inilah kondisi Israel –dan kita juga. Ketika kita melayani ilah-ilah palsu, kita masuk ke dalam suatu relasi intim dengan berhala-berhala tersebut, kita membuka diri kepada mereka, lalu responnya adalah berhala-berhala ini menggunakan kita namun tidak pernah peduli dengan kita. Gambaran ini memberitahu kepada kita bahwa Tuhan melihat semua dosa pemberhalaan sebagai dosa perzinahan. Dan Ini berarti Tuhan bukan hanya ingin kita taat kepada-Nya seperti seorang rakyat taat kepada raja atau seperti seekor domba taat kepada gembala, Dia ingin kita mengenal-Nya dan mengasihi-Nya seperti seorang istri mengenal dan mengasihi suaminya. Dengan demikian gambaran Israel di sini bukan sekadar seorang pelacur, tapi lebih parah, yaitu seorang istri yang melacur. Gambaran ini paling jelas muncul dalam kitab Hosea; ini bagian yang sulit tapi benar-benar memberikan kepada kita gambaran seperti apa perzinahan Israel itu. Misalnya Hosea 2:2, “Adukanlah ibumu, adukanlah, sebab dia bukan isteri-Ku, dan Aku ini bukan suaminya; biarlah dijauhkannya sundalnya dari mukanya, dan zinahnya dari antara buah dadanya.” Hosea 2:13, “Dan Aku akan menghukum dia karena hari-hari ketika dia membakar korban untuk para Baal, berhias dengan anting-antingnya dan kalungnya, dan mengikuti para kekasihnya dan melupakan Aku” –sekali lagi, problem ‘melupakan’– demikianlah firman TUHAN.’ Tuhan lalu menyuruh Hosea menikahi seorang pelacur, yaitu Gomer, supaya pernikahan mereka jadi gambaran akan apa yang akan Tuhan lakukan terhadap umat-Nya serta bagaiamana mereka berespons.
Kembali ke Hakim-hakim pasal 2, bagian ini menjelaskan bagaimana Allah berespons terhadap apa yang dilakukan umat-Nya, yaitu dengan menjadi murka terhadap Israel (ayat 20). Ini menjelaskan kepada kita, bahwa murka Allah bukanlah sesuatu yang berseberangan dengan anugerah Allah, murka Allah bukan sesuatu yang di luar kasih Allah, tapi justru merupakan bagian dari kasih-Nya, serta lahir karena kasih-Nya. Ini satu hal yang kita tidak boleh lupa sebagai aspek dari anugerah Tuhan. Kalau Saudara mau menerima anugerah Tuhan, Saudara juga harus mau menerima murka Tuhan kepada Saudara; karena orang yang peduli (care), akan murka, sedangkan orang yang tidak pernah marah adalah karena dia tidak peduli. Dulu waktu kuliah di Melbourne, saya pertama kalinya berpindah dari sistem edukasi Indonesia ke sistem edukasi Australia, juga berpindah dari sistem edukasi sekolahan ke sistem edukasi universitas. Salah satu dosen paling baik di situ mengatakan seperti ini: “Kalau kalian ada tugas yang telat dikumpulkan, atau salah bikin, beritahu saya saja, saya tidak bakal marah kepada kalian. Jadi don’t worry kalau ada kesalahan apapun, just datang saja kepada saya, karena saya tidak akan merah.” Mendengar itu, kayaknya lumayan juga dosen Barat ini, tidak seperti guru-guru Indonesia yang sedikit-sedikit marah. Tapi kalimat berikutnya menusuk, dia mengatakan, “Because I’m not paid enough to be angry” –saya tidak dibayar cukup untuk marah kepada kalian. Menarik. Konsepnya lain. Marah adalah peduli. Marah bukanlah tentang melampiaskan –melampiaskan amarah– tapi marah adalah karena peduli; kalau tidak marah, itu karena tidak peduli —gaji saya tidak segede itu untuk sebegitu pedulinya pada kalian, saya ‘gak bakal buang-buang emosi saya buat marah-marah pada kalian. Allah murka, justru karena Dia peduli kepada umat-Nya. Dia peduli akan relasi-Nya dengan mereka. Gambarannya adalah seorang suami yang mengasihi istrinya, yang akan berespons ketika si istri melacurkan diri. Dengan demikian, murka Allah pun adalah anugerah. ketika kita diingatkan seperti ini, kita perlu melihat inilah transformasi yang harusnya terjadi ketika kita berada dalam Gereja.
Kita bisa melihat ini lebih jelas di bagian terakhir pembacaan kita, Hakim-hakim 2:20-3:6, bahwa murka dan penghakiman Tuhan tidak perlu kita tabrakkan dengan kasih-Nya. Bahkan dalam penghakiman Tuhan seperti ini pun, bisa muncul belas kasihan. Ini tetap merupakan sebuah program drama anugerah, termasuk juga bagian yang berbicara mengenai penghakiman. Di ayat 20-21 pasal 2, Tuhan memberikan vonis kepada mereka –ini penghakiman– bahwa Dia tidak akan lagi menghalau bangsa-bangsa asing yang masih ditinggalkan Yosua waktu dia mati, karena dosa bangsa Israel. Tugas penaklukan tersebut stagnan sampai di sini, mereka terus tinggal bersama-sama dengan bangsa-bangsa kafir itu di tempat tersebut. Meski demikian, Saudara lihat pesan berikutnya adalah: meskipun Allah tidak lagi menghalau bangsa Kanaan, keberadaan orang Kanaan di sana sekarang akan dipakai untuk dua hal yang positif bagi Israel.
Hal pertama, ayat 22, “supaya dengan perantaraan bangsa-bangsa itu Aku mencobai —atau lebih tepatnya menguji– orang Israel, apakah mereka tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka, atau tidak.” Ini bukan hal yang baru, karena nenek moyang mereka pun diperlakukan demikian melalui perjalanan di padang gurun. Ulangan 8:1-3 “Segenap perintah, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, haruslah kamu lakukan dengan setia, supaya kamu hidup dan bertambah banyak dan kamu memasuki serta menduduki negeri yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyangmu.Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kaulakukan atas kehendak TUHAN, Allahmu, di padang gurun selama empat puluh tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan mencobai engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak.”
Dalam bagian ini kita perlu belajar untuk melihat anugerah dalam murka Tuhan, melihat anugerah dalam penghakiman Tuhan. Kalau kita gagal melihat ini, artinya kita gagal seperti orang Israel gagal. Pak Billy sudah berkali-kali mengatakan tentang hal ini, yang membuat orang Israel gagal dalam pencobaan seperti ini adalah karena mereka terlalu melihat apa yang di permukaan dan lupa untuk melihat apa yang di baliknya, mereka terlalu melihat realitas fisik sehingga gagal melihat realitas spiritual di balik itu, mereka terlalu fokus dengan yang kelihatan sehingga lupa melihat apa yang tidak kelihatan; yaitu apa? Yaitu –ironisnya– Allah, lewat penghakiman, lewat murka-Nya, lewat realitas fisik yang mereka alami, ingin agar mereka justru bisa melihat realitas rohani di balik semua itu. Allah dengan sengaja memberikan realitas ini, Dia ingin mengetes apa yang ada di dalam hati mereka. Lalu apa dampaknya bagi kita? Sederhana saja, yaitu bahwa kita lebih bisa mengenal diri ketika di dalam konteks padang gurun, di dalam konteks hidup bersama bangsa-bangsa kafir dengan segala kegersangannya dan segala pencobaannya, dibandingkan hidup di taman Eden dengan segala kenyamanannya. Apakah kita mau ditransformasi dalam hal ini? Kalau hari ini kita adalah orang-orang yang rajin melayani, rajin datang ke gereja, jadi pengurus, memberi perpuluhan, janji iman, dst., sebenarnya kenapa kita melakukan itu? Mungkinkah itu hanya karena kita ada fasilitas dan kenyamanan? Tapi ketika segala fasilitas dan kenyamanan direnggut dari diri kita, seberapakah kita setia terhadap semua pelayanan tersebut? Berapa banyak orang yang ketika pindah rumah lebih jauh, lalu berhenti datang ke gereja? Berapa banyak yang tetap rutin datang ke persekutuan doa, ketika persekutuan doa diadakan pagi dan jalanan makin macet? Berapa banyak yang tetap rajin melayani dengan kesetiaan yang sama, ketika melihat kelemahan-kelemahan saudara seiman, bahkan para diaken, pengurus, dan hamba Tuhan? Dalam keadaan demikian, kita jadi lebih tahu dan mengenal apa yang ada di dalam hati kita, dan pelayanan kita berdasarkan pada apa. Jadi jelas di sini, bahwa hal yang terjadi lewat penghakiman, justru adalah anugerah bagi orang-orang Israel –dan bagi kita juga.
Hal kedua yang juga kita lihat di pasal 3:1-2, ‘Inilah bangsa-bangsa yang dibiarkan TUHAN tinggal untuk mencobai orang Israel itu dengan perantaraan mereka, yakni semua orang Israel yang tidak mengenal perang Kanaan. —Maksudnya hanyalah, supaya keturunan-keturunan orang Israel yang tidak mengenal perang yang sudah-sudah, dilatih berperang oleh TUHAN.’ Saudara perhatikan, alasannya ada penghakiman seperti ini adalah karena mau memberikan anugerah, yaitu lewat hal ini maka keturunan Israel yang baru, yang tidak mengenal perang yang sudah-sudah, dilatih berperang oleh Tuhan. Mengapa perlu hal ini? Maksudnya apa? Apakah karena mereka tidak mengenal jurus kungfu berhubung selama ini hidupnya terlalu enak? Bukan. Salah satu komentator mengatakan, bahwa hal ini diperlukan justru untuk mereka belajar bergantung kepada Tuhan. Lucu ya.
Biasanya orang berpikir, kalau orang belum bisa berperang, maka dilatih berperang supaya setelah itu jadi bisa berperang dan lebih independen, bukan lebih bergantung –karena bisa perang sendiri– bukankah begitu?? Saudara, ini menarik, karena kita melupakan seperti apa sebenarnya peperangan Israel. Momen-momen Israel paling bergantung kepada Tuhan yang kita lihat dalam kisah-kisahnya, justru adalah momen-momen ketika mereka disuruh berperang. Kita melihat peperangan Israel itu berbeda dari peperangan bangsa-bangsa lain. Yang paling jelas perang terhadap Yerikho; mereka disuruh pergi mengepung tapi mereka tidak disuruh mengangkat senjata, mereka tidak disuruh merobohkan tembok, temboknya roboh sendiri. Dalam penyerbuan ke kota Ai, mereka melihat dalam peperangan ini yang menjadi dasar kemenangan mereka bukanlah kekuatan manusia atau jumlah tentara mereka melainkan kekuatan Tuhan. Saudara dapat melihat hal ini lagi dan lagi lewat berbagai macam skenario perang orang Israel. Yang penting dalam hal ‘dilatih berperang’ bukanlah dilatih kungfu, melainkan dilatih bergantung kepada Tuhan; dan inilah justru pelajaran yang dilupakan orang Israel dalam kitab Hakim-hakim pasal 1 dan 2. Mereka perlu dilatih berperang bukan untuk jadi lebih independen; mereka perlu dilatih berperang justru supaya mereka lebih menyadari ketergantungan mereka kepada Tuhan.
Tadi kita bicara tentang mengapa hari ini sering kali kita datang ke gereja sebagai orang-orang yang mode-nya subscriber, bukan mode disciple; dan jawabannya sederhana saja, yaitu karena kita hari ini hidup di tengah-tengah bangsa yang tidak mengenal Tuhan –bisa dibilang ‘di tengah-tengah orang Kanaan’– kita hidupnya di-invade oleh sosmed yang membuat kita dilatih setiap hari menjadi subscriber. Lalu solusinya apa? Solusinya juga bukan dengan membuang semua itu dari hidup Saudara –itu sepertinya juga bukan solusi Kristen– tapi justru lewat hal seperti itu, adalah salah satu cara Tuhan melatih kita berperang. Namun Saudara perhatikan, perang orang Kristen bukanlah perang untuk menguasai sosmed, perang orang Kristen bukan dengan membuat aplikasi baru sebagai tandingan untuk merebut pangsa pasar Facebook dan kawan-kawannya. Bukan itu; melainkan perang melalui sosmed yang ada hari ini untuk mendorong Saudara bergantung lebih erat lagi kepada Tuhan. Lewat peperangan inilah kita ini dapat suatu konfirmasi, kita didorong untuk senantiasa menyadari ‘saya tidak mampu; saya dikelilingi sosmed kayak bagini, bagaimana caranya saya bisa melawan mereka, saya tidak ada apa-apanya’. Sama persis dengan orang Israel ketika mereka menghadapi kota Yerikho dengan tembok-temboknya, ketika mereka menghadapi orang Kanaan yang jumlahnya tujuh kali lipat mereka dan bahkan lebih banyak lagi. Dan, ini adalah anugerah, yang digambarkan oleh Alkitab bagi Saudara-saudara. Maukah Saudara mendapat bagian anugerah yang seperti ini?
Saudara, inilah programnya; program yang dari depan sampai belakang bicara mengenai anugerah. Anugerah yang seperti apa? Anugerah yang mungkin melampaui semua bayangan kita yang positif. Anugerah yang bertahan lebih lama daripada yang kita sangka. Anugerah yang bukan berdasarkan atas pertobatan tapi malah belas kasihan. Saudara sudah melihatnya. Tapi ini juga anugerah yang mungkin lebih mengerikan daripada yang kita sangka, anugerah yang di dalamnya mengandung murka, anugerah yang pasti akan membuat Saudara kena murka karena Tuhan peduli pada Saudara seperti seorang suami peduli pada istrinya, seperti seorang ayah yang peduli pada anaknya. Seorang ayah yang peduli pada anaknya, pasti akan marah, tidak mungkin tidak, karena ia mengasihi anaknya. Dan, ternyata anugerah ini adalah anugerah yang hadir melalui peperangan, melalui kehadiran bangsa-bangsa kafir. Sekali lagi, Saudara di dalam Gereja, di dalam khotbah-khotbahnya, Saudara datang untuk mencari konfirmasi atau mencari transformasi?
Saya tutup khotbah hari ini dengan satu contoh, cerita tentang yang saya alami. Saya bukan mengatakan semua ini karena saya menempatkan diri di atas lalu Saudara harus belajar semua ini sementara saya sudah sempurna, tapi hanya karena dalam kesempatan melayani di sini saya belajar hal ini dengan sangat riil. Saya ini bukan orang yang kepingin bicara dengan banyak orang, luwes, gaul, supel, dsb.; sama sekali tidak. Lalu seperti kita tahu, saya disuruh menggantikan Pak Billy meneruskan di sini, meski belum pasti juga, jadi sementara ini saya melakukan itu semua. Dan, yang saya takutkan akhirnya mulai terjadi, mulai ada jemaat-jemaat yang telepon saya. Saya sedang persiapan khotbah, membaca buku, dan saya perlu fokus, tapi kemudian “diganggu” kayak begitu dan saya musti mendengarkan mereka. Saya jadi baru sadar juga bahwa saya tidak kepingin ngobrol sama orang bukan karena saya tidak peduli, tapi karena saya orangnya fokus. Kalau orang telepon saya, saya akan fokus pada apa yang dia katakan, saya mau tidak mau harus merasakan apa yang dia rasakan; dan jika Saudara punya 1-2 sahabat seperti ini, itu oke, tapi bayangkan dihubungi 10-12 orang, bahkan 20 orang, dengan problemnya masing-masing dan Saudara harus berfokus pada setiap masalah mereka, merasakan apa yang mereka rasakan, apa hati Saudara tidak kacau? Lalu bagaimana saya bisa persiapan khotbah dan mempersiapkan bahan mengajar kuliah yang seminggu 3x masing-masing 3 jam itu? Belum lagi semua yang lain. Saya tidak kepingin melakukan semua itu; dan saya tidak merasakan hati saya ada hasrat untuk mendengarkan mereka, saya tidak terlalu peduli dengan itu, saya lebih peduli dengan persiapan bahan yang oke.Tapi Saudara tahu apa yang terjadi? Yang terjadi adalah: lewat saya mendengarkan cerita mereka, lewat saya memberi waktu kepada mereka, maka tumbuh hasrat, tumbuh rasa peduli, tumbuh rasa cinta –yang saya tidak minta dan saya tidak kepingin itu. Di satu sisi ini cukup membahagiakan, karena jadinya saya merasa Tuhan telah bekerja, lewat hal yang saya tidak mau, saya diubah. Di sisi lain tentu saja ini mengerikan, karena ini anugerah yang datang lewat problem, lewat kesulitan. Tidak bisa tidak, selesai telepon dengan jemaat itu, ada rasa care kepada mereka, ada hati yang hancur melihat problem mereka, ada pikiran yang susah memikirkan bagaimana solusi bagi mereka. Kalau saya tidak dijadikan peran seperti ini, kalau saya tidak masuk ke dalam peran seperti ini, saya tidak bakal belajar jadi orang yang punya hasrat bagi orang-orang lain, seperti ini. Itulah transformasi. Susah dan mengerikan. Tapi Saudara bisa melihat anugerah Tuhan bagi saya? Itu berarti Saudara juga dipanggil hal yang sama. Ini panggilan kita sama-sama dalam Kerajaan Tuhan. Kita dipanggil bukan untuk dikonfirmasi tapi ditransformasi.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading